janganlah menyerupai orang kafir
Halaman 1 dari 1 • Share
janganlah menyerupai orang kafir
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat bahwa tidak boleh bagi muslim atau muslimah untuk ber-tasyabbuh (meniru) orang kafir baik dalam perkara ibadah, hari raya atau tasyabbuh dalam pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Larangan ber-tasyabbuh adalah kaidah yang agung dalam syariat Islam -namun ironisnya- saat ini banyak kaum muslimin telah keluar dari kaidah ini –termasuk juga di kalangan orang-orang yang berkepentingan terhadap perkara agama dan dakwah. Hal ini disebabkan karena kejahilan mereka terhadap agama, karena mereka mengikuti hawa nafsu, atau mereka hanyut dengan model-model masa kini serta taklid (mengikuti tanpa ilmu) kepada bangsa Eropa yang kafir. Sehingga keadaan ini termasuk menjadi penyebab kaum muslimin memiliki kedudukan yang rendah dan lemah serta berkuasanya orang asing terhadap mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)
Duhai, seandainya kaum muslimin mengetahui. Hendaknya diketahui, dalil–dalil atas benarnya kaidah penting ini banyak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Jika dalil-dalil dalam Al-Qur’an bersifat umum, maka As-Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat tersebut. Di antara dalil dari ayat Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ. وَءَاتَيْنَاهُمْ بَيِّنَاتٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوآءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat) kekuasaan dan kenabian. Dan kami berikan kepada mereka rizki-rizki yang baik dan kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). Dan kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih kepadanya. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 16-18)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam kitab Iqtidha hal. 8: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan bahwa Dia memberikan nikmat kepada Bani Israil dengan nikmat dien dan dunia. Bani Israil berselisih setelah datangnya ilmu akibat kedengkian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas syariat dari urusan agama itu dan Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti syariat tersebut. Serta Allah Subhanahu wa Ta'ala larang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Masuk dalam pengertian (orang-orang yang tidak mengetahui) adalah semua orang yang menyelisihi syariat Rasul. Yang dimaksud dengan ahwa-ahum adalah segala sesuatu yang menjadikan mereka cenderung kepada nafsu dan segala macam kebiasaan mereka yang nampak berupa jalan hidup mereka, yang merupakan konsekuensi dari agama mereka yang batil. Mereka cenderung kepada itu semua.
Mencocoki mereka dalam hal ini berarti mengikuti hawa nafsu mereka. Karena inilah, orang-orang kafir sangat bergembira dengan perbuatan tasyabbuh (meniru) yang dilakukan kaum muslimin dalam sebagian perkara mereka. Bahkan orang-orang kafir pun suka untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan hasil ini. Seandainya perbuatan tersebut tidak dianggap mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa menyelisihi mereka dalam hal ini justru lebih mencegah terhadap perbuatan mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu untuk mendapatkan ridha Allah ketika meninggalkan perbuatan tasyabbuh ini. Dan bahwa perbuatan meniru orang kafir dalam hal itu mungkin menjadi jalan untuk meniru mereka dalam perkara yang lain. Sesungguhnya (sebagaimana penggambaran dalam sebuah hadits) barangsiapa yang menggembala di sekitar daerah larangan maka dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalamnya. Maka apapun dari dua keadaan itu, niscaya akan terwujud tasyabbuh itu secara umum, walaupun keadaan yang pertama lebih jelas terlihat.”
Dalam bab ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمِنَ اْلأَحْزَابِ مَنْ يُنْكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ وَلاَ أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوآءَهُمْ بَعْدَ مَا جآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ
“Orang-orang yang kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nashrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia’. Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (Ar-Ra’d: 36-37)
Kata ganti ‘mereka’ (هُمْ) dalam kata hawa ‘nafsu mereka’ (أَهْوآءَهُمْ) kembali –wallahu a’lam– kepada yang disebutkan sebelumnya yaitu al-ahzab (kelompok-kelompok) yaitu orang-orang yang mengingkari sebagian Al-Kitab. Termasuk dalam pengertian ini adalah setiap orang yang mengingkari sesuatu dari Al Qur’an baik (dilakukan oleh) Yahudi atau Nashrani atau selain keduanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ...
“Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu...” (Ar-Ra’d: 37)
Mengikuti kaum kafir dalam perkara yang dikhususkan bagi agama mereka atau mengikuti agama mereka, termasuk mengikuti hawa nafsu mereka. Bahkan bisa jadi akan menyebabkan mengikuti hawa nafsu mereka dalam perkara lain selain perkara agama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka. Dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya telah diturunkan kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha hal. 43 tentang ayat ini: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (وَلاَ يَكُونُوا) ‘janganlah mereka menjadi’ adalah larangan mutlak untuk menyerupai orang kafir dan dalam ayat ini secara khusus juga terdapat larangan untuk menyerupai kerasnya hati mereka. Sedangkan kerasnya hati adalah buah dari maksiat.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini (4/310): “Karena inilah Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin menyerupai orang kafir dalam satu perkara, baik dalam perkara-perkara pokok ataupun cabang.”
Di antara larangan tasyabbuh adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘ra’ina’, akan tetapi katakan ‘undzurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir terdapat siksa yang pedih.” (Al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini (1/148): “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meniru orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Hal itu karena sesungguhnya orang Yahudi dahulu menggunakan kata-kata yang mengandung tauriyah (tipuan) karena mereka bermaksud untuk melecehkan. Semoga Allah melaknati mereka. Maka jika mereka ingin mengatakan ‘dengarkan kami’, mereka justru mengatakan ra’ina2. Mereka maksudkan makna ru’unah dengan makna dungu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُونَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar namun kami tidak menurutinya’. Dan (mereka mengatakan) pula: ‘dengarlah’, sedangkan kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) rai’na dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikan kami’ tentulah itu lebih baik dan lebih tepat. Akan tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (An-Nisa: 46)
Demikian pula terdapat hadits-hadits yang memuat berita tentang Yahudi bahwa jika memberi salam, mereka mengatakan As-samu ‘alaikum, padahal As-samu berarti Al-Maut. Karena itulah kita diperintahkan untuk membalas (salam) mereka dengan perkataan ‘alaikum.1. Doa kita ini dikabulkan atas mereka dan doa mereka atas kita tidak dikabulkan.
Maksudnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin untuk menyerupai orang kafir dalam perkataan dan perbuatan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam hal. 22 yang ringkasnya: “Qatadah dan selainnya berkata: Yahudi mengatakan perkataan ini kepada Nabi sebagai istihza (olok-olok). Maka Allah melarang kaum mukminin untuk mengucapkan perkataan seperti mereka.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Yahudi mengatakan kepada Nabi ra’ina sam’aka. Mereka (bermaksud) mengolok-olok dengan ucapan ini karena di kalangan Yahudi perkataan ini adalah sebuah kejelekan. Ini menjelaskan bahwa kata-kata ini dilarang bagi kaum muslimin untuk mengucapkannya karena orang Yahudi mengucapkannya, walaupun orang Yahudi bermaksud jelek dan kaum muslimin tidak bermaksud jelek. Karena dalam hal itu terdapat kesamaan terhadap orang kafir dan memberi jalan bagi mereka untuk mencapai tujuan mereka.”
Dalam bab ini terdapat beberapa ayat lain, namun apa yang kami sebutkan telah mencukupi. Barangsiapa yang ingin mengetahui ayat-ayat itu silakan melihat kitab Iqtidha.
Dari ayat-ayat sebelumnya telah jelas bahwa meninggalkan jalan hidup orang kafir dan tidak meniru mereka dalam perbuatan, ucapan, dan hawa nafsu mereka merupakan maksud dan tujuan syariat ini. Maksud dan tujuan syariat itu terdapat di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hal itu ssrta merincinya untuk umat ini. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu juga dalam banyak perkara dari cabang syariat. Sehingga Yahudi yang tinggal di Madinah sangat mengetahui hal ini, bahkan mereka merasa bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menyelisihi mereka dalam segala urusan yang menjadi ciri khas mereka. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
إِنَّ الْيَهُوْدَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُواهَا، وَلَمْ يُجَامِعُواهَا فِي الْبُيُوْتِ،فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ.....) إِلَى آخِيْرِ اْلآيَةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُوْدَ، فَقَالُوا مَا يُرِيْدُ هَذَا الرَّجُوْلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلاَّ خَالَفَنَافِيْهِ، فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ، وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ،فَقَالاَ: يَارَسُوْلَ اللهِ! إِنَّ الْيَهُوْدَ تَقُوْلُ كَذَاوَكَذَا، أَفَلاَ نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجَهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا، فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةً مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَأَرْسَلَ فِيْ آثَرِهِمَا، فَسَقَاهٌمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا
“Sesungguhnya pada Kaum Yahudi jika ada seorang wanita di antara mereka mengalami haidh, mereka tidak bersedia makan bersama wanita tersebut dan tidak berkumpul dengan wanita itu dalam rumah. Maka para shahabat bertanya kepada Nabi tentang hal ini, maka turunlah ayat Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. (Al-Baqarah: 222)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda menjawab pertanyaan para shahabat: “Berbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (maksudnya jima’, red).”
Kejadian ini sampai kepada orang-orang Yahudi, merekapun berkata: “Laki-laki ini tidak membiarkan satu perkara pun dari perkara kita kecuali dia (pasti) menyelisihi kita dalam hal itu.”
Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr radhiallahu 'anhuma dan keduanya bertanya: “Ya Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya Yahudi berkata begini dan begitu. Tidakkah kita berjima’ saja dengan para wanita (untuk menyelisihi Yahudi)?” Berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga kami menyangka beliau marah kepada kedua shahabat itu sampai keduanya keluar (dari rumah Rasulullah). Kemudian kedua shahabat itu menerima hadiah berupa susu (yang ditujukan) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau menyusulkan hadiah tersebut kepada keduanya. Lantas Nabi memberi mereka berdua minum, maka (akhirnya) mereka berdua mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak marah kepada keduanya.3
Adapun dari As-Sunnah, maka nash-nash (dalil-dalil) tentang larangan tasyabbuh jumlahnya banyak, yang sangat baik untuk menguatkan kaidah yang lalu. Nash-nash dalam As-Sunnah ini tidak terbatas dalam satu bab saja dari sekian macam bab dalam syariat yang suci, misalnya shalat. Namun nash-nash ini juga mencakup juga hal selainnya, berupa perkara-perkara ibadah, adab, kemasyarakatan, dan adat. (Nash-nash dari As-Sunnah) ini adalah penjelas yang merinci keterangan global yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang telah lalu dan ayat yang semisalnya, sebagaimana telah diisyaratkan.
1 Untuk memutlakkan jawaban seperti ini, masih perlu kajian lebih lanjut. Silakan lihat apa yang saya sebutkan dalam Ash-Shahihah, 2/324-330.
2 Adapun makna ra’ina adalah orang yang jahat di antara kami.
3 Dikeluarkan Al-Imam Muslim (1/169) dan Abu ‘Awanah (1/311-322) dalam kitab Shahih keduanya. Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh selain mereka yang kami sebutkan (di atas), dan kami telah menjelaskannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 250).
Syaikhul Islam dalam Iqtidha berkata: “Hadits ini menunjukkan banyaknya hal yang Allah syariatkan bagi Nabi-Nya untuk menyelisihi kaum Yahudi, bahkan dalam setiap perkara secara umum, hingga kaum Yahudi mengatakan: ‘Laki-laki ini tidak menginginkan untuk membiarkan satu perkarapun dari perkara kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara itu’.
Adapun hukum menyelisihi -sebagaimana yang akan dijelaskan- terkadang terjadi pada hukum asalnya dan terkadang dalam sifat hukumnya. Menjauhi wanita yang haidh (pada kaum Yahudi) tidak diselisihi kaum muslimin pada asal hukumnya. Namun kaum muslimin menyelisihi dalam sifatnya dari sisi bahwa Allah mensyariatkan mendekati wanita haidh selain dari tempat haidh (kemaluan). Maka ketika sebagian shahabat melampaui batas dalam menyelisihi (Yahudi) sampai meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan, berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bab ini termasuk dalam perkara thaharah di mana kaum Yahudi mempunyai belenggu yang besar di dalamnya. Adapun kaum Nashrani telah membuat bid’ah dengan meninggalkan hukum thaharah ini seluruhnya sehingga mereka tidak menganggap najis sesuatu pun tanpa syariat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada umat yang pertengahan ini (umat Islam) dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi umat ini berupa hukum yang pertengahan dalam hal ini, meskipun apa yang dulu ada pada orang Yahudi juga disyariatkan (untuk mereka). Maka menjauhi hal yang tidak disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjauhinya berarti mendekati (perbuatan) Yahudi, dan mengerjakan hal yang disyariatkan Allah untuk menjauhinya adalah mendekati (perbuatan) Nashara. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
HADITS TENTANG MENYELISIHI KUFFAR
عَنْ أَبِيْ عُمَيْرٍ ابْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُوْمَةٍ لَهُ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ: اهْتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّلاَةِ كَيْفَ يَجْمَعُ النَّاسَ لَهَا فَقِيْلَ لَهُ انْصِبْ رَايَةً عِنْدَ حُضُوْرِ الصَّلاَةِ فَإِذَا رَأَوْهَا أَذَّنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ، قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ، يَعْنِى الشَّبُوْرَ (وَفِيْ رِوَيَةٍ شَبُّوْرُ الْيَهُوْدِ) فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ، وَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُوْدِ، قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ النَّاقُوْسُ، فَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى، فَانْصَرَفَ عَبْدُ اللهِ بْنِ زَيْدٍ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ، وَهُوَ مٌهْتَمٌّ لِِهَمِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأٌرِيَ اْلأَذَانَ فِيْ مَنَامِهِ
Dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya dari kalangan Anshar berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memikirkan tentang shalat, yaitu bagaimana cara mengumpulkan manusia untuk shalat. Maka dikatakan kepada beliau: “Kibarkan bendera saat tiba waktu shalat. Jika kaum muslimin melihatnya, maka sebagian menyeru (memberi tahu) kepada yang lain.” Namun beliau tidak menyukai hal itu. Kemudian Abu ‘Umair berkata: Lantas disebutkan kepada beliau tentang Al-Qun’u yaitu terompet (dalam satu riwayat: terompet Yahudi) dan beliau tetap tidak menyukainya dan bersabda: “Terompet itu dari Yahudi.” Abu ‘Umair berkata: Disebutkan kepada beliau tentang lonceng. Maka beliau bersabda: “Lonceng itu dari Nashara.” Maka pulanglah Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, dan dia adalah orang yang perhatian terhadap apa yang dipikirkan Nabi maka dia diperlihatkan adzan dalam tidurnya.” (Ini adalah hadits shahih yang kami riwayatkan dalam kitab kami Shahih Sunan Abu Dawud no. 511 dan kami sebutkan di dalam kitab itu para imam yang menshahihkannya.)
عَنْ جُنْدُبٍ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قَالَ: سَمِعْتٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوْتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُوْلُ: ..... أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ وَالصَّالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Dari Jundub yaitu Ibnu Abdillah Al-Bajali berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat beliau, beliau mengatakan: ….. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur nabi-nabi dan orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Perhatikanlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan seperti itu.” (HR. Muslim 2/67-68, Abu ‘Awanah, 1/401 di dalam Shahih keduanya, dan Ibnu Sa’d, 2/2/35)
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَالِفُوا الْيَهُوْدَ، فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّوْنَ فِيْ نِعَالِهِمْ، وَلاَ فِيْ خِفَافِهِمْ
Dari Syaddad bin Aus berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Selisihilah Yahudi. Karena mereka tidak shalat di atas sandalnya dan tidak dalam khuf mereka.” (Kami riwayatkan hadits ini di dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 659 dan kami sebutkan di sana para imam yang menshahihkannya)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)
Duhai, seandainya kaum muslimin mengetahui. Hendaknya diketahui, dalil–dalil atas benarnya kaidah penting ini banyak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Jika dalil-dalil dalam Al-Qur’an bersifat umum, maka As-Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat tersebut. Di antara dalil dari ayat Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ. وَءَاتَيْنَاهُمْ بَيِّنَاتٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوآءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat) kekuasaan dan kenabian. Dan kami berikan kepada mereka rizki-rizki yang baik dan kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). Dan kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih kepadanya. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 16-18)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam kitab Iqtidha hal. 8: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan bahwa Dia memberikan nikmat kepada Bani Israil dengan nikmat dien dan dunia. Bani Israil berselisih setelah datangnya ilmu akibat kedengkian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas syariat dari urusan agama itu dan Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti syariat tersebut. Serta Allah Subhanahu wa Ta'ala larang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Masuk dalam pengertian (orang-orang yang tidak mengetahui) adalah semua orang yang menyelisihi syariat Rasul. Yang dimaksud dengan ahwa-ahum adalah segala sesuatu yang menjadikan mereka cenderung kepada nafsu dan segala macam kebiasaan mereka yang nampak berupa jalan hidup mereka, yang merupakan konsekuensi dari agama mereka yang batil. Mereka cenderung kepada itu semua.
Mencocoki mereka dalam hal ini berarti mengikuti hawa nafsu mereka. Karena inilah, orang-orang kafir sangat bergembira dengan perbuatan tasyabbuh (meniru) yang dilakukan kaum muslimin dalam sebagian perkara mereka. Bahkan orang-orang kafir pun suka untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan hasil ini. Seandainya perbuatan tersebut tidak dianggap mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa menyelisihi mereka dalam hal ini justru lebih mencegah terhadap perbuatan mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu untuk mendapatkan ridha Allah ketika meninggalkan perbuatan tasyabbuh ini. Dan bahwa perbuatan meniru orang kafir dalam hal itu mungkin menjadi jalan untuk meniru mereka dalam perkara yang lain. Sesungguhnya (sebagaimana penggambaran dalam sebuah hadits) barangsiapa yang menggembala di sekitar daerah larangan maka dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalamnya. Maka apapun dari dua keadaan itu, niscaya akan terwujud tasyabbuh itu secara umum, walaupun keadaan yang pertama lebih jelas terlihat.”
Dalam bab ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمِنَ اْلأَحْزَابِ مَنْ يُنْكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ وَلاَ أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوآءَهُمْ بَعْدَ مَا جآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ
“Orang-orang yang kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nashrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia’. Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (Ar-Ra’d: 36-37)
Kata ganti ‘mereka’ (هُمْ) dalam kata hawa ‘nafsu mereka’ (أَهْوآءَهُمْ) kembali –wallahu a’lam– kepada yang disebutkan sebelumnya yaitu al-ahzab (kelompok-kelompok) yaitu orang-orang yang mengingkari sebagian Al-Kitab. Termasuk dalam pengertian ini adalah setiap orang yang mengingkari sesuatu dari Al Qur’an baik (dilakukan oleh) Yahudi atau Nashrani atau selain keduanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ...
“Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu...” (Ar-Ra’d: 37)
Mengikuti kaum kafir dalam perkara yang dikhususkan bagi agama mereka atau mengikuti agama mereka, termasuk mengikuti hawa nafsu mereka. Bahkan bisa jadi akan menyebabkan mengikuti hawa nafsu mereka dalam perkara lain selain perkara agama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka. Dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya telah diturunkan kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha hal. 43 tentang ayat ini: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (وَلاَ يَكُونُوا) ‘janganlah mereka menjadi’ adalah larangan mutlak untuk menyerupai orang kafir dan dalam ayat ini secara khusus juga terdapat larangan untuk menyerupai kerasnya hati mereka. Sedangkan kerasnya hati adalah buah dari maksiat.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini (4/310): “Karena inilah Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin menyerupai orang kafir dalam satu perkara, baik dalam perkara-perkara pokok ataupun cabang.”
Di antara larangan tasyabbuh adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘ra’ina’, akan tetapi katakan ‘undzurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir terdapat siksa yang pedih.” (Al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini (1/148): “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meniru orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Hal itu karena sesungguhnya orang Yahudi dahulu menggunakan kata-kata yang mengandung tauriyah (tipuan) karena mereka bermaksud untuk melecehkan. Semoga Allah melaknati mereka. Maka jika mereka ingin mengatakan ‘dengarkan kami’, mereka justru mengatakan ra’ina2. Mereka maksudkan makna ru’unah dengan makna dungu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُونَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar namun kami tidak menurutinya’. Dan (mereka mengatakan) pula: ‘dengarlah’, sedangkan kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) rai’na dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikan kami’ tentulah itu lebih baik dan lebih tepat. Akan tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (An-Nisa: 46)
Demikian pula terdapat hadits-hadits yang memuat berita tentang Yahudi bahwa jika memberi salam, mereka mengatakan As-samu ‘alaikum, padahal As-samu berarti Al-Maut. Karena itulah kita diperintahkan untuk membalas (salam) mereka dengan perkataan ‘alaikum.1. Doa kita ini dikabulkan atas mereka dan doa mereka atas kita tidak dikabulkan.
Maksudnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kaum mukminin untuk menyerupai orang kafir dalam perkataan dan perbuatan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam hal. 22 yang ringkasnya: “Qatadah dan selainnya berkata: Yahudi mengatakan perkataan ini kepada Nabi sebagai istihza (olok-olok). Maka Allah melarang kaum mukminin untuk mengucapkan perkataan seperti mereka.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Yahudi mengatakan kepada Nabi ra’ina sam’aka. Mereka (bermaksud) mengolok-olok dengan ucapan ini karena di kalangan Yahudi perkataan ini adalah sebuah kejelekan. Ini menjelaskan bahwa kata-kata ini dilarang bagi kaum muslimin untuk mengucapkannya karena orang Yahudi mengucapkannya, walaupun orang Yahudi bermaksud jelek dan kaum muslimin tidak bermaksud jelek. Karena dalam hal itu terdapat kesamaan terhadap orang kafir dan memberi jalan bagi mereka untuk mencapai tujuan mereka.”
Dalam bab ini terdapat beberapa ayat lain, namun apa yang kami sebutkan telah mencukupi. Barangsiapa yang ingin mengetahui ayat-ayat itu silakan melihat kitab Iqtidha.
Dari ayat-ayat sebelumnya telah jelas bahwa meninggalkan jalan hidup orang kafir dan tidak meniru mereka dalam perbuatan, ucapan, dan hawa nafsu mereka merupakan maksud dan tujuan syariat ini. Maksud dan tujuan syariat itu terdapat di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan hal itu ssrta merincinya untuk umat ini. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu juga dalam banyak perkara dari cabang syariat. Sehingga Yahudi yang tinggal di Madinah sangat mengetahui hal ini, bahkan mereka merasa bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menyelisihi mereka dalam segala urusan yang menjadi ciri khas mereka. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
إِنَّ الْيَهُوْدَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُواهَا، وَلَمْ يُجَامِعُواهَا فِي الْبُيُوْتِ،فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ.....) إِلَى آخِيْرِ اْلآيَةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُوْدَ، فَقَالُوا مَا يُرِيْدُ هَذَا الرَّجُوْلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلاَّ خَالَفَنَافِيْهِ، فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ، وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ،فَقَالاَ: يَارَسُوْلَ اللهِ! إِنَّ الْيَهُوْدَ تَقُوْلُ كَذَاوَكَذَا، أَفَلاَ نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجَهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا، فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةً مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَأَرْسَلَ فِيْ آثَرِهِمَا، فَسَقَاهٌمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا
“Sesungguhnya pada Kaum Yahudi jika ada seorang wanita di antara mereka mengalami haidh, mereka tidak bersedia makan bersama wanita tersebut dan tidak berkumpul dengan wanita itu dalam rumah. Maka para shahabat bertanya kepada Nabi tentang hal ini, maka turunlah ayat Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. (Al-Baqarah: 222)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda menjawab pertanyaan para shahabat: “Berbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (maksudnya jima’, red).”
Kejadian ini sampai kepada orang-orang Yahudi, merekapun berkata: “Laki-laki ini tidak membiarkan satu perkara pun dari perkara kita kecuali dia (pasti) menyelisihi kita dalam hal itu.”
Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr radhiallahu 'anhuma dan keduanya bertanya: “Ya Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya Yahudi berkata begini dan begitu. Tidakkah kita berjima’ saja dengan para wanita (untuk menyelisihi Yahudi)?” Berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga kami menyangka beliau marah kepada kedua shahabat itu sampai keduanya keluar (dari rumah Rasulullah). Kemudian kedua shahabat itu menerima hadiah berupa susu (yang ditujukan) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau menyusulkan hadiah tersebut kepada keduanya. Lantas Nabi memberi mereka berdua minum, maka (akhirnya) mereka berdua mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak marah kepada keduanya.3
Adapun dari As-Sunnah, maka nash-nash (dalil-dalil) tentang larangan tasyabbuh jumlahnya banyak, yang sangat baik untuk menguatkan kaidah yang lalu. Nash-nash dalam As-Sunnah ini tidak terbatas dalam satu bab saja dari sekian macam bab dalam syariat yang suci, misalnya shalat. Namun nash-nash ini juga mencakup juga hal selainnya, berupa perkara-perkara ibadah, adab, kemasyarakatan, dan adat. (Nash-nash dari As-Sunnah) ini adalah penjelas yang merinci keterangan global yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang telah lalu dan ayat yang semisalnya, sebagaimana telah diisyaratkan.
1 Untuk memutlakkan jawaban seperti ini, masih perlu kajian lebih lanjut. Silakan lihat apa yang saya sebutkan dalam Ash-Shahihah, 2/324-330.
2 Adapun makna ra’ina adalah orang yang jahat di antara kami.
3 Dikeluarkan Al-Imam Muslim (1/169) dan Abu ‘Awanah (1/311-322) dalam kitab Shahih keduanya. Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh selain mereka yang kami sebutkan (di atas), dan kami telah menjelaskannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 250).
Syaikhul Islam dalam Iqtidha berkata: “Hadits ini menunjukkan banyaknya hal yang Allah syariatkan bagi Nabi-Nya untuk menyelisihi kaum Yahudi, bahkan dalam setiap perkara secara umum, hingga kaum Yahudi mengatakan: ‘Laki-laki ini tidak menginginkan untuk membiarkan satu perkarapun dari perkara kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara itu’.
Adapun hukum menyelisihi -sebagaimana yang akan dijelaskan- terkadang terjadi pada hukum asalnya dan terkadang dalam sifat hukumnya. Menjauhi wanita yang haidh (pada kaum Yahudi) tidak diselisihi kaum muslimin pada asal hukumnya. Namun kaum muslimin menyelisihi dalam sifatnya dari sisi bahwa Allah mensyariatkan mendekati wanita haidh selain dari tempat haidh (kemaluan). Maka ketika sebagian shahabat melampaui batas dalam menyelisihi (Yahudi) sampai meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan, berubahlah wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bab ini termasuk dalam perkara thaharah di mana kaum Yahudi mempunyai belenggu yang besar di dalamnya. Adapun kaum Nashrani telah membuat bid’ah dengan meninggalkan hukum thaharah ini seluruhnya sehingga mereka tidak menganggap najis sesuatu pun tanpa syariat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan petunjuk kepada umat yang pertengahan ini (umat Islam) dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi umat ini berupa hukum yang pertengahan dalam hal ini, meskipun apa yang dulu ada pada orang Yahudi juga disyariatkan (untuk mereka). Maka menjauhi hal yang tidak disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjauhinya berarti mendekati (perbuatan) Yahudi, dan mengerjakan hal yang disyariatkan Allah untuk menjauhinya adalah mendekati (perbuatan) Nashara. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
HADITS TENTANG MENYELISIHI KUFFAR
عَنْ أَبِيْ عُمَيْرٍ ابْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُوْمَةٍ لَهُ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ: اهْتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّلاَةِ كَيْفَ يَجْمَعُ النَّاسَ لَهَا فَقِيْلَ لَهُ انْصِبْ رَايَةً عِنْدَ حُضُوْرِ الصَّلاَةِ فَإِذَا رَأَوْهَا أَذَّنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ، قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ، يَعْنِى الشَّبُوْرَ (وَفِيْ رِوَيَةٍ شَبُّوْرُ الْيَهُوْدِ) فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ، وَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُوْدِ، قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ النَّاقُوْسُ، فَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى، فَانْصَرَفَ عَبْدُ اللهِ بْنِ زَيْدٍ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ، وَهُوَ مٌهْتَمٌّ لِِهَمِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأٌرِيَ اْلأَذَانَ فِيْ مَنَامِهِ
Dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya dari kalangan Anshar berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memikirkan tentang shalat, yaitu bagaimana cara mengumpulkan manusia untuk shalat. Maka dikatakan kepada beliau: “Kibarkan bendera saat tiba waktu shalat. Jika kaum muslimin melihatnya, maka sebagian menyeru (memberi tahu) kepada yang lain.” Namun beliau tidak menyukai hal itu. Kemudian Abu ‘Umair berkata: Lantas disebutkan kepada beliau tentang Al-Qun’u yaitu terompet (dalam satu riwayat: terompet Yahudi) dan beliau tetap tidak menyukainya dan bersabda: “Terompet itu dari Yahudi.” Abu ‘Umair berkata: Disebutkan kepada beliau tentang lonceng. Maka beliau bersabda: “Lonceng itu dari Nashara.” Maka pulanglah Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, dan dia adalah orang yang perhatian terhadap apa yang dipikirkan Nabi maka dia diperlihatkan adzan dalam tidurnya.” (Ini adalah hadits shahih yang kami riwayatkan dalam kitab kami Shahih Sunan Abu Dawud no. 511 dan kami sebutkan di dalam kitab itu para imam yang menshahihkannya.)
عَنْ جُنْدُبٍ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قَالَ: سَمِعْتٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوْتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُوْلُ: ..... أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ وَالصَّالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Dari Jundub yaitu Ibnu Abdillah Al-Bajali berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat beliau, beliau mengatakan: ….. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur nabi-nabi dan orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Perhatikanlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan seperti itu.” (HR. Muslim 2/67-68, Abu ‘Awanah, 1/401 di dalam Shahih keduanya, dan Ibnu Sa’d, 2/2/35)
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَالِفُوا الْيَهُوْدَ، فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّوْنَ فِيْ نِعَالِهِمْ، وَلاَ فِيْ خِفَافِهِمْ
Dari Syaddad bin Aus berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Selisihilah Yahudi. Karena mereka tidak shalat di atas sandalnya dan tidak dalam khuf mereka.” (Kami riwayatkan hadits ini di dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 659 dan kami sebutkan di sana para imam yang menshahihkannya)
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Re: janganlah menyerupai orang kafir
ejarah mencatat, kehidupan umat manusia sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah jauh dari petunjuk Ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan. Tidak heran bila masa itu dikenal dengan masa jahiliah.
Ketika kehidupan umat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin Abdillah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk Ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliahan yang gelap gulita menuju kehidupan Islami yang terang benderang.
Beliau tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebatilan. Sehingga benar-benar terasa bahwa kenabian dan apa yang beliau bawa merupakan barakah dan rahmat bagi semesta alam.
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah nobatkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai suri teladan terbaik bagi umat manusia, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan seluruh umat manusia untuk mengikutinya.
لَقَدْكَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)
وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan ikutilah dia (Muhammad), agar kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raf: 158)
Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengancam orang-orang yang menentangnya dan menyalahi perintahnya.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِمَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَسَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّه مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآ ءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah menguasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِه أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Atas dasar itulah, maka segala ajaran yang menyelisihi ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah batil dan tidak boleh untuk diikuti, terlebih lagi bila bersumber dari orang-orang kafir. Oleh karena itu, di antara prinsip Islam yang kokoh adalah kewajiban mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dilarang untuk mengikuti atau bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hakekat Tasyabbuh dan Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Pengertian Tasyabbuh
Tasyabbuh secara etimologis adalah bentuk mashdar dari (تَشَبَّهَ - يَتَشَبَّهُ) yang berarti menyerupai orang lain dalam suatu perkara. Sedangkan secara terminologis adalah menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal aqidah, ibadah, perayaan/ seremonial, hari-hari besar, kebiasaan, ciri-ciri, dan akhlak yang merupakan ciri khas bagi mereka.
Hukum Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Telah kami sebutkan sekian dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, atsar (amalan/ perkataan shahabat dan tabi’in), dan pengalaman1, yang semuanya menunjukkan bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara mereka merupakan sesuatu yang disyariatkan baik yang sifatnya wajib ataupun anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473)
Siapakah Orang-Orang Kafir yang Tidak Boleh Kita Menyerupainya?
Orang-orang kafir yang tidak boleh kita menyerupainya meliputi ahlul kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang kafir lainnya.
Bahaya Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Di antara bahaya dan dampak negatif tasyabbuh adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam penampilan dan akhlak, menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga tidak tampak lagi perbedaan secara dzahir antara umat Islam dengan Yahudi dan Nashara (orang-orang kafir).
3. Itu terjadi pada hal-hal yang asalnya mubah. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan kekafiran, maka sungguh telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan terhadap mereka. Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan dan kedekatan itu akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan terhadap mereka dapat meniadakan keimanan seseorang.
5. Lebih dari itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6025)
(Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juz 1, hal. 93, 94, dan 550)
Perkara-perkara yang Termasuk Tasyabbuh dan Diharuskan untuk Menyelisihinya
Perkara-perkara yang termasuk tasyabbuh dan diharuskan untuk menyelisihinya mencakup semua perkara yang merupakan ciri khas bagi mereka (di setiap masa) baik dalam hal aqidah, ibadah, hari-hari besar, penampilan/ model, ataupun tingkah laku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah apa saja (terhadap istri kalian) kecuali nikah (jima’).” (HR. Muslim, Kitabul Haidh, hadits no. 302)
“Maka hadits ini menunjukkan bahwa apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan kepada Nabi-Nya sangat banyak mengandung unsur penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi. Bahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelisihi mereka dalam semua perkara yang ada pada mereka, sampai-sampai mereka berkomentar: ‘Orang ini (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidaklah mendapati sesuatu pada kami kecuali berusaha untuk menyelisihinya.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/214-215, lihat pula 1/365)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh, pen).” (Majmu’ Durus Wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)
Perkara-perkara yang merupakan ciri khas mereka tersebut terbagi menjadi tiga jenis:
1. Perkara yang disyariatkan dalam agama kita dan juga dalam agama mereka. Atau dahulu bukan syariat mereka namun saat ini mereka kerjakan sebagaimana kita mengerjakannya, seperti: shaum ‘Asyura (10 Muharram, pen), shalat, dan shaum (puasa). Maka cara penyelisihannya adalah mengerjakannya dengan cara/ tuntunan yang berbeda dengan mereka.
Seperti mengiringkan shaum tasu’a (puasa 9 Muharram, pen) bersamaan dengan ‘Asyura, menyegerakan berbuka dan shalat maghrib, serta mengakhirkan sahur.
2. Perkara yang disyariatkan dalam agama mereka namun kemudian di-mansukh (dihapus) secara total, seperti hari Sabtu atau kewajiban shalat/ shaum tertentu. Maka diharamkan bagi kita untuk menyerupai mereka dalam perkara tersebut. Bahkan menyerupai mereka dalam perkara tersebut lebih jelek dari menyerupai mereka dalam perkara jenis pertama.
3. Perkara yang mereka ada-adakan dalam hal ibadah, adat, atau ibadah yang berkaitan dengan adat. Maka menyerupai mereka dalam jenis ini lebih jelek dari menyerupai mereka dalam dua jenis lainnya. (Diringkas dari Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/437-477)
Bagaimana dengan Mobil, Pesawat Terbang, dan Perangkat Teknologi Lainnya?
Memanfaatkan dan meniru mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk dari tasyabbuh. Karena apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakekatnya bukanlah ciri khas/ kekhususan yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim ataupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya, bukanlah bagian dari tasyabbuh. Karena Rasulullah sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan lain sebagainya. Sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nashara. Namun bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk dari tasyabbuh. (Diringkas dari Muqaddimah (Muhaqqiq) Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/48 dengan beberapa tambahan).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sesuatu yang sudah tersebar di kalangan umat Islam dan orang-orang kafir, maka penyerupaan dalam hal ini diperbolehkan walaupun asalnya dari orang-orang kafir, selama bukan sesuatu yang dzatnya haram seperti pakaian sutra (untuk laki-laki, pen).” (Majmu’ Durus wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)
Bagaimana dengan Pantalon?
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Pada pantalon (celana panjang yang umum dipakai kaum laki-laki saat ini, red) ada dua musibah:
1. Pemakainya menyerupai orang-orang kafir, karena umat Islam dahulu memakai sirwal (celana) yang luas dan lebar, yang sampai hari ini sebagiannya masih dipakai di Syiria dan Lebanon. Umat Islam tidaklah mengenalnya kecuali setelah masa penjajahan. Dan ketika para penjajah itu hengkang, mereka tinggalkan peninggalan-peninggalan yang jelek, yang akhirnya diambil oleh (sebagian besar) umat Islam karena kebodohannya.
2. Bahwasanya pantalon itu membentuk aurat, karena aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Seorang yang mengerjakan shalat sudah seharusnya menjauhkan diri dari maksiat, lalu bagaimana dengan seseorang yang dalam keadaan sujud kepada Allah sementara kedua pantatnya bahkan di antara keduanya tampak membentuk (karena shalat memakai pantalon, pen)?! Bagaimana orang ini mengerjakan shalat (dalam keadaan demikian) sedangkan dia sedang menghadap Rabb Semesta Alam?!…” (Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, hal.20-21)
Bagaimana Membangun Tempat Ibadah di Bekas Tempat-tempat Kekafiran dan Kemaksiatan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun tempat-tempat kekafiran dan kemaksiatan yang belum pernah terjadi padanya adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala jika dijadikan sebagai tempat yang bernuansa keimanan dan ketaatan maka bagus (bukan termasuk tasyabbuh). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penduduk Thaif agar membangun masjid di tempat sesembahan yang dahulu mereka punyai. Demikian pula penduduk Yamamah agar membangun masjid di tempat yang dahulu sebagai sinagog. Bahkan masjid beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam asalnya adalah kuburan orang-orang Musyrikin (beliau bangun setelah dipindahkannya semua kuburan-kuburan tersebut ke tempat lain).” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/266-267)
Apakah Tasyabbuh
harus dengan Niat?
Suatu amalan yang menyerupai ciri khas orang-orang kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada niatan untuk menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Demikian pula larangan tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang engkau niatkan untuk menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk menyerupai mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473, lihat pula 1/219-220, 226-227, dan 272).
Hikmah Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Menyelisihi orang-orang kafir mempunyai hikmah yang sangat besar bagi umat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang dzahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu, akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni An-Naar tersebut.
2. Bahwasanya cara/ jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang mansukh (terhapus dengan syariat Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syariat Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, juz 1 hal. 197, 198, 209, dan 365)
Realita Tasyabbuh yang Melanda Umat Islam
Bila kita cermati, realita kehidupan umat Islam menunjukkan bahwa kecenderungan mayoritas umat untuk bertasyabbuh dengan orang-orang kafir sangatlah kuat. Tidak sedikit dari para ahli ibadah yang menyerupai orang-orang Nashara dalam melakukan ibadahnya. Yakni, rajin beribadah namun tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Demikian pula tidak sedikit para intelektual yang menyerupai orang-orang Yahudi, yakni mengetahui kebenaran namun berusaha menghindari kebenaran tersebut karena dorongan hawa nafsunya. Pengkultusan orang-orang shalih dan pengkeramatan kuburan-kuburan mereka dengan berbagai macam praktek kesyirikan yang ada, merupakan wujud tasyabbuh dengan orang-orang musyrik dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashara). Demikian pula para muda-mudi yang kian hari kian gandrung dengan model dan budaya orang-orang kafir…, suatu realita buruk dan menyedihkan yang melanda umat ini.
Bila kita membuka kembali lembaran-lembaran sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata realita ini telah beliau kabarkan jauh-jauh hari sebelum beliau wafat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, lihat Al-Lu’lu Wal Marjan, hadits no. 1708)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Penyebutan lafadz jengkal, hasta, dan liang dhabb, adalah sebagai kinayah tentang kuatnya penyerupaan umat ini terhadap Yahudi dan Nashara. Sedangkan penyerupaan di sini dalam hal kemaksiatan dan pelanggaran-pelanggaran syar’i, bukan dalam hal kekafiran.” (Syarh Shahih Muslim 16/436).
Demikianlah kabar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar-benar telah menjadi fakta dan realita saat ini, suatu kabar yang hakekatnya merupakan peringatan agar umatnya tidak tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu 'anhu:
… لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabul Fitan, hadits no. 2180)
“Perkataan ini bukanlah persetujuan dari Rasul, bahkan merupakan peringatan dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena sebagaimana dimaklumi, cara/ jalan orang-orang sebelum kita (Yahudi dan Nashara) yang diikuti oleh umat ini adalah jalan yang sesat …” (Al-Qaulul Mufid, 1/202)
Mungkin ada yang bertanya, “Jika memang tasyabbuh dengan orang-orang kafir merupakan sunnatullah yang telah digariskan untuk umat ini, lalu mengapa perbuatan tersebut dilarang?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Karena Al Qur’an dan As Sunnah telah menerangkan pula bahwasanya akan selalu ada pada umat ini sekelompok kecil yang berpegang teguh dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga hari kiamat, dan umat ini tidak akan bersatu padu (secara keseluruhan) di atas kesesatan. Maka dengan adanya larangan dari perbuatan tasyabbuh akan memperbanyak kelompok kecil yang selalu dibela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ini, mengokohkan dan menambah keimanan mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat Yang Maha Mengabulkan, menjadikan kita bagian dari mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/170-171).
Semoga kajian tentang tasyabbuh ini menjadi secercah cahaya yang dapat menunjuki kita untuk selalu mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhkan kita dari cara/ jalan orang-orang kafir para penghuni jahannam.
Amin Ya Mujibas Sailin.
1 Lihat dalil-dalil tersebut dalam kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/95-406
Ketika kehidupan umat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin Abdillah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk Ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliahan yang gelap gulita menuju kehidupan Islami yang terang benderang.
Beliau tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebatilan. Sehingga benar-benar terasa bahwa kenabian dan apa yang beliau bawa merupakan barakah dan rahmat bagi semesta alam.
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah nobatkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai suri teladan terbaik bagi umat manusia, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan seluruh umat manusia untuk mengikutinya.
لَقَدْكَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)
وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan ikutilah dia (Muhammad), agar kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raf: 158)
Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengancam orang-orang yang menentangnya dan menyalahi perintahnya.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِمَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَسَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّه مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآ ءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah menguasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِه أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Atas dasar itulah, maka segala ajaran yang menyelisihi ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah batil dan tidak boleh untuk diikuti, terlebih lagi bila bersumber dari orang-orang kafir. Oleh karena itu, di antara prinsip Islam yang kokoh adalah kewajiban mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dilarang untuk mengikuti atau bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hakekat Tasyabbuh dan Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Pengertian Tasyabbuh
Tasyabbuh secara etimologis adalah bentuk mashdar dari (تَشَبَّهَ - يَتَشَبَّهُ) yang berarti menyerupai orang lain dalam suatu perkara. Sedangkan secara terminologis adalah menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal aqidah, ibadah, perayaan/ seremonial, hari-hari besar, kebiasaan, ciri-ciri, dan akhlak yang merupakan ciri khas bagi mereka.
Hukum Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Telah kami sebutkan sekian dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, atsar (amalan/ perkataan shahabat dan tabi’in), dan pengalaman1, yang semuanya menunjukkan bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara mereka merupakan sesuatu yang disyariatkan baik yang sifatnya wajib ataupun anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473)
Siapakah Orang-Orang Kafir yang Tidak Boleh Kita Menyerupainya?
Orang-orang kafir yang tidak boleh kita menyerupainya meliputi ahlul kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang kafir lainnya.
Bahaya Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Di antara bahaya dan dampak negatif tasyabbuh adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam penampilan dan akhlak, menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga tidak tampak lagi perbedaan secara dzahir antara umat Islam dengan Yahudi dan Nashara (orang-orang kafir).
3. Itu terjadi pada hal-hal yang asalnya mubah. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan kekafiran, maka sungguh telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan terhadap mereka. Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan dan kedekatan itu akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan terhadap mereka dapat meniadakan keimanan seseorang.
5. Lebih dari itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6025)
(Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juz 1, hal. 93, 94, dan 550)
Perkara-perkara yang Termasuk Tasyabbuh dan Diharuskan untuk Menyelisihinya
Perkara-perkara yang termasuk tasyabbuh dan diharuskan untuk menyelisihinya mencakup semua perkara yang merupakan ciri khas bagi mereka (di setiap masa) baik dalam hal aqidah, ibadah, hari-hari besar, penampilan/ model, ataupun tingkah laku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah apa saja (terhadap istri kalian) kecuali nikah (jima’).” (HR. Muslim, Kitabul Haidh, hadits no. 302)
“Maka hadits ini menunjukkan bahwa apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan kepada Nabi-Nya sangat banyak mengandung unsur penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi. Bahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelisihi mereka dalam semua perkara yang ada pada mereka, sampai-sampai mereka berkomentar: ‘Orang ini (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidaklah mendapati sesuatu pada kami kecuali berusaha untuk menyelisihinya.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/214-215, lihat pula 1/365)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh, pen).” (Majmu’ Durus Wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)
Perkara-perkara yang merupakan ciri khas mereka tersebut terbagi menjadi tiga jenis:
1. Perkara yang disyariatkan dalam agama kita dan juga dalam agama mereka. Atau dahulu bukan syariat mereka namun saat ini mereka kerjakan sebagaimana kita mengerjakannya, seperti: shaum ‘Asyura (10 Muharram, pen), shalat, dan shaum (puasa). Maka cara penyelisihannya adalah mengerjakannya dengan cara/ tuntunan yang berbeda dengan mereka.
Seperti mengiringkan shaum tasu’a (puasa 9 Muharram, pen) bersamaan dengan ‘Asyura, menyegerakan berbuka dan shalat maghrib, serta mengakhirkan sahur.
2. Perkara yang disyariatkan dalam agama mereka namun kemudian di-mansukh (dihapus) secara total, seperti hari Sabtu atau kewajiban shalat/ shaum tertentu. Maka diharamkan bagi kita untuk menyerupai mereka dalam perkara tersebut. Bahkan menyerupai mereka dalam perkara tersebut lebih jelek dari menyerupai mereka dalam perkara jenis pertama.
3. Perkara yang mereka ada-adakan dalam hal ibadah, adat, atau ibadah yang berkaitan dengan adat. Maka menyerupai mereka dalam jenis ini lebih jelek dari menyerupai mereka dalam dua jenis lainnya. (Diringkas dari Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/437-477)
Bagaimana dengan Mobil, Pesawat Terbang, dan Perangkat Teknologi Lainnya?
Memanfaatkan dan meniru mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk dari tasyabbuh. Karena apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakekatnya bukanlah ciri khas/ kekhususan yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim ataupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya, bukanlah bagian dari tasyabbuh. Karena Rasulullah sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan lain sebagainya. Sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nashara. Namun bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk dari tasyabbuh. (Diringkas dari Muqaddimah (Muhaqqiq) Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/48 dengan beberapa tambahan).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sesuatu yang sudah tersebar di kalangan umat Islam dan orang-orang kafir, maka penyerupaan dalam hal ini diperbolehkan walaupun asalnya dari orang-orang kafir, selama bukan sesuatu yang dzatnya haram seperti pakaian sutra (untuk laki-laki, pen).” (Majmu’ Durus wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)
Bagaimana dengan Pantalon?
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Pada pantalon (celana panjang yang umum dipakai kaum laki-laki saat ini, red) ada dua musibah:
1. Pemakainya menyerupai orang-orang kafir, karena umat Islam dahulu memakai sirwal (celana) yang luas dan lebar, yang sampai hari ini sebagiannya masih dipakai di Syiria dan Lebanon. Umat Islam tidaklah mengenalnya kecuali setelah masa penjajahan. Dan ketika para penjajah itu hengkang, mereka tinggalkan peninggalan-peninggalan yang jelek, yang akhirnya diambil oleh (sebagian besar) umat Islam karena kebodohannya.
2. Bahwasanya pantalon itu membentuk aurat, karena aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Seorang yang mengerjakan shalat sudah seharusnya menjauhkan diri dari maksiat, lalu bagaimana dengan seseorang yang dalam keadaan sujud kepada Allah sementara kedua pantatnya bahkan di antara keduanya tampak membentuk (karena shalat memakai pantalon, pen)?! Bagaimana orang ini mengerjakan shalat (dalam keadaan demikian) sedangkan dia sedang menghadap Rabb Semesta Alam?!…” (Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, hal.20-21)
Bagaimana Membangun Tempat Ibadah di Bekas Tempat-tempat Kekafiran dan Kemaksiatan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun tempat-tempat kekafiran dan kemaksiatan yang belum pernah terjadi padanya adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala jika dijadikan sebagai tempat yang bernuansa keimanan dan ketaatan maka bagus (bukan termasuk tasyabbuh). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penduduk Thaif agar membangun masjid di tempat sesembahan yang dahulu mereka punyai. Demikian pula penduduk Yamamah agar membangun masjid di tempat yang dahulu sebagai sinagog. Bahkan masjid beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam asalnya adalah kuburan orang-orang Musyrikin (beliau bangun setelah dipindahkannya semua kuburan-kuburan tersebut ke tempat lain).” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/266-267)
Apakah Tasyabbuh
harus dengan Niat?
Suatu amalan yang menyerupai ciri khas orang-orang kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada niatan untuk menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Demikian pula larangan tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang engkau niatkan untuk menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk menyerupai mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473, lihat pula 1/219-220, 226-227, dan 272).
Hikmah Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Menyelisihi orang-orang kafir mempunyai hikmah yang sangat besar bagi umat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang dzahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu, akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni An-Naar tersebut.
2. Bahwasanya cara/ jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang mansukh (terhapus dengan syariat Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syariat Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, juz 1 hal. 197, 198, 209, dan 365)
Realita Tasyabbuh yang Melanda Umat Islam
Bila kita cermati, realita kehidupan umat Islam menunjukkan bahwa kecenderungan mayoritas umat untuk bertasyabbuh dengan orang-orang kafir sangatlah kuat. Tidak sedikit dari para ahli ibadah yang menyerupai orang-orang Nashara dalam melakukan ibadahnya. Yakni, rajin beribadah namun tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Demikian pula tidak sedikit para intelektual yang menyerupai orang-orang Yahudi, yakni mengetahui kebenaran namun berusaha menghindari kebenaran tersebut karena dorongan hawa nafsunya. Pengkultusan orang-orang shalih dan pengkeramatan kuburan-kuburan mereka dengan berbagai macam praktek kesyirikan yang ada, merupakan wujud tasyabbuh dengan orang-orang musyrik dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashara). Demikian pula para muda-mudi yang kian hari kian gandrung dengan model dan budaya orang-orang kafir…, suatu realita buruk dan menyedihkan yang melanda umat ini.
Bila kita membuka kembali lembaran-lembaran sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata realita ini telah beliau kabarkan jauh-jauh hari sebelum beliau wafat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, lihat Al-Lu’lu Wal Marjan, hadits no. 1708)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Penyebutan lafadz jengkal, hasta, dan liang dhabb, adalah sebagai kinayah tentang kuatnya penyerupaan umat ini terhadap Yahudi dan Nashara. Sedangkan penyerupaan di sini dalam hal kemaksiatan dan pelanggaran-pelanggaran syar’i, bukan dalam hal kekafiran.” (Syarh Shahih Muslim 16/436).
Demikianlah kabar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar-benar telah menjadi fakta dan realita saat ini, suatu kabar yang hakekatnya merupakan peringatan agar umatnya tidak tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu 'anhu:
… لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabul Fitan, hadits no. 2180)
“Perkataan ini bukanlah persetujuan dari Rasul, bahkan merupakan peringatan dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena sebagaimana dimaklumi, cara/ jalan orang-orang sebelum kita (Yahudi dan Nashara) yang diikuti oleh umat ini adalah jalan yang sesat …” (Al-Qaulul Mufid, 1/202)
Mungkin ada yang bertanya, “Jika memang tasyabbuh dengan orang-orang kafir merupakan sunnatullah yang telah digariskan untuk umat ini, lalu mengapa perbuatan tersebut dilarang?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Karena Al Qur’an dan As Sunnah telah menerangkan pula bahwasanya akan selalu ada pada umat ini sekelompok kecil yang berpegang teguh dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga hari kiamat, dan umat ini tidak akan bersatu padu (secara keseluruhan) di atas kesesatan. Maka dengan adanya larangan dari perbuatan tasyabbuh akan memperbanyak kelompok kecil yang selalu dibela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ini, mengokohkan dan menambah keimanan mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat Yang Maha Mengabulkan, menjadikan kita bagian dari mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/170-171).
Semoga kajian tentang tasyabbuh ini menjadi secercah cahaya yang dapat menunjuki kita untuk selalu mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhkan kita dari cara/ jalan orang-orang kafir para penghuni jahannam.
Amin Ya Mujibas Sailin.
1 Lihat dalil-dalil tersebut dalam kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/95-406
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Re: janganlah menyerupai orang kafir
sekalian aja..
JANGAN GUNAKAN PRODUK-PRODUK TEKNOLOGI KAFIR
berani?
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: janganlah menyerupai orang kafir
SEGOROWEDI wrote:
sekalian aja..
JANGAN GUNAKAN PRODUK-PRODUK TEKNOLOGI KAFIR
berani?
koq jadi sewot gitu pak wedi?
yang dilarang kan meniru tradisi mereka, bukan memakai teknologi mereka.....
bee gees- SERSAN SATU
-
Posts : 152
Kepercayaan : Islam
Location : douglas
Join date : 27.06.13
Reputation : 0
Re: janganlah menyerupai orang kafir
gak berani ya?
mana bisa menghalangi tradisi kafir
sekarang aja malah berbondong-bondong para ustats jadi selebritis
ikut-ikutan memuja-muji ilah dan muhammad via nyanyi dan musik
para musisi islam apalagi..
artis muslimahnya juga sama..
dandanan wajahnya menor-menor, bajunya warna-warni..
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: janganlah menyerupai orang kafir
SEGOROWEDI wrote:
gak berani ya?
mana bisa menghalangi tradisi kafir
sekarang aja malah berbondong-bondong para ustats jadi selebritis
ikut-ikutan memuja-muji ilah dan muhammad via nyanyi dan musik
para musisi islam apalagi..
artis muslimahnya juga sama..
dandanan wajahnya menor-menor, bajunya warna-warni..
emangnya nyanyi tradisi kafir ya?
bee gees- SERSAN SATU
-
Posts : 152
Kepercayaan : Islam
Location : douglas
Join date : 27.06.13
Reputation : 0
Re: janganlah menyerupai orang kafir
emang muhammad pernah nyanyi?
btw. gitar, piano, drum, keybord, dan lain-lain kan produk budaya/tradisi kafir
kenapa kalian gak pakai rebana aja? islami..
btw. gitar, piano, drum, keybord, dan lain-lain kan produk budaya/tradisi kafir
kenapa kalian gak pakai rebana aja? islami..
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: janganlah menyerupai orang kafir
SEGOROWEDI wrote:emang muhammad pernah nyanyi?
btw. gitar, piano, drum, keybord, dan lain-lain kan produk budaya/tradisi kafir
kenapa kalian gak pakai rebana aja? islami..
emang gitar, piano, drum, keybord sudah ada di jaman yesus?
bee gees- SERSAN SATU
-
Posts : 152
Kepercayaan : Islam
Location : douglas
Join date : 27.06.13
Reputation : 0
Re: janganlah menyerupai orang kafir
lha kita kan tidak dilarang..
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: janganlah menyerupai orang kafir
kamu bikin avatar aja kafir
kenapa bukan umar bin kotob atau muhammad sekalian
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: janganlah menyerupai orang kafir
SEGOROWEDI wrote:
kamu bikin avatar aja kafir
kenapa bukan umar bin kotob atau muhammad sekalian
yang kafir kan bukan avatarnya..... avatar ga ada yg kafir....
yang kafir itu orangnya
bee gees- SERSAN SATU
-
Posts : 152
Kepercayaan : Islam
Location : douglas
Join date : 27.06.13
Reputation : 0
Re: janganlah menyerupai orang kafir
orang kafir malah diavatari
kenapa bukan umar bin kotob atau muhammad?
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Similar topics
» Akhlak Terhadap Orang Kafir
» makan ayam sembelihan orang kafir
» janganlah berpecah belah
» apakah orang kafir bisa masuk sorga?
» terkait orang-orang yang serumpun dengan orang-orang negara Indonesia
» makan ayam sembelihan orang kafir
» janganlah berpecah belah
» apakah orang kafir bisa masuk sorga?
» terkait orang-orang yang serumpun dengan orang-orang negara Indonesia
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik