urgensi dakwah sya'biyah
Halaman 1 dari 1 • Share
urgensi dakwah sya'biyah
Manusia adalah makhluk ijtima’i atau makhluk sosial. Sejak awal keberadaannya di muka bumi hingga akhir hayatnya ia senantiasa melakukan interaksi dengan manusia lainnya, karena saling membutuhkan satu sama lain.
Seorang muslim bahkan dituntut lebih dari itu. Secara alamiah ia memang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, namun ia dituntut memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungannya. Rasulullah SAW di dalam al Quran digambarkan sebagai sosok penyantun, penuh kasih sayang dan mudah menyelami penderitaan orang lain.
“Telah datang seorang rasul dari golonganmu sendiri, terasa amat berat baginya apa yang kamu derita. Ia amat menginginkan kebaikan bagimu. Terhadap mukmin ia santun lagi penuh kasih sayang.” (Qs. 9:128).
Jadi Rasulullah SAW telah menjadi sebaik-baiknya contoh seorang muslim yang senantiasa memikirkan orang lain, mudah berempati dan penuh kasih sayang. Beliau juga menggugah hati nurani umatnya dengan mempertanyakan bagaimana mungkin kita dapat tidur nyenyak sementara tetangga kita kelaparan. Jangankan kepada sesama manusia, kepada makhluk Allah berupa binatang pun kita tidak boleh menelantarkannya.
Sebagai khalifah fil ardh, manusia memiliki kewajiban menjaga dan membangun lima hal (al ushul al khamsah), yakni ad din (agama), al aqlu (akal), al irdhu (martabat), an nafs (jiwa) dan al mal (harta). Bila kelima hal tersebut terpelihara dengan baik maka akan terwujud hubungan antara manusia yang harmonis.
Pentingnya masalah interaksi sosial yang baik terlihat dalam perintah Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, (iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik) dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Jadi setelah perintah melakukan hablum minalllah secara baik, kita pun disuruh melakukan hablum minannas secara baik pula.
Hanya saja dalam berinteraksi dengan masyarakat, selaku muslim kita perlu mengambil sikap pertengahan. Di satu sisi kita tidak mengambil sikap perilaku yang a sosial, menutup diri karena takut pengaruh buruk dari lingkungan. Padahal kita mengemban pula misi dakwah, melanjutkan misi para nabi yakni menyebarkan risalah tauhid. Dan di sisi lain kita juga hendaknya menghndari pergaulan yang tidak selektif dan interaksi tanpa pedoman sehingga mengancam keistiqamahan kita.
Mengingat urgensi dakwah, keutamaan-keutamaan di sisi Allah dan kenikmatan-kenikmatan ilahiyah yang bisa diraih bila kita melakukan tijarah dengan Allah (Qs. 61:10-11), maka tak pelak lagi muslimah sebagai bagian dari umat dengan kapasitas yang dimilikinya memiliki pula kewajiban berkiprah dalam dakwah di tempat ia berada. Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana kewajiban itu dijalankan secara tepat sehingga membuahkan hasil yang optimal. Kata tepat tersebut mengacu kepada kesesuaiannya dengan kaidah sunnatullah yang ada di alam semesta ini. Allah SWT (dalam QS. 55:7-9) menciptakan alam semesta ini dan manusia sebagai bagian darinya dalam keadaan harmoni, selaras dan seimbang (tawazun). Sehingga agar tidak menimbulkan kemudharatan, kita harus senantiasa mengacu pada kaidah keseimbangan itu di dalam segala aktivitas kita.
Dalam kaitannya dengan kerja dakwah muslimah di masyarakat, hendaknya harmoni dan keseimbangan itu juga terwujud di antara berbagai perannya. Karena seorang muslimah tidak melulu seorang aktivis dakwah di masyarakat. Peran utama yang harus selalu diembannya adalah sebagai abdullah (hamba Allah) yang berkewajiban menunaikan hak-hak Allah atas dirinya. Selanjutnya ia juga seorang anak yang memiliki kewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya (Qs. 31:14-15) dan merupakan anggota keluarga sekaligus anggota masyarakat.
Lalu bisa juga ia seorang mahasiswi atau insan akademis yang tengah menuntut ilmu, menajamkan daya nalar dan mempersiapkan diri untuk profesi tertentu. Bisa jadi pula ia sudah merampungkan studi dan menekuni suatu profesi tertentu sekaligus sudah menikah dan membina keluarga. Sehingga hal lain yang tak boleh luput dari perhatian dan persiapannya adalah bahwa ia juga harus memikirkan peran asasi sebagai seoang istri dan ibu. Ini berarti bahwa selain perlu memperhatikan keselarasan dalam berbagai perannya dan cara dakwah, ia juga perlu mempersiapkan berbagai bekal secara seimbang. Bekal itu mencakup tiga hal, yakni jismiyah (fisik), aqliyah (akal) dan ruhiyah (spiritual). Ketiga ragam bekal tersebut sagat urgen melihat medan dakwah yang semakin luas dan tantangan-tantangan dakwah yang semakin berat.
Bila dibandingkan dengan konsidi medan dakwah di era ’80-an, maka ada beberapa perbedaan yang bisa dicermati. Satu dasawarsa yang lalu, obyek dakwah hanya terbatas pada kalangan tertentu saja yakni mahasiswa atau mahasiswi muslim dan caranya pun sangat spesifik melalui training-training, pesantren kilat untuk kemudian direkrut ke dalam kelompok-kelompok taklim. Kelemahannya adalah terbatasnya sasaran dan perkembangan dakwah serta ancaman yang ada saat itu adalah eksklusifisme. Namun letak kekuatannya ada pada soliditas dan kekuatan internal yang dimiliki personil-personil dakwah saat itu.
Pada era sekarang ini letak kekuatan dakwah ada pada dalam jumlah personil dakwah yang semakin banyak, peluang-peluang dakwah yang juga semakin banyak dan obyek yang semakin beragam dan bukan saja mahasiswa dan mahasiswi muslim melainkan juga masyarakat yang luas dari berbagai kalangan.
Demikian pula cara dan forum-forum dakwah yang kian beragam serta sarana-sarana dakwah yang kian bertambah membuat peluang-peluang dan sasaran dakwah pun kian bertambah. Namun kelemahan-kelemahan dan ancaman dakwah pun bisa jadi bertambah pula seperti pelarutan dan pengenceran furqan, fitnah-fitnah yang mungkin timbul dalam dakwah, melemahnya ukhuwah dan lain sebagainya. Sehingga perlu diantisipasi dengan upaya meningkatkan kualitas personil-personil dakwah, menguatkan soliditas, mempererat ukhuwah dan tetap mengindahkan rambu-rambu syar’i saat terjun dalam dakwah di masyarakat.
Dalam al Quran surat an Nuur ayat 30, Islam dikatakan sebagai cahaya di atas cahaya dan Rasul diutus oleh Allah untuk menyebarkan rahmat di alam semesta. Maka muslimah sebagai salah satu pelanjut penyampai risalah dakwah seyogyanya memancarkan pula cahaya di masyarakat. Seluruh aspek dirinya adalah dakwah itu sendiri yang terpancar dalam keharmonian dan keseimbangan yang berhasil diwujudkannya. Insya Allah. Wallahu a’lam bi shawab.
Seorang muslim bahkan dituntut lebih dari itu. Secara alamiah ia memang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, namun ia dituntut memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungannya. Rasulullah SAW di dalam al Quran digambarkan sebagai sosok penyantun, penuh kasih sayang dan mudah menyelami penderitaan orang lain.
“Telah datang seorang rasul dari golonganmu sendiri, terasa amat berat baginya apa yang kamu derita. Ia amat menginginkan kebaikan bagimu. Terhadap mukmin ia santun lagi penuh kasih sayang.” (Qs. 9:128).
Jadi Rasulullah SAW telah menjadi sebaik-baiknya contoh seorang muslim yang senantiasa memikirkan orang lain, mudah berempati dan penuh kasih sayang. Beliau juga menggugah hati nurani umatnya dengan mempertanyakan bagaimana mungkin kita dapat tidur nyenyak sementara tetangga kita kelaparan. Jangankan kepada sesama manusia, kepada makhluk Allah berupa binatang pun kita tidak boleh menelantarkannya.
Sebagai khalifah fil ardh, manusia memiliki kewajiban menjaga dan membangun lima hal (al ushul al khamsah), yakni ad din (agama), al aqlu (akal), al irdhu (martabat), an nafs (jiwa) dan al mal (harta). Bila kelima hal tersebut terpelihara dengan baik maka akan terwujud hubungan antara manusia yang harmonis.
Pentingnya masalah interaksi sosial yang baik terlihat dalam perintah Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, (iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik) dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Jadi setelah perintah melakukan hablum minalllah secara baik, kita pun disuruh melakukan hablum minannas secara baik pula.
Hanya saja dalam berinteraksi dengan masyarakat, selaku muslim kita perlu mengambil sikap pertengahan. Di satu sisi kita tidak mengambil sikap perilaku yang a sosial, menutup diri karena takut pengaruh buruk dari lingkungan. Padahal kita mengemban pula misi dakwah, melanjutkan misi para nabi yakni menyebarkan risalah tauhid. Dan di sisi lain kita juga hendaknya menghndari pergaulan yang tidak selektif dan interaksi tanpa pedoman sehingga mengancam keistiqamahan kita.
Mengingat urgensi dakwah, keutamaan-keutamaan di sisi Allah dan kenikmatan-kenikmatan ilahiyah yang bisa diraih bila kita melakukan tijarah dengan Allah (Qs. 61:10-11), maka tak pelak lagi muslimah sebagai bagian dari umat dengan kapasitas yang dimilikinya memiliki pula kewajiban berkiprah dalam dakwah di tempat ia berada. Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana kewajiban itu dijalankan secara tepat sehingga membuahkan hasil yang optimal. Kata tepat tersebut mengacu kepada kesesuaiannya dengan kaidah sunnatullah yang ada di alam semesta ini. Allah SWT (dalam QS. 55:7-9) menciptakan alam semesta ini dan manusia sebagai bagian darinya dalam keadaan harmoni, selaras dan seimbang (tawazun). Sehingga agar tidak menimbulkan kemudharatan, kita harus senantiasa mengacu pada kaidah keseimbangan itu di dalam segala aktivitas kita.
Dalam kaitannya dengan kerja dakwah muslimah di masyarakat, hendaknya harmoni dan keseimbangan itu juga terwujud di antara berbagai perannya. Karena seorang muslimah tidak melulu seorang aktivis dakwah di masyarakat. Peran utama yang harus selalu diembannya adalah sebagai abdullah (hamba Allah) yang berkewajiban menunaikan hak-hak Allah atas dirinya. Selanjutnya ia juga seorang anak yang memiliki kewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya (Qs. 31:14-15) dan merupakan anggota keluarga sekaligus anggota masyarakat.
Lalu bisa juga ia seorang mahasiswi atau insan akademis yang tengah menuntut ilmu, menajamkan daya nalar dan mempersiapkan diri untuk profesi tertentu. Bisa jadi pula ia sudah merampungkan studi dan menekuni suatu profesi tertentu sekaligus sudah menikah dan membina keluarga. Sehingga hal lain yang tak boleh luput dari perhatian dan persiapannya adalah bahwa ia juga harus memikirkan peran asasi sebagai seoang istri dan ibu. Ini berarti bahwa selain perlu memperhatikan keselarasan dalam berbagai perannya dan cara dakwah, ia juga perlu mempersiapkan berbagai bekal secara seimbang. Bekal itu mencakup tiga hal, yakni jismiyah (fisik), aqliyah (akal) dan ruhiyah (spiritual). Ketiga ragam bekal tersebut sagat urgen melihat medan dakwah yang semakin luas dan tantangan-tantangan dakwah yang semakin berat.
Bila dibandingkan dengan konsidi medan dakwah di era ’80-an, maka ada beberapa perbedaan yang bisa dicermati. Satu dasawarsa yang lalu, obyek dakwah hanya terbatas pada kalangan tertentu saja yakni mahasiswa atau mahasiswi muslim dan caranya pun sangat spesifik melalui training-training, pesantren kilat untuk kemudian direkrut ke dalam kelompok-kelompok taklim. Kelemahannya adalah terbatasnya sasaran dan perkembangan dakwah serta ancaman yang ada saat itu adalah eksklusifisme. Namun letak kekuatannya ada pada soliditas dan kekuatan internal yang dimiliki personil-personil dakwah saat itu.
Pada era sekarang ini letak kekuatan dakwah ada pada dalam jumlah personil dakwah yang semakin banyak, peluang-peluang dakwah yang juga semakin banyak dan obyek yang semakin beragam dan bukan saja mahasiswa dan mahasiswi muslim melainkan juga masyarakat yang luas dari berbagai kalangan.
Demikian pula cara dan forum-forum dakwah yang kian beragam serta sarana-sarana dakwah yang kian bertambah membuat peluang-peluang dan sasaran dakwah pun kian bertambah. Namun kelemahan-kelemahan dan ancaman dakwah pun bisa jadi bertambah pula seperti pelarutan dan pengenceran furqan, fitnah-fitnah yang mungkin timbul dalam dakwah, melemahnya ukhuwah dan lain sebagainya. Sehingga perlu diantisipasi dengan upaya meningkatkan kualitas personil-personil dakwah, menguatkan soliditas, mempererat ukhuwah dan tetap mengindahkan rambu-rambu syar’i saat terjun dalam dakwah di masyarakat.
Dalam al Quran surat an Nuur ayat 30, Islam dikatakan sebagai cahaya di atas cahaya dan Rasul diutus oleh Allah untuk menyebarkan rahmat di alam semesta. Maka muslimah sebagai salah satu pelanjut penyampai risalah dakwah seyogyanya memancarkan pula cahaya di masyarakat. Seluruh aspek dirinya adalah dakwah itu sendiri yang terpancar dalam keharmonian dan keseimbangan yang berhasil diwujudkannya. Insya Allah. Wallahu a’lam bi shawab.
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Similar topics
» dakwah sembunyi-sembunyi vs dakwah terang-terangan
» urgensi bertaubat
» urgensi bertanya dan berdiskusi
» urgensi SDM ekonomi syariah
» urgensi belajar ilmu syariat
» urgensi bertaubat
» urgensi bertanya dan berdiskusi
» urgensi SDM ekonomi syariah
» urgensi belajar ilmu syariat
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik