syariat islam untuk rakyat
Halaman 1 dari 1 • Share
syariat islam untuk rakyat
Bila sebelum era 90-an pembicaraan
tentang syariat Islam sangatlah ditabukan, kini syariat Islam mulai lagi
menjadi wacana. Hal ini sangat logis, di satu sisi sistem kapitalisme yang kini
diterapkan di dunia gagal memanusiakan manusia bahkan berhasil menciptakan
kehidupan manusia sebagai kehidupan hewani di hutan belantara. Pada sisi lain,
kesadaran umat untuk kembali berpegang teguh kepada ajaran Islam yang dianutnya
semakin tumbuh. Sekalipun hal ini cukup menggembirakan, namun bukan berarti
tanpa masalah. Salah satunya adalah perlu sosialisasi tentang makna syariat
Islam yang dimaksud.
Syariat (asy Syarîah)
secara bahasa berarti sumber air minum (mawrid
al mâ` li al istisqâ) atau jalan lurus (at
tharîq al mustaqîm). Sedangkan, menurut istilah syar’iy syariat itu
bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya
baik dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan sistem kehidupan
untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Syariat Islam merupakan
syariat Allah Dzat Maha Bijaksana bagi semua manusia yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya, dirinya
sendiri dan sesama manusia.
Wujud
Kesadaran
Semua kita sadar, Indonesia masih dalam krisis
multidimensional. Tentu, semua ini merupakan produk dari sistem hidup dan
kehidupan yang selama ini diterapkan. Yaitu, sistem kapitalisme dalam segala
bidang. Karenanya, untuk keluar dari krisis ini tidak dapat bila hanya ganti
orang dengan membiarkan sistem yang selama ini berlaku.
Persoalannya adalah sistem mana yang akan dipilih. Memilih
sistem kapitalisme sama saja dengan mempertahankan kerusakan dan krisis. Sebab,
bukan hanya di Indonesia, AS sebagai gembong kapitalisme mengalami hal serupa.
Dalam buku America Number One, Andrew
L. Saphiro memaparkan bahwa Amerika nomor satu dalam segala-galanya: dalam
sains dan teknologi, ekonomi, serta kriminal, hutang, pelanggaran HAM,
diskriminasi, kesenjangan, penyimpangan perilaku sosial, peredaran obat
terlarang dan obat bius. Sementara itu, pilihan Sosialisme-Komunisme tidak
rasional. Alasannya, sistem tersebut telah hancur sekalipun baru berkuasa 74
tahun. Bila demikian, alternatif terakhir adalah Islam. Jadi, tuntutan
ditegakkannya syariat Islam dilandasi oleh kesadaran terhadap krisis dan
kepekaan terhadap solusi terbaiknya. Pilihan ini ditopang oleh bukti sejarah
tentang kehandalam syariat Islam dalam memecahkan berbagai persoalan manusia
lebih dari 12 abad.
Syariat Islam datang dalam rangka memecahkan masalah bagi
kemaslahatan semua elemen masyarakat. Sekedar menyebut contoh, ketika Islam
menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariat, maka
sistem itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataupun non
muslim. Ketentuan larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan
dirham akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata (bukan semu seperti
dalam sistem ekonomi kapitalisme yang ditopang oleh kegiatan ekonomi ribawi dan
perjudian sebagaimana tampak dalam perdagangan saham dimana keduanya
menghasilkan buble economy yang
sangat rentan terhadap gejolak) dan stabil karena bertumpu pada kegiatan
ekonomi riil serta ditopang oleh mata uang yang juga benar-benar kuat dan tidak
mudah mendapat tekanan inflasi dan depresiasi. Ketika ekonomi secara umum
gonjang-ganjing sejak Indonesia mengalami krisis, lembaga keuangan syariat
menunjukkan ketegarannya. Atau ketentuan syariat Islam dalam banyak hadits
bahwa komoditas milik umum seperti minyak, hutan, gas alam, emas dan barang
mineral lain adalah milik umum yang karenanya harus dikelola oleh negara.
Hasilnya, diberikan kepada seluruh rakyat baik langsung maupun tidak langsung
melalui pendidikan dan kesehatan murah bahkan gratis akan membuat rakyat
merasakan manfaat dari kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Tidak seperti
saat ini. Berikutnya, pertumbuhan ekonomi yang nyata dan stabil akan
menghasilkan kesejahteraan bagi semua dan memupus jurang atau ketimpangan
sosial-ekonomi diantara anggota masyarakat. Kebaikan sistem ekonomi Islam ini
dirasakan oleh warga, siapapun dia, muslim ataupun non muslim.
Realitas menunjukkan bahwa sistem ekonomi sekarang ini
bukan hanya tidak mampu menyelesaikan masalah tapi malah dari waktu ke waktu
justru menciptakan masalah. Lebih dari lima puluh tahun memimpin Indonesia,
kapitalisme –terlepas dari para birokrat bermental korup- membuat lebih dari
100 juta rakyat Indonesia jatuh ke jurang kemiskinan, 47 juta menganggur,
jutaan anak terpaksa putus sekolah, hutang negara makin menumpuk, pajak kian
mencekik leher, beban hidup semakin berat. Semua akibat buruk ini dirasakan
oleh seluruh rakyat, muslim ataupun non muslim. Siapa yang suka dengan sistem
yang melahirkan keburukan-keburukan seperti ini?
Begitu juga, syariat Islam menetapkan adanya pendidikan
bermutu yang tegak berdasarkan paradigma Islam dimana pendidikan diorientasikan
pada pembentukan kepribadian, penguasaan tsaqofah
Islam dan penguasaan sains dan teknologi, diselenggarakan gratis atau biaya
murah, semua itu dinikmati oleh setiap warga negara, muslim dan non muslim (Al
Baghdady, 1996). Sebaliknya, sistem pendidikan sekuler yang amburadul, mahal
dan arah yang berganti-ganti saat ini menghasilkan sosok manusia yang diragukan
kualitasnya terlihat dari maraknya perkelahian pelajar, seks bebas dan
penyalahgunaan narkoba. Siapa yang merasa aman dalam dunia pendidikan seperti
ini?
Sementara, kemampuan sistem Islam menjaga keamanan, jiwa,
harta dan kehormatan melalui penerapan (‘uqûbat)
Islam dimana para pelaku pelacuran, perampokan termasuk koruptor, pezina,
peminum-minuman keras, pembunuh dihukum setimpal (Abdurrahman Maliky, 1990).
Hal ini akan membuat kriminalitas menurun dan segala penyakit sosial turun
drastis atau dapat ditekan serendah mungkin. Semua kebaikan ini akan dinikmati
oleh setiap warga. Pada sisi lain, hukum yang diterapkan sekarang terbukti
gagal melindungi warga masyarakat. Setiap hari lembaran media massa menyajikan
nyawa mudah melayang, harta dan kehormatan terancam, kriminalitas meningkat
dimana-mana, pornografi merajalela, pelacuran menjamur, hamil di luar nikah
seakan dipandang biasa, penyalahgunaan narkotika menjadi menu sehari-hari.
Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu polisi mengungkap pabrik ekstasi di
Tangerang seluas 2500 meter persegi. Siapa yang merasa nyaman dan mau tetap
mempertahankan sistem seperti ini?
Kapitalisme, di satu sisi memang menghasilkan kemajuan
material lebih dari yang bisa diberikan oleh sosialisme. Tapi, di sisi lain
sistem ini telah menciptakan kondisi yang dalam banyak hal justru bertentangan
dengan hakikat eksistensi manusia: kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik
dan proses dehumanisasi. Dengan prinsip survival
of the fittest dimana the might is
right membuat yang kuat makin menindas yang lemah, hukum rimba berlaku.
Syariat Islam menghentikan semua itu. Kemajuan material tidak boleh
dihalang-halangi sepanjang didapat melalui jalan yang benar dan dikembangkan
sesuai syariah. Hasilnya, kemajuan material bisa dicapai, kepuasaan spiritual
tak terabaikan dan keadilan terujudkan. Dengan syariat Islam, manusia akan
tumbuh menjadi makhluk yang mengabdi kepada Sang Khaliq semata, hidup sejahtera, bahagia lahir-batin, baik
individual maupun komunal. Pengabdian kepada Allah swt. diujudkan terus di
tengah gemerlap kemajuan material, karena semua tatanan berjalan sesuai syariat
Islam.
Selain itu, secara
syar’iy, setiap muslim dituntutuntuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Banyak sekali
nash-nash yang menjelaskan hal ini. Diantaranya adalah firman Allah Swt.:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[
Apa saja yang diberikan oleh
Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas kalian,
tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.
(TQS al-Hasyr [59]: 7).
Kata mâ
yang terdapat pada ayat di atas berbentuk umum, artinya mencakup seluruh bentuk
perintah dan larangan Allah. Sementara itu, seluruh perintah dan larangan Allah
Swt. tersebut dikemukakan dalam bentuk yang bersifat pasti (jazm). Dengan demikian, apa saja yang
dibawa oleh Rasulullah saw.—berupa perintah Allah yang mencakup seluruh
al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus diterima (diterapkan) oleh kaum Muslim.
Sebaliknya, apa saja yang dilarang Rasulullah saw.—berupa larangan Allah yang
mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus ditinggalkan oleh kaum
Muslim. Dalam hal ini, pihak yang dibebani hukum adalah individu, jamaah, dan
negara (para penguasa), karena seruannya berbentuk umum, yakni ditujukan kepada
seluruh orang Mukmin.
Meskipun ayat ini menjelaskan
tentang masalah hatra fa’i Bani
Nadhir, tetapi yang paling penting (‘ibrah)
adalah bentuk umumnya ayat tersebut, sebagaimana kaidah ushul menyatakan:
‘Ibrah itu adalah atas keumuman
lafazh, bukan kekhususan sebab (turunnya ayat).
Begitu pula firman Allah Swt.
berikut:
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلاَلاً مُبِينًا[
Tidaklah patut bagi pria Mukmin
dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat. (TQS al- Ahzâb [33]:
36).
Berdasarkan alur berpikir
seperti tadi, nampak bahwa tuntutan formalisasi syariat Islam lahir dari
kesadaran akan kebobrokan akibat tatanan hidup selama ini dan wujud tanggung
jawab untuk menata kehidupan baru yang lebih baik dengan tegaknya syariat Islam
bagi semua menuju masyarakat modern yang beradab. Disamping merupakan kesadaran
akan kewajiban dari Allah Pencipta manusia untuk menegakkan hukum-hukum-Nya demi
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Pengertian Rahmatan Lil Âlamîn
Allah SWT berfirman:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[
“Dan tiadalah Kami utus
engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya
107).
Syaikh An Nawawi Al Jawi dalam
tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menafsiri ayat
itu sebagai berikut: Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia
dengan berbagai peraturan (bisyarâi’)
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, melainkan dalam rangkan rahmat Kami
bagi seluruh alam dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan
kebingungan. Maka Allah SWT mengutus Sayyidina Muhammad saw. sehingga beliau
saw. menjelaskan jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum
syari’at Islam, membedakan yang halal dari yang haram. Dan setiap Nabi sebelum
beliau saw. manakala didustakan oleh kaumnya, maka Allah membinakan mereka
dengan berbagai siksa, namun bisa kaum Nabi Muhammad mendustakannya, Allah SWT
mengakhirkan adzab-Nya hingga datangnya maut dan Allah SWT mencabut
ketetapan-Nya membinasakan kaum pendusta Rasul. Inilah umumnya tafsiran para
mufasirin.
Jelaslah bahwa rahmat Allah SWT ini
bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad saw. sebagai manusia, tapi dia
sebagai rasul yang diutus dengan membawa suatu syari’at yang memang paling
unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama yang ada di dunia, sebagaimana
firman-Nya:
]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ
رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ
وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا[
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang hak, agar Dia menangkan agama itu atas semua
agama-agama lainnya. Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (TQS. Al Fath 28).
Dalam tafsir Shofwatut Tafasir Juz II/253, Al Ustadz Muhammad Ali As Shobuni
memberikan catatan: Allah SWT tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi ..lil ‘alamin, sebab Allah SWT menyayangi
seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad saw. Kenapa demikian? Sebab, dia
saw. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan yang besar, keselamatan
dari kesengsaraan tiada tara, dan mereka mendapatkan dari tangannya kebaikan
yang banyak baik dunia maupun akhirat, dia mengajarkan mereka setelah kebodohan
mereka, dan memmberikan petunjuk atas kesesatan mereka, dan itulah rahmat bagi
seluruh alam, bahkan orang yang menolak risalahnya sekalipun (kuffar), masih
dirahmati dengan kedatangannya lantaran Allah SWT mengakhirkan siksaan atas
mereka dan mereka tidak disapu bersih oleh adzab Allah sebagaimana kaum terdahu
seperti ditimpa gempa, gitenggelamkan dan lain-lain.
Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam
realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah saw. mengimplementasikan seluruh
risalah yang dia bawa sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu bagaimana jika Rasul
telah wafat. Rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum muslimin
mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa, yakni risalah syari’at Islam
dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada Al Qur’an dan As
Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut (beserta
sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa ijma’ sahabat dan qiyas syar’iyyah) dan telah hilang
pemahamannya terhadap syari’at Islam, maka tidak mungkn umat ini menjadi rahmat
bagi seluruh alam, Justru dunia rugi lantaran kelemahan pemahaman kaum muslimin
terhadap syariat Islam. Oleh kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi syari at
Islam dan upaya menghambat serta menentang diterapkannya syariat Islam pada
hakikatnya adalah menutup diri dan mengahalangi rahmat bagi seluruh alam.
Goal
Setting Penerapan Syari’at Islam (Maqâshid asy-Syar’iy)
Untuk
melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syari’at Islam sebagai rahmat bagi
seluruh alam, perlu kita kaji tujuan luhur penerpaan syari’at Islam dalam
memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan
diandalkan untuk memelihara aspek-aspek penting Paling tidak ada 8 aspek dalam
kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syari’at
Islam, yaitu (lihat Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61):
1.
Memelihara keturunan,
yakni dengan
mensyariatkan nikah dan mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai
sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam.
Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat:
TQS an-Nisa’: 1; TQS ar-Rum: 21; TQS an-Nur: 2).
Cobalah bandingkan dengan sistem demokrasi yang
memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan
seksual (freesex), homoseks,
lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari HAM. Semua
itu berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan
kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS.
Kejadian-kejadian demikian bukan hanya merugikan kaum muslim melainkan seluruh
kemanusiaan. Sebaliknya, dengan Islam hal tersebut ditiadakan dalam kehidupan.
Keuntungan pun akan dirasakan oleh setiap manusia baik muslim atau non muslim.
2.
Memelihara akal, yakni dengan mencegah dan
melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir) serta menetapkan sanksi hukum
terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut
ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad,
dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji
eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9;
TQS al- Mujadilah: 11 ). Pemeliharaan akal demikian dilakukan bagi setiap orang
tanpa memandang agamanya apa. Bila demikian, kemaslahatannya pun akan dirasakan
oleh semua manusia siapapun dia. Secara kolektif hal ini sangat meminimumkan social cost yang harus dibayar oleh umat
manusia.
Bandingkan
dengan cara-cara penanganan pemerintahan kapitalis yang selalu bersikap
kompromistis (pemecahan jalan tengah) yang telah menghabiskan bermilyar dolar
tanpa hasil yang nyata. Mereka melarang konsumsi alkohol tetapi tidak menutup
pabriknya. Uang dan kebebasan memiliki harta merupakan dorongan kuat bagi para
bandar ekstasi dan mafia obat bius untuk tetap melakukan bisnis barang yang
sangat merusak generasi anak manusia. Ditemukannya pabrik ekstasi terbesar baru-baru
ini di Tangerang tidak jelas bagaimana ujungnya.
3.
Memelihara
kehormatan, yakni
dengan melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan
mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat: TQS
an-Nur: 4; TQS al-Hujurat: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk
menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu. Aturan demikian bukan
hanya untuk sesama kaum muslim, melainkan juga untuk setiap manusia.
Bandingkan
dengan kebebasan berbicara dan berperilaku yang diberikan demokrasi
kapitalistik. Kebebasan semacam ini membuat manusia tidak menghormati
sesamanya, anak tidak menghormati orang tuanya, istri tidak menghormati
suaminya, bahkan manusia tidak menghormati tuhannya. Tidak sedikit orang-orang
Amerika yang membuat parodi dan film yang melecehkan Yesus Kristus maupun tuhan
mereka yang lain. Pastur dan gereja adalah bahan olokan dan ejekan yang biasa.
4.
Memelihara jiwa
manusia, yakni
dengan menetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak,
dan menjadikan hikmah dari hukuman itu (qishash)
adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat: TQS al-Baqarah: 179). Kalaupun tidak
dikenai hukum Qishash, yang berlaku adalah hukum diat. Berdasarakan diat
ini keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib diberikan pihak keluarga
pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor onta atau 200 ekor
sapi (lihat Abdurrahman Al Maliki,
Nizham Uqubat,Dâr al-Ummah, hlm. 87 - 121). Dengan syariat Islam jiwa
setiap orang terjaga, mulai dari janin hingga dewasa. Dengan syariat Islam
setiap warga negara Islam apapun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin
keselamatan jiwanya.
Bandingkan
dengan harga murah nyawa manusia di berbagai penjara di sejumlah negara yang
menganut sistem demokrasi dan sistem hukum pidana Barat. Bandingkan dengan
murahnya nyawa dalam pandangan para pemilik pabrik senjata dan para pedagang
senjata internasional yang senantiasa membuat berbagai rekayasa untuk menyulut
peperangan di berbagai belahan dunia. Demi dolar, mereka tidak memperdulikan
harga nyawa manusia. Bahkan, mereka lebih menyayangi nyawa ikan paus daripada
nyawa anak Adam. Lihat bagaimana mereka begitu sungguh-sungguh melindungi ikan
paus , dengan alasan untuk melestarikannya. Sebaliknya, bagaimana mereka, dengan
alasan teroris, membunuh ribuan nyawa pejuang-pejuang Islam di Palestina.
Perang Dunia I dan II, Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Bosnia, Perang
Kosovo, Perang Albania, embargo terhadap Irak, pembantaian muslim Palestina,
Penghancuran Afghanistan, Chechnya dan Dagestan adalah secuil bukti nyata tak
terbantahkan.
5.
Memelihara harta, yakni dengan menetapkan sanksi
hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan
mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. (Lihat: TQS al-Maidah:
38). Demikian pula peraturan pengampunan (hijr),
yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan
wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat: TQS an-Nisa 5; TQS
al-Baqarah: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni
belanja pada perkara haram (Lihat: TQS al-Isra’: 29; TQS al-An’am: 141; TQS
al-Isra’: 26-27). Ketetapan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga
negaranya, tanpa memandang agamanya. Karena itu, siapapun orang yang hidup dalam
naungan syariat Islam terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk
menjalankan usaha.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan
kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari HAM yang membuat orang menghalalkan
segala cara demi uang. Penipuan, penyuapan, sabotase, perampokan, pencurian,
penjebolan bank melalui internet, apa yang terkenal dengan white colar crime hingga perebutan harta di pengadilan adalah hal
biasa. Hukuman penjara bukanlah penyelesaian. Bahkan, tidak jarang, penjara
adalah “ajang training dan penambahan
wawasan” bagi para pelaku tindak kriminal. Tindak kriminal dari yang paling
rendah hingga yang paling tinggi, dari yang terang-terangan hingga yang paling
tersembunyi, dari yang kasar hingga yang paling halus, adalah dalam rangka
memenuhi kebiasaan nafsu hidup mewah bangsa-bangsa kapitalis penganut
demokrasi. Mereka terbiasa membelanjakan hartanya sekadar untuk
bersenang-senang (just for fun ) , hura-hura dan kegiatan-kegiatan yang tidak
berguna: pesta, minum, main perempuan, hingga penggunaan narkoba. (Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan paparan numerik tentang berbagai
bentuk kehidupan sia-sia bangsa Amerika gembong demokrasi, silakan baca buku
Andrew L. Saphiro, Amerika Nomor Satu).
Realitas demikian merugikan semua orang, baik muslim ataupun bukan.
6.
Memelihara agama, yakni dengan melarang murtad
serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat
kembali kepangkuan Islam (Lihat TQS al-Baqarah:
217 dan Hadis Nabi). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk
Islam (Lihat: TQS al-Baqarah: 256). Melalui hukum syariat seperti ini kaum
muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agananya. Demikian pula orang
non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara
menjaminnya, masyarakat Islam memberikannya hak.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang—apalagi disertai dengan paradigma
bahwa dalam beragama jangan gunakan akal—telah membuat tidak sedikit anak bangsa
mereka terperosok ke dalam agama yang tidak masuk akal dan sekte-sekte sesat
yang, antara lain, menyajikan bunuh diri massal sebagai solusi dalam mengatasi
problema hidup mereka. Padahal, Allah Swt. sebagai Pencipta manusia, alam
semesta, dan kehidupan telah menganugerahi naluri fitri beragama (Lihat: TQS
ar-Rum: 30) dan akal (Lihat: TQS al-A’raf: 179; TQS an-Nahl: 78) agar manusia
dapat berjalan menempuh kehidupannya di jalan agamanya yang lurus.
7.
Memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman
berat sekali bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan
memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman
mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat: TQS al-Maidah: 33). Hukum
syariat demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau
non-muslim tanpa diskriminatif. Bahkan, siapapun yang mendalami syariat Islam
akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok kolektif
warga yang dijamin oleh Daulah Islamiyah.
Bandingkan
dengan sistem hukum pada negara-negara demokrasi dan penganut sistem hukum
Barat yang tidak tegas terhadap para pengganggu keamanan masyarakat. Akibatnya,
para residivis bisa menjadi raja preman di luar penjara. Bahkan, sudah sangat
masyhur bahwa mafia dan kelompok gangster justru memiliki hubungan
“persahabatan” dengan polisi sehingga keberadaan perampok, penjahat, jalanan,
dan berbagai mafia kejahatan tetap eksis di seluruh dunia.
8.
Memelihara negara, yakni dengan menjaga
kesatuannya dan melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata
melawan negara (Lihat: TQS al-Maidah: 33 dan Hadis Nabi). Juga hadits Nabi
Muhammad saw: “Siapa yang datang kepada
kalian dimana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia
berusaha memecah belah jama’ah kalian, maka potonglah leher orang itu”
(lihat An Nabhani, Nizhomul Hukmi
fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat
manusia, bukan memecah-belahnya.
Bandingkan
dengan sistem demokrasi yang memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri dari
suatu bangsa atau daerah. Hal itu sering dipakai sebagai alat untuk melakukan
gerakan sparatis. Apa yang terjadi di Indonesia dan Irak adalah contoh nyata.
Barat mengopinikan kepada dunia bahwa masing-masing bangsa berhak untuk hidup
merdeka. Mereka ikut campur dengan motif-motif politik ataupun ekonomi untuk
mengambil untung dari konflik antara suatu daerah atau etnis dengan
pemerintahan pusat tersebut. Apalagi Konggres AS siap meratifikasi UU
Perlindungan Minoritas yang memberikan kewenangan kepada Angkatan Bersenjata AS
untuk mengintervensi negara mana pun yang dianggap melakukan penindasan kepada
minoritas. Kini dunia Islam dipecahbelah, dikerat-kerat menjadi lebih dari 50
negara.
Nampaklah, setiap hukum Islam bila diterapkan akan menghasilkan goal setting seperti itu. Kesemuanya itu
akan dirasakan dan menjadi hak setiap orang yang tunduk kepada aturan syariat
Islam tersebut, baik muslim ataupun bukan. Dengan demikian, melalui penerapan
syariat Islam secara total kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia.
Islam benar-benar merupakan rahmatan lil
‘âlamîn.
Beberapa
Contoh
Banyak sekali contoh hukum syariat yang secara kasat mata
menunjukkan keberpihakkannya pada siapapun (muslim atau non-muslim) yang
mendukung syariat Islam. Diantaranya adalah:
Pertama, Kebijakan ekonomi umum. Islam memandang
bahwa masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di masyarakat dan
pemenuhan kebutuhan di masyarakat bukanlah pepenuhan total kebutuhan, tapi
pemenuhan per individual secara menyeluruh. Dari sini kebijakan ekonomi yang
dibuat adalah, pertama: negara wajib
memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah),
yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individual. Tidak boleh
ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki
maupun disewa). Nabi bersabda: “Penduduk
mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan, Allah akan melepas
jaminannya kepada mereka semua”. Dalam hadits lain beliau saw. bersabda: Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur
nyenyak di malam hari sementara tetangganya kelaparan, padahal dia tahu”. Dalam
hal ini negara memberikan peluang kerja seluas-luasnya, dan menyantuni mereka
yang lemah dan papa. Kedua, negara
memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu
dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini negara
memberi fasilitas seluas-luasnya, termasuk bebas beaya administrasi untuk usaha
masyarakat mengembangkan modalnya, tanpa membedakan antara Marwan dengan
Martin, tanpa membedakan antara Jamilah dengan Jenifer. Semua diberi kemudahan.
Dan pemerintah tidak berbisnis, tapi mengayomi semua. Ketiga, negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat
agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang
khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Dan apabila terjadi ketidak
seimbangan ekonomi antara warga negara, dikarenakan kemampuan yang
berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan
cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah dan papa (fakir miskin) agar
mampu bangkit menjadi mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT berfirman:
“Agar jangan harta itu hanya berputar di
kalangan orang kaya di antara kalian” (TQS. Al hasyr 7).
Kedua, Jaminan Kesejahteraan umum, pendidikan,
kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga negara Islam. Islam
memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa
membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga
menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum
diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk
kepada perintah dan larangan Allah SWT, memiliki kecerdasan dan kemampuan
berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami, serta
memiliki kemampuan ketrampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat.
Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas
fasilitas pendidikan, baik itu sekolah universitaa, masjid, perpustakaan umum,
bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusa tawanan perang Badar
dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin di Madinah.
Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau
saw. dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat
secara gratis (lihat Abdurrahman Al Baghdadi, Sistem Pendidikan di masa Khilafah, juga Abdul Aziz Al Badri, Hidup Sejahtera di bawah naungan Islam).
Ketiga, Politik keuangan. Islam menetapkan emas
(dinar) dan perak (dirham) dijadikan sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam
dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti diat misalnya,
1000 dinar. Dan fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar itu tidak terkena
inflasi, tidak lapuk oleh zaman, dan tak akan terguncang nilainya oleh
perubahan sosial politik. Andai Indonesia menggunakan emas dan perak sebagai
mata uangnya, tentulah tidak akan terjadi krisis moneter seperti yang terjadi
pada tahun 1997.
Islam
juga mengajarkan bahwa uang sebagai alat tukar itu tidak boleh diam, harus
produktif. Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dalam
firman-Nya:
]وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ@يَوْمَ يُحْمَى
عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ
وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ
تَكْنِزُونَ[
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, nmaka beritahukanlah kepada mereka bahwa
mereka akan mendapatkan sisksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak
itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan-Nya dahi mereka, lambung, dan
punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka, :Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu
simpan itu”. (TQS. At Taubah 34-35).
Diriwayatkan
bahwa di masa Rasul ada seorang ahli
shuffah (orang yang tinggal di dalam satu ruangan masjid Nabawi yang telah
berikrar hanya berdakwah dan hidup mereka ditanggung kaum muslimin, artinya
tidak perlu uang lagi) meninggal lalu di tempat tidurnya terdapat uang logam
satu dinar/dirham, lalu rasul menyebut potongan uang logam itu dengan sebutan: kayyah, attinya : sepotong api neraka!
Juga Islam menetapkan bahwa uang sebagai alat tukar tidak
boleh diputar dalam bisnis non riil, seperti dipinjamkan untuk mendapatkan
ribanya. Jelas Allah SWT mensifati bisnis riba ini sebagai yang bisnis yang
tidak bakal stabil. Allah mengumpamakan orang-orang yang makan riba bagaikan
orang yang sempoyongan kemasukan syetan. Dia berfirman:
]الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan demikian
disebabkan mereka mengatakan sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamlkan riba…” (TQS. aL Baqoroh
275).
Bila hal ini diterapkan maka ekonomi akan stabil.
Dampaknya, bukan hanya dirasakan oleh kaum muslim melainkan juga oleh semua
orang.
Begitu pula seluruh hukum lainnya. Berdasarkan hal ini maka
mereka yang memahami realitas syariat Islam akan rindu untuk dihukumi
dengannya. Betapa tidak, tanpa syariat Islam kehidupan menunjukkan berada dalam
kesengsaraan dan kejahiliyahan.
Minoritas non-Muslim Sejahtera dibawah Daulah Islamiyah
Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak
syariat Islam adalah adanya non-muslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam
diterapkan semua orang harus beralih agama, hak beragama non-muslim diabaikan.
Padahal, siapapun yang memahami sejarah Nabi akan menolak pandangan seperti tadi.
Negara Islam yang dimulai sejak Rasulullah saw. mendirikan
negara Islam di kota Yatsrib (Madînah
ar-Rasul atau al-Madînah
al-Munawwaroh) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga
negara, baik muslim maupun non-muslim. Orang-orang non-muslim yang menjadi
warga negara di dalam sistem negara Islam dikenal sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk non-muslim yang menjadi warga negara
yang tunduk kepada sistem hukum Islam. (Lihat: TQS at-Taubah: 29).
Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas
dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan
bahwa sekembali beliau dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju
besi (dzira’), baju perlengkapan
perang, dan beliau malah menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi
ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku.
Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain.
Bagaimana bisa ada di tokomu?”
Orang
Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di tokonya.
Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta
merta mengambil paksa harta milknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu
menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili
perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau
mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Akan tetapi, Qadhi
Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian
Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?”
Meskipun
demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali pun menerima
kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat
bicara, “Duhai Khalifah Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang
baju besi milikmu. Akan tetapi, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan
aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat: Imam as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’).
Sungguh,
keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum
Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar!
Di samping persamaan di dalam hukum, Khilafah tidak
diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang non muslim. Diriwayatkan bahwa
ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah propinsi Mesir di masa
Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan
bapaknya (Amr bin A’sh r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa
membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia
mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana
Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti
rugi (diyat) atas kezaliman itu. Anak
Qibthi itu memilih Qishash. Ia pun
mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum Qishash itu, Khalifah Umar
mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak
Gubernur, oleh karena itu, cambuk saja Gubernur itu sekalian!”
Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan
telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam
hukum Qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah
Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya
dalam keadaan merdeka?” (Lihat: Manaqib
Umar).
Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada
kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan
keadilan. Oleh karena itu, bohong besar apa yang dikatakan oleh orang
anti-Islam yang memprovokasi bahwa kalau berdiri negara Islam, maka orang-orang
Nasrani akan mendapat bahaya atau diskrimansi.
Provokasi murahan demikian bertentangan sekali
dengan isi surat Nabi Muhammad saw. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk
Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang
dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.” (Lihat:
Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah Islamiyyah, juz 2/237).
Begitu pula tindakan Nabi Muhammad saw. yang menerapkan hukum rajam kepada dua
orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum
rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (Lihat: Abdurrahman
al-Maliki, Nizhom al Uqubat).
Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh
Rasul Saw. beserta para sahabatnya. Karenanya, jelas bahwa sejak awal Islam
hidup dan berhasil memimpin masyarakat di tengah pluralitas (bukan pluralisme)
agama. Manakah yang hendak dipilih menerapkan syariat Islam untuk menyelesaikan
berbagai problematika kemanusiaan dewasa ini ataukah menolaknya hanya sekedar
kekhawatiran –yang senyatanya berhenti pada kekhawatiran semata- atas
beragamnya masyarakat dengan tetap membiarkan umat manusia meluncur menuju
jurang kehancuran ke arah kebinatangan? Adalah tidak layak umat Islam menolak
penerapan syariat Islam dengan alasan adanya pluralitas masyarakat, padahal
Rosullulah telah menerapkan syariat Islam justru pada masyarakat yang plural
(beragam)
Menepis
Keberatan
Hambatan‑hambatan dalam menerapkan
Syariat Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pertama, kebencian orang‑orang
kafir, fasik, dan zhalim akan Syariat Islam, dan kedua, kesalahan kaum Muslimin
dalam memahami Syariat Islam. Akibatnya, muncullah ‘keberatan’ yang sebenarnya
lebih mencerminkan ketakberhasilannya dalam mengapresiasi ajaran Islam.
Hambatan dari orang-orang kafir, jelas bukan dalam kendali kaum muslim.
Karenanya, yang lebih penting adalah bagaimana menata sikap kaum muslim yang
masih miring terhadap syariat Islam sebagai ajaran agama yang dianutnya.
Secara umum, kendala yang ada pada
kaum muslim dalam menerapkan syariat Islam adalah masalah kekurangpahaman atau
kebelumpahaman saja. Hal ini dapat dilihat dari ‘keberatan’ yang seringkali
diungkapkan.
Dalam hal konsepsi, diantara
‘keberatan’ itu adalah:
1.
Islam itu yang
penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini bukan hanya berbahaya tapi
juga bertentangan dengan realitas. Pertama,
tidak ada aturan yang diterapkan sekedar substansinya saja. Mengapa mereka
begitu getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi dan berupaya mempertahankan
formalitas sistem tersebut yang nota bene warisan kolonial? Padahal, jika
mereka konsisten dengan pendapatnya tadi semestinya cukup hanya substansi
demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi sekulerisme saja yang
diinginkannya?!. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, tidak diformalkannya syariat Islam hanya berarti memberikan
peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main
hakim sendiri.
2.
Penduduk yang hidup
di suatu negara bukan hanya muslim, tetapi juga non-muslim; tidak homogen tapi
heterogen. Pertama, dalih ini sebenarnya
mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Dalam
kenyataannya, hukum yang diterapkan bukan berarti harus di kalangan yang
homogen. Contoh, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen, tetapi aturan yang
diterapkannya kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui,
tapi hukum yang diterapkan juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina,
puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan
sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam
dengan alasan heterogenitas penduduknya. Tetapi, tidak pernah manyatakan
dilarang menerapkan sistem kapitalisme karena tidak semua penduduk berideologi
kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan
sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi
sosialisme-komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada homogen atau
heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk
mengatur penduduk (apapun agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan
dan kebahagiaan masyarakat. Dan, jawabannya: Islam! Kedua, tidak paham terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan
para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu bukan
hanya muslim, ada juga Yahudi dan Nasrani. Buktinya, lebih dari 10 abad syariat
Islam bertahan. Ketiga, tidak
menghayati bahwa syariat Islam itu untuk kebaikan bersama. Contoh, ketika riba
dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini bukan ditujukan hanya bagi
kepentingan kaum muslim, melainkan juga untuk penduduk non-muslim. Dan,
faktanya, akibat riba kini Indonesia dijerat hutang luar negeri. Yang rugi? Semua
penduduk, muslim dan non-muslim.
3.
Dalih lain yang
diajukan pihak yang menolak syariat Islam adalah adanya ragam pendapat tentang
sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat
‘genit’. Sebab, dalam sistem manapun sulit hanya ada satu pendapat saja.
Misalnya, banyak beragam pendapat tentang sistem republik, presidentil ataukah
parlementer. Bentuknya pun pro kontra, apakah kesatuan, federalisme, ataukah
kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun
berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J. J.
Roussau), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat
ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam
berbagai bidang, termasuk politik. Mengapa, adanya perbedaan pandangan tentang
beberapa hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak
ditegakkannya syariat Islam? Sementara untuk sistem selain Islam tidak
diungkapkan alasan serupa?
4.
Tuduhan lain yang kerap
ditujukan untuk menentang syariat Islam adalah stigmatisasi bahwa hukum Islam
itu kejam, diskriminasi, dan ‘primitif’. Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan
ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita pikirkan, misalnya, antara
masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena
diberlakukan hukum Islam dengan masyarakat yang permisif dan kacau; yang
didalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, aurat tidak
boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif; hukum ditentukan oleh
yang kuat (hukum rimba); maka bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat
jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan
harkat dan martabat manusia. Sedangkan yang kedua pada hakikatnya menjurus pada
masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang
tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (lihat TQS. Al A’râf [7]:179). Tapi,
anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan negara
sekuler-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern
(lebih tepat ‘sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya
untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional,
konservatif, bahkan ‘primitif’. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong
tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang
memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan?
Aturan mana yang lebih diskriminatif apakah hukum yang memberlakukan semua
orang sama ataukah hukum yang memenjarakan seorang pencuri sandal seharga Rp
4000 selama 4 bulan; sedangkan, para perampok BLBI sebesar Rp 164 milyar bebas
berkeliaran penuh percaya diri? Padahal, kalau tolok ukurnya pencurian sandal
tadi, seharusnya mereka dihukum 41.000.000 bulan atau 3.416.667 tahun?
5.
Alasan lain adalah
masyarakat tidak siap. Kita layak untuk bertanya, ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80%
hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum?
Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi muslim Indonesia dihapus oleh
PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu,
saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai
kesiapannya terlebih dahulu? Tidak! Mengapa, alasan masyarakat tidak siap itu
hanya ditujukan kepada Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah,
pihak yang tidak siap itu adalah hanya mereka yang kini memegang kekuasaan,
duduk di kursi empuk, dan banyak kejahatannya hingga takut kezhalimannya itu
terbongkar bahkan diadili?
Itulah sebagian dalih yang diungkapkan untuk menolak
syariat Islam. Namun, ternyata semuanya tidak sesuai dengan realitas yang ada.
Akhirnya, nampak betapa syariat Islam
merupakan pilihan syar’iy sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka
mengubah kezhaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia,
menyingkirkan kejahiliyahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam. Tanpa syariat
Islam, jangan harap keberkahan dari langit dan bumi dinikmati oleh umat
manusia. Alhamdulillâh.
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ
وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf [7] : 96).
tentang syariat Islam sangatlah ditabukan, kini syariat Islam mulai lagi
menjadi wacana. Hal ini sangat logis, di satu sisi sistem kapitalisme yang kini
diterapkan di dunia gagal memanusiakan manusia bahkan berhasil menciptakan
kehidupan manusia sebagai kehidupan hewani di hutan belantara. Pada sisi lain,
kesadaran umat untuk kembali berpegang teguh kepada ajaran Islam yang dianutnya
semakin tumbuh. Sekalipun hal ini cukup menggembirakan, namun bukan berarti
tanpa masalah. Salah satunya adalah perlu sosialisasi tentang makna syariat
Islam yang dimaksud.
Syariat (asy Syarîah)
secara bahasa berarti sumber air minum (mawrid
al mâ` li al istisqâ) atau jalan lurus (at
tharîq al mustaqîm). Sedangkan, menurut istilah syar’iy syariat itu
bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya
baik dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan sistem kehidupan
untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Syariat Islam merupakan
syariat Allah Dzat Maha Bijaksana bagi semua manusia yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya, dirinya
sendiri dan sesama manusia.
Wujud
Kesadaran
Semua kita sadar, Indonesia masih dalam krisis
multidimensional. Tentu, semua ini merupakan produk dari sistem hidup dan
kehidupan yang selama ini diterapkan. Yaitu, sistem kapitalisme dalam segala
bidang. Karenanya, untuk keluar dari krisis ini tidak dapat bila hanya ganti
orang dengan membiarkan sistem yang selama ini berlaku.
Persoalannya adalah sistem mana yang akan dipilih. Memilih
sistem kapitalisme sama saja dengan mempertahankan kerusakan dan krisis. Sebab,
bukan hanya di Indonesia, AS sebagai gembong kapitalisme mengalami hal serupa.
Dalam buku America Number One, Andrew
L. Saphiro memaparkan bahwa Amerika nomor satu dalam segala-galanya: dalam
sains dan teknologi, ekonomi, serta kriminal, hutang, pelanggaran HAM,
diskriminasi, kesenjangan, penyimpangan perilaku sosial, peredaran obat
terlarang dan obat bius. Sementara itu, pilihan Sosialisme-Komunisme tidak
rasional. Alasannya, sistem tersebut telah hancur sekalipun baru berkuasa 74
tahun. Bila demikian, alternatif terakhir adalah Islam. Jadi, tuntutan
ditegakkannya syariat Islam dilandasi oleh kesadaran terhadap krisis dan
kepekaan terhadap solusi terbaiknya. Pilihan ini ditopang oleh bukti sejarah
tentang kehandalam syariat Islam dalam memecahkan berbagai persoalan manusia
lebih dari 12 abad.
Syariat Islam datang dalam rangka memecahkan masalah bagi
kemaslahatan semua elemen masyarakat. Sekedar menyebut contoh, ketika Islam
menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariat, maka
sistem itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataupun non
muslim. Ketentuan larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan
dirham akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata (bukan semu seperti
dalam sistem ekonomi kapitalisme yang ditopang oleh kegiatan ekonomi ribawi dan
perjudian sebagaimana tampak dalam perdagangan saham dimana keduanya
menghasilkan buble economy yang
sangat rentan terhadap gejolak) dan stabil karena bertumpu pada kegiatan
ekonomi riil serta ditopang oleh mata uang yang juga benar-benar kuat dan tidak
mudah mendapat tekanan inflasi dan depresiasi. Ketika ekonomi secara umum
gonjang-ganjing sejak Indonesia mengalami krisis, lembaga keuangan syariat
menunjukkan ketegarannya. Atau ketentuan syariat Islam dalam banyak hadits
bahwa komoditas milik umum seperti minyak, hutan, gas alam, emas dan barang
mineral lain adalah milik umum yang karenanya harus dikelola oleh negara.
Hasilnya, diberikan kepada seluruh rakyat baik langsung maupun tidak langsung
melalui pendidikan dan kesehatan murah bahkan gratis akan membuat rakyat
merasakan manfaat dari kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Tidak seperti
saat ini. Berikutnya, pertumbuhan ekonomi yang nyata dan stabil akan
menghasilkan kesejahteraan bagi semua dan memupus jurang atau ketimpangan
sosial-ekonomi diantara anggota masyarakat. Kebaikan sistem ekonomi Islam ini
dirasakan oleh warga, siapapun dia, muslim ataupun non muslim.
Realitas menunjukkan bahwa sistem ekonomi sekarang ini
bukan hanya tidak mampu menyelesaikan masalah tapi malah dari waktu ke waktu
justru menciptakan masalah. Lebih dari lima puluh tahun memimpin Indonesia,
kapitalisme –terlepas dari para birokrat bermental korup- membuat lebih dari
100 juta rakyat Indonesia jatuh ke jurang kemiskinan, 47 juta menganggur,
jutaan anak terpaksa putus sekolah, hutang negara makin menumpuk, pajak kian
mencekik leher, beban hidup semakin berat. Semua akibat buruk ini dirasakan
oleh seluruh rakyat, muslim ataupun non muslim. Siapa yang suka dengan sistem
yang melahirkan keburukan-keburukan seperti ini?
Begitu juga, syariat Islam menetapkan adanya pendidikan
bermutu yang tegak berdasarkan paradigma Islam dimana pendidikan diorientasikan
pada pembentukan kepribadian, penguasaan tsaqofah
Islam dan penguasaan sains dan teknologi, diselenggarakan gratis atau biaya
murah, semua itu dinikmati oleh setiap warga negara, muslim dan non muslim (Al
Baghdady, 1996). Sebaliknya, sistem pendidikan sekuler yang amburadul, mahal
dan arah yang berganti-ganti saat ini menghasilkan sosok manusia yang diragukan
kualitasnya terlihat dari maraknya perkelahian pelajar, seks bebas dan
penyalahgunaan narkoba. Siapa yang merasa aman dalam dunia pendidikan seperti
ini?
Sementara, kemampuan sistem Islam menjaga keamanan, jiwa,
harta dan kehormatan melalui penerapan (‘uqûbat)
Islam dimana para pelaku pelacuran, perampokan termasuk koruptor, pezina,
peminum-minuman keras, pembunuh dihukum setimpal (Abdurrahman Maliky, 1990).
Hal ini akan membuat kriminalitas menurun dan segala penyakit sosial turun
drastis atau dapat ditekan serendah mungkin. Semua kebaikan ini akan dinikmati
oleh setiap warga. Pada sisi lain, hukum yang diterapkan sekarang terbukti
gagal melindungi warga masyarakat. Setiap hari lembaran media massa menyajikan
nyawa mudah melayang, harta dan kehormatan terancam, kriminalitas meningkat
dimana-mana, pornografi merajalela, pelacuran menjamur, hamil di luar nikah
seakan dipandang biasa, penyalahgunaan narkotika menjadi menu sehari-hari.
Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu polisi mengungkap pabrik ekstasi di
Tangerang seluas 2500 meter persegi. Siapa yang merasa nyaman dan mau tetap
mempertahankan sistem seperti ini?
Kapitalisme, di satu sisi memang menghasilkan kemajuan
material lebih dari yang bisa diberikan oleh sosialisme. Tapi, di sisi lain
sistem ini telah menciptakan kondisi yang dalam banyak hal justru bertentangan
dengan hakikat eksistensi manusia: kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik
dan proses dehumanisasi. Dengan prinsip survival
of the fittest dimana the might is
right membuat yang kuat makin menindas yang lemah, hukum rimba berlaku.
Syariat Islam menghentikan semua itu. Kemajuan material tidak boleh
dihalang-halangi sepanjang didapat melalui jalan yang benar dan dikembangkan
sesuai syariah. Hasilnya, kemajuan material bisa dicapai, kepuasaan spiritual
tak terabaikan dan keadilan terujudkan. Dengan syariat Islam, manusia akan
tumbuh menjadi makhluk yang mengabdi kepada Sang Khaliq semata, hidup sejahtera, bahagia lahir-batin, baik
individual maupun komunal. Pengabdian kepada Allah swt. diujudkan terus di
tengah gemerlap kemajuan material, karena semua tatanan berjalan sesuai syariat
Islam.
Selain itu, secara
syar’iy, setiap muslim dituntutuntuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Banyak sekali
nash-nash yang menjelaskan hal ini. Diantaranya adalah firman Allah Swt.:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ[
Apa saja yang diberikan oleh
Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas kalian,
tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.
(TQS al-Hasyr [59]: 7).
Kata mâ
yang terdapat pada ayat di atas berbentuk umum, artinya mencakup seluruh bentuk
perintah dan larangan Allah. Sementara itu, seluruh perintah dan larangan Allah
Swt. tersebut dikemukakan dalam bentuk yang bersifat pasti (jazm). Dengan demikian, apa saja yang
dibawa oleh Rasulullah saw.—berupa perintah Allah yang mencakup seluruh
al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus diterima (diterapkan) oleh kaum Muslim.
Sebaliknya, apa saja yang dilarang Rasulullah saw.—berupa larangan Allah yang
mencakup seluruh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.—harus ditinggalkan oleh kaum
Muslim. Dalam hal ini, pihak yang dibebani hukum adalah individu, jamaah, dan
negara (para penguasa), karena seruannya berbentuk umum, yakni ditujukan kepada
seluruh orang Mukmin.
Meskipun ayat ini menjelaskan
tentang masalah hatra fa’i Bani
Nadhir, tetapi yang paling penting (‘ibrah)
adalah bentuk umumnya ayat tersebut, sebagaimana kaidah ushul menyatakan:
‘Ibrah itu adalah atas keumuman
lafazh, bukan kekhususan sebab (turunnya ayat).
Begitu pula firman Allah Swt.
berikut:
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلاَلاً مُبِينًا[
Tidaklah patut bagi pria Mukmin
dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat. (TQS al- Ahzâb [33]:
36).
Berdasarkan alur berpikir
seperti tadi, nampak bahwa tuntutan formalisasi syariat Islam lahir dari
kesadaran akan kebobrokan akibat tatanan hidup selama ini dan wujud tanggung
jawab untuk menata kehidupan baru yang lebih baik dengan tegaknya syariat Islam
bagi semua menuju masyarakat modern yang beradab. Disamping merupakan kesadaran
akan kewajiban dari Allah Pencipta manusia untuk menegakkan hukum-hukum-Nya demi
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Pengertian Rahmatan Lil Âlamîn
Allah SWT berfirman:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[
“Dan tiadalah Kami utus
engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya
107).
Syaikh An Nawawi Al Jawi dalam
tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47 menafsiri ayat
itu sebagai berikut: Tidaklah Kami utus engkau wahai makhluk yang paling mulia
dengan berbagai peraturan (bisyarâi’)
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, melainkan dalam rangkan rahmat Kami
bagi seluruh alam dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan
kebingungan. Maka Allah SWT mengutus Sayyidina Muhammad saw. sehingga beliau
saw. menjelaskan jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum
syari’at Islam, membedakan yang halal dari yang haram. Dan setiap Nabi sebelum
beliau saw. manakala didustakan oleh kaumnya, maka Allah membinakan mereka
dengan berbagai siksa, namun bisa kaum Nabi Muhammad mendustakannya, Allah SWT
mengakhirkan adzab-Nya hingga datangnya maut dan Allah SWT mencabut
ketetapan-Nya membinasakan kaum pendusta Rasul. Inilah umumnya tafsiran para
mufasirin.
Jelaslah bahwa rahmat Allah SWT ini
bukanlah berkaitan dengan pribadi Muhammad saw. sebagai manusia, tapi dia
sebagai rasul yang diutus dengan membawa suatu syari’at yang memang paling
unggul dibandingkan aturan-aturan atau agama yang ada di dunia, sebagaimana
firman-Nya:
]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ
رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ
وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا[
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang hak, agar Dia menangkan agama itu atas semua
agama-agama lainnya. Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (TQS. Al Fath 28).
Dalam tafsir Shofwatut Tafasir Juz II/253, Al Ustadz Muhammad Ali As Shobuni
memberikan catatan: Allah SWT tidak berfirman wama arsalnaka illa rahmatan lilmukminin, tetapi ..lil ‘alamin, sebab Allah SWT menyayangi
seluruh makhluk-Nya dengan mengutus Muhammad saw. Kenapa demikian? Sebab, dia
saw. datang kepada mereka dengan membawa kebahagiaan yang besar, keselamatan
dari kesengsaraan tiada tara, dan mereka mendapatkan dari tangannya kebaikan
yang banyak baik dunia maupun akhirat, dia mengajarkan mereka setelah kebodohan
mereka, dan memmberikan petunjuk atas kesesatan mereka, dan itulah rahmat bagi
seluruh alam, bahkan orang yang menolak risalahnya sekalipun (kuffar), masih
dirahmati dengan kedatangannya lantaran Allah SWT mengakhirkan siksaan atas
mereka dan mereka tidak disapu bersih oleh adzab Allah sebagaimana kaum terdahu
seperti ditimpa gempa, gitenggelamkan dan lain-lain.
Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam
realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah saw. mengimplementasikan seluruh
risalah yang dia bawa sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu bagaimana jika Rasul
telah wafat. Rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum muslimin
mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa, yakni risalah syari’at Islam
dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada Al Qur’an dan As
Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut (beserta
sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa ijma’ sahabat dan qiyas syar’iyyah) dan telah hilang
pemahamannya terhadap syari’at Islam, maka tidak mungkn umat ini menjadi rahmat
bagi seluruh alam, Justru dunia rugi lantaran kelemahan pemahaman kaum muslimin
terhadap syariat Islam. Oleh kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi syari at
Islam dan upaya menghambat serta menentang diterapkannya syariat Islam pada
hakikatnya adalah menutup diri dan mengahalangi rahmat bagi seluruh alam.
Goal
Setting Penerapan Syari’at Islam (Maqâshid asy-Syar’iy)
Untuk
melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syari’at Islam sebagai rahmat bagi
seluruh alam, perlu kita kaji tujuan luhur penerpaan syari’at Islam dalam
memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan
diandalkan untuk memelihara aspek-aspek penting Paling tidak ada 8 aspek dalam
kehidupan luhur masyarakat manusia yang dipelihara dalam penerapan syari’at
Islam, yaitu (lihat Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61):
1.
Memelihara keturunan,
yakni dengan
mensyariatkan nikah dan mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai
sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam.
Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat:
TQS an-Nisa’: 1; TQS ar-Rum: 21; TQS an-Nur: 2).
Cobalah bandingkan dengan sistem demokrasi yang
memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan
seksual (freesex), homoseks,
lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari HAM. Semua
itu berujung pada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan
kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS.
Kejadian-kejadian demikian bukan hanya merugikan kaum muslim melainkan seluruh
kemanusiaan. Sebaliknya, dengan Islam hal tersebut ditiadakan dalam kehidupan.
Keuntungan pun akan dirasakan oleh setiap manusia baik muslim atau non muslim.
2.
Memelihara akal, yakni dengan mencegah dan
melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir) serta menetapkan sanksi hukum
terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut
ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad,
dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji
eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9;
TQS al- Mujadilah: 11 ). Pemeliharaan akal demikian dilakukan bagi setiap orang
tanpa memandang agamanya apa. Bila demikian, kemaslahatannya pun akan dirasakan
oleh semua manusia siapapun dia. Secara kolektif hal ini sangat meminimumkan social cost yang harus dibayar oleh umat
manusia.
Bandingkan
dengan cara-cara penanganan pemerintahan kapitalis yang selalu bersikap
kompromistis (pemecahan jalan tengah) yang telah menghabiskan bermilyar dolar
tanpa hasil yang nyata. Mereka melarang konsumsi alkohol tetapi tidak menutup
pabriknya. Uang dan kebebasan memiliki harta merupakan dorongan kuat bagi para
bandar ekstasi dan mafia obat bius untuk tetap melakukan bisnis barang yang
sangat merusak generasi anak manusia. Ditemukannya pabrik ekstasi terbesar baru-baru
ini di Tangerang tidak jelas bagaimana ujungnya.
3.
Memelihara
kehormatan, yakni
dengan melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan
mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat: TQS
an-Nur: 4; TQS al-Hujurat: 10-12). Selain itu, Islam mendorong manusia untuk
menolong orang yang terkena musibah dan memuliakan tamu. Aturan demikian bukan
hanya untuk sesama kaum muslim, melainkan juga untuk setiap manusia.
Bandingkan
dengan kebebasan berbicara dan berperilaku yang diberikan demokrasi
kapitalistik. Kebebasan semacam ini membuat manusia tidak menghormati
sesamanya, anak tidak menghormati orang tuanya, istri tidak menghormati
suaminya, bahkan manusia tidak menghormati tuhannya. Tidak sedikit orang-orang
Amerika yang membuat parodi dan film yang melecehkan Yesus Kristus maupun tuhan
mereka yang lain. Pastur dan gereja adalah bahan olokan dan ejekan yang biasa.
4.
Memelihara jiwa
manusia, yakni
dengan menetapkan sanksi hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak,
dan menjadikan hikmah dari hukuman itu (qishash)
adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat: TQS al-Baqarah: 179). Kalaupun tidak
dikenai hukum Qishash, yang berlaku adalah hukum diat. Berdasarakan diat
ini keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib diberikan pihak keluarga
pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100 ekor onta atau 200 ekor
sapi (lihat Abdurrahman Al Maliki,
Nizham Uqubat,Dâr al-Ummah, hlm. 87 - 121). Dengan syariat Islam jiwa
setiap orang terjaga, mulai dari janin hingga dewasa. Dengan syariat Islam
setiap warga negara Islam apapun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin
keselamatan jiwanya.
Bandingkan
dengan harga murah nyawa manusia di berbagai penjara di sejumlah negara yang
menganut sistem demokrasi dan sistem hukum pidana Barat. Bandingkan dengan
murahnya nyawa dalam pandangan para pemilik pabrik senjata dan para pedagang
senjata internasional yang senantiasa membuat berbagai rekayasa untuk menyulut
peperangan di berbagai belahan dunia. Demi dolar, mereka tidak memperdulikan
harga nyawa manusia. Bahkan, mereka lebih menyayangi nyawa ikan paus daripada
nyawa anak Adam. Lihat bagaimana mereka begitu sungguh-sungguh melindungi ikan
paus , dengan alasan untuk melestarikannya. Sebaliknya, bagaimana mereka, dengan
alasan teroris, membunuh ribuan nyawa pejuang-pejuang Islam di Palestina.
Perang Dunia I dan II, Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Bosnia, Perang
Kosovo, Perang Albania, embargo terhadap Irak, pembantaian muslim Palestina,
Penghancuran Afghanistan, Chechnya dan Dagestan adalah secuil bukti nyata tak
terbantahkan.
5.
Memelihara harta, yakni dengan menetapkan sanksi
hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan
mencegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. (Lihat: TQS al-Maidah:
38). Demikian pula peraturan pengampunan (hijr),
yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan
wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat: TQS an-Nisa 5; TQS
al-Baqarah: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni
belanja pada perkara haram (Lihat: TQS al-Isra’: 29; TQS al-An’am: 141; TQS
al-Isra’: 26-27). Ketetapan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga
negaranya, tanpa memandang agamanya. Karena itu, siapapun orang yang hidup dalam
naungan syariat Islam terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk
menjalankan usaha.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan
kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari HAM yang membuat orang menghalalkan
segala cara demi uang. Penipuan, penyuapan, sabotase, perampokan, pencurian,
penjebolan bank melalui internet, apa yang terkenal dengan white colar crime hingga perebutan harta di pengadilan adalah hal
biasa. Hukuman penjara bukanlah penyelesaian. Bahkan, tidak jarang, penjara
adalah “ajang training dan penambahan
wawasan” bagi para pelaku tindak kriminal. Tindak kriminal dari yang paling
rendah hingga yang paling tinggi, dari yang terang-terangan hingga yang paling
tersembunyi, dari yang kasar hingga yang paling halus, adalah dalam rangka
memenuhi kebiasaan nafsu hidup mewah bangsa-bangsa kapitalis penganut
demokrasi. Mereka terbiasa membelanjakan hartanya sekadar untuk
bersenang-senang (just for fun ) , hura-hura dan kegiatan-kegiatan yang tidak
berguna: pesta, minum, main perempuan, hingga penggunaan narkoba. (Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan paparan numerik tentang berbagai
bentuk kehidupan sia-sia bangsa Amerika gembong demokrasi, silakan baca buku
Andrew L. Saphiro, Amerika Nomor Satu).
Realitas demikian merugikan semua orang, baik muslim ataupun bukan.
6.
Memelihara agama, yakni dengan melarang murtad
serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat
kembali kepangkuan Islam (Lihat TQS al-Baqarah:
217 dan Hadis Nabi). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk
Islam (Lihat: TQS al-Baqarah: 256). Melalui hukum syariat seperti ini kaum
muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agananya. Demikian pula orang
non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara
menjaminnya, masyarakat Islam memberikannya hak.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang memberikan
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang—apalagi disertai dengan paradigma
bahwa dalam beragama jangan gunakan akal—telah membuat tidak sedikit anak bangsa
mereka terperosok ke dalam agama yang tidak masuk akal dan sekte-sekte sesat
yang, antara lain, menyajikan bunuh diri massal sebagai solusi dalam mengatasi
problema hidup mereka. Padahal, Allah Swt. sebagai Pencipta manusia, alam
semesta, dan kehidupan telah menganugerahi naluri fitri beragama (Lihat: TQS
ar-Rum: 30) dan akal (Lihat: TQS al-A’raf: 179; TQS an-Nahl: 78) agar manusia
dapat berjalan menempuh kehidupannya di jalan agamanya yang lurus.
7.
Memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman
berat sekali bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan
memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman
mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat: TQS al-Maidah: 33). Hukum
syariat demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau
non-muslim tanpa diskriminatif. Bahkan, siapapun yang mendalami syariat Islam
akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok kolektif
warga yang dijamin oleh Daulah Islamiyah.
Bandingkan
dengan sistem hukum pada negara-negara demokrasi dan penganut sistem hukum
Barat yang tidak tegas terhadap para pengganggu keamanan masyarakat. Akibatnya,
para residivis bisa menjadi raja preman di luar penjara. Bahkan, sudah sangat
masyhur bahwa mafia dan kelompok gangster justru memiliki hubungan
“persahabatan” dengan polisi sehingga keberadaan perampok, penjahat, jalanan,
dan berbagai mafia kejahatan tetap eksis di seluruh dunia.
8.
Memelihara negara, yakni dengan menjaga
kesatuannya dan melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata
melawan negara (Lihat: TQS al-Maidah: 33 dan Hadis Nabi). Juga hadits Nabi
Muhammad saw: “Siapa yang datang kepada
kalian dimana urusan pemerintah kalian di tangan seorang amir, lalu dia
berusaha memecah belah jama’ah kalian, maka potonglah leher orang itu”
(lihat An Nabhani, Nizhomul Hukmi
fil Islam). Paradigma dasarnya Islam hendak menyatukan seluruh umat
manusia, bukan memecah-belahnya.
Bandingkan
dengan sistem demokrasi yang memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri dari
suatu bangsa atau daerah. Hal itu sering dipakai sebagai alat untuk melakukan
gerakan sparatis. Apa yang terjadi di Indonesia dan Irak adalah contoh nyata.
Barat mengopinikan kepada dunia bahwa masing-masing bangsa berhak untuk hidup
merdeka. Mereka ikut campur dengan motif-motif politik ataupun ekonomi untuk
mengambil untung dari konflik antara suatu daerah atau etnis dengan
pemerintahan pusat tersebut. Apalagi Konggres AS siap meratifikasi UU
Perlindungan Minoritas yang memberikan kewenangan kepada Angkatan Bersenjata AS
untuk mengintervensi negara mana pun yang dianggap melakukan penindasan kepada
minoritas. Kini dunia Islam dipecahbelah, dikerat-kerat menjadi lebih dari 50
negara.
Nampaklah, setiap hukum Islam bila diterapkan akan menghasilkan goal setting seperti itu. Kesemuanya itu
akan dirasakan dan menjadi hak setiap orang yang tunduk kepada aturan syariat
Islam tersebut, baik muslim ataupun bukan. Dengan demikian, melalui penerapan
syariat Islam secara total kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia.
Islam benar-benar merupakan rahmatan lil
‘âlamîn.
Beberapa
Contoh
Banyak sekali contoh hukum syariat yang secara kasat mata
menunjukkan keberpihakkannya pada siapapun (muslim atau non-muslim) yang
mendukung syariat Islam. Diantaranya adalah:
Pertama, Kebijakan ekonomi umum. Islam memandang
bahwa masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di masyarakat dan
pemenuhan kebutuhan di masyarakat bukanlah pepenuhan total kebutuhan, tapi
pemenuhan per individual secara menyeluruh. Dari sini kebijakan ekonomi yang
dibuat adalah, pertama: negara wajib
memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah),
yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individual. Tidak boleh
ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki
maupun disewa). Nabi bersabda: “Penduduk
mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan, Allah akan melepas
jaminannya kepada mereka semua”. Dalam hadits lain beliau saw. bersabda: Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur
nyenyak di malam hari sementara tetangganya kelaparan, padahal dia tahu”. Dalam
hal ini negara memberikan peluang kerja seluas-luasnya, dan menyantuni mereka
yang lemah dan papa. Kedua, negara
memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu
dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini negara
memberi fasilitas seluas-luasnya, termasuk bebas beaya administrasi untuk usaha
masyarakat mengembangkan modalnya, tanpa membedakan antara Marwan dengan
Martin, tanpa membedakan antara Jamilah dengan Jenifer. Semua diberi kemudahan.
Dan pemerintah tidak berbisnis, tapi mengayomi semua. Ketiga, negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat
agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang
khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Dan apabila terjadi ketidak
seimbangan ekonomi antara warga negara, dikarenakan kemampuan yang
berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan
cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah dan papa (fakir miskin) agar
mampu bangkit menjadi mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT berfirman:
“Agar jangan harta itu hanya berputar di
kalangan orang kaya di antara kalian” (TQS. Al hasyr 7).
Kedua, Jaminan Kesejahteraan umum, pendidikan,
kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga negara Islam. Islam
memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa
membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga
menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum
diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk
kepada perintah dan larangan Allah SWT, memiliki kecerdasan dan kemampuan
berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami, serta
memiliki kemampuan ketrampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat.
Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas
fasilitas pendidikan, baik itu sekolah universitaa, masjid, perpustakaan umum,
bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusa tawanan perang Badar
dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin di Madinah.
Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau
saw. dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat
secara gratis (lihat Abdurrahman Al Baghdadi, Sistem Pendidikan di masa Khilafah, juga Abdul Aziz Al Badri, Hidup Sejahtera di bawah naungan Islam).
Ketiga, Politik keuangan. Islam menetapkan emas
(dinar) dan perak (dirham) dijadikan sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam
dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti diat misalnya,
1000 dinar. Dan fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar itu tidak terkena
inflasi, tidak lapuk oleh zaman, dan tak akan terguncang nilainya oleh
perubahan sosial politik. Andai Indonesia menggunakan emas dan perak sebagai
mata uangnya, tentulah tidak akan terjadi krisis moneter seperti yang terjadi
pada tahun 1997.
Islam
juga mengajarkan bahwa uang sebagai alat tukar itu tidak boleh diam, harus
produktif. Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dalam
firman-Nya:
]وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ@يَوْمَ يُحْمَى
عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ
وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ
تَكْنِزُونَ[
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, nmaka beritahukanlah kepada mereka bahwa
mereka akan mendapatkan sisksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak
itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan-Nya dahi mereka, lambung, dan
punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka, :Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu
simpan itu”. (TQS. At Taubah 34-35).
Diriwayatkan
bahwa di masa Rasul ada seorang ahli
shuffah (orang yang tinggal di dalam satu ruangan masjid Nabawi yang telah
berikrar hanya berdakwah dan hidup mereka ditanggung kaum muslimin, artinya
tidak perlu uang lagi) meninggal lalu di tempat tidurnya terdapat uang logam
satu dinar/dirham, lalu rasul menyebut potongan uang logam itu dengan sebutan: kayyah, attinya : sepotong api neraka!
Juga Islam menetapkan bahwa uang sebagai alat tukar tidak
boleh diputar dalam bisnis non riil, seperti dipinjamkan untuk mendapatkan
ribanya. Jelas Allah SWT mensifati bisnis riba ini sebagai yang bisnis yang
tidak bakal stabil. Allah mengumpamakan orang-orang yang makan riba bagaikan
orang yang sempoyongan kemasukan syetan. Dia berfirman:
]الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan demikian
disebabkan mereka mengatakan sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamlkan riba…” (TQS. aL Baqoroh
275).
Bila hal ini diterapkan maka ekonomi akan stabil.
Dampaknya, bukan hanya dirasakan oleh kaum muslim melainkan juga oleh semua
orang.
Begitu pula seluruh hukum lainnya. Berdasarkan hal ini maka
mereka yang memahami realitas syariat Islam akan rindu untuk dihukumi
dengannya. Betapa tidak, tanpa syariat Islam kehidupan menunjukkan berada dalam
kesengsaraan dan kejahiliyahan.
Minoritas non-Muslim Sejahtera dibawah Daulah Islamiyah
Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak
syariat Islam adalah adanya non-muslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam
diterapkan semua orang harus beralih agama, hak beragama non-muslim diabaikan.
Padahal, siapapun yang memahami sejarah Nabi akan menolak pandangan seperti tadi.
Negara Islam yang dimulai sejak Rasulullah saw. mendirikan
negara Islam di kota Yatsrib (Madînah
ar-Rasul atau al-Madînah
al-Munawwaroh) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga
negara, baik muslim maupun non-muslim. Orang-orang non-muslim yang menjadi
warga negara di dalam sistem negara Islam dikenal sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk non-muslim yang menjadi warga negara
yang tunduk kepada sistem hukum Islam. (Lihat: TQS at-Taubah: 29).
Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas
dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan
bahwa sekembali beliau dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju
besi (dzira’), baju perlengkapan
perang, dan beliau malah menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi
ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku.
Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain.
Bagaimana bisa ada di tokomu?”
Orang
Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di tokonya.
Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta
merta mengambil paksa harta milknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu
menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili
perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau
mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Akan tetapi, Qadhi
Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian
Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?”
Meskipun
demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali pun menerima
kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat
bicara, “Duhai Khalifah Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang
baju besi milikmu. Akan tetapi, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan
aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat: Imam as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’).
Sungguh,
keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum
Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar!
Di samping persamaan di dalam hukum, Khilafah tidak
diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang non muslim. Diriwayatkan bahwa
ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah propinsi Mesir di masa
Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan
bapaknya (Amr bin A’sh r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa
membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia
mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana
Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti
rugi (diyat) atas kezaliman itu. Anak
Qibthi itu memilih Qishash. Ia pun
mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum Qishash itu, Khalifah Umar
mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak
Gubernur, oleh karena itu, cambuk saja Gubernur itu sekalian!”
Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan
telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam
hukum Qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah
Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya
dalam keadaan merdeka?” (Lihat: Manaqib
Umar).
Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada
kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan
keadilan. Oleh karena itu, bohong besar apa yang dikatakan oleh orang
anti-Islam yang memprovokasi bahwa kalau berdiri negara Islam, maka orang-orang
Nasrani akan mendapat bahaya atau diskrimansi.
Provokasi murahan demikian bertentangan sekali
dengan isi surat Nabi Muhammad saw. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk
Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang
dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.” (Lihat:
Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah Islamiyyah, juz 2/237).
Begitu pula tindakan Nabi Muhammad saw. yang menerapkan hukum rajam kepada dua
orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum
rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (Lihat: Abdurrahman
al-Maliki, Nizhom al Uqubat).
Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh
Rasul Saw. beserta para sahabatnya. Karenanya, jelas bahwa sejak awal Islam
hidup dan berhasil memimpin masyarakat di tengah pluralitas (bukan pluralisme)
agama. Manakah yang hendak dipilih menerapkan syariat Islam untuk menyelesaikan
berbagai problematika kemanusiaan dewasa ini ataukah menolaknya hanya sekedar
kekhawatiran –yang senyatanya berhenti pada kekhawatiran semata- atas
beragamnya masyarakat dengan tetap membiarkan umat manusia meluncur menuju
jurang kehancuran ke arah kebinatangan? Adalah tidak layak umat Islam menolak
penerapan syariat Islam dengan alasan adanya pluralitas masyarakat, padahal
Rosullulah telah menerapkan syariat Islam justru pada masyarakat yang plural
(beragam)
Menepis
Keberatan
Hambatan‑hambatan dalam menerapkan
Syariat Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pertama, kebencian orang‑orang
kafir, fasik, dan zhalim akan Syariat Islam, dan kedua, kesalahan kaum Muslimin
dalam memahami Syariat Islam. Akibatnya, muncullah ‘keberatan’ yang sebenarnya
lebih mencerminkan ketakberhasilannya dalam mengapresiasi ajaran Islam.
Hambatan dari orang-orang kafir, jelas bukan dalam kendali kaum muslim.
Karenanya, yang lebih penting adalah bagaimana menata sikap kaum muslim yang
masih miring terhadap syariat Islam sebagai ajaran agama yang dianutnya.
Secara umum, kendala yang ada pada
kaum muslim dalam menerapkan syariat Islam adalah masalah kekurangpahaman atau
kebelumpahaman saja. Hal ini dapat dilihat dari ‘keberatan’ yang seringkali
diungkapkan.
Dalam hal konsepsi, diantara
‘keberatan’ itu adalah:
1.
Islam itu yang
penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini bukan hanya berbahaya tapi
juga bertentangan dengan realitas. Pertama,
tidak ada aturan yang diterapkan sekedar substansinya saja. Mengapa mereka
begitu getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi dan berupaya mempertahankan
formalitas sistem tersebut yang nota bene warisan kolonial? Padahal, jika
mereka konsisten dengan pendapatnya tadi semestinya cukup hanya substansi
demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi sekulerisme saja yang
diinginkannya?!. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, tidak diformalkannya syariat Islam hanya berarti memberikan
peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main
hakim sendiri.
2.
Penduduk yang hidup
di suatu negara bukan hanya muslim, tetapi juga non-muslim; tidak homogen tapi
heterogen. Pertama, dalih ini sebenarnya
mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Dalam
kenyataannya, hukum yang diterapkan bukan berarti harus di kalangan yang
homogen. Contoh, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen, tetapi aturan yang
diterapkannya kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui,
tapi hukum yang diterapkan juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina,
puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan
sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam
dengan alasan heterogenitas penduduknya. Tetapi, tidak pernah manyatakan
dilarang menerapkan sistem kapitalisme karena tidak semua penduduk berideologi
kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan
sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi
sosialisme-komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada homogen atau
heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk
mengatur penduduk (apapun agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan
dan kebahagiaan masyarakat. Dan, jawabannya: Islam! Kedua, tidak paham terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan
para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu bukan
hanya muslim, ada juga Yahudi dan Nasrani. Buktinya, lebih dari 10 abad syariat
Islam bertahan. Ketiga, tidak
menghayati bahwa syariat Islam itu untuk kebaikan bersama. Contoh, ketika riba
dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini bukan ditujukan hanya bagi
kepentingan kaum muslim, melainkan juga untuk penduduk non-muslim. Dan,
faktanya, akibat riba kini Indonesia dijerat hutang luar negeri. Yang rugi? Semua
penduduk, muslim dan non-muslim.
3.
Dalih lain yang
diajukan pihak yang menolak syariat Islam adalah adanya ragam pendapat tentang
sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat
‘genit’. Sebab, dalam sistem manapun sulit hanya ada satu pendapat saja.
Misalnya, banyak beragam pendapat tentang sistem republik, presidentil ataukah
parlementer. Bentuknya pun pro kontra, apakah kesatuan, federalisme, ataukah
kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun
berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J. J.
Roussau), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat
ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam
berbagai bidang, termasuk politik. Mengapa, adanya perbedaan pandangan tentang
beberapa hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak
ditegakkannya syariat Islam? Sementara untuk sistem selain Islam tidak
diungkapkan alasan serupa?
4.
Tuduhan lain yang kerap
ditujukan untuk menentang syariat Islam adalah stigmatisasi bahwa hukum Islam
itu kejam, diskriminasi, dan ‘primitif’. Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan
ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita pikirkan, misalnya, antara
masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena
diberlakukan hukum Islam dengan masyarakat yang permisif dan kacau; yang
didalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, aurat tidak
boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif; hukum ditentukan oleh
yang kuat (hukum rimba); maka bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat
jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan
harkat dan martabat manusia. Sedangkan yang kedua pada hakikatnya menjurus pada
masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang
tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (lihat TQS. Al A’râf [7]:179). Tapi,
anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan negara
sekuler-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern
(lebih tepat ‘sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya
untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional,
konservatif, bahkan ‘primitif’. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong
tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang
memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan?
Aturan mana yang lebih diskriminatif apakah hukum yang memberlakukan semua
orang sama ataukah hukum yang memenjarakan seorang pencuri sandal seharga Rp
4000 selama 4 bulan; sedangkan, para perampok BLBI sebesar Rp 164 milyar bebas
berkeliaran penuh percaya diri? Padahal, kalau tolok ukurnya pencurian sandal
tadi, seharusnya mereka dihukum 41.000.000 bulan atau 3.416.667 tahun?
5.
Alasan lain adalah
masyarakat tidak siap. Kita layak untuk bertanya, ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80%
hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum?
Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi muslim Indonesia dihapus oleh
PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu,
saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai
kesiapannya terlebih dahulu? Tidak! Mengapa, alasan masyarakat tidak siap itu
hanya ditujukan kepada Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah,
pihak yang tidak siap itu adalah hanya mereka yang kini memegang kekuasaan,
duduk di kursi empuk, dan banyak kejahatannya hingga takut kezhalimannya itu
terbongkar bahkan diadili?
Itulah sebagian dalih yang diungkapkan untuk menolak
syariat Islam. Namun, ternyata semuanya tidak sesuai dengan realitas yang ada.
Akhirnya, nampak betapa syariat Islam
merupakan pilihan syar’iy sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka
mengubah kezhaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia,
menyingkirkan kejahiliyahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam. Tanpa syariat
Islam, jangan harap keberkahan dari langit dan bumi dinikmati oleh umat
manusia. Alhamdulillâh.
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ
وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf [7] : 96).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» formalisasi syariat islam
» islam subtantif adalah tegaknya syariat islam
» lagu islami untuk teman teman islam juga untuk semua umat islam.
» negara berasaskan syariat islam
» Syariat Islam dan Mesir
» islam subtantif adalah tegaknya syariat islam
» lagu islami untuk teman teman islam juga untuk semua umat islam.
» negara berasaskan syariat islam
» Syariat Islam dan Mesir
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik