menjamak sholat
Halaman 1 dari 1 • Share
menjamak sholat
Jamak adalah menggabungkan dua salat dalam satu waktu, yaitu menggabungkan salat Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya', baik secara taqdim maupun ta'khir. Adapun untuk salat Subuh tetap harus dikerjakan pada waktunya.
Hal demikian ini jika didapatkan salah satu keadaan berikut:
Menjamak di Arafah secara taqdim, begitu juga di Muzdalifah. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Mas'ud seraya berkata, "Demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia, Rasulullah saw tidak pernah mengerjakan satu salat pun kecuali tepat pada waktunya selain dua salat yang beliau jamak (gabung), yakni Dzuhur dengan Ashar di Arafah dan Maghrib dengan Isya' di Muzdalifah." (HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis ini, ulama Hanafi berpendapat, menjamak salat itu hanya boleh dilakukan dalam dua hal ini, yakni di Arafah dan di Muzdalifah. Dan ini pun harus dilakukan dengan berjamaah dengan imam (pemimpin) kaum muslimin atau wakilnya. Di luar ini tidak diperkenankan menjamak, baik dalam perjalanan maupun ketika berada di rumah.
Menjamak dalam perjalanan. Menjamak dua salat dalam perjalanan, baik taqdim maupun ta'khir pada salah satu dari kedua waktu salat itu boleh dilakukan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang diperbolehkan mengqashar. Akan tetapi, menurut ulama Maliki, boleh menjamak salat dalam setiap perjalanan sekalipun tidak mencapai jarak qashar.
Berturut-turut dalam mengerjakan kedua salat yang dijamak, sehingga antara keduanya itu tidak berselang lama. Yakni, lebih kurang selama dua rakaat cepat, tetapi di antara kedua salat itu diperbolehkan bersuci, azan dan iqamah. Ketentuan atau syarat ini hanya berlaku bagi jamak taqdim, tidak bagi jamak ta'khir.
Kedua salat dilakukan secara tertib, yakni dimulai dengan salat pertama (Zuhur atau Maghrib).
Niat menjama' dalam salat pertama. Misalnya, "Saya salat Zuhur secara qashar dan digabungkan dengan Ashar."
Perjalanan masih berlangsung. Seandainya terhenti atau kendaraan yang dinaikinya telah sampai dan melewati tempat di mana qashar dibolehkan, maka salat kedua tidak boleh dijamaktaqdimkan dengan salat pertama, bila salat kedua itu belum dikerjakan. Tetapi, menurut ulama Syafi'i, jika telah bertakbir untuk salat kedua lalu perjalanannya terhenti, maka jamak (taqdim) boleh dilakukan dan salat yang telah diniatkan dijamak itu tetap diteruskan. Dan jika salat pertama telah diakhirkan ke waktu salat kedua, tetapi sebelum mengerjakan kedua salat perjalanan sudah sampai, maka salat pertama menjadi qadha dan dia tidak berdosa karena pengakhiran ini.
Dari Muadz bin Jabal, "Pada waktu perang Tabuk Nabi saw menjamak salat Dzuhur dengan Ashar sebelum berangkat jika matahari sudah tergelincir, tetapi bila berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan salat Dzuhur itu sampai berhenti untuk melakukan salat Ashar. Demikian juga dalam salat Maghrib. Jika matahari telah terbenam sebelum berangkat, dijamaklah (taqdim) Magrib dengan Isya'. Tetapi, jika berangkat sebelum matahari terbenam, maka Maghrib diakhirkannya sampai dengan waktu Isya', lalu ia dijamak dengan salat Isya'." (HR Abu Daud dan Tirmidzi seraya menyatakannya sebagai hadis hasan).
Dari Muadz ra berkata, "Kami berangkat bersama Nabi saw dalam perang Tabuk, maka beliau mengerjakan salat Dzuhur dan Ashar secara jamak, dan Magrib dengan Isya' secara jamak pula." (HR Muslim).
Menjamak di saat hujan turun, atau disebabkan adanya salju atau embun.
Ulama Maliki dan Hanbali menambahkan, juga karena banyaknya lumpur di malam yang sangat gelap.
Ulama Hanbali menambahkan pula, di saat udara sangat dingin dan banyak salju. Dalam keadaan seperti itu menjamak salat dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Hanya boleh menjamak taqdim salat Maghrib dengan Isya' saja. Tetapi, menurut ulama Hanbali, boleh juga secara ta'khir, yakni salat Maghrib diakhirkan sampai tiba waktu Isya'. Dan ulama Syafi'i membolehkan pula menjamak Zuhur dengan Ashar secara taqdim.
Hujan terus turun ketika menunaikan salat.
Salat jamak dikerjakan dengan berjamaah di masjid, kecuali menurut ulama Hanbali yang membolehkan menjamak sekalipun dikerjakan sendirian di rumah.
Imam harus niat menjadi imam dan salat dengan berjamaah, karena berjamaah merupakan salah satu syaratnya.
Kedua salat dikerjakan berturut-turut, sehingga antara keduanya tidak terpisah dengan waktu lama, tetapi boleh membacakan iqamah untuk salat kedua.
Kedua salat dikerjakan secara tertib, dimulai dengan salat Maghrib terlebih dahulu dan baru kemudian salat Isya'.
Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, "Termasuk sunnah Rasul saw ialah menjamak salat Maghrib dengan Isya' apabila hari hujan lebat." (HR Asram dalam sunannya).
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Nabi saw menjamak salat Maghrib dengan Isya' di suatu malam yang turun hujan lebat. (HR Bukhari).
Dari Ibnu Abbas berkata, "Nabi saw mengerjakan salat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat, Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya'." Abu Ayyub berkata: "Barangkali pada malam yang hujan?" Ibnu Abbas menjawab: "Ya, barangkali." (HR Sittah [enam imam hadis]).
Menjamak karena sakit atau udzur. Dibolehkan menjamak sebab sakit atau uzur menurut ulama Hanbali dan Maliki, demikian juga menurut al-Mutawalli dari golongan Syafi'i. Tetapi, menurut ulama Maliki, jamak di sini hanya dalam bentuknya saja (jamak formalitas), dalam arti salat pertama diakhirkan hingga akhir waktu dan salat kedua dimajukan hingga awal waktu. Sehingga seakan-akan kedua salat itu dijama'.
Ulama Hanbali memperluas kebolehan menjamak ini, hingga menurut mereka, boleh juga bagi orang yang berhalangan (uzur) seperti wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, orang beser kencing dan sebagainya, bagi orang yang khawatir terjadi bahaya bagi jiwa, harta atau kehormatannya, juga bagi orang yang takut mendapat kesulitan dalam mata pencahariannya sekiranya ia meninggalkan jamak dan bagi wanita yang sedang menyusui bila sukar baginya untuk mencuci kain setiap hendak salat. Semua halangan semacam itu, menurut ulama Hanbali memperbolehkan menjamak salat. Demikian itu berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, dia berkata: "Rasulullah saw pernah menjamak salat Zuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya' tanpa ada alasan ketakutan atau turun hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: 'Apa maksud Nabi saw berbuat demikian itu?' Ibnu Abbas menjawab, maksudnya, agar tidak memberatkan umatnya." (HR Muslim).
Salat dalam Kendaraan
Mengerjakan salat dalam kapal dan sebagainya menurut cara yang mungkin dilakukan adalah sah dan gugurlah kewajiban menghadap kiblat. Karena, yang menjadi kiblatnya adalah arah ke mana kapal atau kendaraan itu melaju. Namun, di saat takbiratul ihram tetap di tuntut menghadap kiblat. Dan jika tidak dapat mengerjakan ruku' dan sujud seperti biasa, hendaklah salat dengan isyarat.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah saw ditanya tentang salat di atas kapal, maka jawabnya: 'Salatlah di sana sambil berdiri, kecuali jika kamu takut tenggelam'!" (HR Daaraquthni dan Hakim menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Refeensi:
Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
Salat Empat Madzhab, Abdul Qadir ar-Rahbawi
Hal demikian ini jika didapatkan salah satu keadaan berikut:
Menjamak di Arafah secara taqdim, begitu juga di Muzdalifah. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Mas'ud seraya berkata, "Demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia, Rasulullah saw tidak pernah mengerjakan satu salat pun kecuali tepat pada waktunya selain dua salat yang beliau jamak (gabung), yakni Dzuhur dengan Ashar di Arafah dan Maghrib dengan Isya' di Muzdalifah." (HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis ini, ulama Hanafi berpendapat, menjamak salat itu hanya boleh dilakukan dalam dua hal ini, yakni di Arafah dan di Muzdalifah. Dan ini pun harus dilakukan dengan berjamaah dengan imam (pemimpin) kaum muslimin atau wakilnya. Di luar ini tidak diperkenankan menjamak, baik dalam perjalanan maupun ketika berada di rumah.
Menjamak dalam perjalanan. Menjamak dua salat dalam perjalanan, baik taqdim maupun ta'khir pada salah satu dari kedua waktu salat itu boleh dilakukan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang diperbolehkan mengqashar. Akan tetapi, menurut ulama Maliki, boleh menjamak salat dalam setiap perjalanan sekalipun tidak mencapai jarak qashar.
Berturut-turut dalam mengerjakan kedua salat yang dijamak, sehingga antara keduanya itu tidak berselang lama. Yakni, lebih kurang selama dua rakaat cepat, tetapi di antara kedua salat itu diperbolehkan bersuci, azan dan iqamah. Ketentuan atau syarat ini hanya berlaku bagi jamak taqdim, tidak bagi jamak ta'khir.
Kedua salat dilakukan secara tertib, yakni dimulai dengan salat pertama (Zuhur atau Maghrib).
Niat menjama' dalam salat pertama. Misalnya, "Saya salat Zuhur secara qashar dan digabungkan dengan Ashar."
Perjalanan masih berlangsung. Seandainya terhenti atau kendaraan yang dinaikinya telah sampai dan melewati tempat di mana qashar dibolehkan, maka salat kedua tidak boleh dijamaktaqdimkan dengan salat pertama, bila salat kedua itu belum dikerjakan. Tetapi, menurut ulama Syafi'i, jika telah bertakbir untuk salat kedua lalu perjalanannya terhenti, maka jamak (taqdim) boleh dilakukan dan salat yang telah diniatkan dijamak itu tetap diteruskan. Dan jika salat pertama telah diakhirkan ke waktu salat kedua, tetapi sebelum mengerjakan kedua salat perjalanan sudah sampai, maka salat pertama menjadi qadha dan dia tidak berdosa karena pengakhiran ini.
Dari Muadz bin Jabal, "Pada waktu perang Tabuk Nabi saw menjamak salat Dzuhur dengan Ashar sebelum berangkat jika matahari sudah tergelincir, tetapi bila berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan salat Dzuhur itu sampai berhenti untuk melakukan salat Ashar. Demikian juga dalam salat Maghrib. Jika matahari telah terbenam sebelum berangkat, dijamaklah (taqdim) Magrib dengan Isya'. Tetapi, jika berangkat sebelum matahari terbenam, maka Maghrib diakhirkannya sampai dengan waktu Isya', lalu ia dijamak dengan salat Isya'." (HR Abu Daud dan Tirmidzi seraya menyatakannya sebagai hadis hasan).
Dari Muadz ra berkata, "Kami berangkat bersama Nabi saw dalam perang Tabuk, maka beliau mengerjakan salat Dzuhur dan Ashar secara jamak, dan Magrib dengan Isya' secara jamak pula." (HR Muslim).
Menjamak di saat hujan turun, atau disebabkan adanya salju atau embun.
Ulama Maliki dan Hanbali menambahkan, juga karena banyaknya lumpur di malam yang sangat gelap.
Ulama Hanbali menambahkan pula, di saat udara sangat dingin dan banyak salju. Dalam keadaan seperti itu menjamak salat dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Hanya boleh menjamak taqdim salat Maghrib dengan Isya' saja. Tetapi, menurut ulama Hanbali, boleh juga secara ta'khir, yakni salat Maghrib diakhirkan sampai tiba waktu Isya'. Dan ulama Syafi'i membolehkan pula menjamak Zuhur dengan Ashar secara taqdim.
Hujan terus turun ketika menunaikan salat.
Salat jamak dikerjakan dengan berjamaah di masjid, kecuali menurut ulama Hanbali yang membolehkan menjamak sekalipun dikerjakan sendirian di rumah.
Imam harus niat menjadi imam dan salat dengan berjamaah, karena berjamaah merupakan salah satu syaratnya.
Kedua salat dikerjakan berturut-turut, sehingga antara keduanya tidak terpisah dengan waktu lama, tetapi boleh membacakan iqamah untuk salat kedua.
Kedua salat dikerjakan secara tertib, dimulai dengan salat Maghrib terlebih dahulu dan baru kemudian salat Isya'.
Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, "Termasuk sunnah Rasul saw ialah menjamak salat Maghrib dengan Isya' apabila hari hujan lebat." (HR Asram dalam sunannya).
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Nabi saw menjamak salat Maghrib dengan Isya' di suatu malam yang turun hujan lebat. (HR Bukhari).
Dari Ibnu Abbas berkata, "Nabi saw mengerjakan salat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat, Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya'." Abu Ayyub berkata: "Barangkali pada malam yang hujan?" Ibnu Abbas menjawab: "Ya, barangkali." (HR Sittah [enam imam hadis]).
Menjamak karena sakit atau udzur. Dibolehkan menjamak sebab sakit atau uzur menurut ulama Hanbali dan Maliki, demikian juga menurut al-Mutawalli dari golongan Syafi'i. Tetapi, menurut ulama Maliki, jamak di sini hanya dalam bentuknya saja (jamak formalitas), dalam arti salat pertama diakhirkan hingga akhir waktu dan salat kedua dimajukan hingga awal waktu. Sehingga seakan-akan kedua salat itu dijama'.
Ulama Hanbali memperluas kebolehan menjamak ini, hingga menurut mereka, boleh juga bagi orang yang berhalangan (uzur) seperti wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, orang beser kencing dan sebagainya, bagi orang yang khawatir terjadi bahaya bagi jiwa, harta atau kehormatannya, juga bagi orang yang takut mendapat kesulitan dalam mata pencahariannya sekiranya ia meninggalkan jamak dan bagi wanita yang sedang menyusui bila sukar baginya untuk mencuci kain setiap hendak salat. Semua halangan semacam itu, menurut ulama Hanbali memperbolehkan menjamak salat. Demikian itu berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, dia berkata: "Rasulullah saw pernah menjamak salat Zuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya' tanpa ada alasan ketakutan atau turun hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: 'Apa maksud Nabi saw berbuat demikian itu?' Ibnu Abbas menjawab, maksudnya, agar tidak memberatkan umatnya." (HR Muslim).
Salat dalam Kendaraan
Mengerjakan salat dalam kapal dan sebagainya menurut cara yang mungkin dilakukan adalah sah dan gugurlah kewajiban menghadap kiblat. Karena, yang menjadi kiblatnya adalah arah ke mana kapal atau kendaraan itu melaju. Namun, di saat takbiratul ihram tetap di tuntut menghadap kiblat. Dan jika tidak dapat mengerjakan ruku' dan sujud seperti biasa, hendaklah salat dengan isyarat.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah saw ditanya tentang salat di atas kapal, maka jawabnya: 'Salatlah di sana sambil berdiri, kecuali jika kamu takut tenggelam'!" (HR Daaraquthni dan Hakim menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Refeensi:
Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
Salat Empat Madzhab, Abdul Qadir ar-Rahbawi
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: menjamak sholat
Ada beberapa perbedaan ulama tentang kebolehan melakukan shalat wajib di atas kendaraan. Perbedaan itu bukan semata-mata timbul dari ijtihad para ulama, melainkan hadits-hadits yang kita terima dari Rasulullah SAW telah saling berbeda. Maka wajar pula bila para ulama pun saling berbeda pandangan.
1. Pendapat yang Tidak Menerima Shalat Wajib di Atas Kendaraan
Sebagian ulama memandang masalah shalat di atas kendaraan adalah bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Kecuali hanya pada shalat sunnah saja. Adapun ketika datang waktu shalat wajib, beliau turun dari untanya dan shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat.
Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas punggung unta dan menghadap ke mana saja, memang benar. Namun ketahuilah bahwa shalat itu hanyalah shalat sunnah, bukan shalat wajib. Dasarnya adalah hadits beliau SAW berikut ini:
وَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةِ قَالَ: رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وِجْهَةٍ تَوَجَّهَ ، وَلَمْ يَكُنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Amir bin Rabi'ah ra. berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW di atas kendaraannya (shalat) dan membungkukkan kepalanya menghadapkan ke mana saja. Namun beliau tidak melakukannya untuk shalat-shalat fardhu." (HR. Muttafaq 'alaihi)
Hadits ini menurut An-Nawawi, Al-Iraqi, Al-Hafidz dan lainnya dikatakan sebagai sebagai dalil atas kebolehan melakukan shalat sunnah di atas kendaraan dalam perjalanan yang panjang. Sedangkan kalau bukan dalam perjalanan panjang, telah terjadi perbedaan pendapat.
Imam Malik mengatakan bahwa bila bukan dalam perjalanan yang membolehkan qashar shalat, shalat sunnah di atas kendaraan tidak boleh dilakukan.
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa shalat wajib itu tidak boleh lepas dari menghadap kiblat. Sehingga bila shalat di atas kendaraan yang kemungkinan akan berbelok-belok, batallah shalat itu. Maka beliau mengatakan bahwa para ulama berijma' tidak boleh shalat fardhu di atas kendaraan.
Kecuali bila bisa dipastikan shalat di atas kendaraan itu tidak akan membuatnya lepas dari menghadap kiblat, juga bisa dipastikan untuk bisa berdiri, ruku' sujud dengan benar. Tetapi kalau tidak memungkinkan, maka shalat fardhu di atas kendaraan tidak dibenarkan. Demikianlah yang tertulis di mazhab kami (asy-Syafi'i) sebagaimana perkataan An-Nawawi.
Sedangkan shalat di atas kapal laut, oleh mereka dikatakan bahwa para ulama telah ijma' atas kebolehannya.
Sedangkan kalau seseorang tidak mungkin mendapatkan kendaraan memungkinkan shalat fardhu menghadap kiblat, berdiri, ruku' dan sujud, maka dia tetap harus shalat sebisanya, namun dengan kewajiban melakukan i'aadah. I'aadah adalah mengulangi shalat ketika kondisinya sudah normal kembali di waktu lain.
2. Pandangan yang Membolehkan Shalat Fardhu di Atas Kendaraan
Mereka yang berpandangan bahwa shalat fardhu boleh dikerjakan di atas kendaraan, berangkat dari hadits lainnya dari Rasululullah SAW berikut ini:
عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَهَى إلَى مَضِيقٍ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ ، وَالسَّمَاءُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَالْبِلَّةُ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ثُمَّ تَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى بِهِمْ يُومِئُ إيمَاءً يَجْعَلُ السُّجُودَ أَخْفَضَ مِنْ الرُّكُوعِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ
Dari Ya'la bin Murrah bahwa Rasulullah SAW melwati sebuah celah sempit bersama dengan para shahabat dengan menunggang kendaraan. Saat itu langit hujan dan tanah menjadi basah. Lalu datanglah waktu shalat, beliau memerintahkan muadzdzin untuk adzan dan qamat. Lalu Rasulullah SAW memajukan kendaraannya ke depan dan melakukan shalat dengan membungkuk, bungkuknya untuk sujud lebih rendah dari bungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Daaruquthunydan Tirmizy)
Oleh At-Tirmizy, hadits ini dinilai sebagai hadits gharib dan dinilai sebagai hadits dha'if oleh Al-Baihaqi. Sedangkan yang men-shahih-kan hadits ini adalah Abdul Haq, lalu yang mengatakannya hasan adalah At-Tuzy.
Secara isi kandungan hukumnya, jelas sekali bahwa hadits ini bertentangan 180 derajat isinya dengan hadits Bukhari dan Muslim di atas, yang menyebutkan tidak ada shalat fardhu di atas kendaraan. Hadits ini justru menyebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat melakukan shalat fardhu di atas kendaraan, secara berjamaah pula. Bahkan sempat dikumandangkan adzan dan iqamah sebelumnya.
Lalu bagaimana kesimpulan hukumnya, bolehkah kita shalat fardhu di atas kendaraan?
Jawabnya kembali kepada pendapat mana kita akan memilih. Kalau kita cenderung menerima hadits yang pertama, maka kalau pun kita shalat fardhu di atas kendaraan, masih ada kewajiban untuk mengulangi shalat di rumah. Sebab kendaraan itu tidak bisa menjamin bahwa shalat kita bisa tetap menghadap kiblat, juga tidak bisa shalat sambil berdiri tegak, ruku dan sujud secara sempurna.
Namun bila kita cenderung menerima pendapat yang kedua, tidak apa-apa juga. Silahkan shalat di atas kendaraan tanpa menghadap kiblat, tanpa berdiri, tanpa rukuk dan sujud yang sempurna. Toh dahulu Rasulullah SAW diriwayatkan pernah melakukannya juga, mesi kalau kita bicara kekuatan haditsnya, lebih lemah dibandingkan hadits yang pertama.
Jalan Terbaik
Umumnya sikap yang paling baik adalah keluar dari khilaf, selagi masih memungkinkan. Yang sama sekali sudah tidak ada khilafnya adalah shalat jama' dan qashar. Maka dalam perjalanan seperti yang anda sebutkan, shalat Dzuhur dan Ashar sebaiknya anda jama' dan demikian juga dengan shalat Maghrib dan Isya'. Yaitu saat istirahat di suatu perhentianjalan. Bisa dikerjakan di mushalla atau di mana saja, yang penting bisa menghadap kiblat dengan benar, bisa berdiri, sujud dan ruku'dengan benar.
Semua untuk menghindari diri dari khilaf para ulama. Kita cari amannya dan kepastian hukum yang lebih jelas.
Apalagi mengingat bahwa selama masih ada air, kita toh masih belum boleh bertayamum. Meski pun di dalam kendaraan. Dan sebenarnya, memang ada air di dalam kendaraan, paling tidak kita punya botol air kemasan yang bisa dibeli sepanjang perjalanan.
Sementara bertayammum dengan menggunakan debu yang menempel di jendela, juga masih menyisakan perbedaan pendapat. Sebab sebagian ulama mengatakan bahwa hanya debu yang benar-benar terlihat nyata saja yang boleh digunakan untuk tayammum. Sedangkan debu yang tidak terlihat mata biasa, atau debu mikroskopis, tidak bisa digunakan. Lagi pula, debu mikroskopis itu sendiri bukan hanya ada di jendela dan dinding saja, tetapi di udara pun ada juga beterbangan. Masak kita mau bertayammum dengan debu mikroskopis yang beterbangan di udara?
Pendeknya, apa yang disebutkan tentang tayammum dengan jendela masih menyisakan perdebatan seru, antara mereka yang membolehkan dan yang tidak membolehkan.
Karena itu, yang paling aman adalah kita turun dari kendaraan, lalu cari mushalla dan berwuhdu dengan benar, lalu shalat jama' dan juga boleh diqashar sekalian. Alternatif ini selagi masih mungkin dilakukan, sebaiknya dikerjakan. Kecuali dalam kondisi tertentu di mana kita memang tidak mungkin alias mustahil berhenti dan singgah di suatu tempat. Misalnya perjalanan dengan kereta api atau pesawat terbang. Sedangkan dengan bus umum atau mobil pribadi, sangat dimungkinkan untuk berhenti sejenak untuk shalat, mungkin sambil istirahat atau makan.
1. Pendapat yang Tidak Menerima Shalat Wajib di Atas Kendaraan
Sebagian ulama memandang masalah shalat di atas kendaraan adalah bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Kecuali hanya pada shalat sunnah saja. Adapun ketika datang waktu shalat wajib, beliau turun dari untanya dan shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat.
Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas punggung unta dan menghadap ke mana saja, memang benar. Namun ketahuilah bahwa shalat itu hanyalah shalat sunnah, bukan shalat wajib. Dasarnya adalah hadits beliau SAW berikut ini:
وَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةِ قَالَ: رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وِجْهَةٍ تَوَجَّهَ ، وَلَمْ يَكُنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Amir bin Rabi'ah ra. berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW di atas kendaraannya (shalat) dan membungkukkan kepalanya menghadapkan ke mana saja. Namun beliau tidak melakukannya untuk shalat-shalat fardhu." (HR. Muttafaq 'alaihi)
Hadits ini menurut An-Nawawi, Al-Iraqi, Al-Hafidz dan lainnya dikatakan sebagai sebagai dalil atas kebolehan melakukan shalat sunnah di atas kendaraan dalam perjalanan yang panjang. Sedangkan kalau bukan dalam perjalanan panjang, telah terjadi perbedaan pendapat.
Imam Malik mengatakan bahwa bila bukan dalam perjalanan yang membolehkan qashar shalat, shalat sunnah di atas kendaraan tidak boleh dilakukan.
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa shalat wajib itu tidak boleh lepas dari menghadap kiblat. Sehingga bila shalat di atas kendaraan yang kemungkinan akan berbelok-belok, batallah shalat itu. Maka beliau mengatakan bahwa para ulama berijma' tidak boleh shalat fardhu di atas kendaraan.
Kecuali bila bisa dipastikan shalat di atas kendaraan itu tidak akan membuatnya lepas dari menghadap kiblat, juga bisa dipastikan untuk bisa berdiri, ruku' sujud dengan benar. Tetapi kalau tidak memungkinkan, maka shalat fardhu di atas kendaraan tidak dibenarkan. Demikianlah yang tertulis di mazhab kami (asy-Syafi'i) sebagaimana perkataan An-Nawawi.
Sedangkan shalat di atas kapal laut, oleh mereka dikatakan bahwa para ulama telah ijma' atas kebolehannya.
Sedangkan kalau seseorang tidak mungkin mendapatkan kendaraan memungkinkan shalat fardhu menghadap kiblat, berdiri, ruku' dan sujud, maka dia tetap harus shalat sebisanya, namun dengan kewajiban melakukan i'aadah. I'aadah adalah mengulangi shalat ketika kondisinya sudah normal kembali di waktu lain.
2. Pandangan yang Membolehkan Shalat Fardhu di Atas Kendaraan
Mereka yang berpandangan bahwa shalat fardhu boleh dikerjakan di atas kendaraan, berangkat dari hadits lainnya dari Rasululullah SAW berikut ini:
عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَهَى إلَى مَضِيقٍ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ ، وَالسَّمَاءُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَالْبِلَّةُ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ثُمَّ تَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى بِهِمْ يُومِئُ إيمَاءً يَجْعَلُ السُّجُودَ أَخْفَضَ مِنْ الرُّكُوعِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ
Dari Ya'la bin Murrah bahwa Rasulullah SAW melwati sebuah celah sempit bersama dengan para shahabat dengan menunggang kendaraan. Saat itu langit hujan dan tanah menjadi basah. Lalu datanglah waktu shalat, beliau memerintahkan muadzdzin untuk adzan dan qamat. Lalu Rasulullah SAW memajukan kendaraannya ke depan dan melakukan shalat dengan membungkuk, bungkuknya untuk sujud lebih rendah dari bungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Daaruquthunydan Tirmizy)
Oleh At-Tirmizy, hadits ini dinilai sebagai hadits gharib dan dinilai sebagai hadits dha'if oleh Al-Baihaqi. Sedangkan yang men-shahih-kan hadits ini adalah Abdul Haq, lalu yang mengatakannya hasan adalah At-Tuzy.
Secara isi kandungan hukumnya, jelas sekali bahwa hadits ini bertentangan 180 derajat isinya dengan hadits Bukhari dan Muslim di atas, yang menyebutkan tidak ada shalat fardhu di atas kendaraan. Hadits ini justru menyebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat melakukan shalat fardhu di atas kendaraan, secara berjamaah pula. Bahkan sempat dikumandangkan adzan dan iqamah sebelumnya.
Lalu bagaimana kesimpulan hukumnya, bolehkah kita shalat fardhu di atas kendaraan?
Jawabnya kembali kepada pendapat mana kita akan memilih. Kalau kita cenderung menerima hadits yang pertama, maka kalau pun kita shalat fardhu di atas kendaraan, masih ada kewajiban untuk mengulangi shalat di rumah. Sebab kendaraan itu tidak bisa menjamin bahwa shalat kita bisa tetap menghadap kiblat, juga tidak bisa shalat sambil berdiri tegak, ruku dan sujud secara sempurna.
Namun bila kita cenderung menerima pendapat yang kedua, tidak apa-apa juga. Silahkan shalat di atas kendaraan tanpa menghadap kiblat, tanpa berdiri, tanpa rukuk dan sujud yang sempurna. Toh dahulu Rasulullah SAW diriwayatkan pernah melakukannya juga, mesi kalau kita bicara kekuatan haditsnya, lebih lemah dibandingkan hadits yang pertama.
Jalan Terbaik
Umumnya sikap yang paling baik adalah keluar dari khilaf, selagi masih memungkinkan. Yang sama sekali sudah tidak ada khilafnya adalah shalat jama' dan qashar. Maka dalam perjalanan seperti yang anda sebutkan, shalat Dzuhur dan Ashar sebaiknya anda jama' dan demikian juga dengan shalat Maghrib dan Isya'. Yaitu saat istirahat di suatu perhentianjalan. Bisa dikerjakan di mushalla atau di mana saja, yang penting bisa menghadap kiblat dengan benar, bisa berdiri, sujud dan ruku'dengan benar.
Semua untuk menghindari diri dari khilaf para ulama. Kita cari amannya dan kepastian hukum yang lebih jelas.
Apalagi mengingat bahwa selama masih ada air, kita toh masih belum boleh bertayamum. Meski pun di dalam kendaraan. Dan sebenarnya, memang ada air di dalam kendaraan, paling tidak kita punya botol air kemasan yang bisa dibeli sepanjang perjalanan.
Sementara bertayammum dengan menggunakan debu yang menempel di jendela, juga masih menyisakan perbedaan pendapat. Sebab sebagian ulama mengatakan bahwa hanya debu yang benar-benar terlihat nyata saja yang boleh digunakan untuk tayammum. Sedangkan debu yang tidak terlihat mata biasa, atau debu mikroskopis, tidak bisa digunakan. Lagi pula, debu mikroskopis itu sendiri bukan hanya ada di jendela dan dinding saja, tetapi di udara pun ada juga beterbangan. Masak kita mau bertayammum dengan debu mikroskopis yang beterbangan di udara?
Pendeknya, apa yang disebutkan tentang tayammum dengan jendela masih menyisakan perdebatan seru, antara mereka yang membolehkan dan yang tidak membolehkan.
Karena itu, yang paling aman adalah kita turun dari kendaraan, lalu cari mushalla dan berwuhdu dengan benar, lalu shalat jama' dan juga boleh diqashar sekalian. Alternatif ini selagi masih mungkin dilakukan, sebaiknya dikerjakan. Kecuali dalam kondisi tertentu di mana kita memang tidak mungkin alias mustahil berhenti dan singgah di suatu tempat. Misalnya perjalanan dengan kereta api atau pesawat terbang. Sedangkan dengan bus umum atau mobil pribadi, sangat dimungkinkan untuk berhenti sejenak untuk shalat, mungkin sambil istirahat atau makan.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: menjamak sholat
Ada dua jenis jama', yang pertama disebut jama' taqdim dan yang kedua disebut jama' ta'khir. Jama' taqdim adalah melakukan dua shalat pada waktu shalat yang pertama. Jama' taqdim ini hanya ada dua saja. yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat Maghrib dan shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib. Di luar keduanya, tidak ada jama' lainnya.
A. Hal-hal yang Membolehkan Jama'
Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari. Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak untuk jama' antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil: إن من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء - رواه الأثرم Artinya: Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama' antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR. Atsram)
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama' shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi: كان النبي ص جمع من غير خوف ولا مطر Bahwa Rasulullah SAW menjama' shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
B. Syarat Jama' Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama' taqdim, paling tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, tidak sah bila dilakukan jama' taqdim.
1. Niat Sejak Shalat yang Pertama
Misalnya kita menjama' shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk menjama' dengan Ashar. Niat untuk menjama' ini masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
2. Tertib
Misalnya kita menjama' shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah hukumnya.
Namun bila bukan jama' taqdim, dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghirib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya.
3. Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama.
Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi azan dan iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama' taqdim namun untuk jama' ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja.
4. Masih Berlangsungnya Safar Hingga Takbiratul Ihram Shalat yang Kedua
Misalnya kita menjama' taqdim shalat Maghrib dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul ihram shalat Isya'.
Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita.
B. Syarat Jama' Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama' ta'khir hanya ada dua saja. Yaitu adalah:
1. Berniat untuk Menjama' Ta'khir Sebelum Habisnya Waktu Shalat yang Pertama
Misalnya kita berniat untuk menjama' shalat Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk berniat untuk menjama' takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
2. Safar Harus Masih Berlangsung Hingga Selesainya Shalat yang Kedua.
Kita masih harus dalam perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama' ta'khir itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama' shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena itu, bila kita mau menjama' ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru Maghrib?
Bila jama' taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat Isya', tapi boleh bila jama' ta'khir. Namun tetap lebih utama bila dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu masjid di mana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang singgah mengerjakan shalat Maghrib dengan berjamaah.
A. Hal-hal yang Membolehkan Jama'
Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari. Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak untuk jama' antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil: إن من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء - رواه الأثرم Artinya: Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama' antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR. Atsram)
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama' shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi: كان النبي ص جمع من غير خوف ولا مطر Bahwa Rasulullah SAW menjama' shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
B. Syarat Jama' Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama' taqdim, paling tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, tidak sah bila dilakukan jama' taqdim.
1. Niat Sejak Shalat yang Pertama
Misalnya kita menjama' shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk menjama' dengan Ashar. Niat untuk menjama' ini masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
2. Tertib
Misalnya kita menjama' shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah hukumnya.
Namun bila bukan jama' taqdim, dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghirib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya.
3. Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama.
Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi azan dan iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama' taqdim namun untuk jama' ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja.
4. Masih Berlangsungnya Safar Hingga Takbiratul Ihram Shalat yang Kedua
Misalnya kita menjama' taqdim shalat Maghrib dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul ihram shalat Isya'.
Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita.
B. Syarat Jama' Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama' ta'khir hanya ada dua saja. Yaitu adalah:
1. Berniat untuk Menjama' Ta'khir Sebelum Habisnya Waktu Shalat yang Pertama
Misalnya kita berniat untuk menjama' shalat Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk berniat untuk menjama' takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
2. Safar Harus Masih Berlangsung Hingga Selesainya Shalat yang Kedua.
Kita masih harus dalam perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama' ta'khir itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama' shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena itu, bila kita mau menjama' ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru Maghrib?
Bila jama' taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat Isya', tapi boleh bila jama' ta'khir. Namun tetap lebih utama bila dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu masjid di mana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang singgah mengerjakan shalat Maghrib dengan berjamaah.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: menjamak sholat
menjamak sholat memang tidak boleh sembarangan ada tata caranya sendiri, dan harus mengikuti aturan waktu sholat
pencariilmu123- PRAJURIT
-
Age : 34
Posts : 13
Kepercayaan : Islam
Location : surakarta
Join date : 28.10.17
Reputation : 0
Re: menjamak sholat
ya bisa dikatakan begitu, karena bukan hanya dalam hal menjamak sholat yang tidak boleh sembarangan, tapi juga dalam segala hal kebaikan termasuk saat melakukan ibadah, tidak boleh sembarangan, baik secara lahiriah ataupun batiniah, juga dengan sebisa mungkin sesuai aturan waktu ibadah[jika memang dalam keadaan yang memungkinkan].
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik