konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
Halaman 1 dari 1 • Share
konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
Masalah kebahagiaan (sa'adah) dan kesengsaraan (syaqawah)
adalah masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan
hidup manusia tak lain ialah memperoleh kebahagiaan dan
menghindari kesengsaraan. Semua ajaran, baik yang bersifat
keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata (seperti
Marxisme, misalnya) menjanjikan kebahagiaan bagi para
pengikutnya dan mengancam para penentangnya dengan
kesengsaraan. Gambaran tentang wujud kebahagiaan atau
kesengsaraan itu sangat beranekaragam. Namun semua ajaran dan
ideologi selalu menegaskan bahwa kebahagiaan yang
dijanjikannya atau kesengsaraan yang diancamkannya adalah
jenis yang paling sejati dan abadi.
Dalam agama-agama, gambaran tentang wujud kebahagiaan dan
kesengsaraan itu dinyatakan dalam konsep-konsep tentang
kehidupan di surga dan di neraka. Meskipun ilustrasi tentang
surga dan neraka itu berbeda-beda --dalam banyak hal perbedaan
itu sangat radikal dan prinsipil-- namun semuanya menunjukkan
adanya keyakinan yang pasti tentang pengalaman kebahagiaan
atau kesengsaraan dalam hidup manusia.
Kebahagiaan atau kesengsaraan itu dapat terjadi hanya di dunia
ini saja seperti dalam Marxisme, atau di akhirat saja seperti
dalam agama-agama other-wordly, atau di dunia dan akhirat
seperti dalam Islam. Kitab Suci al-Qur'an menyajikan banyak
ilustrasi dan penegasan yang kuat tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan Dalam sebuah firman disebutkan tentang terbaginya
manusia ke dalam dua kelompok: yang sengsara (syaqiy
penyandang syaqawah, yakni, kesengsaraan) dan yang bahagia
(sa'id, penyandang sa'adah, yakni kebahagiaan). Al-Qur'an
melukiskan keadaan itu demikian,
Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akan
berbicara kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi
menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia.
Ada pun mereka yang sengsara, maka akan tinggal dalam neraka
di sana mereka akan berkeluh kesah semata. Kekal abadi di
dalamnya, selama langit dan bumi masih ada, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki hal berbeda. Sebab Tuhanmu pasti
melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.
Ada pun mereka yang bahagia, maka akan berada dalam surga,
kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada
kecuali jika Tuharmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah
yang tiada batasnya. (QS. Hud/11:105-108)
Munculnya persoalan pengertian kebahagiaan dan kesengsaraan
ini dalam Islam, patut kita bahas secara sungguh-sungguh,
disebabkan adanya perbedaan interpretasi atas ayat-ayat suci
yang menggambarkan kebahagiaan dan kesengsaraan itu.
Perselisihan tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu,
yaitu, apakah berupa pengalaman kerohanian semata, atau
pengalaman jasmani semata, ataukah pengalaman rohani dan
jasmani sekaligus, merupakan bagian dari dialog Islam sejak
masa klasik.
Dalam tulisan ini kita akan membicarakan konsep kebahagiaan
dan kesengsaraan sebagai pengalaman keagamaan (pribadi). Ini
akan banyak menyangkut konsep-konsep kefilsafatan dan kesufian
yang cukup rumit, namun dirasa perlu kita mulai membahasnya
mengingat perkembangan keagamaan di negeri kita yang pesat
dengan tuntutan-tuntutannya yang terus meningkat.
KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN: JASMANI DAN ROHANI?
Di atas telah disinggung, sebagian agama mengajarkan adanya
kebahagiaan dan kesengsaraan rohani semata. Bagi agama-agama
itu, kehidupan jasmani adalah kesengsaraan, karena sifatnya
yang membelenggu sukma manusia. Kebahagiaan hanya diperoleh
dengan tindakan dan perilaku meninggalkan dunia, dalam
orientasi hidup yang mengarah ke kehidupan rohani saja.
Marxisme, tentu saja, mengajarkan tentang adanya kebahagiaan
atau kesengsaraan yang hanya bersifat jasmani, dan dengan
sendirinya, semua itu berlangsung hanya dalam hidup di dunia
ini saja. Ateisme dengan sendirinya mengingkari kehidupan
sesudah mati atau akhirat. Kaum Marxis yang ateis ini mirip
dengan gambaran dalam al-Qur'an tentang golongan manusia
pemuja waktu (al-Dahr), yang hanya mempercayai kehidupan
duniawi ini saja, dan kematian adalah fase final hidup
manusia, bukan fase peralihan seperti diyakini agama-agama
(Lihat QS. al-Jatsiyah/45:24).
Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan
rohani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan
keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan mengejar
kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan
nasibnya dalam hidup di dunia ini (Lihat QS.
al-Qashash/28:77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat
belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan
di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi
belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka
manusia didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta
berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin (QS.
al-Baqarah/2:200).
Walaupun begitu, banyak pula dijanjikan kehidupan yang bahagia
sekaligus di dunia ini dan di akhirat kelak untuk mereka yang
beriman dan berbuat baik. Kehidupan yang bahagia di dunia
menjadi semacam pendahuluan bagi kehidupan yang lebih bahagia
di akhirat.
Barangsiapa berbuat baik, dari kalangan pria maupun wanita,
dan dia itu beriman maka pastilah akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik (di dunia), dan pastilah akan Kami
ganjarkan kepada mereka pahala mereka (di akhirat), sesuai
dengan sebaik-baik apa yang telah mereka kerjakan (QS.
al-Nahl/16:97).
Demikian itu masalah kebahagiaan, demikian pula masalah
kesengsaraan. Orang yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat
jahat diancam baginya kesengsaraan dalam hidup di dunia ini
sebelum kesengsaraan yang lebih besar kelak di akhirat,
Adapun orang-orang yang jahat, maka tempat mereka adalah
neraka. Setiap kali mereka hendak keluar dari sana, mereka
dikembalikan ke dalamnya, sambil dikatakan kepada mereka:
"Sekarang rasakanlah azab neraka ini, yang dahulu kamu
dustakan." Dan pastilah Kami (Tuhan) buat mereka merasakan
azab yang lebih ringan (di dunia ini) sebelum azab yang lebih
besar (di akhirat nanti) agar kiranya mereka mau kembali. (QS.
al-Sajdah/32:20-21)
Penegasan-penegasan ini tidak perlu dipertentangkan dengan
penegasan-penegasan terdahulu di atas bahwa ada perbedaan
antara kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi, dan bahwa
tidak selamanya mengejar salah satu akan dengan sendirinya
menghasilkan yang lain. Tapi memang ada dan banyak, perilaku
lahir dan batin manusia yang membawa akibat pada adanya
pengalaman kebahagiaan atau kesengsaruan duniawi dan ukhrawi
sekaligus. Beberapa nilai akhlak luhur seperti jujur, dapat
dipercaya, cinta kerja keras, tulus, berkesungguhan dalam
mencapai hasil kerja sebaik-baiknya (itqan), tepat janji,
tabah, hemat, dan lain-lain adalah pekerti-pekerti yang
dipujikan Allah sebagai ciri-ciri kaum beriman. Ciri tersebut
akan membawa mereka pada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi
sekaligus, dengan kebahagiaan di akhirat yang jauh lebih
besar.
MASALAH INTERPRETASI
Meskipun para ulama sepakat tentang adanya kebahagiaan dan
kesengsaraan dunia-akhirat itu, mereka tetap berselisih
tentang kebahagiaan dan kesengsaraan yang sejati dan abadi
Pangkal perbedaan itu ialah adanya perbedaan dalam tafsiran
atas berbagai keterangan suci tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan, baik dari al-Qur'an maupun Sunnnah, khususnya
keterangan atau pelukisan tentang surga dan neraka Yaitu
perbedaan antara mereka yang memahami teks-teks suci secara
harfiah dan mereka yang melakukan interpretasi metaforis
(ta'wil)
Bagi mereka yang memahami teks-teks suci itu secara harfiah,
pengertian tentang kebahagiaan dan kesengsaraan akan cenderung
bersifat fisik. Sebab hampir seluruh keterangan dan pelukisan
tentang surga dan neraka dalam Kitab dan Sunnah menggambarkan
tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan yang serba
fisik. Kemudian ada beberapa keterangan, baik dalam Kitab
maupun Sunnah yang memberi isyarat bahwa pengalaman
kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak fisik, melainkan rohani
atau sekurang-kurangnya psikologis.
Dalam kemungkinan tinjauan yang lebih menyeluruh, yang
dikaitkan dengan "kebijaksanaan" Tuhan sebagai yang Maha
Kasih-Sayang dan Maha Adil, maka pelukisan kebahagiaan dan
kesengsaraan apa pun harus diterima sebagai sesuatu yang
wujudi atau eksistensial, dan harus dipahami dalam konteks
adres pembicaraan (al-mukhathab). Ibn Rusyd mengaitkan perkara
ini dengan kenyataan terbaginya manusia dalam susunan tinggi
dan rendah, yang melahirkan piramida eksistensial, manusia
dengan kaum khawas (al-khawash atau orang-orang khusus, the
specials) menempati puncak piramida itu, dan kaum awam
(al-awam orang-orang umum atau kebanyakan, the commons)
menempati bagian-bagian bawah sampai ke dasar piramida. Kaum
awam ini membentuk bagian terbesar struktur piramidal
masyarakat manusia.
Meskipun pendekatan ini mengesankan elitisme, namun dalam
pandangan Ibn Rusyd tidaklah terhindarkan karena kenyataan
dalam masyarakat menunjukkan adanya orang-orang tertentu yang
jumlahnya tidak banyak, yang sanggup memahami kebenaran-
kebenaran hakiki lewat alegori-alegori dengan melakukan
"penyeberangan" (al-i'tibar) ke pengertian-pengertian
sebenarnya di balik alegori-alegori. Bagi mereka ini, seluruh
keterangan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, berbentuk
pelukisan kehidupan di surga dan neraka dalam Kitab Suci dan
Sabda Nabi, adalah metafor-metafor atau makna-makna kiasan
(majaz). Mereka yang mampu memahaminya dengan melakukan
al-i'tibar, jika mendapatkan bahwa pengertian harfiah
pelukisan itu adalah mustahil atau absurd, menurut Ibn Rusyd
wajib melakukan pemahaman serupa itu. Pemahaman me lalui
metode i'tibar adalah interpretasi alegoris atau ta'wil.
Dengan jalan itu kaum khawas dapat menerima agama dan rahmat
yang dikandung agama itu pada dataran yang lebih tinggi
daripada kaum awam.
Tapi Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Kasih-Sayang kepada
sekalian umat manusia tentu mustahil mengalamatkan sabda-Nya
hanya kepada orang-orang khusus yang jumlahnya sedikit itu.
Sebab dengan demikian berarti Tuhan menjanjikan kebahagiaan
hanya kepada kelompok kecil manusia saja, suatu hal yang jelas
mustahil yang kualifikasi kelompok kecil itu ialah kesanggupan
memahami hal-hal abstrak di balik ungkapan-ungkapan kiasan.
Karena itu Tuhan juga mengarahkan sabda-Nya kepada khalayak
umum, sesuai dan setingkat dengan cara berfikir serta
kemampuan mereka menangkap pesan dan memahami masalah. Karena
itu, dalam pandangan Ibn Rusyd dan para filsuf Muslim,
pelukisan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan dalam Kitab
Suci dan Sunnah Nabi kebanyakan bersifat fisik, karena memang
pelukisan yang bersifat fisik itulah yang dapat ditangkap dan
dipahami umum. Karena yang pokok ialah iman kepada Allah serta
berbuat baik, maka pengertian tentang hakikat kebahagiaan dan
kesengsaraan itu menjadi kurang relevan bagi kaum awam. Mereka
ini wajib menerima pelukisan tentang surga dan neraka apa
adanya, sesuai dengan cara yang sekiranya akan mendorong
mereka berbuat baik dan mencegah dari berbuat jahat. (Lihat
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqa]).
adalah masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan
hidup manusia tak lain ialah memperoleh kebahagiaan dan
menghindari kesengsaraan. Semua ajaran, baik yang bersifat
keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata (seperti
Marxisme, misalnya) menjanjikan kebahagiaan bagi para
pengikutnya dan mengancam para penentangnya dengan
kesengsaraan. Gambaran tentang wujud kebahagiaan atau
kesengsaraan itu sangat beranekaragam. Namun semua ajaran dan
ideologi selalu menegaskan bahwa kebahagiaan yang
dijanjikannya atau kesengsaraan yang diancamkannya adalah
jenis yang paling sejati dan abadi.
Dalam agama-agama, gambaran tentang wujud kebahagiaan dan
kesengsaraan itu dinyatakan dalam konsep-konsep tentang
kehidupan di surga dan di neraka. Meskipun ilustrasi tentang
surga dan neraka itu berbeda-beda --dalam banyak hal perbedaan
itu sangat radikal dan prinsipil-- namun semuanya menunjukkan
adanya keyakinan yang pasti tentang pengalaman kebahagiaan
atau kesengsaraan dalam hidup manusia.
Kebahagiaan atau kesengsaraan itu dapat terjadi hanya di dunia
ini saja seperti dalam Marxisme, atau di akhirat saja seperti
dalam agama-agama other-wordly, atau di dunia dan akhirat
seperti dalam Islam. Kitab Suci al-Qur'an menyajikan banyak
ilustrasi dan penegasan yang kuat tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan Dalam sebuah firman disebutkan tentang terbaginya
manusia ke dalam dua kelompok: yang sengsara (syaqiy
penyandang syaqawah, yakni, kesengsaraan) dan yang bahagia
(sa'id, penyandang sa'adah, yakni kebahagiaan). Al-Qur'an
melukiskan keadaan itu demikian,
Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akan
berbicara kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi
menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia.
Ada pun mereka yang sengsara, maka akan tinggal dalam neraka
di sana mereka akan berkeluh kesah semata. Kekal abadi di
dalamnya, selama langit dan bumi masih ada, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki hal berbeda. Sebab Tuhanmu pasti
melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.
Ada pun mereka yang bahagia, maka akan berada dalam surga,
kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada
kecuali jika Tuharmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah
yang tiada batasnya. (QS. Hud/11:105-108)
Munculnya persoalan pengertian kebahagiaan dan kesengsaraan
ini dalam Islam, patut kita bahas secara sungguh-sungguh,
disebabkan adanya perbedaan interpretasi atas ayat-ayat suci
yang menggambarkan kebahagiaan dan kesengsaraan itu.
Perselisihan tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu,
yaitu, apakah berupa pengalaman kerohanian semata, atau
pengalaman jasmani semata, ataukah pengalaman rohani dan
jasmani sekaligus, merupakan bagian dari dialog Islam sejak
masa klasik.
Dalam tulisan ini kita akan membicarakan konsep kebahagiaan
dan kesengsaraan sebagai pengalaman keagamaan (pribadi). Ini
akan banyak menyangkut konsep-konsep kefilsafatan dan kesufian
yang cukup rumit, namun dirasa perlu kita mulai membahasnya
mengingat perkembangan keagamaan di negeri kita yang pesat
dengan tuntutan-tuntutannya yang terus meningkat.
KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN: JASMANI DAN ROHANI?
Di atas telah disinggung, sebagian agama mengajarkan adanya
kebahagiaan dan kesengsaraan rohani semata. Bagi agama-agama
itu, kehidupan jasmani adalah kesengsaraan, karena sifatnya
yang membelenggu sukma manusia. Kebahagiaan hanya diperoleh
dengan tindakan dan perilaku meninggalkan dunia, dalam
orientasi hidup yang mengarah ke kehidupan rohani saja.
Marxisme, tentu saja, mengajarkan tentang adanya kebahagiaan
atau kesengsaraan yang hanya bersifat jasmani, dan dengan
sendirinya, semua itu berlangsung hanya dalam hidup di dunia
ini saja. Ateisme dengan sendirinya mengingkari kehidupan
sesudah mati atau akhirat. Kaum Marxis yang ateis ini mirip
dengan gambaran dalam al-Qur'an tentang golongan manusia
pemuja waktu (al-Dahr), yang hanya mempercayai kehidupan
duniawi ini saja, dan kematian adalah fase final hidup
manusia, bukan fase peralihan seperti diyakini agama-agama
(Lihat QS. al-Jatsiyah/45:24).
Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan
rohani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan
keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan mengejar
kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan
nasibnya dalam hidup di dunia ini (Lihat QS.
al-Qashash/28:77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat
belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan
di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi
belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka
manusia didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta
berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin (QS.
al-Baqarah/2:200).
Walaupun begitu, banyak pula dijanjikan kehidupan yang bahagia
sekaligus di dunia ini dan di akhirat kelak untuk mereka yang
beriman dan berbuat baik. Kehidupan yang bahagia di dunia
menjadi semacam pendahuluan bagi kehidupan yang lebih bahagia
di akhirat.
Barangsiapa berbuat baik, dari kalangan pria maupun wanita,
dan dia itu beriman maka pastilah akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik (di dunia), dan pastilah akan Kami
ganjarkan kepada mereka pahala mereka (di akhirat), sesuai
dengan sebaik-baik apa yang telah mereka kerjakan (QS.
al-Nahl/16:97).
Demikian itu masalah kebahagiaan, demikian pula masalah
kesengsaraan. Orang yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat
jahat diancam baginya kesengsaraan dalam hidup di dunia ini
sebelum kesengsaraan yang lebih besar kelak di akhirat,
Adapun orang-orang yang jahat, maka tempat mereka adalah
neraka. Setiap kali mereka hendak keluar dari sana, mereka
dikembalikan ke dalamnya, sambil dikatakan kepada mereka:
"Sekarang rasakanlah azab neraka ini, yang dahulu kamu
dustakan." Dan pastilah Kami (Tuhan) buat mereka merasakan
azab yang lebih ringan (di dunia ini) sebelum azab yang lebih
besar (di akhirat nanti) agar kiranya mereka mau kembali. (QS.
al-Sajdah/32:20-21)
Penegasan-penegasan ini tidak perlu dipertentangkan dengan
penegasan-penegasan terdahulu di atas bahwa ada perbedaan
antara kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi, dan bahwa
tidak selamanya mengejar salah satu akan dengan sendirinya
menghasilkan yang lain. Tapi memang ada dan banyak, perilaku
lahir dan batin manusia yang membawa akibat pada adanya
pengalaman kebahagiaan atau kesengsaruan duniawi dan ukhrawi
sekaligus. Beberapa nilai akhlak luhur seperti jujur, dapat
dipercaya, cinta kerja keras, tulus, berkesungguhan dalam
mencapai hasil kerja sebaik-baiknya (itqan), tepat janji,
tabah, hemat, dan lain-lain adalah pekerti-pekerti yang
dipujikan Allah sebagai ciri-ciri kaum beriman. Ciri tersebut
akan membawa mereka pada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi
sekaligus, dengan kebahagiaan di akhirat yang jauh lebih
besar.
MASALAH INTERPRETASI
Meskipun para ulama sepakat tentang adanya kebahagiaan dan
kesengsaraan dunia-akhirat itu, mereka tetap berselisih
tentang kebahagiaan dan kesengsaraan yang sejati dan abadi
Pangkal perbedaan itu ialah adanya perbedaan dalam tafsiran
atas berbagai keterangan suci tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan, baik dari al-Qur'an maupun Sunnnah, khususnya
keterangan atau pelukisan tentang surga dan neraka Yaitu
perbedaan antara mereka yang memahami teks-teks suci secara
harfiah dan mereka yang melakukan interpretasi metaforis
(ta'wil)
Bagi mereka yang memahami teks-teks suci itu secara harfiah,
pengertian tentang kebahagiaan dan kesengsaraan akan cenderung
bersifat fisik. Sebab hampir seluruh keterangan dan pelukisan
tentang surga dan neraka dalam Kitab dan Sunnah menggambarkan
tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan yang serba
fisik. Kemudian ada beberapa keterangan, baik dalam Kitab
maupun Sunnah yang memberi isyarat bahwa pengalaman
kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak fisik, melainkan rohani
atau sekurang-kurangnya psikologis.
Dalam kemungkinan tinjauan yang lebih menyeluruh, yang
dikaitkan dengan "kebijaksanaan" Tuhan sebagai yang Maha
Kasih-Sayang dan Maha Adil, maka pelukisan kebahagiaan dan
kesengsaraan apa pun harus diterima sebagai sesuatu yang
wujudi atau eksistensial, dan harus dipahami dalam konteks
adres pembicaraan (al-mukhathab). Ibn Rusyd mengaitkan perkara
ini dengan kenyataan terbaginya manusia dalam susunan tinggi
dan rendah, yang melahirkan piramida eksistensial, manusia
dengan kaum khawas (al-khawash atau orang-orang khusus, the
specials) menempati puncak piramida itu, dan kaum awam
(al-awam orang-orang umum atau kebanyakan, the commons)
menempati bagian-bagian bawah sampai ke dasar piramida. Kaum
awam ini membentuk bagian terbesar struktur piramidal
masyarakat manusia.
Meskipun pendekatan ini mengesankan elitisme, namun dalam
pandangan Ibn Rusyd tidaklah terhindarkan karena kenyataan
dalam masyarakat menunjukkan adanya orang-orang tertentu yang
jumlahnya tidak banyak, yang sanggup memahami kebenaran-
kebenaran hakiki lewat alegori-alegori dengan melakukan
"penyeberangan" (al-i'tibar) ke pengertian-pengertian
sebenarnya di balik alegori-alegori. Bagi mereka ini, seluruh
keterangan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, berbentuk
pelukisan kehidupan di surga dan neraka dalam Kitab Suci dan
Sabda Nabi, adalah metafor-metafor atau makna-makna kiasan
(majaz). Mereka yang mampu memahaminya dengan melakukan
al-i'tibar, jika mendapatkan bahwa pengertian harfiah
pelukisan itu adalah mustahil atau absurd, menurut Ibn Rusyd
wajib melakukan pemahaman serupa itu. Pemahaman me lalui
metode i'tibar adalah interpretasi alegoris atau ta'wil.
Dengan jalan itu kaum khawas dapat menerima agama dan rahmat
yang dikandung agama itu pada dataran yang lebih tinggi
daripada kaum awam.
Tapi Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Kasih-Sayang kepada
sekalian umat manusia tentu mustahil mengalamatkan sabda-Nya
hanya kepada orang-orang khusus yang jumlahnya sedikit itu.
Sebab dengan demikian berarti Tuhan menjanjikan kebahagiaan
hanya kepada kelompok kecil manusia saja, suatu hal yang jelas
mustahil yang kualifikasi kelompok kecil itu ialah kesanggupan
memahami hal-hal abstrak di balik ungkapan-ungkapan kiasan.
Karena itu Tuhan juga mengarahkan sabda-Nya kepada khalayak
umum, sesuai dan setingkat dengan cara berfikir serta
kemampuan mereka menangkap pesan dan memahami masalah. Karena
itu, dalam pandangan Ibn Rusyd dan para filsuf Muslim,
pelukisan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan dalam Kitab
Suci dan Sunnah Nabi kebanyakan bersifat fisik, karena memang
pelukisan yang bersifat fisik itulah yang dapat ditangkap dan
dipahami umum. Karena yang pokok ialah iman kepada Allah serta
berbuat baik, maka pengertian tentang hakikat kebahagiaan dan
kesengsaraan itu menjadi kurang relevan bagi kaum awam. Mereka
ini wajib menerima pelukisan tentang surga dan neraka apa
adanya, sesuai dengan cara yang sekiranya akan mendorong
mereka berbuat baik dan mencegah dari berbuat jahat. (Lihat
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqa]).
voorman- SERSAN SATU
-
Posts : 155
Kepercayaan : Islam
Location : voorwagens
Join date : 23.05.13
Reputation : 8
Similar topics
» konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
» Perempuan Dipoligami Lebih Banyak Alami Kekerasan Daripada Kebahagiaan
» jalan menuju kebahagiaan
» meraih kebahagiaan hakiki
» 13 kunci kebahagiaan dalam perspektif islam
» Perempuan Dipoligami Lebih Banyak Alami Kekerasan Daripada Kebahagiaan
» jalan menuju kebahagiaan
» meraih kebahagiaan hakiki
» 13 kunci kebahagiaan dalam perspektif islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik