selamat datang bang haji
Halaman 1 dari 1 • Share
selamat datang bang haji
Selamat datang Pak Haji! Akhirnya, 205 ribu jemaah haji Indonesia tahun ini berduyun-duyun kembali ke tanah air. Bagi bangsa Indonesia, dapat melaksanakan haji adalah sebentuk "kemewahan", tidak sembarang orang mampu menunaikannya. Juga di Indonesia, naik haji bukan sekadar menunaikan kewajiban ibadah, melainkan juga menjadi semacam kebanggaan sosial. Menjadi pak haji atau hajah mengandung kehormatan sekaligus pengakuan status sosial. Bahkan, di Indonesia Timur seorang anak yang ayahnya telah berhaji ikut kecipratan berkahnya. "Haji" tidak hanya dianugerahkan kepada si pelaku, anaknya juga. Kalau ada tambahan "Hi" pada akhir nama, artinya bapaknya telah melakukan haji. Misalnya, Kasman Hi, alias Kasman anaknya Haji anu, meskipun Kasman sendiri belum melakukan haji.
Dapat menunaikan ibadah haji tentu menjadi idaman setiap muslim, karena ia adalah pondasi Islam kelima. Haji diwajibkan bagi yang mampu. Termasuk dosa besar jika meninggalkan ibadah haji padahal mampu. Suatu ketika Umar bin Khattab sampai berkata, "Sungguh, aku pernah berkeinginan untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri untuk melihat siapa saja yang sehat dan memiliki bekal tetapi tidak melaksanakan haji agar diminta jizyahnya, serta mengganggap mereka sebagai nonmuslim." (Adz-Dzahabi, Al-Kaba'ir).
Haji sarat dengan nilai pendidikan. Pakaian kebesaran yang mencerminkan kelas sosial atas dasar ras, pangkat, harta, suku harus dicopot, digantikan pakaian ihram yang sederhana, tanpa membedakan antara kaya dan miskin; juragan dan buruh; aristokrat dan jelata; penguasa dan rakyat. Semua lebur dalam kesamaan dan kebersamaan. "Kita" dan bukan "aku". Dari sini terdapat pelajaran untuk meredam kesombongan, gila harta, gila pangkat, gila hormat, bahkan gila menindas sesama. Haji juga melatih untuk meredam birahi, amarah, dan berkata keji. "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk menunaikan ibadah haji, maka tidak boleh berhubungan suami istri, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji...." (Al-Baqarah: 197).
Ada amalan sa'i: berlari kecil tujuh kali antara Bukit Safa dan Marwa. Sa'i memiliki nilai sejarah tinggi yang perlu dikenang dan diteladani. Adalah kecintaan keluarga Ibrahim a.s. terhadap Allah yang unlimited, menjadikan mereka rela berkorban apa saja. Berhijrah ke tanah tak bertuan: Mekah. Meninggalkan kemapanan, pekerjaan, sanak keluarga, dan handai taulan, bahkan rela berkorban dengan nyawa: Ismail. Sayang, banyak yang "salah penerapan" memaknai arti pengorbanan ini. Tidak sedikit, para pejabat misalnya, dalam memaknai pengorbanan haji justru dengan mengorbankan uang rakyat untuk ongkos ke tanah suci, dan bukan berkorban atas milik sendiri.
Dalam amalan haji, ada rangkaian melempar jumrah (kerikil): ula, wustha, dan uqba. Sasaran lemparnya adalah s*t*n, melambangkan sikap permusuhan terhadap sang penjerumus manusia. Tentu s*t*n tidak hanya di Arab ketika haji saja. Konfrontasi terpenting terhadap s*t*n justru dalam kehidupan keseharian, yang dengan gencarnya s*t*n selalu merangsang setiap anak Adam untuk bermaksiat dan berbuat mungkar. Ia menggoda melalui aliran darah, mengikuti detak jantung, dan menyertai setiap tarikan dan hembusan nafas manusia.
Dari sini, tidak berlebihan rasanya jika kita berharap dengan ratusan ribu atribut baru haji setiap tahun akan lahir suasana kehidupan yang lebih baik. Kemungkaran, kesombongan, keangkuhan menjadi berkurang. Bejibun artis sepulang haji akan berhenti mengumbar aurat di media massa. Para pejabat berhenti korupsi dan menindas rakyat. Kaum dhuafa tak takut kelaparan karena uluran tangan si kaya. Juragan tak lagi semena-mena terhadap buruh, dan seterusnya.
Namun, sampai sekarang, sejauh mana ibadah haji yang telah dilakukan membekas dalam hati si pelaku dan berpengaruh pada perilaku kesehariannya? Inilah pertanyaan yang menggelayut di benak banyak orang. Bertambahnya atribut "haji" setiap tahun dirasa belum memberi pengaruh positif yang signifikan bagi perubahan mayarakat kepada yang lebih baik, baik dalam konteks pribadi maupun komunal. Semoga ibadah bapak-bapak dan ibu-ibu tergolong haji mabrur, yang mampu menangkap, menghayati, dan merefleksikan nilai-nilai haji dalam keseharian, dan tidak terjebak pada atribut "H" yang bisa merusak keikhlasan.
Dapat menunaikan ibadah haji tentu menjadi idaman setiap muslim, karena ia adalah pondasi Islam kelima. Haji diwajibkan bagi yang mampu. Termasuk dosa besar jika meninggalkan ibadah haji padahal mampu. Suatu ketika Umar bin Khattab sampai berkata, "Sungguh, aku pernah berkeinginan untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri untuk melihat siapa saja yang sehat dan memiliki bekal tetapi tidak melaksanakan haji agar diminta jizyahnya, serta mengganggap mereka sebagai nonmuslim." (Adz-Dzahabi, Al-Kaba'ir).
Haji sarat dengan nilai pendidikan. Pakaian kebesaran yang mencerminkan kelas sosial atas dasar ras, pangkat, harta, suku harus dicopot, digantikan pakaian ihram yang sederhana, tanpa membedakan antara kaya dan miskin; juragan dan buruh; aristokrat dan jelata; penguasa dan rakyat. Semua lebur dalam kesamaan dan kebersamaan. "Kita" dan bukan "aku". Dari sini terdapat pelajaran untuk meredam kesombongan, gila harta, gila pangkat, gila hormat, bahkan gila menindas sesama. Haji juga melatih untuk meredam birahi, amarah, dan berkata keji. "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk menunaikan ibadah haji, maka tidak boleh berhubungan suami istri, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji...." (Al-Baqarah: 197).
Ada amalan sa'i: berlari kecil tujuh kali antara Bukit Safa dan Marwa. Sa'i memiliki nilai sejarah tinggi yang perlu dikenang dan diteladani. Adalah kecintaan keluarga Ibrahim a.s. terhadap Allah yang unlimited, menjadikan mereka rela berkorban apa saja. Berhijrah ke tanah tak bertuan: Mekah. Meninggalkan kemapanan, pekerjaan, sanak keluarga, dan handai taulan, bahkan rela berkorban dengan nyawa: Ismail. Sayang, banyak yang "salah penerapan" memaknai arti pengorbanan ini. Tidak sedikit, para pejabat misalnya, dalam memaknai pengorbanan haji justru dengan mengorbankan uang rakyat untuk ongkos ke tanah suci, dan bukan berkorban atas milik sendiri.
Dalam amalan haji, ada rangkaian melempar jumrah (kerikil): ula, wustha, dan uqba. Sasaran lemparnya adalah s*t*n, melambangkan sikap permusuhan terhadap sang penjerumus manusia. Tentu s*t*n tidak hanya di Arab ketika haji saja. Konfrontasi terpenting terhadap s*t*n justru dalam kehidupan keseharian, yang dengan gencarnya s*t*n selalu merangsang setiap anak Adam untuk bermaksiat dan berbuat mungkar. Ia menggoda melalui aliran darah, mengikuti detak jantung, dan menyertai setiap tarikan dan hembusan nafas manusia.
Dari sini, tidak berlebihan rasanya jika kita berharap dengan ratusan ribu atribut baru haji setiap tahun akan lahir suasana kehidupan yang lebih baik. Kemungkaran, kesombongan, keangkuhan menjadi berkurang. Bejibun artis sepulang haji akan berhenti mengumbar aurat di media massa. Para pejabat berhenti korupsi dan menindas rakyat. Kaum dhuafa tak takut kelaparan karena uluran tangan si kaya. Juragan tak lagi semena-mena terhadap buruh, dan seterusnya.
Namun, sampai sekarang, sejauh mana ibadah haji yang telah dilakukan membekas dalam hati si pelaku dan berpengaruh pada perilaku kesehariannya? Inilah pertanyaan yang menggelayut di benak banyak orang. Bertambahnya atribut "haji" setiap tahun dirasa belum memberi pengaruh positif yang signifikan bagi perubahan mayarakat kepada yang lebih baik, baik dalam konteks pribadi maupun komunal. Semoga ibadah bapak-bapak dan ibu-ibu tergolong haji mabrur, yang mampu menangkap, menghayati, dan merefleksikan nilai-nilai haji dalam keseharian, dan tidak terjebak pada atribut "H" yang bisa merusak keikhlasan.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: selamat datang bang haji
yang mati > 200 orang
yang berhutang ke bank dan kehilangan pekarangan juga tak terhitung
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Similar topics
» selamat datang pantheisme, hegelianisme dan gnotisisme
» [india] Tu Meri Full Video | BANG BANG! | Hrithik Roshan & Katrina Kaif | Vishal Shekhar | Dance Party Song
» [beauty imut][lagi main mobile legend, ha] Mobile Legends : Bang Bang
» Mengenang Musibah haji
» Rumah Ditinggal Pergi ke Gereja, Nasib Jadi Apes
» [india] Tu Meri Full Video | BANG BANG! | Hrithik Roshan & Katrina Kaif | Vishal Shekhar | Dance Party Song
» [beauty imut][lagi main mobile legend, ha] Mobile Legends : Bang Bang
» Mengenang Musibah haji
» Rumah Ditinggal Pergi ke Gereja, Nasib Jadi Apes
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik