khilafah bukan theokrasi
Halaman 1 dari 1 • Share
khilafah bukan theokrasi
Negara Islam adalah negara yang berbentuk khilafah. Karena khilafah merupakan jabatan dimana orang yang mendudukinya memiliki semua wewenang pemerintahan dan kekuasaan, serta wewenang membuat peraturan apapun tanpa terkecuali. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dengan pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh Islam dan hukum-hukum yang telah disyari'atkannya. Serta untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, dengan cara memperkenalkan Islam kepada mereka dan mengajak mereka kepada Islam, serta berjihad di jalan Allah.
Khilafah kadang disebut Imamam atau Imaratul Mukminin. Ia merupakan jabatan di dunia dan bukan jabatan di akhirat. Dimana khilafah itu ada dalam rangka menerapkan agama Islam kepada seluruh manusia, serta menyebarkannya di tengah-tengah mereka. Yang pasti, khilafah bukan merupakan nubuwat (status kenabian), sebab status kenabian dan kerasulan merupakan jabatan dimana para nabi dan rasul --yang memiliki status tersebut-- memperoleh syari'at dari Allah melalui perantara wahyu agar disampaikan kepada manusia, dengan tanpa memandang bagaimana syari'at tersebut diterapkan. Allah SWT. berfirman:
"Dan tidak lain kewajiban rasul itu, melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (Q.S. An Nur: 54)
"Maka, kewajiban kamu hanya menyampaikan (ayat-ayat Allah)." (Q.S. Ali Imran: 20)
"Kewajiban rasul tidak lain hanyalah menyampaikan." (Q.S. Al Maidah: 99)
Ini tentu berbeda dengan khilafah, kalau adanya khilafah justru untuk menerapkan syari'at Allah kepada seluruh manusia. Seorang nabi dan rasul hingga bisa disebut sebagai nabi dan rasul tidak harus menerapkan apa yang telah diwahyukan kepadanya hingga bisa disebut rasul, melainkan syaratnya agar seseorang bisa disebut nabi dan rasul hanyalah diberi syari'at oleh Allah dimana dia diperintahkan untuk menyampaikannya. Oleh karena itu, Musa, Isa dan Ibrahim adalah nabi dan rasul, bukan seorang penguasa. Dimana mereka (dengan status kenabian dan kerasulannya) itu tidak (dituntut) melakukan penerapan syari'at yang mereka bawa (karena mereka hanya dituntut menyampaikan saja).
Karena itu, jabatan nubuwah dan risalah berbeda dengan jabatan khilafah. Sebab, nubuwah merupakan jabatan ilahiyah yang diberikan Tuhan, kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sedangkan khilafah merupakan jabatan basyariyah (jabatan yang diberikan oleh manusia), dimana kaum muslimin bisa membai'at siapa saja yang mereka kehendaki. Mereka juga bisa mengangkat siapa saja yang mereka kehendaki dari kalangan kaum muslimin untuk menjadi khalifah atas diri mereka. Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul sekaligus hakim (penguasa) yang menerapkan syari'at yang beliau bawa. Beliau, bukan hanya menduduki jabatan kenabian dan kerasulan, tetapi pada saat yang sama sekaligus menduduki jabatan kepemimpinan kaum muslimin dalam menegakkan hukum-hukum Islam. Beliau telah diperintahkan oleh Allah untuk menerapkan hukum, seperti ketika beliau diperintah untuk menyampaikan risalah. Firman Allah SWT.:
"Dan hendaknya kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu." (Q.S. An Nisa': 105)
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu." (Q.S. Al Maidah: 67)"Dan Al Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya)." (Q.S. Al An'am: 19)
"Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan." (Q.S. Al Mudatsir: 1-2)
Hanya saja, ketika beliau memimpin untuk menyampaikan risalah, kadang beliau menyampaikannya secara lesan. Seperti ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT.:
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Q.S. Al Baqarah: 275)
Atau kadangkala beliau menyampaikannya secara amali (dalam bentuk perbuatan nyata). Seperti ketika beliau melakukan perjanjian Hudaibiyah. Jadi, beliau harus menyampaikan dan memerintahkan untuk melaksanakannya secara tegas, dimana untuk melaksanakannya, beliau tidak akan meminta pertimbangan, bahkan beliau akan menolak setiap pendapat ketika pendapat itu diberikan, selain apa yang telah disampaikan oleh wahyu. Kalau beliau ditanya tentang hukum tertentu yang belum pernah diturunkan oleh wahyu, beliau diam dan tidak menjawab sampai ada wahyu turun. Namun, ketika beliau memimpin untuk melaksanakan hukum-hukum yang telah diturunkan dan harus disampaikan kepada orang lain, maka beliau selalu meminta masukan serta akan melaksanakan suara mayoritas, sekalipun hal itu bertentangan dengan pendapat beliau sendiri. Beliau tidak pernah memastikan bahwa apa yang diputuskan itu sesuai dengan kejadiannya, namun hanya menyatakan, bahwa hal itu sesuai dengan hujah-hujah yang beliau dengarkan. Ketika surat Bara'ah diturunkan kepada beliau, beliau meminta Ali Bin Abi Thalib untuk menemui Abu Bakar, lalu beliau memintanya agar mengumandangkan surat Bara'ah tersebut kepada semua orang, supaya bisa tersampaikan kepada mereka pada saat musim haji. Maka, Abu Bakar membacakannya ketika berada di Arafah, lalu berkeliling kepada mereka hingga tersampaikan kepada mereka semua.
Ketika beliau mengadakan perjanjian Hudaibiyah, beliau menolak semua pendapat sahabat dan memaksa mereka agar mengikuti pendapat beliau karena itu merupakan wahyu.
Dan ketika beliau ditanya Jabir, bagaimana aku harus memutuskan hartaku ini? Beliau tidak menjawabnya hingga turunnya wahyu yang menjelaskan hukum tentang harta itu. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnul Munkadir yang berkata: Aku mendengar Jabir Bin Abdullah berkata: Aku dalam keadaan sakit, kemudian Rasulullah saw. datang untuk menjengukku bersama Abu Bakar dan mereka berdua jalan kaki. Beliau mendatangiku ketika aku sedang tidak sadarkan diri. Lalu beliau berwudlu kemudian wudlu beliau itu dialirkan kepadaku, hingga aku sadarkan diri. Aku lalu bertanya kepada Rasulullah --dimana pertanyaan itu juga pernah ditanyakan Shafyan-- : "Wahai Rasulullah, bagaimana aku harus memutuskan urusan hartaku? Bagaimana aku harus memperlakukan hartaku?" Jabir bercerita: "Beliau tidak menjawab pertanyaanku sedikitpun hingga turunya ayat tentang waris."
Kenyataan ini berkaitan dengan melaksanakan tugas kenabian, kerasulan serta tabligh kepada orang, sedangkan dalam melaksanakan tugas pemerintahan beliau melakukan hal yang berbeda dengan cara-cara tersebut. Dalam perang Uhud, misalnya, beliau mengumpulkan semua kaum muslimin di masjid, lalu meminta masukan mereka apakah akan memerangi musuh di dalam Madinah atau keluar di luar Madinah? Maka, suara mayoritas menyatakan keluar di laur Madinah, sementara pendapat beliau sendiri tidak. Namun beliau melaksanakan suara mayoritas sehingga beliau keluar dan memerangi musuh di luar Madinah.
Begitu pula ketika beliau memutuskan perkara di tengah-tengah manusia, beliau memperingatkan mereka supaya tidak memutuskan dengan memakan hak orang lain untuk diri mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dari Umu Salamah dari Rasulullah saw. bahwa beliau mendengar ada orang mempersengketakan pintu biliknya. Beliau lalu keluar menghampiri mereka dan bersabda:
"Aku hanyalah manusia biasa, maka bisa saja aku mengalami sengketa, karena itu boleh jadi salah seorang di antara kalian lebih jelas (pemahamannya) ketimbang yang lain, sehingga dia mengira benar kemudian dia memutuskan hal-hal tersebut. Maka, siapa saja yang telah diputuskan lalu ada hak seorang muslim di situ, itu merupakan bagian dari api neraka. Silahkah, (apakah) dia akan mengambil atau meninggalkannya."
Beliau pernah bersabda kepada salah seorang sahabat:
"Siapa saja yang hartanya pernah aku ambil, inilah hartaku. Silahkan ambil. Dan siapa saja yang pernah punggungnya aku cambuk, inilah punggungku. Silahkan balas."
Begitu pula diriwayatkan, bahwa beliau bersabda:
"Aku sungguh ingin menghadap (bertemu) Allah Azza Wajalla, dan tidak ada satu orang pun yang akan menuntut kepadaku karena kedzaliman yang telah aku lakukan kepadanya, baik yang berhubungan dengan darah maupun harta."
Semua dalil tadi, menunjukkan bahwa beliau memegang dua jabatan, yaitu jabatan nubuwat war risalah dan kepemimpinan kaum muslimin di dunia untuk menegakkan syari'at Allah yang telah diwahyukan kepada beliau. Beliau telah melaksanakan masing-masing tugas sesuai dengan tuntutan masing-masing jabatan tersebut. Beliau juga melaksanakan masing-masing tugas tersebut yang berbeda dengan tugas-tugas yang lain.
Beliau pernah mengambil bai'at kepada orang-orang dalam urusan pemerintahan, dimana beliau mengambilnya baik dari para wanita maupun pria, dan tidak mengambilnya dari anak-anak kecil yang belum baligh. Semuanya itu menegaskan bahwa bai'at tersebut merupakan bai'at kepada pemerintahan bukan bai'at kepada urusan nubuwat.
Oleh karena itu, Allah SWT. tidak pernah mencela sedikit pun kepada beliau dalam hal menyampaikan risalah serta melaksanakan tugas-tugas untuk menjalankan risalah. Bahkan, Allah meminta beliau agar tidak bingung karena orang-orang tidak mau menerima ajakannya. Allah berfirman:
"Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka." (Q.S. Fatir: 8)
"Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (Q.S. An Nahl: 127)
"Kewajibanmu tidak lain adalah hanya menyampaikan (risalah)." (Q.S. Asy Syura: 48)
Namun, Allah justru mencela beliau ketika beliau melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, dalam hal-hal yang beliau kerjakan untuk mengerjakan hukum-hukum yang telah diturunkan dan disampaikan kepada beliau sebelumnya. Beliau dicela oleh Allah, karena melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan khilaful aula (masalah pilihan antara yang baik dengan yang terbaik). Allah SWT. berfirman:
"Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi." (Q.S. Al Anfal: 67)
"Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)." (Q.S. At Taubah: 43)
Semuanya ini jelas, bahwa jabatan kepemimpinan kaum muslimin dalam masalah pemerintahan berbeda dengan jabatan nubuwat. Dan jabatan khilafah merupakan jabatan di dunia bukan di akhirat. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, yang merupakan jabatan basyariyah, bukan jabatan ilahiyah. Karena ia merupakan jabatan pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah saw. bahkan beliau mewariskannya lalu mengharuskan agar jabatan itu digantikan oleh salah seorang kaum muslimin, dimana ia menggantikan Rasulullah saw. sebagai khalifah (pengganti) dalam masalah pemerintahannya, bukan menggantikan beliau dalam masalah kenabiannya. Maka, jabatan itu merupakan khilafah (jabatan pengganti) Rasul dalam memimpin kaum muslimin untuk menerapkan hukum-hukum Islam serta mengemban dakwah beliau dan bukan untuk menerima wahyu serta mendapatkan syari'at dari Allah.Sedangkan 'ishmah (kema'suman) Rasul saw. adalah sesuatu yang ada karena status beliau sebagai nabi, bukan karena beliau menjadi hakim (penguasa). Karena kema'suman merupakan salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh semua nabi dan rasul, tanpa memandang apakah kedudukan para rasul atau nabi itu menjadi penguasa yang memerintah seluruh manusia dengan syari'at mereka serta memberlakukan syari'at tersebut atas mereka, ataukah hanya sebatas tabligh (menyampaikan) saja, tanpa memimpin pemerintahan dengan syari'at mereka.
Oleh karena itu Nabi Musa, Isa dan Ibrahim adalah ma'shum, sebagaimana Nabi Muhammad saw. karena kema'suman tersebut berlaku bagi status nubuwat (kenabian) serta risalah (kerasulan) dan bukan bagi status hukm (pemerintahan). Maka, kalau Nabi saw. pada saat melaksanakan tugas-tugas beliau dalam urusan pemerintahan tidak pernah sama sekali melaksanakan perbuatan haram dan tidak pernah meninggalkan kewajiban, karena beliau memang ma'shum sebab status kenabian dan kerasulan beliau, bukan karena beliau menjadi penguasa. Dan apa saja yang beliau lakukan dalam urusan pemerintahan sebenarnya tidak mengharuskan beliau ma'shum, namun karena beliau menjadi nabi dan rasul maka secara pasti beliau ma'shum.
Karena itu, ketika beliau memimpin sebuah pemerintahan, adalah dalam kapasitas beliau sebagai manusia, yang memimpin manusia. Bahkan Al Qur'an juga menegaskan hal itu dengan jelas, dimana beliau adalah manusia biasa:
"Katakanlah (kepada mereka, hai Muhammad): "Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian." (Q.S. Al Kahfi: 110)
Lalu Allah menjelaskan bentuk perbedaan beliau dengan manusia yang lain dengan firman-Nya:
"yang diwahyukan kepadaku." (Q.S. Al Kahfi: 110)
Maka, bedanya adalah beliau diberi wahyu, yaitu dalam masalah kenabian beliau, sedangkan dalam masalah-masalah lain --selain dalam masalah kenabian-- beliau sama seperti manusia yang lain. Karena itu dalam masalah pemerintahan, beliau seperti manusia biasa. Sehingga siapa pun yang menjadi khalifah (pengganti) beliau pasti ia adalah manusia biasa seperti manusia-manusia yang lain, karena ia hanya menggantikan beliau dalam masalah pemerintahan, bukan dalam masalah kenabian dan kerasulan.
Oleh karena itu, tidak ada syarat bagi seorang khalifah harus ma'sum. Karena kema'suman itu bukan merupakan sesuatu yang diharuskan untuk jabatan pemerintahan, melainkan hanya diharuskan untuk jabatan (status) kenabian dan kerasulan. Khalifah hanyalah seorang penguasa (hakim), bukan yang lain. Sehingga tidak ada syarat 'ishmah bagi orang yang akan menduduki jabatan khilafah, bahkan tidak boleh mensyaratkan kema'suman tersebut bagi orang yang akan menduduki jabatan khilafah. Sebab, kema'suman itu khusus bagi para nabi dan bukan untuk selain mereka. Karena kema'suman tersebut merupakan tuntutan yang diharuskan untuk nabi dan rasul dalam menyampaikan risalah. Dan itulah kema'suman dalam bertabligh.
Adanya kema'suman dalam tabligh itu bisa menghindarkan mereka dari perbuatan-perbuatan haram, hal itu karena merupakan konsekuensi dari kewajiban bertabligh. Sebab kema'suman dalam tabligh itu jelas tidak akan sempurna kecuali dengan adanya kema'suman dari perbuatan-perbuatan haram. Jadi, yang menentukan ma'sum tidaknya, adalah menyampaikan (tabligh) risalah, bukan karena agar dibenarkan orang-orang atau tidak. Juga bukan karena salah atau tidak dalam melaksanakan perbuatan, tetapi yang menentukan hanyalah menyampaikan (tabligh) risalah bukan yang lain.
Karena kalau seandainya tidak ada kema'suman dari Allah, niscaya para nabi dan rasul itu akan menyimpang dari risalah, menambah, mengurangi, atau berdusta atas nama Allah dalam masalah yang sebenarnya tidak disampaikan oleh Allah, atau bahkan salah sehingga mereka menyampaikan sesuatu yang justru bertentangan dengan apa yang harus mereka sampaikan.
Semuanya ini jelas membawa cacat bagi risalah dari Allah, bahkan menciderai kelayakan orang yang membawanya sebagai seorang rasul, yang jelas-jelas wajib dibenarkan. Oleh karena itu, rasul tersebut harus memiliki sifat ma'sum dalam menyampaikan risalah, begitu pula ma'sum dari perbuatan-perbuatan haram. Karena itulah, para ulama' berbeda pendapat dalam masalah kema'suman para nabi dari perbuatan-perbuatan haram. Di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa mereka hanya ma'sum dari perbuatan-perbuatan yang membawa konsekuensi dosa besar, karena itu mungkin saja mereka melaksanakan dosa-dosa kecil. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa mereka ma'sum dari perbuatan-perbuatan dosa besar dan dosa kecil. Mereka menyatakan demikian itu karena berpijak kepada perbuatan-perbuatan mana yang membawa konsekuensi sempurna atau tidaknya penyampaian risalah itu. Kalau suatu perbuatan membawa konsekuensi tidak sempurnanya tabligh, maka kema'suman dalam tabligh itu meliputi perbuatan tersebut, sehingga nabi pasti ma'sum dari perbuatan tersebut, karena tabligh tidak akan sempurna kecuali dengan kema'sumannya dalam masalah tersebut. Namun, kalau suatu perbuatan tidak membawa konsekuensi sempurnanya tabligh, maka kema'suman tidak meliputi perbuatan tersebut, sehingga nabi tidak ma'sum dari perbuatan tersebut, sebab tanpa adanya kema'suman pun tabligh tetap akan sempurna.
Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin tidak berbeda pendapat bahwa Rasulullullah tidak ma'sum dari perbuatan-perbuatan yang merupakan khilaful aula, karena perbuatan-perbuatan tersebut secara pasti tidak membawa konsekuensi bagi kesempurnaan tabligh. Karena itu, kema'suman hanya khusus untuk tabligh dan kema'suman tersebut hanya berlaku untuk para nabi dan rasul. Bagi selain nabi dan rasul kema'suman tersebut sama sekali tidak berlaku.
Hanya saja, dalil yang menjelaskan tentang kema'suman tersebut adalah dalil 'aqli, bukan dalil naqli. Karena kema'suman tersebut sama sekali tidak ada dalilnya di dalam nash-nash syara' --baik di dalam Al Qur'an maupun As Sunnah-- satu nash pun yang menjelaskan adanya kema'suman untuk seseorang, baik untuk para nabi, rasul maupun yang lain. Maka, akallah yang sebenarnya menentukan kema'suman tersebut ada dalam tabligh para nabi dan rasul, karena adanya seseorang sebagai nabi dan rasul mengharuskan adanya kema'suman tersebut. Sebab kalau tidak, tentu dia bukan seorang nabi dan bukan rasul.
Akallah yang juga telah menentukan bahwa selain orang yang ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah, tidak boleh ma'sum. Karena dia adalah orang biasa, dimana fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT. adalah mungkin melakukan kesalahan dan kelupaan; disamping dia tidak ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang menuntut adanya kema'suman itu. Kalau ada orang yang mengkleim dirinya ma'sum, itu artinya dia mengkleim dirinya ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah dan ini jelas tidak boleh. Karena tidak ada nabi setelah Muhammad saw. Allah berfirman:
".. tetapi dia adalah utusan Allah dan penghujung para Nabi." (Q.S. Al Ahzab: 40)
Karena itu, kalau ada kleim bahwa seseorang ma'sum berarti dia juga mengkleim dirinya sebagai rasul. Sebab kalau seorang rasul itu merupakan penyampai risalah dari Allah, dimana dia juga memiliki sifat-sifat sebagai manusia yang mungkin berbuat salah dan tersesat dalam menyampaikan risalah dari Allah, maka agar risalah Allah tersebut terjaga dari upaya untuk mengganti dan merubah ketika disampaikan, konsekuensinya rasul tersebut haruslah ma'sum dari kesalahan dan kesesatan.
Hanya inilah satu-satunya yang menyebabkan bahwa kema'suman adalah salah satu sifat rasul. Dan hanya rasul-lah yang dituntut agar ma'sum. Kalau kemudian kema'suman tersebut telah dikleim oleh seseorang --dimana yang menentukan kema'suman itu hanyalah tabligh (penyampaian) risalah dari Allah-- maka kleim untuk selain rasul itu mengharuskan kema'suman dan sebab-sebabnya sekaligus, yaitu menyampaikan risalah. Sehingga kleim itu juga merupakan kleim bahwa orang tersebut merupakan orang yang ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah. Karena itulah, tidak boleh disyaratkan bagi seorang khalifah agar dia ma'sum. Sebab mensyaratkan khalifah harus ma'sum sama saja dengan mengkleim bahwa khalifah adalah orang yang ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah. Sehingga dia harus ma'sum dan ini jelas tidak diperbolehkan.
Dari sinilah nampak jelas, bahwa khalifah adalah manusia biasa yang boleh jadi berbuat salah dan benar, dimana dia juga bisa saja mengalami sebagaimana yang dialami oleh manusia-manusia yang lain. Baik mengalami kelupaan, dusta, khianat serta maksiat dan perbuatan-perbuatan lainnya. Karena dia hanya manusia biasa, bukan nabi dan rasul. Karena itu, Rasulullah saw. memberitahukan bahwa seorang imam mungkin saja berbuat salah, seperti ketika beliau memberitahukan bahwa seorang imam mungkin saja melakukan perbuatan yang dibenci serta dilaknat oleh manusia, baik karena dia berbuat dzalim, maksiat dan yang lainnya. Bahkan, beliau memberitahukan bahwa seorang imam mungkin saja melakukan kekufuran yang nyata.
Diriwayatkan dalam kitab Imam Muslim yang menyatakan: Aku diberitahu oleh Zuheir Bin Harb: Kami diberitahu oleh Sababah: Kami diberitahu oleh Warqa' dari Abi Zanad, dari Al A'raj, dari Abi Hurairah, dari Nabi saw. yang bersabda:
"Sesungguhnya seorang imam itu adalah laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung (bagi dirinya). Apabila dia memerintah berbuat takwa kepada Allah, maka dia akan memperoleh pahala. Dan apabila dia memerintah untuk tidak bertakwa, maka dia akan memperoleh bagian (dosa) yang dia perintahkan."
Ini berarti, bahwa seorang imam tidak ma'shum, dan mungkin saja dia memerintah untuk berbuat selain bertakwa kepada Allah.
Diriwayatkan dalam kitab Imam Muslim yang menyatakan: Kami diberitahu oleh Utsman Bin Abi Syaibah: Kami diberitahu oleh Jarir dari Al A'masy, dari Zaid Bin Wahab, dari Abdullah yang mengatakan: Rasulullah saw. bersabda:
"Bahwa (setelah masaku) akan datang suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap munkar." Mereka (para sahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada salah seorang di antara kami yang menjumpainya?" Beliau menjawab: "Kalian tunaikan hak yang wajib kalian berikan. Dan mintalah kepada Allah hak yang menjadi milik kalian."
Diriwayatkan dakan kitab Imam Muslim yang menyatakan: Kami diberitahu oleh Ishaq Bin Ibrahim Al Handhali: Kami diberitahu oleh Isa Bin Yunus: Kami diberitahu oleh Al Auza'i dari Zaid Bin Yazid dari Jabir, dari Zariq Bin Hayyan, dari Muslim Bin Qurthah, dari Auf Bin Malik, dari Rasulullah saw. yang bersabda:
"Sebaik-baik pemimpin kalian, ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalian pun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian." Ditanyakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian. Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci pada para pemimpin kalian, maka bencilah perbuatannya saja, dan jangan sekali-kali melepaskan tangan dari keta'atan kepadanya."
Diriwayatkan dalam kitab Imam Bukhari yang menyatakan: Kami diberitahu oleh Isma'il: Kami diberitahu oleh Ibnu Wahab dari Amru Bin Bukair dari Busri Bin Sa'id, dari Junadah Bin Abi Umayah yang berkata:
"Kami pernah berkunjung ke rumah Ubadah bin Shamit yang waktu itu sedang sakit. Kami berkata: "Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang anda dengar dari Nabi saw. --semoga Allah SWT. memberikan manfaat ilmu kepadamu-- Lalu dia berkata: "Nabi saw. mengajak kami (untuk membai'atnya), lalu kami pun membai'at beliau. Kemudian beliau mengajarkan kepada kami, bagaimana kami harus membai'at. Lalu kami membai'at beliau untuk mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun tidak kami senangi, baik dalam keadaan yang sulit ataupun lapang, serta dalam hal tidak mendahulukan urusan kami; juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda beliau): 'Kalau kalian melihat kekufuran secara terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah'."Diriwayatkan dari Aisyah yang berkata: Rasulullah saw. bersabda:
"Luruskanlah hukuman-hukuman --yang dijatuhkan-- kepada kaum muslimin semampu kalian. Apabila ada peluang hal itu terjadi, maka segera tutuplah jalannya. Karena apabila seorang imam salah dalam mengampuni (terdakwah) itu sebenarnya lebih baik dari pada salah dalam menghukum."
Hadits-hadits di atas tegas-tegas menyatakan, bahwa seorang imam mungkin saja salah atau lupa ataupun berbuat maksiat. Sekalipun demikian, Rasulullah saw. tetap memerintahkan agar senantiasa tetap mentaatinya, selama masih menerapkan Islam serta tidak nampak melakukan kekafiran yang nyata, juga selama dia tidak memerintahkan berbuat kemaksiatan.
Setelah adanya ikhbar (pemberitahuan) Rasulullah saw. tentang para khalifah itu, bahwa akan ada para khalifah dimana di antara mereka ada yang melakukan perbuatan yang dinilai munkar oleh kaum muslimin, sementara beliau memerintahkan agar senantiasa mentaati mereka; apakah setelah adanya ikhbar tersebut, masih ada yang mengatakan bahwa khalifah harus ma'sum, termasuk ketidakmungkinanya melakukan sesuatu yang bisa jadi dilakukan oleh manusia yang lain? Karena itu, negara khilafah jelas merupakan negara manusia --yang dipimpin oleh manusia serta memerintah manusia biasa-- bukan negara theokrasi --dimana penguasanya adalah wakil tuhan yang tidak pernah salah.
Khilafah kadang disebut Imamam atau Imaratul Mukminin. Ia merupakan jabatan di dunia dan bukan jabatan di akhirat. Dimana khilafah itu ada dalam rangka menerapkan agama Islam kepada seluruh manusia, serta menyebarkannya di tengah-tengah mereka. Yang pasti, khilafah bukan merupakan nubuwat (status kenabian), sebab status kenabian dan kerasulan merupakan jabatan dimana para nabi dan rasul --yang memiliki status tersebut-- memperoleh syari'at dari Allah melalui perantara wahyu agar disampaikan kepada manusia, dengan tanpa memandang bagaimana syari'at tersebut diterapkan. Allah SWT. berfirman:
"Dan tidak lain kewajiban rasul itu, melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (Q.S. An Nur: 54)
"Maka, kewajiban kamu hanya menyampaikan (ayat-ayat Allah)." (Q.S. Ali Imran: 20)
"Kewajiban rasul tidak lain hanyalah menyampaikan." (Q.S. Al Maidah: 99)
Ini tentu berbeda dengan khilafah, kalau adanya khilafah justru untuk menerapkan syari'at Allah kepada seluruh manusia. Seorang nabi dan rasul hingga bisa disebut sebagai nabi dan rasul tidak harus menerapkan apa yang telah diwahyukan kepadanya hingga bisa disebut rasul, melainkan syaratnya agar seseorang bisa disebut nabi dan rasul hanyalah diberi syari'at oleh Allah dimana dia diperintahkan untuk menyampaikannya. Oleh karena itu, Musa, Isa dan Ibrahim adalah nabi dan rasul, bukan seorang penguasa. Dimana mereka (dengan status kenabian dan kerasulannya) itu tidak (dituntut) melakukan penerapan syari'at yang mereka bawa (karena mereka hanya dituntut menyampaikan saja).
Karena itu, jabatan nubuwah dan risalah berbeda dengan jabatan khilafah. Sebab, nubuwah merupakan jabatan ilahiyah yang diberikan Tuhan, kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sedangkan khilafah merupakan jabatan basyariyah (jabatan yang diberikan oleh manusia), dimana kaum muslimin bisa membai'at siapa saja yang mereka kehendaki. Mereka juga bisa mengangkat siapa saja yang mereka kehendaki dari kalangan kaum muslimin untuk menjadi khalifah atas diri mereka. Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul sekaligus hakim (penguasa) yang menerapkan syari'at yang beliau bawa. Beliau, bukan hanya menduduki jabatan kenabian dan kerasulan, tetapi pada saat yang sama sekaligus menduduki jabatan kepemimpinan kaum muslimin dalam menegakkan hukum-hukum Islam. Beliau telah diperintahkan oleh Allah untuk menerapkan hukum, seperti ketika beliau diperintah untuk menyampaikan risalah. Firman Allah SWT.:
"Dan hendaknya kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu." (Q.S. An Nisa': 105)
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu." (Q.S. Al Maidah: 67)"Dan Al Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya)." (Q.S. Al An'am: 19)
"Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan." (Q.S. Al Mudatsir: 1-2)
Hanya saja, ketika beliau memimpin untuk menyampaikan risalah, kadang beliau menyampaikannya secara lesan. Seperti ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT.:
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Q.S. Al Baqarah: 275)
Atau kadangkala beliau menyampaikannya secara amali (dalam bentuk perbuatan nyata). Seperti ketika beliau melakukan perjanjian Hudaibiyah. Jadi, beliau harus menyampaikan dan memerintahkan untuk melaksanakannya secara tegas, dimana untuk melaksanakannya, beliau tidak akan meminta pertimbangan, bahkan beliau akan menolak setiap pendapat ketika pendapat itu diberikan, selain apa yang telah disampaikan oleh wahyu. Kalau beliau ditanya tentang hukum tertentu yang belum pernah diturunkan oleh wahyu, beliau diam dan tidak menjawab sampai ada wahyu turun. Namun, ketika beliau memimpin untuk melaksanakan hukum-hukum yang telah diturunkan dan harus disampaikan kepada orang lain, maka beliau selalu meminta masukan serta akan melaksanakan suara mayoritas, sekalipun hal itu bertentangan dengan pendapat beliau sendiri. Beliau tidak pernah memastikan bahwa apa yang diputuskan itu sesuai dengan kejadiannya, namun hanya menyatakan, bahwa hal itu sesuai dengan hujah-hujah yang beliau dengarkan. Ketika surat Bara'ah diturunkan kepada beliau, beliau meminta Ali Bin Abi Thalib untuk menemui Abu Bakar, lalu beliau memintanya agar mengumandangkan surat Bara'ah tersebut kepada semua orang, supaya bisa tersampaikan kepada mereka pada saat musim haji. Maka, Abu Bakar membacakannya ketika berada di Arafah, lalu berkeliling kepada mereka hingga tersampaikan kepada mereka semua.
Ketika beliau mengadakan perjanjian Hudaibiyah, beliau menolak semua pendapat sahabat dan memaksa mereka agar mengikuti pendapat beliau karena itu merupakan wahyu.
Dan ketika beliau ditanya Jabir, bagaimana aku harus memutuskan hartaku ini? Beliau tidak menjawabnya hingga turunnya wahyu yang menjelaskan hukum tentang harta itu. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnul Munkadir yang berkata: Aku mendengar Jabir Bin Abdullah berkata: Aku dalam keadaan sakit, kemudian Rasulullah saw. datang untuk menjengukku bersama Abu Bakar dan mereka berdua jalan kaki. Beliau mendatangiku ketika aku sedang tidak sadarkan diri. Lalu beliau berwudlu kemudian wudlu beliau itu dialirkan kepadaku, hingga aku sadarkan diri. Aku lalu bertanya kepada Rasulullah --dimana pertanyaan itu juga pernah ditanyakan Shafyan-- : "Wahai Rasulullah, bagaimana aku harus memutuskan urusan hartaku? Bagaimana aku harus memperlakukan hartaku?" Jabir bercerita: "Beliau tidak menjawab pertanyaanku sedikitpun hingga turunya ayat tentang waris."
Kenyataan ini berkaitan dengan melaksanakan tugas kenabian, kerasulan serta tabligh kepada orang, sedangkan dalam melaksanakan tugas pemerintahan beliau melakukan hal yang berbeda dengan cara-cara tersebut. Dalam perang Uhud, misalnya, beliau mengumpulkan semua kaum muslimin di masjid, lalu meminta masukan mereka apakah akan memerangi musuh di dalam Madinah atau keluar di luar Madinah? Maka, suara mayoritas menyatakan keluar di laur Madinah, sementara pendapat beliau sendiri tidak. Namun beliau melaksanakan suara mayoritas sehingga beliau keluar dan memerangi musuh di luar Madinah.
Begitu pula ketika beliau memutuskan perkara di tengah-tengah manusia, beliau memperingatkan mereka supaya tidak memutuskan dengan memakan hak orang lain untuk diri mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dari Umu Salamah dari Rasulullah saw. bahwa beliau mendengar ada orang mempersengketakan pintu biliknya. Beliau lalu keluar menghampiri mereka dan bersabda:
"Aku hanyalah manusia biasa, maka bisa saja aku mengalami sengketa, karena itu boleh jadi salah seorang di antara kalian lebih jelas (pemahamannya) ketimbang yang lain, sehingga dia mengira benar kemudian dia memutuskan hal-hal tersebut. Maka, siapa saja yang telah diputuskan lalu ada hak seorang muslim di situ, itu merupakan bagian dari api neraka. Silahkah, (apakah) dia akan mengambil atau meninggalkannya."
Beliau pernah bersabda kepada salah seorang sahabat:
"Siapa saja yang hartanya pernah aku ambil, inilah hartaku. Silahkan ambil. Dan siapa saja yang pernah punggungnya aku cambuk, inilah punggungku. Silahkan balas."
Begitu pula diriwayatkan, bahwa beliau bersabda:
"Aku sungguh ingin menghadap (bertemu) Allah Azza Wajalla, dan tidak ada satu orang pun yang akan menuntut kepadaku karena kedzaliman yang telah aku lakukan kepadanya, baik yang berhubungan dengan darah maupun harta."
Semua dalil tadi, menunjukkan bahwa beliau memegang dua jabatan, yaitu jabatan nubuwat war risalah dan kepemimpinan kaum muslimin di dunia untuk menegakkan syari'at Allah yang telah diwahyukan kepada beliau. Beliau telah melaksanakan masing-masing tugas sesuai dengan tuntutan masing-masing jabatan tersebut. Beliau juga melaksanakan masing-masing tugas tersebut yang berbeda dengan tugas-tugas yang lain.
Beliau pernah mengambil bai'at kepada orang-orang dalam urusan pemerintahan, dimana beliau mengambilnya baik dari para wanita maupun pria, dan tidak mengambilnya dari anak-anak kecil yang belum baligh. Semuanya itu menegaskan bahwa bai'at tersebut merupakan bai'at kepada pemerintahan bukan bai'at kepada urusan nubuwat.
Oleh karena itu, Allah SWT. tidak pernah mencela sedikit pun kepada beliau dalam hal menyampaikan risalah serta melaksanakan tugas-tugas untuk menjalankan risalah. Bahkan, Allah meminta beliau agar tidak bingung karena orang-orang tidak mau menerima ajakannya. Allah berfirman:
"Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka." (Q.S. Fatir: 8)
"Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (Q.S. An Nahl: 127)
"Kewajibanmu tidak lain adalah hanya menyampaikan (risalah)." (Q.S. Asy Syura: 48)
Namun, Allah justru mencela beliau ketika beliau melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, dalam hal-hal yang beliau kerjakan untuk mengerjakan hukum-hukum yang telah diturunkan dan disampaikan kepada beliau sebelumnya. Beliau dicela oleh Allah, karena melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan khilaful aula (masalah pilihan antara yang baik dengan yang terbaik). Allah SWT. berfirman:
"Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi." (Q.S. Al Anfal: 67)
"Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)." (Q.S. At Taubah: 43)
Semuanya ini jelas, bahwa jabatan kepemimpinan kaum muslimin dalam masalah pemerintahan berbeda dengan jabatan nubuwat. Dan jabatan khilafah merupakan jabatan di dunia bukan di akhirat. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, yang merupakan jabatan basyariyah, bukan jabatan ilahiyah. Karena ia merupakan jabatan pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah saw. bahkan beliau mewariskannya lalu mengharuskan agar jabatan itu digantikan oleh salah seorang kaum muslimin, dimana ia menggantikan Rasulullah saw. sebagai khalifah (pengganti) dalam masalah pemerintahannya, bukan menggantikan beliau dalam masalah kenabiannya. Maka, jabatan itu merupakan khilafah (jabatan pengganti) Rasul dalam memimpin kaum muslimin untuk menerapkan hukum-hukum Islam serta mengemban dakwah beliau dan bukan untuk menerima wahyu serta mendapatkan syari'at dari Allah.Sedangkan 'ishmah (kema'suman) Rasul saw. adalah sesuatu yang ada karena status beliau sebagai nabi, bukan karena beliau menjadi hakim (penguasa). Karena kema'suman merupakan salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh semua nabi dan rasul, tanpa memandang apakah kedudukan para rasul atau nabi itu menjadi penguasa yang memerintah seluruh manusia dengan syari'at mereka serta memberlakukan syari'at tersebut atas mereka, ataukah hanya sebatas tabligh (menyampaikan) saja, tanpa memimpin pemerintahan dengan syari'at mereka.
Oleh karena itu Nabi Musa, Isa dan Ibrahim adalah ma'shum, sebagaimana Nabi Muhammad saw. karena kema'suman tersebut berlaku bagi status nubuwat (kenabian) serta risalah (kerasulan) dan bukan bagi status hukm (pemerintahan). Maka, kalau Nabi saw. pada saat melaksanakan tugas-tugas beliau dalam urusan pemerintahan tidak pernah sama sekali melaksanakan perbuatan haram dan tidak pernah meninggalkan kewajiban, karena beliau memang ma'shum sebab status kenabian dan kerasulan beliau, bukan karena beliau menjadi penguasa. Dan apa saja yang beliau lakukan dalam urusan pemerintahan sebenarnya tidak mengharuskan beliau ma'shum, namun karena beliau menjadi nabi dan rasul maka secara pasti beliau ma'shum.
Karena itu, ketika beliau memimpin sebuah pemerintahan, adalah dalam kapasitas beliau sebagai manusia, yang memimpin manusia. Bahkan Al Qur'an juga menegaskan hal itu dengan jelas, dimana beliau adalah manusia biasa:
"Katakanlah (kepada mereka, hai Muhammad): "Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian." (Q.S. Al Kahfi: 110)
Lalu Allah menjelaskan bentuk perbedaan beliau dengan manusia yang lain dengan firman-Nya:
"yang diwahyukan kepadaku." (Q.S. Al Kahfi: 110)
Maka, bedanya adalah beliau diberi wahyu, yaitu dalam masalah kenabian beliau, sedangkan dalam masalah-masalah lain --selain dalam masalah kenabian-- beliau sama seperti manusia yang lain. Karena itu dalam masalah pemerintahan, beliau seperti manusia biasa. Sehingga siapa pun yang menjadi khalifah (pengganti) beliau pasti ia adalah manusia biasa seperti manusia-manusia yang lain, karena ia hanya menggantikan beliau dalam masalah pemerintahan, bukan dalam masalah kenabian dan kerasulan.
Oleh karena itu, tidak ada syarat bagi seorang khalifah harus ma'sum. Karena kema'suman itu bukan merupakan sesuatu yang diharuskan untuk jabatan pemerintahan, melainkan hanya diharuskan untuk jabatan (status) kenabian dan kerasulan. Khalifah hanyalah seorang penguasa (hakim), bukan yang lain. Sehingga tidak ada syarat 'ishmah bagi orang yang akan menduduki jabatan khilafah, bahkan tidak boleh mensyaratkan kema'suman tersebut bagi orang yang akan menduduki jabatan khilafah. Sebab, kema'suman itu khusus bagi para nabi dan bukan untuk selain mereka. Karena kema'suman tersebut merupakan tuntutan yang diharuskan untuk nabi dan rasul dalam menyampaikan risalah. Dan itulah kema'suman dalam bertabligh.
Adanya kema'suman dalam tabligh itu bisa menghindarkan mereka dari perbuatan-perbuatan haram, hal itu karena merupakan konsekuensi dari kewajiban bertabligh. Sebab kema'suman dalam tabligh itu jelas tidak akan sempurna kecuali dengan adanya kema'suman dari perbuatan-perbuatan haram. Jadi, yang menentukan ma'sum tidaknya, adalah menyampaikan (tabligh) risalah, bukan karena agar dibenarkan orang-orang atau tidak. Juga bukan karena salah atau tidak dalam melaksanakan perbuatan, tetapi yang menentukan hanyalah menyampaikan (tabligh) risalah bukan yang lain.
Karena kalau seandainya tidak ada kema'suman dari Allah, niscaya para nabi dan rasul itu akan menyimpang dari risalah, menambah, mengurangi, atau berdusta atas nama Allah dalam masalah yang sebenarnya tidak disampaikan oleh Allah, atau bahkan salah sehingga mereka menyampaikan sesuatu yang justru bertentangan dengan apa yang harus mereka sampaikan.
Semuanya ini jelas membawa cacat bagi risalah dari Allah, bahkan menciderai kelayakan orang yang membawanya sebagai seorang rasul, yang jelas-jelas wajib dibenarkan. Oleh karena itu, rasul tersebut harus memiliki sifat ma'sum dalam menyampaikan risalah, begitu pula ma'sum dari perbuatan-perbuatan haram. Karena itulah, para ulama' berbeda pendapat dalam masalah kema'suman para nabi dari perbuatan-perbuatan haram. Di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa mereka hanya ma'sum dari perbuatan-perbuatan yang membawa konsekuensi dosa besar, karena itu mungkin saja mereka melaksanakan dosa-dosa kecil. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa mereka ma'sum dari perbuatan-perbuatan dosa besar dan dosa kecil. Mereka menyatakan demikian itu karena berpijak kepada perbuatan-perbuatan mana yang membawa konsekuensi sempurna atau tidaknya penyampaian risalah itu. Kalau suatu perbuatan membawa konsekuensi tidak sempurnanya tabligh, maka kema'suman dalam tabligh itu meliputi perbuatan tersebut, sehingga nabi pasti ma'sum dari perbuatan tersebut, karena tabligh tidak akan sempurna kecuali dengan kema'sumannya dalam masalah tersebut. Namun, kalau suatu perbuatan tidak membawa konsekuensi sempurnanya tabligh, maka kema'suman tidak meliputi perbuatan tersebut, sehingga nabi tidak ma'sum dari perbuatan tersebut, sebab tanpa adanya kema'suman pun tabligh tetap akan sempurna.
Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin tidak berbeda pendapat bahwa Rasulullullah tidak ma'sum dari perbuatan-perbuatan yang merupakan khilaful aula, karena perbuatan-perbuatan tersebut secara pasti tidak membawa konsekuensi bagi kesempurnaan tabligh. Karena itu, kema'suman hanya khusus untuk tabligh dan kema'suman tersebut hanya berlaku untuk para nabi dan rasul. Bagi selain nabi dan rasul kema'suman tersebut sama sekali tidak berlaku.
Hanya saja, dalil yang menjelaskan tentang kema'suman tersebut adalah dalil 'aqli, bukan dalil naqli. Karena kema'suman tersebut sama sekali tidak ada dalilnya di dalam nash-nash syara' --baik di dalam Al Qur'an maupun As Sunnah-- satu nash pun yang menjelaskan adanya kema'suman untuk seseorang, baik untuk para nabi, rasul maupun yang lain. Maka, akallah yang sebenarnya menentukan kema'suman tersebut ada dalam tabligh para nabi dan rasul, karena adanya seseorang sebagai nabi dan rasul mengharuskan adanya kema'suman tersebut. Sebab kalau tidak, tentu dia bukan seorang nabi dan bukan rasul.
Akallah yang juga telah menentukan bahwa selain orang yang ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah, tidak boleh ma'sum. Karena dia adalah orang biasa, dimana fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT. adalah mungkin melakukan kesalahan dan kelupaan; disamping dia tidak ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah, sehingga tidak ada sesuatu yang menuntut adanya kema'suman itu. Kalau ada orang yang mengkleim dirinya ma'sum, itu artinya dia mengkleim dirinya ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah dan ini jelas tidak boleh. Karena tidak ada nabi setelah Muhammad saw. Allah berfirman:
".. tetapi dia adalah utusan Allah dan penghujung para Nabi." (Q.S. Al Ahzab: 40)
Karena itu, kalau ada kleim bahwa seseorang ma'sum berarti dia juga mengkleim dirinya sebagai rasul. Sebab kalau seorang rasul itu merupakan penyampai risalah dari Allah, dimana dia juga memiliki sifat-sifat sebagai manusia yang mungkin berbuat salah dan tersesat dalam menyampaikan risalah dari Allah, maka agar risalah Allah tersebut terjaga dari upaya untuk mengganti dan merubah ketika disampaikan, konsekuensinya rasul tersebut haruslah ma'sum dari kesalahan dan kesesatan.
Hanya inilah satu-satunya yang menyebabkan bahwa kema'suman adalah salah satu sifat rasul. Dan hanya rasul-lah yang dituntut agar ma'sum. Kalau kemudian kema'suman tersebut telah dikleim oleh seseorang --dimana yang menentukan kema'suman itu hanyalah tabligh (penyampaian) risalah dari Allah-- maka kleim untuk selain rasul itu mengharuskan kema'suman dan sebab-sebabnya sekaligus, yaitu menyampaikan risalah. Sehingga kleim itu juga merupakan kleim bahwa orang tersebut merupakan orang yang ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah. Karena itulah, tidak boleh disyaratkan bagi seorang khalifah agar dia ma'sum. Sebab mensyaratkan khalifah harus ma'sum sama saja dengan mengkleim bahwa khalifah adalah orang yang ditugasi untuk menyampaikan risalah dari Allah. Sehingga dia harus ma'sum dan ini jelas tidak diperbolehkan.
Dari sinilah nampak jelas, bahwa khalifah adalah manusia biasa yang boleh jadi berbuat salah dan benar, dimana dia juga bisa saja mengalami sebagaimana yang dialami oleh manusia-manusia yang lain. Baik mengalami kelupaan, dusta, khianat serta maksiat dan perbuatan-perbuatan lainnya. Karena dia hanya manusia biasa, bukan nabi dan rasul. Karena itu, Rasulullah saw. memberitahukan bahwa seorang imam mungkin saja berbuat salah, seperti ketika beliau memberitahukan bahwa seorang imam mungkin saja melakukan perbuatan yang dibenci serta dilaknat oleh manusia, baik karena dia berbuat dzalim, maksiat dan yang lainnya. Bahkan, beliau memberitahukan bahwa seorang imam mungkin saja melakukan kekufuran yang nyata.
Diriwayatkan dalam kitab Imam Muslim yang menyatakan: Aku diberitahu oleh Zuheir Bin Harb: Kami diberitahu oleh Sababah: Kami diberitahu oleh Warqa' dari Abi Zanad, dari Al A'raj, dari Abi Hurairah, dari Nabi saw. yang bersabda:
"Sesungguhnya seorang imam itu adalah laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung (bagi dirinya). Apabila dia memerintah berbuat takwa kepada Allah, maka dia akan memperoleh pahala. Dan apabila dia memerintah untuk tidak bertakwa, maka dia akan memperoleh bagian (dosa) yang dia perintahkan."
Ini berarti, bahwa seorang imam tidak ma'shum, dan mungkin saja dia memerintah untuk berbuat selain bertakwa kepada Allah.
Diriwayatkan dalam kitab Imam Muslim yang menyatakan: Kami diberitahu oleh Utsman Bin Abi Syaibah: Kami diberitahu oleh Jarir dari Al A'masy, dari Zaid Bin Wahab, dari Abdullah yang mengatakan: Rasulullah saw. bersabda:
"Bahwa (setelah masaku) akan datang suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap munkar." Mereka (para sahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada salah seorang di antara kami yang menjumpainya?" Beliau menjawab: "Kalian tunaikan hak yang wajib kalian berikan. Dan mintalah kepada Allah hak yang menjadi milik kalian."
Diriwayatkan dakan kitab Imam Muslim yang menyatakan: Kami diberitahu oleh Ishaq Bin Ibrahim Al Handhali: Kami diberitahu oleh Isa Bin Yunus: Kami diberitahu oleh Al Auza'i dari Zaid Bin Yazid dari Jabir, dari Zariq Bin Hayyan, dari Muslim Bin Qurthah, dari Auf Bin Malik, dari Rasulullah saw. yang bersabda:
"Sebaik-baik pemimpin kalian, ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalian pun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian." Ditanyakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian. Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci pada para pemimpin kalian, maka bencilah perbuatannya saja, dan jangan sekali-kali melepaskan tangan dari keta'atan kepadanya."
Diriwayatkan dalam kitab Imam Bukhari yang menyatakan: Kami diberitahu oleh Isma'il: Kami diberitahu oleh Ibnu Wahab dari Amru Bin Bukair dari Busri Bin Sa'id, dari Junadah Bin Abi Umayah yang berkata:
"Kami pernah berkunjung ke rumah Ubadah bin Shamit yang waktu itu sedang sakit. Kami berkata: "Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang anda dengar dari Nabi saw. --semoga Allah SWT. memberikan manfaat ilmu kepadamu-- Lalu dia berkata: "Nabi saw. mengajak kami (untuk membai'atnya), lalu kami pun membai'at beliau. Kemudian beliau mengajarkan kepada kami, bagaimana kami harus membai'at. Lalu kami membai'at beliau untuk mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun tidak kami senangi, baik dalam keadaan yang sulit ataupun lapang, serta dalam hal tidak mendahulukan urusan kami; juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda beliau): 'Kalau kalian melihat kekufuran secara terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah'."Diriwayatkan dari Aisyah yang berkata: Rasulullah saw. bersabda:
"Luruskanlah hukuman-hukuman --yang dijatuhkan-- kepada kaum muslimin semampu kalian. Apabila ada peluang hal itu terjadi, maka segera tutuplah jalannya. Karena apabila seorang imam salah dalam mengampuni (terdakwah) itu sebenarnya lebih baik dari pada salah dalam menghukum."
Hadits-hadits di atas tegas-tegas menyatakan, bahwa seorang imam mungkin saja salah atau lupa ataupun berbuat maksiat. Sekalipun demikian, Rasulullah saw. tetap memerintahkan agar senantiasa tetap mentaatinya, selama masih menerapkan Islam serta tidak nampak melakukan kekafiran yang nyata, juga selama dia tidak memerintahkan berbuat kemaksiatan.
Setelah adanya ikhbar (pemberitahuan) Rasulullah saw. tentang para khalifah itu, bahwa akan ada para khalifah dimana di antara mereka ada yang melakukan perbuatan yang dinilai munkar oleh kaum muslimin, sementara beliau memerintahkan agar senantiasa mentaati mereka; apakah setelah adanya ikhbar tersebut, masih ada yang mengatakan bahwa khalifah harus ma'sum, termasuk ketidakmungkinanya melakukan sesuatu yang bisa jadi dilakukan oleh manusia yang lain? Karena itu, negara khilafah jelas merupakan negara manusia --yang dipimpin oleh manusia serta memerintah manusia biasa-- bukan negara theokrasi --dimana penguasanya adalah wakil tuhan yang tidak pernah salah.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» negara khilafah VS negara theokrasi
» kewajiban khilafah
» negara khilafah islamiyah
» [hambaTuhan][Ps. Dr. Anthony Chang Preacher]▒▓►Rancangan-Ku Bukan Rancanganmu, Jalanmu Bukan Jalan-Ku (Part 2)
» ijtihad bukan asal tajdid bukan pula tabdid
» kewajiban khilafah
» negara khilafah islamiyah
» [hambaTuhan][Ps. Dr. Anthony Chang Preacher]▒▓►Rancangan-Ku Bukan Rancanganmu, Jalanmu Bukan Jalan-Ku (Part 2)
» ijtihad bukan asal tajdid bukan pula tabdid
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik