Akhlak Terhadap Orang Kafir
Halaman 1 dari 1 • Share
Akhlak Terhadap Orang Kafir
Akhlak Terhadap Orang Kafir
PERTANYAAN :
Syaikh Ali bin Hasan Abdul Hamid Al-Halaby ditanya*) :
"Bagaimana akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ketika bergaul dengan orang-orang kafir?"
BELIAU MENJAWAB :
Akhlak Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam adalah Al-Qur’an sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallâhu'anha ketika ditanya akhlak Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau radhiyallâhu'anha menjawab:
“Akhlak beliau (Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam) adalah Al-Qur’an”
Kemudian Aisyah radhiyallâhu'anha membacakan ayat.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(QS al-Qalam/68 : 4)
Kata “khuluqin ‘azhim” (budi pekerti yang agung) dalam ayat ini, mencakup seluruh akhlak terhadap semua makhluk, sebagaimana sudah disampaikan pada ceramah yang pertama tadi seputar rahmat ((Lihat “Islam Adalah Rahmat, Bukan Ancaman”). Rahmat (rasa kasih sayang) merupakan akhlak yang paling tinggi, motivator serta motor penggerak utama akhlak-akhlak mulia lainnya.
Jika contoh-contoh dan riwayat-riwayat yang telah dibawakan dalam ceramah tersebut berkaitan dengan akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam terhadap orang-orang kafir dalam peperangan, maka bagaimana kita akan menggambarkan akhlak beliau shallallâhu 'alaihi wasallam terhadap mereka dalam kondisi damai?
Saya akan menyebutkan tiga hadits tentang hal itu.
Hadits Pertama, sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
“ …. Sesungguhnya para utusan (duta) itu tidak boleh dibunuh”
(Hadits Riwayat Abu Dawud)
Maksudnya adalah, para utusan yang dikirim oleh orang-orang kafir sebagai duta dan penghubung antara kaum muslimin dengan kaum kafir.
Keadilan dan kasih sayang Islam tidak memperbolehkan untuk membunuh dan menyakiti mereka. Karena, dalam Islam terdapat ajaran (agar menjaga dan mentaati) perjanjian dan ikatan janji.
Ini merupakan gambaran cara bergaul tingkat tinggi dari kaum muslimin, atau dari agama Islam, atau dari Nabi umat Islam kepada orang-orang kafir (non Islam).
Hadits Kedua, yaitu dalam wasiat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam kepada Mua’dz bin Jabal radhiyallâhu'anhu.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik"
(Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Darimi)
Dalam hadits ini, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tidak mengatakan “Pergaulilah kaum muslimin, atau orang-orang yang shalih, atau orang-orang yang mengerjakan shalat”, akan tetapi beliau mengatakan “dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.
Maksudnya adalah semua menusia, yang kafir, yang muslim, yang mushlih (yang melakukan perbaikan), yang fâjir (jahat) dan yang shalih, sebagai bentuk keluasan rahmat dan kelengkapannya dengan akhlak din (agama).
Hadits Ketiga, yaitu hadits tentang seorang Yahudi, tetangga Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam yang sering menyakiti beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Suatu ketika, Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengetahui bahwa orang yang selalu menyakitinya ini memiliki seorang anak yang sedang sekarat. Maka Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam datang berkunjung ke rumahnya dan mengajaknya menuju jalan Rabb-nya, dengan harapan semoga Allâh memberikan petunjuk dan memperbaiki keadaan orang ini.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam membalas keburukan dengan kebaikan, meskipun terhadap orang kafir. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepada si anak, sementara bapaknya juga ada bersama mereka.
“Wahai bocah, katakanlah lâ ilâha illallâh,
itu akan menyelamatkanmu dari api neraka”
Mendengar seruan ini, si anak memandang ke arah bapaknya dan memperhatikannya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengulangi lagi.
“Wahai bocah, katakanlah lâ ilâha illallâh”
Si anak memandang ke arah bapaknya lagi.
Kejadian yang sama juga terjadi antara Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dengan pamannya, Abu Thalib, yang senantiasa membantu dan menolong Islam, kaum muslimin serta Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, akan tetapi, dia tidak masuk Islam. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya.
“Wahai paman, katakanlah lâ ilâha illallâh”
Mendengar seruan ini, Abu Thalib memandang para pembesar Quraisy. Lalu mereka mengatakan.
“Apakah kamu benci terhadap agama nenek moyangmu”
(Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari)
Akhirnya Abu Thalib meninggal dalam kekafiran.
Sedangkan orang Yahudi (dalam cerita diatas) yang mendengar Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengajak anaknya agar masuk Islam, Allâh Ta'ala menceritakan kondisi mereka.
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya,
mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.
Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka tidak beriman (kepada Allah)”
(QS al-An’am/6 : 20)
Bagaimana jawaban dan responnya ? Orang Yahudi itu mengatakan:
“Wahai anakku, taatlah kepada Abul Qasim (Muhammad)!”.
Maka si anak, mengucapkan syahadatain:
Sebelum menghembuskan napas terakhir.
Mendapat respon positif ini, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
“Segala puji bagi Allâh yang telah menyelamatkannya dari neraka dengan sebabku”
(Hadits Riwayat Bukhari, 1356, Ahmad, Abu Dawud)
Inilah akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam yang mulia, adab beliau yang luhur terhadap orang-orang non muslim, ketika kondisi perang dan dalam keadaan damai. Kita memohon kepada Allâh Ta’ala agar menjadikan akhlak kita sama seperti akhlak beliau shallallâhu 'alaihi wasallam, dan semoga Allâh menjadikan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai panutan terbaik kita.
Allâh Ta'ala berfirman.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahnat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat,
dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS Al-Ahzab/33 : 21)
*) Pada saat Muhadharah di Masjid Istiqlal Jakarta, 19 Februari 2006Artikel Majalah Assunah
PERTANYAAN :
Syaikh Ali bin Hasan Abdul Hamid Al-Halaby ditanya*) :
"Bagaimana akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ketika bergaul dengan orang-orang kafir?"
BELIAU MENJAWAB :
Akhlak Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam adalah Al-Qur’an sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallâhu'anha ketika ditanya akhlak Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau radhiyallâhu'anha menjawab:
“Akhlak beliau (Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam) adalah Al-Qur’an”
Kemudian Aisyah radhiyallâhu'anha membacakan ayat.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(QS al-Qalam/68 : 4)
Kata “khuluqin ‘azhim” (budi pekerti yang agung) dalam ayat ini, mencakup seluruh akhlak terhadap semua makhluk, sebagaimana sudah disampaikan pada ceramah yang pertama tadi seputar rahmat ((Lihat “Islam Adalah Rahmat, Bukan Ancaman”). Rahmat (rasa kasih sayang) merupakan akhlak yang paling tinggi, motivator serta motor penggerak utama akhlak-akhlak mulia lainnya.
Jika contoh-contoh dan riwayat-riwayat yang telah dibawakan dalam ceramah tersebut berkaitan dengan akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam terhadap orang-orang kafir dalam peperangan, maka bagaimana kita akan menggambarkan akhlak beliau shallallâhu 'alaihi wasallam terhadap mereka dalam kondisi damai?
Saya akan menyebutkan tiga hadits tentang hal itu.
Hadits Pertama, sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
“ …. Sesungguhnya para utusan (duta) itu tidak boleh dibunuh”
(Hadits Riwayat Abu Dawud)
Maksudnya adalah, para utusan yang dikirim oleh orang-orang kafir sebagai duta dan penghubung antara kaum muslimin dengan kaum kafir.
Keadilan dan kasih sayang Islam tidak memperbolehkan untuk membunuh dan menyakiti mereka. Karena, dalam Islam terdapat ajaran (agar menjaga dan mentaati) perjanjian dan ikatan janji.
Ini merupakan gambaran cara bergaul tingkat tinggi dari kaum muslimin, atau dari agama Islam, atau dari Nabi umat Islam kepada orang-orang kafir (non Islam).
Hadits Kedua, yaitu dalam wasiat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam kepada Mua’dz bin Jabal radhiyallâhu'anhu.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik"
(Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Darimi)
Dalam hadits ini, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tidak mengatakan “Pergaulilah kaum muslimin, atau orang-orang yang shalih, atau orang-orang yang mengerjakan shalat”, akan tetapi beliau mengatakan “dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.
Maksudnya adalah semua menusia, yang kafir, yang muslim, yang mushlih (yang melakukan perbaikan), yang fâjir (jahat) dan yang shalih, sebagai bentuk keluasan rahmat dan kelengkapannya dengan akhlak din (agama).
Hadits Ketiga, yaitu hadits tentang seorang Yahudi, tetangga Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam yang sering menyakiti beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Suatu ketika, Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengetahui bahwa orang yang selalu menyakitinya ini memiliki seorang anak yang sedang sekarat. Maka Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam datang berkunjung ke rumahnya dan mengajaknya menuju jalan Rabb-nya, dengan harapan semoga Allâh memberikan petunjuk dan memperbaiki keadaan orang ini.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam membalas keburukan dengan kebaikan, meskipun terhadap orang kafir. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepada si anak, sementara bapaknya juga ada bersama mereka.
“Wahai bocah, katakanlah lâ ilâha illallâh,
itu akan menyelamatkanmu dari api neraka”
Mendengar seruan ini, si anak memandang ke arah bapaknya dan memperhatikannya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengulangi lagi.
“Wahai bocah, katakanlah lâ ilâha illallâh”
Si anak memandang ke arah bapaknya lagi.
Kejadian yang sama juga terjadi antara Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dengan pamannya, Abu Thalib, yang senantiasa membantu dan menolong Islam, kaum muslimin serta Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, akan tetapi, dia tidak masuk Islam. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya.
“Wahai paman, katakanlah lâ ilâha illallâh”
Mendengar seruan ini, Abu Thalib memandang para pembesar Quraisy. Lalu mereka mengatakan.
“Apakah kamu benci terhadap agama nenek moyangmu”
(Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari)
Akhirnya Abu Thalib meninggal dalam kekafiran.
Sedangkan orang Yahudi (dalam cerita diatas) yang mendengar Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengajak anaknya agar masuk Islam, Allâh Ta'ala menceritakan kondisi mereka.
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya,
mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.
Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka tidak beriman (kepada Allah)”
(QS al-An’am/6 : 20)
Bagaimana jawaban dan responnya ? Orang Yahudi itu mengatakan:
“Wahai anakku, taatlah kepada Abul Qasim (Muhammad)!”.
Maka si anak, mengucapkan syahadatain:
Sebelum menghembuskan napas terakhir.
Mendapat respon positif ini, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
“Segala puji bagi Allâh yang telah menyelamatkannya dari neraka dengan sebabku”
(Hadits Riwayat Bukhari, 1356, Ahmad, Abu Dawud)
Inilah akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam yang mulia, adab beliau yang luhur terhadap orang-orang non muslim, ketika kondisi perang dan dalam keadaan damai. Kita memohon kepada Allâh Ta’ala agar menjadikan akhlak kita sama seperti akhlak beliau shallallâhu 'alaihi wasallam, dan semoga Allâh menjadikan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai panutan terbaik kita.
Allâh Ta'ala berfirman.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahnat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat,
dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS Al-Ahzab/33 : 21)
*) Pada saat Muhadharah di Masjid Istiqlal Jakarta, 19 Februari 2006Artikel Majalah Assunah
Similar topics
» tugas masyarakat terhadap akhlak
» salah paham terhadap makna kafir
» Masih Nuansa Islami Toleransi terhadap KAFIR weleh2
» Hak orang tua kepada Anak, atau kewajiban anak terhadap orang tua nya
» janganlah menyerupai orang kafir
» salah paham terhadap makna kafir
» Masih Nuansa Islami Toleransi terhadap KAFIR weleh2
» Hak orang tua kepada Anak, atau kewajiban anak terhadap orang tua nya
» janganlah menyerupai orang kafir
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik