nasib bangsa tukang ngutang
Halaman 1 dari 1 • Share
nasib bangsa tukang ngutang
Ada banyak teori politik tetapi konon intinya bermuara pada satu teori saja: "politik anjing". Dalam bahasa Arab, kaidah semacam ini tersimpul dalam mahfudhat: jawwi' kalbaka yatba'ka (kenyangilah anjingmu niscaya ia akan membeomu). Anjing yang kenyang akan selalu mengikuti titah si pemberi makan. Membangkang si pemberi makan bisa mengancam eksistensi hidup, kuasa, dan nafsu. Jika si pemberi makan berpendapat A, ia harus juga mengamininya. Kalaulah ternyata ia memiliki pendapat yang berbeda, ia harus berpikir seribu kali untuk berani menyatakan berbeda.
Terhadap Dunia Ketiga, Barat menerapkan politik anjing. Atau, istilah kerennya foreign aid. Tujuannya tiada lain adalah membuat ketergantungan. Ia muncul dalam kedok bantuan ekonomi, pemberian pinjaman utang luar negeri, konsultan ahli, pelatihan kemiliteran, dan kedok-kedok bantuan lain. Dengan ikatan bantuan, negara "pendonor" bermaksud mengendalikan kebijakan negara-negara penerimana donor, mendikte elit politiknya, menekan agar tidak memusuhi mereka, atau minimal tidak memiliki pendapat yang terlampaui jauh bersebarangan.
Itulah potret buram Indonesia Raya. Dunia maklum, Indonesia termasuk pengutang terbesar dunia. Indonesia bahkan sudah masuk pada dep trap (jebakan utang), hingga kucuran dana CGI, IMF, dan World Bank tidak lagi membawa dampak kesejahteraan, tetapi justru beban bagi APBN. Mereka bukanlah dewa penyelamat, tetapi dewa perangkap. Ibarat dokter, bukan obat yang mereka berikan, melainkan racun. Hal ini pun maklum di kalangan elite pemerintahan Indonesia. Tetapi apa mau dikata? Ketergantungan yang akut membuat bumi mereka serasa sempit.
Publik Indonesia belum lupa saat terjadi insiden Atambua yang menewaskan empat relawan UNHCR. Presiden World Bank bertingkah bak deplu AS, menggertak Indonesia dengan menghentikan kucuran dana. Ia berkata-kata yang memerahkan kuping Indonesia. Tetapi apa lacur, karena desakan kebutuhan, bagai bangsa yang tak bermartabat, Indonesia sudi bertemu dengan para "pendonor" di Kaigkhso Tokyo untuk mengemis ulang.
Kini ketika AS dan sekutunya melakukan aksi unilateral dalam membunuhi rakyat Irak, Indonesia kembali dihadapkan pada persoalan yang dilematis. Memenuhi usulan rakyat Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS berarti membakar "lumbung padi". Sementara, mengabaikan aspirasi rakyat berarti bunuh diri.
Tak pelak, orang sepintar wakil rakyat dan beberapa tokoh terkemuka merasa keberatan atas usulan LSM dan ormas-ormas untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS. Alasan mereka, hal itu tidak rasional, karena faktanya Indonesia yang membutuhkan AS dan bukan AS yang membutuhkan Indonesia.
Kasihan, sungguh kasihan wakil rakyat Indonesia. Ia lupa atau pura-pura lupa bahwa "bantuan" Barat adalah semu. Ia memberi solusi jangka pendek, tetapi meninggalkan segudang masalah yang berkait berkelindan. Mereka menyangka bantuan itu emas padahal imitasi. Mereka menyangka bantuan itu obat padahal racun berbahaya. Yang lebih naif, mereka merasa pemberi makan adalah AS dan sekutunya, bukan Allah Taala.
Yang lebih tidak waras tentu Bush. Sebenarnya dia mengerti bahwa kutukan pemerintah Indonesia terhadap agresi AS adalah lips service belaka untuk menenangkan rakyat Indonesia. Mengapa lips service? Untuk tingkat sebuah negara, terlalu ringan sikap penolakan aksi barbarian dengan sekadar mengutuk. Mau bersikap lebih dari itu? Tentu Indonesia berpikir sekian kali. Bush paham logika itu. Tetapi nafsu merasa menguasai membuat ia menekan Megawati untuk mencabut kutukannya terhadap AS. Bush seharusnya lebih PD bahwa kutukan Megawati hanya berhenti pada kutukan, belum bisa lebih dari itu, karena utangnya yang sangat banyak.
Akhirnya, potret Indonesia seperti dideskripsikan dalam preambul UUD 45 bahwa bangsa Indonesia telah sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan, alias belum memasuki gerbang kemerdekaan itu sendiri. Hingga kini Indonesia masih menjadi negeri jajahan Barat. Indonesia ibarat pecandu narkoba, memiliki ketergantungan tinggi terhadap obat yang enak sejenak tetapi membunuh pelan-pelan. Semestinya pemerintah mulai mengambil langkah berani dan tegas menolak segala bentuk bantuan yang membelenggu. Pemerintah harus mandiri. Pemerintah juga harus berani masuk klinik rehabilitasi dengan risiko tidak mengonsumsi "ganja" dan merasakan sakit demi proses penyembuhan. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi bangsa yang berdaulat, tidak membeo apalagi menjulur-julurkan lidah demi ilusi sesuap nasi.
Terhadap Dunia Ketiga, Barat menerapkan politik anjing. Atau, istilah kerennya foreign aid. Tujuannya tiada lain adalah membuat ketergantungan. Ia muncul dalam kedok bantuan ekonomi, pemberian pinjaman utang luar negeri, konsultan ahli, pelatihan kemiliteran, dan kedok-kedok bantuan lain. Dengan ikatan bantuan, negara "pendonor" bermaksud mengendalikan kebijakan negara-negara penerimana donor, mendikte elit politiknya, menekan agar tidak memusuhi mereka, atau minimal tidak memiliki pendapat yang terlampaui jauh bersebarangan.
Itulah potret buram Indonesia Raya. Dunia maklum, Indonesia termasuk pengutang terbesar dunia. Indonesia bahkan sudah masuk pada dep trap (jebakan utang), hingga kucuran dana CGI, IMF, dan World Bank tidak lagi membawa dampak kesejahteraan, tetapi justru beban bagi APBN. Mereka bukanlah dewa penyelamat, tetapi dewa perangkap. Ibarat dokter, bukan obat yang mereka berikan, melainkan racun. Hal ini pun maklum di kalangan elite pemerintahan Indonesia. Tetapi apa mau dikata? Ketergantungan yang akut membuat bumi mereka serasa sempit.
Publik Indonesia belum lupa saat terjadi insiden Atambua yang menewaskan empat relawan UNHCR. Presiden World Bank bertingkah bak deplu AS, menggertak Indonesia dengan menghentikan kucuran dana. Ia berkata-kata yang memerahkan kuping Indonesia. Tetapi apa lacur, karena desakan kebutuhan, bagai bangsa yang tak bermartabat, Indonesia sudi bertemu dengan para "pendonor" di Kaigkhso Tokyo untuk mengemis ulang.
Kini ketika AS dan sekutunya melakukan aksi unilateral dalam membunuhi rakyat Irak, Indonesia kembali dihadapkan pada persoalan yang dilematis. Memenuhi usulan rakyat Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS berarti membakar "lumbung padi". Sementara, mengabaikan aspirasi rakyat berarti bunuh diri.
Tak pelak, orang sepintar wakil rakyat dan beberapa tokoh terkemuka merasa keberatan atas usulan LSM dan ormas-ormas untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS. Alasan mereka, hal itu tidak rasional, karena faktanya Indonesia yang membutuhkan AS dan bukan AS yang membutuhkan Indonesia.
Kasihan, sungguh kasihan wakil rakyat Indonesia. Ia lupa atau pura-pura lupa bahwa "bantuan" Barat adalah semu. Ia memberi solusi jangka pendek, tetapi meninggalkan segudang masalah yang berkait berkelindan. Mereka menyangka bantuan itu emas padahal imitasi. Mereka menyangka bantuan itu obat padahal racun berbahaya. Yang lebih naif, mereka merasa pemberi makan adalah AS dan sekutunya, bukan Allah Taala.
Yang lebih tidak waras tentu Bush. Sebenarnya dia mengerti bahwa kutukan pemerintah Indonesia terhadap agresi AS adalah lips service belaka untuk menenangkan rakyat Indonesia. Mengapa lips service? Untuk tingkat sebuah negara, terlalu ringan sikap penolakan aksi barbarian dengan sekadar mengutuk. Mau bersikap lebih dari itu? Tentu Indonesia berpikir sekian kali. Bush paham logika itu. Tetapi nafsu merasa menguasai membuat ia menekan Megawati untuk mencabut kutukannya terhadap AS. Bush seharusnya lebih PD bahwa kutukan Megawati hanya berhenti pada kutukan, belum bisa lebih dari itu, karena utangnya yang sangat banyak.
Akhirnya, potret Indonesia seperti dideskripsikan dalam preambul UUD 45 bahwa bangsa Indonesia telah sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan, alias belum memasuki gerbang kemerdekaan itu sendiri. Hingga kini Indonesia masih menjadi negeri jajahan Barat. Indonesia ibarat pecandu narkoba, memiliki ketergantungan tinggi terhadap obat yang enak sejenak tetapi membunuh pelan-pelan. Semestinya pemerintah mulai mengambil langkah berani dan tegas menolak segala bentuk bantuan yang membelenggu. Pemerintah harus mandiri. Pemerintah juga harus berani masuk klinik rehabilitasi dengan risiko tidak mengonsumsi "ganja" dan merasakan sakit demi proses penyembuhan. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi bangsa yang berdaulat, tidak membeo apalagi menjulur-julurkan lidah demi ilusi sesuap nasi.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Dampak Demokrasi, Maka Umat Terpecah, Kecil, Lemah, Berkelompok dan Rapuh
» Bolehkah meyakini Bangsa Israel lebih tinggi dibanding bangsa lain? Bolehkah meyakini sudra adalah manusia dengan kasta terendah
» Cara Mengatur Gaji Bulanan 600rb, Tanpa Ngutang dan Kasbon - Tung Desem Waringin
» berbeda tapi tetap satu, berbeda agama tapi satu bangsa, Bangsa Indonesia.
» Nasib umat kristen
» Bolehkah meyakini Bangsa Israel lebih tinggi dibanding bangsa lain? Bolehkah meyakini sudra adalah manusia dengan kasta terendah
» Cara Mengatur Gaji Bulanan 600rb, Tanpa Ngutang dan Kasbon - Tung Desem Waringin
» berbeda tapi tetap satu, berbeda agama tapi satu bangsa, Bangsa Indonesia.
» Nasib umat kristen
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik