abu a'la maududi
Halaman 1 dari 1 • Share
abu a'la maududi
Robohnya khilafah Islamiyah di Turki pada tahun 1924 benar-benar menjadi pukulan sangat telak pada eksistensi ummat Islam. Khilafah Islam di Turki yang merupakan jangkar terakhir kekuatan dan simbol ummat, telah diobok-obok oleh Kamal At-Taturk, bapak sekularisme Turki yang tak lain adalah antek Barat yang dipasang di jantung pusat kekuatan Islam.
Lenyapnya kekuasaan penyatu ummat ini menimbulkan kegamangan yang sangat dalam di tubuh ummat yang tak lagi memiliki garis komando tunggal. Sebab, telah dicabik-cabik dalam negara-negara kecil dengan kepentingan sangat beragam, sehingga mudah disulut dan dibakar.
Dari rasa kegamangan inilah muncul “kerinduan” menggebu dalam dada ummat untuk melahirkan kembali Islam sebagai kekuatan dan sekaligus sebagai penyelamat dunia. Usaha-usaha ini dilakukan dengan cara pembentukan gerakan-gerakan Islam.
Abul A'la Maududi adalah satu dari sekian orang yang peduli pada kondisi ummat tersebut. Dan tak diragukan dia adalah salah seorang penyumbang terbesar dan “pengawal” kebangkitan ummat.
Riwayat Hidup
Sayyid Abul A'la Maududi lahir pada 25 September 1903, bertepatan dengan 3 Rajab 1321 di Awrangabad, Deccan. Ayahnya bernama Sayyid Ahmad Hasan. Dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Garis keturunannya bersambung langsung dengan Khwaja Qutbu'ddin Maududi Chisti, dari sini nama Maududi diambil, yang mendapat gelar sebagai syaikhul syuyukh (guru-gurunya sufi) di India. Para pendiri tarikat Chistiyyah ini memiliki garis keturunan yang bersambung pada Nabi. Oleh karenanya, nama mereka selalu diembeli sayyid.
Dari ibunya, Ruqaiyah Begum, nasabnya berasal dari keluarga utama asal Turki yang berimigrasi ke India pada saat Aurangzeb berkuasa dan pernah menjabat pos penting di pemerintahan Mughal.
Pada masa kecilnya, Maududi sangat disayang oleh ayahnya. Perhatian besar ayahnya yang penganut tasawuf inilah, menurut Maududi dalam autobiografinya, telah mempengaruhi sikap hidupnya. Terutama sekali dalam idealisme, kealiman dan kerendahan hati.
Ahmad Hasan sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Makanya, dia memandang perlu untuk mengajar sendiri anak-anaknya. Ayahnya menginginkan Maududi menjadi seorang maulawi (kiai), seorang ahli ilmu kalam dan sekaligus sebagai pemikir Islam. Sebelum anak-anaknya tidur, dia selalu bercerita tentang orang-orang besar dalam Islam dan kebesaran sejarah Islam.
Maududi memulai pendidikannya dengan belajar bahasa Persia, Urdu dan kemudian Arab. Di samping itu, dia juga belajar mantiq (logika) fikih dan hadits. Dalam usianya yang sangat muda, Maududi memiliki keinginan yang menggebu untuk menulis. Namun sang ayah tidak mengijinkan. Sebaliknya, dia menyarankan anaknya banyak membaca lebih dahulu agar memiliki fondasi dan kematangan yang kokoh dalam berbagai ilmu.
Pada tahun 1914, saat umurnya menjelang sebelas tahun, dia masuk di Madrasah Fauqaniyah di Awrangabad. Sekolah ini berafiliasi pada Uthmaniyah University Hyderabad, yang mengajarkan ilmu-ilmu klasik dan modern sekaligus.
Maududi adalah sosok yang tak pernah puas dengan satu ilmu tertentu. Di usianya yang sangat muda, dia telah bersentuhan dengan berbagai disiplin ilmu. Dia telah belajar al-Miqat fil Al-Mantiq dalam bidang logika, al-Quduri dalam bidang fiqh dan Shamail al-Tirmidzi dalam bidang Hadits.
Usia sebelas tahun, dia telah mampu menerjemahkan buku Al-Mar'ah Al-Jadidah karya Qasim, pengarang Mesir kenamaan—dan sekaligus sangat liberal— ke dalam bahasa Urdu. Penerjemahan ini adalah berkat kemampuannya yang sangat tinggi dalam bahasa Arab.
Pada tahun 1915 keluarganya pindah ke Hyderabad. Di sini dia masuk madrasah Darul Ulum. Namun dia tidak mampu melanjutkan sekolah di tempat itu karena tak lama setelah mereka sampai di Hyderabad, ayahnya jatuh sakit. Enam bulan kemudian dia terpaksa meninggalkan Hyderabad menuju Bhopal untuk menemani ayahnya. Penyakit ayahnya yang berkepanjangan dan krisis finansial, telah memaksa Maududi untuk meninggalkan bangku sekolah dan harus menerima realitas hidup yang pahit. Dalam usia lima belas tahun, Maududi kecil sudah harus bisa menghasilkan uang lewat keringatnya sendiri.
Jurnalis dan Penulis
Tatkala berada di Bhopal inilah dia akrab dengan seorang ulama yang bernama Maulana Niyaz Fatihfuri. Niyaz yang melihat bakat besar dalam diri Maududi menyarankan, agar dia menjadi seorang penulis. Saran ini tak ditolak Maududi yang sadar akan kemampuannya. Sejak itulah dia tak jemu-jemunya belajar menulis. Dalam waktu tiga tahun (1921), dia telah menjadi seorang penulis yang memiliki ciri khusus. Menulis kemudian menjadi bagian sangat penting dalam segala aktivitas Maududi.
Pada tahun 1918 bersama kakaknya, Abul-Khair, dia bekerja sebagai editor di sebuah jurnal Madinah di Bijanpur. Tahun 1919 dia bertemu dengan Tajuddin, pimpinan tabloid mingguan Taj yang pro partai Kongres yang berpusat di Jabalpur. Saat bekerja di tabloid inilah, dia mulai mengenal dunia politik. Namun pada tahun 1920 tabloid ini ditutup karena terlalu keras mengkritik kolonial Inggris.
Pada tahun 1923 Maududi bekerja sebagai editor majalah Al-Jamiat, sebuah majalah yang dimotori oleh Jamaat Ulama Hindu. Satu organisasi keulamaan terbesar di India. Tahun 1924 Maududi terlibat dalam Khilafat Movement yang didukung oleh Liga Muslim India. Pada tahun yang sama Maududi juga dengan intens menerjemahkan beberapa buku bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Nama Maududi mulai mencorong saat dia dengan sangat jenial menulis sebuah buku berjudul Al-Jihad Fie Al-Islam pada tahun 1930. Buku ini merupakan hasil serial tulisannya selama enam bulan yang muncul di majalah Al-Jamiat dengan judul Islam kaqanun-i-jang (Islam's Law of War).
Buku-buku Maududi banyak mendapat sambutan dari berbagai kalangan dalam usaha mengembalikan Islam pada kejayaannya. Buku-bukunya seperti Toward Understanding Islam (Menuju Pemahaman Islam), Purdah (Hijab), Islamic Law and Constitutions (Hukum dan Konstitusi Islam) misalnya, merupakan buku-buku sangat berpengaruh dan banyak mendapat kajian serius para aktivis Muslim di berbagai negara Islam. Bahkan bukunya yang berjudul Toward Understanding Islam yang terbit tahun 1930 menjadi buku pegangan gerakan Ikhwan Muslimin di Mesir.
Karya lain Maududi yang tak kalah pentingnya adalah bukunya yang berjudul Tafhimul Al-Quran. Sebuah buku tafsir yang dia tulis sejak tahun 1942 dan baru selesai pada tahun 1972.
Jamaat Islami: Revolusi Damai
Untuk mewujudkan ide-ide besarnya itu, Maududi cukup menulis, melainkan juga mendirikan organisasi Islam yang kemudian menjelma menjadi Partai Islam yang disebut dengan Jamaat Islami (JT) yang didirikan pada 26 Agustus 1940 di Lahore. Tidak hanya ide-ide Maududi, JT ternyata juga realisasi dari ide-ide salah seorang pemikir besar Pakistan lainya, yakni Muhammad Iqbal.
Sebagai gerakan Islam, JT memiliki tujuan yang sangat jelas yaitu: mencapai ridlo Allah dengan cara penegakan ajaran agama di muka bumi. Keanggotaannya terbuka untuk semua orang. Namun untuk menjadi anggota JT diperlukan penyaringan yang ketat dan sangat selektif. Penyeleksian ditujukan untuk membuat fondasi pergerakan agar sangat kokoh dan tidak goyah. Sebab sebuah gerakan, dalam pandangan Maududi, jika tidak memiliki lapisan dasar yang kuat dan dengan pandangan yang sangat kuat, akan sangat gampang dipatahkan. Soliditas pandangan dan wawasan para anggota jamaat menjadi agenda utama gerakan ini. Dan ini sesuai dengan cara perubahan masyarakat yang diajarkan Maududi. Yakni perubahan yang dilakukan dari atas (top-down). Sebuah garapan yang mengincar tokoh-tokoh dan bukan massa. Sebab, dalam pandangan Maududi, perubahan sebuah masyarakat akan gampang berjalan jika para elit pemikirnya telah mengerti Islam yang benar. Tak heran jika para pengikutnya berasal dari para golongan kampus. Cara seleksi yang ketat ini, agak sedikit menghambat partai ini untuk menggaet pengikut. Bahkan tak jarang dianggap eksklusif, karena membidik orang-orang tertentu. Tuduhan ini sebenarnya bersumber pada ketidak mengertian mereka terhadap cara dan tujuan JT.
Dalam rangka mengadakan perubahan, menurut Maududi, harus diadakan revolusi Islam (inqalab islami). Namun revolusi yang Maududi maksud bukanlah revolusi berdarah-darah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum komunis yang menginginkan perubahan dalam sekejap mata. Maududi menekankan, revolusi harus dilakukan dengan cara gradual dan dengan penanaman keyakinan akan kebesaran Islam. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1945 ia menyatakan bahwa yang dia maksud dengan revolusi tidaklah mengerahkan seluruh massa. Revolusi yang dimaksudkan adalah inqilab-i-imamat (revolution in leadership). Dia mengatakan, yang mengadakan perubahan bukanlah otak masyarakat umumnya, namun para penggerak masyarakat dan peminpinnya. Maududi menyatakan, revolusi Islam adalah sebuah revolusi dengan esensi damai dan tanpa tumpahan darah. Makanya dia menekankan pendidikan sebagai sarana utama.
Maududi sendiri dalam perjalanan hidupnya mengalami banyak cobaan yang dihadapi dengan gagah dan kokoh. Dia pernah divonis hukuman mati pada tahun 1954 karena protesnya atas kasus Ahmadiyah dan tuntutannya agar pemerintah menjadikan Ahmadiah sebagai minoritas-non muslim. Saat mendengar keputusan hukuman mati itu, dia berkata “Jika ajalku telah tiba, maka tak ada seorangpun yang mampu mencegah kematianku, namun jika kematian belum saatnya maka apapun usaha mereka tak mungkin akan berhasil juga.” Nyatanya hukuman itu dikoreksi menjadi hukuman 14 tahun dan akhirnya dia dilepas pada tahun 1955 setelah pengadilan menyatakan tak cukup bukti.
Jamaat Islami kini bukan hanya berada di Pakistan, namun juga di India, Bangladesh, Srilanka, Kashmir dan Afghanistan. Setiap Jamaat yang ada di negeri itu memang tak memiliki hubungan langsung secara organisatoris dengan JI di Pakistan. Namun pikiran-pikiran dan programnya mereka ambil dari pikiran-pikiran Maududi.
Maududi meninggal pada 22 September l979, karena penyakit ginjal. Dia dimakamkan di kota Lahore. Dan beberapa saat sebelum meninggal, dia sempat mendapat anugerah Faisal King Award dari kerajaan Arab Saudi berkat aktivitasnya dalam bidang pemikiran dan kontribusinya pada peradaban Islam. Rahimallah Maududi.
Abul A'la Maududi
PEMIKIR DAN POLITIKUS ISLAM
Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa-dasawarsa pertengahan abad 20. Interpretasi Islamnya menjadi fondasi pemikiran kebangkitan Islam kontemporer. Ditunjang oleh kemampuannya dalam menulis, pemikiranya berpengaruh besar pada pemikir Muslim kontemporer, sejak dari Mindanao sampai Maroko. Sejak dari Sayyid Quthb di Mesir, sampai aktivis kebangkitan Islam di Aljazair, Iran, Malaysia atau Sudan, berkembang di seputar mukadimah Maududi. Pengaruhnya yang paling kuat terasa di Asia Selatan.
Pemikiran politiknya di Asia Selatan mendapatkan bentuknya yang nyata melalui organisasi Jama’ati Islami (Partai Islam), yang selama lebih lima puluh tahun terakhir, berperan dalam sejarah dan politk Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan komunitas Teluk Persia Asia Selatan, dan juga mereka yang mungkin di Barat. Luasnya pengaruh pemikiran dan dampak politik membuat studi atas biografinya, asal-usul biografinya, asal-susul perspektif ideologinya, visi revolusi Islam dan negara Islamnya, serta perwujudannya dalam politik Jama’at, menjadi penting dalam, memahami politisasi pemikiran Islam belakangan ini.
Maududi lahir di Aurangabad India Selatan, pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321). Dia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh Muslim India Utara) dari Delhi, yang bermukim di Deccan. Keluarga ini keturunan wali sufi besar tarekat Chishti yang membantu menanamkan benih Islam di bumi India. Keluarga Maududi pernah mengabdi Moghul, dan khususnya dekat dengan istana selama pemerintahan Bahadur Syah Zafar, penguasa terakhir dinasti itu. Keluarga Maududi kehilangan statusnya, setelah Pemberontakan Besar dan jatuhnya dinasti Moghul pada 1858. Warisan pengabdian mereka kepada penguasa Muslim menyebabkan mereka dapat terus merasa dekat dengan kejayaan sejarah Muslim di India; karena itu mereka tidak akur dengan pemerintahan Inggeris. Keluarga Maududi akhirnya meninggalkan Delhi dan menetap di Deccan. Di sana, mereka mengabdi pada generasi demi generasi Nizam Hyderabad.
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad. Di sini dia mendapat pelajaran modern, khususnya sains, untuk pertama kalinya. Maududi terpaksa meninggalkan pendidikan formalnya lima tahun kemudian, pada usia enam belas tahun, setelah ayahnya sakit keras dan meninggal. Kemudian Maududi berupaya untuk memenuhi minat intelektualnya sendiri. Dia tidak tertarik kepada soal-soal agama. Dia hanya suka soal politik. Pada waktu itu, semangatnya adalah nasionalisme India. Misal, antara 1918 dan 1919, dia menulis beberapa esai yang memuji pemimpin Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya. Pada 1918, dia ke Bijnur untuk bergabung dengan saudaranya, Abu Khair, di mana dia memulai karier di bidang jurnalistik.
Tak lama kemudian, kedua bersaudara ini pindah ke Delhi. Di Delhi, Maududi berhubungan dengan arus intelektual dalam komunitas Muslim. Dia tahu soal pandangan modernis, dan ikut dalam gerakan kemerdekaan. Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja pada mingguan pro-Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, dan aktif juga dalam memobilisasi kaum Muslim untuk mendukung Partai Kongres. Tulisannya membela tujuannya. Mengakibatkan mingguan ini ditutup.
Runtuhnya Gerakan Khilafah Islam pada 1924 di Turki, kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang kini diyakininya menyesatkan orang Turki dan Mesir, menyebabkan mereka merongrong kesatuan Muslim denbgan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan Muslim. Dia juga tak lagi percaya kepada nasionalisme India. Dia percaya bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Pendekatannya jadi sangat komunalis. Dia ungkapan ketidaksukaannya kepada gerakan nasionalis dan sekutu Muslimnya. Pada saat inilah dia merasa pandangannya bertentangan dengan ulama Jami’at yang mendukung upaya Kongres mengakhiri pemerintahan Inggris. Maududi meninggalkan Jami’at, berpisah jalan dengan para penasehat Deobandinya.
Kemudian pada 26 Agustus 1941 di Lahore, partai Jama’at-I Islami didirikan Partai ini merupakan perwujudan dari visi ideologi Abu A’ala Al-Maududi. Maududi terlibat dalam politik Islam sejak 1938, dengan tujuan melindungi kepentingan Muslim. Dia menentang tindakan mengakomodasi partai Konggres. Dia percaya bahwa pretensi sekular Partai Kongres mengaburkan janjinya untuk mendirikan pemerintahan Hindu, yang berarti akhir Islam di India. Maududi memimpin Jama’at Islami hingga tahun 1971, ia meninggal pada 22 September 1979 di Buffalo, New York, Amerika Serikat. Dia dimakamkan di rumahnya, di Ichhrah, Lahore.
Perkembangan kebangkitan Islam dalam karya Maududi dan politk Jama’at, memberikan wawasan penting mengenai asal-usul dan kerja ideologi Islam dan keseluruhan strategi. Kendati pandangan Maududi dan agenda Jama’at cukup berbeda dengan manifestasi lain kebangkitan Islam, sehingga memberikan model yang berbeda dengan model yang dianjurkan di Iran atau di Mesir, namun membentangkan sifat kebangkitan Islam. Karena kelompok Islam sejak dari Aljazair sampai Malaysia, memilih ikut pemilu ketimbang revolusi, jejak Jama’at barangkali lebih banyak diikuti di dunia Muslim.
Lenyapnya kekuasaan penyatu ummat ini menimbulkan kegamangan yang sangat dalam di tubuh ummat yang tak lagi memiliki garis komando tunggal. Sebab, telah dicabik-cabik dalam negara-negara kecil dengan kepentingan sangat beragam, sehingga mudah disulut dan dibakar.
Dari rasa kegamangan inilah muncul “kerinduan” menggebu dalam dada ummat untuk melahirkan kembali Islam sebagai kekuatan dan sekaligus sebagai penyelamat dunia. Usaha-usaha ini dilakukan dengan cara pembentukan gerakan-gerakan Islam.
Abul A'la Maududi adalah satu dari sekian orang yang peduli pada kondisi ummat tersebut. Dan tak diragukan dia adalah salah seorang penyumbang terbesar dan “pengawal” kebangkitan ummat.
Riwayat Hidup
Sayyid Abul A'la Maududi lahir pada 25 September 1903, bertepatan dengan 3 Rajab 1321 di Awrangabad, Deccan. Ayahnya bernama Sayyid Ahmad Hasan. Dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Garis keturunannya bersambung langsung dengan Khwaja Qutbu'ddin Maududi Chisti, dari sini nama Maududi diambil, yang mendapat gelar sebagai syaikhul syuyukh (guru-gurunya sufi) di India. Para pendiri tarikat Chistiyyah ini memiliki garis keturunan yang bersambung pada Nabi. Oleh karenanya, nama mereka selalu diembeli sayyid.
Dari ibunya, Ruqaiyah Begum, nasabnya berasal dari keluarga utama asal Turki yang berimigrasi ke India pada saat Aurangzeb berkuasa dan pernah menjabat pos penting di pemerintahan Mughal.
Pada masa kecilnya, Maududi sangat disayang oleh ayahnya. Perhatian besar ayahnya yang penganut tasawuf inilah, menurut Maududi dalam autobiografinya, telah mempengaruhi sikap hidupnya. Terutama sekali dalam idealisme, kealiman dan kerendahan hati.
Ahmad Hasan sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Makanya, dia memandang perlu untuk mengajar sendiri anak-anaknya. Ayahnya menginginkan Maududi menjadi seorang maulawi (kiai), seorang ahli ilmu kalam dan sekaligus sebagai pemikir Islam. Sebelum anak-anaknya tidur, dia selalu bercerita tentang orang-orang besar dalam Islam dan kebesaran sejarah Islam.
Maududi memulai pendidikannya dengan belajar bahasa Persia, Urdu dan kemudian Arab. Di samping itu, dia juga belajar mantiq (logika) fikih dan hadits. Dalam usianya yang sangat muda, Maududi memiliki keinginan yang menggebu untuk menulis. Namun sang ayah tidak mengijinkan. Sebaliknya, dia menyarankan anaknya banyak membaca lebih dahulu agar memiliki fondasi dan kematangan yang kokoh dalam berbagai ilmu.
Pada tahun 1914, saat umurnya menjelang sebelas tahun, dia masuk di Madrasah Fauqaniyah di Awrangabad. Sekolah ini berafiliasi pada Uthmaniyah University Hyderabad, yang mengajarkan ilmu-ilmu klasik dan modern sekaligus.
Maududi adalah sosok yang tak pernah puas dengan satu ilmu tertentu. Di usianya yang sangat muda, dia telah bersentuhan dengan berbagai disiplin ilmu. Dia telah belajar al-Miqat fil Al-Mantiq dalam bidang logika, al-Quduri dalam bidang fiqh dan Shamail al-Tirmidzi dalam bidang Hadits.
Usia sebelas tahun, dia telah mampu menerjemahkan buku Al-Mar'ah Al-Jadidah karya Qasim, pengarang Mesir kenamaan—dan sekaligus sangat liberal— ke dalam bahasa Urdu. Penerjemahan ini adalah berkat kemampuannya yang sangat tinggi dalam bahasa Arab.
Pada tahun 1915 keluarganya pindah ke Hyderabad. Di sini dia masuk madrasah Darul Ulum. Namun dia tidak mampu melanjutkan sekolah di tempat itu karena tak lama setelah mereka sampai di Hyderabad, ayahnya jatuh sakit. Enam bulan kemudian dia terpaksa meninggalkan Hyderabad menuju Bhopal untuk menemani ayahnya. Penyakit ayahnya yang berkepanjangan dan krisis finansial, telah memaksa Maududi untuk meninggalkan bangku sekolah dan harus menerima realitas hidup yang pahit. Dalam usia lima belas tahun, Maududi kecil sudah harus bisa menghasilkan uang lewat keringatnya sendiri.
Jurnalis dan Penulis
Tatkala berada di Bhopal inilah dia akrab dengan seorang ulama yang bernama Maulana Niyaz Fatihfuri. Niyaz yang melihat bakat besar dalam diri Maududi menyarankan, agar dia menjadi seorang penulis. Saran ini tak ditolak Maududi yang sadar akan kemampuannya. Sejak itulah dia tak jemu-jemunya belajar menulis. Dalam waktu tiga tahun (1921), dia telah menjadi seorang penulis yang memiliki ciri khusus. Menulis kemudian menjadi bagian sangat penting dalam segala aktivitas Maududi.
Pada tahun 1918 bersama kakaknya, Abul-Khair, dia bekerja sebagai editor di sebuah jurnal Madinah di Bijanpur. Tahun 1919 dia bertemu dengan Tajuddin, pimpinan tabloid mingguan Taj yang pro partai Kongres yang berpusat di Jabalpur. Saat bekerja di tabloid inilah, dia mulai mengenal dunia politik. Namun pada tahun 1920 tabloid ini ditutup karena terlalu keras mengkritik kolonial Inggris.
Pada tahun 1923 Maududi bekerja sebagai editor majalah Al-Jamiat, sebuah majalah yang dimotori oleh Jamaat Ulama Hindu. Satu organisasi keulamaan terbesar di India. Tahun 1924 Maududi terlibat dalam Khilafat Movement yang didukung oleh Liga Muslim India. Pada tahun yang sama Maududi juga dengan intens menerjemahkan beberapa buku bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Nama Maududi mulai mencorong saat dia dengan sangat jenial menulis sebuah buku berjudul Al-Jihad Fie Al-Islam pada tahun 1930. Buku ini merupakan hasil serial tulisannya selama enam bulan yang muncul di majalah Al-Jamiat dengan judul Islam kaqanun-i-jang (Islam's Law of War).
Buku-buku Maududi banyak mendapat sambutan dari berbagai kalangan dalam usaha mengembalikan Islam pada kejayaannya. Buku-bukunya seperti Toward Understanding Islam (Menuju Pemahaman Islam), Purdah (Hijab), Islamic Law and Constitutions (Hukum dan Konstitusi Islam) misalnya, merupakan buku-buku sangat berpengaruh dan banyak mendapat kajian serius para aktivis Muslim di berbagai negara Islam. Bahkan bukunya yang berjudul Toward Understanding Islam yang terbit tahun 1930 menjadi buku pegangan gerakan Ikhwan Muslimin di Mesir.
Karya lain Maududi yang tak kalah pentingnya adalah bukunya yang berjudul Tafhimul Al-Quran. Sebuah buku tafsir yang dia tulis sejak tahun 1942 dan baru selesai pada tahun 1972.
Jamaat Islami: Revolusi Damai
Untuk mewujudkan ide-ide besarnya itu, Maududi cukup menulis, melainkan juga mendirikan organisasi Islam yang kemudian menjelma menjadi Partai Islam yang disebut dengan Jamaat Islami (JT) yang didirikan pada 26 Agustus 1940 di Lahore. Tidak hanya ide-ide Maududi, JT ternyata juga realisasi dari ide-ide salah seorang pemikir besar Pakistan lainya, yakni Muhammad Iqbal.
Sebagai gerakan Islam, JT memiliki tujuan yang sangat jelas yaitu: mencapai ridlo Allah dengan cara penegakan ajaran agama di muka bumi. Keanggotaannya terbuka untuk semua orang. Namun untuk menjadi anggota JT diperlukan penyaringan yang ketat dan sangat selektif. Penyeleksian ditujukan untuk membuat fondasi pergerakan agar sangat kokoh dan tidak goyah. Sebab sebuah gerakan, dalam pandangan Maududi, jika tidak memiliki lapisan dasar yang kuat dan dengan pandangan yang sangat kuat, akan sangat gampang dipatahkan. Soliditas pandangan dan wawasan para anggota jamaat menjadi agenda utama gerakan ini. Dan ini sesuai dengan cara perubahan masyarakat yang diajarkan Maududi. Yakni perubahan yang dilakukan dari atas (top-down). Sebuah garapan yang mengincar tokoh-tokoh dan bukan massa. Sebab, dalam pandangan Maududi, perubahan sebuah masyarakat akan gampang berjalan jika para elit pemikirnya telah mengerti Islam yang benar. Tak heran jika para pengikutnya berasal dari para golongan kampus. Cara seleksi yang ketat ini, agak sedikit menghambat partai ini untuk menggaet pengikut. Bahkan tak jarang dianggap eksklusif, karena membidik orang-orang tertentu. Tuduhan ini sebenarnya bersumber pada ketidak mengertian mereka terhadap cara dan tujuan JT.
Dalam rangka mengadakan perubahan, menurut Maududi, harus diadakan revolusi Islam (inqalab islami). Namun revolusi yang Maududi maksud bukanlah revolusi berdarah-darah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum komunis yang menginginkan perubahan dalam sekejap mata. Maududi menekankan, revolusi harus dilakukan dengan cara gradual dan dengan penanaman keyakinan akan kebesaran Islam. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1945 ia menyatakan bahwa yang dia maksud dengan revolusi tidaklah mengerahkan seluruh massa. Revolusi yang dimaksudkan adalah inqilab-i-imamat (revolution in leadership). Dia mengatakan, yang mengadakan perubahan bukanlah otak masyarakat umumnya, namun para penggerak masyarakat dan peminpinnya. Maududi menyatakan, revolusi Islam adalah sebuah revolusi dengan esensi damai dan tanpa tumpahan darah. Makanya dia menekankan pendidikan sebagai sarana utama.
Maududi sendiri dalam perjalanan hidupnya mengalami banyak cobaan yang dihadapi dengan gagah dan kokoh. Dia pernah divonis hukuman mati pada tahun 1954 karena protesnya atas kasus Ahmadiyah dan tuntutannya agar pemerintah menjadikan Ahmadiah sebagai minoritas-non muslim. Saat mendengar keputusan hukuman mati itu, dia berkata “Jika ajalku telah tiba, maka tak ada seorangpun yang mampu mencegah kematianku, namun jika kematian belum saatnya maka apapun usaha mereka tak mungkin akan berhasil juga.” Nyatanya hukuman itu dikoreksi menjadi hukuman 14 tahun dan akhirnya dia dilepas pada tahun 1955 setelah pengadilan menyatakan tak cukup bukti.
Jamaat Islami kini bukan hanya berada di Pakistan, namun juga di India, Bangladesh, Srilanka, Kashmir dan Afghanistan. Setiap Jamaat yang ada di negeri itu memang tak memiliki hubungan langsung secara organisatoris dengan JI di Pakistan. Namun pikiran-pikiran dan programnya mereka ambil dari pikiran-pikiran Maududi.
Maududi meninggal pada 22 September l979, karena penyakit ginjal. Dia dimakamkan di kota Lahore. Dan beberapa saat sebelum meninggal, dia sempat mendapat anugerah Faisal King Award dari kerajaan Arab Saudi berkat aktivitasnya dalam bidang pemikiran dan kontribusinya pada peradaban Islam. Rahimallah Maududi.
Abul A'la Maududi
PEMIKIR DAN POLITIKUS ISLAM
Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa-dasawarsa pertengahan abad 20. Interpretasi Islamnya menjadi fondasi pemikiran kebangkitan Islam kontemporer. Ditunjang oleh kemampuannya dalam menulis, pemikiranya berpengaruh besar pada pemikir Muslim kontemporer, sejak dari Mindanao sampai Maroko. Sejak dari Sayyid Quthb di Mesir, sampai aktivis kebangkitan Islam di Aljazair, Iran, Malaysia atau Sudan, berkembang di seputar mukadimah Maududi. Pengaruhnya yang paling kuat terasa di Asia Selatan.
Pemikiran politiknya di Asia Selatan mendapatkan bentuknya yang nyata melalui organisasi Jama’ati Islami (Partai Islam), yang selama lebih lima puluh tahun terakhir, berperan dalam sejarah dan politk Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan komunitas Teluk Persia Asia Selatan, dan juga mereka yang mungkin di Barat. Luasnya pengaruh pemikiran dan dampak politik membuat studi atas biografinya, asal-usul biografinya, asal-susul perspektif ideologinya, visi revolusi Islam dan negara Islamnya, serta perwujudannya dalam politik Jama’at, menjadi penting dalam, memahami politisasi pemikiran Islam belakangan ini.
Maududi lahir di Aurangabad India Selatan, pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321). Dia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh Muslim India Utara) dari Delhi, yang bermukim di Deccan. Keluarga ini keturunan wali sufi besar tarekat Chishti yang membantu menanamkan benih Islam di bumi India. Keluarga Maududi pernah mengabdi Moghul, dan khususnya dekat dengan istana selama pemerintahan Bahadur Syah Zafar, penguasa terakhir dinasti itu. Keluarga Maududi kehilangan statusnya, setelah Pemberontakan Besar dan jatuhnya dinasti Moghul pada 1858. Warisan pengabdian mereka kepada penguasa Muslim menyebabkan mereka dapat terus merasa dekat dengan kejayaan sejarah Muslim di India; karena itu mereka tidak akur dengan pemerintahan Inggeris. Keluarga Maududi akhirnya meninggalkan Delhi dan menetap di Deccan. Di sana, mereka mengabdi pada generasi demi generasi Nizam Hyderabad.
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad. Di sini dia mendapat pelajaran modern, khususnya sains, untuk pertama kalinya. Maududi terpaksa meninggalkan pendidikan formalnya lima tahun kemudian, pada usia enam belas tahun, setelah ayahnya sakit keras dan meninggal. Kemudian Maududi berupaya untuk memenuhi minat intelektualnya sendiri. Dia tidak tertarik kepada soal-soal agama. Dia hanya suka soal politik. Pada waktu itu, semangatnya adalah nasionalisme India. Misal, antara 1918 dan 1919, dia menulis beberapa esai yang memuji pemimpin Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya. Pada 1918, dia ke Bijnur untuk bergabung dengan saudaranya, Abu Khair, di mana dia memulai karier di bidang jurnalistik.
Tak lama kemudian, kedua bersaudara ini pindah ke Delhi. Di Delhi, Maududi berhubungan dengan arus intelektual dalam komunitas Muslim. Dia tahu soal pandangan modernis, dan ikut dalam gerakan kemerdekaan. Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja pada mingguan pro-Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, dan aktif juga dalam memobilisasi kaum Muslim untuk mendukung Partai Kongres. Tulisannya membela tujuannya. Mengakibatkan mingguan ini ditutup.
Runtuhnya Gerakan Khilafah Islam pada 1924 di Turki, kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang kini diyakininya menyesatkan orang Turki dan Mesir, menyebabkan mereka merongrong kesatuan Muslim denbgan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan Muslim. Dia juga tak lagi percaya kepada nasionalisme India. Dia percaya bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Pendekatannya jadi sangat komunalis. Dia ungkapan ketidaksukaannya kepada gerakan nasionalis dan sekutu Muslimnya. Pada saat inilah dia merasa pandangannya bertentangan dengan ulama Jami’at yang mendukung upaya Kongres mengakhiri pemerintahan Inggris. Maududi meninggalkan Jami’at, berpisah jalan dengan para penasehat Deobandinya.
Kemudian pada 26 Agustus 1941 di Lahore, partai Jama’at-I Islami didirikan Partai ini merupakan perwujudan dari visi ideologi Abu A’ala Al-Maududi. Maududi terlibat dalam politik Islam sejak 1938, dengan tujuan melindungi kepentingan Muslim. Dia menentang tindakan mengakomodasi partai Konggres. Dia percaya bahwa pretensi sekular Partai Kongres mengaburkan janjinya untuk mendirikan pemerintahan Hindu, yang berarti akhir Islam di India. Maududi memimpin Jama’at Islami hingga tahun 1971, ia meninggal pada 22 September 1979 di Buffalo, New York, Amerika Serikat. Dia dimakamkan di rumahnya, di Ichhrah, Lahore.
Perkembangan kebangkitan Islam dalam karya Maududi dan politk Jama’at, memberikan wawasan penting mengenai asal-usul dan kerja ideologi Islam dan keseluruhan strategi. Kendati pandangan Maududi dan agenda Jama’at cukup berbeda dengan manifestasi lain kebangkitan Islam, sehingga memberikan model yang berbeda dengan model yang dianjurkan di Iran atau di Mesir, namun membentangkan sifat kebangkitan Islam. Karena kelompok Islam sejak dari Aljazair sampai Malaysia, memilih ikut pemilu ketimbang revolusi, jejak Jama’at barangkali lebih banyak diikuti di dunia Muslim.
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik