Mengenang Sjech Zakaria al-Anshari Labai Sati Malalo (1908-1973): Ahli Ushul dan Mantiq, Pemuka Tarikat Naqsyabandiyah di tepian Singkarak
Halaman 1 dari 1 • Share
Mengenang Sjech Zakaria al-Anshari Labai Sati Malalo (1908-1973): Ahli Ushul dan Mantiq, Pemuka Tarikat Naqsyabandiyah di tepian Singkarak
Bila kita berjalan-jalan di tepian Danau Singkarak, disamping kita disuguhi rumah-rumah gadang yang masih asli dan pemandangan alam yang permai, kita akan menemui satu komplek pendidikan Islam yang terbilang tua. Lembaga ini dimasa kejayaannya mempunyai pengaruh yang luas dan nama yang harum dikalangan masyarakat Minangkabau, yang menjadi salah satu tempat pengkaderan yang menghasilkan banyak ulama dan pejuang agama di berbagai daerah ranah Andalas ini. Lembaga pendidikan itu ialah “Madrasah Tarbiyah Islamiyah” (saat ini sebutan “Madrasah” diganti dengan “Pondok Pesantren” sesuai tuntutan Departemen Agama, padahal sebelumnya nama “Pondok Pesantren” tidak dikenal di Minangkabau, baru beberapa dasawarsa terakhir pemerintah memujuk-mujuk Madrasah-madrasah kita buat jadi “Pondok Pesantren” yang lebih berciri Jawa itu), yang terdapat di Padang Lawas, Malalo.
Pendidikan Islam tradisional yang telah berusia hampir seabad ini telah memainkan peran pentingnya dalam transmisi keilmuan Islam, dan mempunyai nama besar di kalangan ulama-ulama dan masyarakat Minangkabau. Di masa keemasannya, bukan hanya “urang-urang siak” (sebutan santri di Minangkabau) dari berbagai wilayah Minangkabau yang menuntut ilmu di lembaga ini, bahkan ada yang dari negeri yang jauh-jauh, seumpama Aceh. Selain itu tercatat tokoh-tokoh yang lahir dari MTI ini, yang sebahagian besarnya menjadi pejuang agama yang taguh dan pelanjut tradisi pendidikan Islam, penyambung estafet keulamaan di kemudian hari. Siapa tokoh dibalik kebesaran nama “Malalo” sebagai kota “Urang siak” tersebut? Yang telah menjadi pengerak utama Madrasah ini dan mata air ilmu di lembaga ini? Dialah ulama besar yang berenang di laut ilmu, yaitu Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, “Alim Allamah”, salah seorang dari pendekar Naqsyabandiyah di Darek.
Syekh Zakaria, dilahirkan di Padang Lawas Malalo, 1908. Nama kecil beliau ialah “Buyuang”, masyarakat luas mengenalnya dengan panggilan “Buyuang Malalo” saja. Kehidupan masa kecilnya, seperti layaknya anak-anak seusianya, mengaji ke surau di kampung halaman menjadi langkah awal sebelum menuntut ilmu di tempat yang jauh-jauh. Pada tahun 1916 sampai 1918, oleh orang tuanya diserahkan bersekolah pada Sekolah Rakyat (SR) di Pasar Malalo. Setahun setelahnya beliau melanjutkan menuntut ilmu khususnya dalam ilmu Agama di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho yang begitu terkenal seantero Minangkabau, kehadapan ulama yang sangat Alim Syekh Muhammad Jamil yang masyhur dengan gelar Angku Jaho atau Inyiak Jaho. Lebih kurang 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Jaho, mengaji seluk beluk agama sedalam-dalamnya, apakah Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma’ani, Badi’, Mantiq, Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadist, Tasawuf, Ushul dan lain-lainnya. Tepat pada tahun 1926 beliau memperoleh Ijazah dari Madrasah yang masyhur ini.
Khusus dalam ilmu Tarikat, yaitu Tarikat yang tinggi Tarikat Naqsyabandiyah, beliau mengambil daripada Maulana Syekh Ja’far Pulau Gadang Kampar. Berdasarkan sebuah catatan yang disimpan oleh anak cucunya, pertalian silsilah Syekh Zakaria dengan Maulana Syekh Khalid Kurdi sebagai berikut: Syekh Zakaria menerima dari Syekh Ja’far Pulau Gadang, beliau menerima dari Syekh Abdurrahman Tanjuang Alai, beliau menerima dari Syekh Mahmud Alin ad-Dili (Deli?), beliau menerima dari Syekh Abdurrahman ad-Dili (Deli?), beliau menerima dari Maulana Syekh Khalid Kurdi an-Naqsyabandi, selanjutnya bertali-tali hingga kepada Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut keterangan Syekh Idrus Batu Basurek Kampar, beliau Syekh Zakaria juga mengambil dari Guru dari sekalian ulama Syekh Abdul Ghani Batu Basurek Kampar. Ketika Tuanku Laskar ke Batu Basurek, Syekh Idrus mengisyaratkan tempat dimana Syekh Zakaria Labai Sati mendapat “Irsyad” di ruangan Suluk Batu Basurek tersebut.
Setelah lama menuntut ilmu, telah pula memperoleh “Ijazah”, pada tahun 1930 Syekh Zakaria mendirikan Madrasah di Padang Lawas Malalo. Madrasah ini diberi nama sebegaimana nama Madrasah gurunya di Jaho, Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Madrasah ini merujuk kepada organisasi ulama-ulama Minangkabau yang teguh kepada i’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab kepada Mazhab Imam besar Imam Syafi’i dan mempusakai Tasawuf dengan mengajarkan kearifan Tarikat-tarikat ahli Sufi yang Mu’tabarah, yaitunya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (waktu itu disingkat dengan PERTI). Persatuan ini kala itu sangat besar pengaruhnya di Sumatera Tengah dan menaungi sebahagian besar ulama-ulama tua, madrasah-madrasah dan surau-surau yang tersebar luas saat itu.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Padang Lawas Malalo menjadi sangat tenar, dengan sosok ulama yang memimpinnya, dan ilmu agama yang sungguh-sungguh diajarkan lewat kitab kuning yang lautan ilmu itu. Banyak “urang siak” (istilah untuk santri) berdatangan dari berbagai penjuru Minangkabau untuk menuntut ilmu, bahkan dari rantau yang jauh, seperti dari Aceh, Riau, Jambi dan Maluku.
Adalah Syekh Zakaria Labai Sati sangat dekat hubungan beliau dengan ulama besar Aceh yang sangat Alim Syekh Muda Wali al-Khalidi tersebut, yang juga keturunan dari ulama Minangkabau, Syekh Pelumat asal Batusangkar. Hubungan ini begitu erat, sampai-sampai beliau berdua saling mengaku menjadi murid. Dinama Syekh Zakaria mengaku menjadi murid Syekh Muda Wali, Syekh Muda Wali pun mengaku murid Syekh Zakaria. Begitulah kerendahan hati dari kedua ulama yang Alim semasa dulu. Konon kabarnya yang memberi nama “Zakaria” ialah Syekh Muda Wali (yang masyhur di Minangkabau dengan Angku Aceh) ini. Adapun kisahnya ialah ketika Syekh Muda Wali membuka pengajian di Lubuk Alung (Padang). Kita ketahui bahwa Syekh Muda Wali setelah belajar bertahun-tahun di berbagai Dayah (istilah untuk Pesantren di Aceh) di Aceh, beliau oleh salah seorang tokoh Modernism disuruh belajar pada Normal Islam yang juga cenderung Modern di Padang. Sesampainya di Padang, dan memasuki Normal Islam, rupa-rupanya Syekh Muda Wali tidak berselera untuk sekolah di sekolah yang digembar-gemborkan ini. Sebabnya Normal Islam hanya kebanyakan mengajarkan ilmu umum, ilmu agama hanya diberikan sangat sedikit, sedangkan ilmu Syekh Muda Wali sudah melebihi apa yang diajarkan itu. Syekh Muda Wali lalu keluar dari Normal Islam setelah 3 bulan bertahan. Beliau Syekh Muda Wali kemudian tinggal bersama ulama besar Minangkabau di Padang, yaitu Syekh Khatib Ali al-Fadani (pengarang “Burhanul Haq” dan “Soeloeah Melajoe”) yang dikenal gigih memperjuangkan Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i. Perlu kita ketahui bahwa Syekh Muda Wali sudah begitu Alim, hafizh segala “matan” kitab, cakap mensyarah, hingga membuatnya seketika terkenal di Minangkabau. Karena kealimannya itulah banyak ulama Minang terpikat, sampai menjadikannya menantu, ada yang mengajukan syarat untuk berdebat masalah kitab “Alfiyah” (kitab Nahwu yang tertinggi dan terbilang rumit) sebelum mengambil mantu, namun itu semua dapat beliau penuhi.
Syekh Muda Wali kemudian membuka pengajian di Lubuk Alung. Cukup ramai. Disuatu waktu datangnya seorang yang serba putih, berjubah putih dan bertutup kepala putih, duduk paling belakang. Adapun pengajian hari itu seputar ilmu Ushul Fiqih. Setelah usai mensyarah, lelaki berjubah putih itu mengajukan pertanyaan tentang Ushul. Syekh Muda Wali dapat menjawabnya setelah merujuk “Waraqat”. Pada hari berikutnya, pada pengajian yang sama, lelaki serba putih itu mengajukan pertanyaan tentang juga tentang Ushul. Syekh Muda Wali-pun dapat menjawabnya, tetapi setelah merujuk kitab “Latha’if al-Isyarat” (lebih tinggi dari “Waraqat”). Pada hari berikutnya, juga pada pengajian yang sama, lelaki berkopiah putih itu mengajukan pertanyaan lagi-lagi pada Ushul fiqih. Syekh Muda Wali-pun akhirnya dapat menjawab, namun setelah merujuk kitab “Ghayah al-Wushul” (lebih tinggi dari “Latha’if al-Isyarat”). Rupa-rupanya lelaki serba putih itu ialah seorang Ahli Ushul Fiqih, lagi ahli berkata-kata (Mantiq), yang cukup membuat Syekh Muda Wali berpikir keras untuk menjawab soalan yang diajukannya. Lelaki serba putih itu tak lain “Buyuang Malalo”. Karena kealimannya dalam soal Ushul itu, Syekh Muda Wali memberinya nama Zakaria al-Anshari, mengambil berkat kepada pengarang kitab Ushul Fiqih “Ghayah al-Wushul” yaitu Syekhul Islam Syekh Zakaria al-Anshari al-Syafi’i. Sejak itu pulalah, “Buyuang Malalo” masyhur dengan nama Syekh Zakaria al-Anshari Labai Sati, atau yang lebih dikenal dengan Syekh Zakaria Labai Sati Malalo. Demikian penjelasan Buya Laskar Harun Tuanku Sutan nan Kuniang.
Mengenai kedekatan Syekh Zakaria dengan Syekh Muda Wali. Diceritakan di suatu tempat ada orang yang membatalkan amalan Tarikat. Maka datangnya Syekh Zakaria dan Syekh Muda Wali untuk meluruskan bantahan itu. Dimana kedua ulama ini saling isi mengisi, Syekh Muda Wali sangat hafizhnya akan kitab, sedangkan Syekh Zakaria pintar mensyarahnya. Ketika Syekh Muda Wali membacakan “matan” dari hafalannya, ketika itu Syekh Zakaria mensyarahkannya dengan cemerlang. Sehingga tiada yang dapat menegakkan hujjah didepan dua ulama besar ini.
Antara kedua ulama ini juga saling kunjung mengunjungi. Ketika Syekh Muda Wali sudah kembali ke Aceh, dan mendirikan Dayah Darussalam Labuhan Haji, Syekh Zakaria sering bertamu ke Aceh. Begitulah adab pergaulan ulama-ulama silam.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo yang mencapai zaman keemasannya di masa Syekh Zakaria Labai Sati telah mengeluarkan ulama-ulama penerus estafet keilmuan Islam, tercatat tamatan Madrasah ini yang kemudian menjadi panutan selaku ulama terkemuka, dan memimpin Madrasah-madrasah pula dikemudian hari, diantaranya:
1. Tgk. H. Zamzami Zamra (pimpinan Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkel Aceh Selatan)
2. Tgk. H. Abdul Aziz Calang (pimpinan Dayah Patik Calang Aceh Barat)
3. Tgk. H. Baharuddin Tawar (pimpinan Dayah Mulhallimin Tanah Merah Simpang Kanun Singkel)
4. Tgk. Baidhawi (pimpinan Dayah Shabul Yamin Aceh Selatan)
5. Tgk. Muhammad Rasyid (pimpinan Dayah Dayul Yakin Singkel)
6. Tuanku Ali Amran Ringan Ringan (pimpinan Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan Ringan Pariaman)
7. Tgk. Armin Kemunus Labuhan Haji Aceh Selatan
8. Tgk. Ibrahim Lamo Aceh Barat
9. Dan lain-lain banyak lagi.
http://surautuo.blogspot.com/2012/08/mengenang-sjech-zakaria-al-anshari.html
Pendidikan Islam tradisional yang telah berusia hampir seabad ini telah memainkan peran pentingnya dalam transmisi keilmuan Islam, dan mempunyai nama besar di kalangan ulama-ulama dan masyarakat Minangkabau. Di masa keemasannya, bukan hanya “urang-urang siak” (sebutan santri di Minangkabau) dari berbagai wilayah Minangkabau yang menuntut ilmu di lembaga ini, bahkan ada yang dari negeri yang jauh-jauh, seumpama Aceh. Selain itu tercatat tokoh-tokoh yang lahir dari MTI ini, yang sebahagian besarnya menjadi pejuang agama yang taguh dan pelanjut tradisi pendidikan Islam, penyambung estafet keulamaan di kemudian hari. Siapa tokoh dibalik kebesaran nama “Malalo” sebagai kota “Urang siak” tersebut? Yang telah menjadi pengerak utama Madrasah ini dan mata air ilmu di lembaga ini? Dialah ulama besar yang berenang di laut ilmu, yaitu Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, “Alim Allamah”, salah seorang dari pendekar Naqsyabandiyah di Darek.
Syekh Zakaria, dilahirkan di Padang Lawas Malalo, 1908. Nama kecil beliau ialah “Buyuang”, masyarakat luas mengenalnya dengan panggilan “Buyuang Malalo” saja. Kehidupan masa kecilnya, seperti layaknya anak-anak seusianya, mengaji ke surau di kampung halaman menjadi langkah awal sebelum menuntut ilmu di tempat yang jauh-jauh. Pada tahun 1916 sampai 1918, oleh orang tuanya diserahkan bersekolah pada Sekolah Rakyat (SR) di Pasar Malalo. Setahun setelahnya beliau melanjutkan menuntut ilmu khususnya dalam ilmu Agama di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho yang begitu terkenal seantero Minangkabau, kehadapan ulama yang sangat Alim Syekh Muhammad Jamil yang masyhur dengan gelar Angku Jaho atau Inyiak Jaho. Lebih kurang 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Jaho, mengaji seluk beluk agama sedalam-dalamnya, apakah Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma’ani, Badi’, Mantiq, Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadist, Tasawuf, Ushul dan lain-lainnya. Tepat pada tahun 1926 beliau memperoleh Ijazah dari Madrasah yang masyhur ini.
Khusus dalam ilmu Tarikat, yaitu Tarikat yang tinggi Tarikat Naqsyabandiyah, beliau mengambil daripada Maulana Syekh Ja’far Pulau Gadang Kampar. Berdasarkan sebuah catatan yang disimpan oleh anak cucunya, pertalian silsilah Syekh Zakaria dengan Maulana Syekh Khalid Kurdi sebagai berikut: Syekh Zakaria menerima dari Syekh Ja’far Pulau Gadang, beliau menerima dari Syekh Abdurrahman Tanjuang Alai, beliau menerima dari Syekh Mahmud Alin ad-Dili (Deli?), beliau menerima dari Syekh Abdurrahman ad-Dili (Deli?), beliau menerima dari Maulana Syekh Khalid Kurdi an-Naqsyabandi, selanjutnya bertali-tali hingga kepada Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut keterangan Syekh Idrus Batu Basurek Kampar, beliau Syekh Zakaria juga mengambil dari Guru dari sekalian ulama Syekh Abdul Ghani Batu Basurek Kampar. Ketika Tuanku Laskar ke Batu Basurek, Syekh Idrus mengisyaratkan tempat dimana Syekh Zakaria Labai Sati mendapat “Irsyad” di ruangan Suluk Batu Basurek tersebut.
Setelah lama menuntut ilmu, telah pula memperoleh “Ijazah”, pada tahun 1930 Syekh Zakaria mendirikan Madrasah di Padang Lawas Malalo. Madrasah ini diberi nama sebegaimana nama Madrasah gurunya di Jaho, Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Madrasah ini merujuk kepada organisasi ulama-ulama Minangkabau yang teguh kepada i’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab kepada Mazhab Imam besar Imam Syafi’i dan mempusakai Tasawuf dengan mengajarkan kearifan Tarikat-tarikat ahli Sufi yang Mu’tabarah, yaitunya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (waktu itu disingkat dengan PERTI). Persatuan ini kala itu sangat besar pengaruhnya di Sumatera Tengah dan menaungi sebahagian besar ulama-ulama tua, madrasah-madrasah dan surau-surau yang tersebar luas saat itu.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Padang Lawas Malalo menjadi sangat tenar, dengan sosok ulama yang memimpinnya, dan ilmu agama yang sungguh-sungguh diajarkan lewat kitab kuning yang lautan ilmu itu. Banyak “urang siak” (istilah untuk santri) berdatangan dari berbagai penjuru Minangkabau untuk menuntut ilmu, bahkan dari rantau yang jauh, seperti dari Aceh, Riau, Jambi dan Maluku.
Adalah Syekh Zakaria Labai Sati sangat dekat hubungan beliau dengan ulama besar Aceh yang sangat Alim Syekh Muda Wali al-Khalidi tersebut, yang juga keturunan dari ulama Minangkabau, Syekh Pelumat asal Batusangkar. Hubungan ini begitu erat, sampai-sampai beliau berdua saling mengaku menjadi murid. Dinama Syekh Zakaria mengaku menjadi murid Syekh Muda Wali, Syekh Muda Wali pun mengaku murid Syekh Zakaria. Begitulah kerendahan hati dari kedua ulama yang Alim semasa dulu. Konon kabarnya yang memberi nama “Zakaria” ialah Syekh Muda Wali (yang masyhur di Minangkabau dengan Angku Aceh) ini. Adapun kisahnya ialah ketika Syekh Muda Wali membuka pengajian di Lubuk Alung (Padang). Kita ketahui bahwa Syekh Muda Wali setelah belajar bertahun-tahun di berbagai Dayah (istilah untuk Pesantren di Aceh) di Aceh, beliau oleh salah seorang tokoh Modernism disuruh belajar pada Normal Islam yang juga cenderung Modern di Padang. Sesampainya di Padang, dan memasuki Normal Islam, rupa-rupanya Syekh Muda Wali tidak berselera untuk sekolah di sekolah yang digembar-gemborkan ini. Sebabnya Normal Islam hanya kebanyakan mengajarkan ilmu umum, ilmu agama hanya diberikan sangat sedikit, sedangkan ilmu Syekh Muda Wali sudah melebihi apa yang diajarkan itu. Syekh Muda Wali lalu keluar dari Normal Islam setelah 3 bulan bertahan. Beliau Syekh Muda Wali kemudian tinggal bersama ulama besar Minangkabau di Padang, yaitu Syekh Khatib Ali al-Fadani (pengarang “Burhanul Haq” dan “Soeloeah Melajoe”) yang dikenal gigih memperjuangkan Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i. Perlu kita ketahui bahwa Syekh Muda Wali sudah begitu Alim, hafizh segala “matan” kitab, cakap mensyarah, hingga membuatnya seketika terkenal di Minangkabau. Karena kealimannya itulah banyak ulama Minang terpikat, sampai menjadikannya menantu, ada yang mengajukan syarat untuk berdebat masalah kitab “Alfiyah” (kitab Nahwu yang tertinggi dan terbilang rumit) sebelum mengambil mantu, namun itu semua dapat beliau penuhi.
Syekh Muda Wali kemudian membuka pengajian di Lubuk Alung. Cukup ramai. Disuatu waktu datangnya seorang yang serba putih, berjubah putih dan bertutup kepala putih, duduk paling belakang. Adapun pengajian hari itu seputar ilmu Ushul Fiqih. Setelah usai mensyarah, lelaki berjubah putih itu mengajukan pertanyaan tentang Ushul. Syekh Muda Wali dapat menjawabnya setelah merujuk “Waraqat”. Pada hari berikutnya, pada pengajian yang sama, lelaki serba putih itu mengajukan pertanyaan tentang juga tentang Ushul. Syekh Muda Wali-pun dapat menjawabnya, tetapi setelah merujuk kitab “Latha’if al-Isyarat” (lebih tinggi dari “Waraqat”). Pada hari berikutnya, juga pada pengajian yang sama, lelaki berkopiah putih itu mengajukan pertanyaan lagi-lagi pada Ushul fiqih. Syekh Muda Wali-pun akhirnya dapat menjawab, namun setelah merujuk kitab “Ghayah al-Wushul” (lebih tinggi dari “Latha’if al-Isyarat”). Rupa-rupanya lelaki serba putih itu ialah seorang Ahli Ushul Fiqih, lagi ahli berkata-kata (Mantiq), yang cukup membuat Syekh Muda Wali berpikir keras untuk menjawab soalan yang diajukannya. Lelaki serba putih itu tak lain “Buyuang Malalo”. Karena kealimannya dalam soal Ushul itu, Syekh Muda Wali memberinya nama Zakaria al-Anshari, mengambil berkat kepada pengarang kitab Ushul Fiqih “Ghayah al-Wushul” yaitu Syekhul Islam Syekh Zakaria al-Anshari al-Syafi’i. Sejak itu pulalah, “Buyuang Malalo” masyhur dengan nama Syekh Zakaria al-Anshari Labai Sati, atau yang lebih dikenal dengan Syekh Zakaria Labai Sati Malalo. Demikian penjelasan Buya Laskar Harun Tuanku Sutan nan Kuniang.
Mengenai kedekatan Syekh Zakaria dengan Syekh Muda Wali. Diceritakan di suatu tempat ada orang yang membatalkan amalan Tarikat. Maka datangnya Syekh Zakaria dan Syekh Muda Wali untuk meluruskan bantahan itu. Dimana kedua ulama ini saling isi mengisi, Syekh Muda Wali sangat hafizhnya akan kitab, sedangkan Syekh Zakaria pintar mensyarahnya. Ketika Syekh Muda Wali membacakan “matan” dari hafalannya, ketika itu Syekh Zakaria mensyarahkannya dengan cemerlang. Sehingga tiada yang dapat menegakkan hujjah didepan dua ulama besar ini.
Antara kedua ulama ini juga saling kunjung mengunjungi. Ketika Syekh Muda Wali sudah kembali ke Aceh, dan mendirikan Dayah Darussalam Labuhan Haji, Syekh Zakaria sering bertamu ke Aceh. Begitulah adab pergaulan ulama-ulama silam.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo yang mencapai zaman keemasannya di masa Syekh Zakaria Labai Sati telah mengeluarkan ulama-ulama penerus estafet keilmuan Islam, tercatat tamatan Madrasah ini yang kemudian menjadi panutan selaku ulama terkemuka, dan memimpin Madrasah-madrasah pula dikemudian hari, diantaranya:
1. Tgk. H. Zamzami Zamra (pimpinan Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkel Aceh Selatan)
2. Tgk. H. Abdul Aziz Calang (pimpinan Dayah Patik Calang Aceh Barat)
3. Tgk. H. Baharuddin Tawar (pimpinan Dayah Mulhallimin Tanah Merah Simpang Kanun Singkel)
4. Tgk. Baidhawi (pimpinan Dayah Shabul Yamin Aceh Selatan)
5. Tgk. Muhammad Rasyid (pimpinan Dayah Dayul Yakin Singkel)
6. Tuanku Ali Amran Ringan Ringan (pimpinan Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan Ringan Pariaman)
7. Tgk. Armin Kemunus Labuhan Haji Aceh Selatan
8. Tgk. Ibrahim Lamo Aceh Barat
9. Dan lain-lain banyak lagi.
http://surautuo.blogspot.com/2012/08/mengenang-sjech-zakaria-al-anshari.html
hamba tuhan- LETNAN SATU
-
Posts : 1666
Kepercayaan : Islam
Location : Aceh - Pekanbaru
Join date : 07.10.11
Reputation : 19
Similar topics
» Ahli kitab=ahli memelintir kata2?
» Benarkah Zakaria keturunan sulaiman? agama mana yang palsu?
» buat para pemuka agama
» mengenang akhlak nabi
» Rumah Ditinggal Pergi ke Gereja, Nasib Jadi Apes
» Benarkah Zakaria keturunan sulaiman? agama mana yang palsu?
» buat para pemuka agama
» mengenang akhlak nabi
» Rumah Ditinggal Pergi ke Gereja, Nasib Jadi Apes
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik