mengembalikan jati diri ulama
Halaman 1 dari 1 • Share
mengembalikan jati diri ulama
Pertemuan para ulama dalam rangka ?Bahtsul Masail? (pengkajian masalah -red) di Cilegon berakhir sudah, sabtu malam 14 April 2001. Pertemuan itu melahirkan tujuh butir keputusan, diantaranya: seruan agar semua pihak dapat menahan diri agar disintegrasi bangsa dapat dihindari; NU mendukung langkah presiden untuk melakukan pembuktian terbalik dalam kasus-kasus hukum, dsb. Yang patut disyukuri adalah, meskipun NU dapat memahami kekecewaan para pendukung Gus Dur, akan tetapi mereka tidak menyetujui langkah pembentukan pasukan jihad dan pasukan berani mati dalam rangka membela Gus Dur. Kita bersyukur bahwa, dalam tubuh NU masih terdapat orang-orang yang memiliki hati nurani yang jernih dan tidak menjual agama dan negara untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek dan sesaat.
Pertemuan tersebut memang biasa-biasa saja, sebagaimana ungkapan para petinggi NU. Sangat biasa malah, bahkan bagi orang-orang yang memahami tradisi para ulama sepanjang sejarah Islam dimana diskusi dan adu argumentasi berdasarkan dalil-dalil Al-Qur?an dan As-Sunnah (tanpa melihat buku dan catatan) sering berlangsung di masjid dan dalam majelis-majelis ilmu. Yang tidak biasa adalah, ketika para ulama mengambil posisi bersebelahan dengan penguasa, apalagi melakukan pemihakan secara membuta. Kalau dulu, para ulama rela dicambuk dengan cemeti asal tidak diserahi jabatan dalam struktur pemerintahan. Sebut saja Imam Ahmad rahimahullah, salah seorang Imam Madzhab Fiqh terkemuka. Beliau harus menerima cambukan dan siksaan karena menolak jabatan Qadhi. Apa yang salah dari jabatan Qadhi (Hakim) ? Semata-mata karena beliau takut pada Allah untuk berbuat zhalim. Lain lagi, ketika seorang alim diminta datang ke istana Sultan Harun Ar-Rasyid untuk mengajari beliau. Apa jawab sang alim ini: ?Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi ?? Jauh-jauh hari, para ulama telah mengajarkan sikap independensi dan membuat garis demarkasi antara kehidupan para ulama dan penguasa. Sebab ketika keduanya bersentuhan, kebenaran, keadilan dan obyektifitas hanyalah mimpi di siang bolong. Dapatkah seseorang bersikap obyektif -secara manusiawi- ketika ia diminta fatwa tentang suatu masalah yang berkaitan dengan penguasa, sementara pengangkatan, gaji, dan tunjangan yang ia dapatkan dari penguasa ??
Memang dalam sejarah ada ulama yang menerima jabatan pemerintahan, itu pun lebih kental warna keilmuan dan keulamaannya, seperti jabatan Hakim. Sebut saja Qadhi Syuraih dan Abu Yusuf, pengarang kitab Al-Kharaj (Perpajakan) dalam madzhab Hanafi. Tetapi ketika itu, fatwa ulama lebih digdaya dari titah sultan. Ketika Inggris menjajah India, para Ulama memfatwakan haramnya mengisap tembakau (rokok). Serentak ketika itu, pipa-pipa rokok dipecahkan bahkan di dalam istana sultan sendiri. Ketika sang sultan meminta tembakau dari pelayannya, keluarlah kata-kata khadim yang terkenal: ?Fatwa Ulama lebih dipatuhi dari titah sultan?.
Memang tidak gampang menjadi ulama. Dan tidak ada ulama yang mengaku ulama. Pengertian kyai berbeda dengan ulama, sebab kyai bisa didapatkan oleh seseorang dengan naik haji plus nikah dengan puteri sang kyai. Sedang ulama hanya bisa didapatkan dengan tafaqquh fid-dien (mempelajari agama) secara luas dan integral, mulai dari masalah aqidah, ibadah, muamalah, tafsir, ushul, dst.; ditambah ketaqwaan, wara?, zuhud dalam bentuk mengamalkan semua yang ia ketahui. Ia harus pula mengerti tentang bahasa Arab, hafal Al-Qur?an dan mengerti makna-makna yang terkandung di dalamnya, serta mengetahui pendapat-pendapat para ulama terdahulu pada setiap ayat Al-Qur?an. Dia juga harus hafal banyak hadits, karena tanpa keduanya adalah mustahil ia dapat menerangkan Islam dengan benar. Sebab Islam tidak mungkin dapat diterangkan secara murni, benar dan jelas jika didasarkan hawa nafsu, sikap sok tahu, dan mencampur-adukkan bidang-bidang keilmuan lain yang tidak koheren seperti filsafat, politik, ekonomi, dst. Nilai-nilai integralitas dan universalitas Islam hanya dapat dicapai dengan mengkaji ajaran Islam berdasarkan Al-Qur?an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para shahabat dan tabi?in (para ulama setelah masa shahabat ?red), bukan dengan memasukkan unsur-unsur lain seperti metafisika, filsafat, dst. dengan alasan kelengkapan pembahasan. Jika itu dilakukan, sama saja dengan menggado-gadokan Islam, naudzubillah min dzalik.
Ulama adalah pelita umat. Meninggalnya para ulama adalah satu diantara indikasi Hari Kiamat dan diangkatnya ilmu dari kaum Muslimin. Kita menangis ketika para ulama seperti Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-Utsaimin, dll rahimahumullah wafat. Hanya menangiskah yang dapat kita lakukan ?
Para pelajar studi-studi Islam di semua lini, harus bangkit menata diri. Berbagai kelemahan-kelemahan metodologis, menejemen, pengajaran, medium, dsb. harus segera dibenahi. Patut kita sadari bahwa pokok-pokok manejemen akademis seperti yang dikenal di Barat saat ini, seperti ijazah, akademi, examinasi, dst. sesungguhnya adalah warisan peradaban Islam yang mereka pelajari dari Andalusia. Kita perlu kembali mempelajari, menekuni, mengkritik, melahirkan, mengembangkan dan mempertahankan apa yang kita miliki dalam rangka mengembalikan Tradisi Belajar kaum Muslimin. Para pelajar syari?ah dan para ulama harus bersama-sama bangkit melalui berbagai media yang ada memberikan pengajaran kepada ummat. Kebodohan kolektif yang diderita umat Islam saat ini, khususnya di Indonesia, salah satunya disebabkan adalah ketiadaan ulama yang betul-betul kredibel. Kita tidak butuh gelar dan penamaan. Yang penting adalah agar misi Islam dapat sampai kepada kaum Muslimin dan manusia secara umum. Sikap mengungkung diri hanya pada lembaga-lembaga konvensional seperti pesantren, madrasah, universitas, dll. akan mengakibatkan akumulasi kebodohan dan ketersesatan umat Islam semakin menjadi-jadi, yang pada gilirannya akan menyuburkan ladang-ladang pembantaian umat Islam seperti yang terjadi di Ambon dan Poso.
Kita belum terlambat, kalau saja kita mau memulai ! Wallahu al-Musta?an. (A-Kh)
Pertemuan tersebut memang biasa-biasa saja, sebagaimana ungkapan para petinggi NU. Sangat biasa malah, bahkan bagi orang-orang yang memahami tradisi para ulama sepanjang sejarah Islam dimana diskusi dan adu argumentasi berdasarkan dalil-dalil Al-Qur?an dan As-Sunnah (tanpa melihat buku dan catatan) sering berlangsung di masjid dan dalam majelis-majelis ilmu. Yang tidak biasa adalah, ketika para ulama mengambil posisi bersebelahan dengan penguasa, apalagi melakukan pemihakan secara membuta. Kalau dulu, para ulama rela dicambuk dengan cemeti asal tidak diserahi jabatan dalam struktur pemerintahan. Sebut saja Imam Ahmad rahimahullah, salah seorang Imam Madzhab Fiqh terkemuka. Beliau harus menerima cambukan dan siksaan karena menolak jabatan Qadhi. Apa yang salah dari jabatan Qadhi (Hakim) ? Semata-mata karena beliau takut pada Allah untuk berbuat zhalim. Lain lagi, ketika seorang alim diminta datang ke istana Sultan Harun Ar-Rasyid untuk mengajari beliau. Apa jawab sang alim ini: ?Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi ?? Jauh-jauh hari, para ulama telah mengajarkan sikap independensi dan membuat garis demarkasi antara kehidupan para ulama dan penguasa. Sebab ketika keduanya bersentuhan, kebenaran, keadilan dan obyektifitas hanyalah mimpi di siang bolong. Dapatkah seseorang bersikap obyektif -secara manusiawi- ketika ia diminta fatwa tentang suatu masalah yang berkaitan dengan penguasa, sementara pengangkatan, gaji, dan tunjangan yang ia dapatkan dari penguasa ??
Memang dalam sejarah ada ulama yang menerima jabatan pemerintahan, itu pun lebih kental warna keilmuan dan keulamaannya, seperti jabatan Hakim. Sebut saja Qadhi Syuraih dan Abu Yusuf, pengarang kitab Al-Kharaj (Perpajakan) dalam madzhab Hanafi. Tetapi ketika itu, fatwa ulama lebih digdaya dari titah sultan. Ketika Inggris menjajah India, para Ulama memfatwakan haramnya mengisap tembakau (rokok). Serentak ketika itu, pipa-pipa rokok dipecahkan bahkan di dalam istana sultan sendiri. Ketika sang sultan meminta tembakau dari pelayannya, keluarlah kata-kata khadim yang terkenal: ?Fatwa Ulama lebih dipatuhi dari titah sultan?.
Memang tidak gampang menjadi ulama. Dan tidak ada ulama yang mengaku ulama. Pengertian kyai berbeda dengan ulama, sebab kyai bisa didapatkan oleh seseorang dengan naik haji plus nikah dengan puteri sang kyai. Sedang ulama hanya bisa didapatkan dengan tafaqquh fid-dien (mempelajari agama) secara luas dan integral, mulai dari masalah aqidah, ibadah, muamalah, tafsir, ushul, dst.; ditambah ketaqwaan, wara?, zuhud dalam bentuk mengamalkan semua yang ia ketahui. Ia harus pula mengerti tentang bahasa Arab, hafal Al-Qur?an dan mengerti makna-makna yang terkandung di dalamnya, serta mengetahui pendapat-pendapat para ulama terdahulu pada setiap ayat Al-Qur?an. Dia juga harus hafal banyak hadits, karena tanpa keduanya adalah mustahil ia dapat menerangkan Islam dengan benar. Sebab Islam tidak mungkin dapat diterangkan secara murni, benar dan jelas jika didasarkan hawa nafsu, sikap sok tahu, dan mencampur-adukkan bidang-bidang keilmuan lain yang tidak koheren seperti filsafat, politik, ekonomi, dst. Nilai-nilai integralitas dan universalitas Islam hanya dapat dicapai dengan mengkaji ajaran Islam berdasarkan Al-Qur?an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para shahabat dan tabi?in (para ulama setelah masa shahabat ?red), bukan dengan memasukkan unsur-unsur lain seperti metafisika, filsafat, dst. dengan alasan kelengkapan pembahasan. Jika itu dilakukan, sama saja dengan menggado-gadokan Islam, naudzubillah min dzalik.
Ulama adalah pelita umat. Meninggalnya para ulama adalah satu diantara indikasi Hari Kiamat dan diangkatnya ilmu dari kaum Muslimin. Kita menangis ketika para ulama seperti Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-Utsaimin, dll rahimahumullah wafat. Hanya menangiskah yang dapat kita lakukan ?
Para pelajar studi-studi Islam di semua lini, harus bangkit menata diri. Berbagai kelemahan-kelemahan metodologis, menejemen, pengajaran, medium, dsb. harus segera dibenahi. Patut kita sadari bahwa pokok-pokok manejemen akademis seperti yang dikenal di Barat saat ini, seperti ijazah, akademi, examinasi, dst. sesungguhnya adalah warisan peradaban Islam yang mereka pelajari dari Andalusia. Kita perlu kembali mempelajari, menekuni, mengkritik, melahirkan, mengembangkan dan mempertahankan apa yang kita miliki dalam rangka mengembalikan Tradisi Belajar kaum Muslimin. Para pelajar syari?ah dan para ulama harus bersama-sama bangkit melalui berbagai media yang ada memberikan pengajaran kepada ummat. Kebodohan kolektif yang diderita umat Islam saat ini, khususnya di Indonesia, salah satunya disebabkan adalah ketiadaan ulama yang betul-betul kredibel. Kita tidak butuh gelar dan penamaan. Yang penting adalah agar misi Islam dapat sampai kepada kaum Muslimin dan manusia secara umum. Sikap mengungkung diri hanya pada lembaga-lembaga konvensional seperti pesantren, madrasah, universitas, dll. akan mengakibatkan akumulasi kebodohan dan ketersesatan umat Islam semakin menjadi-jadi, yang pada gilirannya akan menyuburkan ladang-ladang pembantaian umat Islam seperti yang terjadi di Ambon dan Poso.
Kita belum terlambat, kalau saja kita mau memulai ! Wallahu al-Musta?an. (A-Kh)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Hakikat Jati Diri Manusia
» protestan dan katolik saling bunuh (konflik irlandia utara)
» langit yang mengembalikan
» Mengembalikan Istri Pada Posisi Yang Benar
» ULAMA DAN ALIRAN SESAT
» protestan dan katolik saling bunuh (konflik irlandia utara)
» langit yang mengembalikan
» Mengembalikan Istri Pada Posisi Yang Benar
» ULAMA DAN ALIRAN SESAT
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik