konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
Halaman 1 dari 1 • Share
konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
oleh Nurcholish Madjid
Para filsuf menemukan dukungan bagi metodologi ta'wil mereka
dalam berbagai penjelasan, bahwa dalam al-Qur'an Tuhan memang
menyediakan berbagai "tamsil-ibarat", alegori atau metafor,
termasuk mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan. Maka sementara
masalah adanya kebahagiaan dan kesengsaraan itu, baik di dunia
maupun di akhirat, adalah nyata dan tidak mungkin diingkari,
namun "tamsil-ibarat" dan pelukisan mengenai hakikatnya dapat
menerima penafsiran-penafsiran, termasuk penafsiran alegoris
(tamtsili ataupun ta'wil). Bahwa banyak kandungan al-Qur'an
yang bersifat tamsil-ibarat, dapat dipahami dari firman
berikut,
Dan sungguh telah Kami (Tuhan) beberkan untuk manusia dalam
al-Qur'an ini setiap bentuk tamsil-ibarat. Namun kebanyakan
manusia tidak menerimanya, kecuali dengan sikap ingkar. (QS.
al-Isra'/17:89, lihat juga QS. al-Kahf/16:54, QS. al-Rum/30:58
dan QS. al-Zumar/39:27).
Lebih jauh lagi, ada berbagai isyarat bahwa keterangan tentang
surga dan neraka pun bersifat tamsil-ibarat, seperti dapat
diketahui dari firman berikut,
Tamsil-ibarat surga (jannah: kebun) yang dijanjikan untuk
mereka yang bertaqwa ialah, sungai-sungainya mengalir di
bawahnya, dan buah-buahannya tumbuh tanpa berhenti, demikian
pula naungan rindang yang diberikannya. Itulah tempat
kesudahan bagi mereka yang bertaqwa, sedangkan tempat
kesudahan mereka yang menentang ialah api neraka. (QS.
Al-Rad/13:35)
Tamsil-ibarat surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang
bertaqwa ialah, di dalamnya ada sungai-sungai dari air, yang
tidak akan rusak; dan sungai-sungai dari susu, yang tidak akan
berubah cita-rasanya; dan sungai-sungai dari khamar, yang
segar melezatkan bagi yang meminumnya, dan sungai-sungai dari
madu, yang murni-bersih. Di dalam surga itu mereka mendapatkan
buah-buahan dari segala macam, juga memperoleh ampunan dari
Tuhan mereka. Sebagaimana juga (tamsil-ibarat) orang yang
kekal di dalam neraka, yang diberi minum dengan air mendidih,
yang minuman itu memotong-motong usus mereka. (QS.
Muhammad/47:15)
Jadi karena pelukisan tentang surga dan neraka itu disebut
sebagai tamsil-ibarat dalam al-Qur'an, sepatutnya tidaklah
dipahami menurut makna bunyi lafal lahiriahnya. Inilah yang
dicari dan dikejar para filsuf dan kaum sufi. Karena merupakan
pemahaman keagamaan yang lebih batini (esoterik) daripada
lahiri (eksoterik), maka filsafat dan tasawuf acapkali sengaja
dibuat tidak bisa diarah oleh orang umum, dan disampaikan
hanya kepada kalangan tertentu yang terbatas, sebagai ajaran
"rahasia" bagi kaum khawas. Dan memang kenyataannya pendekatan
esoterik senantiasa sulit dipahami kaum awam, sehingga banyak
salah pengertian yang kemudian mengundang polemik dan
kontroversi. Beberapa pelopor pemahaman esoterik, seperti
al-Hallaj dan Suhrawardi, harus menemui kematian di tangan
penguasa, akibat intrik-intrik politik yang menjerat mereka.
Sebagian tokoh lagi, seperti Ibn 'Arabi, telah meninggalkan
karya-karya besar yang sampai sekarang dipelajari orang dengan
penuh minat, dan ketokohannya disanjung dan dikecam secara
sama. Walaupun pemahaman esoterik senantiasa rumit, sulit dan
ruwet, namun tidak berarti tertutup rapat untuk setiap orang,
malah dalam banyak hal merupakan kebutuhan. Karena tidak
jarang pendekatan esoterik memang menyegarkan.
BAHAGIA DAN SENGSARA: PANDANGAN KEFILSAFATAN DAN KESUFIAN
Walaupun begitu dalam zaman sekarang pendekatan esoterik tidak
lagi dapat dipertahankan sepenuhnya sebagai kerahasiaan,
karena berbagai hal. Pertama, karena akses pada bahan bacaan,
termasuk di bidang kesufian atau mistisisme, yang tumbuh pesat
tidak mungkin lagi dibendung. Bahkan kiranya memang tidak
perlu dan tidak dibenarkan untuk dibendung. Kedua, tingkat
kecerdasan anggota masyarakat yang semakin tinggi menuntut
pengertian-pengertian agama yang tidak konvensional atau,
apalagi, stereotipikal. Ketiga pergaulan kemanusiaan sejagad
makin tidak terhindarkan, berkat kemajuan teknologi informasi
dan transportasi.
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam pembahasan di atas,
pandangan kefilsafatan dan kesufian tentang bahagia dan
sengsara cenderung mengarah pada pengertian-pengertian yang
lebih rohani daripada jasmani atau, barangkali lebih
psikologis daripada fisiologis. Selain berdasarkan isyarat
tentang banyaknya kandungan al-Qur'an yang disebut sebagai
tamsil-ibarat di atas, kaum sufi dan para filsuf juga
mendapatkan banyaknya penegasan bahwa kebahagiaan tertinggi
jika bukannya seluruh kebahagiaan itu sendiri, terwujud dalam
ridla Allah. Sebuah firman mengatakan,
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman, pria maupun
wanita, surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai,
kekal di sana selama-lamanya; (dijanjikan pula) tempat-tempat
tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Dan
keridlaan dari Allah adalah yang akbar. Itulah sebenarnya
kebahagiaan yang agung. (QS. al-Tawbah/9:72)
Dalam menafsirkan firman Allah ini, Sayyid Quthub mengatakan,
... Kebahagiaan di surga menanti kaum beriman, Surga-surga
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana
selama-lamanya; juga tempat-tempat tinggal yang indah, dalam
surga-surga kebahagiaan abadi... sebagai tempat kediaman yang
tenang tenteram. Dan di atas itu semua mereka akan mendapatkan
sesuatu yang lebih besar dan lebih agung lagi; Dan keridlaan
dari Allah itulah yang akbar. Surga dengan segala kenikmatan
yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa dan akan menjadi
tidak seberapa di depan hebatnya keridlaan Allah yang Maha
Pemurah. Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar.
Saat perjumpaan dengan Allah, saat menyaksikan Keagungan-Nya,
saat pembebasan diri dari kungkungan jasad yang campur aduk
ini serta dari beban bumi dan iming-iming jangka pendeknya,
saat dari lubuk hati manusia yang mendalam terpancar sinar
dari Cahaya yang mata tidak mampu memandangNya, saat
pencerahan ketika relung-relung sukma benderang dengan berkas
Ruh Allah... semuanya adalah satu momen dari momen-momen yang
bertumpu pada kelangkaan amat sedikit bagi manusia dalam
suasana kesucian total; sungguh dihadapan itu semua tidaklah
bermakna lagi setiap kesenangan, juga tidak setiap harapan...
Apalagi keridlaan Allah meliputi seluruh sukma, dan
sukma-sukma itu tercekam di dalamnya tanpa kesudahan! "ltulah
kebahagiaan sejati yang agung". (Sayyid Quthub, Fi Zhilal
al-Qur'an, jilid 10, hal. 254-5)
Dengan tafsirnya itu, Sayyid Quthub telah melakukan pendekatan
filosofis dan sufi pada masalah hakikat kebahagiaan. Tafsiran
bahwa kebahagiaan tertinggi dan paling agung, sebagai
keridlaan Allah --sebagai pengalaman kesaksian rohani akan
Wujud Maha Benar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu
semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak bermakna apa-apa adalah
sebuah tafsiran kasyafi (theophanic, epiphanic, yakni,
bersifat penyingkapan dan pengalaman spiritual akan kehadiran
Kebenaran Ilahi). Metodologi seperti itu dikembangkan dalam
tasawuf. Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk dalam hidup
sekarang ini jika mungkin, menjadi tujuan semua olah-rohani
(riyadlah) dan perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang
diajarkan kaum sufi.
KEBEBASAN DAN KEBAHAGIAAN
Salah satu tema utama dalam metodologi kesufian ialah
takhalli, yaitu sikap pengosongan diri dan pembebasannya dari
setiap belenggu yang menghalangi jalan kepada Allah.
Pembebasan adalah juga salah satu tema pokok seruan Nabi
kepada umat manusia, termasuk pembebasan dari belenggu budaya
dan tradisi, jika menghalangi pada Kebenaran. Jika kalimat
persaksian dimulai dengan al-nafy atau peniadaan dalam fase
negatif tiada Tuhan, maka tujuannya ialah pembebasan diri dari
setiap belenggu. Belenggu itu dilambangkan dalam konsep
tentang "Tuhan" atau "Sesembahan", yaitu setiap bentuk obyek
ketundukan (Arab: Ilah). Dan jika kalimat persaksian itu harus
mutlak diteruskan dengan al-itsbat atau peneguhan dalam fase
afirmatif "kecuali Allah" (al-Lah, yang menurut banyak ahli
termasuk 'Ali ibn Abi Thalib dan Ja'far al-Shadiq, terbentuk
dari kata-kata Illah dan artikel "al"-yakni, Tuhan atau
Sesembahan yang sebenarnya), maka yang dimaksudkan ialah
kemestian kita tunduk pada Allah, Tuhan yang sebenarnya itu
dan tidak kepada apa dan siapapun yang lain.
Para filsuf menemukan dukungan bagi metodologi ta'wil mereka
dalam berbagai penjelasan, bahwa dalam al-Qur'an Tuhan memang
menyediakan berbagai "tamsil-ibarat", alegori atau metafor,
termasuk mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan. Maka sementara
masalah adanya kebahagiaan dan kesengsaraan itu, baik di dunia
maupun di akhirat, adalah nyata dan tidak mungkin diingkari,
namun "tamsil-ibarat" dan pelukisan mengenai hakikatnya dapat
menerima penafsiran-penafsiran, termasuk penafsiran alegoris
(tamtsili ataupun ta'wil). Bahwa banyak kandungan al-Qur'an
yang bersifat tamsil-ibarat, dapat dipahami dari firman
berikut,
Dan sungguh telah Kami (Tuhan) beberkan untuk manusia dalam
al-Qur'an ini setiap bentuk tamsil-ibarat. Namun kebanyakan
manusia tidak menerimanya, kecuali dengan sikap ingkar. (QS.
al-Isra'/17:89, lihat juga QS. al-Kahf/16:54, QS. al-Rum/30:58
dan QS. al-Zumar/39:27).
Lebih jauh lagi, ada berbagai isyarat bahwa keterangan tentang
surga dan neraka pun bersifat tamsil-ibarat, seperti dapat
diketahui dari firman berikut,
Tamsil-ibarat surga (jannah: kebun) yang dijanjikan untuk
mereka yang bertaqwa ialah, sungai-sungainya mengalir di
bawahnya, dan buah-buahannya tumbuh tanpa berhenti, demikian
pula naungan rindang yang diberikannya. Itulah tempat
kesudahan bagi mereka yang bertaqwa, sedangkan tempat
kesudahan mereka yang menentang ialah api neraka. (QS.
Al-Rad/13:35)
Tamsil-ibarat surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang
bertaqwa ialah, di dalamnya ada sungai-sungai dari air, yang
tidak akan rusak; dan sungai-sungai dari susu, yang tidak akan
berubah cita-rasanya; dan sungai-sungai dari khamar, yang
segar melezatkan bagi yang meminumnya, dan sungai-sungai dari
madu, yang murni-bersih. Di dalam surga itu mereka mendapatkan
buah-buahan dari segala macam, juga memperoleh ampunan dari
Tuhan mereka. Sebagaimana juga (tamsil-ibarat) orang yang
kekal di dalam neraka, yang diberi minum dengan air mendidih,
yang minuman itu memotong-motong usus mereka. (QS.
Muhammad/47:15)
Jadi karena pelukisan tentang surga dan neraka itu disebut
sebagai tamsil-ibarat dalam al-Qur'an, sepatutnya tidaklah
dipahami menurut makna bunyi lafal lahiriahnya. Inilah yang
dicari dan dikejar para filsuf dan kaum sufi. Karena merupakan
pemahaman keagamaan yang lebih batini (esoterik) daripada
lahiri (eksoterik), maka filsafat dan tasawuf acapkali sengaja
dibuat tidak bisa diarah oleh orang umum, dan disampaikan
hanya kepada kalangan tertentu yang terbatas, sebagai ajaran
"rahasia" bagi kaum khawas. Dan memang kenyataannya pendekatan
esoterik senantiasa sulit dipahami kaum awam, sehingga banyak
salah pengertian yang kemudian mengundang polemik dan
kontroversi. Beberapa pelopor pemahaman esoterik, seperti
al-Hallaj dan Suhrawardi, harus menemui kematian di tangan
penguasa, akibat intrik-intrik politik yang menjerat mereka.
Sebagian tokoh lagi, seperti Ibn 'Arabi, telah meninggalkan
karya-karya besar yang sampai sekarang dipelajari orang dengan
penuh minat, dan ketokohannya disanjung dan dikecam secara
sama. Walaupun pemahaman esoterik senantiasa rumit, sulit dan
ruwet, namun tidak berarti tertutup rapat untuk setiap orang,
malah dalam banyak hal merupakan kebutuhan. Karena tidak
jarang pendekatan esoterik memang menyegarkan.
BAHAGIA DAN SENGSARA: PANDANGAN KEFILSAFATAN DAN KESUFIAN
Walaupun begitu dalam zaman sekarang pendekatan esoterik tidak
lagi dapat dipertahankan sepenuhnya sebagai kerahasiaan,
karena berbagai hal. Pertama, karena akses pada bahan bacaan,
termasuk di bidang kesufian atau mistisisme, yang tumbuh pesat
tidak mungkin lagi dibendung. Bahkan kiranya memang tidak
perlu dan tidak dibenarkan untuk dibendung. Kedua, tingkat
kecerdasan anggota masyarakat yang semakin tinggi menuntut
pengertian-pengertian agama yang tidak konvensional atau,
apalagi, stereotipikal. Ketiga pergaulan kemanusiaan sejagad
makin tidak terhindarkan, berkat kemajuan teknologi informasi
dan transportasi.
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam pembahasan di atas,
pandangan kefilsafatan dan kesufian tentang bahagia dan
sengsara cenderung mengarah pada pengertian-pengertian yang
lebih rohani daripada jasmani atau, barangkali lebih
psikologis daripada fisiologis. Selain berdasarkan isyarat
tentang banyaknya kandungan al-Qur'an yang disebut sebagai
tamsil-ibarat di atas, kaum sufi dan para filsuf juga
mendapatkan banyaknya penegasan bahwa kebahagiaan tertinggi
jika bukannya seluruh kebahagiaan itu sendiri, terwujud dalam
ridla Allah. Sebuah firman mengatakan,
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman, pria maupun
wanita, surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai,
kekal di sana selama-lamanya; (dijanjikan pula) tempat-tempat
tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Dan
keridlaan dari Allah adalah yang akbar. Itulah sebenarnya
kebahagiaan yang agung. (QS. al-Tawbah/9:72)
Dalam menafsirkan firman Allah ini, Sayyid Quthub mengatakan,
... Kebahagiaan di surga menanti kaum beriman, Surga-surga
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana
selama-lamanya; juga tempat-tempat tinggal yang indah, dalam
surga-surga kebahagiaan abadi... sebagai tempat kediaman yang
tenang tenteram. Dan di atas itu semua mereka akan mendapatkan
sesuatu yang lebih besar dan lebih agung lagi; Dan keridlaan
dari Allah itulah yang akbar. Surga dengan segala kenikmatan
yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa dan akan menjadi
tidak seberapa di depan hebatnya keridlaan Allah yang Maha
Pemurah. Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar.
Saat perjumpaan dengan Allah, saat menyaksikan Keagungan-Nya,
saat pembebasan diri dari kungkungan jasad yang campur aduk
ini serta dari beban bumi dan iming-iming jangka pendeknya,
saat dari lubuk hati manusia yang mendalam terpancar sinar
dari Cahaya yang mata tidak mampu memandangNya, saat
pencerahan ketika relung-relung sukma benderang dengan berkas
Ruh Allah... semuanya adalah satu momen dari momen-momen yang
bertumpu pada kelangkaan amat sedikit bagi manusia dalam
suasana kesucian total; sungguh dihadapan itu semua tidaklah
bermakna lagi setiap kesenangan, juga tidak setiap harapan...
Apalagi keridlaan Allah meliputi seluruh sukma, dan
sukma-sukma itu tercekam di dalamnya tanpa kesudahan! "ltulah
kebahagiaan sejati yang agung". (Sayyid Quthub, Fi Zhilal
al-Qur'an, jilid 10, hal. 254-5)
Dengan tafsirnya itu, Sayyid Quthub telah melakukan pendekatan
filosofis dan sufi pada masalah hakikat kebahagiaan. Tafsiran
bahwa kebahagiaan tertinggi dan paling agung, sebagai
keridlaan Allah --sebagai pengalaman kesaksian rohani akan
Wujud Maha Benar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu
semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak bermakna apa-apa adalah
sebuah tafsiran kasyafi (theophanic, epiphanic, yakni,
bersifat penyingkapan dan pengalaman spiritual akan kehadiran
Kebenaran Ilahi). Metodologi seperti itu dikembangkan dalam
tasawuf. Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk dalam hidup
sekarang ini jika mungkin, menjadi tujuan semua olah-rohani
(riyadlah) dan perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang
diajarkan kaum sufi.
KEBEBASAN DAN KEBAHAGIAAN
Salah satu tema utama dalam metodologi kesufian ialah
takhalli, yaitu sikap pengosongan diri dan pembebasannya dari
setiap belenggu yang menghalangi jalan kepada Allah.
Pembebasan adalah juga salah satu tema pokok seruan Nabi
kepada umat manusia, termasuk pembebasan dari belenggu budaya
dan tradisi, jika menghalangi pada Kebenaran. Jika kalimat
persaksian dimulai dengan al-nafy atau peniadaan dalam fase
negatif tiada Tuhan, maka tujuannya ialah pembebasan diri dari
setiap belenggu. Belenggu itu dilambangkan dalam konsep
tentang "Tuhan" atau "Sesembahan", yaitu setiap bentuk obyek
ketundukan (Arab: Ilah). Dan jika kalimat persaksian itu harus
mutlak diteruskan dengan al-itsbat atau peneguhan dalam fase
afirmatif "kecuali Allah" (al-Lah, yang menurut banyak ahli
termasuk 'Ali ibn Abi Thalib dan Ja'far al-Shadiq, terbentuk
dari kata-kata Illah dan artikel "al"-yakni, Tuhan atau
Sesembahan yang sebenarnya), maka yang dimaksudkan ialah
kemestian kita tunduk pada Allah, Tuhan yang sebenarnya itu
dan tidak kepada apa dan siapapun yang lain.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
Pembuangan asumsi-asumsi adalah fase pembebasan yang amat
sulit dalam menempuh jalan menuju hakikat. Kesulitan itu dapat
dipahami antara lain dari peringatan Ibn 'Arabi dalam sebuah
syair kesufiannya,
Barangsiapa mengaku dengan pasti bahwa Allah bergaul dengan
dirinya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu
adalah tanda bahwa ia tak tahu apa-apa.
Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka
waspadalah, sebab yang sadar di antaramu tentulah tidak
seperti yang alpa.
Ketiadaan kemampuan menangkap pengertian adalah ma'rifat
begitulah memang pandangan akan hal itu bagi yang berakal
sehat. Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang pujian
kepada-Nya tidak terbilang, Dia adalah Yang Maha Suci, maka
janganlah kamu buat bagi-Nya perbandingan.
(Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, 1:270).
Jadi perasaan tahu Tuhan adalah justru pertanda tidak tahu
apa-apa. "Mengetahui Tuhan" mengesankan adanya hasil pencarian
rasional yang luar biasa. Tetapi sekali orang menginsafi bahwa
Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang berarti tidak akan terjangkau
wujud nisbi seperti manusia dan seluruh alam raya ciptaan-Nya,
maka ia pun akan paham bahwa perasaan, apalagi keyakinan,
bahwa bila ia tahu Tuhan adalah kebodohan yang tiada taranya.
Dalam gambaran Ibn 'Arabi, bahkan seandainya seseorang dapat
mengetahui alam gaib, maka saat alam gaib itu tersingkap
baginya adalah juga saat ia tertutup baginya. Jadi, sejalan
dengan sifat paradoksal kenyataan-kenyataan, justru saat
seseorang tahu alam gaib adalah juga saat ia tidak tahu.
Jika matahari ilmu telah terbenam. maka bingunglah
akal-pikiran yang kemampuannya hanya dalam teori pembuktian.
Kalau seandainya alam gaib itu dapat disaksikan oleh mata
penglihatan, maka saat munculnya alam gaib itu adalah juga
saat ia terbenam. (Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 3:57)
Maka perjalanan mencari Tuhan mengikuti garis lurus atau
al-shirath al-mustaqim adalah perjalanan yang mensyaratkan.
kekosongan pikiran perbandingan mengenai Tuhan dan bebas dari
asumsi-asumsi, yang diistilahkan dalam ilmu tasawuf sebagai
akhalli, pengosongan diri. Inilah tawhid dalam tingkatnya yang
amat tinggi, sekaligus amat abstrak (mujarrad).
Kemudian ada isyarat dalam al-Qur'an bahwa Nabi sendiri pun
melakukan takhalli Nabi diperintahkan agar menyatakan bahwa
beliau hanyalah seorang Utusan Tuhan, antara lain untuk
mengajarkan kepercayaan pada adanya alam gaib, namun beliau
hanyalah seorang manusia yang diutus Allah, dengan mengikuti
ajaran yang diwahyukan pada beliau dan menyampaikan ajaran itu
kepada masyarakat manusia,
Katakan (Muhammad): "Aku tidak pernah mengaku kepadamu bahwa
aku memiliki perbendaharaan Allah juga tidak aku mengetahui
alam gaib. Aku pun tidak pernah mengaku kepadamu bahwa aku
adalah seorang malaikat. Aku hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku." Katakan (Muhammad): "Apakah sama antara
orang yang melihat dan orang buta? Apakah kamu tidak
berpikir?" (QS. al-An'am/6:50)
Lebih lanjut, senafas dengan prinsip-prinsip di atas, Nabi
juga diperintahkan Allah menyatakan bahwa beliau tidaklah
bermaksud membuat hal-hal baru terhadap apa yang telah
diwariskan pada Rasul terdahulu, dan bahwa beliau sendiri juga
tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah terhadap beliau
(misalnya, mengingat bahwa sebagai Rasul terdahulu ada yang
menjadi korban, sampai terbunuh, oleh misi sucinya) Nabi
hanyalah mengikuti wahyu yang diterimanya, dan beliau hanyalah
seorang pembawa peringatan yang tidak meragukan,
Katakan (Muhammad): "Aku bukanlah seorang pembuat bid'ah di
antara Rasul-rasul (yang sudah-sudah), dan aku tidak pula tahu
apa yang akan diperbuat (oleh Tuhan) kepadaku, juga tidak (apa
yang diperbuat) kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah seorang pembawa
peringatan yang jelas tidak meragukan. (QS. al-Ahqaf/46:9)
Bagi seorang yang menerima pengajaran langsung dari Tuhan dan
bertugas menjadi utusan-Nya, Nabi pasti mengetahui apa yang
benar dan apa yang salah. Beliau pasti mengetahui pula siapa
yang mendapat petunjuk Tuhan dan siapa pula yang sesat di
antara manusia ini, termasuk di antara beliau sendiri
berhadapan dengan kaum yang menolak kebenaran yang beliau
ajarkan. Namun Allah masih mengajari beliau agar menerapkan
apa yang disebut (dalam bahasa Inggris) the benefit of the
doubt atau hikmah keraguan, sebagai metodologi pencarian
kebenaran,
Katakan (Muhammad): "Siapa yang memberi kamu semua rizqi, baik
yang dari langit maupun yang dari bumi? Katakan: "Allah! Dan
boleh jadi kami, atau kamu, yang pasti berada di atas petunjuk
kebenaran, atau pasti berada dalam kesesatan yang terang."
(QS. Saba'/34:24)
Semuanya itu dalam pandangan kesufian dan filsafat Islam,
adalah jalan sebenarnya menuju dan menemukan kebahagiaan.
Metafor yang telah disebutkan bahwa "mata air" di surga itu
dinamakan "sal sabil-an" atau "tanyalah jalan" melukiskan
bahwa kebahagiaan tidaklah bersumber dari perasaan kepastian
dalam pengalaman pencarian Kebenaran. Justru pengalaman rohani
ketika dengan penuh ketulusan hati dan niat yang murni
sungguh-sunggah mencari, dalam ketegangan antara kecemasan dan
harapan (khawf-an wa thama'-an) yaitu kecemasan kalau-kalau
gagal menemukan Kebenaran, dan harapan bahwa dengan Kebenaran
itu akhirnya bakal terjadi perjumpaan (liqa). Seraya dengan
itu, terJadi pula perlibatan diri dalam usaha perbaikan bumi
dan menjaganya dari kerusakan yang mungkin menimpa. Itulah
inti jalan menuju kebenaran, dan sumber sejati cita-rasa piala
melimpah (ka's-an dihaq-an) penuh minuman kebahagiaan. Semua
itu dapat kita timba dari petunjuk Ilahi dalam al-Qur'an, yang
patut sekali kita renungkan:
Serulah Tuhanmu sekalian, dengan kerendahan hati dan suara
sunyi sesungguhuya Allah tidak suka kepada mereka yang kelewat
batas. Dan janganlah kamu merusak bumi setelah bumi itu
diperbaiki. Lalu serulah Dia dalam kecemasan dan harapan.
Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat
kebaikan. (QS. al-A'raf/7:54-55)
RAHMAT ALLAH DAN KERIDLAAN-NYA
Dengan mengutip sebuah firman Allah di bagian terdahulu dan
tafsir atau komentarnya Sayyid Quthub, kita mengetahui bahwa
keridlaan Allah adalah ganjaran kebahagiaan yang tertinggi dan
paling agung kepada kaum beriman dan bertaqwa. Dan keridlaan
(Indonesia: kerelaan, yakni, perkenan) Allah itu tidak
terpisah dari rahmat atau kasih Allah kepada manusia.
Kebahagiaan tertinggi adalah pengalaman hidup karena adanya
rahmat dan keridlaan Allah. Seperti ditafsirkan banyak ahli
pikir Islam, termasuk Sayyid Quthub tersebut di muka, sebagai
puncak pengalaman kebahagiaan, keridlaan Allah membuat segala
kenikmatan yang lain menjadi tidak atau kurang berarti. Rahmat
dan keridlaan Allah itulah yang dijanjikan kepada orang-orang
beriman dan berjuang di jalan-Nya, seperti difirmankan,
Mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad dijalan Allah
dengan harta dan jiwa mereka adalah lebih agung derajatnya
disisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia. Tuhan
mereka menjanjikan kabar gembira kepada mereka, dengan rahmat
dan keridlaan-Nya dari Dia, serta surga-surga yang di sana
mereka peroleh kenikmatan yang mapan. (QS. Al-Tawbah/9:20-21)
Lebih menarik lagi adanya keterangan bahwa keridlaan itu
sesungguhnya suatu nilai yang timbal balik antara Allah dan
seorang hamba-Nya. Sesungguhnya hal ini adalah sangat masuk
akal belaka, karena dengan sendirinya Allah akan rela kepada
seorang hamba, jika hamba itu rela kepada-Nya. Dan kerelaan
seorang hamba kepada Khaliqnya tak lain adalah salah satu
wujud nilai kepasrahan (Islam) hamba itu kepada-Nya. Inilah
gambaran tentang situasi mereka yang telah mencapai tingkat
amat tinggi dalam iman dan taqwa, seperti gambaran mengenai
mereka itu dari masa lalu.
Dan mereka, para pelopor pertama, yang terdiri dari para
Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak
mereka dengan baik, Allah rela kepada mereka, dan mereka pun
rela kepada-Nya. Dan Dia menyediakan untuk mereka surga-surga
yang sungai-sungai mengalir di bawahnya, dan mereka kekal di
sana selama-lamanya. Itulah kebahagiaan yang agung. (QS.
al-Tawbah/9:100)
Juga seperti lukisan tentang jiwa yang mengalami ketenangan
sejati (muthma'innah), yang dipersilakan dengan penuh kasih
sayang kembali kepada Tuhannya dalam keadaan saling merelakan
antara Tuhan dan hamba-Nya, kemudian dipersilakan pula agar
masuk ke dalam kelompok para hamba Tuhan, dan akhirnya
dipersilakan masuk ke surga, lingkungan kebahagiaan,
Wahai jiwa yang tenang-tenteram, kembalilah engkau kepada
Tuhanmu, merelakan dan direlakan, kemudian masuklah engkau ke
dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah engkau ke dalam
surga-Ku. (QS. al-Fajr/89:27-30)
Jadi keridlaan Allah itulah tingkat kebahagiaan tertinggi.
Maka kaum sufi senantiasa menyatakan, "Oh Tuhanku, Engkaulah
tujuanku, dan keridlaan Engkaulah tuntutanku." Bagi kaum sufi,
kebahagiaan yang lain tak sebanding dengankeridlaanAllah
sampai-sampai, seperti didendangkan Rabi'ah al-'Adawiyah,
"masuk neraka" pun mereka bersedia, karena mereka rela kepada
Allah dan mengharapkan kerelaan-Nya.
sulit dalam menempuh jalan menuju hakikat. Kesulitan itu dapat
dipahami antara lain dari peringatan Ibn 'Arabi dalam sebuah
syair kesufiannya,
Barangsiapa mengaku dengan pasti bahwa Allah bergaul dengan
dirinya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu
adalah tanda bahwa ia tak tahu apa-apa.
Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka
waspadalah, sebab yang sadar di antaramu tentulah tidak
seperti yang alpa.
Ketiadaan kemampuan menangkap pengertian adalah ma'rifat
begitulah memang pandangan akan hal itu bagi yang berakal
sehat. Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang pujian
kepada-Nya tidak terbilang, Dia adalah Yang Maha Suci, maka
janganlah kamu buat bagi-Nya perbandingan.
(Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, 1:270).
Jadi perasaan tahu Tuhan adalah justru pertanda tidak tahu
apa-apa. "Mengetahui Tuhan" mengesankan adanya hasil pencarian
rasional yang luar biasa. Tetapi sekali orang menginsafi bahwa
Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang berarti tidak akan terjangkau
wujud nisbi seperti manusia dan seluruh alam raya ciptaan-Nya,
maka ia pun akan paham bahwa perasaan, apalagi keyakinan,
bahwa bila ia tahu Tuhan adalah kebodohan yang tiada taranya.
Dalam gambaran Ibn 'Arabi, bahkan seandainya seseorang dapat
mengetahui alam gaib, maka saat alam gaib itu tersingkap
baginya adalah juga saat ia tertutup baginya. Jadi, sejalan
dengan sifat paradoksal kenyataan-kenyataan, justru saat
seseorang tahu alam gaib adalah juga saat ia tidak tahu.
Jika matahari ilmu telah terbenam. maka bingunglah
akal-pikiran yang kemampuannya hanya dalam teori pembuktian.
Kalau seandainya alam gaib itu dapat disaksikan oleh mata
penglihatan, maka saat munculnya alam gaib itu adalah juga
saat ia terbenam. (Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 3:57)
Maka perjalanan mencari Tuhan mengikuti garis lurus atau
al-shirath al-mustaqim adalah perjalanan yang mensyaratkan.
kekosongan pikiran perbandingan mengenai Tuhan dan bebas dari
asumsi-asumsi, yang diistilahkan dalam ilmu tasawuf sebagai
akhalli, pengosongan diri. Inilah tawhid dalam tingkatnya yang
amat tinggi, sekaligus amat abstrak (mujarrad).
Kemudian ada isyarat dalam al-Qur'an bahwa Nabi sendiri pun
melakukan takhalli Nabi diperintahkan agar menyatakan bahwa
beliau hanyalah seorang Utusan Tuhan, antara lain untuk
mengajarkan kepercayaan pada adanya alam gaib, namun beliau
hanyalah seorang manusia yang diutus Allah, dengan mengikuti
ajaran yang diwahyukan pada beliau dan menyampaikan ajaran itu
kepada masyarakat manusia,
Katakan (Muhammad): "Aku tidak pernah mengaku kepadamu bahwa
aku memiliki perbendaharaan Allah juga tidak aku mengetahui
alam gaib. Aku pun tidak pernah mengaku kepadamu bahwa aku
adalah seorang malaikat. Aku hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku." Katakan (Muhammad): "Apakah sama antara
orang yang melihat dan orang buta? Apakah kamu tidak
berpikir?" (QS. al-An'am/6:50)
Lebih lanjut, senafas dengan prinsip-prinsip di atas, Nabi
juga diperintahkan Allah menyatakan bahwa beliau tidaklah
bermaksud membuat hal-hal baru terhadap apa yang telah
diwariskan pada Rasul terdahulu, dan bahwa beliau sendiri juga
tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah terhadap beliau
(misalnya, mengingat bahwa sebagai Rasul terdahulu ada yang
menjadi korban, sampai terbunuh, oleh misi sucinya) Nabi
hanyalah mengikuti wahyu yang diterimanya, dan beliau hanyalah
seorang pembawa peringatan yang tidak meragukan,
Katakan (Muhammad): "Aku bukanlah seorang pembuat bid'ah di
antara Rasul-rasul (yang sudah-sudah), dan aku tidak pula tahu
apa yang akan diperbuat (oleh Tuhan) kepadaku, juga tidak (apa
yang diperbuat) kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah seorang pembawa
peringatan yang jelas tidak meragukan. (QS. al-Ahqaf/46:9)
Bagi seorang yang menerima pengajaran langsung dari Tuhan dan
bertugas menjadi utusan-Nya, Nabi pasti mengetahui apa yang
benar dan apa yang salah. Beliau pasti mengetahui pula siapa
yang mendapat petunjuk Tuhan dan siapa pula yang sesat di
antara manusia ini, termasuk di antara beliau sendiri
berhadapan dengan kaum yang menolak kebenaran yang beliau
ajarkan. Namun Allah masih mengajari beliau agar menerapkan
apa yang disebut (dalam bahasa Inggris) the benefit of the
doubt atau hikmah keraguan, sebagai metodologi pencarian
kebenaran,
Katakan (Muhammad): "Siapa yang memberi kamu semua rizqi, baik
yang dari langit maupun yang dari bumi? Katakan: "Allah! Dan
boleh jadi kami, atau kamu, yang pasti berada di atas petunjuk
kebenaran, atau pasti berada dalam kesesatan yang terang."
(QS. Saba'/34:24)
Semuanya itu dalam pandangan kesufian dan filsafat Islam,
adalah jalan sebenarnya menuju dan menemukan kebahagiaan.
Metafor yang telah disebutkan bahwa "mata air" di surga itu
dinamakan "sal sabil-an" atau "tanyalah jalan" melukiskan
bahwa kebahagiaan tidaklah bersumber dari perasaan kepastian
dalam pengalaman pencarian Kebenaran. Justru pengalaman rohani
ketika dengan penuh ketulusan hati dan niat yang murni
sungguh-sunggah mencari, dalam ketegangan antara kecemasan dan
harapan (khawf-an wa thama'-an) yaitu kecemasan kalau-kalau
gagal menemukan Kebenaran, dan harapan bahwa dengan Kebenaran
itu akhirnya bakal terjadi perjumpaan (liqa). Seraya dengan
itu, terJadi pula perlibatan diri dalam usaha perbaikan bumi
dan menjaganya dari kerusakan yang mungkin menimpa. Itulah
inti jalan menuju kebenaran, dan sumber sejati cita-rasa piala
melimpah (ka's-an dihaq-an) penuh minuman kebahagiaan. Semua
itu dapat kita timba dari petunjuk Ilahi dalam al-Qur'an, yang
patut sekali kita renungkan:
Serulah Tuhanmu sekalian, dengan kerendahan hati dan suara
sunyi sesungguhuya Allah tidak suka kepada mereka yang kelewat
batas. Dan janganlah kamu merusak bumi setelah bumi itu
diperbaiki. Lalu serulah Dia dalam kecemasan dan harapan.
Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat
kebaikan. (QS. al-A'raf/7:54-55)
RAHMAT ALLAH DAN KERIDLAAN-NYA
Dengan mengutip sebuah firman Allah di bagian terdahulu dan
tafsir atau komentarnya Sayyid Quthub, kita mengetahui bahwa
keridlaan Allah adalah ganjaran kebahagiaan yang tertinggi dan
paling agung kepada kaum beriman dan bertaqwa. Dan keridlaan
(Indonesia: kerelaan, yakni, perkenan) Allah itu tidak
terpisah dari rahmat atau kasih Allah kepada manusia.
Kebahagiaan tertinggi adalah pengalaman hidup karena adanya
rahmat dan keridlaan Allah. Seperti ditafsirkan banyak ahli
pikir Islam, termasuk Sayyid Quthub tersebut di muka, sebagai
puncak pengalaman kebahagiaan, keridlaan Allah membuat segala
kenikmatan yang lain menjadi tidak atau kurang berarti. Rahmat
dan keridlaan Allah itulah yang dijanjikan kepada orang-orang
beriman dan berjuang di jalan-Nya, seperti difirmankan,
Mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad dijalan Allah
dengan harta dan jiwa mereka adalah lebih agung derajatnya
disisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia. Tuhan
mereka menjanjikan kabar gembira kepada mereka, dengan rahmat
dan keridlaan-Nya dari Dia, serta surga-surga yang di sana
mereka peroleh kenikmatan yang mapan. (QS. Al-Tawbah/9:20-21)
Lebih menarik lagi adanya keterangan bahwa keridlaan itu
sesungguhnya suatu nilai yang timbal balik antara Allah dan
seorang hamba-Nya. Sesungguhnya hal ini adalah sangat masuk
akal belaka, karena dengan sendirinya Allah akan rela kepada
seorang hamba, jika hamba itu rela kepada-Nya. Dan kerelaan
seorang hamba kepada Khaliqnya tak lain adalah salah satu
wujud nilai kepasrahan (Islam) hamba itu kepada-Nya. Inilah
gambaran tentang situasi mereka yang telah mencapai tingkat
amat tinggi dalam iman dan taqwa, seperti gambaran mengenai
mereka itu dari masa lalu.
Dan mereka, para pelopor pertama, yang terdiri dari para
Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak
mereka dengan baik, Allah rela kepada mereka, dan mereka pun
rela kepada-Nya. Dan Dia menyediakan untuk mereka surga-surga
yang sungai-sungai mengalir di bawahnya, dan mereka kekal di
sana selama-lamanya. Itulah kebahagiaan yang agung. (QS.
al-Tawbah/9:100)
Juga seperti lukisan tentang jiwa yang mengalami ketenangan
sejati (muthma'innah), yang dipersilakan dengan penuh kasih
sayang kembali kepada Tuhannya dalam keadaan saling merelakan
antara Tuhan dan hamba-Nya, kemudian dipersilakan pula agar
masuk ke dalam kelompok para hamba Tuhan, dan akhirnya
dipersilakan masuk ke surga, lingkungan kebahagiaan,
Wahai jiwa yang tenang-tenteram, kembalilah engkau kepada
Tuhanmu, merelakan dan direlakan, kemudian masuklah engkau ke
dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah engkau ke dalam
surga-Ku. (QS. al-Fajr/89:27-30)
Jadi keridlaan Allah itulah tingkat kebahagiaan tertinggi.
Maka kaum sufi senantiasa menyatakan, "Oh Tuhanku, Engkaulah
tujuanku, dan keridlaan Engkaulah tuntutanku." Bagi kaum sufi,
kebahagiaan yang lain tak sebanding dengankeridlaanAllah
sampai-sampai, seperti didendangkan Rabi'ah al-'Adawiyah,
"masuk neraka" pun mereka bersedia, karena mereka rela kepada
Allah dan mengharapkan kerelaan-Nya.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit yang mengerti arti bahagia yang sesungguhnya.
Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan teresebut adalah bagaimana hidup bahagia.
Hidup bahagia merupakan cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Apabila kebahagian itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, maka mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Akan tetapi tidak dia dapati dan sia-sia pengorbanannya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan, maka mereka telah siap mengorbankan apa saja yang dituntutnya, begitu juga teryata mereka tidak mendapatkannya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketenaran nama, maka mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak dapati. Demikianlah gambaran cita-cita hidup ingin kebahagiaan.
Apakah tercela orang-orang yang menginginkan demikian? Apakah salah bila seseorang bercita-cita untuk bahagia dalam hidup? Dan lalu apakah hakikat hidup bahagia itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban agar setiap orang tidak putus asa ketika dia berusaha menjalani pengorbanan hidup tersebut.
Hakikat Hidup Bahagia
Mendefinisikan hidup bahagia sangatlah mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata dan sangat mudah untuk disusun dalam bentuk kalimat. Dalam kenyataannya telah banyak orang yang tampil untuk mendifinisikannya sesuai dengan sisi pandang masing-masing, akan tetapi mereka belum menemukan titik terang. Ahli ekonomi mendifinisikannya sesuai dengan bidang dan tujuan ilmu perekonomian. Ahli kesenian mendifinisikannya sesuai dengan ilmu kesenian. Ahli jiwa akan mendifinisikannya sesuai dengan ilmu jiwa tersebut. Mari kita melihat bimbingan Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya Muhammad Shalallahu ‘Alahi Wasallam tentang hidup bahagia. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
Kamu tidak akan menemukan satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling cinta-mencinta kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka dan keluarga-keluarga mereka. Merekalah orang-orang yang telah dicatat dalam hati-hati mereka keimanan dan diberikan pertolongan, memasukkan mereka kedalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai dan kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah. Ketahuilah mereka adalah (hizb) pasukan Allah dan ketahuilah bahwa pasukan Allah itu pasti menang.
Dari ayat ini jelas bagaimana Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan orang-orang yang bahagia dan mendapatkan kemenangan di dunia dan diakhirat. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan hari akhir dan orang-orang yang menjunjung tinggi makna al-wala’ (berloyalitas) dan al-bara’ (kebencian) sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam. As-Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Orang-orang yang memiliki sifat ini adalah orang-orang yang telah dicatat di dalam hati-hati mereka keimanan. Artinya Allah mengokohkan dalam dirinya keimanan dan menahannya sehingga tidak goncang dan terpengaruh sedikitpun dengan syubhat dan keraguan. Dialah yang telah dikuatkan oleh Allah dengan pertolongn-Nya yaitu menguatkanya dengan wahyu-Nya, ilmu dari-Nya, pertolongan dan dengan segala kebaikan. Merekalah orang-orang yang mendapatkan kebagian dalam hidup di negeri dunia dan akan mendapatkan segala macam nikmat di dalam surga dimana di dalamnya terdapat segala apa yang diinginkan oleh setiap jiwa dan menyejukkan hatinya dan segala apa yang diinginkan dan mereka juga akan mendapatkan nikmat yang paling utama dan besar yaitu mendapatkan keridhaan Allah dan tidak akan mendapatkan kemurkaan selama – lamanya dan mereka ridha dengan apa yang diberikan oleh Rabb mereka dari segala macam kemuliaan, pahala yang banyak, kewibawaan yang tinggi dan derajat yang tinggi. Hal ini dikarenakan mereka tidak melihat yang lebih dari apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala”.
Abdurrahman As-sa’dy dalam mukadimah risalah beliau Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah hal. 5 mengatakan: “Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati dan hilangnya kegundahgulanaan darinya itulah yang dicari oleh setiap orang. Karena dengan dasar itulah akan didapati kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki”.
Allah berfirman:
Baraing siapa yang melakukan amal shleh dari kalangan laki-laki dan perempuan dan dia dalam keadaan beriman maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik dan membalas mereka dengan ganjaran pahala yang lebih baik dikarenakan apa yang telah di lakukannya.
As-Sa’dy dalam Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah halaman 9 mengatakan: “Allah memberitahukan dan menjanjikan kepada siapa saja yang menghimpun antara iman dan amal shaleh yaitu dengan kehidupan yang bahagia dalam negeri dunia ini dan membalasnya dengan pahala di dunia dan akhirat”.
Dari kedua dalil ini kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagian hidup itu terletak pada dua perkara yang sangat mendasar : Kebagusan jiwa yang di landasi oleh iman yang benar dan kebagusan amal seseorang yang dilandasi oleh ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shalallah ‘Alahi Wasallam.
Kebahagian Yang Hakiki dengan Aqidah
Orang yang beriman kepada Allah dan mewujudkan keimanannya tersebut dalam amal mereka adalah orang yang bahagia di dalam hidup. Merekalah yang apabila mendapatkan ujian hidup merasa bahagia dengannya karena mengetahui bahwa semuanya datang dari Allah Subhanahu Wata’ala dan di belakang kejadian ini ada hikmah-hikmah yang belum terbetik pada dirinya yang dirahasiakan oleh Allah sehingga menjadikan dia bersabar menerimanya. Dan apabila mereka mendapatkan kesenangan, mereka bahagia dengannya karena mereka mengetahui bahwa semuanya itu datang dari Allah yang mengharuskan dia bersyukur kepada-Nya.
Alangkah bahagianya hidup kalau dalam setiap waktunya selalu dalam kebaikan. Bukankah sabar itu merupakan kebaikan? Dan bukankah bersyukur itu merupakan kebaikan? Diantara sabar dan syukur ini orang-orang yang beriman berlabuh dengan bahtera imannya dalam mengarungi lautan hidup. Allah berfirman;
Jika kalian bersyukur (atas nikmat-nikmat-Ku ), niscaya Aku akan benar-benar menambahnya kepada kalian dan jika kalian mengkufurinya maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.
Rasulullah Shalallah ‘Alahi Wasallam bersabda:
Dan tidaklah seseorang di berikan satu pemberian lebih baik dan lebih luas dari pada kesabaran”. ( HR. Bukhari dan Muslim )
Kesabaran itu adalah Cahaya.
Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘Anhu brkata: “Kami menemukan kebahagian hidup bersama kesabaran”. ( HR. Bukhari)
Mari kita mendengar herannya Rasululah terhadap kehidupan orang-orang yang beriman di mana mereka selalu dalam kebaikan siang dan malam:
"Sungguh sangat mengherankan urusannya orang yang beriman dimana semua urusannya adalah baik dan yang demikian itu tidak didapati kecuali oleh orang yang beriman. Kalau dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya dan kalau dia ditimpa mudharat mereka bersabar maka itu merupakan satu kebaikan baginya”.
As-Sa’dy rahilahullah mengatakan: ”Rasulullah memberitakan bahwa seorang yang beriman kepada Allah berlipat-lipat ganjaran kebaikan dan buahnya dalam setiap keadaan yang dilaluinya baik itu senang atau duka. Dari itu kamu menemukan bila dua orang ditimpa oleh dua hal tersebut kamu akan mendapatkan perbedaan yang jauh pada dua orang tersebut, yang demikian itu disebabkan karena perbedaan tingkat kimanan yang ada pada mereka berdua”. Lihat Kitab Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah halaman 12.
Dalam meraih kebahagiaan dalam hidup manusia terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, orang yang mengetahui jalan tersebut dan dia berusaha untuk menempuhnya walaupun harus menghadapi resiko yang sangat dahsyat. Dia mengorbankan segala apa yang diminta oleh perjuangan tersebut walaupun harus mengorbankan nyawa. Dia mempertahankan diri dalam amukan badai kehidupan dan berusaha menggandeng tangan keluarganya untuk bersama-sama dalam menyelamatkan diri. Yang menjadi syi’arnya adalah firman Allah;
Hai orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.
Karena perjuangan yang gigih tersebut, Allah mencatatnya termasuk kedalam barisan orang-orang yang tidak merugi dalam hidup dan selalu mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Al- ‘Ashr 1-3 dan surat Al-Mujadalah 22. Mereka itulah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan merekalah pemilik kehidupan yang hakiki.
Kedua, orang yang mengetahui jalan kebahagian yang hakiki tersebut namun dikarenakan kelemahan iman yang ada pada dirinya menyebabkan dia menempuh jalan yang lain dengan cara menghinakan dirinya di hadapan hawa nafsu. Mendapatkan kegagalan demi kegagalan ketika bertarung melawannya. Mereka adalah orang-orang yang lebih memilih kebahagian yang semu daripada harus meraih kebahagian yang hakiki di dunia dan di Akhirat kelak. Menanggalkan baju ketakwaannya, mahkota keyakinannya dan menggugurkan ilmu yang ada pada dirinya. Mereka adalah barisan orang-orang yang lemah imannya.
Ketiga, orang yang sama sekali tidak mengetahui jalan kebahagiaan tersebut sehingga harus berjalan di atas duri-duri yang tajam dan menyangka kalau yang demikian itu merupakan kebahagian yang hakiki. Mereka siap melelang agamanya dengan kehidupan dunia yang fana’ dan siap terjun ke dalam kubangan api yang sangat dahsyat. Orang yang seperti inilah yang dimaksud oleh Allah dalm surat Al-‘Ashr ayat 2 yaitu “Orang-orang yang pasti merugi” dan yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 yaitu “ Partainya syaithon yang pasti akan merugi dan gagal”. Dan mereka itulah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sabda beliau:
Di pagi hari seseorang menjadi mukmin dan di sore harinya menjadi kafir dan di sore harinya mukmin maka di pagi harinya dia kafir dan dia melelang agamanya dengan harga dunia
.
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam, diantaranya adalah kebahagian hidup dan kemuliaannya ada bersama keteguhan berpegang dengan agama dan bersegera mewujudkannya dalam bentuk amal shaleh dan tidak bolehnya seseorang untuk menunda amal yang pada akhirnya dia terjatuh dalam perangkap syaithan yaitu merasa aman dari balasan tipu daya Allah Subhanahu Wata’ala. Hidup harus bertarung dengan fitnah sehingga dengannya ada yang harus menemukan kegagalan dirinya dan terjatuh pada kehinaan di mata Alllah dan di mata makhluk-Nya.
Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan teresebut adalah bagaimana hidup bahagia.
Hidup bahagia merupakan cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Apabila kebahagian itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, maka mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Akan tetapi tidak dia dapati dan sia-sia pengorbanannya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan, maka mereka telah siap mengorbankan apa saja yang dituntutnya, begitu juga teryata mereka tidak mendapatkannya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketenaran nama, maka mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak dapati. Demikianlah gambaran cita-cita hidup ingin kebahagiaan.
Apakah tercela orang-orang yang menginginkan demikian? Apakah salah bila seseorang bercita-cita untuk bahagia dalam hidup? Dan lalu apakah hakikat hidup bahagia itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban agar setiap orang tidak putus asa ketika dia berusaha menjalani pengorbanan hidup tersebut.
Hakikat Hidup Bahagia
Mendefinisikan hidup bahagia sangatlah mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata dan sangat mudah untuk disusun dalam bentuk kalimat. Dalam kenyataannya telah banyak orang yang tampil untuk mendifinisikannya sesuai dengan sisi pandang masing-masing, akan tetapi mereka belum menemukan titik terang. Ahli ekonomi mendifinisikannya sesuai dengan bidang dan tujuan ilmu perekonomian. Ahli kesenian mendifinisikannya sesuai dengan ilmu kesenian. Ahli jiwa akan mendifinisikannya sesuai dengan ilmu jiwa tersebut. Mari kita melihat bimbingan Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya Muhammad Shalallahu ‘Alahi Wasallam tentang hidup bahagia. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
Kamu tidak akan menemukan satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling cinta-mencinta kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka dan keluarga-keluarga mereka. Merekalah orang-orang yang telah dicatat dalam hati-hati mereka keimanan dan diberikan pertolongan, memasukkan mereka kedalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai dan kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah. Ketahuilah mereka adalah (hizb) pasukan Allah dan ketahuilah bahwa pasukan Allah itu pasti menang.
Dari ayat ini jelas bagaimana Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan orang-orang yang bahagia dan mendapatkan kemenangan di dunia dan diakhirat. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan hari akhir dan orang-orang yang menjunjung tinggi makna al-wala’ (berloyalitas) dan al-bara’ (kebencian) sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam. As-Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Orang-orang yang memiliki sifat ini adalah orang-orang yang telah dicatat di dalam hati-hati mereka keimanan. Artinya Allah mengokohkan dalam dirinya keimanan dan menahannya sehingga tidak goncang dan terpengaruh sedikitpun dengan syubhat dan keraguan. Dialah yang telah dikuatkan oleh Allah dengan pertolongn-Nya yaitu menguatkanya dengan wahyu-Nya, ilmu dari-Nya, pertolongan dan dengan segala kebaikan. Merekalah orang-orang yang mendapatkan kebagian dalam hidup di negeri dunia dan akan mendapatkan segala macam nikmat di dalam surga dimana di dalamnya terdapat segala apa yang diinginkan oleh setiap jiwa dan menyejukkan hatinya dan segala apa yang diinginkan dan mereka juga akan mendapatkan nikmat yang paling utama dan besar yaitu mendapatkan keridhaan Allah dan tidak akan mendapatkan kemurkaan selama – lamanya dan mereka ridha dengan apa yang diberikan oleh Rabb mereka dari segala macam kemuliaan, pahala yang banyak, kewibawaan yang tinggi dan derajat yang tinggi. Hal ini dikarenakan mereka tidak melihat yang lebih dari apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala”.
Abdurrahman As-sa’dy dalam mukadimah risalah beliau Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah hal. 5 mengatakan: “Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati dan hilangnya kegundahgulanaan darinya itulah yang dicari oleh setiap orang. Karena dengan dasar itulah akan didapati kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki”.
Allah berfirman:
Baraing siapa yang melakukan amal shleh dari kalangan laki-laki dan perempuan dan dia dalam keadaan beriman maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik dan membalas mereka dengan ganjaran pahala yang lebih baik dikarenakan apa yang telah di lakukannya.
As-Sa’dy dalam Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah halaman 9 mengatakan: “Allah memberitahukan dan menjanjikan kepada siapa saja yang menghimpun antara iman dan amal shaleh yaitu dengan kehidupan yang bahagia dalam negeri dunia ini dan membalasnya dengan pahala di dunia dan akhirat”.
Dari kedua dalil ini kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagian hidup itu terletak pada dua perkara yang sangat mendasar : Kebagusan jiwa yang di landasi oleh iman yang benar dan kebagusan amal seseorang yang dilandasi oleh ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shalallah ‘Alahi Wasallam.
Kebahagian Yang Hakiki dengan Aqidah
Orang yang beriman kepada Allah dan mewujudkan keimanannya tersebut dalam amal mereka adalah orang yang bahagia di dalam hidup. Merekalah yang apabila mendapatkan ujian hidup merasa bahagia dengannya karena mengetahui bahwa semuanya datang dari Allah Subhanahu Wata’ala dan di belakang kejadian ini ada hikmah-hikmah yang belum terbetik pada dirinya yang dirahasiakan oleh Allah sehingga menjadikan dia bersabar menerimanya. Dan apabila mereka mendapatkan kesenangan, mereka bahagia dengannya karena mereka mengetahui bahwa semuanya itu datang dari Allah yang mengharuskan dia bersyukur kepada-Nya.
Alangkah bahagianya hidup kalau dalam setiap waktunya selalu dalam kebaikan. Bukankah sabar itu merupakan kebaikan? Dan bukankah bersyukur itu merupakan kebaikan? Diantara sabar dan syukur ini orang-orang yang beriman berlabuh dengan bahtera imannya dalam mengarungi lautan hidup. Allah berfirman;
Jika kalian bersyukur (atas nikmat-nikmat-Ku ), niscaya Aku akan benar-benar menambahnya kepada kalian dan jika kalian mengkufurinya maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.
Rasulullah Shalallah ‘Alahi Wasallam bersabda:
Dan tidaklah seseorang di berikan satu pemberian lebih baik dan lebih luas dari pada kesabaran”. ( HR. Bukhari dan Muslim )
Kesabaran itu adalah Cahaya.
Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘Anhu brkata: “Kami menemukan kebahagian hidup bersama kesabaran”. ( HR. Bukhari)
Mari kita mendengar herannya Rasululah terhadap kehidupan orang-orang yang beriman di mana mereka selalu dalam kebaikan siang dan malam:
"Sungguh sangat mengherankan urusannya orang yang beriman dimana semua urusannya adalah baik dan yang demikian itu tidak didapati kecuali oleh orang yang beriman. Kalau dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya dan kalau dia ditimpa mudharat mereka bersabar maka itu merupakan satu kebaikan baginya”.
As-Sa’dy rahilahullah mengatakan: ”Rasulullah memberitakan bahwa seorang yang beriman kepada Allah berlipat-lipat ganjaran kebaikan dan buahnya dalam setiap keadaan yang dilaluinya baik itu senang atau duka. Dari itu kamu menemukan bila dua orang ditimpa oleh dua hal tersebut kamu akan mendapatkan perbedaan yang jauh pada dua orang tersebut, yang demikian itu disebabkan karena perbedaan tingkat kimanan yang ada pada mereka berdua”. Lihat Kitab Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah halaman 12.
Dalam meraih kebahagiaan dalam hidup manusia terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, orang yang mengetahui jalan tersebut dan dia berusaha untuk menempuhnya walaupun harus menghadapi resiko yang sangat dahsyat. Dia mengorbankan segala apa yang diminta oleh perjuangan tersebut walaupun harus mengorbankan nyawa. Dia mempertahankan diri dalam amukan badai kehidupan dan berusaha menggandeng tangan keluarganya untuk bersama-sama dalam menyelamatkan diri. Yang menjadi syi’arnya adalah firman Allah;
Hai orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.
Karena perjuangan yang gigih tersebut, Allah mencatatnya termasuk kedalam barisan orang-orang yang tidak merugi dalam hidup dan selalu mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Al- ‘Ashr 1-3 dan surat Al-Mujadalah 22. Mereka itulah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan merekalah pemilik kehidupan yang hakiki.
Kedua, orang yang mengetahui jalan kebahagian yang hakiki tersebut namun dikarenakan kelemahan iman yang ada pada dirinya menyebabkan dia menempuh jalan yang lain dengan cara menghinakan dirinya di hadapan hawa nafsu. Mendapatkan kegagalan demi kegagalan ketika bertarung melawannya. Mereka adalah orang-orang yang lebih memilih kebahagian yang semu daripada harus meraih kebahagian yang hakiki di dunia dan di Akhirat kelak. Menanggalkan baju ketakwaannya, mahkota keyakinannya dan menggugurkan ilmu yang ada pada dirinya. Mereka adalah barisan orang-orang yang lemah imannya.
Ketiga, orang yang sama sekali tidak mengetahui jalan kebahagiaan tersebut sehingga harus berjalan di atas duri-duri yang tajam dan menyangka kalau yang demikian itu merupakan kebahagian yang hakiki. Mereka siap melelang agamanya dengan kehidupan dunia yang fana’ dan siap terjun ke dalam kubangan api yang sangat dahsyat. Orang yang seperti inilah yang dimaksud oleh Allah dalm surat Al-‘Ashr ayat 2 yaitu “Orang-orang yang pasti merugi” dan yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 yaitu “ Partainya syaithon yang pasti akan merugi dan gagal”. Dan mereka itulah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sabda beliau:
Di pagi hari seseorang menjadi mukmin dan di sore harinya menjadi kafir dan di sore harinya mukmin maka di pagi harinya dia kafir dan dia melelang agamanya dengan harga dunia
.
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wasallam, diantaranya adalah kebahagian hidup dan kemuliaannya ada bersama keteguhan berpegang dengan agama dan bersegera mewujudkannya dalam bentuk amal shaleh dan tidak bolehnya seseorang untuk menunda amal yang pada akhirnya dia terjatuh dalam perangkap syaithan yaitu merasa aman dari balasan tipu daya Allah Subhanahu Wata’ala. Hidup harus bertarung dengan fitnah sehingga dengannya ada yang harus menemukan kegagalan dirinya dan terjatuh pada kehinaan di mata Alllah dan di mata makhluk-Nya.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
Surga itu dipagari kebahagiaan semu sementra dunia.
Neraka itu dipagari kesengsaraan semu sementara dunia.
Neraka itu dipagari kesengsaraan semu sementara dunia.
Mutiaraa- LETNAN DUA
-
Posts : 1445
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 20.01.14
Reputation : 29
Similar topics
» konsep kebahagiaan dan kesengsaraan
» jalan menuju kebahagiaan
» meraih kebahagiaan hakiki
» jalan mencapai kebahagiaan
» menggapai kebahagiaan dengan bahtera ilmu
» jalan menuju kebahagiaan
» meraih kebahagiaan hakiki
» jalan mencapai kebahagiaan
» menggapai kebahagiaan dengan bahtera ilmu
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik