kenabian dan nabi terakhir dalam ahmadiyah
Halaman 1 dari 1 • Share
kenabian dan nabi terakhir dalam ahmadiyah
Dalam masalah kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar
antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah
masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama
diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang
membawa Syari'at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair
Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa syari'at). Selanjutnya
dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah
Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah
(kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri,
adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad SAW.,
dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi
sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair
mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari'at
nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang
mengikuti syari'at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut
paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari'at saja
yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa
syari'at akan tetap berlangsung.
Nabi mandiri dalam pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa
berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas
dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian ajaran nabi
sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau
dengan menambah ajaran baru sehingga syari'at itu menjadi
lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit-sedikit dari
nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari'atnya menjadi
lebih sempurna daripada syari'at yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya, maka jenis kenabian yang seperti itu, mereka
istilahkan dengan nabi mustaqil.32 Oleh karena itu, kata
"nabi" mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti
istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi
yang tidak membawa syari'at disebut nabi lugawi atau nabi
majazi, yang pengertiannya ialah seorang yang mendapat
berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang
membawa syari'at, mereka sebut nabi haqiqi, demikianlah
paham Lahore.
Bagaimana status kenabian al-Mahdi Ahmadiyah di mata
pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan Ahmadiyah Lahore
agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun
golongan Lahore secara implisit memandangnya sebagai nabi
lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan
Qadiani secara tegas. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi
bukanlah nabi haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad
ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak persamaan dengan
nabi dalam hal ia (al-Mahdi) menerima wahyu atau berita
samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah mereka secara
tegas menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad
sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan termasuk rukun iman,
maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan
kafir.33 Selanjutnya mereka juga berpandangan bahwa wahyu
yang diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian
dan menurut paham mereka, bahwa wahyu macam inilah yang
tetap terbuka, agar dengan wahyu tersebut, imam ummat
manusia tetap hidup dan segar. Selain itu mereka beralasan
bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pemah menyatakan dirinya
sebagai nabi hakiki.
Berbeda dengan paham kenabian sekte Qadiani, mereka
memandang al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi
dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya,
sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham sekte
ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi
yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh
al-Quran dan yang dipesankan Nabi Muhammad SAW., untuk
mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Sekalipun demikian,
paham kedua aliran tersebut, terdapat juga persamaannya
yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri'i atau
nabi mustaqil sesudah Nabi SAW. Dan penggunaan term wahyu
selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.
Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya' atau
penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda
dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan
bahwa Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi, baik
yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan
dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi ..."
Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:
"Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh
pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku
adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku."
(H.R. Bukhari)
Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi oleh golongan
Lahore, mungkin sekali dikarenakan oleh pengakuan Mirza
(al-Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan merasa telah
berdialog langsung dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah,
untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.
Akan tetapi bagi golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi
sebagai nabi yang harus ditaati ajaran-ajarannya, mereka
berusaha keras mencari dalil-dalil dan memajukan mereka.
Misalnya dengan menginterpretasikan Surah al-Ahzab: 40,
sesuai dengan paham mereka, maupun dengan menggunakan
hadis-hadis Nabi, disamping mereka menggunakan berbagai
pendapat 'Ulama' Sunni yang dapat menopang kekuatan hujjah
(argumen) mereka
Menurut paham kaum Qadiani, berita akan datangnya kembali
Nabi 'Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan dari hadis-hadis
sahih adalah jelas. Sekalipun 'Isa tidak membawa syari'at
baru, bahkan harus mengikuti syari'at Nabi Muhammad, namun
dia (al-Mahdi) tetap sebagai nabi gair mustaqil atau nabi
yang tidak mandiri. Oleh sebab itu, kata "Khatam
an-Nabiyyin" mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia
dan paling sempurna dari sekalian para nabi, tapi bukan
sebagai penutup para nabi. Selanjutnya mereka mengajukan
argumen bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut bahasa Arab,
apabila kata [kata-kata Arab] dirangkai dengan kata
berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian
seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.34 Sebagai contoh,
mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada 'Ali
ibn Abi Talib:
"Aku (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan
engkau 'Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali."
Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah Qadian
menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata Arab],
artinya tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, yang
membawa syari'at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah
'Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi, maka yang
demikian ini tidak akan dapat mematahkan pembuktian kami.
Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas, artinya bukan
"akhir para nabi."35
Sebagaimana diketahui, kaum Sunni tidak mengenal istilah
nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi; maupun nabi
mustaqil atau gair mustaqil. Karena itu, jika terjadi
perbenturan antara paham Sunni dan paham Ahmadiyah yang
mengakibatkan pertentangan dan permusuhan yang hebat, di
awal kelahiran sekte ini, adalah sesuatu yang sulit
dihindarkan. Sekalipun paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih
moderat daripada golongan Qadiani, rupanya golongan Lahore
lebih cenderung berpegang pada sikap Mirza di awal
kegiatannya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan sebagaimana
dalam pernyataannya:
"Dan dengan keperkasaan d an keagungan Allah, sesungguhnya
aku adalah mukmin, muslim, dan aku beriman kepada Allah,
kitab-kitab, rasul-rasul, dan malaikat-Nya serta hari
kebangkitan sesudah kematian. Dan sesungguhnya Rasulullah
Muhammad adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. para
nabi. Dan sesungguhnya mereka (ummat Islam non-Ahmadiyah)
telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza)
telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang 'Isa ..."36
Dari pernyataan tersebut, tampak sikap pendiri aliran
Mahdiisme Ahmadiyah tidak senang dirinya dituduh mengaku
menjadi nabi. Akan tetapi golongan Qadiani, rupanya lebih
berpegang pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran
akidah. Sebagaimana pernyataannya yang disalin oleh
al-Maududi, dari buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang
berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:
"... Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya)
kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini
memperoleh sebutan 'nabi' dan tidak ada pula seorang pun
yang memperoleh nama ini selain aku ..."37
Akan tetapi masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk
dipertanyakan, yaitu apabila al-Mahdi ini adalah seorang
nabi yang mendapat wahyu Allah atau seorang Wali, dalam
menjalankan misi keagamaannya, sebagai yang diyakini oleh
kaum Ahmadiyah, mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada
pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja sama
untuk menghantam saudara seagama dan memusuhinya. Sikap
al-Mahdi yang agresif dan emosional dalam berbagai
tulisannya yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang
kurang tepat, sama sekali kurang layak dilakukan oleh
seorang yang dipandang sebagai wali apalagi sebagai nabi
atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap 'Isa a.s., Nabi untuk
Bani Israil dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang
yang beriman. Sebagai misal adalah serangan al-Mahdi
Ahmadiyah ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya,
ia mengatakan:
"Setiap orang yang menyalahi (paham)ku, maka dia adalah
Nasrani, Yahudi, musyrik (tergolong) penghuni-penghuni
neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak masuk
ke dalam jema'ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus
menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan Rasul-Nya,
dan dia tergolong penghuni neraka."38
Demikian pula halnya dengan pernyataan-pernyataan para
pengikutnya yang telah menunjukkan sikap permusuhannya,
seperti yang diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa kaum
Muslimin dari kalangan menengah dan awam, sejak lama
menginginkan diisolasikannya kaum Qadiani dari komunitas
Muslim, dan menjadikan mereka sebagai kaum minontas
non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum
Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah tuntutan
Muhammad Iqbal, dalam sebuah risalahnya yang terkenal,
berjudui Islam and Ahmadisme.39 Demikian al-Maududi.
antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah
masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama
diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang
membawa Syari'at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair
Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa syari'at). Selanjutnya
dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah
Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah
(kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri,
adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad SAW.,
dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi
sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair
mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari'at
nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang
mengikuti syari'at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut
paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari'at saja
yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa
syari'at akan tetap berlangsung.
Nabi mandiri dalam pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa
berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas
dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian ajaran nabi
sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau
dengan menambah ajaran baru sehingga syari'at itu menjadi
lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit-sedikit dari
nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari'atnya menjadi
lebih sempurna daripada syari'at yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya, maka jenis kenabian yang seperti itu, mereka
istilahkan dengan nabi mustaqil.32 Oleh karena itu, kata
"nabi" mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti
istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi
yang tidak membawa syari'at disebut nabi lugawi atau nabi
majazi, yang pengertiannya ialah seorang yang mendapat
berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang
membawa syari'at, mereka sebut nabi haqiqi, demikianlah
paham Lahore.
Bagaimana status kenabian al-Mahdi Ahmadiyah di mata
pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan Ahmadiyah Lahore
agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun
golongan Lahore secara implisit memandangnya sebagai nabi
lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan
Qadiani secara tegas. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi
bukanlah nabi haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad
ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak persamaan dengan
nabi dalam hal ia (al-Mahdi) menerima wahyu atau berita
samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah mereka secara
tegas menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad
sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan termasuk rukun iman,
maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan
kafir.33 Selanjutnya mereka juga berpandangan bahwa wahyu
yang diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian
dan menurut paham mereka, bahwa wahyu macam inilah yang
tetap terbuka, agar dengan wahyu tersebut, imam ummat
manusia tetap hidup dan segar. Selain itu mereka beralasan
bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pemah menyatakan dirinya
sebagai nabi hakiki.
Berbeda dengan paham kenabian sekte Qadiani, mereka
memandang al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi
dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya,
sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham sekte
ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi
yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh
al-Quran dan yang dipesankan Nabi Muhammad SAW., untuk
mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Sekalipun demikian,
paham kedua aliran tersebut, terdapat juga persamaannya
yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri'i atau
nabi mustaqil sesudah Nabi SAW. Dan penggunaan term wahyu
selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.
Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya' atau
penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda
dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan
bahwa Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi, baik
yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan
dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi ..."
Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:
"Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh
pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku
adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku."
(H.R. Bukhari)
Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi oleh golongan
Lahore, mungkin sekali dikarenakan oleh pengakuan Mirza
(al-Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan merasa telah
berdialog langsung dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah,
untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.
Akan tetapi bagi golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi
sebagai nabi yang harus ditaati ajaran-ajarannya, mereka
berusaha keras mencari dalil-dalil dan memajukan mereka.
Misalnya dengan menginterpretasikan Surah al-Ahzab: 40,
sesuai dengan paham mereka, maupun dengan menggunakan
hadis-hadis Nabi, disamping mereka menggunakan berbagai
pendapat 'Ulama' Sunni yang dapat menopang kekuatan hujjah
(argumen) mereka
Menurut paham kaum Qadiani, berita akan datangnya kembali
Nabi 'Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan dari hadis-hadis
sahih adalah jelas. Sekalipun 'Isa tidak membawa syari'at
baru, bahkan harus mengikuti syari'at Nabi Muhammad, namun
dia (al-Mahdi) tetap sebagai nabi gair mustaqil atau nabi
yang tidak mandiri. Oleh sebab itu, kata "Khatam
an-Nabiyyin" mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia
dan paling sempurna dari sekalian para nabi, tapi bukan
sebagai penutup para nabi. Selanjutnya mereka mengajukan
argumen bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut bahasa Arab,
apabila kata [kata-kata Arab] dirangkai dengan kata
berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian
seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.34 Sebagai contoh,
mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada 'Ali
ibn Abi Talib:
"Aku (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan
engkau 'Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali."
Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah Qadian
menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata Arab],
artinya tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, yang
membawa syari'at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah
'Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi, maka yang
demikian ini tidak akan dapat mematahkan pembuktian kami.
Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas, artinya bukan
"akhir para nabi."35
Sebagaimana diketahui, kaum Sunni tidak mengenal istilah
nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi; maupun nabi
mustaqil atau gair mustaqil. Karena itu, jika terjadi
perbenturan antara paham Sunni dan paham Ahmadiyah yang
mengakibatkan pertentangan dan permusuhan yang hebat, di
awal kelahiran sekte ini, adalah sesuatu yang sulit
dihindarkan. Sekalipun paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih
moderat daripada golongan Qadiani, rupanya golongan Lahore
lebih cenderung berpegang pada sikap Mirza di awal
kegiatannya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan sebagaimana
dalam pernyataannya:
"Dan dengan keperkasaan d an keagungan Allah, sesungguhnya
aku adalah mukmin, muslim, dan aku beriman kepada Allah,
kitab-kitab, rasul-rasul, dan malaikat-Nya serta hari
kebangkitan sesudah kematian. Dan sesungguhnya Rasulullah
Muhammad adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. para
nabi. Dan sesungguhnya mereka (ummat Islam non-Ahmadiyah)
telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza)
telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang 'Isa ..."36
Dari pernyataan tersebut, tampak sikap pendiri aliran
Mahdiisme Ahmadiyah tidak senang dirinya dituduh mengaku
menjadi nabi. Akan tetapi golongan Qadiani, rupanya lebih
berpegang pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran
akidah. Sebagaimana pernyataannya yang disalin oleh
al-Maududi, dari buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang
berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:
"... Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya)
kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini
memperoleh sebutan 'nabi' dan tidak ada pula seorang pun
yang memperoleh nama ini selain aku ..."37
Akan tetapi masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk
dipertanyakan, yaitu apabila al-Mahdi ini adalah seorang
nabi yang mendapat wahyu Allah atau seorang Wali, dalam
menjalankan misi keagamaannya, sebagai yang diyakini oleh
kaum Ahmadiyah, mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada
pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja sama
untuk menghantam saudara seagama dan memusuhinya. Sikap
al-Mahdi yang agresif dan emosional dalam berbagai
tulisannya yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang
kurang tepat, sama sekali kurang layak dilakukan oleh
seorang yang dipandang sebagai wali apalagi sebagai nabi
atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap 'Isa a.s., Nabi untuk
Bani Israil dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang
yang beriman. Sebagai misal adalah serangan al-Mahdi
Ahmadiyah ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya,
ia mengatakan:
"Setiap orang yang menyalahi (paham)ku, maka dia adalah
Nasrani, Yahudi, musyrik (tergolong) penghuni-penghuni
neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak masuk
ke dalam jema'ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus
menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan Rasul-Nya,
dan dia tergolong penghuni neraka."38
Demikian pula halnya dengan pernyataan-pernyataan para
pengikutnya yang telah menunjukkan sikap permusuhannya,
seperti yang diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa kaum
Muslimin dari kalangan menengah dan awam, sejak lama
menginginkan diisolasikannya kaum Qadiani dari komunitas
Muslim, dan menjadikan mereka sebagai kaum minontas
non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum
Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah tuntutan
Muhammad Iqbal, dalam sebuah risalahnya yang terkenal,
berjudui Islam and Ahmadisme.39 Demikian al-Maududi.
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Re: kenabian dan nabi terakhir dalam ahmadiyah
@ Sungokong
Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi Terakhir Pembawa Syariat, karena Kenabian masih terbuka bagi umat Islam yang taat dan setia kepada Allah dan Nabi Muhammad saw (An-Nisa 4:70).
Jika anda kesulitan memahaminya, saya bersedia menjelaskannya.
Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi Terakhir Pembawa Syariat, karena Kenabian masih terbuka bagi umat Islam yang taat dan setia kepada Allah dan Nabi Muhammad saw (An-Nisa 4:70).
Jika anda kesulitan memahaminya, saya bersedia menjelaskannya.
Kedunghalang- LETNAN KOLONEL
-
Posts : 9081
Kepercayaan : Islam
Location : Bogor
Join date : 12.03.12
Reputation : 0
Similar topics
» Kesaksian Pendeta Buharia tentang kenabian Nabi Muhammad
» bedah tipis ; nabi terakhir islam
» paham mahdi dalam perspektif rasional ahmadiyah
» bukti keislaman nabi-nabi israel dalam Al Qur'an
» Nabi Isa/Nabi Yesus dalam KEIMANAN KRISTIANI
» bedah tipis ; nabi terakhir islam
» paham mahdi dalam perspektif rasional ahmadiyah
» bukti keislaman nabi-nabi israel dalam Al Qur'an
» Nabi Isa/Nabi Yesus dalam KEIMANAN KRISTIANI
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik