para penentang sunnah
Halaman 1 dari 1 • Share
para penentang sunnah
Marah adalah sikap yang segera ditunjukkan para ulama Salaf kepada orang-orang yang suka membantah Sunnah Nabi.
Para ulama Salaf adalah orang-orang yang sangat tinggi ghirah-nya (semangatnya) terhadap Sunnah Nabi. Mereka makmurkan jiwa mereka dengan As Sunnah sehingga tatkala muncul dari seseorang sikap menyangkal As Sunnah atau enggan untuk tunduk terhadap aturan As Sunnah, secara spontan mereka ingkari dengan pengingkaran yang tegas sebagai hukuman dan peringatan. Hal itu nampak jelas dalam kisah-kisah yang sampai kepada kita, di antaranya:
Ketika Abdullah bin Umar mengatakan saya mendengar Nabi bersabda:
“Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid jika mereka minta ijin ke sana,” maka Bilal bin Abdillah mengatakan: ‘Demi Allah aku sungguh-sungguh akan melarang mereka.’ Maka Abdullah bin Umar menghadap kepadanya dan mencaci makinya. (Yang meriwayatkan kisah ini mengatakan: ‘Saya tidak pernah mendengar dia mencaci maki seperti itu sama sekali.’). Dan mengatakan, aku katakan kepadamu ‘Bersabda Rasulullah’ lalu kamu katakan ‘Demi Allah aku akan melarang mereka?!’ (Shahih, HR Muslim no. 988)
Kejadian lain dialami oleh sahabat Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau menyebutkan bahwa Nabi melarang menukar satu dirham dengan dua dirham dan ada seseorang yang mengatakan: “Menurut saya, itu tidak mengapa jika kontan.” Maka Ubadah mengatakan: “Saya katakan bersabda Rasulullah dan kamu katakan: ‘Menurut saya tidak mengapa?!’. Demi Allah jangan sampai ada satu atap menaungi saya dan kamu.” (Shahih, HR Ad Darimi 1/118 dan Ibnu Majah 1/20 no.18, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, Ta’dhimus Sunnah, 37)
Sahabat yang lain yaitu Abu Said Al Khudri mengatakan kepada seseorang: “Apakah kamu mendengar saya menyampaikan hadits dari Nabi:
“Jangan kalian tukar uang dinar dengan uang dinar jangan pula dirham dengan dirham kecuali sama ukurannya dan jangan kalian tukar dengan cara yang tidak kontan.” Lalu kamu berfatwa dengan apa yang kamu fatwakan (yakni berbeda dengan hadits)!! Demi Allah jangan sampai ada yang menaungi aku dan kamu selama hidupku kecuali masjid.” (Al Ibanah Ibnu Baththah hal. 95, Ta’dhimus Sunnah hal. 39)
Begitu tegas sikap para sahabat Nabi terhadap orang-orang yang menyangkal hadits. Hal itu tidak lain karena kedalaman ilmu mereka tentang kedudukan Sunnah Nabi dalam syariat dan ilmu tentang bahayanya sikap penentangan semacam ini dibarengi dengan kecemburuan yang tinggi terhadap Sunnah. Barangkali sepintas sebagian kita membaca kisah itu nampak begitu keras atau kaku sikap mereka dan tak kenal kompromi dan dipandang oleh sebagian orang tidak pantas dilakukan. Tapi cobalah kita menengok sejenak bahwa contoh tersebut adalah perbuatan para sahabat Nabi, orang–orang terbaik umat ini dengan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Justru yang tidak pantas adalah ketika kita mengatakan bahwa perbuatan mereka itu tidak pantas. Penilaian seperti itu tentu karena kurangnya ilmu kita tentang kedudukan Sunnah Nabi, juga karena ghirah keagamaan yang lemah dari dalam hati sanubari dan karena tidak menangkap bahayanya perbuatan lancang semacam ini. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri sekaligus berhati-hati karena kita hidup di zaman yang kondisinya sangat jauh dari norma-norma kenabian. Sunnah Nabi begitu asing untuk kita terapkan sehingga didapati hakekat-hakekat telah terbalik, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat anak kecil menjadi besar itu menyelimuti kalian? Bahkan manusia justru menjadikan (sesuatu yang bukan Sunnah) sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya akan dikatakan: ‘Sunnah telah ditinggalkan.’” Orang-orang bertanya kepada Ibnu Mas’ud: “Kapan itu terjadi?” Diapun menjawab: “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al Qur’an semakin banyak tapi ahli fikih semakin sedikit, pimpinan kalian semakin banyak, orang yang jujur semakin sedikit dan dunia dicari dengan menggunakan amalan akhirat serta selain ilmu agama (semakin banyak) dipelajari.” (Shahih, Riwayat Ad Darimi: 1/64 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan)
Para ulama Salaf adalah orang-orang yang sangat tinggi ghirah-nya (semangatnya) terhadap Sunnah Nabi. Mereka makmurkan jiwa mereka dengan As Sunnah sehingga tatkala muncul dari seseorang sikap menyangkal As Sunnah atau enggan untuk tunduk terhadap aturan As Sunnah, secara spontan mereka ingkari dengan pengingkaran yang tegas sebagai hukuman dan peringatan. Hal itu nampak jelas dalam kisah-kisah yang sampai kepada kita, di antaranya:
Ketika Abdullah bin Umar mengatakan saya mendengar Nabi bersabda:
“Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid jika mereka minta ijin ke sana,” maka Bilal bin Abdillah mengatakan: ‘Demi Allah aku sungguh-sungguh akan melarang mereka.’ Maka Abdullah bin Umar menghadap kepadanya dan mencaci makinya. (Yang meriwayatkan kisah ini mengatakan: ‘Saya tidak pernah mendengar dia mencaci maki seperti itu sama sekali.’). Dan mengatakan, aku katakan kepadamu ‘Bersabda Rasulullah’ lalu kamu katakan ‘Demi Allah aku akan melarang mereka?!’ (Shahih, HR Muslim no. 988)
Kejadian lain dialami oleh sahabat Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau menyebutkan bahwa Nabi melarang menukar satu dirham dengan dua dirham dan ada seseorang yang mengatakan: “Menurut saya, itu tidak mengapa jika kontan.” Maka Ubadah mengatakan: “Saya katakan bersabda Rasulullah dan kamu katakan: ‘Menurut saya tidak mengapa?!’. Demi Allah jangan sampai ada satu atap menaungi saya dan kamu.” (Shahih, HR Ad Darimi 1/118 dan Ibnu Majah 1/20 no.18, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, Ta’dhimus Sunnah, 37)
Sahabat yang lain yaitu Abu Said Al Khudri mengatakan kepada seseorang: “Apakah kamu mendengar saya menyampaikan hadits dari Nabi:
“Jangan kalian tukar uang dinar dengan uang dinar jangan pula dirham dengan dirham kecuali sama ukurannya dan jangan kalian tukar dengan cara yang tidak kontan.” Lalu kamu berfatwa dengan apa yang kamu fatwakan (yakni berbeda dengan hadits)!! Demi Allah jangan sampai ada yang menaungi aku dan kamu selama hidupku kecuali masjid.” (Al Ibanah Ibnu Baththah hal. 95, Ta’dhimus Sunnah hal. 39)
Begitu tegas sikap para sahabat Nabi terhadap orang-orang yang menyangkal hadits. Hal itu tidak lain karena kedalaman ilmu mereka tentang kedudukan Sunnah Nabi dalam syariat dan ilmu tentang bahayanya sikap penentangan semacam ini dibarengi dengan kecemburuan yang tinggi terhadap Sunnah. Barangkali sepintas sebagian kita membaca kisah itu nampak begitu keras atau kaku sikap mereka dan tak kenal kompromi dan dipandang oleh sebagian orang tidak pantas dilakukan. Tapi cobalah kita menengok sejenak bahwa contoh tersebut adalah perbuatan para sahabat Nabi, orang–orang terbaik umat ini dengan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Justru yang tidak pantas adalah ketika kita mengatakan bahwa perbuatan mereka itu tidak pantas. Penilaian seperti itu tentu karena kurangnya ilmu kita tentang kedudukan Sunnah Nabi, juga karena ghirah keagamaan yang lemah dari dalam hati sanubari dan karena tidak menangkap bahayanya perbuatan lancang semacam ini. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri sekaligus berhati-hati karena kita hidup di zaman yang kondisinya sangat jauh dari norma-norma kenabian. Sunnah Nabi begitu asing untuk kita terapkan sehingga didapati hakekat-hakekat telah terbalik, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat anak kecil menjadi besar itu menyelimuti kalian? Bahkan manusia justru menjadikan (sesuatu yang bukan Sunnah) sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya akan dikatakan: ‘Sunnah telah ditinggalkan.’” Orang-orang bertanya kepada Ibnu Mas’ud: “Kapan itu terjadi?” Diapun menjawab: “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al Qur’an semakin banyak tapi ahli fikih semakin sedikit, pimpinan kalian semakin banyak, orang yang jujur semakin sedikit dan dunia dicari dengan menggunakan amalan akhirat serta selain ilmu agama (semakin banyak) dipelajari.” (Shahih, Riwayat Ad Darimi: 1/64 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: para penentang sunnah
Para penentang sunnah, antara lain Mujtahid yang keliru, jahil yang dimaafkan, zalim yang melampui batas, munafik zindiq dan musyrik yang sesat.
Mujtahid yang Keliru
Di antara orang-orang yang menentang sunnah sebagian besar disebabkan karena ijtihad yang keliru dalam rangka mencari kebenaran. Bisa juga karena kurangnya pengetahuan ilmu syariat yang mereka kuasai, atau semacam penakwilan khusus dengan data-data yang meragukan (syubhat). Namun, dalam hali ini mereka tidak bertindak mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan tidak sengaja menyalahi Allah dan Rasul-Nya, dan beriman kepada Allah lahir maupun batin. Akidah golongan yang
selamat dipredikatkan Nabi saw dengan "keselamatan," sebagaimana sabdanya, "Umatku akan terpegah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan masuk neraka dan satu golongan masuk sorga, yaitu golongan orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan para sahabatku tempuh atau al-jamaah.
Keyakinan ini diambil sumbernya (ma'tsur)dari Nabi saw dan para sahabatnya. Merekalah yang termasuk Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), begitu pula pengikut-pengikut mereka. Tidak mesti setiap orang yang menyalahi satu hal dari keyakinan ini menjadi binasa, sebab ada kemungkinan orang yang berselisih itu termasuk mujtahid yang melakukan kekeliruan yang dapat diampuni oleh Allah. Boleh jadi karena ilmu yang dimilikinya kurang memadai untuk dijadikan hujjah yang kuat. Maka, dengan izin Allah dapatlah keburukan-keburukannya dihapuskan karena kebaikan-kebaikan yang mungkin dimilikinya. Kalaupun ada lafaz-lafaz ancaman yang diarahkan kepadanya, tidak harus menggolongkan para pentakwil ke dalamnya. Termasuk di dalamnya adalah orang yang taat, orang yang mempunyai banyak kebaikan yang dapat menghapus dosanya, serta orang yang dapat diampuni, dan lainnya. Inilah yang lebih patut. Dalam hal ini, siapa yang berkeyakinan demikian, selamatlah dalam akidah ini.
Adapun bagi yang memiliki keyakinan berlawanan, mungkin saja selamat dan boleh jadi tidak selamat, sebagaimana dikatakan, "Barangsiapa diam, ia akan selamat."
Jika telah ditetapkan kebenarannya dengan kitabullah yang ditafsirkan menurut sunnah bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan dan kealpaan umat ini, maka inilah dalil umum yang terpelihara. Tidak ada dalil-dalil syar'i yang mengharuskan Allah menyiksa orang yang telah mengakui kesalahan yang diperbuat oleh umat ini, meskipun ada siksaan bagi manusia (selain umat Islam) yang melakukan kesalahan.
Alquran dan As-Sunnah pun telah menjelaskan bahwa Allah tidak menyiksa seseorang kecuali setelah disampaikannya risalah. Bagi yang belum disampaikan risalah kepadanya secara global, ia tidak patut mendapat siksa. Dan bagi yang telah menerima risalah secara global, tetapi tidak menerima uraian rinci, ia pun tidak disiksa, kecuali ia mengingkari hujjah yang dikemukakan risalah tersebut. Oleh karena itu, siapa yang telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tetapi tidak mengetahui sebagian yang telah diturunkan kepada nabi karena tidak mendengar atau mendengar dari jalan yang tidak layak dibenarkannya, ataupun meyakini makna lain termasuk takwil yang bisa dimaafkan, maka Allah patut memberi kepadanya pahala disebabkan keimanannya itu.
Jahil yang Bisa Dimaafkan
a. Di antara mereka ada yang menyalahi sunah karena sedikitnya sandaran mereka kepada Alquran dan as-sunnah.
Mereka yang menentang sunah, khususnya dari generasi muata'akhirin, karena sedikitnya sandaran mereka kepada Alquran dan as-sunnah. Selain itu mereka lebih mengandalkan pendapat yang diciptakan para guru mereka tanpa mengetahui hakikat beserta akibat-akibatnya. Andaikan mereka mengetahui bahwa pendapat-pendapat tersebut menyalahi sunah, pastilah mereka meninggalkannya.
Kaum salaf berpegang teguh kepada Alquran dan iman. Akan tetapi, ketika terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan umat, ahli perpecahan dan perselisihan menjadi berkelompok-kelompok. Dalam batin mereka tidak lagi berpegang kepada Alquran dan iman, tetapi lebih mengandalkan prinsip-prinsip yang diciptakan guru-guru mereka. Di atas prinsiop-prinsip itulah mereka menyandarkan pokok tauhid, sifat Allah, qadar, iman kepada rasul dan lainnya. Bila ada ayat Alquran yang mereka anggap sesuai dengan prinsip tersebut, mereka jadikan hujjah, dan jika tidak sesuai, mereka takwilkan. Oleh karena itu, jika mereka berhujjah kepada Alquran dan hadis, mereka tidak memperhatikan redaksional kedua dalil tersebut, juga tidak menyelidiki makna yang terdapat dalam Alquran, sebab dalam hal ini mereka mengandalkan pegangan lain. Sementara ayat-ayat yang bertentangan dengan kehendak mereka, ditakwilkan untuk dijadikan aturan syariat selama mungkin, sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan, bukan menurut maksud yang dipahami Rasulullah saw. Bahkan, mereka melawan orang yang menentangnnya demi mempertahankan hujjah mereka. Hal demikian menunjukkan bahwa banyak ulama muataakhirin yang tidak menyandarkan agama mereka kepada Alquran maupun keimanan yang dibawa Rasulullah. Berbeda dengan umat salaf yang sempurna dalam ilmu dan iman, kesalahan mereka lebih ringan dibandingkan dibandingkan kebenaran yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tidak berbicara mengenai sesuatu urusan agama, kecuali mengikuti apa-apa yang dibawa Rasulullah saw dan menyelaraskan dengan ajaran beliau serta tidak mendahulukan pendapatnya. Sehingga, ucapannya sesuai dengan ucapan Rasulullah dan ilmunya mengikuti perintahnya. Demikian yang dilakukan para sahabat, tabi'in dan imam-imam kaum muslimin. Oleh sebab itu, tidak seorang pun dari mereka yang menyalahi nash-nash dalam mengeluarkan pernyataan (agama), dan tidak menegakkan agama dengan selain yang dibawa Rasulullah saw. Kalau seseorang ingin mengetahui sesuatu tentang agama dan perkataan yang ada di dalamnya, ia sesuaikan dengan firman Allah dan sunah Rasulullah saw. Dari sumber inilah dia mengetahui dan dengannya dia berbicara. Kepadanya dia melihat dan memikirkan suatu persoalan, dan dengannya pula dia mengambil dalil. Inilah prinsip Ahli Sunnah wal Jamaah.
Setiap orang yang menyalahi ajaran yang dibawa Rasulullah saw itu disebabkan tidak adanya ilmu tentang hal itu dan tidak berbuat adil, bahkan jahil, zalim, dan mengikuti prasangka. Akan tetapi, kedua hal itu telah jatuh dalam perkara yang samar dan rumit, yang mereka gali dengan ijtihad dan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencari kebenaran. Persoalan seperti ini telah terjadi di antara sebagian sahabat dalam masalah cerai (thalak), waris, dan lainnya. Tetapi, dalam masalah yang nyata dan terang tidak pernah terjadi peristiwa seperti itu di kalangan para sahabat, sebab keterangan tentang hal itu telah jelas dari Rasulullah. Sehingga, mereka tidak menentangnya, kecuali bagi yang sengaja menentang Rasulullah. Mereka tetap berpegang teguh pada agama Allah dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam setiap perselisihan yang terjadi. Mereka tidak mendahulukan karsa pikir terhadap firman Allah dan sunah rasul, lebih-lebih menentang Allah dan rasul-Nya.
Setelah lama waktu berlalu, terjadilah pada kebanyakan manusia sesuatu yang sebelumnya jelas menjadi samar dan rumit. Sehingga, banyak kalangan mutaakhirin yaang menyalahi kitabullah dan sunah--kasus yang tidak pernah terjadi pada kalangan salaf--sekalipun mereka tergolong mujtahid yang dimaafkan dan diampuni Allah, serta diberi pahala atas ijtihad yang mereka upayakan. Mungkin saja kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan mendapat pahala sama dengan pahala lima puluh orang yang melakukannya pada zaman itu, karena mereka mendapati orang-orang yang memperhatikan hal itu. Sedangkan ulama mutaakhirin tidak mendapati orang-orang yang memperhatikan hal seperti itu.
b. Di antara mereka ada yang menentang Sunnah karena ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh.
Orang yang menentang Sunnah, diantara mereka ada yang membela Sunnah dihadapan musuh-musuhnya. Akan tetapi, kadang kala mereka menyalahi Sunnah itu sendiri disebabkan ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh. Sehingga mereka melakukan dua perkara sekaligus: Sunnah dan bid'ah, cahaya dan kegelapan. Tetapi hal ini dimaafkan, khususnya jika panji Sunnah tidak tampak jelas dan terang.
Perlu diketahui, ada kelompok-kelompok yang menasabkan kepada orang-orang yang tunduk mengikuti pokok-pokok agama (ushuluddin) dan ilmu kalam. Mereka terdiri atas beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyalahi prinsip-prinsip besar dalam Sunnah. Ada juga yang menyalahi Sunnah dalam perkara-perkara yang rumit. Dan ada juga yang menolak golongan lain yang lebih jauh lagi dari Sunnah, hal ini bisa jadi terpuji selama yang ditolaknya adalah kebatilan dan yang dikatakannya merupakan kebenaran. Tetapi, dalam penolakan tersebut mereka melampui batas, karena mengingkari sebagian kebenaran dan mengatakan sebagian kebatilan. Mereka telah menolak bid'ah besar dengan bdi'ah yang lebih ringan. Inilah keadaan mayoritas ahli kalam yang menasabkan diri kepada Ahli Sunnah wal Jamaah. Jika apa-apa yang mereka ciptakan itu selama ucapan yang tidak memecah belah jamaah muslimin, tidak dijadikan landasan untuk bersahabat dan bermusuhan, maka hal itu termasuk jenis kekeliruan. Adapun Allah mengampuni kesalahan-kesalahan orang beriman karena kekeliruan semacam itu.
Terkadang kebaikan berdampingan dengan keburukan-keburukan, baik yang diampuni maupun yang tidak diampuni. Terkadang juga sulit bagi seseorang untuk memilih syariat yang murni, kecuali yang sudah tercampur dengan bid'ah. Hal ini dikarenakan tidak ada orang yang menunjukkan jalan murni tersebut, baik dalam hal ilmu maupun amalan. Apabila tidak diperoleh cahaya yang murni--yang ada hanya manusia yang hidup dalam kegelapan-- maka tidak patut seseorang mencela dan mencegah orang lain karena telah mengambil cahaya yang tercampur dengan kegelapan. Kecuali, bila memang telah tercipta cahaya yang sama sekali bersih dari kegelapan. Berapa banyak orang yang telah berpaling dari cahaya yang tidak murni, bahkan keluar dari cahaya secara total, sehingga itu tidak bisa melihat kegelapan di dalam jalan hidup manusia.
Prinsip ini dimaksudkan agar seseorang menempatkan cela dan aib yang melekat pada kaum salaf dan para ulamanya pada proporsi yang sebenarnya. Dan, agar dia mengetahui bahwa penyimpangan dari kesempurnaan khilafah yang berdasarkan manhaj nubuwwah dibenarkan menurut pandangan syara'. Hal tersebut mungkin disebabkan kealpaan hingga meninggalkan kebaikan, baik dalam hal ilmu maupun amal. Atau, dikarenakan sikap permusuhan dengan melakukan keburukan, baik dalam hal ilmu maupun amal. Masing-masing dari kedua hal ini bisa disebabkan oleh keterpaksaan maupun kemauan sendiri. Adapun setiap orang yang lemah yang tidak mampu melakukan kebajikan dengan sempurna hingga terpaksa melakukan sebagian kejahatan adalah dimaafkan.
Hal tersebut merupakan prinsip yang pokok, yakni hendaknya Anda mengakui kebaikan yang ada dalam diri seseorang, baik dalam hal ilmu maupun amal. Atau, berupa kebajikan yang diwajibkan atau yang disunnahkan. Demikian juga, Anda harus mengakui kejelekan yang ada pada diri orang tersebut, baik ilmu, amal, maupun ucapan. Atau, berupa kejelekan yang dilarang ataupun tidak, jika yang tak dilarang itu disebut juga kejelekan.
Sesungguhnya agama melahirkan kebaikan-kebaikan dan berbagai kemaslahatan, disamping menghilangkan segala bentuk kejahatan dan kerusakan. Sering kali dua hal ini berkumpul dalam satu perbuatan atau dalam pribadi seseorang. Cela dan hukum kadang-kadang muncul karena salah satunya, tetapi janganlah dilupakan yang muncul karena yang lainnya. Begitupun pujian, kadang-kadang muncul akibat salah satunya, tetapi jangan melupakan pujian yang muncul dari sisi yang lain. Misalnya, seseorang terkadang dipuji karena telah meninggalkan suatu kejahatan bid'ah dan dosa, namun pujian kepadanya yang muncul karena melakukan kebaikan dilupakan. Beginilah cara membuat suatu perbandingan. Barang siapa yang berjalan diatasnya, berarti ia telah menegakkan keadilan. Allah telah menurunkan Alquran serta neraca keadilan agar manusia menegakkannya.
Bila kaum salaf mencela ahli kalam dengan mengatakan, "Ulama kalam adalah orang-orang zindiq, dan tidak ada seseorang yang telah menyelami ilmu kalam lantas dia lebih beruntung." Maka yang mereka maksudkan bukanlah ahli kalam secara umum, tetapi kebiasaan yang berlaku pada seseorang yang berbicara tentang agama dengan cara yang tidak dilakukan oleh para rasul utusan Allah.
3. Orang yang melampui batas dan zalim.
Orang-orang yang menyalahi Sunnah di antara mereka ada yang jatuh pada perbuatan keji, zalim, saling bermusuhan, baik karena kekeliruan dalam ijtihad dan takwil ataupun karena kezaliman dan kebodohan. Mereka termasuk pelaku maksiat yang mendapat dosa karena melakukan kekeliruan.
Setiap orang yang berbuat keji, zalim, bersikap melampui batas, atau melakukan hal yang berdosa, terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, mereka yang melakukan takwil dan tidak melakukan takwil. Mereka yang melakukan takwil adalah orang yang berstatus mujtahid, seperti ahli ilmu dan agama yang berijtihad dan berkeyakinan mengenai halalnya permasalahan, sementara golongan lainnya mengharamkannya. Sebagaimana di antara mereka ada yang menghalalkan sebagian jenis minuman, mengenai muamalah yang berkaitan dengan riba, mengenai ikatan perjanjian tentang pemberian sebagai hiburan (mut'ah), dan lain-lainnya, yang pernah dialami oleh kaum Salaf ash-Shaleh. Maka, kelompok mujtahid ini hanya pada tingkatan pelaku kesalahan. Allah berfirman yang artinya, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." (Al-Baqarah: 286)
Juga telah di riwayatkan dalam sebuah hadis sahih bahwa Allah telah mengabulkan doa tersebut.
Allah telah memberitakan tentang Daud dan Sulaiman, mereka memberi keputusan tentang persoalan pertanian. Salah seorang dari mereka memiliki kapasitas ilmu dan hikmah lebih unggul dari lainnya. Allah juga memuji mereka berdasarkan kapasitas ilmu dan hikmah masing-masing. Oleh karena para ulama merupakan pewaris para nabi, maka bila salah seorang di antara mereka memahami satu persoalan yang tidak dipahami oleh lainnya, tidaklah menjadikan ilmu dan diennya salah dan tertolak. Akan tetapi, jika hal itu dilakukan dengan disertai ilmu dan hikmah, dia menjadi berdosa dan zalim, dan jika terjadi berulang-ulang, maka dia bisa menjadi fasik. Bahkan jika keharaman suatu masalah telah di ketahui secara pasti, maka penghalalannya adalah kufur. Oleh karena itu, perbuatan aniaya termasuk dalam bab ini.
Apabila orang yang berbuat aniaya itu seorang mujtahid yang melakukan takwil, sementara dia tidak menyadari perbuatan aniayanya, bahkan menganggap dirinya di atas jalan kebenaran, sekalipun salah dalam keyakinannya (i'tiqadnya), maka sebutan orang aniaya tidaklah menyebabkan berdosa, apalagi sampai menjadi fasik. Mereka yang berpendapat perlunya memerangi orang-orang yang berbuat aniaya dalam mentakwil mengatakan, "Kami memerangi mereka dalam rangka menolak bahaya perbuatan aniaya mereka dan mencegah perlawanan, bukan menghukum mereka."
Selanjutnya mereka mengatakan, "Orang-orang itu tetap berada dalam keadilan dan tidak berbuat fasik, sebagaimana halnya anak kecil, orang gila, orang lupa, orang pingsan, serta orang tidur yang tidak bisa di hukum karena melakukan pelanggaran sebab mereka bukan mukalaf, bahkan sama dengan binatang-binatang yang melakukan pelanggaran.
Ahli Sunnah wal Jamaah bersepakat terhadap orang-orang yang dikenal kebaikan-kebaikannya seperti para sahabat yang dikenali dan selain mereka dari pengikut Perang Jamal (Perang Unta) dan Perang Shiffin. Tidak seorang pun dari mereka yang dituduh fasik, apalagi dikafirkan. Para fuqaha menggolongkan mereka pada umumnya pelaku aniaya, sekalipun mewajibkan memerangi mereka, namun menolak menghukumi fasik karena melakukan takwil, sebagaiman di katakan oleh para ulama fiqh, "Sesungguhnya peminum sari kurma yang diperselisihkan oleh ahli takwil tidak di dera dan tidak pula di tuduh fasik."
Kelompk Jahamiyah banyak menyembunyikan perkataan mereka terhadap kebanyakan ahli iman, sehingga ahli iman menganggap bahwa kebenaran yang mereka kemukakan termasuk syubhat. Orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, lahir dan batin, menganggap pantas untuk memberikan predikat yang sama dengan kelompok-kelompok bid'ah lainnya. Oleh sebab itu, mereka bukanlah kafir secara qath'i, namun menjadi fasik dan maksiat, dan mereka menjadi pelaku kekeliruan yang layak mendapat ampunan. Pada diri mereka ada iman dan takwa yang menjadikan adanya unsur wilayatillah (Kekuasaan Allah) sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaan mereka.
Di antara ahli bid'ah ada yang mempunyai iman lahir dan batin hanya karena pada diri mereka terdapat unsur jahil dan zalim, maka mereka melakukan kekeliruan dalam memahami sunnah. Maka, mereka bukan kafir, juga bukan fasik. Bisa jadi mereka melakukan pelanggaran dan kezaliman yang menjadikan mereka jatuh sebagai orang fasik atau maksiat, dan bisa jadi mereka keliru dalam melakukan takwil yang berhak mendapat ampunan Allah. Oleh karena dalam diri mereka masih terdapat unsur iman dan takwa, maka mereka pun berhak mendapat wilayatillah sebagaimana disebut sebelumnya.
Kesalahan yang dilakukan seorang hamba karena bertindak ceroboh dalam mengikuti kewajibannya kepada Alquran, misalnya, atau karena ia melampaui batas ketentuan-ketentuan Allah dengan menempuh jalan yang di larang oleh-Nya, atau mengikuti kemauan nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, berarti dia telah menzalimi diri sendiri dan termasuk ahlul wa'id (orang yang mendapat ancaman siksa Allah). Berbeda dengan orang yang berijtihad dalam rangka menaati Allah dan rasul-Nya, lahir dan batin, yang mencari kebenaran dengan ijtihadnya sebagaimana diperintahkan Allah dan rasul-Nya, maka kesalahannya berhak mendapat ampunan Allah.
4. Munafik zindiq.
Orang-orang yang menyalahi sunnah di antara mereka ada yang tergolong munafik zindiq, yang menyembunyikan kekufuran, dendam kesumat, dan kemurkaan mereka kepada kaum muslimin.
Sesungguhnya orang yang mengerjakan salat namun menyimpan sifat kufur terhadap sesuatu persoalan, maka tidaklah dia melakukan salat, melainkan sebagai munafik. Jika demikian, maka para ahli bid'ah terdapat orang munafik zindiq dan dia kafir. Orang-orang seperti ini banyak dijumpai di kalangan Rafidhah dan Jahamiyah.
Di antara Rafidhah tampaklah induk-induk zindiq dan kemunafikan, seperti zindiqnya Qaramithah Bathiniyyah dan yang semisal mereka. Tidak diragukan lagi bahwa mereka termasuk kelompok ahli bid'ah yang paling jauh penyimpangannya dari kitabullah dan sunnah. Oleh sebab itu, mereka paling populer di kalangan publik sebagai penentang as-sunnah. Jumhur kaum muslimin tidak mengenal lawan sunni kecuali Rafidhah. Maka jika ada seseorang dari mereka berkata, "Aku sunni," berarti dia bukan Rafidhah.
Pada golongan Rafidhiy terhimpun ketiga sifat itu. Bahkan, bertambah satu lagi, mereka keluar dari ketaatan dan jamaah serta memerangi orang mukmin dan kafir mu'ahid (orang yang terikat dengan perjanjian damai). Mereka tidak menganggap penting menaati pemimpin kaum muslimin, baik yang adil maupun yang fasik, fanatisme yang lebih jahat dari fanatisme keturunan, yaitu fanatisme terhadap ajaran agama yang rusak. Sesungguhnya pada hati mereka terdapat dendam dan kemarahan terhadap kaum muslimin serta terhadap "orang-orang kecil" kaum muslimin yang saleh maupun tidak. Suatu dendam dan kebencian yang tidak pernah ada pada selain mereka. Merekalah manusia yang paling gigih memecah-belah jamaah kaum muslimin.
5. Musyrik yang sesat.
Orang-orang yang menentang sunnah, ada yang musyrik dan sesat, serta harus disuruh bertaubat dari kemusyrikan mereka jika menampakkannya. Andaikata menolak, mereka dibunuh sebagai orang-orang kafir yang murtad.
Kaum Druz dan Nushairiyah adalah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, tidak halal memakan hewan yang disembelih mereka, dan tidak halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Bahkan, mereka tidak dikenakan jizyah, karena telah murtad dari dienul Islam, mereka bukan lagi sebagai muslim dan bukan pula Yahudi dan Nasrani.
Mereka tidak mengakui kewajiban salat lima waktu, puasa Ramadan, dan haji. Mereka juga tidak mengharamkan apa-apa yang di haramkan Allah dan rasul-Nya, seperti bangkai dan khamar. Sekalipun secara lahiriyah mereka mengucapkan dua kalimah syahadat, namun mereka termasuk orang-orang kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena, mereka memiliki keyakinan seperti itu.
Nushairiyah adalah para pengikut Syu'aib Muhammad bin Nushair, golongan yang bertindak melampaui batas dengan mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan. Sedangkan kaum Druz adalah pengikut Hasytekin ad-Druz, seorang bekas sahaya al-Hakim yang diutus kepada penduduk Wadi Taimullah bin Tsa'labah. Ia menyeru kepada mereka agar menuhankan al-Hakim, serta menyebut al-Hakim sebagai Al-Bari (sang pencipta) dan Al-Aliim (yang Maha Mengetahui), serta mereka bersumpah dengan menyebut namanya. Mereka dari golongan Isma'iliyyah yang mengatakan Muhammad bin Ismail menasakh syariat Muhammad bin Abdullah. Mereka lebih besar kekafirannya dibandingkan dengan orang-orang yang melampaui batas yang mengatakan bahwa alam itu qadim (tak berawal), dan mengingkari hari akhirat serta kewajiban-kewajiban Islam dan larangan-larangannya.
Perihal kekafiran kaum Druza tidak ada perselisihan di kalangan kaum muslimin, bahkan keraguan terhadap kekafiran mereka akan menjadikan seorang muslim kafir sebagaimana mereka. Golongan ini tidak sama dengan ahli kitab dan musyrikin, karena kekufuran mereka disertai dengan kesesatan. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan seseorang memakan makanan mereka, bahkan dibolehkan menawan wanita-wanita mereka, dan merampas harta mereka, sebab mereka termasuk zindiq yang murtad, tidak diterima taubat mereka serta boleh diperangai di mana saja mereka berada. Mereka juga patut dilaknat sebagaimana disifatkan, dan tidak boleh dijadikan sebagai pengawal atau penjaga. Ulama dan tokoh-tokoh mereka wajib dibunuh agar tidak menyesatkan golongan lain. Selain itu, haram bagi kaum muslimin untuk tidur bersama mereka di rumah-rumah mereka, menemani mereka dalam perjalanan, dan mengantarkan jenazah mereka manakala diketahui kematian mereka.
Barangsiapa meyakini ketuhanan manusia, meyakini bahwa seseorang bisa memanggil orang mati, bisa dimitai rezeki, pertolongan, dan hidayah, juga bertawakal dan bersujud kepadanya, maka haruslah ia bertaubat kepada Allah. Jika tidak mau bertaubat, dia wajib dibunuh. Barangsiapa melebihkan seseorang dari guru-guru mereka melebihi nabi atau meyakini bahwa seseorang tidak perlu taat kepada Rassulullah saw maka diharuskan bertaubat. Jika menolak, dia harus dibunuh. Demikian juga bagi siapa yang meyakini bahwa seorang wali berada bersama Nabi saw sebagaimana Khidr bersama Musa, maka dia pun harus bertaubat.
Muhammad diutus Allah kepada seluruh Tsaqalain (yaitu jin dan manusia). Barangsiapa beritikad bahwa ada yang memiliki kewenangan untuk keluar dari syariat beliau dan untuk tidak menaati beliau, maka dia terhukum kafir dan wajib dibunuh.
Orang-orang yang melampaui batas terhadap sebagian guru-guru mereka juga tergolong ke dalam kelompok musyrik dan pelaku kesesatan. Seperti mereka yang bersikap berlebihan terhadap orang-orang saleh, semisal Ali bin Abi Thalib. Bersikap berlebihan (extreme) terhadap orang yang mereka yakini ada kebaikan pada dirinya, semisal al-Hallaj dan al-Hakim yang berada di Mesir, atau Yunus al-Qati dan yang lainnya. Bahkan termasuk mereka yang bersikap berlebihan terhadap Isa bin Maryam as dan yang lainnya.
Kemudian mereka memberikan kepada guru-guru tersebut semacam sifat ketuhanan (ilahiyyah), seperti ketika mereka berkata, " Semua rezeki yang saya terima yang bukan pemberian Syekh Fulan, tidaklah aku kehendaki." Atau mereka berkata, "Jika menyembelih seekor kambing, hendaklah dengan nama tuhanku. Juga mereka menyembahnya dengan bersujud kepadanya atau kepada selainnya. Termasuk orang yang berdoa dengan mengesampingkan Allah, seperti berkata, "Wahai tuanku si Fulan, ampunilah aku. Berilah aku rahmat dan rezeki. Tolonglah aku dan berilah aku pahala, aku bertawakal kepadamu, engkaulah yang mencukupiku, aku berada di bawah kecukupanmu." Atau di sekitar permasalahan itu, baik berupa perkataan ataupun perbuatan yang tak lain adalah ciri-ciri khusus Rububiyah, yang tak layak di miliki oleh selain Allah. Oleh karena itu, setiap kemusyrikan dan kesesatan sebagaimana yang dipaparkan itu, bagi pelakunya diperintahkan bertaubat. Jika mereka bertaubat tentulah akan diterima, sedangkan mereka menolak, hendaklah mereka dibunuh.
Sumber: Diadaptasi dari Manhaj dan Aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Muhammad Abdul Hadi al-Mishri
Mujtahid yang Keliru
Di antara orang-orang yang menentang sunnah sebagian besar disebabkan karena ijtihad yang keliru dalam rangka mencari kebenaran. Bisa juga karena kurangnya pengetahuan ilmu syariat yang mereka kuasai, atau semacam penakwilan khusus dengan data-data yang meragukan (syubhat). Namun, dalam hali ini mereka tidak bertindak mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan tidak sengaja menyalahi Allah dan Rasul-Nya, dan beriman kepada Allah lahir maupun batin. Akidah golongan yang
selamat dipredikatkan Nabi saw dengan "keselamatan," sebagaimana sabdanya, "Umatku akan terpegah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan masuk neraka dan satu golongan masuk sorga, yaitu golongan orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan para sahabatku tempuh atau al-jamaah.
Keyakinan ini diambil sumbernya (ma'tsur)dari Nabi saw dan para sahabatnya. Merekalah yang termasuk Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), begitu pula pengikut-pengikut mereka. Tidak mesti setiap orang yang menyalahi satu hal dari keyakinan ini menjadi binasa, sebab ada kemungkinan orang yang berselisih itu termasuk mujtahid yang melakukan kekeliruan yang dapat diampuni oleh Allah. Boleh jadi karena ilmu yang dimilikinya kurang memadai untuk dijadikan hujjah yang kuat. Maka, dengan izin Allah dapatlah keburukan-keburukannya dihapuskan karena kebaikan-kebaikan yang mungkin dimilikinya. Kalaupun ada lafaz-lafaz ancaman yang diarahkan kepadanya, tidak harus menggolongkan para pentakwil ke dalamnya. Termasuk di dalamnya adalah orang yang taat, orang yang mempunyai banyak kebaikan yang dapat menghapus dosanya, serta orang yang dapat diampuni, dan lainnya. Inilah yang lebih patut. Dalam hal ini, siapa yang berkeyakinan demikian, selamatlah dalam akidah ini.
Adapun bagi yang memiliki keyakinan berlawanan, mungkin saja selamat dan boleh jadi tidak selamat, sebagaimana dikatakan, "Barangsiapa diam, ia akan selamat."
Jika telah ditetapkan kebenarannya dengan kitabullah yang ditafsirkan menurut sunnah bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan dan kealpaan umat ini, maka inilah dalil umum yang terpelihara. Tidak ada dalil-dalil syar'i yang mengharuskan Allah menyiksa orang yang telah mengakui kesalahan yang diperbuat oleh umat ini, meskipun ada siksaan bagi manusia (selain umat Islam) yang melakukan kesalahan.
Alquran dan As-Sunnah pun telah menjelaskan bahwa Allah tidak menyiksa seseorang kecuali setelah disampaikannya risalah. Bagi yang belum disampaikan risalah kepadanya secara global, ia tidak patut mendapat siksa. Dan bagi yang telah menerima risalah secara global, tetapi tidak menerima uraian rinci, ia pun tidak disiksa, kecuali ia mengingkari hujjah yang dikemukakan risalah tersebut. Oleh karena itu, siapa yang telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tetapi tidak mengetahui sebagian yang telah diturunkan kepada nabi karena tidak mendengar atau mendengar dari jalan yang tidak layak dibenarkannya, ataupun meyakini makna lain termasuk takwil yang bisa dimaafkan, maka Allah patut memberi kepadanya pahala disebabkan keimanannya itu.
Jahil yang Bisa Dimaafkan
a. Di antara mereka ada yang menyalahi sunah karena sedikitnya sandaran mereka kepada Alquran dan as-sunnah.
Mereka yang menentang sunah, khususnya dari generasi muata'akhirin, karena sedikitnya sandaran mereka kepada Alquran dan as-sunnah. Selain itu mereka lebih mengandalkan pendapat yang diciptakan para guru mereka tanpa mengetahui hakikat beserta akibat-akibatnya. Andaikan mereka mengetahui bahwa pendapat-pendapat tersebut menyalahi sunah, pastilah mereka meninggalkannya.
Kaum salaf berpegang teguh kepada Alquran dan iman. Akan tetapi, ketika terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan umat, ahli perpecahan dan perselisihan menjadi berkelompok-kelompok. Dalam batin mereka tidak lagi berpegang kepada Alquran dan iman, tetapi lebih mengandalkan prinsip-prinsip yang diciptakan guru-guru mereka. Di atas prinsiop-prinsip itulah mereka menyandarkan pokok tauhid, sifat Allah, qadar, iman kepada rasul dan lainnya. Bila ada ayat Alquran yang mereka anggap sesuai dengan prinsip tersebut, mereka jadikan hujjah, dan jika tidak sesuai, mereka takwilkan. Oleh karena itu, jika mereka berhujjah kepada Alquran dan hadis, mereka tidak memperhatikan redaksional kedua dalil tersebut, juga tidak menyelidiki makna yang terdapat dalam Alquran, sebab dalam hal ini mereka mengandalkan pegangan lain. Sementara ayat-ayat yang bertentangan dengan kehendak mereka, ditakwilkan untuk dijadikan aturan syariat selama mungkin, sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan, bukan menurut maksud yang dipahami Rasulullah saw. Bahkan, mereka melawan orang yang menentangnnya demi mempertahankan hujjah mereka. Hal demikian menunjukkan bahwa banyak ulama muataakhirin yang tidak menyandarkan agama mereka kepada Alquran maupun keimanan yang dibawa Rasulullah. Berbeda dengan umat salaf yang sempurna dalam ilmu dan iman, kesalahan mereka lebih ringan dibandingkan dibandingkan kebenaran yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tidak berbicara mengenai sesuatu urusan agama, kecuali mengikuti apa-apa yang dibawa Rasulullah saw dan menyelaraskan dengan ajaran beliau serta tidak mendahulukan pendapatnya. Sehingga, ucapannya sesuai dengan ucapan Rasulullah dan ilmunya mengikuti perintahnya. Demikian yang dilakukan para sahabat, tabi'in dan imam-imam kaum muslimin. Oleh sebab itu, tidak seorang pun dari mereka yang menyalahi nash-nash dalam mengeluarkan pernyataan (agama), dan tidak menegakkan agama dengan selain yang dibawa Rasulullah saw. Kalau seseorang ingin mengetahui sesuatu tentang agama dan perkataan yang ada di dalamnya, ia sesuaikan dengan firman Allah dan sunah Rasulullah saw. Dari sumber inilah dia mengetahui dan dengannya dia berbicara. Kepadanya dia melihat dan memikirkan suatu persoalan, dan dengannya pula dia mengambil dalil. Inilah prinsip Ahli Sunnah wal Jamaah.
Setiap orang yang menyalahi ajaran yang dibawa Rasulullah saw itu disebabkan tidak adanya ilmu tentang hal itu dan tidak berbuat adil, bahkan jahil, zalim, dan mengikuti prasangka. Akan tetapi, kedua hal itu telah jatuh dalam perkara yang samar dan rumit, yang mereka gali dengan ijtihad dan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencari kebenaran. Persoalan seperti ini telah terjadi di antara sebagian sahabat dalam masalah cerai (thalak), waris, dan lainnya. Tetapi, dalam masalah yang nyata dan terang tidak pernah terjadi peristiwa seperti itu di kalangan para sahabat, sebab keterangan tentang hal itu telah jelas dari Rasulullah. Sehingga, mereka tidak menentangnya, kecuali bagi yang sengaja menentang Rasulullah. Mereka tetap berpegang teguh pada agama Allah dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam setiap perselisihan yang terjadi. Mereka tidak mendahulukan karsa pikir terhadap firman Allah dan sunah rasul, lebih-lebih menentang Allah dan rasul-Nya.
Setelah lama waktu berlalu, terjadilah pada kebanyakan manusia sesuatu yang sebelumnya jelas menjadi samar dan rumit. Sehingga, banyak kalangan mutaakhirin yaang menyalahi kitabullah dan sunah--kasus yang tidak pernah terjadi pada kalangan salaf--sekalipun mereka tergolong mujtahid yang dimaafkan dan diampuni Allah, serta diberi pahala atas ijtihad yang mereka upayakan. Mungkin saja kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan mendapat pahala sama dengan pahala lima puluh orang yang melakukannya pada zaman itu, karena mereka mendapati orang-orang yang memperhatikan hal itu. Sedangkan ulama mutaakhirin tidak mendapati orang-orang yang memperhatikan hal seperti itu.
b. Di antara mereka ada yang menentang Sunnah karena ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh.
Orang yang menentang Sunnah, diantara mereka ada yang membela Sunnah dihadapan musuh-musuhnya. Akan tetapi, kadang kala mereka menyalahi Sunnah itu sendiri disebabkan ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh. Sehingga mereka melakukan dua perkara sekaligus: Sunnah dan bid'ah, cahaya dan kegelapan. Tetapi hal ini dimaafkan, khususnya jika panji Sunnah tidak tampak jelas dan terang.
Perlu diketahui, ada kelompok-kelompok yang menasabkan kepada orang-orang yang tunduk mengikuti pokok-pokok agama (ushuluddin) dan ilmu kalam. Mereka terdiri atas beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyalahi prinsip-prinsip besar dalam Sunnah. Ada juga yang menyalahi Sunnah dalam perkara-perkara yang rumit. Dan ada juga yang menolak golongan lain yang lebih jauh lagi dari Sunnah, hal ini bisa jadi terpuji selama yang ditolaknya adalah kebatilan dan yang dikatakannya merupakan kebenaran. Tetapi, dalam penolakan tersebut mereka melampui batas, karena mengingkari sebagian kebenaran dan mengatakan sebagian kebatilan. Mereka telah menolak bid'ah besar dengan bdi'ah yang lebih ringan. Inilah keadaan mayoritas ahli kalam yang menasabkan diri kepada Ahli Sunnah wal Jamaah. Jika apa-apa yang mereka ciptakan itu selama ucapan yang tidak memecah belah jamaah muslimin, tidak dijadikan landasan untuk bersahabat dan bermusuhan, maka hal itu termasuk jenis kekeliruan. Adapun Allah mengampuni kesalahan-kesalahan orang beriman karena kekeliruan semacam itu.
Terkadang kebaikan berdampingan dengan keburukan-keburukan, baik yang diampuni maupun yang tidak diampuni. Terkadang juga sulit bagi seseorang untuk memilih syariat yang murni, kecuali yang sudah tercampur dengan bid'ah. Hal ini dikarenakan tidak ada orang yang menunjukkan jalan murni tersebut, baik dalam hal ilmu maupun amalan. Apabila tidak diperoleh cahaya yang murni--yang ada hanya manusia yang hidup dalam kegelapan-- maka tidak patut seseorang mencela dan mencegah orang lain karena telah mengambil cahaya yang tercampur dengan kegelapan. Kecuali, bila memang telah tercipta cahaya yang sama sekali bersih dari kegelapan. Berapa banyak orang yang telah berpaling dari cahaya yang tidak murni, bahkan keluar dari cahaya secara total, sehingga itu tidak bisa melihat kegelapan di dalam jalan hidup manusia.
Prinsip ini dimaksudkan agar seseorang menempatkan cela dan aib yang melekat pada kaum salaf dan para ulamanya pada proporsi yang sebenarnya. Dan, agar dia mengetahui bahwa penyimpangan dari kesempurnaan khilafah yang berdasarkan manhaj nubuwwah dibenarkan menurut pandangan syara'. Hal tersebut mungkin disebabkan kealpaan hingga meninggalkan kebaikan, baik dalam hal ilmu maupun amal. Atau, dikarenakan sikap permusuhan dengan melakukan keburukan, baik dalam hal ilmu maupun amal. Masing-masing dari kedua hal ini bisa disebabkan oleh keterpaksaan maupun kemauan sendiri. Adapun setiap orang yang lemah yang tidak mampu melakukan kebajikan dengan sempurna hingga terpaksa melakukan sebagian kejahatan adalah dimaafkan.
Hal tersebut merupakan prinsip yang pokok, yakni hendaknya Anda mengakui kebaikan yang ada dalam diri seseorang, baik dalam hal ilmu maupun amal. Atau, berupa kebajikan yang diwajibkan atau yang disunnahkan. Demikian juga, Anda harus mengakui kejelekan yang ada pada diri orang tersebut, baik ilmu, amal, maupun ucapan. Atau, berupa kejelekan yang dilarang ataupun tidak, jika yang tak dilarang itu disebut juga kejelekan.
Sesungguhnya agama melahirkan kebaikan-kebaikan dan berbagai kemaslahatan, disamping menghilangkan segala bentuk kejahatan dan kerusakan. Sering kali dua hal ini berkumpul dalam satu perbuatan atau dalam pribadi seseorang. Cela dan hukum kadang-kadang muncul karena salah satunya, tetapi janganlah dilupakan yang muncul karena yang lainnya. Begitupun pujian, kadang-kadang muncul akibat salah satunya, tetapi jangan melupakan pujian yang muncul dari sisi yang lain. Misalnya, seseorang terkadang dipuji karena telah meninggalkan suatu kejahatan bid'ah dan dosa, namun pujian kepadanya yang muncul karena melakukan kebaikan dilupakan. Beginilah cara membuat suatu perbandingan. Barang siapa yang berjalan diatasnya, berarti ia telah menegakkan keadilan. Allah telah menurunkan Alquran serta neraca keadilan agar manusia menegakkannya.
Bila kaum salaf mencela ahli kalam dengan mengatakan, "Ulama kalam adalah orang-orang zindiq, dan tidak ada seseorang yang telah menyelami ilmu kalam lantas dia lebih beruntung." Maka yang mereka maksudkan bukanlah ahli kalam secara umum, tetapi kebiasaan yang berlaku pada seseorang yang berbicara tentang agama dengan cara yang tidak dilakukan oleh para rasul utusan Allah.
3. Orang yang melampui batas dan zalim.
Orang-orang yang menyalahi Sunnah di antara mereka ada yang jatuh pada perbuatan keji, zalim, saling bermusuhan, baik karena kekeliruan dalam ijtihad dan takwil ataupun karena kezaliman dan kebodohan. Mereka termasuk pelaku maksiat yang mendapat dosa karena melakukan kekeliruan.
Setiap orang yang berbuat keji, zalim, bersikap melampui batas, atau melakukan hal yang berdosa, terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, mereka yang melakukan takwil dan tidak melakukan takwil. Mereka yang melakukan takwil adalah orang yang berstatus mujtahid, seperti ahli ilmu dan agama yang berijtihad dan berkeyakinan mengenai halalnya permasalahan, sementara golongan lainnya mengharamkannya. Sebagaimana di antara mereka ada yang menghalalkan sebagian jenis minuman, mengenai muamalah yang berkaitan dengan riba, mengenai ikatan perjanjian tentang pemberian sebagai hiburan (mut'ah), dan lain-lainnya, yang pernah dialami oleh kaum Salaf ash-Shaleh. Maka, kelompok mujtahid ini hanya pada tingkatan pelaku kesalahan. Allah berfirman yang artinya, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." (Al-Baqarah: 286)
Juga telah di riwayatkan dalam sebuah hadis sahih bahwa Allah telah mengabulkan doa tersebut.
Allah telah memberitakan tentang Daud dan Sulaiman, mereka memberi keputusan tentang persoalan pertanian. Salah seorang dari mereka memiliki kapasitas ilmu dan hikmah lebih unggul dari lainnya. Allah juga memuji mereka berdasarkan kapasitas ilmu dan hikmah masing-masing. Oleh karena para ulama merupakan pewaris para nabi, maka bila salah seorang di antara mereka memahami satu persoalan yang tidak dipahami oleh lainnya, tidaklah menjadikan ilmu dan diennya salah dan tertolak. Akan tetapi, jika hal itu dilakukan dengan disertai ilmu dan hikmah, dia menjadi berdosa dan zalim, dan jika terjadi berulang-ulang, maka dia bisa menjadi fasik. Bahkan jika keharaman suatu masalah telah di ketahui secara pasti, maka penghalalannya adalah kufur. Oleh karena itu, perbuatan aniaya termasuk dalam bab ini.
Apabila orang yang berbuat aniaya itu seorang mujtahid yang melakukan takwil, sementara dia tidak menyadari perbuatan aniayanya, bahkan menganggap dirinya di atas jalan kebenaran, sekalipun salah dalam keyakinannya (i'tiqadnya), maka sebutan orang aniaya tidaklah menyebabkan berdosa, apalagi sampai menjadi fasik. Mereka yang berpendapat perlunya memerangi orang-orang yang berbuat aniaya dalam mentakwil mengatakan, "Kami memerangi mereka dalam rangka menolak bahaya perbuatan aniaya mereka dan mencegah perlawanan, bukan menghukum mereka."
Selanjutnya mereka mengatakan, "Orang-orang itu tetap berada dalam keadilan dan tidak berbuat fasik, sebagaimana halnya anak kecil, orang gila, orang lupa, orang pingsan, serta orang tidur yang tidak bisa di hukum karena melakukan pelanggaran sebab mereka bukan mukalaf, bahkan sama dengan binatang-binatang yang melakukan pelanggaran.
Ahli Sunnah wal Jamaah bersepakat terhadap orang-orang yang dikenal kebaikan-kebaikannya seperti para sahabat yang dikenali dan selain mereka dari pengikut Perang Jamal (Perang Unta) dan Perang Shiffin. Tidak seorang pun dari mereka yang dituduh fasik, apalagi dikafirkan. Para fuqaha menggolongkan mereka pada umumnya pelaku aniaya, sekalipun mewajibkan memerangi mereka, namun menolak menghukumi fasik karena melakukan takwil, sebagaiman di katakan oleh para ulama fiqh, "Sesungguhnya peminum sari kurma yang diperselisihkan oleh ahli takwil tidak di dera dan tidak pula di tuduh fasik."
Kelompk Jahamiyah banyak menyembunyikan perkataan mereka terhadap kebanyakan ahli iman, sehingga ahli iman menganggap bahwa kebenaran yang mereka kemukakan termasuk syubhat. Orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, lahir dan batin, menganggap pantas untuk memberikan predikat yang sama dengan kelompok-kelompok bid'ah lainnya. Oleh sebab itu, mereka bukanlah kafir secara qath'i, namun menjadi fasik dan maksiat, dan mereka menjadi pelaku kekeliruan yang layak mendapat ampunan. Pada diri mereka ada iman dan takwa yang menjadikan adanya unsur wilayatillah (Kekuasaan Allah) sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaan mereka.
Di antara ahli bid'ah ada yang mempunyai iman lahir dan batin hanya karena pada diri mereka terdapat unsur jahil dan zalim, maka mereka melakukan kekeliruan dalam memahami sunnah. Maka, mereka bukan kafir, juga bukan fasik. Bisa jadi mereka melakukan pelanggaran dan kezaliman yang menjadikan mereka jatuh sebagai orang fasik atau maksiat, dan bisa jadi mereka keliru dalam melakukan takwil yang berhak mendapat ampunan Allah. Oleh karena dalam diri mereka masih terdapat unsur iman dan takwa, maka mereka pun berhak mendapat wilayatillah sebagaimana disebut sebelumnya.
Kesalahan yang dilakukan seorang hamba karena bertindak ceroboh dalam mengikuti kewajibannya kepada Alquran, misalnya, atau karena ia melampaui batas ketentuan-ketentuan Allah dengan menempuh jalan yang di larang oleh-Nya, atau mengikuti kemauan nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, berarti dia telah menzalimi diri sendiri dan termasuk ahlul wa'id (orang yang mendapat ancaman siksa Allah). Berbeda dengan orang yang berijtihad dalam rangka menaati Allah dan rasul-Nya, lahir dan batin, yang mencari kebenaran dengan ijtihadnya sebagaimana diperintahkan Allah dan rasul-Nya, maka kesalahannya berhak mendapat ampunan Allah.
4. Munafik zindiq.
Orang-orang yang menyalahi sunnah di antara mereka ada yang tergolong munafik zindiq, yang menyembunyikan kekufuran, dendam kesumat, dan kemurkaan mereka kepada kaum muslimin.
Sesungguhnya orang yang mengerjakan salat namun menyimpan sifat kufur terhadap sesuatu persoalan, maka tidaklah dia melakukan salat, melainkan sebagai munafik. Jika demikian, maka para ahli bid'ah terdapat orang munafik zindiq dan dia kafir. Orang-orang seperti ini banyak dijumpai di kalangan Rafidhah dan Jahamiyah.
Di antara Rafidhah tampaklah induk-induk zindiq dan kemunafikan, seperti zindiqnya Qaramithah Bathiniyyah dan yang semisal mereka. Tidak diragukan lagi bahwa mereka termasuk kelompok ahli bid'ah yang paling jauh penyimpangannya dari kitabullah dan sunnah. Oleh sebab itu, mereka paling populer di kalangan publik sebagai penentang as-sunnah. Jumhur kaum muslimin tidak mengenal lawan sunni kecuali Rafidhah. Maka jika ada seseorang dari mereka berkata, "Aku sunni," berarti dia bukan Rafidhah.
Pada golongan Rafidhiy terhimpun ketiga sifat itu. Bahkan, bertambah satu lagi, mereka keluar dari ketaatan dan jamaah serta memerangi orang mukmin dan kafir mu'ahid (orang yang terikat dengan perjanjian damai). Mereka tidak menganggap penting menaati pemimpin kaum muslimin, baik yang adil maupun yang fasik, fanatisme yang lebih jahat dari fanatisme keturunan, yaitu fanatisme terhadap ajaran agama yang rusak. Sesungguhnya pada hati mereka terdapat dendam dan kemarahan terhadap kaum muslimin serta terhadap "orang-orang kecil" kaum muslimin yang saleh maupun tidak. Suatu dendam dan kebencian yang tidak pernah ada pada selain mereka. Merekalah manusia yang paling gigih memecah-belah jamaah kaum muslimin.
5. Musyrik yang sesat.
Orang-orang yang menentang sunnah, ada yang musyrik dan sesat, serta harus disuruh bertaubat dari kemusyrikan mereka jika menampakkannya. Andaikata menolak, mereka dibunuh sebagai orang-orang kafir yang murtad.
Kaum Druz dan Nushairiyah adalah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, tidak halal memakan hewan yang disembelih mereka, dan tidak halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Bahkan, mereka tidak dikenakan jizyah, karena telah murtad dari dienul Islam, mereka bukan lagi sebagai muslim dan bukan pula Yahudi dan Nasrani.
Mereka tidak mengakui kewajiban salat lima waktu, puasa Ramadan, dan haji. Mereka juga tidak mengharamkan apa-apa yang di haramkan Allah dan rasul-Nya, seperti bangkai dan khamar. Sekalipun secara lahiriyah mereka mengucapkan dua kalimah syahadat, namun mereka termasuk orang-orang kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena, mereka memiliki keyakinan seperti itu.
Nushairiyah adalah para pengikut Syu'aib Muhammad bin Nushair, golongan yang bertindak melampaui batas dengan mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan. Sedangkan kaum Druz adalah pengikut Hasytekin ad-Druz, seorang bekas sahaya al-Hakim yang diutus kepada penduduk Wadi Taimullah bin Tsa'labah. Ia menyeru kepada mereka agar menuhankan al-Hakim, serta menyebut al-Hakim sebagai Al-Bari (sang pencipta) dan Al-Aliim (yang Maha Mengetahui), serta mereka bersumpah dengan menyebut namanya. Mereka dari golongan Isma'iliyyah yang mengatakan Muhammad bin Ismail menasakh syariat Muhammad bin Abdullah. Mereka lebih besar kekafirannya dibandingkan dengan orang-orang yang melampaui batas yang mengatakan bahwa alam itu qadim (tak berawal), dan mengingkari hari akhirat serta kewajiban-kewajiban Islam dan larangan-larangannya.
Perihal kekafiran kaum Druza tidak ada perselisihan di kalangan kaum muslimin, bahkan keraguan terhadap kekafiran mereka akan menjadikan seorang muslim kafir sebagaimana mereka. Golongan ini tidak sama dengan ahli kitab dan musyrikin, karena kekufuran mereka disertai dengan kesesatan. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan seseorang memakan makanan mereka, bahkan dibolehkan menawan wanita-wanita mereka, dan merampas harta mereka, sebab mereka termasuk zindiq yang murtad, tidak diterima taubat mereka serta boleh diperangai di mana saja mereka berada. Mereka juga patut dilaknat sebagaimana disifatkan, dan tidak boleh dijadikan sebagai pengawal atau penjaga. Ulama dan tokoh-tokoh mereka wajib dibunuh agar tidak menyesatkan golongan lain. Selain itu, haram bagi kaum muslimin untuk tidur bersama mereka di rumah-rumah mereka, menemani mereka dalam perjalanan, dan mengantarkan jenazah mereka manakala diketahui kematian mereka.
Barangsiapa meyakini ketuhanan manusia, meyakini bahwa seseorang bisa memanggil orang mati, bisa dimitai rezeki, pertolongan, dan hidayah, juga bertawakal dan bersujud kepadanya, maka haruslah ia bertaubat kepada Allah. Jika tidak mau bertaubat, dia wajib dibunuh. Barangsiapa melebihkan seseorang dari guru-guru mereka melebihi nabi atau meyakini bahwa seseorang tidak perlu taat kepada Rassulullah saw maka diharuskan bertaubat. Jika menolak, dia harus dibunuh. Demikian juga bagi siapa yang meyakini bahwa seorang wali berada bersama Nabi saw sebagaimana Khidr bersama Musa, maka dia pun harus bertaubat.
Muhammad diutus Allah kepada seluruh Tsaqalain (yaitu jin dan manusia). Barangsiapa beritikad bahwa ada yang memiliki kewenangan untuk keluar dari syariat beliau dan untuk tidak menaati beliau, maka dia terhukum kafir dan wajib dibunuh.
Orang-orang yang melampaui batas terhadap sebagian guru-guru mereka juga tergolong ke dalam kelompok musyrik dan pelaku kesesatan. Seperti mereka yang bersikap berlebihan terhadap orang-orang saleh, semisal Ali bin Abi Thalib. Bersikap berlebihan (extreme) terhadap orang yang mereka yakini ada kebaikan pada dirinya, semisal al-Hallaj dan al-Hakim yang berada di Mesir, atau Yunus al-Qati dan yang lainnya. Bahkan termasuk mereka yang bersikap berlebihan terhadap Isa bin Maryam as dan yang lainnya.
Kemudian mereka memberikan kepada guru-guru tersebut semacam sifat ketuhanan (ilahiyyah), seperti ketika mereka berkata, " Semua rezeki yang saya terima yang bukan pemberian Syekh Fulan, tidaklah aku kehendaki." Atau mereka berkata, "Jika menyembelih seekor kambing, hendaklah dengan nama tuhanku. Juga mereka menyembahnya dengan bersujud kepadanya atau kepada selainnya. Termasuk orang yang berdoa dengan mengesampingkan Allah, seperti berkata, "Wahai tuanku si Fulan, ampunilah aku. Berilah aku rahmat dan rezeki. Tolonglah aku dan berilah aku pahala, aku bertawakal kepadamu, engkaulah yang mencukupiku, aku berada di bawah kecukupanmu." Atau di sekitar permasalahan itu, baik berupa perkataan ataupun perbuatan yang tak lain adalah ciri-ciri khusus Rububiyah, yang tak layak di miliki oleh selain Allah. Oleh karena itu, setiap kemusyrikan dan kesesatan sebagaimana yang dipaparkan itu, bagi pelakunya diperintahkan bertaubat. Jika mereka bertaubat tentulah akan diterima, sedangkan mereka menolak, hendaklah mereka dibunuh.
Sumber: Diadaptasi dari Manhaj dan Aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, Muhammad Abdul Hadi al-Mishri
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» para pengolok sunnah nabi
» Sunnah-Sunnah Fithrah
» { bagi para pembenci atau para penantang Tuhan Yesus }
» sholat sunnah
» menyelisihi sunnah
» Sunnah-Sunnah Fithrah
» { bagi para pembenci atau para penantang Tuhan Yesus }
» sholat sunnah
» menyelisihi sunnah
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik