ahmadiyah dan isolasionisme
Halaman 1 dari 1 • Share
ahmadiyah dan isolasionisme
Pada tanggal 15 Mei 1953 di kota Lahore Pakistan, seorang
Ulama besar, syed Abul A'la al-Maududi, karena menyerang
keras aliran Qadiani (Ahmadiyah) dan bersama-sama kaum
Muslimin menuntut agar pengikut-pengikut Ahmadiyah
dinyatakan sebagai golongan non-muslim, oleh pengadilan
militer di Lahore, beliau dan seorang Ulama bernama Maulana
Niazi, dijatuhi hukuman mati!1
Berita vonnis yang tidak disangka-sangka itu, bahkan tidak
pernah terlintas dalam pikiran kaum Muslimin, telah
menimbulkan kepanikan di kalangan ummat Islam Pakistan,
India, bahkan seluruh dunia Islam ikut terkejut atasnya.2
Keputusan akan "membunuh" tokoh kecintaan ummat, seorang
mujahid, dan seorang sumber ilmu Agama yang tidak
kering-keringnya itu, telah menimbulkan kekhawatiran dan
kegelisahan dimana-mana. Kemarahan kaum Muslimin
hampir-hampir tidak dapat dibendung lagi.
Melihat situasi yang semakin panas itu, pemerintah
cepat-cepat turun tangan, mengambil langkah mendatangi Syed
Maududi di tempat tahanannya, menawarkan pada beliau
kesempatan untuk mohon ampun dan mohon dikasihani. Namun
dengan sikap yang berani dan tegas, beliau berkata:
"Tidak, lebih baik aku mati daripada merendah-rendah
diri di hadapan suatu Tyran. Jika ini sudah Takdir
Allah, aku dengan segala keikhlasan menerimanya. Akan
tetapi jika ini bukan KehendakNya, maka ketahuilah!
Jangan coba-coba menyakiti diriku."3
Melihat pendirian syed Maududi begitu gigih, lebih-lebih
sikap dari kaum Muslimin Pakistan, India, dan seluruh dunia
Islam dalam suasana prihatin, akhirnya pemerintah menempuh
jalan lain dan merobah hukuman mati atas diri syed Maududi
menjadi hukuman penjara selama 20 tahun. Namun tidak lama
kemudian jumlah 20 tahun itu berobah lagi, bahkan berobah
berkali-kali sehingga sampai pada hukuman penjara dua tahun.
Tindakan drastis oleh pengadilan militer Lahore atas diri
Ulama besar itu, menurut sinyalemen maupun pendapat-pendapat
tokoh-tokoh pemerintahan dan militer, didasarkan atas
pertimbangan politis semata-mata. Namun bila diteliti lebih
seksama, pokok pangkal daripada peristiwa 1953 itu, ialah
agitasi golongan Ahmadiyah, yang terang-terangan mengacaukan
ketentraman iman kaum Muslimin dan membelakangi aqidah
mereka.4
Bahwa sebab utamanya terletak pada kegiatan Ahmadiyah
mempropagandakan faham-fahamnya yang bersimpang jalan itu,
tidak diragukan lagi.
Peristiwa yang sama dan dari sebab-sebab yang sama telah
terjadi lagi, mungkin suatu peristiwa yang akhir, akan
tetapi mungkin juga bukan terakhir, telah mengambil tempat
di anak benua India kembali.
Pada tanggal 8 Juni 1974, di Islamabad Pakistan, telah
terjadi demonstrasi kemarahan kaum Muslimin yang mencapai
klimaxnya. Kali ini peristiwa itu lebih banyak makan korban
harta benda dan jiwa. Gerakan Ahmadiyah yang mula-mula
menceritakan kejadiankejadian tersebut, berkata:
"Sejak Minggu terakhir dari bulan Mei 1974 telah
terjadi kerusuhan-kerusuhan di Pakistan. Dengan dihasut
oleh kaum Ulama dan digelorakan oleh surat-surat kabar
kaum Islam yang fanatik menjalankan tindakan kekerasan
terhadap orang-orang dan harta benda milik jemaat
Ahmadiyah di Pakistan. Orang-orang Ahmadiyah dibunuh
dan mesjid, rumah, toko, perpustakaan, pabrik, gudang
dan klinik mereka dirampoki, dihancurkan dan dibakar.
Boikot sosial dan ekonomi dilakukan terhadap
orang-orang Ahmadiyah di seluruh Pakistan sehingga
mereka tak dapat memperoleh bahan kebutuhan
sehari-hari, bahkan air minum tak dapat mereka beli.
Bayi-bayi juga menderita akibat boikot itu, karena susu
untuk mereka tak bisa didapat."5
Bahkan rentetan dari peristiwa itu lebih jauh lagi. Di luar
Pakistan, dari kota Mekkah Al-Mukarramah, telah datang
keputusan Rabithah 'Alam Islamy, menyatakan golongan
Ahmadiyah sebagai golongan non-Muslim serta melarang
anggauta-anggautanya naik haji. Jelas sudah, bahwa penyebab
utama timbulnya kerusakan-kerusakan maupun korban jiwa itu,
datang dari Ahmadiyah sendiri. Aliran inilah biang keladi
dari kemarahan ummat Islam yang tak terbendungkan itu.
Sungguh sangat disesalkan telah terjadi peristiwa itu, akan
tetapi sangat disayangkan bahwa pemerintah tidak mengambil
inisiatif jauh-jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum
peristiwa-peristiwa yang silam itu, untuk menghentikan
aliran Mirza Ghulam itu dan menyatakan sebagai aliran
non-Islam maupun membubarkannya sekaligus!
Sudah jelas, bila golongan kecil Ahmadiyah ini, bila dikaji
faham-fahamnya, maupun aqidahnya ataupun hanya
disebut-sebut. namanya, akan menimbulkan tidak sedap dan
menggelisahkan kaum Muslimin, bahkan bisa terjadi
kemarahan-kemarahan dan korban. Ia jauh lebih terorganisir,
rapi, sempurna, dan persiapan-persiapan masa depannya maupun
keuangannya sangat padat.
Sebaliknya dari peristiwa 1974 itu, gerakan Ahmadiyah
sendiri mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Golongan
ini berkata:
"Rahasia di-non-Islamkannya Ahmadiyah, ialah
sebagaimana yang diberitakan oleh harian - Imroz
Lahore Pakistan, seperti berikut ini: Chiniot, 16
November (74). Menteri Kehakiman Propinsi merangkap
urusan Parlemen, Sadar Asghar Ahmad, dihadapan rapat
akbar di Jerwala mengatakan, bahwa partai rakyat (yang
berkuasa di Pakistan sekarang) telah berhasil
menyelesaikan masalah "Khataman Nubuwah" dengan cara
yang amat bijaksana. Penyelesaian masalah ini merupakan
kejadian besar sesudah peristiwa Karbala yang tercatat
dalam sejarah Islam. Perdana Menteri Ali Butto telah
berhasil menghancurkan siasat pemimpin-pemimpin
opposisi dengan menyelesaikan masalah Qadiani itu."
Kelihatan belangnya, bukan? Kita ini (Ahmadiyah) memang
sudah tau. Itulah sebabnya tidak pernah kecil hati.
Permainan politik memang begitu. Kaum opposisi di pemilihan
umum mendatang (1975) di Pakistan ingin menjadikan masalah
Ahmadiyah sebagai issue menarik untuk memperoleh suara.
Tetapi Ali Butto bukan @#$%^. Dia tau mental "alim-ulama"
yang rakus kursi, berselimutkan Agama ingin mencapai tujuan
politis."6
Lebih lanjut Ahmadiyah berkata:
"Saudi Arabia atau Rabhitah kalau mencap Ahmadiyah non
Islam - tidak mengherankan. Itu biasa, asal jangan
Tuhan yang me-non-Islamkan."7
Bahwa peristiwa di Pakistan itu merupakan tindakan kaum
oposisi serta para Ulama dengan maksud untuk mencapai tujuan
politis, itu adalah pendapat Ahmadiyah pribadi. Adalah sukar
untuk diterima, bahwa ikut sertanya Organisasi Dunia Islam
yang berkedudukan di Mekkah itu, termasuk dari rasa
solidaritas atau bertindak dalam rangka membantu tujuan
politis kaum oposisi di dalam negeri Pakistan. Melainkan
yang logis dan mudah dimengerti, bahwa Rabhitah Alam Islamy
telah me-non-Islamkan Ahmadiyah dan sekaligus melarang
angauta-anggautanya naik haji, ialah atas dasar-dasar
pertimbangan serta penelitian yang seksama akan bentuk
hakiki dari gerakan Ahmadiyah itu. Ulama-ulama di Pakistan,
India, atau dimana saja, melihat gerak-gerik Ahmadiyah tidak
lagi dari segi-segi lahirnya, akan tetapi pada segi-segi
bagian dalamnya.
Kenyataan dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Ahmadiyah sendiri, bahkan semenjak fajar-fajar munculnya
Mirza Ghulam Ahmad dan alirannya, sikap dan tindakan para
Ulama selalu menentang keras padanya. Dari suatu pengamatan
yang teliti, benih-benih yang ditanam Ahmadiyah di kemudian
hari jauh berbeda-beda dari sebelumnya, ia lebih banyak
menonjolkan merk Islamnya daripada sifatnya yang complex,
Syukur bahwa dari Ulama-ulama yang masyhur seperti: Mohammad
Hadr Husein, Abul Hasan Ali an-Nadwi, Abdul 'Alim Assidiqhi,
Abul Ala al-Maududi dan lain-lain, telah berhasil membuka
selubung kulit Ahmadiyah serta mengurai-urai isi dalamnya.
Predikat Ulama yang ada pada mereka, lebih-lebih lagi
sebagai putera-putera dari anak benua India, tidaklah
menimbulkan keragu-raguan untuk menyatakan bahwa hasil-hasil
tulisan mereka tentang kesesatan Ahmadiyah, adalah hasil
dari sikap-sikap yang jujur, obyektif dan tidak emosional.
Sehingga apa yang tidak jelas dari "Apa dan Siapa Ahmadiyah
itu" menjadi jelas dan disadari.
Namun demikian, kendati hasil telah dicapai, yaitu kesadaran
kaum Muslimin terhadap aliran Mirza Ghulam Ahmad itu, akan
tetapi pada kenyataannya pencapaian Ulama-ulama itu belumlah
sampai pada titik-titik intinya, belum mengena bahkan belum
menyentuh sekalipun pada lubuk dasar yang hakiki dari
Ahmadiyah. Akibatnya karena hal-hal tersebut, maka
problema-problema baru yang tampaknya lebih segar dan logis,
susul-menyusul datang dari Ahmadiyah. Bagaikan suatu
santapan yang dihidangkan pada kaum Muslimin, lebih sedap
dipandang, lebih enak disantap dan lebih komplit dari yang
sudah-sudah.
Ternyata Ahmadiyah berada dalam sigap berdiri di atas
kuda-kuda, menanti setiap serangan maupun kritikan dari luar
dan siap pula menangkis dan menyerangnya. Lebih jauh
Ahmadiyah berkata:
"Memang, seperti di persada Indonesia ini, umpamanya,
masih ada pula gelintiran manusia-buta yang menganggap
Ahmadiyah itu sesat. Sekalipun mereka tak mampu
membuktikannya menurut Qur'an dan Hadits Nabi s.a.w.
dan tak pula mampu memperhadapkan "dalil-dalil"nya itu
dengan Ahmadiyah, namun sekali-sekali terdengar pula
cetusan hati-kotornya yang tak pernah membekas "juridu
li-yuthfi 'u nurallahi bi-afwahihim" (mereka berhasrat
memadamkan cahaya kebenaran Ilahy itu dengan mulutnya),
tentu saja tak mungkin. Sebab itu untuk mereka tak lain
ialah: "mutu be-ghaidhikum" (benci dan dengkinya akan
dibawa atau membawa mereka pada maut."8
Akhirnya dengan lantang Ahmadiyah berkata:
"Anda orang berakal, bukan? Jangan mau diburung-ontakan
oleh anasir-anasir yang memusuhi Ahmadiyah dengan cara
lempar batu sembunyi tangan. Rata-rata mereka
berkaok-kaok dari belakang Ahmadiyah tetapi tidak
berani berhadapan. Mereka tau akan kelihatan
belangnya."9
Catatan kaki:
1 lih: Leonard Binder Religion and Politics in Pakistan
1963 University of California Press hal. 302: (In
Mid-May 1953, Maulana Maududi and Maulana Niazi were
both sentenced to death by a military court sitting at
Lahore. The severity of these sentence in an indication
of the outraged view that less restrained branch of the
services took of the effect of the Ahmadi agitation.
lih: Misbah-ul-Islam Faruqi- Introducing Maududi-1968 -
Darr al-Qalam al-Sur St Kuwait-hal. 113: (.., he was
made to face a farce of trial by a military tribunal
and was awarded death sentence for writing a pamphlet:
the Qadiani Problem.
2 lih: L. Binder hal. 302: religious persons
throughout Pakistan were, of course shocked at this
action of the military, but perhaps even more astounded
at the implied generalization of guilt.
3 lih: M.I Faruqi hal. 114: (When, after the death
sentence he was offered option of making an appeal for
mercy, his reply was: I would rather lay down my life
than request mercy from tyrans. If God has so wished, I
shall gladly submit. But if it is not His decision, no
matter what they may plan, they can do no harm to me.)
4 lih: L. Binder hal. 303: (the military and many
civil servants, apparently, have been so taken in by
propaganda of the jamaat they actually believe that
Maududi single handely created the whole islamic
constitution controvercy. Regardless of whether this
view is correct, the important thing to note is that
the islamic constitution controversy was considered the
root cause of the dreadful effects of the Ahmadi
agitation.)
5 lih: bulletin Ahmadiyah, al-Hisyam, jemaat Ahmadiyah
Ujung Pandang, no. 23/24 th. 1974 hal. 2/3.
6 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3/7.
7 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3.
8 lih. Saleh A, Nahdi Ahmadiyah di mata orang lain,
1971, Rapen Makassar. hal. 3.
9 lih. bulletin al-Hisyam, no. 23/24, 1974, hal. 5.
Ulama besar, syed Abul A'la al-Maududi, karena menyerang
keras aliran Qadiani (Ahmadiyah) dan bersama-sama kaum
Muslimin menuntut agar pengikut-pengikut Ahmadiyah
dinyatakan sebagai golongan non-muslim, oleh pengadilan
militer di Lahore, beliau dan seorang Ulama bernama Maulana
Niazi, dijatuhi hukuman mati!1
Berita vonnis yang tidak disangka-sangka itu, bahkan tidak
pernah terlintas dalam pikiran kaum Muslimin, telah
menimbulkan kepanikan di kalangan ummat Islam Pakistan,
India, bahkan seluruh dunia Islam ikut terkejut atasnya.2
Keputusan akan "membunuh" tokoh kecintaan ummat, seorang
mujahid, dan seorang sumber ilmu Agama yang tidak
kering-keringnya itu, telah menimbulkan kekhawatiran dan
kegelisahan dimana-mana. Kemarahan kaum Muslimin
hampir-hampir tidak dapat dibendung lagi.
Melihat situasi yang semakin panas itu, pemerintah
cepat-cepat turun tangan, mengambil langkah mendatangi Syed
Maududi di tempat tahanannya, menawarkan pada beliau
kesempatan untuk mohon ampun dan mohon dikasihani. Namun
dengan sikap yang berani dan tegas, beliau berkata:
"Tidak, lebih baik aku mati daripada merendah-rendah
diri di hadapan suatu Tyran. Jika ini sudah Takdir
Allah, aku dengan segala keikhlasan menerimanya. Akan
tetapi jika ini bukan KehendakNya, maka ketahuilah!
Jangan coba-coba menyakiti diriku."3
Melihat pendirian syed Maududi begitu gigih, lebih-lebih
sikap dari kaum Muslimin Pakistan, India, dan seluruh dunia
Islam dalam suasana prihatin, akhirnya pemerintah menempuh
jalan lain dan merobah hukuman mati atas diri syed Maududi
menjadi hukuman penjara selama 20 tahun. Namun tidak lama
kemudian jumlah 20 tahun itu berobah lagi, bahkan berobah
berkali-kali sehingga sampai pada hukuman penjara dua tahun.
Tindakan drastis oleh pengadilan militer Lahore atas diri
Ulama besar itu, menurut sinyalemen maupun pendapat-pendapat
tokoh-tokoh pemerintahan dan militer, didasarkan atas
pertimbangan politis semata-mata. Namun bila diteliti lebih
seksama, pokok pangkal daripada peristiwa 1953 itu, ialah
agitasi golongan Ahmadiyah, yang terang-terangan mengacaukan
ketentraman iman kaum Muslimin dan membelakangi aqidah
mereka.4
Bahwa sebab utamanya terletak pada kegiatan Ahmadiyah
mempropagandakan faham-fahamnya yang bersimpang jalan itu,
tidak diragukan lagi.
Peristiwa yang sama dan dari sebab-sebab yang sama telah
terjadi lagi, mungkin suatu peristiwa yang akhir, akan
tetapi mungkin juga bukan terakhir, telah mengambil tempat
di anak benua India kembali.
Pada tanggal 8 Juni 1974, di Islamabad Pakistan, telah
terjadi demonstrasi kemarahan kaum Muslimin yang mencapai
klimaxnya. Kali ini peristiwa itu lebih banyak makan korban
harta benda dan jiwa. Gerakan Ahmadiyah yang mula-mula
menceritakan kejadiankejadian tersebut, berkata:
"Sejak Minggu terakhir dari bulan Mei 1974 telah
terjadi kerusuhan-kerusuhan di Pakistan. Dengan dihasut
oleh kaum Ulama dan digelorakan oleh surat-surat kabar
kaum Islam yang fanatik menjalankan tindakan kekerasan
terhadap orang-orang dan harta benda milik jemaat
Ahmadiyah di Pakistan. Orang-orang Ahmadiyah dibunuh
dan mesjid, rumah, toko, perpustakaan, pabrik, gudang
dan klinik mereka dirampoki, dihancurkan dan dibakar.
Boikot sosial dan ekonomi dilakukan terhadap
orang-orang Ahmadiyah di seluruh Pakistan sehingga
mereka tak dapat memperoleh bahan kebutuhan
sehari-hari, bahkan air minum tak dapat mereka beli.
Bayi-bayi juga menderita akibat boikot itu, karena susu
untuk mereka tak bisa didapat."5
Bahkan rentetan dari peristiwa itu lebih jauh lagi. Di luar
Pakistan, dari kota Mekkah Al-Mukarramah, telah datang
keputusan Rabithah 'Alam Islamy, menyatakan golongan
Ahmadiyah sebagai golongan non-Muslim serta melarang
anggauta-anggautanya naik haji. Jelas sudah, bahwa penyebab
utama timbulnya kerusakan-kerusakan maupun korban jiwa itu,
datang dari Ahmadiyah sendiri. Aliran inilah biang keladi
dari kemarahan ummat Islam yang tak terbendungkan itu.
Sungguh sangat disesalkan telah terjadi peristiwa itu, akan
tetapi sangat disayangkan bahwa pemerintah tidak mengambil
inisiatif jauh-jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum
peristiwa-peristiwa yang silam itu, untuk menghentikan
aliran Mirza Ghulam itu dan menyatakan sebagai aliran
non-Islam maupun membubarkannya sekaligus!
Sudah jelas, bila golongan kecil Ahmadiyah ini, bila dikaji
faham-fahamnya, maupun aqidahnya ataupun hanya
disebut-sebut. namanya, akan menimbulkan tidak sedap dan
menggelisahkan kaum Muslimin, bahkan bisa terjadi
kemarahan-kemarahan dan korban. Ia jauh lebih terorganisir,
rapi, sempurna, dan persiapan-persiapan masa depannya maupun
keuangannya sangat padat.
Sebaliknya dari peristiwa 1974 itu, gerakan Ahmadiyah
sendiri mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Golongan
ini berkata:
"Rahasia di-non-Islamkannya Ahmadiyah, ialah
sebagaimana yang diberitakan oleh harian - Imroz
Lahore Pakistan, seperti berikut ini: Chiniot, 16
November (74). Menteri Kehakiman Propinsi merangkap
urusan Parlemen, Sadar Asghar Ahmad, dihadapan rapat
akbar di Jerwala mengatakan, bahwa partai rakyat (yang
berkuasa di Pakistan sekarang) telah berhasil
menyelesaikan masalah "Khataman Nubuwah" dengan cara
yang amat bijaksana. Penyelesaian masalah ini merupakan
kejadian besar sesudah peristiwa Karbala yang tercatat
dalam sejarah Islam. Perdana Menteri Ali Butto telah
berhasil menghancurkan siasat pemimpin-pemimpin
opposisi dengan menyelesaikan masalah Qadiani itu."
Kelihatan belangnya, bukan? Kita ini (Ahmadiyah) memang
sudah tau. Itulah sebabnya tidak pernah kecil hati.
Permainan politik memang begitu. Kaum opposisi di pemilihan
umum mendatang (1975) di Pakistan ingin menjadikan masalah
Ahmadiyah sebagai issue menarik untuk memperoleh suara.
Tetapi Ali Butto bukan @#$%^. Dia tau mental "alim-ulama"
yang rakus kursi, berselimutkan Agama ingin mencapai tujuan
politis."6
Lebih lanjut Ahmadiyah berkata:
"Saudi Arabia atau Rabhitah kalau mencap Ahmadiyah non
Islam - tidak mengherankan. Itu biasa, asal jangan
Tuhan yang me-non-Islamkan."7
Bahwa peristiwa di Pakistan itu merupakan tindakan kaum
oposisi serta para Ulama dengan maksud untuk mencapai tujuan
politis, itu adalah pendapat Ahmadiyah pribadi. Adalah sukar
untuk diterima, bahwa ikut sertanya Organisasi Dunia Islam
yang berkedudukan di Mekkah itu, termasuk dari rasa
solidaritas atau bertindak dalam rangka membantu tujuan
politis kaum oposisi di dalam negeri Pakistan. Melainkan
yang logis dan mudah dimengerti, bahwa Rabhitah Alam Islamy
telah me-non-Islamkan Ahmadiyah dan sekaligus melarang
angauta-anggautanya naik haji, ialah atas dasar-dasar
pertimbangan serta penelitian yang seksama akan bentuk
hakiki dari gerakan Ahmadiyah itu. Ulama-ulama di Pakistan,
India, atau dimana saja, melihat gerak-gerik Ahmadiyah tidak
lagi dari segi-segi lahirnya, akan tetapi pada segi-segi
bagian dalamnya.
Kenyataan dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Ahmadiyah sendiri, bahkan semenjak fajar-fajar munculnya
Mirza Ghulam Ahmad dan alirannya, sikap dan tindakan para
Ulama selalu menentang keras padanya. Dari suatu pengamatan
yang teliti, benih-benih yang ditanam Ahmadiyah di kemudian
hari jauh berbeda-beda dari sebelumnya, ia lebih banyak
menonjolkan merk Islamnya daripada sifatnya yang complex,
Syukur bahwa dari Ulama-ulama yang masyhur seperti: Mohammad
Hadr Husein, Abul Hasan Ali an-Nadwi, Abdul 'Alim Assidiqhi,
Abul Ala al-Maududi dan lain-lain, telah berhasil membuka
selubung kulit Ahmadiyah serta mengurai-urai isi dalamnya.
Predikat Ulama yang ada pada mereka, lebih-lebih lagi
sebagai putera-putera dari anak benua India, tidaklah
menimbulkan keragu-raguan untuk menyatakan bahwa hasil-hasil
tulisan mereka tentang kesesatan Ahmadiyah, adalah hasil
dari sikap-sikap yang jujur, obyektif dan tidak emosional.
Sehingga apa yang tidak jelas dari "Apa dan Siapa Ahmadiyah
itu" menjadi jelas dan disadari.
Namun demikian, kendati hasil telah dicapai, yaitu kesadaran
kaum Muslimin terhadap aliran Mirza Ghulam Ahmad itu, akan
tetapi pada kenyataannya pencapaian Ulama-ulama itu belumlah
sampai pada titik-titik intinya, belum mengena bahkan belum
menyentuh sekalipun pada lubuk dasar yang hakiki dari
Ahmadiyah. Akibatnya karena hal-hal tersebut, maka
problema-problema baru yang tampaknya lebih segar dan logis,
susul-menyusul datang dari Ahmadiyah. Bagaikan suatu
santapan yang dihidangkan pada kaum Muslimin, lebih sedap
dipandang, lebih enak disantap dan lebih komplit dari yang
sudah-sudah.
Ternyata Ahmadiyah berada dalam sigap berdiri di atas
kuda-kuda, menanti setiap serangan maupun kritikan dari luar
dan siap pula menangkis dan menyerangnya. Lebih jauh
Ahmadiyah berkata:
"Memang, seperti di persada Indonesia ini, umpamanya,
masih ada pula gelintiran manusia-buta yang menganggap
Ahmadiyah itu sesat. Sekalipun mereka tak mampu
membuktikannya menurut Qur'an dan Hadits Nabi s.a.w.
dan tak pula mampu memperhadapkan "dalil-dalil"nya itu
dengan Ahmadiyah, namun sekali-sekali terdengar pula
cetusan hati-kotornya yang tak pernah membekas "juridu
li-yuthfi 'u nurallahi bi-afwahihim" (mereka berhasrat
memadamkan cahaya kebenaran Ilahy itu dengan mulutnya),
tentu saja tak mungkin. Sebab itu untuk mereka tak lain
ialah: "mutu be-ghaidhikum" (benci dan dengkinya akan
dibawa atau membawa mereka pada maut."8
Akhirnya dengan lantang Ahmadiyah berkata:
"Anda orang berakal, bukan? Jangan mau diburung-ontakan
oleh anasir-anasir yang memusuhi Ahmadiyah dengan cara
lempar batu sembunyi tangan. Rata-rata mereka
berkaok-kaok dari belakang Ahmadiyah tetapi tidak
berani berhadapan. Mereka tau akan kelihatan
belangnya."9
Catatan kaki:
1 lih: Leonard Binder Religion and Politics in Pakistan
1963 University of California Press hal. 302: (In
Mid-May 1953, Maulana Maududi and Maulana Niazi were
both sentenced to death by a military court sitting at
Lahore. The severity of these sentence in an indication
of the outraged view that less restrained branch of the
services took of the effect of the Ahmadi agitation.
lih: Misbah-ul-Islam Faruqi- Introducing Maududi-1968 -
Darr al-Qalam al-Sur St Kuwait-hal. 113: (.., he was
made to face a farce of trial by a military tribunal
and was awarded death sentence for writing a pamphlet:
the Qadiani Problem.
2 lih: L. Binder hal. 302: religious persons
throughout Pakistan were, of course shocked at this
action of the military, but perhaps even more astounded
at the implied generalization of guilt.
3 lih: M.I Faruqi hal. 114: (When, after the death
sentence he was offered option of making an appeal for
mercy, his reply was: I would rather lay down my life
than request mercy from tyrans. If God has so wished, I
shall gladly submit. But if it is not His decision, no
matter what they may plan, they can do no harm to me.)
4 lih: L. Binder hal. 303: (the military and many
civil servants, apparently, have been so taken in by
propaganda of the jamaat they actually believe that
Maududi single handely created the whole islamic
constitution controvercy. Regardless of whether this
view is correct, the important thing to note is that
the islamic constitution controversy was considered the
root cause of the dreadful effects of the Ahmadi
agitation.)
5 lih: bulletin Ahmadiyah, al-Hisyam, jemaat Ahmadiyah
Ujung Pandang, no. 23/24 th. 1974 hal. 2/3.
6 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3/7.
7 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3.
8 lih. Saleh A, Nahdi Ahmadiyah di mata orang lain,
1971, Rapen Makassar. hal. 3.
9 lih. bulletin al-Hisyam, no. 23/24, 1974, hal. 5.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: ahmadiyah dan isolasionisme
@ Keroncong
Jika Allah menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah Muslim, apakah Maududi pantas menyatakan bahwa Ahmadiyah Non-Muslim? Padahal aqidah pokok Ahmadiyah adalah Laa Ilaaha Illallah, Muhammad-ar-Rasulullah.
Jika Allah menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah Muslim, apakah Maududi pantas menyatakan bahwa Ahmadiyah Non-Muslim? Padahal aqidah pokok Ahmadiyah adalah Laa Ilaaha Illallah, Muhammad-ar-Rasulullah.
Kedunghalang- LETNAN KOLONEL
-
Posts : 9081
Kepercayaan : Islam
Location : Bogor
Join date : 12.03.12
Reputation : 0
Similar topics
» Ahmadiyah sebagai Isolasionisme
» AHMADIYAH LAHORE
» ahmadiyah watak yahudi
» Qur'an made in Ahmadiyah
» islam dan ahmadiyah
» AHMADIYAH LAHORE
» ahmadiyah watak yahudi
» Qur'an made in Ahmadiyah
» islam dan ahmadiyah
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik