kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
Halaman 2 dari 2 • Share
Halaman 2 dari 2 • 1, 2
kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
First topic message reminder :
PERANG 1948
Rencana Pembagian PBB tahun 1947 untuk Palestina merekomendasikan berdirinya negara-negara Yahudi dan Palestina. Pasukan Yahudi terjun ke lapangan hampir seketika itu juga, dengan cepat mengamankan wilayah-wilayah yang diperuntukkan bagi bangsa Yahudi dan kemudian meluaskannya ke bagian-bagian Palestina yang diperuntukkan bagi bangsa Palestina. Perang itu berlangsung selama satu tahun, hingga 6 Januari 1949. Bagian pertama ditandai dengan pasukan regular Yahudi yang melawan pasukan Arab nonregular dan bagian kedua ditandai dengan peperangan antara unit-unit Yahudi dan lima angkatan bersenjata Arab yang memasuki Palestina sehari setelah berdirinya Israel pada 14 Mei 1948.1
OMONG KOSONG
"Kami, tentu saja, sama sekali tidak siap untuk perang." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 19752
FAKTA
Rencana-rencana Israel untuk berperang dimulai dengan bersungguh-sungguh pada hari dikeluarkannya Rencana Pembagian PBB pada 29 November 1947. Semua orang Yahudi yang berumur tujuh belas hingga dua puluh lima diperintahkan untuk mendaftar pada dinas militer.3 Pada 5 Desember, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memerintahkan "aksi segera" untuk memperluas pemukiman Yahudi di tiga daerah yang diserahkan oleh PBB kepada negara Arab Palestina.4 Menjelang pertengahan Desember mereka mulai mengorganisasikan aksi militer melawan orang-orang Arab di Palestina dengan strategi yang diuraikan dalam Rencana Militer Gimmel. Tujuan Rencana Gimmel adalah mengulur-ulur waktu bagi mobilisasi kekuatan Yahudi dengan merebut titik-titik strategis yang dikosongkan oleh Inggris dan untuk meneror penduduk Arab agar menyerah.5 Serangan besar Yahudi yang pertama berlangsung pada 18 Desember ketika pasukan Palmach ("assault companies"), pasukan penggempur dari angkatan bersenjata bawah tanah Yahudi, Haganah, menyerang desa Palestina Khissas di bagian utara Galilee dalam suatu serangan malam, dan membunuh lima orang dewasa dan lima anak-anak serta melukai lima lainnya.6
Christopher Sykes, seorang pengamat Inggris masa itu, mencatat bahwa serangan Khissas mewakili suatu tahap baru dalam perang, dengan ciri yang berubah dari "serangan acak dan serangan balasan menjadi serangan dan kekejaman yang lebih diperhitungkan."7 Pada 9 Desember, Ben-Gurion memerintahkan agar pasukan Yahudi menyerang dengan agresif: "Dalam setiap serangan harus dilancarkan sebuah pukulan mematikan yang mengakibatkan hancurnya rumah-rumah dan terusirnya penduduk."8 Dengan demikian pada saat lima pasukan Arab memasuki Palestina pada 5 Mei 1948, kaum Zionis telah melaju dalam pelaksanaan rencana-rencana perang mereka.
OMONG KOSONG
"Perang total dipaksakan pada bangsa Yahudi." --Jacob Tzur, Zionism, 19779
FAKTA
Angkatan bersenjata Israel sudah bergerak dalam waktu beberapa minggu setelah Rencana Pembagian PBB tahun 1947. Aksi militer yang diorganisasi oleh kaum Zionis dimulai pada pertengahan Desember dengan Rencana Gimmel.10 Menjelang awal Maret 1948, orang-orang Yahudi berusaha melaksanakan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah diserahkan melalui Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada negara Palestina yang diimpikan.11 Dengan demikian, menjelang 15 Mei ketika lima angkatan bersenjata Arab memasuki Palestina, Israel telah menaklukkan bagian-bagian penting dari wilayah Palestina di luar negaranya sendiri yang telah ditetapkan oleh PBB.12
Sebaliknya, baru pada 30 April 1948 untuk pertama kalinya para kepala staf angkatan bersenjata Arab bertemu untuk membuat rencana intervensi militer. Bahkan pada waktu yang telah terlambat ini, tambah ahli sejarah Israel Simha Flapan, "para pemimpin Arab masih berusaha keras untuk menemukan rumusan penyelamat muka yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan melancarkan aksi militer."13 Pada 13 Mei, Duta Besar AS untuk Mesir melaporkan mengenai moral orang-orang Arab yang rendah, sambil menambahkan: "Kalangan yang tahu cenderung setuju bahwa orang-orang Arab kini akan menerima hampir semua alasan penyelamat muka apa saja jika itu dapat mencegah perang terbuka."14
Tujuan perang Yordania bukanlah melawan negara Yahudi atau rencana pembagian --yang diterima dengan syarat--melainkan melawan usaha-usaha Israel untuk mencaplok bagian-bagian Palestina yang tidak termasuk milik Yahudi sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB. Akibatnya, seperti dicatat oleh ahli sejarah Israel Abraham Sela, "semua peperangan dengan Legiun Arab [Yordania] dilancarkan di daerah-daerah di luar wilayah negara Yahudi... termasuk yang dilancarkan di Jerusalem."15
Pada 1 Juni, delegasi PBB Israel mengeluarkan suatu pernyataan yang melaporkan bahwa dalam dua minggu pertempuran sejak kemerdekaan Israel, negara baru itu telah menguasai 400 mil persegi di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan untuknya melalui rencana pembagian dan bahwa tidak ada pertempuran yang berlangsung di dalam batas-batas wilayah yang ditetapkan PBB untuk Israel. Komunike itu menyatakan: "Wilayah Negara Israel sepenuhnya terbebas dari penyerang."16
OMONG KOSONG
"[Bangsa Arab mempunyai] keunggulan mutlak dalam persenjataan, dan keunggulan yang luar biasa dalam potensi, sukarelawan, atau sumber daya manusia dari para wajib militer." --Yigal Allon, wakil perdana menteri Israel, 197017
FAKTA
Orang-orang Yahudi di Palestina selalu mempunyai senjata-senjata yang lebih baik dan lebih banyak dibanding orang-orang Palestina atau orang-orang Arab lainnya di negara-negara tetangga. Sementara baik Arab maupun Yahudi secara resmi menghadapi embargo pembelian senjata dari Amerika Serikat dan sebagian besar negara Barat lainnya, orang-orang Yahudi secara sembunyi-sembunyi menerima pasokan-pasokan besar persenjataan dari Cekoslowakia sejak awal 1948. Satu kontrak saja bisa mencakup 24.500 pucuk senapan, 5.000 senjata mesin ringan, 200 senjata mesin medium, 54 juta rentetan amunisi, dan 25 pesawat perang Messerschmitt.18 Menjelang dimulainya perang unit-unit terorganisasi pada 15 Mei 1948, orang-orang Israel telah mampu menyediakan 800 kendaraan bersenjata melawan 113 milik gabungan negara-negara Arab, dan 787 mortir dan 4 senjata medan tempur melawan 40 mortir dan 102 senjata pihak Arab.19
Pada saat yang sama, pasokan senjata utama lainnya bagi orang-orang Yahudi datang dari para Zionis Amerika di Amerika Serikat yang melanggar embargo senjata AS. Pasokan-pasokan semacam itu termasuk dari Institut Sonneborn, sekelompok orang kaya Amerika-Yahudi yang diketuai oleh Rudolf G. Sonneborn, seorang industrialis-jutawan New York .20 Dua lainnya adalah joint Distribution Committee and Service Airways, yang diketuai oleh orang Yahudi-Amerika Adolph ("Al") William Schwimmer, mantan ahli mesin penerbangan TWA.21 Pemain utama lainnya adalah seorang kelahiran Austria, Teddy Kollek, yang mengetuai pembelian-pembelian senjata bawah tanah Israel di New York dan di kemudian hari menjadi walikota Jerusalem Barat yang masuk wilayah Yahudi.22
Schwimmer dan perusahaan penerbangannya adalah salah satu dari sedikit kelompok bawah tanah Yahudi yang benar-benar dituntut karena perdagangan gelap mereka; dia dinyatakan bersalah di pengadilan federal Los Angeles pada 1950 dan didenda $ 10.000 karena mengekspor pesawat-pesawat udara dan suku cadang untuk Israel dan negara-negara lain. Schwimmer lalu menjadi kepala perusahaan pesawat terbang Israel, Israel Aircraft Industries, dan tampil lagi pada 1985 sebagai seorang pemain utama dalam skandal terburuk pemerintahan Reagan, skandal Iran-Contra.23
OMONG KOSONG
"Musuh-musuh kami telah gagal mengalahkan kami melalui kekuatan bersenjata meskipun jumlah mereka jauh melebihi kami, dua puluh berbanding satu." --Chaim Weizmann, presiden sementara Israel, 194824
FAKTA
Jumlah pasukan bersenjata Yahudi yang telah terlatih jauh melebihi jumlah seluruh pasukan yang diterjunkan ke medan perang oleh lima negara Arab pada 15 Mei 1948, dan keadaan demikian terus berlanjut. Di garis depan, pasukan bersenjata Israel berjumlah 27.400 orang sedangkan dari negara-negara Arab 13.876 orang yang berasal dari Mesir 2.800 orang; Irak 4.000 orang; Lebanon 700 orang; Syria 1.876 orang; dan Transyordan 4.500 orang.25 Pada waktu itu, 18 Mei, dinas intelijen angkatan bersenjata AS memperkirakan ada kekuatan 40.000 pasukan Yahudi dan 50.000 milisi melawan 20.000 pasukan Arab dan 13.000 gerilya.26 Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyatakan: "Jumlah pasukan Israel tidak kalah besar. Meskipun terdapat perbedaan dalam perkiraan mereka, terutama menyangkut jumlah pasukan Yahudi, banyak pengamat sepakat tentang fakta ini."27
OMONG KOSONG
"[Orang-orang Arab demikian kuatnya pada 1948 sehingga] banyak ahli militer mengira bahwa Israel akan segera terkalahkan." --Terrence Prittie dan B. Dineen, The Double Exodus, 197628
FAKTA
Israel memiliki banyak kelebihan dalam hal pasukan dan persenjataan sehingga tidak pernah ada keraguan di kalangan para pengamat bahwa Israel akan memenangkan perang. Menteri Luar Negeri George Marshall memberitahu kedutaan-kedutaan besar AS sehari sebelum perang dimulai bahwa angkatan bersenjata Arab sangat lemah dan bukan tandingan bagi Israel. Kekhawatirannya yang terbesar adalah bahwa "jika orang-orang Yahudi menuruti nasihat kaum ekstremis mereka yang lebih menyukai kebijaksanaan yang menghinakan bangsa Arab, setiap Negara Yahudi yang akan didirikan hanya mampu bertahan dengan bantuan terus-menerus dari luar negeri."29 Pada 13 Mei, dua hari sebelum perang, kedutaan besar AS di Mesir melaporkan bahwa pasukan Arab belum berhasil mendapatkan senjata dari luar negeri dan bahwa moral mereka sangat rendah, sambil menambahkan: "Angkatan bersenjata Arab dikhawatirkan akan dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Yahudi."30
Raja Yordania Abdullah telah berulangkali memperingatkan: "Pasukan Yahudi terlalu kuat --adalah keliru jika kita ikut berperang."31 Pasha Glubb yang legendaris dari Inggris Raya, ketua Legiun Arab Yordania, di kemudian hari mengingatkan: "Saya tidak melewatkan kesempatan untuk memberi informasi [pada pemerintah Yordania] bahwa Transyordan tidak mempunyai cukup sumber untuk berperang melawan negara Yahudi."32 Menurut laporan ahli sejarah Israel Simha Flapan: "Perkiraan Agen Yahudi tentang tujuan dan kapasitas Arab... melaporkan bahwa para kepala staf Arab telah memperingatkan pemerintah masing-masing mengenai serangan Palestina dan perang yang berkepanjangan."33 Ahli sejarah militer Pakistan Syed Ali el-Edroos menyimpulkan: "Dalam pengertian militer profesional, sesungguhnya, tidak ada rencana sama sekali."34
Hampir empat puluh tahun kemudian, ahli sejarah Israel Benny Morris menyimpulkan: "Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina] secara militer maupun administratif jauh lebih unggul dibanding orang-orang Arab Palestina."35
OMONG KOSONG
"Kami pun mempunyai kelompok-kelompok teroris sendiri semasa Perang Kemerdekaan: Stern, Irgun... Namun tidak satu pun di antara mereka yang menyelubungi diri dengan kekejian sedemikian rupa sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang Arab terhadap kami." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 197236
FAKTA
Dalam periode 1947-1948 yang mengakibatkan kelahiran Israel, terorisme marak di Palestina, dilancarkan terutama oleh kaum Zionis.
Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mencatat dalam sejarah pribadinya tentang Israel: "Dari 1946 hingga 1947 hampir tidak ada serangan Arab atas Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina]."37 Ketika perang menjelang pecah pada 1948, aksi-aksi teror dilancarkan oleh kedua belah pihak, namun orang-orang Arab bukanlah tandingan bagi kampanye yang terorganisasi dan sistematis yang dijalankan oleh para teroris Zionis.38 Sebagaimana dilaporkan seorang Mayor Inggris R.D. Wilson pada 1948, mereka melakukan "serangan-serangan biadab atas desa-desa Arab, di mana mereka tidak membedakan antara kaum wanita dan anak-anak yang mereka bunuh setiap ada kesempatan." 39
Aksi-aksi teror Zionis, yang dilancarkan terutama oleh anggota-anggota dari dua kelompok utama, Irgun dan Lehi, atau Stern Gang, termasuk pemboman pada 1946 atas King David Hotel di Jerusalem, yang membunuh sembilan puluh satu orang empat puluh satu orang Arab, dua puluh delapan orang Inggris, dan tujuh belas orang Yahudi;40 penggantungan dua prajurit Inggris pada 1947 dan penjeratan tubuh mereka,41 pemboman pada 1948 atas Semiramis Hotel milik orang Arab di Jerusalem, yang membunuh dua puluh dua orang Arab, termasuk kaum wanita dan anak-anak,42 pembantaian pada 1948 atas 254 kaum pria, wanita, dan anak-anak Arab di pedesaan Deir Yassin,43 pembantaian atas banyak warga sipil di desa Dawayima pada 1948,44 dan pembunuhan pada 1948 atas Wakil Khusus PBB Count Folke Bernadotte dari Swedia.45 Menachem Begin memimpin Irgun, dan Yitzhak Shamir adalah salah seorang pemimpin Stern Gang. Kedua orang itu di kemudian hari menjadi perdana menteri Israel.
OMONG KOSONG
"Kami tidak bermaksud menyingkirkan orang-orang Arab, mengambil tanah mereka, atau merampas warisan mereka." --David Ben-Gurion, sebagai seorang Zionis senior, pertengahan 191546
FAKTA
Setelah penaklukan tanah Arab pada perang 1948, terjadi perampasan, yang disusul penyitaan kekayaan Palestina oleh orang-orang Yahudi. "Penjarahan dan perampasan merajalela," tulis ahli sejarah Israel Tom Segev. Dia mengutip penulis Israel Moshe Smilansky, seorang saksi mata: "Dorongan untuk merampas menguasai setiap orang. Individu-individu, kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas, kaum pria, kaum wanita dan anak-anak, semuanya jatuh di atas barang-barang rampasan." Menteri kabinet Aharon Cizling mengeluh: "Sungguh memalukan, mereka memasuki sebuah kota dan dengan paksa mencopot cincin dari jari dan perhiasan dari leher seseorang... Banyak yang melakukan kejahatan itu."47
Hampir dua pertiga dari jumlah semula 1,2 juta orang penduduk Palestina terusir, dan terpaksa menjadi pengungsi. 48 Kehilangan yang sangat besar inilah yang menjadi alasan mengapa perang itu dikenal oleh bangsa Arab sebagai Nakba, Bencana.49
Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick melaporkan bahwa orang-orang Israel berlari "dengan kecepatan penuh" untuk menduduki tanah itu, sambil menambahkan: "Jika gelombang masuk itu terus berlangsung dengan jumlah kira-kira 200.000 orang per tahun maka tidak lama lagi jumlah para pendatang baru itu akan melebihi jumlah penduduk asli yang terusir."50
Ketika sarjana Israel, Israel Shahak, melakukan penelitian pada 1973, dia mendapati bahwa dari 475 desa asli Palestina yang dimasukkan ke dalam wilayah perbatasan yang dibuat sepihak oleh Israel pada 1949, hanya 90 yang masih ada; 385 sisanya telah dihancurkan.51 Penelitian-penelitian yang dilakukan di kemudian hari menunjukkan bahwa jumlah seluruhnya lebih dari 400.52
Desa-desa itu, menurut laporan Shahak, "dihancurkan sama sekali, dengan rumah-rumah, tembok-tembok taman, dan bahkan kuburan-kuburan serta batu-batu nisannya, sehingga secara harfiah tidak ada sebuah batu pun yang masih tegak berdiri, dan para pengunjung... diberitahu bahwa 'itu semua adalah gurun pasir.'"53
OMONG KOSONG
"Bukti terbaik untuk menentang mitos [ekspansionisme Israel] ini adalah sejarah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya pada 1948, 1956, 1973 dan 1982." --AIPAC, 199254
FAKTA
Di tengah-tengah perang 1948, diplomat Inggris Sir Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu jelas ekspansionis."55 Israel tidak pernah menyerahkan satu bagian penting pun dari tanah yang direbutnya pada 1948 di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan Rencana Pembagian PBB. Rencana itu membatasi luas negara Yahudi hingga 5.893 mil persegi, sama dengan 56,47 persen dari seluruh Palestina, namun menjelang akhir perang 1948 Israel menguasai daerah seluas 8.000 mil persegi, 77,4 persen dari tanah itu.56 Secara signifikan, Deklarasi Kemerdekaan Israel tidak menyebutkan adanya perbatasan, dan negara Yahudi tidak pernah secara terbuka menyatakan batas-batasnya.57
Israel menguasai daerah Palestina yang mencakup 475 kota kecil dan desa, yang sebagian besar di antaranya kosong atau segera dibuat demikian. (Ini sebanding dengan 279 pemukiman Yahudi di seluruh Palestina yang ada pada 29 November 1947, hari diberlakukannya Rencana Pembagian PBB.)58
Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Moshe Dayan pada satu kelas yang berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu tempat pun yang dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh penduduk Arab."59 Sesungguhnyalah, orang-orang Israel telah menyita 158.332 unit dari keseluruhan 179.316 unit perumahan, termasuk rumah-rumah dan apartemen-apartemen.60 Orang-orang Yahudi sedikitnya telah mengambil alih 10.000 toko dan 1.000 gudang.61 Kira-kira 90 persen kebun zaitun Israel direbut dari orang-orang Arab dan juga 50 persen kebun jeruknya,62 suatu penyitaan yang begitu besar sehingga pemasukan dari kebun zaitun dan jeruk itu "sangat menolong untuk meringankan masalah serius dalam keseimbangan neraca pembayaran Israel dari 1948 hingga 1953," kata Ian Lustick.63
Setelah perang 1967, pasukan militer Israel menguasai seluruh Palestina, Tepi Barat dan jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik Syria dan Semenanjung Sinai milik Mesir, suatu rentang wilayah yang luas seluruhnya adalah 20.870 mil persegi.64
Setelah serangan Operasi Litani oleh Israel atas Lebanon pada Maret 1978, perbatasan Israel lagi-lagi meluas sehingga mencakup "sabuk pengaman" yang diklaimnya secara sepihak di Lebanon Selatan, suatu jalur sepanjang perbatasan yang mendesak masuk antara tiga hingga enam mil ke wilayah Lebanon.65 "Sabuk pengaman" itu mendesak masuk lagi hingga dua belas mil setelah serangan Israel tahun 1982 atas Lebanon .66 "Sabuk pengaman" itu tetap ada hingga hari ini, membuat Lebanon Selatan menjadi apa yang disebut oleh sebagian orang Israel sebagai "Tepi Utara" yang dikuasai Israel.
Meskipun Israel di kemudian hari memang mengembalikan Semenanjung Sinai sebagai pertukaran bagi perdamaian dengan Mesir, ia terus menduduki semua wilayah Arab lain yang telah direbutnya lewat kekerasan selama bertahun-tahun kecuali kota kecil Syria Quneitra, yang dihancurkannya sebelum penarikan mundur pada 1974 sebagai hasil persetujuan pelepasannya dengan Syria .67
Catatan kaki:
1 Dupuy, Elusive Victory, 3-19; Flapan, The Birth of Israel, 192-93.
2 Meir, My Life, 211.
3 Quigley, Palestine and Israel, 39.
4 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 40.
5 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxix. Teks dari rencana itu terdapat dalam rubrik khusus "1948 Palestine" dari Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988, 20- 38.
6 New York Times, 20 Desember 1947. Juga lihat Quigley, Palestine and Israel, 41. Laporan resmi militer Inggris adalah WO 275/64 (London: Public Record Office), dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 153.
7 Sykes, Crossroads to Israel, 337. Lihat juga Green, Taking Sides, 69.
8 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 40.
9 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 121.
10 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxix.
11 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 63.
12 Ibid., 128; Quigley, Palestine and Israel, 62.
13 Flapan, The Birth of Israel, 192. 132-133.
14 Kawat 513 dari Kairo,13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
15 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192. Juga lihat Shlaim, Collusion across the Jordan, 197.
16 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxxii.
17 Allon, Shield of David, 187.
18 Khalidi, Before Their Diaspora, 316. Lihat juga Cockburn, Dangerous Liaison, 20-21; Peres, David's Sling, 32-33. Sebagai balasan bagi bantuan itu, Israel menyampaikan beberapa rahasia peralatan militer AS kepada Cekoslowakia, termasuk sebuah sistem radar bergerak, lihat Green, Living by the Sword, 217-18.
19 Khalidi, From Haven to Conquest, 861-66.
20 Grose, Israel in the Minds of America, 210-11.
21 Raviv dan Melman, Every Spy a Prince, 326-30; Cockburn, Dangerous Liaison, 24-25.
22 Cockburn, Dangerous Liaison, 24-25,158.
2 Ibid., 24-25.
24 Dalam sebuah surat untuk Presiden Truman, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 189.
25 Khalidi, From Haven to Conquest, 867-71.
26 Green, Taking Sides, 71.
27 Flapan, The Birth of Israel, 195. Tekanan ini ada pada tulisan aslinya. Untuk pembahasan mengenai berbagai perkiraan layak yang mencerminkan semua pihak, lihat Flapan, 194-97.
28 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel,189.
29 Telegram rahasia "INFOTEL dari Menteri Luar Negeri," 14 Mei 1948, dikutip dalam Green, Taking Sides, 70-71.
30 Kawat 513 dari Kairo, 13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
31 Glubb, A Soldier with the Arabs, 152.
32 Shlaim, Collusion across Jordan, 271-72.
33 Flapan, The Birth of Israel, 123.
34 el-Edroos, The Hashemite Arab Army, 244.
35 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 7.
36 Fallaci, Interview with History, 100.
37 Ben-Gurion, Israel, 63.
38 Michael C. Hudson, "The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 A.D." dalam Asali, Jerusalem in History, 257.
39 Quigley, Palestine and Israel, 41. Lihat juga Flapan, The Birth of Israel, 90-91.
40 Bethell, The Palestine Triangle, 263; Sachar, A History of Israel, 267. Untuk rincian mengenai pemboman dan reaksi para pejabat Inggris, lihat Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 269-70.
41 Silver, Begin, 78-80.
42 CO 537/3855 (London: Public Record Office), dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 270-71; Tannous, The Palestinians, 474. Pemerintah Inggris secara terbuka mengutuk pemboman Semiramis sebagai suatu "tindak pembunuhan yang pengecut dan keji atas orang-orang tak bersalah." Ketika Agen Yahudi mengajukan keberatan karena Inggris tidak mengutuk pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Arab, para pejabat Inggris menjawab bahwa orang-orang Arab itu tidak melancarkan serangan-serangan terorganisasi atas bangunan-bangunan yang dihuni oleh kaum wanita dan anak-anak; lihat Quigley, Palestine and Israel, 43.
43 Khalidi, From Haven to Conquest, 761-78, memuat penjelasan tangan pertama yang mengharukan dari Jacques de Reynier, "Deir Yassin;" serta penjelasan-penjelasan tentang serangan-saerangan atas pusat-pusat Palestina lainnya. Banyak penulis telah membahas tentang pembantaian itu, barangkali tidak lebih baik dibanding Silver, Begin, 88-89. Juga lihat rincian-rinciannya dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 271-72.
44 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 222. Juga lihat Palumbo, The Palestinian Catastrophe, xii-xiv; Quigley, Palestine and Israel, 85; Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 272.
45 Persson, Mediation and Assassination, 204. Juga lihat Kurzman, Genesis 1948, 555-56; Avishai Margalit, "The Violent Life of Yitzhak Shamir," New York Review of Books, 14 Mei 1992; Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 36.
46 Teveth, David Ben-Gurion and the Palestinian Arabs, 27.
47 Segev,1949, 69-72.
48 Thomas J. Hamiton, New York Times, 19 November 1949; "Report of the Special Representative's mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," laporan PBB No. A/6797.
49 Walid Khalidi, "The Palesfine Problem: An Overview," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991, 9.
50 Anne O'Hare McCormick, New York Times, 18 Januari 1949. Juga lihat Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 135-36; Cattan, Jerusalem, 61; Segev, 1949, 95.
51 Israel Shahak, "Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 43-54. Juga lihat Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, xiv-xviii, yang melakukan penelitian serupa dengan penelitian Shahak pada 1980-an dan membuat daftar nama, tanggal, dan penyebab ditinggalkannya 369 desa Arab pada 1948-1949. Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, menyalin daftar semua kota besar, kota kecil, dan desa di Palestina pada 1945 sebagaimana yang diterbitkan dalam Palestine Gazette (295-306) dan juga daftar nasib yang menimpa semua unit politik itu setelah 1948 (315-32).
52 Suatu penelitian yang diselesaikan pada 1991 oleh sarjana Walid Khalidi melaporkan bahwa 418 desa telah dihancurkan; lihat Khalidi, All That Remains.
53 Israel Shahak, "Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 43.
54 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 84.
55 Shlaim, Collusion across the Jordan, 289. Sebuah versi buku sampul tipis yang ringkas dari karya penting Shlaim diterbitkan pada 1990 oleh Columbia University Press dengan judul The Politics of Partition: King Abdullah, the Zionists, and Palestine.
56 Sachar, A History of Israel, 350; Epp, Whose Land Is Palestine?, 195. Untuk rincian mengenai rencana-rencana Israel untuk menduduki wilayah Palestina, lihat Khalidi, From Haven to Conquest, lxxv-lxxxiii, 755-61. Untuk telaah yang sangat bagus tentang pemilikan tanah Yahudi, lihat Ruedy, "Dynamics of Land Alienation;" dalam Abu-Lughod, Transformation of Palestine, 119-38. Juga lihat Davis Mezvinsky, Documents front Israel, 43-54; Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 155, 179; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 305-45; Nyrop, Israel, 52; Shipler, Arab and Jew, 32-36; Segev, 1949, 69-71.
57 McDowall, Palestine and Israel, 193. Teks deklarasi itu terdapat dalam Ben-Gurion, Israel, 79-81.
58 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 155, 179.
59 Dikutip dalam Nakhleh, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 310, dari Ha'aretz (Tel Aviv), 4 April 1969.
60 Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 369.
61 dan Peretz, "The Arab Refugee Dilemma;" Foreign Affairs, Oktober 1954.
62 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 146.
63 Lustick, Arabs in the Jewish State, 59.
64 Nyrop, Israel, xix; Foundation for Middle East Peace, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus, Juli 1991.
65 Ahmad Beydoun, "The South Lebanon Border Zone: A Local Perspective;" Journal of Palestine Studies, Musim Semi 1992,44.
66 Thomas L. Friedman, New York Times, 22 September 1986.
67 Israel berusaha mempertahankan sebidang tanah seluas 250 acre di garis depan pantai Sinai sebelah selatan Eliat yang bemama Taba. Namun, satu kelompok yang terdiri atas lima juri menetapkan pada 1988 bahwa tanah itu sah dimiliki oleh Mesir, dan Israel akhirnya terpaksa melepaskannya sepuluh tahun setelah perjanjian; Edward Cody, Washington Post, 30 September 1988.
PERANG 1948
Rencana Pembagian PBB tahun 1947 untuk Palestina merekomendasikan berdirinya negara-negara Yahudi dan Palestina. Pasukan Yahudi terjun ke lapangan hampir seketika itu juga, dengan cepat mengamankan wilayah-wilayah yang diperuntukkan bagi bangsa Yahudi dan kemudian meluaskannya ke bagian-bagian Palestina yang diperuntukkan bagi bangsa Palestina. Perang itu berlangsung selama satu tahun, hingga 6 Januari 1949. Bagian pertama ditandai dengan pasukan regular Yahudi yang melawan pasukan Arab nonregular dan bagian kedua ditandai dengan peperangan antara unit-unit Yahudi dan lima angkatan bersenjata Arab yang memasuki Palestina sehari setelah berdirinya Israel pada 14 Mei 1948.1
OMONG KOSONG
"Kami, tentu saja, sama sekali tidak siap untuk perang." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 19752
FAKTA
Rencana-rencana Israel untuk berperang dimulai dengan bersungguh-sungguh pada hari dikeluarkannya Rencana Pembagian PBB pada 29 November 1947. Semua orang Yahudi yang berumur tujuh belas hingga dua puluh lima diperintahkan untuk mendaftar pada dinas militer.3 Pada 5 Desember, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memerintahkan "aksi segera" untuk memperluas pemukiman Yahudi di tiga daerah yang diserahkan oleh PBB kepada negara Arab Palestina.4 Menjelang pertengahan Desember mereka mulai mengorganisasikan aksi militer melawan orang-orang Arab di Palestina dengan strategi yang diuraikan dalam Rencana Militer Gimmel. Tujuan Rencana Gimmel adalah mengulur-ulur waktu bagi mobilisasi kekuatan Yahudi dengan merebut titik-titik strategis yang dikosongkan oleh Inggris dan untuk meneror penduduk Arab agar menyerah.5 Serangan besar Yahudi yang pertama berlangsung pada 18 Desember ketika pasukan Palmach ("assault companies"), pasukan penggempur dari angkatan bersenjata bawah tanah Yahudi, Haganah, menyerang desa Palestina Khissas di bagian utara Galilee dalam suatu serangan malam, dan membunuh lima orang dewasa dan lima anak-anak serta melukai lima lainnya.6
Christopher Sykes, seorang pengamat Inggris masa itu, mencatat bahwa serangan Khissas mewakili suatu tahap baru dalam perang, dengan ciri yang berubah dari "serangan acak dan serangan balasan menjadi serangan dan kekejaman yang lebih diperhitungkan."7 Pada 9 Desember, Ben-Gurion memerintahkan agar pasukan Yahudi menyerang dengan agresif: "Dalam setiap serangan harus dilancarkan sebuah pukulan mematikan yang mengakibatkan hancurnya rumah-rumah dan terusirnya penduduk."8 Dengan demikian pada saat lima pasukan Arab memasuki Palestina pada 5 Mei 1948, kaum Zionis telah melaju dalam pelaksanaan rencana-rencana perang mereka.
OMONG KOSONG
"Perang total dipaksakan pada bangsa Yahudi." --Jacob Tzur, Zionism, 19779
FAKTA
Angkatan bersenjata Israel sudah bergerak dalam waktu beberapa minggu setelah Rencana Pembagian PBB tahun 1947. Aksi militer yang diorganisasi oleh kaum Zionis dimulai pada pertengahan Desember dengan Rencana Gimmel.10 Menjelang awal Maret 1948, orang-orang Yahudi berusaha melaksanakan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah diserahkan melalui Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada negara Palestina yang diimpikan.11 Dengan demikian, menjelang 15 Mei ketika lima angkatan bersenjata Arab memasuki Palestina, Israel telah menaklukkan bagian-bagian penting dari wilayah Palestina di luar negaranya sendiri yang telah ditetapkan oleh PBB.12
Sebaliknya, baru pada 30 April 1948 untuk pertama kalinya para kepala staf angkatan bersenjata Arab bertemu untuk membuat rencana intervensi militer. Bahkan pada waktu yang telah terlambat ini, tambah ahli sejarah Israel Simha Flapan, "para pemimpin Arab masih berusaha keras untuk menemukan rumusan penyelamat muka yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan melancarkan aksi militer."13 Pada 13 Mei, Duta Besar AS untuk Mesir melaporkan mengenai moral orang-orang Arab yang rendah, sambil menambahkan: "Kalangan yang tahu cenderung setuju bahwa orang-orang Arab kini akan menerima hampir semua alasan penyelamat muka apa saja jika itu dapat mencegah perang terbuka."14
Tujuan perang Yordania bukanlah melawan negara Yahudi atau rencana pembagian --yang diterima dengan syarat--melainkan melawan usaha-usaha Israel untuk mencaplok bagian-bagian Palestina yang tidak termasuk milik Yahudi sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB. Akibatnya, seperti dicatat oleh ahli sejarah Israel Abraham Sela, "semua peperangan dengan Legiun Arab [Yordania] dilancarkan di daerah-daerah di luar wilayah negara Yahudi... termasuk yang dilancarkan di Jerusalem."15
Pada 1 Juni, delegasi PBB Israel mengeluarkan suatu pernyataan yang melaporkan bahwa dalam dua minggu pertempuran sejak kemerdekaan Israel, negara baru itu telah menguasai 400 mil persegi di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan untuknya melalui rencana pembagian dan bahwa tidak ada pertempuran yang berlangsung di dalam batas-batas wilayah yang ditetapkan PBB untuk Israel. Komunike itu menyatakan: "Wilayah Negara Israel sepenuhnya terbebas dari penyerang."16
OMONG KOSONG
"[Bangsa Arab mempunyai] keunggulan mutlak dalam persenjataan, dan keunggulan yang luar biasa dalam potensi, sukarelawan, atau sumber daya manusia dari para wajib militer." --Yigal Allon, wakil perdana menteri Israel, 197017
FAKTA
Orang-orang Yahudi di Palestina selalu mempunyai senjata-senjata yang lebih baik dan lebih banyak dibanding orang-orang Palestina atau orang-orang Arab lainnya di negara-negara tetangga. Sementara baik Arab maupun Yahudi secara resmi menghadapi embargo pembelian senjata dari Amerika Serikat dan sebagian besar negara Barat lainnya, orang-orang Yahudi secara sembunyi-sembunyi menerima pasokan-pasokan besar persenjataan dari Cekoslowakia sejak awal 1948. Satu kontrak saja bisa mencakup 24.500 pucuk senapan, 5.000 senjata mesin ringan, 200 senjata mesin medium, 54 juta rentetan amunisi, dan 25 pesawat perang Messerschmitt.18 Menjelang dimulainya perang unit-unit terorganisasi pada 15 Mei 1948, orang-orang Israel telah mampu menyediakan 800 kendaraan bersenjata melawan 113 milik gabungan negara-negara Arab, dan 787 mortir dan 4 senjata medan tempur melawan 40 mortir dan 102 senjata pihak Arab.19
Pada saat yang sama, pasokan senjata utama lainnya bagi orang-orang Yahudi datang dari para Zionis Amerika di Amerika Serikat yang melanggar embargo senjata AS. Pasokan-pasokan semacam itu termasuk dari Institut Sonneborn, sekelompok orang kaya Amerika-Yahudi yang diketuai oleh Rudolf G. Sonneborn, seorang industrialis-jutawan New York .20 Dua lainnya adalah joint Distribution Committee and Service Airways, yang diketuai oleh orang Yahudi-Amerika Adolph ("Al") William Schwimmer, mantan ahli mesin penerbangan TWA.21 Pemain utama lainnya adalah seorang kelahiran Austria, Teddy Kollek, yang mengetuai pembelian-pembelian senjata bawah tanah Israel di New York dan di kemudian hari menjadi walikota Jerusalem Barat yang masuk wilayah Yahudi.22
Schwimmer dan perusahaan penerbangannya adalah salah satu dari sedikit kelompok bawah tanah Yahudi yang benar-benar dituntut karena perdagangan gelap mereka; dia dinyatakan bersalah di pengadilan federal Los Angeles pada 1950 dan didenda $ 10.000 karena mengekspor pesawat-pesawat udara dan suku cadang untuk Israel dan negara-negara lain. Schwimmer lalu menjadi kepala perusahaan pesawat terbang Israel, Israel Aircraft Industries, dan tampil lagi pada 1985 sebagai seorang pemain utama dalam skandal terburuk pemerintahan Reagan, skandal Iran-Contra.23
OMONG KOSONG
"Musuh-musuh kami telah gagal mengalahkan kami melalui kekuatan bersenjata meskipun jumlah mereka jauh melebihi kami, dua puluh berbanding satu." --Chaim Weizmann, presiden sementara Israel, 194824
FAKTA
Jumlah pasukan bersenjata Yahudi yang telah terlatih jauh melebihi jumlah seluruh pasukan yang diterjunkan ke medan perang oleh lima negara Arab pada 15 Mei 1948, dan keadaan demikian terus berlanjut. Di garis depan, pasukan bersenjata Israel berjumlah 27.400 orang sedangkan dari negara-negara Arab 13.876 orang yang berasal dari Mesir 2.800 orang; Irak 4.000 orang; Lebanon 700 orang; Syria 1.876 orang; dan Transyordan 4.500 orang.25 Pada waktu itu, 18 Mei, dinas intelijen angkatan bersenjata AS memperkirakan ada kekuatan 40.000 pasukan Yahudi dan 50.000 milisi melawan 20.000 pasukan Arab dan 13.000 gerilya.26 Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyatakan: "Jumlah pasukan Israel tidak kalah besar. Meskipun terdapat perbedaan dalam perkiraan mereka, terutama menyangkut jumlah pasukan Yahudi, banyak pengamat sepakat tentang fakta ini."27
OMONG KOSONG
"[Orang-orang Arab demikian kuatnya pada 1948 sehingga] banyak ahli militer mengira bahwa Israel akan segera terkalahkan." --Terrence Prittie dan B. Dineen, The Double Exodus, 197628
FAKTA
Israel memiliki banyak kelebihan dalam hal pasukan dan persenjataan sehingga tidak pernah ada keraguan di kalangan para pengamat bahwa Israel akan memenangkan perang. Menteri Luar Negeri George Marshall memberitahu kedutaan-kedutaan besar AS sehari sebelum perang dimulai bahwa angkatan bersenjata Arab sangat lemah dan bukan tandingan bagi Israel. Kekhawatirannya yang terbesar adalah bahwa "jika orang-orang Yahudi menuruti nasihat kaum ekstremis mereka yang lebih menyukai kebijaksanaan yang menghinakan bangsa Arab, setiap Negara Yahudi yang akan didirikan hanya mampu bertahan dengan bantuan terus-menerus dari luar negeri."29 Pada 13 Mei, dua hari sebelum perang, kedutaan besar AS di Mesir melaporkan bahwa pasukan Arab belum berhasil mendapatkan senjata dari luar negeri dan bahwa moral mereka sangat rendah, sambil menambahkan: "Angkatan bersenjata Arab dikhawatirkan akan dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Yahudi."30
Raja Yordania Abdullah telah berulangkali memperingatkan: "Pasukan Yahudi terlalu kuat --adalah keliru jika kita ikut berperang."31 Pasha Glubb yang legendaris dari Inggris Raya, ketua Legiun Arab Yordania, di kemudian hari mengingatkan: "Saya tidak melewatkan kesempatan untuk memberi informasi [pada pemerintah Yordania] bahwa Transyordan tidak mempunyai cukup sumber untuk berperang melawan negara Yahudi."32 Menurut laporan ahli sejarah Israel Simha Flapan: "Perkiraan Agen Yahudi tentang tujuan dan kapasitas Arab... melaporkan bahwa para kepala staf Arab telah memperingatkan pemerintah masing-masing mengenai serangan Palestina dan perang yang berkepanjangan."33 Ahli sejarah militer Pakistan Syed Ali el-Edroos menyimpulkan: "Dalam pengertian militer profesional, sesungguhnya, tidak ada rencana sama sekali."34
Hampir empat puluh tahun kemudian, ahli sejarah Israel Benny Morris menyimpulkan: "Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina] secara militer maupun administratif jauh lebih unggul dibanding orang-orang Arab Palestina."35
OMONG KOSONG
"Kami pun mempunyai kelompok-kelompok teroris sendiri semasa Perang Kemerdekaan: Stern, Irgun... Namun tidak satu pun di antara mereka yang menyelubungi diri dengan kekejian sedemikian rupa sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang Arab terhadap kami." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 197236
FAKTA
Dalam periode 1947-1948 yang mengakibatkan kelahiran Israel, terorisme marak di Palestina, dilancarkan terutama oleh kaum Zionis.
Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mencatat dalam sejarah pribadinya tentang Israel: "Dari 1946 hingga 1947 hampir tidak ada serangan Arab atas Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina]."37 Ketika perang menjelang pecah pada 1948, aksi-aksi teror dilancarkan oleh kedua belah pihak, namun orang-orang Arab bukanlah tandingan bagi kampanye yang terorganisasi dan sistematis yang dijalankan oleh para teroris Zionis.38 Sebagaimana dilaporkan seorang Mayor Inggris R.D. Wilson pada 1948, mereka melakukan "serangan-serangan biadab atas desa-desa Arab, di mana mereka tidak membedakan antara kaum wanita dan anak-anak yang mereka bunuh setiap ada kesempatan." 39
Aksi-aksi teror Zionis, yang dilancarkan terutama oleh anggota-anggota dari dua kelompok utama, Irgun dan Lehi, atau Stern Gang, termasuk pemboman pada 1946 atas King David Hotel di Jerusalem, yang membunuh sembilan puluh satu orang empat puluh satu orang Arab, dua puluh delapan orang Inggris, dan tujuh belas orang Yahudi;40 penggantungan dua prajurit Inggris pada 1947 dan penjeratan tubuh mereka,41 pemboman pada 1948 atas Semiramis Hotel milik orang Arab di Jerusalem, yang membunuh dua puluh dua orang Arab, termasuk kaum wanita dan anak-anak,42 pembantaian pada 1948 atas 254 kaum pria, wanita, dan anak-anak Arab di pedesaan Deir Yassin,43 pembantaian atas banyak warga sipil di desa Dawayima pada 1948,44 dan pembunuhan pada 1948 atas Wakil Khusus PBB Count Folke Bernadotte dari Swedia.45 Menachem Begin memimpin Irgun, dan Yitzhak Shamir adalah salah seorang pemimpin Stern Gang. Kedua orang itu di kemudian hari menjadi perdana menteri Israel.
OMONG KOSONG
"Kami tidak bermaksud menyingkirkan orang-orang Arab, mengambil tanah mereka, atau merampas warisan mereka." --David Ben-Gurion, sebagai seorang Zionis senior, pertengahan 191546
FAKTA
Setelah penaklukan tanah Arab pada perang 1948, terjadi perampasan, yang disusul penyitaan kekayaan Palestina oleh orang-orang Yahudi. "Penjarahan dan perampasan merajalela," tulis ahli sejarah Israel Tom Segev. Dia mengutip penulis Israel Moshe Smilansky, seorang saksi mata: "Dorongan untuk merampas menguasai setiap orang. Individu-individu, kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas, kaum pria, kaum wanita dan anak-anak, semuanya jatuh di atas barang-barang rampasan." Menteri kabinet Aharon Cizling mengeluh: "Sungguh memalukan, mereka memasuki sebuah kota dan dengan paksa mencopot cincin dari jari dan perhiasan dari leher seseorang... Banyak yang melakukan kejahatan itu."47
Hampir dua pertiga dari jumlah semula 1,2 juta orang penduduk Palestina terusir, dan terpaksa menjadi pengungsi. 48 Kehilangan yang sangat besar inilah yang menjadi alasan mengapa perang itu dikenal oleh bangsa Arab sebagai Nakba, Bencana.49
Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick melaporkan bahwa orang-orang Israel berlari "dengan kecepatan penuh" untuk menduduki tanah itu, sambil menambahkan: "Jika gelombang masuk itu terus berlangsung dengan jumlah kira-kira 200.000 orang per tahun maka tidak lama lagi jumlah para pendatang baru itu akan melebihi jumlah penduduk asli yang terusir."50
Ketika sarjana Israel, Israel Shahak, melakukan penelitian pada 1973, dia mendapati bahwa dari 475 desa asli Palestina yang dimasukkan ke dalam wilayah perbatasan yang dibuat sepihak oleh Israel pada 1949, hanya 90 yang masih ada; 385 sisanya telah dihancurkan.51 Penelitian-penelitian yang dilakukan di kemudian hari menunjukkan bahwa jumlah seluruhnya lebih dari 400.52
Desa-desa itu, menurut laporan Shahak, "dihancurkan sama sekali, dengan rumah-rumah, tembok-tembok taman, dan bahkan kuburan-kuburan serta batu-batu nisannya, sehingga secara harfiah tidak ada sebuah batu pun yang masih tegak berdiri, dan para pengunjung... diberitahu bahwa 'itu semua adalah gurun pasir.'"53
OMONG KOSONG
"Bukti terbaik untuk menentang mitos [ekspansionisme Israel] ini adalah sejarah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya pada 1948, 1956, 1973 dan 1982." --AIPAC, 199254
FAKTA
Di tengah-tengah perang 1948, diplomat Inggris Sir Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu jelas ekspansionis."55 Israel tidak pernah menyerahkan satu bagian penting pun dari tanah yang direbutnya pada 1948 di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan Rencana Pembagian PBB. Rencana itu membatasi luas negara Yahudi hingga 5.893 mil persegi, sama dengan 56,47 persen dari seluruh Palestina, namun menjelang akhir perang 1948 Israel menguasai daerah seluas 8.000 mil persegi, 77,4 persen dari tanah itu.56 Secara signifikan, Deklarasi Kemerdekaan Israel tidak menyebutkan adanya perbatasan, dan negara Yahudi tidak pernah secara terbuka menyatakan batas-batasnya.57
Israel menguasai daerah Palestina yang mencakup 475 kota kecil dan desa, yang sebagian besar di antaranya kosong atau segera dibuat demikian. (Ini sebanding dengan 279 pemukiman Yahudi di seluruh Palestina yang ada pada 29 November 1947, hari diberlakukannya Rencana Pembagian PBB.)58
Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Moshe Dayan pada satu kelas yang berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu tempat pun yang dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh penduduk Arab."59 Sesungguhnyalah, orang-orang Israel telah menyita 158.332 unit dari keseluruhan 179.316 unit perumahan, termasuk rumah-rumah dan apartemen-apartemen.60 Orang-orang Yahudi sedikitnya telah mengambil alih 10.000 toko dan 1.000 gudang.61 Kira-kira 90 persen kebun zaitun Israel direbut dari orang-orang Arab dan juga 50 persen kebun jeruknya,62 suatu penyitaan yang begitu besar sehingga pemasukan dari kebun zaitun dan jeruk itu "sangat menolong untuk meringankan masalah serius dalam keseimbangan neraca pembayaran Israel dari 1948 hingga 1953," kata Ian Lustick.63
Setelah perang 1967, pasukan militer Israel menguasai seluruh Palestina, Tepi Barat dan jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik Syria dan Semenanjung Sinai milik Mesir, suatu rentang wilayah yang luas seluruhnya adalah 20.870 mil persegi.64
Setelah serangan Operasi Litani oleh Israel atas Lebanon pada Maret 1978, perbatasan Israel lagi-lagi meluas sehingga mencakup "sabuk pengaman" yang diklaimnya secara sepihak di Lebanon Selatan, suatu jalur sepanjang perbatasan yang mendesak masuk antara tiga hingga enam mil ke wilayah Lebanon.65 "Sabuk pengaman" itu mendesak masuk lagi hingga dua belas mil setelah serangan Israel tahun 1982 atas Lebanon .66 "Sabuk pengaman" itu tetap ada hingga hari ini, membuat Lebanon Selatan menjadi apa yang disebut oleh sebagian orang Israel sebagai "Tepi Utara" yang dikuasai Israel.
Meskipun Israel di kemudian hari memang mengembalikan Semenanjung Sinai sebagai pertukaran bagi perdamaian dengan Mesir, ia terus menduduki semua wilayah Arab lain yang telah direbutnya lewat kekerasan selama bertahun-tahun kecuali kota kecil Syria Quneitra, yang dihancurkannya sebelum penarikan mundur pada 1974 sebagai hasil persetujuan pelepasannya dengan Syria .67
Catatan kaki:
1 Dupuy, Elusive Victory, 3-19; Flapan, The Birth of Israel, 192-93.
2 Meir, My Life, 211.
3 Quigley, Palestine and Israel, 39.
4 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 40.
5 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxix. Teks dari rencana itu terdapat dalam rubrik khusus "1948 Palestine" dari Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988, 20- 38.
6 New York Times, 20 Desember 1947. Juga lihat Quigley, Palestine and Israel, 41. Laporan resmi militer Inggris adalah WO 275/64 (London: Public Record Office), dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 153.
7 Sykes, Crossroads to Israel, 337. Lihat juga Green, Taking Sides, 69.
8 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 40.
9 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 121.
10 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxix.
11 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 63.
12 Ibid., 128; Quigley, Palestine and Israel, 62.
13 Flapan, The Birth of Israel, 192. 132-133.
14 Kawat 513 dari Kairo,13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
15 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192. Juga lihat Shlaim, Collusion across the Jordan, 197.
16 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxxii.
17 Allon, Shield of David, 187.
18 Khalidi, Before Their Diaspora, 316. Lihat juga Cockburn, Dangerous Liaison, 20-21; Peres, David's Sling, 32-33. Sebagai balasan bagi bantuan itu, Israel menyampaikan beberapa rahasia peralatan militer AS kepada Cekoslowakia, termasuk sebuah sistem radar bergerak, lihat Green, Living by the Sword, 217-18.
19 Khalidi, From Haven to Conquest, 861-66.
20 Grose, Israel in the Minds of America, 210-11.
21 Raviv dan Melman, Every Spy a Prince, 326-30; Cockburn, Dangerous Liaison, 24-25.
22 Cockburn, Dangerous Liaison, 24-25,158.
2 Ibid., 24-25.
24 Dalam sebuah surat untuk Presiden Truman, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 189.
25 Khalidi, From Haven to Conquest, 867-71.
26 Green, Taking Sides, 71.
27 Flapan, The Birth of Israel, 195. Tekanan ini ada pada tulisan aslinya. Untuk pembahasan mengenai berbagai perkiraan layak yang mencerminkan semua pihak, lihat Flapan, 194-97.
28 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel,189.
29 Telegram rahasia "INFOTEL dari Menteri Luar Negeri," 14 Mei 1948, dikutip dalam Green, Taking Sides, 70-71.
30 Kawat 513 dari Kairo, 13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
31 Glubb, A Soldier with the Arabs, 152.
32 Shlaim, Collusion across Jordan, 271-72.
33 Flapan, The Birth of Israel, 123.
34 el-Edroos, The Hashemite Arab Army, 244.
35 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 7.
36 Fallaci, Interview with History, 100.
37 Ben-Gurion, Israel, 63.
38 Michael C. Hudson, "The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 A.D." dalam Asali, Jerusalem in History, 257.
39 Quigley, Palestine and Israel, 41. Lihat juga Flapan, The Birth of Israel, 90-91.
40 Bethell, The Palestine Triangle, 263; Sachar, A History of Israel, 267. Untuk rincian mengenai pemboman dan reaksi para pejabat Inggris, lihat Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 269-70.
41 Silver, Begin, 78-80.
42 CO 537/3855 (London: Public Record Office), dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 270-71; Tannous, The Palestinians, 474. Pemerintah Inggris secara terbuka mengutuk pemboman Semiramis sebagai suatu "tindak pembunuhan yang pengecut dan keji atas orang-orang tak bersalah." Ketika Agen Yahudi mengajukan keberatan karena Inggris tidak mengutuk pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Arab, para pejabat Inggris menjawab bahwa orang-orang Arab itu tidak melancarkan serangan-serangan terorganisasi atas bangunan-bangunan yang dihuni oleh kaum wanita dan anak-anak; lihat Quigley, Palestine and Israel, 43.
43 Khalidi, From Haven to Conquest, 761-78, memuat penjelasan tangan pertama yang mengharukan dari Jacques de Reynier, "Deir Yassin;" serta penjelasan-penjelasan tentang serangan-saerangan atas pusat-pusat Palestina lainnya. Banyak penulis telah membahas tentang pembantaian itu, barangkali tidak lebih baik dibanding Silver, Begin, 88-89. Juga lihat rincian-rinciannya dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 271-72.
44 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 222. Juga lihat Palumbo, The Palestinian Catastrophe, xii-xiv; Quigley, Palestine and Israel, 85; Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 272.
45 Persson, Mediation and Assassination, 204. Juga lihat Kurzman, Genesis 1948, 555-56; Avishai Margalit, "The Violent Life of Yitzhak Shamir," New York Review of Books, 14 Mei 1992; Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 36.
46 Teveth, David Ben-Gurion and the Palestinian Arabs, 27.
47 Segev,1949, 69-72.
48 Thomas J. Hamiton, New York Times, 19 November 1949; "Report of the Special Representative's mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," laporan PBB No. A/6797.
49 Walid Khalidi, "The Palesfine Problem: An Overview," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991, 9.
50 Anne O'Hare McCormick, New York Times, 18 Januari 1949. Juga lihat Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 135-36; Cattan, Jerusalem, 61; Segev, 1949, 95.
51 Israel Shahak, "Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 43-54. Juga lihat Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, xiv-xviii, yang melakukan penelitian serupa dengan penelitian Shahak pada 1980-an dan membuat daftar nama, tanggal, dan penyebab ditinggalkannya 369 desa Arab pada 1948-1949. Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, menyalin daftar semua kota besar, kota kecil, dan desa di Palestina pada 1945 sebagaimana yang diterbitkan dalam Palestine Gazette (295-306) dan juga daftar nasib yang menimpa semua unit politik itu setelah 1948 (315-32).
52 Suatu penelitian yang diselesaikan pada 1991 oleh sarjana Walid Khalidi melaporkan bahwa 418 desa telah dihancurkan; lihat Khalidi, All That Remains.
53 Israel Shahak, "Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 43.
54 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 84.
55 Shlaim, Collusion across the Jordan, 289. Sebuah versi buku sampul tipis yang ringkas dari karya penting Shlaim diterbitkan pada 1990 oleh Columbia University Press dengan judul The Politics of Partition: King Abdullah, the Zionists, and Palestine.
56 Sachar, A History of Israel, 350; Epp, Whose Land Is Palestine?, 195. Untuk rincian mengenai rencana-rencana Israel untuk menduduki wilayah Palestina, lihat Khalidi, From Haven to Conquest, lxxv-lxxxiii, 755-61. Untuk telaah yang sangat bagus tentang pemilikan tanah Yahudi, lihat Ruedy, "Dynamics of Land Alienation;" dalam Abu-Lughod, Transformation of Palestine, 119-38. Juga lihat Davis Mezvinsky, Documents front Israel, 43-54; Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 155, 179; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 305-45; Nyrop, Israel, 52; Shipler, Arab and Jew, 32-36; Segev, 1949, 69-71.
57 McDowall, Palestine and Israel, 193. Teks deklarasi itu terdapat dalam Ben-Gurion, Israel, 79-81.
58 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 155, 179.
59 Dikutip dalam Nakhleh, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 310, dari Ha'aretz (Tel Aviv), 4 April 1969.
60 Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 369.
61 dan Peretz, "The Arab Refugee Dilemma;" Foreign Affairs, Oktober 1954.
62 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 146.
63 Lustick, Arabs in the Jewish State, 59.
64 Nyrop, Israel, xix; Foundation for Middle East Peace, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus, Juli 1991.
65 Ahmad Beydoun, "The South Lebanon Border Zone: A Local Perspective;" Journal of Palestine Studies, Musim Semi 1992,44.
66 Thomas L. Friedman, New York Times, 22 September 1986.
67 Israel berusaha mempertahankan sebidang tanah seluas 250 acre di garis depan pantai Sinai sebelah selatan Eliat yang bemama Taba. Namun, satu kelompok yang terdiri atas lima juri menetapkan pada 1988 bahwa tanah itu sah dimiliki oleh Mesir, dan Israel akhirnya terpaksa melepaskannya sepuluh tahun setelah perjanjian; Edward Cody, Washington Post, 30 September 1988.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
PEMERINTAHAN YITZHAK RABIN
Catatan Yitzhak Rabin tidak menawarkan tanda-tanda optimistik bahwa pemerintahan Israel sekarang ini akan mencapai perdamaian. Rabin adalah salah seorang pejabat Israel paling berpengalaman. Dia menjadi pemimpin kelahiran asli Israel pertama ketika dia meraih kekuasaan sebagai perdana menteri pada 1974. Pemerintahannya berlangsung hingga 1977, ketika Partai Likud Menachem Begin mengambil alih dan menguasai panggung politik Israel selama lima belas tahun berikutnya. Rabin sekali lagi menjadi perdana menteri ketika Likud kehilangan kekuasaannya pada 23 Juni 1992.
Rabin dilahirkan di Jerusalem pada 1 Maret 1920, dan merupakan salah seorang sukarelawan pertama pada 1941 yang bergabung dengan unit-unit militer bawah tanah Yahudi baru bernama Palmach (kawanan penyerang). Sebagai komandan Palmach dia sangat berjasa dalam memaksa beribu-ribu orang Palestina keluar dari rumah-rumah mereka. Karier militernya yang tertinggi dicapainya dengan pengangkatannya sebagai kepala staf pada 1964, komando militer tertinggi Israel. Di bawah pimpinannya, Israel melancarkan perang 1967, yang mengakibatkan penaklukan Tepi Barat, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan, dan Jazirah Sinai serta terciptanya beratus-ratus ribu lebih pengungsi Palestina. Dia meninggalkan dinas militer pada 1968 untuk menduduki jabatan sebagai duta besar Israel untuk Amerika Serikat selama lima tahun. Pada 1984 dia menjadi menteri pertahanan dan melancarkan tekanan brutal Israel terhadap gerakan intifadhah Palestina. Rabin digantikan sebagai menteri pertahanan pada Juni 1990.
OMONG KOSONG
"Saya bersedia mengadakan perjalanan hari ini, besok, ke Amman, Damascus, Beirut demi perdamaian, sebab tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan perdamaian." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 19921
FAKTA
Jika catatan Perdana Menteri Rabin dapat dijadikan pertanda, kata-katanya yang menggambarkan dirinya sebagai seorang pencari damai harus diterima secara hati-hati.
Selama bertahun-tahun Rabin berulang kali menjelaskan bahwa dia tidak setuju mengembalikan semua atau bahkan sebagian besar wilayah pendudukan. Dia menentang Palestina sebagai suatu negara. Dalam pidato pelantikannya, dia secara tegas menolak setiap pembahasan, apalagi kompromi, mengenai status Jerusalem. Secara tersirat dia menuntut bagian-bagian utama dari Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan, barangkali, Jalur Gaza dengan menyatakan bahwa dia akan terus membangun pemukiman-pemukiman yang "aman." Dia sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang Resolusi PBB 242, yang menegaskan rumusan pertukaran tanah untuk perdamaian, atau tentang Organisasi Pembebasan Palestina, satu-satunya wakil sah bangsa Palestina. Dia menentang kewarganegaraan Israel bagi orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan.
Semua ini menunjukkan pendirian garis kerasnya.
Pun catatan Rabin tidak banyak memberikan harapan bahwa dia mendapat kepercayaan dari bangsa Palestina. Sebagai menteri pertahanan sejak awal intifadhah pada akhir 1987, Rabin menyetujui berbagai cara kejam yang digunakan Israel untuk menekan orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan. Ini termasuk jam malam terus-menerus yang diberlakukan terhadap beratus-ratus ribu orang Palestina, pemutusan aliran listrik dan telepon ke kamp-kamp pengungsi, dan blokade atas pasokan-pasokan bahan makanan yang sangat dibutuhkan.2 Ketika Menteri Pertahanan Yitzhak Rabin ditanya apakah Israel akan terus menolak memberikan makanan ke kamp-kamp pengungsi, dia berkata: "Tidak ada keraguan tentang itu. Kami tidak akan membiarkan dukungan dari luar untuk komoditas-komoditas itu, tidak oleh negara-negara, tidak juga oleh organisasi-organisasi."3
Rabin jugalah pejabat yang mengumumkan kebijaksanaan "patah tulang" yang mengerikan itu, dengan mengatakan bahwa Israel akan menggunakan "kekerasan, kekuatan, dan pukulan-pukulan" untuk menekan intifadhah.4 Tidak lama setelah itu, laporan-laporan pers Israel menyatakan bahwa 197 orang Palestina telah menjalani perawatan selama tiga hari di Jalur Gaza karena mengalami retak tulang akibat pukulan-pukulan; The New York Times menambahkan bahwa angka di seluruh wilayah pendudukan "jelas mencapai beratus-ratus dan bahkan lebih."5
Rabin juga menambah jumlah orang-orang Palestina yang diusir dan menunda prosedur pengadilan bagi "penahanan administratif" untuk memungkinkan kemudahan memasukkan para tersangka ke penjara; para terdakwa kini dapat ditahan tanpa tuduhan atau pengadilan untuk masa yang tak ditentukan.6 Para tersangka itu termasuk dokter, ahli hukum, wartawan, pemimpin perserikatan, pejabat universitas, dan mahasiswa.7 Di bawah Rabin, semua sekolah Palestina ditutup, yang membuat anak-anak Palestina kehilangan kesempatan pendidikan.8 The New York Times berkomentar dalam sebuah judul berita: "Bagi Orang-orang Arab di Tepi Barat, Pendidikan Dianggap sebagai Kejahatan. "9
Rabin melarang para penduduk wilayah-wilayah pendudukan melakukan perjalanan ke Israel atau antara kota-kota besar di Tepi Barat. Hanya para pemukim Yahudi di sana yang diperbolehkan bergerak ke mana-mana.10 Rabin mengumumkan hukuman penjara selama lima tahun untuk para pelempar batu yang menyebabkan terjadinya kerusakan serius dan denda $1.000 terhadap orang-tua dari anak-anak di bawah usia empat belas tahun yang tertangkap tengah melempar batu.11
Ketika pemberontakan Palestina terus berlangsung, Rabin mengatakan bahwa para penduduk sipil Israel boleh menembak jika melihat ada seseorang membawa sebuah koktil Molotov, suatu kebijaksanaan yang diprotes oleh Kementerian Luar Negeri AS.12 Dia melanjutkan penghancuran atau penyegelan rumah-rumah dari para tersangka, bahkan ketika tidak diakui sebagai tempat tinggal bagi para anggota keluarga lainnya.13
Ketika penggunaan peluru-peluru plastik oleh pasukan Israel secara dramatis meningkatkan jumlah korban di kalangan orang-orang Palestina, Rabin mengatakan bahwa "itulah sasaran kami yang sebenarnya... tujuan kami adalah meningkatkan jumlah [orang terluka] di kalangan mereka yang ikut ambil bagian dalam aktivitas-aktivitas kekerasan namun tidak membunuh mereka." Seorang pejabat PBB menyamakan taktik baru itu dengan "musim terbuka" dari kalangan orang-orang Palestina.14
Kekejaman semacam itu bukan hal yang baru bagi Rabin. Pada 1948 dia adalah komandan brigade yang bertugas merebut kota-kota Palestina, Lydda dan Ramle, yang keduanya merupakan kota-kota Arab yang ditetapkan sebagai bagian dari negara Arab dalam Rancana Pembagian PBB. Di bawah perintah David Ben-Gurion, Rabin memaksa paling sedikit 50.000 dan barangkali 60.000 orang Palestina untuk lari dari rumah-rumah mereka dan menjadi pengungsi.15
Selama perang 1967, Rabin menjadi kepala staf dan mengawasi penghancuran banyak sekali desa-desa Palestina dan pemaksaan 323.000 orang Palestina menjadi pengungsi. Dari semua ini, 113.000 orang menjadi pengungsi untuk kedua kalinya dari 726.000 orang yang kehilangan rumah mereka akibat perang 1948, banjir manusia lainnya yang menyebar ke dalam diaspora mereka sendiri.16
Ketika dia pertama kali menjadi perdana menteri pada 1974, Rabin memprakarsai suatu kebijaksanaan pembalasan Israel yang baru terhadap basis-basis gerilyawan Palestina di Lebanon Selatan. Kebijaksanaan ini mencakup penggunaan pesawat-pesawat perang. Dalam serangan-serangan udara pertama di bawah kebijaksanaan baru Rabin paling sedikit 100 orang Arab terbunuh dan 200 orang terluka.17
Di bawah Rabin, Israel bersikap begitu kaku dalam perundingan-perundingan pada 1975 dengan Mesir mengenai Jazirah Sinai sehingga Presiden Gerald Ford merasa perlu mengumumkan "penilaian kembali" atas kebijaksanaan AS bagi Timur Tengah. Itu merupakan suatu upaya yang agak tersamar untuk menekan Israel agar melakukan kompromi dengan Mesir dalam strategi Menteri Luar Negeri Henry Kissinger untuk mencapai persesuaian kedua antara kedua negara tersebut.18 Namun Rabin tidak mau mengalah. Ketika lobi Israel berhasil mengumpulkan tanda tangan tujuh puluh enam Senator dalam sebuah surat protes, Ford membatalkan penilaian kembali.
Baru setelah Kissinger menjanjikan Rabin tingkat bantuan tertinggi dalam bidang keuangan, diplomatik, dan teknologi sajalah Israel pada akhirnya setuju pada kesepakatan penarikan parsial Sinai II.19
Jika preseden itu menjadi petunjuk bagi apa yang dituntut oleh "usulan-usulan perdamaian" mutakhir Rabin dari Amerika Serikat, hal itu merupakan suatu pesan yang menenangkan. Sinai II adalah kesepakatan yang paling mahal yang pernah diambil Washington. Kissinger menjanjikan bantuan bagi Israel sekitar $2 milyar setiap tahun selama lima tahun berikut. Di kemudian hari jumlah ini naik menjadi $3 milyar. Tetapi itu baru permulaan dari banjir aset AS yang dilimpahkan ke Israel.20
Keuntungan tambahan mencakup serangkaian pemahaman-pemahaman rahasia untuk memberikan serangkaian komitmen yang ditandatangani pada September 1975. Dalam MOU utama yang dirahasiakan dengan Israel, Kissinger menjanjikan Amerika Serikat akan "melakukan segala upaya untuk menanggapi... untuk masa sekarang dan dalam jangka panjang, permintaan peralatan militer dan kebutuhan-kebutuhan pertahanan Israel lainnya, kebutuhan-kebutuhan energi, dan kebutuhan-kebutuhan ekonominya."21 Memorandum itu secara resmi menjanjikan dukungan Amerika untuk melawan ancaman-ancaman oleh suatu "kekuatan dunia," yang berarti Uni Soviet. Di antara janji-janji lainnya untuk rezim Rabin:
Amerika Serikat akan menjamin untuk masa lima tahun bahwa Israel akan memperoleh seluruh kebutuhan minyak dalam negerinya, dari Amerika Serikat jika perlu.
Amerika Serikat akan membayar bagi pembangunan fasilitas-fasilitas yang dapat menyimpan pasokan untuk satu tahun kebutuhan-kebutuhan cadangan.
Amerika Serikat akan membuat perencanaan untuk mengirimkan pasokan-pasokan militer ke Israel jika terjadi keadaan darurat.
Amerika Serikat setuju dengan pendapat Israel bahwa setiap perundingan dengan Yordania akan ditujukan untuk mencapai penyelesaian damai menyeluruh; yaitu, tidak boleh ada usaha diplomasi langkah-demi-langkah menyangkut Tepi Barat.
Amerika Serikat menjanjikan dalam suatu lampiran rahasia untuk MOU rahasia bahwa pemerintah akan mengajukan permohonan bantuan ekonomi dan militer untuk Israel setiap tahun ke Kongres. Lampiran itu juga menyatakan bahwa "Amerika Serikat berketetapan akan terus mempertahankan kekuatan defensif Israel melalui pasokan jenis-jenis peralatan canggih, seperti pesawat F-16." Sebagai tambahan, Amerika Serikat setuju untuk mempelajari pengiriman "teknologi tinggi dan peralatan-peralatan canggih, termasuk misil tanah-ke-tanah Pershing," yang biasanya digunakan untuk mengirimkan hulu ledak atom. Ketika persetujuan itu diungkapkan di muka umum, Washington kemudian membatalkan pengiriman Pershing.
Dalam suatu memorandum rahasia lainnya, Kissinger menjanjikan Amerika Serikat tidak akan "mengakui atau berunding dengan Organisasi Pembebasan Palestina selama Organisasi Pembebasan Palestina itu tidak mengakui hak hidup Israel dan tidak menerima Resolusi Dewan Keamanan 242 dan 338."22 kata-kata ini dikukuhkan menjadi undang-undang oleh Kongres pada 1985. Amerika Serikat juga menjanjikan akan sepenuhnya berkoordinasi pada strategi dalam setiap pertemuan-pertemuan Konferensi Jenewa mendatang. Maka, dengan penolakan Israel untuk mengakui PLO dan dengan adanya kelompok-kelompok kuat di dalam PLO yang pada waktu itu tidak mau menerima Resolusi 242 dan 338, jalan buntu menyangkut Tepi Barat semakin tak tertembus.
Presiden Ford menandatangani sebuah surat yang menjanjikan Rabin bahwa Amerika Serikat tidak akan mengajukan usulan perdamaian apa pun tanpa lebih dulu membahasnya dengan orang-orang Israel. Ini merupakan suatu konsesi penting sebab hal itu sesungguhnya merupakan suatu masukan langsung untuk merumuskan kebijaksanaan AS di Timur Tengah.23
Di samping itu, Presiden Ford menandatangani sebuah surat yang menjanjikan bahwa Amerika Serikat "akan mendukung pendapat Israel bahwa setiap perjanjian perdamaian dengan Syria harus didasarkan atas hak milik Israel di Dataran Tinggi Golan."24
Dengan adanya komitmen menyangkut kekayaan, teknologi, prestise, dan dukungan diplomatik AS ini, Rabin setuju untuk menarik pasukan pendudukan Israel dua puluh hingga empat puluh mil sebelah timur Terusan Suez, dengan masih membiarkan lebih dari separuh Sinai berada di bawah kontrolnya.25
Kissinger pernah berkomentar tentang Rabin: "Jika dia diserahi seluruh Komando Udara Strategis Amerika serikat sebagai hadiah cuma-cuma pasti dia akan (a) menunjukkan sikap bahwa setidak-tidaknya Israel mendapatkan apa yang menjadi haknya, dan b) mencari-cari kelemahan teknis dalam pesawat-pesawat yang membuat penerimaannya atas mereka suatu konsesi setengah hati bagi kita."26
OMONG KOSONG
"Kami ingin menekankan bahwa pemerintah akan terus menguatkan dan membangun pemukiman Yahudi di sepanjang jalur konfrontasi, mengingat makna pentingnya dari segi keamananan." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 199227
FAKTA
Sejumlah besar jenderal dan orang-orang Israel lainnya telah selama bertahun-tahun menegaskan bahwa pemukiman-pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan tidak mempunyai nilai keamananan sama sekali. Bahkan seorang ideolog yang begitu besar pengabdiannya seperti Binyamin Ze'ev Begin, putra mantan perdana menteri dan pembawa suara terkemuka dalam Partai Likud, menulis pada 1991: "Dalam pengertian strategis, pemukiman-pemukiman (di Judea, Samaria, dan Gaza) tidak punya makna penting." Yang menjadikannya penting, tambahnya, adalah bahwa "pemukiman-pemukiman itu menjadi penghalang yang tak dapat diatasi bagi pendirian sebuah negara Arab merdeka di sebelah barat sungai Yordan."28
Mahkamah Agung Israel telah menetapkan bahwa perebutan tanah Palestina untuk melokasikan pemukiman Yahudi dengan pemandangan ke Nablus di Tepi Barat yang telah diduduki itu tidak didasarkan atas pertimbangan keamanan. Peraturan pengadilan pada 1979 itu pada pokoknya berarti bahwa pemukiman-pemukiman tidak menawarkan nilai keamanan yang cukup untuk membenarkan penyitaan tanah Palestina. Keputusan pengadilan itu sebagian didasarkan atas suatu sumpah tertulis yang diberkaskan oleh mantan Kepala Staf Haim Bar-Lev, yang menyatakan: "Pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah Judea dan Samaria yang berpenduduk tidak mempunyai apa pun yang dapat memberikan sumbangan pada keamanan saat ini. Sebaliknya, mereka justru mengganggu keamanan... Setiap usaha untuk menyatakan adanya motif keamanan pada para pemukim ini adalah menyesatkan dan menyimpang. Pemukiman-pemukiman ini justru merugikan keamanan."29
Perdana Menteri Yitzhak Rabin kini mengemukakan perbedaan antara pemukiman "keamanan" dan pemukiman "politik." Yang dimaksudkannya dengan pemukiman kemanan adalah pos-pos luar yang didirikan sepanjang perbatasan Lembah Yordania dengan Yordania dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Pemukiman-pemukiman Politik adalah pemukiman-pemukiman di tengah pusat-pusat penduduk Palestina, kecuali di Jerusalem Timur. Pada waktu pemilihan kembali Rabin, ada sekitar 90 pemukiman "keamanan" dengan penduduk 51.000 orang di Tepi Barat-separuh dari jumlah keseluruhan sekitar 180 pemukiman Tepi Barat dengan hampir 100.000 orang pemukim.30
Mantan Menteri Pertahanan Ezer Weizman mendukung pemukiman-pemukiman itu namun dengan terus terang dia mengakui: "Alasan-alasan keamanan --istilah itu mempunyai nilai yang dapat dirundingkan di negara Israel. Pelajaran yang dapat diambil dari semua perang yang telah kita jalani justru kebalikannya: pemukiman-pemukiman di perbatasan tidak pernah dapat menjadi pengganti angkatan bersenjata. Bahkan pemukiman-pemukiman yang dipertahankan melawan angkatan bersenjata Arab pada 1948 biasanya dimenangkan dengan bantuan angkatan bersenjata. Lebih-lebih, Israel harus mengevakuasi para pemukimnya di Dataran Tinggi Golan ketika berlangsung Perang Yom Kippur karena mereka terdampar di tengah medan pertempuran... Pemukiman-pemukiman yang lemah dan terpencil justru menjadi beban dan gangguan dalam pengertian militer"31
Rabin tidak membuat pretensi keamanan menyangkut pemukiman-pemukiman di dan seputar Jerusalem. Tujuan pemukiman-pemukiman Yahudi di sana semata-mata untuk mengajukan tuntutan atas seluruh kota itu sebagai ibukota Israel. Rabin berkata dalam pidato pelantikannya tahun 1992: "Pemerintahan ini, sebagaimana semua pendahulunya, percaya bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam Dewan mengenai keabadian dari kota Jerusalem sebagai ibukota Israel. Jerusalem, utuh dan bersatu, telah dan akan menjadi ibukota bangsa Israel di bawah kekuasaan Israel, tempat yang dirindukan dan diimpikan oleh setiap orang Yahudi. Pemerintah telah berbulat hati dalam keputusannya bahwa Jerusalem bukanlah masalah yang dapat dirundingkan. Tahun-tahun yang akan datang pun akan menyaksikan perluasan pembangunan di metropolitan Jerusalem. Setiap orang Yahudi, baik yang beragama maupun yang sekular, bersumpah: 'Jika aku melupakanmu, wahai Jerusalem, biarlah tangan kananku lumpuh!' Sumpah ini menyatukan kita semua dan jelas mengena di hati saya, sebagai penduduk asli Jerusalem."32
OMONG KOSONG
"Sebagai langkah pertama menuju solusi permanen, kami akan membahas pelaksanaan otonomi di Judea, Samaria, dan distrik Gaza." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 199233
FAKTA
Sementara Perdana Menteri Rabin melalui pidato pelantikannya di tahun 1992 tampaknya siap membantu dengan menyatakan kesediaan Israel untuk memberikan otonomi pada wilayahwilayah Palestina yang diduduki, tidak ada tanggapan di kalangan orang-orang Palestina. Alasannya: Rabin mengusulkan rencana otonomi yang sama yang pernah ditawarkan hampir lima belas tahun yang lalu oleh Menachem Begin. Hal itu telah lama didiskreditkan sebagai semata-mata taktik penundaan yang memungkinkan Israel untuk mempertahankan wilayah-wilayah pendudukan.
Rencana otonomi Begin hanya memberikan kepada orang-orang Palestina lingkup pemerintahan sendiri yang sangat sempit atas masalah-masalah seperti pengumpulan sampah dan perbaikan jalan, tapi tidak menyentuh soal-soal penting yang menyangkut air atau tanah tempat tinggal mereka. Pada saat yang sama, rencana itu memungkinkan dilanjutkannya kehadiran pasukan pendudukan Israel dan tidak menawarkan batas waktu bagi kepastian untuk masalah utama tentang siapa yang memegang kekuasaan atas wilayah-wilayah tersebut.34
Sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Ezer Weizman: "Kegigihan [Begin] yang tak tergoyahkan untuk melestarikan pemerintahan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza mendorongnya untuk merumuskan rencana otonomi itu."35 Dengan kata lain, itu merupakan suatu cara yang cerdik untuk mempertahankan kontrol Israel sementara menunjukkan bahwa Israel tengah mengajukan konsesi-konsesi besar pada bangsa Palestina. Mantan menteri kehakiman dalam pemerintahan Perdana Menteri Yitzhak Shamir, Dan Meridor, mengakui demikian pula pada awal 1992: "Rencana otonomi itu kini merupakan sarana paling efisien untuk memastikan dipertahankannya kontrol Israel atas Judea, Samaria, dan Gaza."36
Rencana Begin itu dikecam bahkan oleh beberapa orang Israel, terutama yang paling terkenal adalah Profesor Jacob Talmon dari Hebrew University di Jerusalem, salah seorang tokoh paling dihormati dalam Zionisme dan nasionalisme modern. Dalam sebuah surat panjang kepada Begin, Talmon menulis: "Tuan Perdana Menteri, gagasan otonomi sebagaimana yang Anda usulkan sudah usang, suatu tipu daya untuk menutup mulut orang-orang non-Yahudi. Siapa pun yang mengenal sejarah imperium-imperium multinasional pada penutupan abad yang lalu... tidak dapat tidak akan menggelengkan kepalanya melihat tawaran yang dicari-cari dari tumpukan-tumpukan sampah sejarah ini...
"Tuan Perdana Menteri, dengan segala hormat kepada kepala pemerintahan dan sesama ahli sejarah, izinkan saya untuk memberitahu Anda berdasarkan riset yang telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun atas sejarah nasionalisme, bahwa betapapun kuno, istimewa, mulia, dan uniknya motif-motif subjektif kita, usaha untuk menguasai dan memerintah, pada akhir abad kedua puluh, penduduk asing yang menyimpan kebencian, yang berbeda bahasa, sejarah, kebudayaan, agama, kesadaran nasional, dan aspirasi-aspirasinya, ekonomi serta struktur sosialnya-lama saja dengan usaha untuk menghidupkan kembali feodalisme."37
OMONG KOSONG
"Sudah sejak dalam langkah-langkah pertamanya, pemerintah --barangkali melalui kerjasama dengan negeri-negeri lain-- mencurahkan perhatiannya pada upaya menggagalkan setiap kemungkinan bahwa musuh-musuh Israel menyimpan senjata-senjata nuklir." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 199238
FAKTA
Ada sesuatu yang dalam dugaan bahwa Israel akan berdiri sebagai semacam pengawal untuk melawan pengembangan senjata-senjata nuklir, sementara dalam kenyataannya ia merupakan satu-satunya negara di wilayah itu yang memiliki senjata-senjata tersebut. Namun yang lebih mengganggu adalah isyarat dari Perdana Menteri Rabin bahwa "negeri-negeri lain" mungkin akan bergabung dengan Israel dalam peranan itu. Rabin hampir pasti mengacu pada Amerika Serikat, yang menunjukkan adanya lingkup kolusi rahasia lainnya dari kedua negara itu melawan bangsa-bangsa Arab. Presiden Bush tampaknya mengakui upaya itu ketika dia bertemu dengan Rabin beberapa minggu setelah pelantikan Rabin dan berkata dalam konferensi pers bersama mereka pada 11 Agustus: "Jadi kami memantapkan diri untuk bekerja sama guna mencegah proliferasi senjata-senjata konvensional serta senjata-senjata penghancuran massa."39 Jika demikian, itu merupakan bukti lain dari jalinan kebijaksanaan AS dengan kebijaksanaan Israel.
Suatu contoh tentang bagaimana keakraban Amerika dengan Israel menyelewengkan kebijaksanaan AS melawan proliferasi terjadi pada Juni 1992 dengan dipublikasikannya sebuah buku petunjuk dari Departemen Perdagangan tentang proyek-proyek roket paling berbahaya di Dunia Ketiga. Tujuan daftar itu adalah memberikan identitas dari proyek-proyek semacam itu kepada perusahaan-perusahaan industri dan dengan demikian mencegah penjualan-penjualan yang dapat membantu mereka. Yang mengherankan, daftar itu menghapuskan beberapa proyek roket paling berbahaya di Timur Tengah. Alasannya, dalam kata-kata ahli nuklir Gary Mulhollin: "Orang-orang Israel menentang daftar versi pemerintah tahun 1991 sebab di situ tercantum Jericho, misil primer mereka. Setelah menyerah pada tuntutan Israel agar Jericho tidak dicantumkan, pemerintah terpaksa tidak mencantumkan pula proyek-proyek yang tengah dikerjakan di Mesir, Lybia, dan Syria sebab, para pejabat pemerintah memberitahu saya secara pribadi, secara politis akan memalukan jika kita melakukan sebaliknya."40
Dengan kata lain, demi memenuhi keinginan Israel agar misilnya sendiri, Jericho, yang mampu membawa senjata-senjata nuklir ke setiap ibukota negara Arab, tidak dicantumkan, Amerika Serikat menutup mata terhadap semua proyek misil di Timur Tengah.
Catatan kaki:
1 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992. Teks itu terdapat pada Pelayanan Informasi Siaran Luar Negeri, 14 Juli 1992, 23-27, sementara kutipan-kutipan utamanya terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1992,146-49.
2 Glenn Frankel, Washington Post, 20 Januari 1988.
3 John Kifner, New York Times, 20 Januari 1988. Untuk laporan yang sangat bagus mengenai akibat-akibat dari jam malam, lihat Glenn Frankel, Washington Post, 20 Januari 1988.
4 Kifner, New York Times, 20 Januari 1988. Juga lihat Jonathan C. Randal, Washington Post, 21 Januari 1988; Glenn Frankel, 23 Januari 1988.
5 John Kifner, New York Times, 23 Januari 1988.
6 John Kifner, New York Times, 23 Maret 1988.
7 Glenn Frankel, Washington Post, 13 Mei 1988.
8 Joel Brinkley, New York Times, 21 Januari 1989.
9 Joel Brinkley, New York Times, 8 Mei 1989.
10 Glenn Frankel, Washington Post, 29 Maret 1988.
11 Avishai Margalit, "Israel: The Rise of the Ultra-Orthodox," New York Review of Books, 9 November 1989.
12 Joel Brinklev, New York Times, 14 Mei 1988.
13 Joel Brinkley, New York Times, 20 Juni 1988.
14 Glenn Frankel, Washington Post, 28 September 1988.
15 Rabin secara terus terang menulis dalam memoarnya mengenai kejadian pada akhir 1970-an itu, namun bagian itu disensor oleh Israel. Tulisan tersebut di kemudian hari dipublikasikan oleh New York Times (23 Oktober 1979) dan Newsweek (9 November 1979) dan oleh penerjemah bahasa Inggris Rabin, Peretz Kidron. Lihat Kidron, "Truth Whereby Nations Live," dalam Said dan Hitchens, Blaming the Victims. Juga lihat Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 127.
16 "Report on the Mission of the Special Representative to the Occupied Territories, 15 September 1967," Laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Davis, The Evasive Peace, 69; Neff, Warriors for Jerusalem, 320. Davis mengemukakan angka pengungsi dua kali itu adalah 145.000.
17 Terence Smith, New York Times, 21 Juni 1974; James F. Clarity, New York Times, 20 Juni 1974. Juga lihat Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 791, 824.
18 Quandt, Decade of Decisions, 267; Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 165-68.
19 Teks kesepakatan dan MOU serta lampiran rahasianya terdapat dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 3: 281- 90. Juga lihat Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, Lampiran Delapan.
20 Sepanjang lima tahun selanjutnya Kementerian Luar Negeri melaporkan bahwa keseluruhan bantuan bagi Israel setara dengan $1,742 milyar pada 1977, $1,792 milyar pada 1978, $4,790 milyar pada 1979 (mencerminkan biaya untuk memindahkan Israel keluar dari Sinai), $1,786 milyar pada 1980 dan $2,164 milyar pada 1981; lihat New York Times, 8 Agustus 1982.
21 Teks itu terdapat dalam Yodfat dan Arnon-Ohanna, PLO, 191, dan Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 156-57.
22 Ibid.
23 Quandt, Decade of Decisions, 201.
24 Teks itu terdapat dalam Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991, 183-84.
25 Neff, Warrior against Israel, 302-3; Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 190.
26 Kissinger, White House Years, 568.
27 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992.
28 Elfi Pallis, "The Likud Party: A Primer," Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1992, 45-46.
29 Dikutip dalam Aronson, Creating Facts, 111. Juga lihat Peter Edelman, wakil ketua Americans for Peace Now, kesaksian di depan Dewan Subkomite Operasi-operasi Luar Negeri, 21 Februari 1992.
30 Yayasan bagi Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
31 Weizman, The Battle for Peace, 226.
32 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992.
33 Ibid.
34 Sicherman, Palestinian Self-Government (Autonomy), 8- 9. Iuga lihat Carter, Keeping Faith, 300; Quandt, Camp David, 156; Rubenberg, Israel and the American National Interest, 218- 19; Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977- 1980, 641-44.
35 Weizman, The Battle for Peace, 119.
36 Ha'aretz (Tel Aviv), 2 Maret 1992.
37 Teks surat itu terdapat dalam Aronson, Creating Facts, 132-37; dan Thorpe, Prescription for Conflict, 167-82. Dipublikasikan dalam Disent pada Musim Gugur 1980. 38 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992. 39 Konferensi pers, disiarkan oleh CNN, 11 Agustus 1992.
38 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992.
39 Konferensi pers, disiarkan oleh CNN, 11 Agustus 1992.
40 Gary Mulhollin dan Gerard White, Washington Post, rubrik Outlook, 16 Agustus 1992.
Catatan Yitzhak Rabin tidak menawarkan tanda-tanda optimistik bahwa pemerintahan Israel sekarang ini akan mencapai perdamaian. Rabin adalah salah seorang pejabat Israel paling berpengalaman. Dia menjadi pemimpin kelahiran asli Israel pertama ketika dia meraih kekuasaan sebagai perdana menteri pada 1974. Pemerintahannya berlangsung hingga 1977, ketika Partai Likud Menachem Begin mengambil alih dan menguasai panggung politik Israel selama lima belas tahun berikutnya. Rabin sekali lagi menjadi perdana menteri ketika Likud kehilangan kekuasaannya pada 23 Juni 1992.
Rabin dilahirkan di Jerusalem pada 1 Maret 1920, dan merupakan salah seorang sukarelawan pertama pada 1941 yang bergabung dengan unit-unit militer bawah tanah Yahudi baru bernama Palmach (kawanan penyerang). Sebagai komandan Palmach dia sangat berjasa dalam memaksa beribu-ribu orang Palestina keluar dari rumah-rumah mereka. Karier militernya yang tertinggi dicapainya dengan pengangkatannya sebagai kepala staf pada 1964, komando militer tertinggi Israel. Di bawah pimpinannya, Israel melancarkan perang 1967, yang mengakibatkan penaklukan Tepi Barat, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan, dan Jazirah Sinai serta terciptanya beratus-ratus ribu lebih pengungsi Palestina. Dia meninggalkan dinas militer pada 1968 untuk menduduki jabatan sebagai duta besar Israel untuk Amerika Serikat selama lima tahun. Pada 1984 dia menjadi menteri pertahanan dan melancarkan tekanan brutal Israel terhadap gerakan intifadhah Palestina. Rabin digantikan sebagai menteri pertahanan pada Juni 1990.
OMONG KOSONG
"Saya bersedia mengadakan perjalanan hari ini, besok, ke Amman, Damascus, Beirut demi perdamaian, sebab tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan perdamaian." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 19921
FAKTA
Jika catatan Perdana Menteri Rabin dapat dijadikan pertanda, kata-katanya yang menggambarkan dirinya sebagai seorang pencari damai harus diterima secara hati-hati.
Selama bertahun-tahun Rabin berulang kali menjelaskan bahwa dia tidak setuju mengembalikan semua atau bahkan sebagian besar wilayah pendudukan. Dia menentang Palestina sebagai suatu negara. Dalam pidato pelantikannya, dia secara tegas menolak setiap pembahasan, apalagi kompromi, mengenai status Jerusalem. Secara tersirat dia menuntut bagian-bagian utama dari Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan, barangkali, Jalur Gaza dengan menyatakan bahwa dia akan terus membangun pemukiman-pemukiman yang "aman." Dia sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang Resolusi PBB 242, yang menegaskan rumusan pertukaran tanah untuk perdamaian, atau tentang Organisasi Pembebasan Palestina, satu-satunya wakil sah bangsa Palestina. Dia menentang kewarganegaraan Israel bagi orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan.
Semua ini menunjukkan pendirian garis kerasnya.
Pun catatan Rabin tidak banyak memberikan harapan bahwa dia mendapat kepercayaan dari bangsa Palestina. Sebagai menteri pertahanan sejak awal intifadhah pada akhir 1987, Rabin menyetujui berbagai cara kejam yang digunakan Israel untuk menekan orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan. Ini termasuk jam malam terus-menerus yang diberlakukan terhadap beratus-ratus ribu orang Palestina, pemutusan aliran listrik dan telepon ke kamp-kamp pengungsi, dan blokade atas pasokan-pasokan bahan makanan yang sangat dibutuhkan.2 Ketika Menteri Pertahanan Yitzhak Rabin ditanya apakah Israel akan terus menolak memberikan makanan ke kamp-kamp pengungsi, dia berkata: "Tidak ada keraguan tentang itu. Kami tidak akan membiarkan dukungan dari luar untuk komoditas-komoditas itu, tidak oleh negara-negara, tidak juga oleh organisasi-organisasi."3
Rabin jugalah pejabat yang mengumumkan kebijaksanaan "patah tulang" yang mengerikan itu, dengan mengatakan bahwa Israel akan menggunakan "kekerasan, kekuatan, dan pukulan-pukulan" untuk menekan intifadhah.4 Tidak lama setelah itu, laporan-laporan pers Israel menyatakan bahwa 197 orang Palestina telah menjalani perawatan selama tiga hari di Jalur Gaza karena mengalami retak tulang akibat pukulan-pukulan; The New York Times menambahkan bahwa angka di seluruh wilayah pendudukan "jelas mencapai beratus-ratus dan bahkan lebih."5
Rabin juga menambah jumlah orang-orang Palestina yang diusir dan menunda prosedur pengadilan bagi "penahanan administratif" untuk memungkinkan kemudahan memasukkan para tersangka ke penjara; para terdakwa kini dapat ditahan tanpa tuduhan atau pengadilan untuk masa yang tak ditentukan.6 Para tersangka itu termasuk dokter, ahli hukum, wartawan, pemimpin perserikatan, pejabat universitas, dan mahasiswa.7 Di bawah Rabin, semua sekolah Palestina ditutup, yang membuat anak-anak Palestina kehilangan kesempatan pendidikan.8 The New York Times berkomentar dalam sebuah judul berita: "Bagi Orang-orang Arab di Tepi Barat, Pendidikan Dianggap sebagai Kejahatan. "9
Rabin melarang para penduduk wilayah-wilayah pendudukan melakukan perjalanan ke Israel atau antara kota-kota besar di Tepi Barat. Hanya para pemukim Yahudi di sana yang diperbolehkan bergerak ke mana-mana.10 Rabin mengumumkan hukuman penjara selama lima tahun untuk para pelempar batu yang menyebabkan terjadinya kerusakan serius dan denda $1.000 terhadap orang-tua dari anak-anak di bawah usia empat belas tahun yang tertangkap tengah melempar batu.11
Ketika pemberontakan Palestina terus berlangsung, Rabin mengatakan bahwa para penduduk sipil Israel boleh menembak jika melihat ada seseorang membawa sebuah koktil Molotov, suatu kebijaksanaan yang diprotes oleh Kementerian Luar Negeri AS.12 Dia melanjutkan penghancuran atau penyegelan rumah-rumah dari para tersangka, bahkan ketika tidak diakui sebagai tempat tinggal bagi para anggota keluarga lainnya.13
Ketika penggunaan peluru-peluru plastik oleh pasukan Israel secara dramatis meningkatkan jumlah korban di kalangan orang-orang Palestina, Rabin mengatakan bahwa "itulah sasaran kami yang sebenarnya... tujuan kami adalah meningkatkan jumlah [orang terluka] di kalangan mereka yang ikut ambil bagian dalam aktivitas-aktivitas kekerasan namun tidak membunuh mereka." Seorang pejabat PBB menyamakan taktik baru itu dengan "musim terbuka" dari kalangan orang-orang Palestina.14
Kekejaman semacam itu bukan hal yang baru bagi Rabin. Pada 1948 dia adalah komandan brigade yang bertugas merebut kota-kota Palestina, Lydda dan Ramle, yang keduanya merupakan kota-kota Arab yang ditetapkan sebagai bagian dari negara Arab dalam Rancana Pembagian PBB. Di bawah perintah David Ben-Gurion, Rabin memaksa paling sedikit 50.000 dan barangkali 60.000 orang Palestina untuk lari dari rumah-rumah mereka dan menjadi pengungsi.15
Selama perang 1967, Rabin menjadi kepala staf dan mengawasi penghancuran banyak sekali desa-desa Palestina dan pemaksaan 323.000 orang Palestina menjadi pengungsi. Dari semua ini, 113.000 orang menjadi pengungsi untuk kedua kalinya dari 726.000 orang yang kehilangan rumah mereka akibat perang 1948, banjir manusia lainnya yang menyebar ke dalam diaspora mereka sendiri.16
Ketika dia pertama kali menjadi perdana menteri pada 1974, Rabin memprakarsai suatu kebijaksanaan pembalasan Israel yang baru terhadap basis-basis gerilyawan Palestina di Lebanon Selatan. Kebijaksanaan ini mencakup penggunaan pesawat-pesawat perang. Dalam serangan-serangan udara pertama di bawah kebijaksanaan baru Rabin paling sedikit 100 orang Arab terbunuh dan 200 orang terluka.17
Di bawah Rabin, Israel bersikap begitu kaku dalam perundingan-perundingan pada 1975 dengan Mesir mengenai Jazirah Sinai sehingga Presiden Gerald Ford merasa perlu mengumumkan "penilaian kembali" atas kebijaksanaan AS bagi Timur Tengah. Itu merupakan suatu upaya yang agak tersamar untuk menekan Israel agar melakukan kompromi dengan Mesir dalam strategi Menteri Luar Negeri Henry Kissinger untuk mencapai persesuaian kedua antara kedua negara tersebut.18 Namun Rabin tidak mau mengalah. Ketika lobi Israel berhasil mengumpulkan tanda tangan tujuh puluh enam Senator dalam sebuah surat protes, Ford membatalkan penilaian kembali.
Baru setelah Kissinger menjanjikan Rabin tingkat bantuan tertinggi dalam bidang keuangan, diplomatik, dan teknologi sajalah Israel pada akhirnya setuju pada kesepakatan penarikan parsial Sinai II.19
Jika preseden itu menjadi petunjuk bagi apa yang dituntut oleh "usulan-usulan perdamaian" mutakhir Rabin dari Amerika Serikat, hal itu merupakan suatu pesan yang menenangkan. Sinai II adalah kesepakatan yang paling mahal yang pernah diambil Washington. Kissinger menjanjikan bantuan bagi Israel sekitar $2 milyar setiap tahun selama lima tahun berikut. Di kemudian hari jumlah ini naik menjadi $3 milyar. Tetapi itu baru permulaan dari banjir aset AS yang dilimpahkan ke Israel.20
Keuntungan tambahan mencakup serangkaian pemahaman-pemahaman rahasia untuk memberikan serangkaian komitmen yang ditandatangani pada September 1975. Dalam MOU utama yang dirahasiakan dengan Israel, Kissinger menjanjikan Amerika Serikat akan "melakukan segala upaya untuk menanggapi... untuk masa sekarang dan dalam jangka panjang, permintaan peralatan militer dan kebutuhan-kebutuhan pertahanan Israel lainnya, kebutuhan-kebutuhan energi, dan kebutuhan-kebutuhan ekonominya."21 Memorandum itu secara resmi menjanjikan dukungan Amerika untuk melawan ancaman-ancaman oleh suatu "kekuatan dunia," yang berarti Uni Soviet. Di antara janji-janji lainnya untuk rezim Rabin:
Amerika Serikat akan menjamin untuk masa lima tahun bahwa Israel akan memperoleh seluruh kebutuhan minyak dalam negerinya, dari Amerika Serikat jika perlu.
Amerika Serikat akan membayar bagi pembangunan fasilitas-fasilitas yang dapat menyimpan pasokan untuk satu tahun kebutuhan-kebutuhan cadangan.
Amerika Serikat akan membuat perencanaan untuk mengirimkan pasokan-pasokan militer ke Israel jika terjadi keadaan darurat.
Amerika Serikat setuju dengan pendapat Israel bahwa setiap perundingan dengan Yordania akan ditujukan untuk mencapai penyelesaian damai menyeluruh; yaitu, tidak boleh ada usaha diplomasi langkah-demi-langkah menyangkut Tepi Barat.
Amerika Serikat menjanjikan dalam suatu lampiran rahasia untuk MOU rahasia bahwa pemerintah akan mengajukan permohonan bantuan ekonomi dan militer untuk Israel setiap tahun ke Kongres. Lampiran itu juga menyatakan bahwa "Amerika Serikat berketetapan akan terus mempertahankan kekuatan defensif Israel melalui pasokan jenis-jenis peralatan canggih, seperti pesawat F-16." Sebagai tambahan, Amerika Serikat setuju untuk mempelajari pengiriman "teknologi tinggi dan peralatan-peralatan canggih, termasuk misil tanah-ke-tanah Pershing," yang biasanya digunakan untuk mengirimkan hulu ledak atom. Ketika persetujuan itu diungkapkan di muka umum, Washington kemudian membatalkan pengiriman Pershing.
Dalam suatu memorandum rahasia lainnya, Kissinger menjanjikan Amerika Serikat tidak akan "mengakui atau berunding dengan Organisasi Pembebasan Palestina selama Organisasi Pembebasan Palestina itu tidak mengakui hak hidup Israel dan tidak menerima Resolusi Dewan Keamanan 242 dan 338."22 kata-kata ini dikukuhkan menjadi undang-undang oleh Kongres pada 1985. Amerika Serikat juga menjanjikan akan sepenuhnya berkoordinasi pada strategi dalam setiap pertemuan-pertemuan Konferensi Jenewa mendatang. Maka, dengan penolakan Israel untuk mengakui PLO dan dengan adanya kelompok-kelompok kuat di dalam PLO yang pada waktu itu tidak mau menerima Resolusi 242 dan 338, jalan buntu menyangkut Tepi Barat semakin tak tertembus.
Presiden Ford menandatangani sebuah surat yang menjanjikan Rabin bahwa Amerika Serikat tidak akan mengajukan usulan perdamaian apa pun tanpa lebih dulu membahasnya dengan orang-orang Israel. Ini merupakan suatu konsesi penting sebab hal itu sesungguhnya merupakan suatu masukan langsung untuk merumuskan kebijaksanaan AS di Timur Tengah.23
Di samping itu, Presiden Ford menandatangani sebuah surat yang menjanjikan bahwa Amerika Serikat "akan mendukung pendapat Israel bahwa setiap perjanjian perdamaian dengan Syria harus didasarkan atas hak milik Israel di Dataran Tinggi Golan."24
Dengan adanya komitmen menyangkut kekayaan, teknologi, prestise, dan dukungan diplomatik AS ini, Rabin setuju untuk menarik pasukan pendudukan Israel dua puluh hingga empat puluh mil sebelah timur Terusan Suez, dengan masih membiarkan lebih dari separuh Sinai berada di bawah kontrolnya.25
Kissinger pernah berkomentar tentang Rabin: "Jika dia diserahi seluruh Komando Udara Strategis Amerika serikat sebagai hadiah cuma-cuma pasti dia akan (a) menunjukkan sikap bahwa setidak-tidaknya Israel mendapatkan apa yang menjadi haknya, dan b) mencari-cari kelemahan teknis dalam pesawat-pesawat yang membuat penerimaannya atas mereka suatu konsesi setengah hati bagi kita."26
OMONG KOSONG
"Kami ingin menekankan bahwa pemerintah akan terus menguatkan dan membangun pemukiman Yahudi di sepanjang jalur konfrontasi, mengingat makna pentingnya dari segi keamananan." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 199227
FAKTA
Sejumlah besar jenderal dan orang-orang Israel lainnya telah selama bertahun-tahun menegaskan bahwa pemukiman-pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan tidak mempunyai nilai keamananan sama sekali. Bahkan seorang ideolog yang begitu besar pengabdiannya seperti Binyamin Ze'ev Begin, putra mantan perdana menteri dan pembawa suara terkemuka dalam Partai Likud, menulis pada 1991: "Dalam pengertian strategis, pemukiman-pemukiman (di Judea, Samaria, dan Gaza) tidak punya makna penting." Yang menjadikannya penting, tambahnya, adalah bahwa "pemukiman-pemukiman itu menjadi penghalang yang tak dapat diatasi bagi pendirian sebuah negara Arab merdeka di sebelah barat sungai Yordan."28
Mahkamah Agung Israel telah menetapkan bahwa perebutan tanah Palestina untuk melokasikan pemukiman Yahudi dengan pemandangan ke Nablus di Tepi Barat yang telah diduduki itu tidak didasarkan atas pertimbangan keamanan. Peraturan pengadilan pada 1979 itu pada pokoknya berarti bahwa pemukiman-pemukiman tidak menawarkan nilai keamanan yang cukup untuk membenarkan penyitaan tanah Palestina. Keputusan pengadilan itu sebagian didasarkan atas suatu sumpah tertulis yang diberkaskan oleh mantan Kepala Staf Haim Bar-Lev, yang menyatakan: "Pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah Judea dan Samaria yang berpenduduk tidak mempunyai apa pun yang dapat memberikan sumbangan pada keamanan saat ini. Sebaliknya, mereka justru mengganggu keamanan... Setiap usaha untuk menyatakan adanya motif keamanan pada para pemukim ini adalah menyesatkan dan menyimpang. Pemukiman-pemukiman ini justru merugikan keamanan."29
Perdana Menteri Yitzhak Rabin kini mengemukakan perbedaan antara pemukiman "keamanan" dan pemukiman "politik." Yang dimaksudkannya dengan pemukiman kemanan adalah pos-pos luar yang didirikan sepanjang perbatasan Lembah Yordania dengan Yordania dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Pemukiman-pemukiman Politik adalah pemukiman-pemukiman di tengah pusat-pusat penduduk Palestina, kecuali di Jerusalem Timur. Pada waktu pemilihan kembali Rabin, ada sekitar 90 pemukiman "keamanan" dengan penduduk 51.000 orang di Tepi Barat-separuh dari jumlah keseluruhan sekitar 180 pemukiman Tepi Barat dengan hampir 100.000 orang pemukim.30
Mantan Menteri Pertahanan Ezer Weizman mendukung pemukiman-pemukiman itu namun dengan terus terang dia mengakui: "Alasan-alasan keamanan --istilah itu mempunyai nilai yang dapat dirundingkan di negara Israel. Pelajaran yang dapat diambil dari semua perang yang telah kita jalani justru kebalikannya: pemukiman-pemukiman di perbatasan tidak pernah dapat menjadi pengganti angkatan bersenjata. Bahkan pemukiman-pemukiman yang dipertahankan melawan angkatan bersenjata Arab pada 1948 biasanya dimenangkan dengan bantuan angkatan bersenjata. Lebih-lebih, Israel harus mengevakuasi para pemukimnya di Dataran Tinggi Golan ketika berlangsung Perang Yom Kippur karena mereka terdampar di tengah medan pertempuran... Pemukiman-pemukiman yang lemah dan terpencil justru menjadi beban dan gangguan dalam pengertian militer"31
Rabin tidak membuat pretensi keamanan menyangkut pemukiman-pemukiman di dan seputar Jerusalem. Tujuan pemukiman-pemukiman Yahudi di sana semata-mata untuk mengajukan tuntutan atas seluruh kota itu sebagai ibukota Israel. Rabin berkata dalam pidato pelantikannya tahun 1992: "Pemerintahan ini, sebagaimana semua pendahulunya, percaya bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam Dewan mengenai keabadian dari kota Jerusalem sebagai ibukota Israel. Jerusalem, utuh dan bersatu, telah dan akan menjadi ibukota bangsa Israel di bawah kekuasaan Israel, tempat yang dirindukan dan diimpikan oleh setiap orang Yahudi. Pemerintah telah berbulat hati dalam keputusannya bahwa Jerusalem bukanlah masalah yang dapat dirundingkan. Tahun-tahun yang akan datang pun akan menyaksikan perluasan pembangunan di metropolitan Jerusalem. Setiap orang Yahudi, baik yang beragama maupun yang sekular, bersumpah: 'Jika aku melupakanmu, wahai Jerusalem, biarlah tangan kananku lumpuh!' Sumpah ini menyatukan kita semua dan jelas mengena di hati saya, sebagai penduduk asli Jerusalem."32
OMONG KOSONG
"Sebagai langkah pertama menuju solusi permanen, kami akan membahas pelaksanaan otonomi di Judea, Samaria, dan distrik Gaza." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 199233
FAKTA
Sementara Perdana Menteri Rabin melalui pidato pelantikannya di tahun 1992 tampaknya siap membantu dengan menyatakan kesediaan Israel untuk memberikan otonomi pada wilayahwilayah Palestina yang diduduki, tidak ada tanggapan di kalangan orang-orang Palestina. Alasannya: Rabin mengusulkan rencana otonomi yang sama yang pernah ditawarkan hampir lima belas tahun yang lalu oleh Menachem Begin. Hal itu telah lama didiskreditkan sebagai semata-mata taktik penundaan yang memungkinkan Israel untuk mempertahankan wilayah-wilayah pendudukan.
Rencana otonomi Begin hanya memberikan kepada orang-orang Palestina lingkup pemerintahan sendiri yang sangat sempit atas masalah-masalah seperti pengumpulan sampah dan perbaikan jalan, tapi tidak menyentuh soal-soal penting yang menyangkut air atau tanah tempat tinggal mereka. Pada saat yang sama, rencana itu memungkinkan dilanjutkannya kehadiran pasukan pendudukan Israel dan tidak menawarkan batas waktu bagi kepastian untuk masalah utama tentang siapa yang memegang kekuasaan atas wilayah-wilayah tersebut.34
Sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Ezer Weizman: "Kegigihan [Begin] yang tak tergoyahkan untuk melestarikan pemerintahan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza mendorongnya untuk merumuskan rencana otonomi itu."35 Dengan kata lain, itu merupakan suatu cara yang cerdik untuk mempertahankan kontrol Israel sementara menunjukkan bahwa Israel tengah mengajukan konsesi-konsesi besar pada bangsa Palestina. Mantan menteri kehakiman dalam pemerintahan Perdana Menteri Yitzhak Shamir, Dan Meridor, mengakui demikian pula pada awal 1992: "Rencana otonomi itu kini merupakan sarana paling efisien untuk memastikan dipertahankannya kontrol Israel atas Judea, Samaria, dan Gaza."36
Rencana Begin itu dikecam bahkan oleh beberapa orang Israel, terutama yang paling terkenal adalah Profesor Jacob Talmon dari Hebrew University di Jerusalem, salah seorang tokoh paling dihormati dalam Zionisme dan nasionalisme modern. Dalam sebuah surat panjang kepada Begin, Talmon menulis: "Tuan Perdana Menteri, gagasan otonomi sebagaimana yang Anda usulkan sudah usang, suatu tipu daya untuk menutup mulut orang-orang non-Yahudi. Siapa pun yang mengenal sejarah imperium-imperium multinasional pada penutupan abad yang lalu... tidak dapat tidak akan menggelengkan kepalanya melihat tawaran yang dicari-cari dari tumpukan-tumpukan sampah sejarah ini...
"Tuan Perdana Menteri, dengan segala hormat kepada kepala pemerintahan dan sesama ahli sejarah, izinkan saya untuk memberitahu Anda berdasarkan riset yang telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun atas sejarah nasionalisme, bahwa betapapun kuno, istimewa, mulia, dan uniknya motif-motif subjektif kita, usaha untuk menguasai dan memerintah, pada akhir abad kedua puluh, penduduk asing yang menyimpan kebencian, yang berbeda bahasa, sejarah, kebudayaan, agama, kesadaran nasional, dan aspirasi-aspirasinya, ekonomi serta struktur sosialnya-lama saja dengan usaha untuk menghidupkan kembali feodalisme."37
OMONG KOSONG
"Sudah sejak dalam langkah-langkah pertamanya, pemerintah --barangkali melalui kerjasama dengan negeri-negeri lain-- mencurahkan perhatiannya pada upaya menggagalkan setiap kemungkinan bahwa musuh-musuh Israel menyimpan senjata-senjata nuklir." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 199238
FAKTA
Ada sesuatu yang dalam dugaan bahwa Israel akan berdiri sebagai semacam pengawal untuk melawan pengembangan senjata-senjata nuklir, sementara dalam kenyataannya ia merupakan satu-satunya negara di wilayah itu yang memiliki senjata-senjata tersebut. Namun yang lebih mengganggu adalah isyarat dari Perdana Menteri Rabin bahwa "negeri-negeri lain" mungkin akan bergabung dengan Israel dalam peranan itu. Rabin hampir pasti mengacu pada Amerika Serikat, yang menunjukkan adanya lingkup kolusi rahasia lainnya dari kedua negara itu melawan bangsa-bangsa Arab. Presiden Bush tampaknya mengakui upaya itu ketika dia bertemu dengan Rabin beberapa minggu setelah pelantikan Rabin dan berkata dalam konferensi pers bersama mereka pada 11 Agustus: "Jadi kami memantapkan diri untuk bekerja sama guna mencegah proliferasi senjata-senjata konvensional serta senjata-senjata penghancuran massa."39 Jika demikian, itu merupakan bukti lain dari jalinan kebijaksanaan AS dengan kebijaksanaan Israel.
Suatu contoh tentang bagaimana keakraban Amerika dengan Israel menyelewengkan kebijaksanaan AS melawan proliferasi terjadi pada Juni 1992 dengan dipublikasikannya sebuah buku petunjuk dari Departemen Perdagangan tentang proyek-proyek roket paling berbahaya di Dunia Ketiga. Tujuan daftar itu adalah memberikan identitas dari proyek-proyek semacam itu kepada perusahaan-perusahaan industri dan dengan demikian mencegah penjualan-penjualan yang dapat membantu mereka. Yang mengherankan, daftar itu menghapuskan beberapa proyek roket paling berbahaya di Timur Tengah. Alasannya, dalam kata-kata ahli nuklir Gary Mulhollin: "Orang-orang Israel menentang daftar versi pemerintah tahun 1991 sebab di situ tercantum Jericho, misil primer mereka. Setelah menyerah pada tuntutan Israel agar Jericho tidak dicantumkan, pemerintah terpaksa tidak mencantumkan pula proyek-proyek yang tengah dikerjakan di Mesir, Lybia, dan Syria sebab, para pejabat pemerintah memberitahu saya secara pribadi, secara politis akan memalukan jika kita melakukan sebaliknya."40
Dengan kata lain, demi memenuhi keinginan Israel agar misilnya sendiri, Jericho, yang mampu membawa senjata-senjata nuklir ke setiap ibukota negara Arab, tidak dicantumkan, Amerika Serikat menutup mata terhadap semua proyek misil di Timur Tengah.
Catatan kaki:
1 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992. Teks itu terdapat pada Pelayanan Informasi Siaran Luar Negeri, 14 Juli 1992, 23-27, sementara kutipan-kutipan utamanya terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1992,146-49.
2 Glenn Frankel, Washington Post, 20 Januari 1988.
3 John Kifner, New York Times, 20 Januari 1988. Untuk laporan yang sangat bagus mengenai akibat-akibat dari jam malam, lihat Glenn Frankel, Washington Post, 20 Januari 1988.
4 Kifner, New York Times, 20 Januari 1988. Juga lihat Jonathan C. Randal, Washington Post, 21 Januari 1988; Glenn Frankel, 23 Januari 1988.
5 John Kifner, New York Times, 23 Januari 1988.
6 John Kifner, New York Times, 23 Maret 1988.
7 Glenn Frankel, Washington Post, 13 Mei 1988.
8 Joel Brinkley, New York Times, 21 Januari 1989.
9 Joel Brinkley, New York Times, 8 Mei 1989.
10 Glenn Frankel, Washington Post, 29 Maret 1988.
11 Avishai Margalit, "Israel: The Rise of the Ultra-Orthodox," New York Review of Books, 9 November 1989.
12 Joel Brinklev, New York Times, 14 Mei 1988.
13 Joel Brinkley, New York Times, 20 Juni 1988.
14 Glenn Frankel, Washington Post, 28 September 1988.
15 Rabin secara terus terang menulis dalam memoarnya mengenai kejadian pada akhir 1970-an itu, namun bagian itu disensor oleh Israel. Tulisan tersebut di kemudian hari dipublikasikan oleh New York Times (23 Oktober 1979) dan Newsweek (9 November 1979) dan oleh penerjemah bahasa Inggris Rabin, Peretz Kidron. Lihat Kidron, "Truth Whereby Nations Live," dalam Said dan Hitchens, Blaming the Victims. Juga lihat Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 127.
16 "Report on the Mission of the Special Representative to the Occupied Territories, 15 September 1967," Laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Davis, The Evasive Peace, 69; Neff, Warriors for Jerusalem, 320. Davis mengemukakan angka pengungsi dua kali itu adalah 145.000.
17 Terence Smith, New York Times, 21 Juni 1974; James F. Clarity, New York Times, 20 Juni 1974. Juga lihat Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 791, 824.
18 Quandt, Decade of Decisions, 267; Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 165-68.
19 Teks kesepakatan dan MOU serta lampiran rahasianya terdapat dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 3: 281- 90. Juga lihat Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, Lampiran Delapan.
20 Sepanjang lima tahun selanjutnya Kementerian Luar Negeri melaporkan bahwa keseluruhan bantuan bagi Israel setara dengan $1,742 milyar pada 1977, $1,792 milyar pada 1978, $4,790 milyar pada 1979 (mencerminkan biaya untuk memindahkan Israel keluar dari Sinai), $1,786 milyar pada 1980 dan $2,164 milyar pada 1981; lihat New York Times, 8 Agustus 1982.
21 Teks itu terdapat dalam Yodfat dan Arnon-Ohanna, PLO, 191, dan Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 156-57.
22 Ibid.
23 Quandt, Decade of Decisions, 201.
24 Teks itu terdapat dalam Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991, 183-84.
25 Neff, Warrior against Israel, 302-3; Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 190.
26 Kissinger, White House Years, 568.
27 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992.
28 Elfi Pallis, "The Likud Party: A Primer," Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1992, 45-46.
29 Dikutip dalam Aronson, Creating Facts, 111. Juga lihat Peter Edelman, wakil ketua Americans for Peace Now, kesaksian di depan Dewan Subkomite Operasi-operasi Luar Negeri, 21 Februari 1992.
30 Yayasan bagi Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
31 Weizman, The Battle for Peace, 226.
32 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992.
33 Ibid.
34 Sicherman, Palestinian Self-Government (Autonomy), 8- 9. Iuga lihat Carter, Keeping Faith, 300; Quandt, Camp David, 156; Rubenberg, Israel and the American National Interest, 218- 19; Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977- 1980, 641-44.
35 Weizman, The Battle for Peace, 119.
36 Ha'aretz (Tel Aviv), 2 Maret 1992.
37 Teks surat itu terdapat dalam Aronson, Creating Facts, 132-37; dan Thorpe, Prescription for Conflict, 167-82. Dipublikasikan dalam Disent pada Musim Gugur 1980. 38 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992. 39 Konferensi pers, disiarkan oleh CNN, 11 Agustus 1992.
38 Dari pidato pelantikan Rabin tahun 1992.
39 Konferensi pers, disiarkan oleh CNN, 11 Agustus 1992.
40 Gary Mulhollin dan Gerard White, Washington Post, rubrik Outlook, 16 Agustus 1992.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
ISRAEL DAN PROSES PERDAMAIAN
Mantan Menteri Luar Negeri James Baker suka mengatakan bahwa perdamaian dapat muncul di Timur Tengah hanya jika semua pihak dalam konflik itu menghendakinya. Namun catatan Israel dengan jelas menunjukkan bahwa ia telah secara konsisten lebih memilih tanah daripada perdamaian. Sebagaimana ditulis oleh Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, dalam buku hariannya pada 1949: " Perdamaian memang penting tetapi tidak untuk ditukar dengan harga berapa pun."1 Itulah prinsip yang menuntun setiap pemimpin Israel selanjutnya.
Meskipun Israel telah ditawari sejumlah rencana perdamaian dengan kepercayaan yang baik selama bertahun-tahun, ia selalu menolak semuanya dan lebih suka mempertahankan wilayah yang direbutnya melalui kekerasan. Ini termasuk penolakannya untuk menerima kembali para pengungsi Palestina yang tercipta pada 1948 akibat pendudukan tanah Palestina, penolakannya terhadap berbagai usulan perdamaian setelah penaklukan pada 1967, dan desakannya belum lama ini untuk terus menduduki bagian-bagian dari wilayah Yordania, Lebanon, dan Syria-serta meneruskan pendudukan militer atas 1,7 juta orang Palestina. Dalam waktu hampir setengah abad, Israel baru menjalin perdamaian dengan Mesir, dan dengan demikian menetralkan negara Arab yang secara militer paling kuat, yang wilayahnya berdekatan dengan negara Yahudi tersebut.
OMONG KOSONG
"Israel menginginkan perdamaian. Menginginkannya lebih dari semua negara lainnya." --Menachem Begin, perdana menteri Israel, 19792
FAKTA
Tidak kurang dari sahabat Israel Henry Kissinger yang telah mengakui bahwa Israel lebih memilih tanah daripada perdamaian. Mantan menteri luar negeri AS itu menulis pada 1992: "Israel menganggap penundaan sebagai strategi yang paling baik... Bagaimana proses perdamaian itu berkembang tampaknya menegaskan penilaian ini. Pada 1948 negara-negara Arab tetangga Israel lebih suka berperang daripada menerima negara Yahudi itu. Pada '50-an dan '60-an, sebagian dari mereka mulai bergerak menuju sikap menerima batas-batas '47 namun bukan yang ada saat itu. Misalnya, pada 1954 Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menuntut agar Israel berhenti pada batas yang dibuat dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947 yaitu, mengurangi luas Israel, seperti yang telah ditetapkan, menjadi sekitar 40 persen dari ukurannya dan membiarkan Jerusalem tetap sebagai kota internasional yang dikelilingi oleh wilayah Arab. Demikian pula, Anthony Eden, yang juga berbicara atas nama Amerika Serikat, menyarankan kompromi antara batas tahun 1947 dan Batas yang ada saat itu (yang kini kami gambarkan sebagai batas tahun '67). Pada'70-an dan'80-an, Amerika Serikat dan beberapa rezim Arab moderat, meskipun bukan PLO, menerima batas '67, tetapi sekali lagi ditolak keras dengan adanya Batas-Batas yang ada sekarang.
"Menghadapi tawaran-tawaran yang terus meningkat ini, Israel tidak akan kehilangan apa-apa dan justru banyak mendapatkan keuntungan dari sikapnya yang selalu menunda-nunda."3
Mantan menteri luar negeri Abba Eban pernah mengaku bahwa preferensi Israel pada tanah terutama dapat dicatat dalam tahun-tahun sebelum perang 1973: "Saya akan jujur: keruntuhan diplomasi Israel dimulai di bawah Pemerintahan Buruh, bukan di bawah Likud... Memang benar kebijakan resmi Buruh adalah bahwa wilayah-wilayah itu merupakan kartu tawar-menawar sementara sampai perdamaian tercapai. Tetapi, pada saat yang sama, [Menteri Pertahanan Moshe] Dayan berkata, 'Sharm El-Sheikh itu lebih penting dari pada perdamaian,' dan lebih-lebih lagi Tepi Barat.
"Siapa pun yang mengamati kami pada tahun-tahun sebelum Perang Yom Kippur akan mendapat kesan bahwa kami benar-benar tidak tertarik pada perdamaian kami adalah sebuah negara yang sudah cukup puas tanpa itu. Kami merasa bahwa kami memegang kartu truf di tangan kami, dan kami senang sekali memegangnya, namun sejalan dengan berlalunya waktu, kami mulai menyukainya, dan kami tidak siap untuk memainkannya."4
OMONG KOSONG
"Kami siap untuk membahas perdamaian dengan tetangga-tetangga kami, setiap hari dan mengenai semua hal." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 19755
FAKTA
Setiap presiden AS telah diyakinkan oleh para pemimpin Israel bahwa Israel menginginkan perdamaian. Namun ketika Amerika Serikat berusaha menemukan rumusan perdamaian, para presiden itu menyadari selama beberapa dasawarsa bahwa Israel mempunyai prioritas-prioritas lain.
Presiden Harry Truman adalah presiden pertama yang mengetahui sikap Israel yang sebenarnya terhadap perdamaian dan tanah.6 Waktu berlangsung pembicaraan perdamaian di Lausanne, Swiss, pada 1949, Truman merasa prihatin bahwa Israel membuat "klaim-klaim luas" atas wilayah. Pesannya kepada Israel berisi peringatan bahwa Amerika Serikat "sangat terganggu oleh sikap Israel dalam kaitan dengan penetapan wilayah di Palestina dan dengan masalah para pengungsi Palestina... Pemerintah AS sangat khawatir kalau-kalau Israel kini mengancam kemungkinan untuk sampai pada suatu solusi masalah Palestina dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan sumbangan pada jalinan hubungan yang baik dan bersahabat antara Israel dan tetangga-tetangganya. Pemerintah Israel hendaknya tidak menyimpan keragu-raguan apa pun agar Pemerintah AS dapat mempercayainya untuk mengambil tindakan yang bertanggung jawab dan positif menyangkut para pengungsi Palestina dan agar, jauh dari mendukung klaim-klaim luas Israel atas lebih banyak wilayah di Palestina, Pemerintah AS percaya bahwa penting bagi Israel untuk menawarkan kompensasi teritorial bagi wilayah yang diharapkannya untuk diperoleh di luar batas-batas yang ditentukan Rencana Pembagian PBB."7
Presiden Dwight Eisenhower menghadapi kekerasan pendirian yang sama dari Israel. Presiden telah mengirim seorang utusan rahasia ke Timur Tengah pada awal 1956 untuk mendorong tercapainya perdamaian antara Israel dan Mesir. Namun Eisenhower mendapati bahwa "para pejabat Israel... sama sekali tidak mau menyerah dalam sikap mereka untuk tidak membuat konsesi-konsesi apa pun demi mencapai perdamaian."8
Eisenhower mencatat dalam buku hariannya kesannya tentang sikap angkuh Israel yang diketahuinya dalam suatu kunjungan dua orang muda Israel kepadanya: "Kedua orang itu meremehkan negara-negara Arab dalam setiap hal... Mereka dengan besar mulut menyatakan bahwa Israel tidak memerlukan apa pun kecuali beberapa senjata pertahanan, dan mereka akan menjaga diri mereka sendiri selamanya dan tanpa bantuan apa pun dari Amerika Serikat. Saya mengatakan pada mereka bahwa mereka keliru --bahwa saya telah berbicara dengan banyak pemimpin Arab, dan saya yakin mereka sedang membangunkan ular tidur dan jika mereka dapat memecahkan masalah pertama secara damai dan tanpa melakukan tindak kekerasan yang tidak perlu demi kehormatan diri dan kepentingan negara-negara Arab, mereka akan mendapatkan keuntungan yang tak terhitung banyaknya dalam jangka panjang."9
Pemerintahan Eisenhower cukup prihatin melihat kesukaan Israel untuk berperang sehingga ia secara terbuka memperingatkan Israel agar "menghilangkan sikap sebagai penakluk dan keyakinan bahwa kekerasan dan kebijaksaan untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan balas dendam merupakan satu-satunya kebijaksanaan yang akan dapat dipahami tetangga-tetangga Anda. Anda hendaknya berusaha membuat perbuatan-perbuatan Anda sesuai dengan ucapan-ucapan yang sering Anda lontarkan mengenai keinginan Anda untuk mencapai perdamaian."10
Presiden John Kennedy dan Lyndon Johnson tidak melakukan usaha-usaha yang serius untuk mencapai perdamaian, terutama dikarenakan simpati kuat pro Israel Johnson, sehingga mereka tidak menemui konflik serius dengan Israel.
Presiden Richard Nixon pada awal 1973 menulis sebuah catatan kepada Penasihat Keamanan Nasional Henry Kissinger yang berisi keluhan: "Kita sekarang merupakan satu-satunya teman utama Israel di dunia. Saya toh belum melihat sikap memberi sedikit pun di pihak mereka --yang mengakui bahwa Yordania dan Mesir belum cukup memberi di pihak mereka... Telah tiba waktunya untuk berhenti mengabdi pada kekerasan pendirian Israel. Tindakan-tindakan kita di masa lalu telah mendorong mereka untuk beranggapan bahwa kita akan berdiri bersama mereka tanpa peduli betapapun keterlaluannya mereka."11
Pada saat lain Nixon. mengusulkan untuk bergabung dengan Uni Soviet demi tercapainya perdamaian di wilayah itu. Menurut Kissinger, waktu itu menteri luar negeri, Nixon mengirimkan sebuah pesan padanya di tengah perang 1973 sementara Kissinger berada di Moskow. Kissinger, yang setengahnya menguraikan dengan kata-katanya sendiri pesan itu dalam memoarnya, menulis bahwa Nixon mengusulkan: "Kita akan memenuhi bahkan kepentingan-kepentingan Israel yang paling besar jika kita kini menggunakan 'tekanan apa pun yang mungkin dibutuhkan untuk mendapatkan persetujuan bagi suatu penetapan yang masuk akal dan yang dapat kita mintakan pada Soviet untuk menekan negara-negara Arab.' Nixon kemudian menuliskan daftar rintangan yang selama itu telah menghalangi tercapainya suatu pemecahan: kekerasan pendirian Israel, penolakan negara negara Arab untuk tawar-menawar secara realistis, dan 'keasyikan kita sendiri dengan inisiatif-inisiatif lain."' Nixon menambahkan: "Saya ingin Anda tahu bahwa saya siap untuk menekan orang-orang Israel sampai batas yang kita butuhkan, tanpa mengingat konsekuensi-konsekuensi politik di dalam negeri [sic]."12
Presiden Gerald Ford merasa begitu terganggu dengan penolakan Israel untuk membuat konsesi-konsesi guna mencapai persetujuan Sinai.kedua sehingga dia mengirimkan sebuah surat keras pada 22 Maret 1975 kepada Perdana Menteri Yitzhak Rabin: "Saya kecewa mengetahui bahwa Israel belum bergerak sama sekali." Ford menambahkan bahwa jika Israel tidak menjadi lebih lunak, Amerika Serikat terpaksa akan mempertimbangkan kembali kebijaksanaan Timur Tengahnya, "termasuk kebijaksanaan kami terhadap Israel."13
Gertakan itu menjadi bumerang. Pemerintahan Rabin justru menjadi semakin keras kepala dan pembicaraan gagal di hari berikutnya. Ford mengeluh bahwa meskipun Amerika Serikat telah membantu Israel untuk menjadi "lebih kuat secara militer dibanding jika semua tetangga Arab[nya] disatukan" dengan harapan bahwa ia akan menjadi lebih lunak, pendiriannya malah semakin keras dan "perdamaian tidak menjadi lebih dekat dibanding sebelumnya."14
Kata Kissinger: "Saya minta Rabin untuk membuat konsesi-konsesi, dan dia mengatakan bahwa dia tidak bisa sebab Israel terlalu lemah. Maka saya memberinya persenjataan, dan dia mengatakan bahwa dia tidak perlu membuat konsesi-konsesi sebab Israel sudah kuat."15
Upaya-upaya Presiden Jimmy Carter untuk sampai pada perjanjian perdamaian Mesir-Israel pada 1979 menyebabkan dirinya terlibat konflik yang tak habis-habisnya dengan Israel.16 Dia mencatat dalam buku hariannya: "[Perdana Menteri Israel Menachem Begin] tidak bersedia menarik diri secara politis atau militer dari bagian Tepi Barat mana pun; tidak bersedia menghentikan pembangunan pemukiman-pemukiman baru atau perluasan pemukiman-pemukiman yang ada; tidak bersedia menarik para pemukim Israel dari Sinai atau bahkan membiarkan mereka di sana di bawah perlindungan PBB atau Mesir; tidak bersedia mengakui bahwa Resolusi PBB 242 berlaku untuk daerah Tepi Barat Gaza; tidak bersedia memberi otoritas nyata kepada orang-orang Arab Palestina, atau suara untuk menentukan masa depan mereka sendiri."17
Pada saat lain Carter berkata: "Setiap kali kami tampaknya telah mencapai sedikit keberhasilan dengan negara-negara Arab, Begin mengemukakan didirikannya pemukiman-pemukiman baru atau membuat pernyataan-pernyataan provokatif. Perilaku ini... secara serius mengancam prospek perdamaian."18
Presiden Ronald Reagan menghadapi pertentangan-pertentangan tajam dengan Israel, meskipun dia adalah presiden yang paling pro Israel.19 Ketika Reagan pada September 1982 mengemukakan rencananya untuk perdamaian Perdana Menteri Begin serta-merta menolaknya. Ketika gagasan mengenai suatu konferensi perdamaian internasional dikemukakan pada 1987 kepada Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir, dia menanggapi dengan menyebutnya "gagasan menentang dan kriminal ini," sambil menambahkan, "Kami mutlak menolak gagasan ini."20
Presiden George Bush berkata secara terbuka pada 1 Juli 1991, bahwa pemukiman-pemukiman Israel sangat tidak produktif dan "hal terbaik yang harus dilakukan Israel adalah menjaga komitmennya... tidak masuk dan membangun pemukiman-pemukiman lebih jauh." Tepat pada hari berikutnya para anggota kabinet Israel meresmikan dua fasilitas pada pemukiman-pemukiman di Tepi Barat.21 Ketika menteri luar negeri pemerintahan Bush, James Baker mengajukan usulan pada pertengahan 1991 untuk menyelenggarakan suatu konferensi perdamaian internasional, Perdana Menteri Shamir menampiknya di TV Israel, dengan mengatakan bahwa dia, Shamir, tidak percaya pada pengembalian wilayah dan bertanya: "Di mana Anda dapat menemukan di antara berbagai negara di dunia ini suatu bangsa yang bersedia menyerahkan wilayah tanah air mereka?"22
OMONG KOSONG
"Setiap pemerintahan Israel... lebih menyukai penyelesaian komprehensif dan menyatakan keinginannya untuk mengadakan pembicaraan damai dengan para pemimpin dari setiap atau semua negara Arab tetangga." --AIPAC,198923
FAKTA
Israel telah menolak setiap rencana perdamaian yang dikemukakan oleh negara-negara Arab dan Amerika Serikat kecuali untuk perjanjian bilateral dengan Mesir. (Lihat lebih banyak mengenai perjanjian Mesir-Israel di bawah.)
Berikut ini adalah usulan-usulan utama untuk perdamaian dan reaksi Israel:
* Misi Jarring PBB 1967-1971. Diplomat Swedia Gunnar Jarring dipilih sebagai perantara khusus PBB di Timur Tengah di bawah ketentuan-ketentuan Dewan Keamanan PBB 242, yang menyerukan pertukaran tanah untuk perdamaian. Tugasnya adalah "menjalin dan mempertahankan kontak-kontak dengan negara-negara [Timur Tengah) yang terkait untuk mengusulkan perdamaian dan membantu upaya-upaya mencapai penyelesaian damai dan dapat diterima sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dalam resolusi ini." Jarring bekerja sepanjang tahun 1968 tanpa menemui keberhasilan dan kemudian pada 1971 melakukan usaha terakhir dengan menuntut agar Israel setidak-tidaknya mengungkapkan dukungannya pada seruan Resolusi 242 bagi penarikan mundur dari wilayah-wilayah Arab yang didudukinya pada 1967. Jawaban Israel: "Israel tidak akan mundur dari batas-batas pra-5 Juni,1967." Dengan itu, misi Jarring berakhir dan Amerika Serikat tidak melakukan usaha lebih jauh untuk melaksanakan Resolusi 242.24
* Rencana Rogers 1969. Menteri Luar Negeri William P. Rogers pada 9 Desember menguraikan suatu rencana yang menyerukan dilaksanakannya Resolusi PBB 242. Rencana itu mencakup penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah yang diduduki pada 1967 dan penerimaan Arab akan perdamaian permanen dengan Israel serta "penyelesaian yang adil" bagi masalah pengungsi Palestina.25 Usulan lunak ini menyebabkan dilangsungkannya sesi krisis dalam kabinet Israel. Pada 11 Desember pagi kabinet mengeluarkan suatu pernyataan menolak mentah-mentah usulan itu.26
* Rencana Perdamaian Komprehensif Carter 1977. Lima bulan lebih sedikit setelah menduduki jabatan sebagai presiden, Jimmy Carter mengemukakan gagasan-gagasannya untuk suatu perdamaian komprehensif. Pada 27 Juni, pemerintahnya mengeluarkan suatu naskah yang berisi pandangan-pandangannya mengenai unsur-unsur suatu perdamaian komprehensif yang didasarkan atas Resolusi PBB 24227 Naskah itu berbunyi: "Kami beranggapan bahwa resolusi ini berarti penarikan mundur [Israel] pada tiga garis depan yaitu Sinai, Golan, Tepi Barat Gaza...[Tidak] ada wilayah, termasuk Tepi Barat, yang secara otomatis tidak termasuk dalam pokok-pokok yang harus dirundingkan."28 Ditambahkan bahwa ada "kebutuhan akan tanah air bagi bangsa Palestina."29
Dalam suatu pertemuan dengan Carter, Perdana Menteri Menachem Begin menyatakan bahwa Israel tidak akan pernah menerima "kekuasaan asing" atas "Judea dan Samaria." Dia juga tidak mau menerima penafsiran umum bahwa Resolusi 242 berarti penarikan mundur dari semua garis depan. Dia berkeras bahwa itu berarti penarikan mundur dari beberapa garis depan.30 Carter kemudian memberikan pada Begin suatu kelonggaran besar. Dia menyetujui permintaan Begin untuk tidak menggunakan di muka umum frasa "penarikan mundur dengan sedikit penyesuaian," dengan mengatakan bahwa jika Washington menggunakan rumusan semacam itu akan timbul prasangka terhadap perundingan-perundingan di masa mendatang. Meskipun penarikan mundur dengan sedikit penyesuaian merupakan kebijaksanaan tradisional AS, Carter setuju.31
Carter sangat kecewa dengan sikap Begin yang tidak mau memberikan tanggapan terhadap suatu isyarat yang begitu murah hati yaitu kunjungan dramatis Presiden Mesir Anwar Sadat ke Jerusalem pada akhir 1977. Setelah hampir setahun menghadapi jalan buntu, Carter, Begin, dan Sadat bertemu di Camp David selama tiga belas hari untuk menemukan rumusan bagi perdamaian. Ketika pembicaraan mereka berakhir pada 17 September 1978, bayangan Carter mengenai suatu persetujuan komprehensif hancur lebur, bangsa Palestina telah dihina dengan suatu tawaran "otonomi" palsu, Jerusalem tidak disebut-sebut, dan Anwar Sadat mendapatkan kembali hanya wilayah-wilayah Mesir sendiri.32 Itu jelas hanya suatu persetujuan bilateral, tidak lebih dari yang mungkin dapat diperoleh Mesir sejak ia kehilangan Sinai pada 1967.33
Israel akhirnya menerima perjanjian damai dengan Mesir pada 1979 hanya setelah Mesir dan Amerika Serikat secara mendasar setuju untuk mengabaikan bangsa Palestina dan Amerika Serikat menjanjikan Israel sampai $3 milyar dalam bentuk bantuan ekstra di luar jumlah tahunan yang diterimanya sekitar $2 milyar serta sejumlah besar peralatan militer tambahan untuk modernisasi angkatan bersenjata Israel, termasuk dipercepatnya pengiriman pesawat-pesawat perang F-16, yang terbaru dari angkatan udara Amerika.34
* Rencana Perdamaian Pangeran Fahd 1981. Putra Mahkota Saudi Arabia Fahd bin Abdul Aziz mengemukakan pada 8 Agustus suatu rencana perdamaian yang secara khusus "menegaskan hak negara- negara di wilayah itu untuk hidup damai."35 Rencana Fahd menyerukan penarikan mundur Israel dari semua tanah Arab yang direbut pada 1967, termasuk Jerusalem Timur Arab; ditinggalkannya pemukiman-pemukiman yang didirikan di wilayah-wilayah pendudukan sejak 1967; dan didirikannya sebuah negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Israel dengan segera menolak usulan itu, melalui pernyataan Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir yang menyebutnya "sebuah belati beracun yang ditusukkan ke dalam jantung eksistensi Israel."36 Israel mengumumkan bahwa ia akan menentang rencana tersebut dengan mendirikan lebih banyak pemukirnan di Tepi Barat.37
* Rencana Perdamaian Reagan 1982. Pemerintah Reagan pada 1 September menawarkan suatu rencana yang menyerukan penarikan mundur Israel dari semua garis depan di bawah garis-garis pedoman Resolusi PBB 242. Rencana itu mengusulkan penghentian kegiatan di pemukiman-pemukiman Israel, otonomi penuh bagi bangsa Palestina --namun menolak gagasan tentang sebuah negara Palestina merdeka-- dan mendesak agar Jerusalem tetap terbagi dan masa depannya dirundingkan di antara pihak-pihak terkait. Usulan itu menambahkan bahwa komitmen Amerika terhadap keamanan Israel "sangat kuat." Meskipun ada janji resmi berupa komitmen kuat untuk keamanan Israel dan dibatalkannya tawaran Carter menyangkut sebuah "tanah air" bagi bangsa Palestina, Perdana Menteri Begin menolak rencana Reagan sebagai suatu "ancaman serius" bagi Israel dan mencap setiap orang Israel yang menerimanya sebagai seorang "pengkhianat."38 Begin menambahkan: "Kami tidak mempunyai alasan untuk bertekuk lutut. Tak ada yang boleh menentukan untuk kami batas-batas Tanah Israel."39 Hari berikutnya kabinet Israel secara resmi menolak rencana Reagan dan pada saat yang sama mengumumkan niatnya untuk mendirikan empat puluh dua pemukiman baru dan mengungkapkan sebuah rencana tiga puluh tahun untuk memukimkan 1,4 juta orang Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan.40 Begin berkata: "Pemukiman semacam itu merupakan hak yang tidak dapat dicabut dan bagian integral dari keamanan nasional kami. Karena itu, tidak akan ada penghentian aktivitas bagi pemukiman."41
* Rencana Perdamuian Fez Arab 1982. Suatu pertemuan puncak para pemimpin negara-negara Arab di Fez, Maroko, pada 9 September menerima rencana perdamaian Fez. Itu terutama didasarkan atas usulan Pangeran Fahd setahun sebelumnya, yang menonjol terutama karena memberikan dukungan kuat pada Organisasi Pembebesan Palestina sebagai satu-satunya wakil sah bangsa Palestina.42 Rencana itu menawarkan pengakuan implisit terhadap Israel dengan menyerukan pada Dewan Keamanan PBB agar memberikan "jaminan bagi perdamaian untuk semua negara di wilayah itu."43 Pemerintah Israel menolak rencana perdamaian Fez hari berikutnya, dengan Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir menyatakannya sebagai suatu "deklarasi perang yang diperbarui terhadap Israel... yang tidak punya bobot, tidak punya nilai... dan mengandung kebencian yang sama, penentangan yang sama terhadap perdamaian."44
* Rencana Perdamaian PLO 1988. Dewan Nasional Organisasi Pembebasan Palestina pada 5 November meninggalkan terorisme, menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338, dan menyerukan diadakannya konferensi perdamaian internasional. Dewan itu menegaskan "kebulatan tekad Organisasi Pembebasan Palestina untuk mencapai suatu solusi damai yang komprehensif dari konflik Arab-Israel dan esensinya, masalah Palestina, di dalam kerangka Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan legitimasi internasional, aturan-aturan hukum internasional, resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (yang terakhir adalah Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 605, 607, dan 608), dan resolusi-resolusi dari pertemuan puncak Arab dalam suatu cara yang menegaskan hak-hak bangsa Arab Palestina untuk kembali, menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara nasionalnya yang merdeka di atas wilayah nasionalnya, dan menciptakan pengaturan-pengaturan keamanan dan perdamaian bagi semua negara di wilayah itu."45
Israel segera menolak usulan PLO: "Sekali lagi, organisasi yang menyatakan dirinya mewakili bangsa Palestina terbukti tidak mampu atau tidak bersedia mengakui kenyataan. Dalam pernyataan-pernyataannya yang baru, ambiguitas dan pembicaraan ganda kembali digunakan untuk mengaburkan dukungannya terhadap kekerasan, pemihakannya pada terorisme dan kepatuhannya pada pendapat ekstrem. Maka, setiap pengakuan atau keabsahan dari deklarasi itu tidak akan menunjang perdamaian di Timur Tengah."46
Reaksi AS hangat-hangat saja. Charles E. Redman, juru bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa sementara pernyataan PLO "menumbuhkan semangat," dibutuhkan lebih banyak konsesi dari PLO 47 Namun, atas dasar pernyataan itu Amerika Serikat akhirnya setuju untuk menyelenggarakan pembicaraan bilateral resmi dengan PLO untuk pertama kalinya. Pembicaraan itu berlanjut tanpa adanya kemajuan serius selama lebih dari dua tahun, ketika mereka akhirnya dihentikan pada Mei 1990 oleh Amerika Serikat atas desakan Israel.48
* Rencana Perdamaian Bush 1989. Pemerintah Bush berpegang pada Resolusi 242 sebagai landasan bagi perdamaian. Pada 22 Mei ia mendesak semua pihak untuk mengambil sikap moderat agar suatu proses perdamaian dapat dimulai. Menteri Luar Negeri James Baker menasihati Israel bahwa "kini sudah waktunya untuk mengesampingkan, untuk selamanya, bayangan yang tidak realistik tentang Israel yang lebih besar. Kepentingan-kepentingan Israel di Tepi Barat dan Gaza, berkaitan dengan keamanan atau tidak, dapat diakomodasikan melalui suatu penyelesaian yang didasarkan atas Resolusi 242. Berjanjilah untuk menghentikan pencaplokan. Hentikan aktivitas pemukiman. Izinkan sekolah-sekolah dibuka kembali, rengkuhlah orang-orang Palestina sebagai tetangga yang patut mendapatkan hak-hak politik mereka."49 Perdana Menteri Yitzhak Rabin dengan segera mencap pidato itu "tidak berguna."50
Pada 1990 rasa frustrasi tumbuh di kalangan pemerintahan Bush dengan dipercepatnya aktivitas pemukiman Israel. Baker pada 13 Juni secara terbuka menyesalkan pemukiman-pemukiman Israel dan berkata: "Saya harus mengatakan pada Anda bahwa setiap orang di sana [di Israel] hendaknya mengetahui bahwa nomor telepon [Gedung Putih] adalah: 1-202-456-1414. Jika Anda serius mengenai perdamaian, telepon kami."51 Israel mengabaikan perkataan Baker dan meneruskan pembangunan pemukiman-pemukiman ambisiusnya sepanjang tahun itu.
Pada 1991 Baker secara pribadi turun tangan dengan mengadakan serangkaian perjalanan yang sulit ke Israel dan negara-negara Arab untuk mencari cara membuat kedua pihak bersedia mengadakan pertemuan. Setelah empat perjalanan, Baker melapor kepada Subkomite Urusan Luar Negeri DPR pada 22 Mei mengenai Operasi-operasi Luar Negeri: "Tidak ada yang lebih mempersulit usaha saya untuk menemui mitra Arab dan Palestina bagi Israel daripada sambutan oleh sebuah pemukiman baru setiap kali saya tiba [di Israel]. Saya kira tidak ada rintangan yang lebih besar bagi perdamaian daripada aktivitas pemukiman [oleh Israel] yang terus berlanjut bahkan dengan kecepatan semakin tinggi. Ini benar-benar melanggar kebijaksanaan Amerika Serikat... Saya telah mengemukakan masalah ini dalam sejumlah kesempatan kepada para pemimpin dalam pemerintahan Israel namun tidak ada hasilnya."52
Meskipun pada 22 Juli 1991 Baker menerima persetujuan yang belum pernah ada sebelumnya dari Mesir, Yordania, Lebanon, Saudi Arabia, dan Syria untuk bertemu muka dengan Israel,Perdana Menteri Shamir menolak gagasan itu 53 Kata Baker: "Selama 43 tahun Israel telah berusaha mengadakan perundingan langsung dengan tetangga-tetangganya... Dan kini ada kesempatan nyata untuk mengadakan perundingan tatap muka itu. Untuk sekarang, kami akan sangat berharap ada tanggapan dari Perdana Menteri Shamir dan rekan-rekannya."54 Jawaban Shamir: "Saya tidak percaya pada kompromi teritorial."55
Baker perlu mengadakan tiga kali perjalanan lagi ke Israel untuk akhirnya mendapatkan persetujuan Shamir untuk bertemu dengan orang-orang Palestina dan negara-negara Arab tetangganya. Terobosan itu muncul pada 18 Oktober 1991, ketika Uni Soviet tunduk pada tuntutan Israel dan memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan Israel, yang putus sejak 1967.56 Para pejabat Arab dan Israel bertemu di Madrid mulai 30 Oktober dan di kemudian hari, dalam pembicaraan bilateral di Washington, Shamir menjelaskan bahwa dia lebih tertarik untuk membangun pemukiman-pemukiman daripada berbicara tentang perdamaian. Pembicaraan damai itu berlangsung lambat sekali dan tidak meyakinkan, dengan Israel menolak untuk mengadakan pertemuan lebih dari beberapa hari setiap bulan. Setelah Shamir kalah dalam pemilihan pada Juni 1992, dia mengakui bahwa tidak adanya kemajuan dalam pertemuan itu memang disengaja, dan merupakan suatu taktik penundaan yang siap untuk dijalankannya selama sepuluh tahun agar tersedia cukup waktu untuk menjajah wilayah-wilayah pendudukan.57
Perdana Menteri yang baru Yitzhak Rabin memperpanjang pembicaraan itu menjadi sesi-sesi sepanjang bulan namun tidak mengubah kebijaksanaan Shamir secara mendasar. Akibatnya, setelah pernbicaraan pada September, Oktober, dan November 1992, tidak ada kemajuan yang dilaporkan dalam semua perundingan bilateral itu kecuali dengan Yordania, yang dengannya Israel akhirnya menyetujui suatu agenda untuk menyelenggarakan pembahasan-pembahasan di masa mendatang. Pembicaraan-pembicaraan dengan Lebanon dan Syria gagal, terutama karena Israel mendesak bahwa pasukannnya harus tetap berada di Lebanon selatan untuk melindungi kota-kota perbatasan Israel dari serangan-serangan gerilya dan karena Israel menolak konsep penarikan mundur menyeluruh terhadap pasukannya dari Dataran Tinggi Golan. Pembicaraan dengan Palestina tetap terganggu oleh penolakan Israel terhadap Resolusi PBB 242 58
Pihak-pihak Arab menangguhkan baik pembicaraan multilateral maupun pembicaraan bilateral pada Desember 1992, ketika Israel mengusir 413 orang Palestina dari wilayah-wilayah pendudukan ke sebuah puncak bukit di sebelah utara jalur yang dikuasai Israel di Lebanon Selatan. Meskipun Pemerintahan Bush memberikan suara setuju pada resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam Israel karena tindakan itu dan menuntut, sesuai dengan hukum internasional, agar orang-orang Palestina dikembalikan ke rumah-rumah mereka tanpa ditunda-tunda lagi, penggantinya dalam jabatan itu dengan segera mengembalikan tradisi Amerika untuk selalu terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Israel. Warren Christopher, menteri luar negeri Presiden Clinton, menerima tawaran Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk mengembalikan seratus orang dari 413 orang Palestina itu dengan segera dan sisanya dikembalikan tahun depan, sambil mengatakan bahwa tawaran ini harus dapat menghapuskan setiap tuntutan dari Dewan Keamanan untuk mempertimbangkan sanksi-sanksi terhadap Israel. Yang tidak disebutkan dalam pengumuman Christopher dan diabaikan oleh media AS adalah pernyataan Israel bahwa keseratus orang itu akan dipenjara, bukan dikembalikan ke rumah-rumah mereka. Sisanya kemungkinan akan menghadapi nasib yang sama jika dikembalikan tahun depan.
Bahkan tanpa adanya ledakan kontroversi, prospek keberhasilan dalam pembicaraan damai cukup suram. Yang jelas tidak akan ada kemajuan serius kecuali jika Amerika Serikat secara langsung ikut campur tangan menangani masalah-masalah yang sebenarnya.
Catatan kaki:
1 Segev,1949, 6. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 298.
2 Konferensi pers Begin, 1 Maret 1979, dikutip dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 5: 644.
3 Henry Kissinger, "The Path to Peaceful Coexistence in the Middle East," Washington Post rubrik Outlook, 2 Agustus 1992.
4 Fred J. Khouri, "Major Obstacles to Peace: Ignorance, Myths and Misconceptions," American- Arab Affairs, Musim Semi 1986, 60.
5 Meir, My Life, 383.
6 Untuk laporan-laporan mengenai kekerasan pendirian Israel selama masa ini, lihat laporan-laporan semacam itu dalam Kementerian Luar Negeri AS, Foreign Relations of the United States (FRUS)1949, "The Minister in Lebanon (Pinkerton) to the Secretary of State" (dari Ethridge), 28 Maret 1949,6:878; FRUS 1949, "The Minister in Lebanon (Pinkerton) to the Secretary of State" (dari Ethridge), 28 Maret 1949,6: 876-77; FRUS 1949, "The Consul at Jerusalem (Burdett) to the Secretary of State;" 28 Februari 1949, jam 9 pagi, 6: 775; FRUS 1949, "The Consul at Jerusalem (Burdett) to the Secretary of State;" 20 April 1949, jam 4 sore, 6: 928-30.
7 FRUS 1949, "The Acting Secretary of State to the Embassy in Israel;" 28 Mei 1949, jam 11 pagi, 6: 1072-74. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 33-41.
8 Buku harian Eisenhower, 13 Maret 1956, Perpustakaan Eisenhower.
9 Buku harian Eisenhower, 8 Maret 1956, Perpustakaan Eisenhower, dikutip dalam Neff, Warriors at Suez, 50-51.
10 Neff, Warriors at Suez, 44. Juga lihat New York Times, 10 April 1954.
11 Kissinger, Years of Upheaval, 212.
12 Ibid., 55G-51.
13 Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 159.
14 Ford, A Time to Heal, 245.
15 Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 199.
16 Ball, Passionate Attachment, 84-107.
17 Carter, Keeping Faith, 312-13.
18 Khouri, "Major Obstacle to Peace;" 60.
19 Ball, The Passionate Attachment, 108-30.
20 Thomas L. Friedman, New York Times, 13 Mei 1987.
21 Linda Gradstein, Washington Post, 3 Juli 1991. Kutipan-kutipan terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,185-86.
22 Thomas L. Friedman, New York Times, 25 Juli 1991.
23 Davis, Myths and Facts, 1989, 69.
24 Quandt, Decade of Decisions, 136. Juga lihat Kissinger, White House Years, 1278-79; Neff, Warrior against Israel, 46; Whetten, The Canal War, 210.
25 Teks mengenai pernyataan Rogers terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 55-60.
26 Brecher, Decisions in Israel's Foreign Policy, 479-83. Teks pernyataan kabinet itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli- Palestinian Conflict, 182-83.
27 Teks itu terdapat dalam Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977-1980, 617-18, dan New York Times, 28 Juni 1977.
28 Quandt, Camp David, 73.
29 Carter pertama kali secara terbuka menyebut kata "tanah air" pada 16 Maret 1977; lihat teks itu dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 69-70. Reaksi di kalangan para pendukung Israel atas pernyataan "tanah air" Carter begitu kerasnya sehingga Gedung Putih dengan segera mengubah perkataan itu, dengan menyatakan, "Definisi yang paling tepat dari apa yang dimaksudkan sebagai tanah air, tingkat kemerdekaan entitas Palestina, hubungannya dengan Yordania, atau barangkali Syria dan yang lain-lainnya, batas-batas geografisnya, semuanya harus dibicarakan oleh pihak-pihak terkait." Lihat Rurenberg, Israel and the American National Interest, 210-11. Isu tanah air itu pada akhimya dibatalkan Carter dikarenakan adanya tentangan dari Para pendukung Carter, menurut laporan analis William Quandt: "Namun, tidak lama kemudian, Carter mulai merasakan suhu tinggi politik, dan pernyataan-pernyataannya mengenai bangsa Palestina menjadi lebih hati-hati, mula-mula menekankan preferensinya pada kaitan antara tanah air Palestina dan Yordania, kemudian membatalkan semua acuan pada tanah air, dan akhirnya menyampaikan tentangannya pada suatu negara Palestina merdeka;" lihat Quandt, Camp David, 60.
30 Quandt, Camp David, 84.
31 Ibid., 81.
32 Quandt, Camp David, adalah penjelasan paling bagus mengenai perundinganperundingan dan makna dari persetujuan-persetujuan itu. Quandt adalah anggota tim AS dan membawa wawasan sebagai orang dalam pada peristiwa itu.
33 Sejak Agustus 1967 Israel telah secara rahasia menawari Mesir pengembalian Sinai sebagai pertukaran bagi demiliterisasi dari wilayah gurun, navigasi bebas di Terusan Suez, internasionalisasi Selat Tiran, dan suatu perjanjian damai resmi; lihat Aronson, Conflict and Bargaining in the Middle East, 86. Tawaran Israel ini dianggap sebagai suatu cara untuk memisahkan musuhnya yang paling kuat dari negara-negara Arab lainnya --dan dengan kasar ditolak oleh pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser. Juga lihat O'Brien, The Siege, 489, dan teks- teks dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh PLO, Saudi Arabia, Yordania, Lebanon, Syria, Kuwait, Tunisia, Maroko, bangsa Palestina, dan seterusnya, dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1979, 177-204.
34 Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977-1980, 667.
35 Teks itu terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1981, 241-43. Lihat Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 425.
36 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 259. Juga lihat O'Brien, The Siege, 617-18, untuk spekulasi tentang bagaimana rencana perdamaian itu merepotkan Israel mengingat hubungan hangat antara Amerika Serikat dan Saudi Arabia dan mendorongnya pada keputusan untuk menyerang Lebanon pada tahun 1982.
37 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 259.
38 Teks itu terdapat dalam New York Times, 2 September 1982, dan "Documents and Source Material," Journal of Palestine Studies, Musim Panas/Gugur 1982, 340-43. Juga lihat Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 436-41; Peck, The Reagan Administration and the Palestinian Question, 83-99.
39 Ball, Error and Betrayal in Lebanon, 53, dan Tom Wicker, New York Times, 24 September 1982.
40 Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 438. Teks surat Begin kepada Reagan yang menjelaskan posisi Israel terdapat dalam New York Times, 5 September 1982, dan "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1983,211-18.
41 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 309.
42 Teks itu terdapat dalam New York Times, 10 September 1982, dan "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1983, 202-3. Juga lihat Cobban, The Palestine Liberation Organization, 127.
43 Peck, The Reagan Administration and the Palestinian Question, 83-99.
44 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 313.
45 Teks dari "Komunike Politik" itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 411-15. Suatu telaah mengenai pertemuan dewan dan kebijaksanaan AS terdapat dalam Rashid Khalidi, "The 19th PNC Resolutions and American Policy," Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1990. Juga lihat Muhammad Muslih, "Towards Coexistence: An Analysis of the Resolutions of the Palestine National Council," Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1990,3-19.
46 46 Joel Brinkley, New York Times, 16 November 1988. Teks pernyataan Israel itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 216-18.
47 Robert Pear, New York Times, 16 November 1988.
48 Thomas L. Friedman, New York Times, 21 Juni 1990. Teks penyataan-pemyataan resmi PLO mengenai masalah itu terdapat dalam Journal of Palestine Studies, "Documents and Source Material;" Musim Gugur 1990, 159-63. Teks dari komentar Presiden Bush terdapat dalam jumal yang sama,186-90.
49 Thomas L. Friedman, New York Times, 23 Mei 1989. Sebagian teks dari perkataan Baker terdapat dalam terbitan yang sama. Teks lengkap terdapat dalam Department of State Bulletin, Juli 1989, dan "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1989,172-76. Juga lihat Ellen Flesichmann, "Image and Issues and the AIPAC Conference, 21-23 May 1989," Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1989, 84-90.
50 David S. Broder, Washington Post, 24 Mei 1989; Thomas L. Friedman, New York Times, 24 Mei 1989. Juga lihat James Morrison dan Martin Sieff, Washington Times, 24 Mei 1989.
51 Thomas L. Friedman, New York Times, 14 Juni 1990.
52 Thomas L. Friedman, New York Times, 23 Mei 1991. Teks itu terdapat dalam Sicherman, Palestinian Self-Government (Autonomy), Lampiran XVI.
53 Teks mengenai penahaman Syria tentang janji-janji AS mengenai konferensi itu terdapat dalam "Documents and Source Material," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,169.
54 Thomas L. Friedman, New York Times, 23 Juli 1991. Teks pernyataan yang diserahkan pada Baker oleh orang-orang Palestina itu terdapat dalam "Documents and Source Material," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,16&69.
55 Thomas L. Friedman, New York Times, 25 Juli 1991.
56 Jackson Diehl, Washington Post, 19 Oktober 1991. Juga lihat Thomas R. Mattair, "The Arab-Israeli Conflict: The Madrid Conference, and Beyond;" American-Arab Affairs, Musim Panas 1991.
57 Clyde Haberman, New York Times, 27 Juni 1992.
58 Muhammad Hallaj, "The Seventh Round of the Bilateral Peace Talks;" Middle East International, 6 November 1992.
Mantan Menteri Luar Negeri James Baker suka mengatakan bahwa perdamaian dapat muncul di Timur Tengah hanya jika semua pihak dalam konflik itu menghendakinya. Namun catatan Israel dengan jelas menunjukkan bahwa ia telah secara konsisten lebih memilih tanah daripada perdamaian. Sebagaimana ditulis oleh Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, dalam buku hariannya pada 1949: " Perdamaian memang penting tetapi tidak untuk ditukar dengan harga berapa pun."1 Itulah prinsip yang menuntun setiap pemimpin Israel selanjutnya.
Meskipun Israel telah ditawari sejumlah rencana perdamaian dengan kepercayaan yang baik selama bertahun-tahun, ia selalu menolak semuanya dan lebih suka mempertahankan wilayah yang direbutnya melalui kekerasan. Ini termasuk penolakannya untuk menerima kembali para pengungsi Palestina yang tercipta pada 1948 akibat pendudukan tanah Palestina, penolakannya terhadap berbagai usulan perdamaian setelah penaklukan pada 1967, dan desakannya belum lama ini untuk terus menduduki bagian-bagian dari wilayah Yordania, Lebanon, dan Syria-serta meneruskan pendudukan militer atas 1,7 juta orang Palestina. Dalam waktu hampir setengah abad, Israel baru menjalin perdamaian dengan Mesir, dan dengan demikian menetralkan negara Arab yang secara militer paling kuat, yang wilayahnya berdekatan dengan negara Yahudi tersebut.
OMONG KOSONG
"Israel menginginkan perdamaian. Menginginkannya lebih dari semua negara lainnya." --Menachem Begin, perdana menteri Israel, 19792
FAKTA
Tidak kurang dari sahabat Israel Henry Kissinger yang telah mengakui bahwa Israel lebih memilih tanah daripada perdamaian. Mantan menteri luar negeri AS itu menulis pada 1992: "Israel menganggap penundaan sebagai strategi yang paling baik... Bagaimana proses perdamaian itu berkembang tampaknya menegaskan penilaian ini. Pada 1948 negara-negara Arab tetangga Israel lebih suka berperang daripada menerima negara Yahudi itu. Pada '50-an dan '60-an, sebagian dari mereka mulai bergerak menuju sikap menerima batas-batas '47 namun bukan yang ada saat itu. Misalnya, pada 1954 Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menuntut agar Israel berhenti pada batas yang dibuat dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947 yaitu, mengurangi luas Israel, seperti yang telah ditetapkan, menjadi sekitar 40 persen dari ukurannya dan membiarkan Jerusalem tetap sebagai kota internasional yang dikelilingi oleh wilayah Arab. Demikian pula, Anthony Eden, yang juga berbicara atas nama Amerika Serikat, menyarankan kompromi antara batas tahun 1947 dan Batas yang ada saat itu (yang kini kami gambarkan sebagai batas tahun '67). Pada'70-an dan'80-an, Amerika Serikat dan beberapa rezim Arab moderat, meskipun bukan PLO, menerima batas '67, tetapi sekali lagi ditolak keras dengan adanya Batas-Batas yang ada sekarang.
"Menghadapi tawaran-tawaran yang terus meningkat ini, Israel tidak akan kehilangan apa-apa dan justru banyak mendapatkan keuntungan dari sikapnya yang selalu menunda-nunda."3
Mantan menteri luar negeri Abba Eban pernah mengaku bahwa preferensi Israel pada tanah terutama dapat dicatat dalam tahun-tahun sebelum perang 1973: "Saya akan jujur: keruntuhan diplomasi Israel dimulai di bawah Pemerintahan Buruh, bukan di bawah Likud... Memang benar kebijakan resmi Buruh adalah bahwa wilayah-wilayah itu merupakan kartu tawar-menawar sementara sampai perdamaian tercapai. Tetapi, pada saat yang sama, [Menteri Pertahanan Moshe] Dayan berkata, 'Sharm El-Sheikh itu lebih penting dari pada perdamaian,' dan lebih-lebih lagi Tepi Barat.
"Siapa pun yang mengamati kami pada tahun-tahun sebelum Perang Yom Kippur akan mendapat kesan bahwa kami benar-benar tidak tertarik pada perdamaian kami adalah sebuah negara yang sudah cukup puas tanpa itu. Kami merasa bahwa kami memegang kartu truf di tangan kami, dan kami senang sekali memegangnya, namun sejalan dengan berlalunya waktu, kami mulai menyukainya, dan kami tidak siap untuk memainkannya."4
OMONG KOSONG
"Kami siap untuk membahas perdamaian dengan tetangga-tetangga kami, setiap hari dan mengenai semua hal." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 19755
FAKTA
Setiap presiden AS telah diyakinkan oleh para pemimpin Israel bahwa Israel menginginkan perdamaian. Namun ketika Amerika Serikat berusaha menemukan rumusan perdamaian, para presiden itu menyadari selama beberapa dasawarsa bahwa Israel mempunyai prioritas-prioritas lain.
Presiden Harry Truman adalah presiden pertama yang mengetahui sikap Israel yang sebenarnya terhadap perdamaian dan tanah.6 Waktu berlangsung pembicaraan perdamaian di Lausanne, Swiss, pada 1949, Truman merasa prihatin bahwa Israel membuat "klaim-klaim luas" atas wilayah. Pesannya kepada Israel berisi peringatan bahwa Amerika Serikat "sangat terganggu oleh sikap Israel dalam kaitan dengan penetapan wilayah di Palestina dan dengan masalah para pengungsi Palestina... Pemerintah AS sangat khawatir kalau-kalau Israel kini mengancam kemungkinan untuk sampai pada suatu solusi masalah Palestina dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan sumbangan pada jalinan hubungan yang baik dan bersahabat antara Israel dan tetangga-tetangganya. Pemerintah Israel hendaknya tidak menyimpan keragu-raguan apa pun agar Pemerintah AS dapat mempercayainya untuk mengambil tindakan yang bertanggung jawab dan positif menyangkut para pengungsi Palestina dan agar, jauh dari mendukung klaim-klaim luas Israel atas lebih banyak wilayah di Palestina, Pemerintah AS percaya bahwa penting bagi Israel untuk menawarkan kompensasi teritorial bagi wilayah yang diharapkannya untuk diperoleh di luar batas-batas yang ditentukan Rencana Pembagian PBB."7
Presiden Dwight Eisenhower menghadapi kekerasan pendirian yang sama dari Israel. Presiden telah mengirim seorang utusan rahasia ke Timur Tengah pada awal 1956 untuk mendorong tercapainya perdamaian antara Israel dan Mesir. Namun Eisenhower mendapati bahwa "para pejabat Israel... sama sekali tidak mau menyerah dalam sikap mereka untuk tidak membuat konsesi-konsesi apa pun demi mencapai perdamaian."8
Eisenhower mencatat dalam buku hariannya kesannya tentang sikap angkuh Israel yang diketahuinya dalam suatu kunjungan dua orang muda Israel kepadanya: "Kedua orang itu meremehkan negara-negara Arab dalam setiap hal... Mereka dengan besar mulut menyatakan bahwa Israel tidak memerlukan apa pun kecuali beberapa senjata pertahanan, dan mereka akan menjaga diri mereka sendiri selamanya dan tanpa bantuan apa pun dari Amerika Serikat. Saya mengatakan pada mereka bahwa mereka keliru --bahwa saya telah berbicara dengan banyak pemimpin Arab, dan saya yakin mereka sedang membangunkan ular tidur dan jika mereka dapat memecahkan masalah pertama secara damai dan tanpa melakukan tindak kekerasan yang tidak perlu demi kehormatan diri dan kepentingan negara-negara Arab, mereka akan mendapatkan keuntungan yang tak terhitung banyaknya dalam jangka panjang."9
Pemerintahan Eisenhower cukup prihatin melihat kesukaan Israel untuk berperang sehingga ia secara terbuka memperingatkan Israel agar "menghilangkan sikap sebagai penakluk dan keyakinan bahwa kekerasan dan kebijaksaan untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan balas dendam merupakan satu-satunya kebijaksanaan yang akan dapat dipahami tetangga-tetangga Anda. Anda hendaknya berusaha membuat perbuatan-perbuatan Anda sesuai dengan ucapan-ucapan yang sering Anda lontarkan mengenai keinginan Anda untuk mencapai perdamaian."10
Presiden John Kennedy dan Lyndon Johnson tidak melakukan usaha-usaha yang serius untuk mencapai perdamaian, terutama dikarenakan simpati kuat pro Israel Johnson, sehingga mereka tidak menemui konflik serius dengan Israel.
Presiden Richard Nixon pada awal 1973 menulis sebuah catatan kepada Penasihat Keamanan Nasional Henry Kissinger yang berisi keluhan: "Kita sekarang merupakan satu-satunya teman utama Israel di dunia. Saya toh belum melihat sikap memberi sedikit pun di pihak mereka --yang mengakui bahwa Yordania dan Mesir belum cukup memberi di pihak mereka... Telah tiba waktunya untuk berhenti mengabdi pada kekerasan pendirian Israel. Tindakan-tindakan kita di masa lalu telah mendorong mereka untuk beranggapan bahwa kita akan berdiri bersama mereka tanpa peduli betapapun keterlaluannya mereka."11
Pada saat lain Nixon. mengusulkan untuk bergabung dengan Uni Soviet demi tercapainya perdamaian di wilayah itu. Menurut Kissinger, waktu itu menteri luar negeri, Nixon mengirimkan sebuah pesan padanya di tengah perang 1973 sementara Kissinger berada di Moskow. Kissinger, yang setengahnya menguraikan dengan kata-katanya sendiri pesan itu dalam memoarnya, menulis bahwa Nixon mengusulkan: "Kita akan memenuhi bahkan kepentingan-kepentingan Israel yang paling besar jika kita kini menggunakan 'tekanan apa pun yang mungkin dibutuhkan untuk mendapatkan persetujuan bagi suatu penetapan yang masuk akal dan yang dapat kita mintakan pada Soviet untuk menekan negara-negara Arab.' Nixon kemudian menuliskan daftar rintangan yang selama itu telah menghalangi tercapainya suatu pemecahan: kekerasan pendirian Israel, penolakan negara negara Arab untuk tawar-menawar secara realistis, dan 'keasyikan kita sendiri dengan inisiatif-inisiatif lain."' Nixon menambahkan: "Saya ingin Anda tahu bahwa saya siap untuk menekan orang-orang Israel sampai batas yang kita butuhkan, tanpa mengingat konsekuensi-konsekuensi politik di dalam negeri [sic]."12
Presiden Gerald Ford merasa begitu terganggu dengan penolakan Israel untuk membuat konsesi-konsesi guna mencapai persetujuan Sinai.kedua sehingga dia mengirimkan sebuah surat keras pada 22 Maret 1975 kepada Perdana Menteri Yitzhak Rabin: "Saya kecewa mengetahui bahwa Israel belum bergerak sama sekali." Ford menambahkan bahwa jika Israel tidak menjadi lebih lunak, Amerika Serikat terpaksa akan mempertimbangkan kembali kebijaksanaan Timur Tengahnya, "termasuk kebijaksanaan kami terhadap Israel."13
Gertakan itu menjadi bumerang. Pemerintahan Rabin justru menjadi semakin keras kepala dan pembicaraan gagal di hari berikutnya. Ford mengeluh bahwa meskipun Amerika Serikat telah membantu Israel untuk menjadi "lebih kuat secara militer dibanding jika semua tetangga Arab[nya] disatukan" dengan harapan bahwa ia akan menjadi lebih lunak, pendiriannya malah semakin keras dan "perdamaian tidak menjadi lebih dekat dibanding sebelumnya."14
Kata Kissinger: "Saya minta Rabin untuk membuat konsesi-konsesi, dan dia mengatakan bahwa dia tidak bisa sebab Israel terlalu lemah. Maka saya memberinya persenjataan, dan dia mengatakan bahwa dia tidak perlu membuat konsesi-konsesi sebab Israel sudah kuat."15
Upaya-upaya Presiden Jimmy Carter untuk sampai pada perjanjian perdamaian Mesir-Israel pada 1979 menyebabkan dirinya terlibat konflik yang tak habis-habisnya dengan Israel.16 Dia mencatat dalam buku hariannya: "[Perdana Menteri Israel Menachem Begin] tidak bersedia menarik diri secara politis atau militer dari bagian Tepi Barat mana pun; tidak bersedia menghentikan pembangunan pemukiman-pemukiman baru atau perluasan pemukiman-pemukiman yang ada; tidak bersedia menarik para pemukim Israel dari Sinai atau bahkan membiarkan mereka di sana di bawah perlindungan PBB atau Mesir; tidak bersedia mengakui bahwa Resolusi PBB 242 berlaku untuk daerah Tepi Barat Gaza; tidak bersedia memberi otoritas nyata kepada orang-orang Arab Palestina, atau suara untuk menentukan masa depan mereka sendiri."17
Pada saat lain Carter berkata: "Setiap kali kami tampaknya telah mencapai sedikit keberhasilan dengan negara-negara Arab, Begin mengemukakan didirikannya pemukiman-pemukiman baru atau membuat pernyataan-pernyataan provokatif. Perilaku ini... secara serius mengancam prospek perdamaian."18
Presiden Ronald Reagan menghadapi pertentangan-pertentangan tajam dengan Israel, meskipun dia adalah presiden yang paling pro Israel.19 Ketika Reagan pada September 1982 mengemukakan rencananya untuk perdamaian Perdana Menteri Begin serta-merta menolaknya. Ketika gagasan mengenai suatu konferensi perdamaian internasional dikemukakan pada 1987 kepada Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir, dia menanggapi dengan menyebutnya "gagasan menentang dan kriminal ini," sambil menambahkan, "Kami mutlak menolak gagasan ini."20
Presiden George Bush berkata secara terbuka pada 1 Juli 1991, bahwa pemukiman-pemukiman Israel sangat tidak produktif dan "hal terbaik yang harus dilakukan Israel adalah menjaga komitmennya... tidak masuk dan membangun pemukiman-pemukiman lebih jauh." Tepat pada hari berikutnya para anggota kabinet Israel meresmikan dua fasilitas pada pemukiman-pemukiman di Tepi Barat.21 Ketika menteri luar negeri pemerintahan Bush, James Baker mengajukan usulan pada pertengahan 1991 untuk menyelenggarakan suatu konferensi perdamaian internasional, Perdana Menteri Shamir menampiknya di TV Israel, dengan mengatakan bahwa dia, Shamir, tidak percaya pada pengembalian wilayah dan bertanya: "Di mana Anda dapat menemukan di antara berbagai negara di dunia ini suatu bangsa yang bersedia menyerahkan wilayah tanah air mereka?"22
OMONG KOSONG
"Setiap pemerintahan Israel... lebih menyukai penyelesaian komprehensif dan menyatakan keinginannya untuk mengadakan pembicaraan damai dengan para pemimpin dari setiap atau semua negara Arab tetangga." --AIPAC,198923
FAKTA
Israel telah menolak setiap rencana perdamaian yang dikemukakan oleh negara-negara Arab dan Amerika Serikat kecuali untuk perjanjian bilateral dengan Mesir. (Lihat lebih banyak mengenai perjanjian Mesir-Israel di bawah.)
Berikut ini adalah usulan-usulan utama untuk perdamaian dan reaksi Israel:
* Misi Jarring PBB 1967-1971. Diplomat Swedia Gunnar Jarring dipilih sebagai perantara khusus PBB di Timur Tengah di bawah ketentuan-ketentuan Dewan Keamanan PBB 242, yang menyerukan pertukaran tanah untuk perdamaian. Tugasnya adalah "menjalin dan mempertahankan kontak-kontak dengan negara-negara [Timur Tengah) yang terkait untuk mengusulkan perdamaian dan membantu upaya-upaya mencapai penyelesaian damai dan dapat diterima sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dalam resolusi ini." Jarring bekerja sepanjang tahun 1968 tanpa menemui keberhasilan dan kemudian pada 1971 melakukan usaha terakhir dengan menuntut agar Israel setidak-tidaknya mengungkapkan dukungannya pada seruan Resolusi 242 bagi penarikan mundur dari wilayah-wilayah Arab yang didudukinya pada 1967. Jawaban Israel: "Israel tidak akan mundur dari batas-batas pra-5 Juni,1967." Dengan itu, misi Jarring berakhir dan Amerika Serikat tidak melakukan usaha lebih jauh untuk melaksanakan Resolusi 242.24
* Rencana Rogers 1969. Menteri Luar Negeri William P. Rogers pada 9 Desember menguraikan suatu rencana yang menyerukan dilaksanakannya Resolusi PBB 242. Rencana itu mencakup penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah yang diduduki pada 1967 dan penerimaan Arab akan perdamaian permanen dengan Israel serta "penyelesaian yang adil" bagi masalah pengungsi Palestina.25 Usulan lunak ini menyebabkan dilangsungkannya sesi krisis dalam kabinet Israel. Pada 11 Desember pagi kabinet mengeluarkan suatu pernyataan menolak mentah-mentah usulan itu.26
* Rencana Perdamaian Komprehensif Carter 1977. Lima bulan lebih sedikit setelah menduduki jabatan sebagai presiden, Jimmy Carter mengemukakan gagasan-gagasannya untuk suatu perdamaian komprehensif. Pada 27 Juni, pemerintahnya mengeluarkan suatu naskah yang berisi pandangan-pandangannya mengenai unsur-unsur suatu perdamaian komprehensif yang didasarkan atas Resolusi PBB 24227 Naskah itu berbunyi: "Kami beranggapan bahwa resolusi ini berarti penarikan mundur [Israel] pada tiga garis depan yaitu Sinai, Golan, Tepi Barat Gaza...[Tidak] ada wilayah, termasuk Tepi Barat, yang secara otomatis tidak termasuk dalam pokok-pokok yang harus dirundingkan."28 Ditambahkan bahwa ada "kebutuhan akan tanah air bagi bangsa Palestina."29
Dalam suatu pertemuan dengan Carter, Perdana Menteri Menachem Begin menyatakan bahwa Israel tidak akan pernah menerima "kekuasaan asing" atas "Judea dan Samaria." Dia juga tidak mau menerima penafsiran umum bahwa Resolusi 242 berarti penarikan mundur dari semua garis depan. Dia berkeras bahwa itu berarti penarikan mundur dari beberapa garis depan.30 Carter kemudian memberikan pada Begin suatu kelonggaran besar. Dia menyetujui permintaan Begin untuk tidak menggunakan di muka umum frasa "penarikan mundur dengan sedikit penyesuaian," dengan mengatakan bahwa jika Washington menggunakan rumusan semacam itu akan timbul prasangka terhadap perundingan-perundingan di masa mendatang. Meskipun penarikan mundur dengan sedikit penyesuaian merupakan kebijaksanaan tradisional AS, Carter setuju.31
Carter sangat kecewa dengan sikap Begin yang tidak mau memberikan tanggapan terhadap suatu isyarat yang begitu murah hati yaitu kunjungan dramatis Presiden Mesir Anwar Sadat ke Jerusalem pada akhir 1977. Setelah hampir setahun menghadapi jalan buntu, Carter, Begin, dan Sadat bertemu di Camp David selama tiga belas hari untuk menemukan rumusan bagi perdamaian. Ketika pembicaraan mereka berakhir pada 17 September 1978, bayangan Carter mengenai suatu persetujuan komprehensif hancur lebur, bangsa Palestina telah dihina dengan suatu tawaran "otonomi" palsu, Jerusalem tidak disebut-sebut, dan Anwar Sadat mendapatkan kembali hanya wilayah-wilayah Mesir sendiri.32 Itu jelas hanya suatu persetujuan bilateral, tidak lebih dari yang mungkin dapat diperoleh Mesir sejak ia kehilangan Sinai pada 1967.33
Israel akhirnya menerima perjanjian damai dengan Mesir pada 1979 hanya setelah Mesir dan Amerika Serikat secara mendasar setuju untuk mengabaikan bangsa Palestina dan Amerika Serikat menjanjikan Israel sampai $3 milyar dalam bentuk bantuan ekstra di luar jumlah tahunan yang diterimanya sekitar $2 milyar serta sejumlah besar peralatan militer tambahan untuk modernisasi angkatan bersenjata Israel, termasuk dipercepatnya pengiriman pesawat-pesawat perang F-16, yang terbaru dari angkatan udara Amerika.34
* Rencana Perdamaian Pangeran Fahd 1981. Putra Mahkota Saudi Arabia Fahd bin Abdul Aziz mengemukakan pada 8 Agustus suatu rencana perdamaian yang secara khusus "menegaskan hak negara- negara di wilayah itu untuk hidup damai."35 Rencana Fahd menyerukan penarikan mundur Israel dari semua tanah Arab yang direbut pada 1967, termasuk Jerusalem Timur Arab; ditinggalkannya pemukiman-pemukiman yang didirikan di wilayah-wilayah pendudukan sejak 1967; dan didirikannya sebuah negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Israel dengan segera menolak usulan itu, melalui pernyataan Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir yang menyebutnya "sebuah belati beracun yang ditusukkan ke dalam jantung eksistensi Israel."36 Israel mengumumkan bahwa ia akan menentang rencana tersebut dengan mendirikan lebih banyak pemukirnan di Tepi Barat.37
* Rencana Perdamaian Reagan 1982. Pemerintah Reagan pada 1 September menawarkan suatu rencana yang menyerukan penarikan mundur Israel dari semua garis depan di bawah garis-garis pedoman Resolusi PBB 242. Rencana itu mengusulkan penghentian kegiatan di pemukiman-pemukiman Israel, otonomi penuh bagi bangsa Palestina --namun menolak gagasan tentang sebuah negara Palestina merdeka-- dan mendesak agar Jerusalem tetap terbagi dan masa depannya dirundingkan di antara pihak-pihak terkait. Usulan itu menambahkan bahwa komitmen Amerika terhadap keamanan Israel "sangat kuat." Meskipun ada janji resmi berupa komitmen kuat untuk keamanan Israel dan dibatalkannya tawaran Carter menyangkut sebuah "tanah air" bagi bangsa Palestina, Perdana Menteri Begin menolak rencana Reagan sebagai suatu "ancaman serius" bagi Israel dan mencap setiap orang Israel yang menerimanya sebagai seorang "pengkhianat."38 Begin menambahkan: "Kami tidak mempunyai alasan untuk bertekuk lutut. Tak ada yang boleh menentukan untuk kami batas-batas Tanah Israel."39 Hari berikutnya kabinet Israel secara resmi menolak rencana Reagan dan pada saat yang sama mengumumkan niatnya untuk mendirikan empat puluh dua pemukiman baru dan mengungkapkan sebuah rencana tiga puluh tahun untuk memukimkan 1,4 juta orang Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan.40 Begin berkata: "Pemukiman semacam itu merupakan hak yang tidak dapat dicabut dan bagian integral dari keamanan nasional kami. Karena itu, tidak akan ada penghentian aktivitas bagi pemukiman."41
* Rencana Perdamuian Fez Arab 1982. Suatu pertemuan puncak para pemimpin negara-negara Arab di Fez, Maroko, pada 9 September menerima rencana perdamaian Fez. Itu terutama didasarkan atas usulan Pangeran Fahd setahun sebelumnya, yang menonjol terutama karena memberikan dukungan kuat pada Organisasi Pembebesan Palestina sebagai satu-satunya wakil sah bangsa Palestina.42 Rencana itu menawarkan pengakuan implisit terhadap Israel dengan menyerukan pada Dewan Keamanan PBB agar memberikan "jaminan bagi perdamaian untuk semua negara di wilayah itu."43 Pemerintah Israel menolak rencana perdamaian Fez hari berikutnya, dengan Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir menyatakannya sebagai suatu "deklarasi perang yang diperbarui terhadap Israel... yang tidak punya bobot, tidak punya nilai... dan mengandung kebencian yang sama, penentangan yang sama terhadap perdamaian."44
* Rencana Perdamaian PLO 1988. Dewan Nasional Organisasi Pembebasan Palestina pada 5 November meninggalkan terorisme, menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338, dan menyerukan diadakannya konferensi perdamaian internasional. Dewan itu menegaskan "kebulatan tekad Organisasi Pembebasan Palestina untuk mencapai suatu solusi damai yang komprehensif dari konflik Arab-Israel dan esensinya, masalah Palestina, di dalam kerangka Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan legitimasi internasional, aturan-aturan hukum internasional, resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (yang terakhir adalah Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 605, 607, dan 608), dan resolusi-resolusi dari pertemuan puncak Arab dalam suatu cara yang menegaskan hak-hak bangsa Arab Palestina untuk kembali, menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara nasionalnya yang merdeka di atas wilayah nasionalnya, dan menciptakan pengaturan-pengaturan keamanan dan perdamaian bagi semua negara di wilayah itu."45
Israel segera menolak usulan PLO: "Sekali lagi, organisasi yang menyatakan dirinya mewakili bangsa Palestina terbukti tidak mampu atau tidak bersedia mengakui kenyataan. Dalam pernyataan-pernyataannya yang baru, ambiguitas dan pembicaraan ganda kembali digunakan untuk mengaburkan dukungannya terhadap kekerasan, pemihakannya pada terorisme dan kepatuhannya pada pendapat ekstrem. Maka, setiap pengakuan atau keabsahan dari deklarasi itu tidak akan menunjang perdamaian di Timur Tengah."46
Reaksi AS hangat-hangat saja. Charles E. Redman, juru bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa sementara pernyataan PLO "menumbuhkan semangat," dibutuhkan lebih banyak konsesi dari PLO 47 Namun, atas dasar pernyataan itu Amerika Serikat akhirnya setuju untuk menyelenggarakan pembicaraan bilateral resmi dengan PLO untuk pertama kalinya. Pembicaraan itu berlanjut tanpa adanya kemajuan serius selama lebih dari dua tahun, ketika mereka akhirnya dihentikan pada Mei 1990 oleh Amerika Serikat atas desakan Israel.48
* Rencana Perdamaian Bush 1989. Pemerintah Bush berpegang pada Resolusi 242 sebagai landasan bagi perdamaian. Pada 22 Mei ia mendesak semua pihak untuk mengambil sikap moderat agar suatu proses perdamaian dapat dimulai. Menteri Luar Negeri James Baker menasihati Israel bahwa "kini sudah waktunya untuk mengesampingkan, untuk selamanya, bayangan yang tidak realistik tentang Israel yang lebih besar. Kepentingan-kepentingan Israel di Tepi Barat dan Gaza, berkaitan dengan keamanan atau tidak, dapat diakomodasikan melalui suatu penyelesaian yang didasarkan atas Resolusi 242. Berjanjilah untuk menghentikan pencaplokan. Hentikan aktivitas pemukiman. Izinkan sekolah-sekolah dibuka kembali, rengkuhlah orang-orang Palestina sebagai tetangga yang patut mendapatkan hak-hak politik mereka."49 Perdana Menteri Yitzhak Rabin dengan segera mencap pidato itu "tidak berguna."50
Pada 1990 rasa frustrasi tumbuh di kalangan pemerintahan Bush dengan dipercepatnya aktivitas pemukiman Israel. Baker pada 13 Juni secara terbuka menyesalkan pemukiman-pemukiman Israel dan berkata: "Saya harus mengatakan pada Anda bahwa setiap orang di sana [di Israel] hendaknya mengetahui bahwa nomor telepon [Gedung Putih] adalah: 1-202-456-1414. Jika Anda serius mengenai perdamaian, telepon kami."51 Israel mengabaikan perkataan Baker dan meneruskan pembangunan pemukiman-pemukiman ambisiusnya sepanjang tahun itu.
Pada 1991 Baker secara pribadi turun tangan dengan mengadakan serangkaian perjalanan yang sulit ke Israel dan negara-negara Arab untuk mencari cara membuat kedua pihak bersedia mengadakan pertemuan. Setelah empat perjalanan, Baker melapor kepada Subkomite Urusan Luar Negeri DPR pada 22 Mei mengenai Operasi-operasi Luar Negeri: "Tidak ada yang lebih mempersulit usaha saya untuk menemui mitra Arab dan Palestina bagi Israel daripada sambutan oleh sebuah pemukiman baru setiap kali saya tiba [di Israel]. Saya kira tidak ada rintangan yang lebih besar bagi perdamaian daripada aktivitas pemukiman [oleh Israel] yang terus berlanjut bahkan dengan kecepatan semakin tinggi. Ini benar-benar melanggar kebijaksanaan Amerika Serikat... Saya telah mengemukakan masalah ini dalam sejumlah kesempatan kepada para pemimpin dalam pemerintahan Israel namun tidak ada hasilnya."52
Meskipun pada 22 Juli 1991 Baker menerima persetujuan yang belum pernah ada sebelumnya dari Mesir, Yordania, Lebanon, Saudi Arabia, dan Syria untuk bertemu muka dengan Israel,Perdana Menteri Shamir menolak gagasan itu 53 Kata Baker: "Selama 43 tahun Israel telah berusaha mengadakan perundingan langsung dengan tetangga-tetangganya... Dan kini ada kesempatan nyata untuk mengadakan perundingan tatap muka itu. Untuk sekarang, kami akan sangat berharap ada tanggapan dari Perdana Menteri Shamir dan rekan-rekannya."54 Jawaban Shamir: "Saya tidak percaya pada kompromi teritorial."55
Baker perlu mengadakan tiga kali perjalanan lagi ke Israel untuk akhirnya mendapatkan persetujuan Shamir untuk bertemu dengan orang-orang Palestina dan negara-negara Arab tetangganya. Terobosan itu muncul pada 18 Oktober 1991, ketika Uni Soviet tunduk pada tuntutan Israel dan memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan Israel, yang putus sejak 1967.56 Para pejabat Arab dan Israel bertemu di Madrid mulai 30 Oktober dan di kemudian hari, dalam pembicaraan bilateral di Washington, Shamir menjelaskan bahwa dia lebih tertarik untuk membangun pemukiman-pemukiman daripada berbicara tentang perdamaian. Pembicaraan damai itu berlangsung lambat sekali dan tidak meyakinkan, dengan Israel menolak untuk mengadakan pertemuan lebih dari beberapa hari setiap bulan. Setelah Shamir kalah dalam pemilihan pada Juni 1992, dia mengakui bahwa tidak adanya kemajuan dalam pertemuan itu memang disengaja, dan merupakan suatu taktik penundaan yang siap untuk dijalankannya selama sepuluh tahun agar tersedia cukup waktu untuk menjajah wilayah-wilayah pendudukan.57
Perdana Menteri yang baru Yitzhak Rabin memperpanjang pembicaraan itu menjadi sesi-sesi sepanjang bulan namun tidak mengubah kebijaksanaan Shamir secara mendasar. Akibatnya, setelah pernbicaraan pada September, Oktober, dan November 1992, tidak ada kemajuan yang dilaporkan dalam semua perundingan bilateral itu kecuali dengan Yordania, yang dengannya Israel akhirnya menyetujui suatu agenda untuk menyelenggarakan pembahasan-pembahasan di masa mendatang. Pembicaraan-pembicaraan dengan Lebanon dan Syria gagal, terutama karena Israel mendesak bahwa pasukannnya harus tetap berada di Lebanon selatan untuk melindungi kota-kota perbatasan Israel dari serangan-serangan gerilya dan karena Israel menolak konsep penarikan mundur menyeluruh terhadap pasukannya dari Dataran Tinggi Golan. Pembicaraan dengan Palestina tetap terganggu oleh penolakan Israel terhadap Resolusi PBB 242 58
Pihak-pihak Arab menangguhkan baik pembicaraan multilateral maupun pembicaraan bilateral pada Desember 1992, ketika Israel mengusir 413 orang Palestina dari wilayah-wilayah pendudukan ke sebuah puncak bukit di sebelah utara jalur yang dikuasai Israel di Lebanon Selatan. Meskipun Pemerintahan Bush memberikan suara setuju pada resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam Israel karena tindakan itu dan menuntut, sesuai dengan hukum internasional, agar orang-orang Palestina dikembalikan ke rumah-rumah mereka tanpa ditunda-tunda lagi, penggantinya dalam jabatan itu dengan segera mengembalikan tradisi Amerika untuk selalu terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Israel. Warren Christopher, menteri luar negeri Presiden Clinton, menerima tawaran Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk mengembalikan seratus orang dari 413 orang Palestina itu dengan segera dan sisanya dikembalikan tahun depan, sambil mengatakan bahwa tawaran ini harus dapat menghapuskan setiap tuntutan dari Dewan Keamanan untuk mempertimbangkan sanksi-sanksi terhadap Israel. Yang tidak disebutkan dalam pengumuman Christopher dan diabaikan oleh media AS adalah pernyataan Israel bahwa keseratus orang itu akan dipenjara, bukan dikembalikan ke rumah-rumah mereka. Sisanya kemungkinan akan menghadapi nasib yang sama jika dikembalikan tahun depan.
Bahkan tanpa adanya ledakan kontroversi, prospek keberhasilan dalam pembicaraan damai cukup suram. Yang jelas tidak akan ada kemajuan serius kecuali jika Amerika Serikat secara langsung ikut campur tangan menangani masalah-masalah yang sebenarnya.
Catatan kaki:
1 Segev,1949, 6. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 298.
2 Konferensi pers Begin, 1 Maret 1979, dikutip dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 5: 644.
3 Henry Kissinger, "The Path to Peaceful Coexistence in the Middle East," Washington Post rubrik Outlook, 2 Agustus 1992.
4 Fred J. Khouri, "Major Obstacles to Peace: Ignorance, Myths and Misconceptions," American- Arab Affairs, Musim Semi 1986, 60.
5 Meir, My Life, 383.
6 Untuk laporan-laporan mengenai kekerasan pendirian Israel selama masa ini, lihat laporan-laporan semacam itu dalam Kementerian Luar Negeri AS, Foreign Relations of the United States (FRUS)1949, "The Minister in Lebanon (Pinkerton) to the Secretary of State" (dari Ethridge), 28 Maret 1949,6:878; FRUS 1949, "The Minister in Lebanon (Pinkerton) to the Secretary of State" (dari Ethridge), 28 Maret 1949,6: 876-77; FRUS 1949, "The Consul at Jerusalem (Burdett) to the Secretary of State;" 28 Februari 1949, jam 9 pagi, 6: 775; FRUS 1949, "The Consul at Jerusalem (Burdett) to the Secretary of State;" 20 April 1949, jam 4 sore, 6: 928-30.
7 FRUS 1949, "The Acting Secretary of State to the Embassy in Israel;" 28 Mei 1949, jam 11 pagi, 6: 1072-74. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 33-41.
8 Buku harian Eisenhower, 13 Maret 1956, Perpustakaan Eisenhower.
9 Buku harian Eisenhower, 8 Maret 1956, Perpustakaan Eisenhower, dikutip dalam Neff, Warriors at Suez, 50-51.
10 Neff, Warriors at Suez, 44. Juga lihat New York Times, 10 April 1954.
11 Kissinger, Years of Upheaval, 212.
12 Ibid., 55G-51.
13 Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 159.
14 Ford, A Time to Heal, 245.
15 Sheehan, The Arabs, Israelis, and Kissinger, 199.
16 Ball, Passionate Attachment, 84-107.
17 Carter, Keeping Faith, 312-13.
18 Khouri, "Major Obstacle to Peace;" 60.
19 Ball, The Passionate Attachment, 108-30.
20 Thomas L. Friedman, New York Times, 13 Mei 1987.
21 Linda Gradstein, Washington Post, 3 Juli 1991. Kutipan-kutipan terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,185-86.
22 Thomas L. Friedman, New York Times, 25 Juli 1991.
23 Davis, Myths and Facts, 1989, 69.
24 Quandt, Decade of Decisions, 136. Juga lihat Kissinger, White House Years, 1278-79; Neff, Warrior against Israel, 46; Whetten, The Canal War, 210.
25 Teks mengenai pernyataan Rogers terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 55-60.
26 Brecher, Decisions in Israel's Foreign Policy, 479-83. Teks pernyataan kabinet itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli- Palestinian Conflict, 182-83.
27 Teks itu terdapat dalam Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977-1980, 617-18, dan New York Times, 28 Juni 1977.
28 Quandt, Camp David, 73.
29 Carter pertama kali secara terbuka menyebut kata "tanah air" pada 16 Maret 1977; lihat teks itu dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 69-70. Reaksi di kalangan para pendukung Israel atas pernyataan "tanah air" Carter begitu kerasnya sehingga Gedung Putih dengan segera mengubah perkataan itu, dengan menyatakan, "Definisi yang paling tepat dari apa yang dimaksudkan sebagai tanah air, tingkat kemerdekaan entitas Palestina, hubungannya dengan Yordania, atau barangkali Syria dan yang lain-lainnya, batas-batas geografisnya, semuanya harus dibicarakan oleh pihak-pihak terkait." Lihat Rurenberg, Israel and the American National Interest, 210-11. Isu tanah air itu pada akhimya dibatalkan Carter dikarenakan adanya tentangan dari Para pendukung Carter, menurut laporan analis William Quandt: "Namun, tidak lama kemudian, Carter mulai merasakan suhu tinggi politik, dan pernyataan-pernyataannya mengenai bangsa Palestina menjadi lebih hati-hati, mula-mula menekankan preferensinya pada kaitan antara tanah air Palestina dan Yordania, kemudian membatalkan semua acuan pada tanah air, dan akhirnya menyampaikan tentangannya pada suatu negara Palestina merdeka;" lihat Quandt, Camp David, 60.
30 Quandt, Camp David, 84.
31 Ibid., 81.
32 Quandt, Camp David, adalah penjelasan paling bagus mengenai perundinganperundingan dan makna dari persetujuan-persetujuan itu. Quandt adalah anggota tim AS dan membawa wawasan sebagai orang dalam pada peristiwa itu.
33 Sejak Agustus 1967 Israel telah secara rahasia menawari Mesir pengembalian Sinai sebagai pertukaran bagi demiliterisasi dari wilayah gurun, navigasi bebas di Terusan Suez, internasionalisasi Selat Tiran, dan suatu perjanjian damai resmi; lihat Aronson, Conflict and Bargaining in the Middle East, 86. Tawaran Israel ini dianggap sebagai suatu cara untuk memisahkan musuhnya yang paling kuat dari negara-negara Arab lainnya --dan dengan kasar ditolak oleh pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser. Juga lihat O'Brien, The Siege, 489, dan teks- teks dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh PLO, Saudi Arabia, Yordania, Lebanon, Syria, Kuwait, Tunisia, Maroko, bangsa Palestina, dan seterusnya, dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1979, 177-204.
34 Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977-1980, 667.
35 Teks itu terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1981, 241-43. Lihat Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 425.
36 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 259. Juga lihat O'Brien, The Siege, 617-18, untuk spekulasi tentang bagaimana rencana perdamaian itu merepotkan Israel mengingat hubungan hangat antara Amerika Serikat dan Saudi Arabia dan mendorongnya pada keputusan untuk menyerang Lebanon pada tahun 1982.
37 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 259.
38 Teks itu terdapat dalam New York Times, 2 September 1982, dan "Documents and Source Material," Journal of Palestine Studies, Musim Panas/Gugur 1982, 340-43. Juga lihat Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 436-41; Peck, The Reagan Administration and the Palestinian Question, 83-99.
39 Ball, Error and Betrayal in Lebanon, 53, dan Tom Wicker, New York Times, 24 September 1982.
40 Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 438. Teks surat Begin kepada Reagan yang menjelaskan posisi Israel terdapat dalam New York Times, 5 September 1982, dan "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1983,211-18.
41 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 309.
42 Teks itu terdapat dalam New York Times, 10 September 1982, dan "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1983, 202-3. Juga lihat Cobban, The Palestine Liberation Organization, 127.
43 Peck, The Reagan Administration and the Palestinian Question, 83-99.
44 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 313.
45 Teks dari "Komunike Politik" itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 411-15. Suatu telaah mengenai pertemuan dewan dan kebijaksanaan AS terdapat dalam Rashid Khalidi, "The 19th PNC Resolutions and American Policy," Journal of Palestine Studies, Musim Dingin 1990. Juga lihat Muhammad Muslih, "Towards Coexistence: An Analysis of the Resolutions of the Palestine National Council," Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1990,3-19.
46 46 Joel Brinkley, New York Times, 16 November 1988. Teks pernyataan Israel itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 216-18.
47 Robert Pear, New York Times, 16 November 1988.
48 Thomas L. Friedman, New York Times, 21 Juni 1990. Teks penyataan-pemyataan resmi PLO mengenai masalah itu terdapat dalam Journal of Palestine Studies, "Documents and Source Material;" Musim Gugur 1990, 159-63. Teks dari komentar Presiden Bush terdapat dalam jumal yang sama,186-90.
49 Thomas L. Friedman, New York Times, 23 Mei 1989. Sebagian teks dari perkataan Baker terdapat dalam terbitan yang sama. Teks lengkap terdapat dalam Department of State Bulletin, Juli 1989, dan "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1989,172-76. Juga lihat Ellen Flesichmann, "Image and Issues and the AIPAC Conference, 21-23 May 1989," Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1989, 84-90.
50 David S. Broder, Washington Post, 24 Mei 1989; Thomas L. Friedman, New York Times, 24 Mei 1989. Juga lihat James Morrison dan Martin Sieff, Washington Times, 24 Mei 1989.
51 Thomas L. Friedman, New York Times, 14 Juni 1990.
52 Thomas L. Friedman, New York Times, 23 Mei 1991. Teks itu terdapat dalam Sicherman, Palestinian Self-Government (Autonomy), Lampiran XVI.
53 Teks mengenai penahaman Syria tentang janji-janji AS mengenai konferensi itu terdapat dalam "Documents and Source Material," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,169.
54 Thomas L. Friedman, New York Times, 23 Juli 1991. Teks pernyataan yang diserahkan pada Baker oleh orang-orang Palestina itu terdapat dalam "Documents and Source Material," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,16&69.
55 Thomas L. Friedman, New York Times, 25 Juli 1991.
56 Jackson Diehl, Washington Post, 19 Oktober 1991. Juga lihat Thomas R. Mattair, "The Arab-Israeli Conflict: The Madrid Conference, and Beyond;" American-Arab Affairs, Musim Panas 1991.
57 Clyde Haberman, New York Times, 27 Juni 1992.
58 Muhammad Hallaj, "The Seventh Round of the Bilateral Peace Talks;" Middle East International, 6 November 1992.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
PARA PENGUNGSI PALESTINA
Konflik Arab-Israel telah menimbulkan dua gelombang besar pengungsi Palestina. Gelombang pertama adalah akibat perang 1948 dan berjumlah 726.000 orang, dua pertiga dari seluruh penduduk Palestina yang 1,2 juta orang. Gelombang kedua terjadi pada perang 1967 ketika 323.000 orang Palestina kehilangan rumah-rumah mereka, 113.000 di antaranya telah menjadi pengungsi sejak 1948.1
OMONG KOSONG
"Tidak ada pengungsi... yang ada hanyalah para pejuang yang berusaha untuk menghancurkan kita, sampai ke akar-akarnya." --David Ben-Gurion, perdana menteri Israel, 19492
FAKTA
Laporan-laporan dari berbagai sumber yang mandiri dan dapat dipercaya menunjukkan bahwa sebagian besar pengungsi Palestina adalah anak-anak, kaum wanita, dan kaum pria yang sudah tua.
Setelah pasukan Israel --di bawah komando calon perdana menteri Yitzhak Rabin-- merebut kota Arab, Lydda, pada pertengahan 1948 dan mengusir penduduk, komandan militer Inggris dari pasukan Yordania, Pasha Glubb, melaporkan: "Barangkali tiga puluh ribu orang atau lebih, hampir seluruhnya kaum wanita dan anak-anak, memungut apa saja yang dapat mereka bawa dan lari dari rumah-rumah mereka melintasi padang terbuka."3 Pada 16 September, penengah PBB Count Folke Bernadotte mencatat bahwa "hampir seluruh penduduk Arab lari atau diusir dari daerah pendudukan Yahudi. Banyak di antara mereka adalah bayi-bayi, anak-anak, kaum wanita yang sedang hamil dan ibu-ibu yang sedang menyusui. Kondisi mereka sungguh papa."4
Pada 17 Oktober 1948, wakil AS di Israel, James G. McDonald, melaporkan dengan mendesak dan langsung kepada Presiden Truman bahwa "tragedi para pengungsi Palestina dengan cepat berubah menjadi bencana dan harus dianggap sebagai malapetaka. Sumber-sumber pertolongan dan pemukiman kembali di masa sekarang dan mendatang sama sekali tidak memadai... Dari kira-kira 400.000 pengungsi yang akan menghadapi musim dingin dengan hujan deras, diperkirakan, akan terbunuh lebih dari 100.000 pria yang telah tua, kaum wanita dan anak-anak yang tidak mempunyai tempat berlindung dan hanya menyimpan sedikit atau bahkan tidak menyimpan makanan sama sekali."5
Pada Februari 1949 angka kematian di kalangan para pengungsi Palestina di Jalur Gaza saja dilaporkan 230 orang tiap hari.6 William L. Gower, delegasi untuk Palang Merah Amerika, melaporkan: "Delapan puluh hingga 85 persen dari orang-orang yang terusir terdiri atas anak-anak, wanita-wanita tua, wanita-wanita yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui."7
Pada pertengahan Maret 1949, sebuah laporan dari Kementerian Luar Negeri berbunyi: "Dana Darurat Anak-anak Internasional menganggap 425.000 atau 58 persen dari pengungsi patut diberi bantuan dalam programnya: kelompok ini terdiri atas bayi-bayi, anak-anak kecil, kaum wanita yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui. Kira-kira 15 persen pengungsi sudah berusia lanjut, sakit, dan lemah. Akan terlihat bahwa kaum pria dan wanita yang berbadan sehat jumlahnya paling banyak 25 persen dari keseluruhan, atau 180.000 orang."8
Reaksi di Amerika Serikat terutama adalah tidak peduli. Media berita Amerika pada umumnya mengabaikan keadaan para pengungsi Palestina. Laporan rahasia Kementerian Luar Negeri Maret 1949 menyatakan bahwa publik Amerika Serikat "secara umum tidak menyadari masalah pengungsi Palestina, sebab hal itu tidak diberi tekanan oleh pers atau radio."9
OMONG KOSONG
"Jumlah seluruh pengungsi Arab yang meninggalkan Israel adalah sekitar 590.000 orang." --AIPAC,198910
FAKTA
Angka AIPAC itu terlalu rendah setidak-tidaknya 150.000. Setelah banyak usaha dilakukan oleh berbagai negara dan agen internasional untuk memperkirakan jumlah keseluruhan pengungsi Palestina, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan pada akhir 1949 bahwa 726.000 orang dari 1,2 juta rakyat Palestina telah terusir dari rumah-rumah mereka dan menjadi pengungsi akibat perang 1948. 25.000 orang lainnya tercatat sebagai pengungsi kasus perbatasan namun tidak dimasukkan dalam jumlah keseluruhan.11 Ini merupakan angka resmi PBB, yang secara umum diterima di luar Timur Tengah.
Orang-orang Arab berkeras bahwa jumlah yang sesungguhnya mendekati 1 juta, sementara Israel secara resmi menyatakan bahwa angkanya adalah antara 520.000 dan 530.000.12 Tetapi dokumen-dokumen internal menunjukkan bahwa para pejabat sejak awal mengetahui bahwa angkanya jauh lebih tinggi daripada yang mereka kemukakan di muka umum. Ahli sejarah Israel Benny Morris telah mendokumentasikan pengetahuan awal Israel tentang jumlah yang sesungguhnya itu dari catatan-catatan dalam arsip Israel. Satu dokumen menunjukkan bahwa Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri, Rafael Eytan, melaporkan bahwa "jumlah yang sesungguhnya adalah mendekati 800.000." Namun secara resmi Israel tetap mengemukakan angka yang rendah sebab, seperti kata-kata yang diucapkan oleh seorang pejabat Kementerian Luar Negeri lainnya, "Tampaknya... kita perlu meminimalkan jumlah itu."13
Jumlah pengungsi itu menggelembung dalam perang 1967 ketika 323.000 orang Palestina lagi diusir keluar dari rumah-rumah mereka. Dari semua ini, 113.000 adalah pengungsi untuk kedua kalinya dari 726.000 orang yang telah menjadi tunawisma akibat perang 1948.14 Di samping orang-orang yang terusir akibat perang, Israel juga secara sengaja mengusir beribu-ribu orang lainnya dari rumah-rumah mereka --4.000 orang Palestina dari wilayah Yahudi dan Mughrabi di Kota Lama Jerusalem; 10.000 penduduk desa-desa Imwas, Yalu, dan Beit Nalu di Latrun Salient, bahkan tidak memperbolehkan mereka membawa barang-barang milik mereka sendiri; dan 6.000 hingga 20.000 orang Badui dari rumah-rumah mereka di daerah Rafah, Jalur Gaza, di dekat Semenanjung Sinai.15
OMONG KOSONG
"Sering kali para pemimpin Yahudi mendesak orang-orang Arab agar tetap tinggal di Palestina dan menjadi warga negara Israel." --AIPAC,199216
FAKTA
Sasaran utama para pemimpin Israel adalah membebaskan diri dari orang-orang Palestina, bukan mendorong mereka agar tetap tinggal di negara Yahudi.17
Ahli sejarah Israel Benny Morris melaporkan: "Ben-Gurion jelas-jelas menginginkan sesedikit mungkin orang Arab tinggal di Negara Yahudi. Dia ingin melihat mereka lari. Demikian yang dikatakannya pada para kolega dan ajudannya dalam pertemuan-pertemuan di bulan Agustus, September dan Oktober (1948)"18.
Sebuah telaah dari Kementerian Luar Negeri pada 1949 mencatat bahwa meskipun telah membuat janji-janji di masa sebelumnya, para pejabat Israel "dengan sangat jelas menunjukkan" bahwa mereka kini tidak akan membiarkan "lebih dari sejumlah kecil pengungsi" untuk kembali ke rumah-rumah mereka.19
Dalam diskusi-diskusi internal mereka, sejumlah pejabat Israel menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan adanya orang-orang non-Yahudi di dalam negara mereka yang baru. Anggota Knesset Eliahu Carmeli berkata: "Saya tidak rela untuk menerima bahkan satu orang Arab pun, satu orang goy [non-Yahudi] pun. Saya menginginkan negara Yahudi seluruhnya untuk bangsa Yahudi." Ayah Moshe Dayan, Shmuel, yang juga seorang anggota Knesset, mengatakan bahwa dia menentang setiap usaha untuk kembali "bahkan jika dipertukarkan dengan perdamaian. Apa yang akan diberikan oleh perdamaian resmi itu pada kita?"20
Pada awal Maret 1948, komando militer Israel telah menghasilkan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB untuk negara Palestina. Dalam kata-kata ahli sejarah Morris: "Rencana Dalet bertujuan untuk menaklukkan dan menduduki secara permanen, atau meratakan dengan tanah, desa-desa dan kota-kota kecil Arab. Di situ diinstruksikan bahwa... jika terjadi perlawanan, pasukan bersenjata [Arab] di desa-desa itu harus dihancurkan dan para penduduk harus diusir dari Negara."21
Ahli sejarah Israel Simha Flapan mencatat bahwa "rencana itu mengemukakan secara rinci upaya 'pengusiran penduduk Arab setempat ke luar perbatasan'... Jika ditengok kembali, dapat dilihat bahwa tujuan dari rencana itu adalah pencaplokan --penghancuran desa-desa Arab harus diikuti dengan didirikannya desa-desa Yahudi untuk menggantikannya."22 Flapan menyimpulkan: "Beratus-ratus ribu [orang Palestina], yang diintimidasi dan diteror, lari dengan panik, dan yang lain-lainnya diusir oleh angkatan bersenjata Yahudi, yang, di bawah kepemimpinan [David] Ben-Gurion, merencanakan dan melaksanakan pengusiran itu segera setelah adanya Rencana Pembagian PBB."23
Satu operasi untuk merebut Galilee dinamakan Matateh (Sapu), dan komandan Yahudi Yigal Allon berbicara secara terbuka tentang perlunya "membersihkan Galilee Atas."24 Ben-Gurion meyakinkan para koleganya bahwa serangan atas Galilee akan mengakibatkan wilayah itu menjadi "bersih" dari orang-orang Arab.25 Sebagaimana dikatakannya: "Tanah dengan orang-orang Arab di atasnya dan tanah tanpa orang-orang Arab di atasnya adalah dua jenis tanah yang berbeda."26
Flapan menulis: "Bahwa tujuan utama Ben-Gurion adalah mengevakuasi sebanyak mungkin penduduk Arab dari negara Yahudi hampir tidak mungkin diragukan lagi."27
Jelaslah bahwa larinya orang-orang Israel bukanlah, sebagaimana dikatakan oleh presiden pertama Israel, Chaim Weizman, "suatu penyederhanaan yang ajaib" dari masalah demografi Israel.28 Sebaliknya, itu adalah pembuktian yang mengerikan dari ramalan sang pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, meskipun yang ada dalam benaknya adalah gambaran yang tidak begitu kejam: "Kita akan mendorong penduduk miskin [Palestina] agar melintasi perbatasan dengan menawarkan pekerjaan bagi mereka di negeri-negeri yang dilintasi, sementara meniadakannya di negeri kita sendiri."29
OMONG KOSONG
"Masalah demografi akan lenyap." --Ezer Weizman, menteri pertahanan Israel, 198130
FAKTA
Ketidakseimbangan antara penduduk Palestina dan Yahudi --"masalah demografi"-- telah lama mengganggu para pemimpin Zionisme. Kaum Zionis telah menyadari bahwa orang-orang Yahudi berselisih dengan penduduk Palestina bukan hanya karena penduduk Palestina adalah mayoritas melainkan juga karena angka kelahiran mereka lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi. Meskipun itu adalah masalah yang tidak begitu diperhatikan di Amerika Serikat, di Israel masalah kelompok etnis mana yang menjadi mayoritas merupakan persoalan serius dan diakui sebagai "bom waktu demografi."31
Sudah sejak 1938, pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mengatakan pada para koleganya bahwa "titik awal pemecahan masalah Arab" adalah dicapainya suatu persetujuan dengan negara-negara Arab tetangga untuk mengadakan transfer damai orang-orang Palestina dari negara Yahudi.32 Pada 1943, mengingat angka kelahiran orang-orang Arab yang lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi, dia menandaskan bahwa 2,2 anak dalam tiap keluarga tidaklah cukup dan para orang tua Yahudi didorong agar melaksanakan "tugas demografi" mereka.33
Tahun berikutnya, pemimpin revisionis Zeev Jabotinsky menulis: "Kita mesti memerintahkan kaum Yahudi Amerika untuk memobilisasi setengah milyar dollar agar Irak dan Saudi Arabia bersedia menyerap orang-orang Arab Palestina. Tidak ada pilihan lain: orang-orang Arab harus memberi ruang bagi orang-orang Yahudi di Eretz Israel. Jika ada kemungkinan untuk memindahkan orang-orang Baltik, ada kemungkinan pula untuk memindahkan orang-orang Arab Palestina."34
Pada waktu pembagian PBB tahun 1947 masalah demografi merupakan masalah terbesar bagi kaum Zionis sebab jumlah orang Palestina melebihi jumlah orang-orang Yahudi, dua dibanding satu, di Palestina. Rencana pembagian menetapkan bahwa di negara Yahudi orang Yahudi harus menjadi mayoritas: 498.000 orang Yahudi dan 435.000 orang Palestina.35 (Negara Palestina yang diusulkan akan mempunyai 725.000 penduduk Arab dan 10.000 penduduk Yahudi.)36
Dengan angka mayoritas yang begitu tipis, orang-orang Yahudi tidak bisa yakin bahwa mereka dapat terus menjadi mayoritas di negeri mereka sendiri. Karena itu memburu orang-orang Palestina agar lari dari tanah mereka dan menjadikan mereka pengungsi merupakan pemecahan praktis di mata banyak tokoh Zionis. Sebagaimana dikemukakan dalam suatu memorandum resmi untuk Ben-Gurion pada pertengahan 1948: "Pengusiran orang-orang Arab itu hendaknya dianggap sebagai pemecahan bagi masalah orang Arab di negara Israel."37 Ben-Gurion sadar benar akan kenyataan itu dan bertitah: "Kita tidak boleh membiarkan orang-orang Arab kembali ke tempat-tempat yang mereka tinggalkan."38
Kebijaksanaan Israel dengan segera mengeras menjadi pendirian resmi bahwa para pengungsi Palestina harus dilarang untuk kembali --dan hampir tak seorang pun yang berhasil menempati kembali rumah-rumah mereka. Menjelang akhir Mei 1948 suatu "komite pemindahan" tak resmi lahir dengan tujuan khusus mencegah kembalinya para pengungsi Arab dengan jalan menempatkan orang-orang Yahudi di rumah-rumah yang ditinggalkan dan menghancurkan desa-desa Palestina.39 Pada 1 Juni perintah-perintah langsung dikeluarkan pada unit-unit militer Israel untuk secara paksa mencegah kembalinya para pengungsi.40
Akibat pengusiran orang-orang Palestina, hanya tinggal 170.000 orang di antara mereka yang berada di tanah yang dikuasai oleh Israel pada akhir pertempuran pada 1949. Para pria, wanita, dan anak-anak ini rnenjadi warga negara Israel dan merupakan 15 persen dari jumlah penduduk, suatu minoritas yang jauh lebih bisa diterima dibanding 40 persen atau lebih yang akan mereka wakili seandainya tidak terjadi pengungsian besar-besaran.41
Ben-Gurion masih tetap prihatin mengenai masalah demografi sehingga pada 1949 dia memprakarsai pemberian hadiah bagi para ibu yang melahirkan anak yang kesepuluh. Program itu dihentikan satu dasawarsa kemudian dikarenakan banyaknya jumlah ibu-ibu Palestina warga negara Israel yang berhasil meraih hadiah tersebut. Pada 1967, sebuah pusat demografi Israel didirikan sebab "penambahan angka kelahiran di Israel sangat penting bagi masa depan seluruh bangsa Yahudi."42
Kini masalah demografi tetap merupakan pemikiran utama di Israel. Dari masa perang 1967 hingga dimulainya intifadhah pada 1987, jumlah penduduk Palestina berlipat ganda, hampir seluruhnya akibat peningkatan alamiah. Proporsi orang Palestina di negara Israel meningkat 18 persen. Dalam periode yang sama, jumlah penduduk Yahudi naik 50 persen, terutama karena terjadinya imigrasi. Tanpa adanya para pendatang baru, peningkatan jumlah penduduk Yahudi hanya akan mencapai 29 persen. Pada 2005, warga negara Palestina di Israel diproyeksikan akan berjumlah 1,35 juta. Yang harus ditambahkan pada angka ini adalah orang-orang Palestina yang hidup di wilayah pendudukan di Tepi Barat dan jalur Gaza. Jumlah keseluruhannya akan mendekati 2 juta pada awal 1990-an dan diproyeksikan akan mencapai 2,5 juta pada 2002.43
OMONG KOSONG
"[Para pengungsi Palestina] pergi sebagian karena mematuhi perintah langsung dari para komandan militer dan sebagian karena kampanye kepanikan yang disebarkan di kalangan orangorang Arab Palestina oleh para pemimpin negara-negara Arab yang menyerang." --Moshe Sharett, menteri luar negeri sementara Israel, 194844
FAKTA
Sejak 1961 jurnalis Irlandia Erskine Childers meneliti catatan Inggris tentang semua siaran radio dari para pemimpin Arab sepanjang 1948 dan menyimpulkan: "Tidak pernah ada satu perintah, seruan, atau saran mengenai evakuasi Palestina dari stasiun radio Arab mana pun, di dalam atau di luar Palestina, pada 1948. Malah ada rekaman yang berulang kali terpantau berupa seruan, bahkan perintah, pemimpin kepada para penduduk sipil Palestina untuk tetap tinggal."45
Bahkan sebelum Childers, Pasha Glubb, komandan Inggris dari angkatan bersenjata Yordania, telah menulis: "Kisah yang disuguhkan pada dunia oleh humas Yahudi, bahwa para pengungsi Arab pergi dengan sukarela, tidaklah benar. Imigran-imigran sukarela tidak meninggalkan rumah-rumah mereka hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Orang-orang yang telah memutuskan untuk pindah rumah tidak akan melakukannya dengan tergesa-gesa sehingga mereka kehilangan anggota-anggota keluarga lain-suami tidak dapat melihat istrinya, atau orang tua tidak dapat menemukan anak-anak mereka. Kenyataannya kebanyakan mereka pergi dalam kepanikan, untuk menghindari pembantaian (setidak-tidaknya, begitulah pikir mereka). Sesungguhnya mereka memang terdorong untuk pergi karena pernah terjadi satu dua kali pembantaian. Yang lain-lainnya terdorong untuk pergi karena adanya serangan-serangan atau aksi-aksi tidak senonoh."46
Sejak itu, banyak sekali dokumentasi bermunculan yang membuktikan bahwa pasukan-pasukan Israel melancarkan perang psikologis, ancaman-ancaman, tindak kekerasan, dan pembunuhan- pembunuhan untuk memaksa banyak orang Palestina meninggalkan rumah-rumah mereka. Dokumentasi baru ini terutama berasal dari sumber-sumber Israel.47
Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyimpulkan: "Diterbitkannya beribu-ribu dokumen dalam arsip negara dan Zionis belakangan ini, serta buku harian Ben-Gurion, menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang dapat mendukung klaim Israel [bahwa para pemimpin Arab memerintahkan orang-orang Palestina untuk lari]. Dalam kenyataannya, informasi itu bertentangan dengan teori 'orde,' sebab di antara sumber-sumber baru tersebut ada dokumen-dokumen yang membenarkan adanya usaha-usaha keras dari AHC [Komite Tinggi Arab] dan negara-negara Arab untuk mencegah pengungsian."48
Begitu pula, ahli sejarah Israel Benny Morris melaporkan: "Saya tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa AHC mengeluarkan perintah umum, lewat radio atau lain-lainnya, pada orang-orang Arab Palestina agar mengungsi."49
Namun pernyataan bohong tetap bersikeras bahwa para pemimpin Arablah yang memerintahkan pengungsian. Jurnalis Christopher Hitchens melihat sebuah iklan pro Israel dalam New Republic pada akhir 1980-an yang berbunyi: "Pada 1948, pada hari proklamasi kemerdekaan Israel, lima angkatan bersenjata Arab menyerang negeri baru itu dari segala sudut. Dalam siaran radio yang menakutkan, mereka mendesak orang-orang Arab yang tinggal di sana agar mengungsi, agar pasukan penyerang dapat bergerak tanpa penghalang." Hitchens menanyakan dukungan bukti bagi siaran-siaran "yang menakutkan" itu, namun tidak pernah mendapat jawaban.50
Pada 27 Mei 1991, Near East Report, laporan berkala AIPAC, menegaskan bahwa "pada 1948 para pemimpin Arab telah berulang kali mendesak orang-orang Palestina untuk mengungsi agar angkatan bersenjata Arab bisa menemukan waktu yang lebih longgar untuk menghancurkan negara Yahudi yang baru lahir itu."51 Pada waktu itu, karya Benny Morris yang didukung bukti kuat The Birth of the Palestinian Refugee Problem telah beredar selama tiga tahun, melaporkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan orang-orang Palestina diperintah untuk mengungsi.52
OMONG KOSONG
"Dapatkah kita meragukan bahwa pemerintah-pemerintah Arab telah memutuskan agar para pengungsi tetap mengungsi?" --Abba Eban, duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, 195553
FAKTA
Meskipun Majelis Umum PBB memerintahkan Israel sejak Desember 1948 untuk membiarkan para pengungsi Palestina kembali ke rumah-rumah mereka, Israel menolak.54 Israel berkeras bahwa para pengungsi adalah tanggung jawab negara-negara Arab, yang dituduhnya tidak mempedulikan nasib para pengungsi tersebut.55
Tetapi, sebuah telaah rahasia dari Kementerian Luar Negeri pada awal 1949 mencatat bahwa negara-negara Arab sangat prihatin dengan masalah pengungsi: kedutaan besar di Kairo melaporkan bahwa jika para pengungsi didesak masuk ke Mesir "akibatnya akan menimbulkan bencana bagi keuangan Mesir." Kedutaan besar Yordania melaporkan bahwa para pengungsi itu merupakan saluran penyedot yang sangat mengganggu "sumber-sumber yang hampir kering" dan bahwa "uang, pekerjaan, dan kesempatan-kesempatan lain [sangat] langka." Kedutaan besar di Lebanon melaporkan bahwa para pengungsi menjadi "beban tak tertanggungkan" bagi pemerintahan itu sementara Syria "praktis telah membiarkan pengeluaran-pengeluaran untuk pertolongan sebagai saluran penyedot anggaran yang tidak ada pendukungnya."
Telaah itu menyimpulkan bahwa bantuan untuk para pengungsi oleh pemerintah-pemerintah Arab telah mencapai $11 juta dalam bentuk tunai atau barang selama sembilan bulan terakhir tahun 1948, suatu jumlah yang "relatif besar" jika "dipandang dari anggaran yang sangat ramping dari kebanyakan pemerintah negara-negara tersebut." "Keseluruhan bantuan langsung dari Israel... hingga saat itu terdiri atas 500 peti jeruk."56
Alasan utama Israel tidak mau menerima kembalinya para pengungsi ke rumah-rumah mereka adalah karena kebanyakan dari rumah-rumah itu telah diambil alih oleh orang-orang Yahudi atau telah dihancurkan untuk diganti dengan perumahan baru bagi orang-orang Yahudi.57
Sebuah laporan penting dari Kementerian Luar Negeri pada 1949 mencatat bahwa "sebagian besar pengungsi ingin kembali ke rumah-rumah mereka." Namun kepulangan mereka itu tidak realistis sebab "penguasa Israel telah melancarkan suatu program sistematis untuk menghancurkan rumah-rumah Arab di kota-kota besar seperti Haifa dan di lingkungan komunitas-komunitas pedesaan guna membangun kembali wilayah pemukiman modern untuk menampung gelombang masuk imigran Yahudi dari kamp-kamp DP [displaced persons (orang-orang terlantar)] di Eropa [yang diperkirakan berjumlah 25.000 orang per bulan]. Karena itu, dalam banyak kasus, secara harfiah tidak ada rumah tempat kembali para pengungsi. Dalam kasus-kasus lain, imigran-imigran Yahudi yang berdatangan telah menduduki tempat-tempat tinggal bangsa Arab dan jelas mereka tidak bersedia melepaskannya kepada para pengungsi. Maka jelaslah bahwa sebagian besar orang-orang yang malang itu akan berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat kembali ke rumah-rumah mereka."58
Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick melaporkan pada 17 Januari 1949 bahwa orang-orang Israel "berlari dengan kecepatan penuh untuk mendiami kembali tanah yang ditinggalkan akibat perpindahan besar-besaran bangsa Arab .... Ini jelas berarti bahwa sangat sedikit di antara 750.000 pengungsi yang tersebar wilayah Palestina Arab dan negeri-negeri tetangga yang dapat kembali ke rumah-rumah mereka sebelumnya di wilayah Israel. Tempat mereka telah diambil oleh para pemukim Yahudi yang kini berdatangan untuk pertama kalinya dalam jumlah tak terbatas secepat alat transportasi dapat mengangkut mereka."59
Meskipun demikian, Israel telah melancarkan kampanye propaganda yang tak putus-putusnya untuk menimpakan kesalahan pada negara-negara Arab. Seberapa berhasilnya usaha itu dapat dilihat dari program Partai Demokrat 1960 yang menegaskan: "Kami akan mendorong dilangsungkannya perundingan-perundingan perdamaian Arab-Israel, pemukiman kembali para pengungsi Arab di tanah-tanah di mana tersedia ruang dan kesempatan bagi mereka, suatu akhir bagi boikot-boikot dan blokade-blokade, dan pemanfaatan tak terbatas Terusan Suez oleh semua bangsa." AIPAC hingga hari ini masih terus menyalahkan orang-orang Arab karena tidak mau menerima para pengungsi. Myths and Facts yang terbit pada 1992 membandingkan keadaan bangsa Palestina dengan para pengungsi Turki di Bulgaria pada 1950, dengan mengemukakan bahwa meskipun menghadapi berbagai kesulitan pemerintah Turki memulangkan 150.000 pengungsi. Buku itu menambahkan: "Jika negara-negara Arab ingin meringankan penderitaan para pengungsi, mereka dengan mudah dapat mengambil sikap yang sama dengan yang diambil Turki."60
Catatan kaki:
1 "Report of the Special Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," Laporan PBB no. A/6797.
2 Ben-Gurion, Diaries, 29 Mei 1959, dikutip dalam Segev, 1949, 35.
3 Glubb, A Soldier with the Arabs, 162.
4 Depertemen Luar Negeri AS, A Decade of American Foreign Policy: 1940-1949, 850-51. Untuk kisah pribadi yang menyentuh hati tentang keadaan para pengungsi, lihat Turki, The Disinherited.
5 "The Special Representative of the United States in Israel (McDonald) to President Truman," 17 Oktober 1948, pukul 16.00, Foreign Relations of the United States 1948 (untuk selanjutnya disebut sebagai FRUS), 5: 1486.
6 New York Times, 17 Februari 1949.
7 ibid. Lihat juga Beryl Cheal, "Refugees in the Gaza Strip, Desember 1948-Mei 1950," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988,138-57.
8 FRUS 1949, "Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 828-42.
9 Ibid.
10 Davis, Myths and Facts (7989), hal. 114.
11 Thomas J. Hamilton, New York Times, 19 November 1949; "Report of the Special Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Janet Abu Lughod, "The Demographic Transformation of Palestine;" dalam Abu Lughod, Transformation of Palestine, 139-64. Perkiraan Kementerian Luar Negeri, yang jelas tidak diumumkan pada waktu itu, adalah sekitar 820.000; lihat FRUS 1949, "Editorial Note;" 6: 688.
12 Morris, The Birth of the Palestinian Problem, 297.
13 Ibid., 297.
14 "Report on the Mission of the Special Representative to the Occupied Territories," laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Davis, The Evasive Peace, 69; Neff, Warrior for Jerusalem, 320. Davis mengemukakan jumlah pengungsi dua-kali itu adalah 145.000.
15 Aronson, CreatingFacts, 19. Untuk penuturan saksi mata yang menyedihkan tentang kehancuran desa-desa Latrun, lihat artikel yang ditulis oleh wartawan Israel Amos Kenen, "Report on the Razing of Villages and the Expulsion of Refugees," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 148-51. Juga lihat Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 400-401.
16 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 121.
17 Para sarjana Israel telah secara cermat mendokumentasikan sebab-sebab perginya para pengungsi; lihat terutama Flapan, The Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 58; Segev, 1949, 25-29. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 29-30, 35-36. Masalah itu juga mendapat perhatian serius dalam edisi ulang tahun keempat puluh dari apa yang dinamakan "Palestine 1948" yang diterbitkan oleh Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988; lihat terutama Lampiran D, "Maps: Arab Villages Emptied and Jewish Settlements Established in Palestine, 1948-49;" 38-50; Donald Neff, "U.S. Policy and the Palestinian Refugees," 96-111; Nur-eldeen Masalha, "On Recent Hebrew and Israeli Sources for the Palestinian Exodus, 1947-49," 120-37.
18 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 292.
19 FRUS 1949, "Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 831, 837.
20 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 281.
21 Ibid., 63.
22 Flapan, The Birth of Israel, 42.
23 Ibid., 89.
24 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 18, 115.
25 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 218. Juga lihat Alexander Cockburn, "Beat the Devil," The Nation, 31 Agustus-7 September 1992,198.
26 Segev, 1949, 28.
27 Flapan, The Birth of Israel, 90.
28 MacDonald, My Mission in Israel, 176.
29 Patai, The Complete Diaries of Theodor Herzl, 88.
30 Aronson, Creating Facts, 18.
31 MacDowall, Palestine and Israel, 164- 69.
32 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949, 24-26.
33 MacDowall, Palestine and Israel, 165.
34 Yossi Melman dan Dan Raviv, "Expelling Palestinians;" Washington Post, rubrik Outlook, 7 Februari 1988. Para penulis itu adalah wartawan-wartawan Israel yang menulis buku berbahasa Ibrani A Hostile Partnership: Israelis, Jordanians and Palestinians.
35 Angka-angka itu tidak mencakup Jerusalem, yang harus mempunyai penduduk Yahudi 100.000 orang di samping 105.000 orang Arab; lihat Muhammad Zafrulla Khan, "Thanksgiving Day at Lake Success," dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 714.
36 Epp, Whose Land Is Palestine?, 185.
37 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 136.
38 Ben-Gurion, Israel, 150.
39 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 135-36.
40 Ibid., 140.
41 Ben-Gurion, Israel, 361.
42 MacDowall, Palestine and Israel, 165.
43 Ibid., 124, 221.
44 Dikutip dalam Palumbo, The Palestinian Catastrophe, xv.
45 Erskine B. Childers, "The Other Exodus," dalam Khalidi, From Haven to Conquest.
46 Glubb, A Soldier with the Arabs, 251.
47 Flapan, The Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth of the Palestinian Problem, 58; Segev, 1949, 25-29.
48 Flapan, The Birth of Israel, 85.
49 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
50 Christopher Hitchens, "Broadcasts," dalam Said dan Hitchens, Blaming the Victims.
51 Joel Himelfarb, "And You Thought Peter Jennings Was Bad;" Near East Report, 27 Mei 1991.
52 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
53 Pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa, 19 November 1955; teks ini terdapat dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 405.
54 Resolusi 194 (II1). Teks ini terdapat dalam New York Times, 12 Desember 1948; Kementerian Luar Negeri A.S., A Decade of American Foreign Policy 1940-1949, 851-53; Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 15-16; Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 116-18. Majelis Umum mengulangi seruannya mengenai hak-hak rakyat Palestina untuk kembali atau menerima kompensasi sebanyak sembilan belas kali dalam resolusi-resolusi yang dikeluarkan antara 1950 hingga 1973: 394, 818, 916, 1018, 1191, 1215,1465, 1604,1725, 1865, 2052, 2154, 2341, 2452, 2535, 2672, 2792, 2963, dan 3089. Kementerian Luar Negeri secara terbuka menegaskan kembali dukungan AS bagi rumusan kembali-atau-kompensasi dalam sebuah resolusi pada 1992, namun juru bicara Margaret Tutwiler menambahkan bahwa masalah itu harus dirundingkan secara langsung antara Israel dan orangorang Palestina; lihat Washington Times, 14 Mei 1992.
55 Lihat Medzini, "The Arab Refugees," dalam Israel's Foreign Relations, 1: 365-467.
56FRUS,1949, "Editorial Note," 6: 688.
57 Quigley, Palestine and Israel, 105.
58 FRUS 1949, "Palestinian Refugee," 6:836-37. Angka imigrasi DP terdapat di halaman 831.
59 Anne O'Hare McCormick, New York Times, 18 Januari 1949.
60 Bard and Himelfarb, Myths and Facts, 143.
Konflik Arab-Israel telah menimbulkan dua gelombang besar pengungsi Palestina. Gelombang pertama adalah akibat perang 1948 dan berjumlah 726.000 orang, dua pertiga dari seluruh penduduk Palestina yang 1,2 juta orang. Gelombang kedua terjadi pada perang 1967 ketika 323.000 orang Palestina kehilangan rumah-rumah mereka, 113.000 di antaranya telah menjadi pengungsi sejak 1948.1
OMONG KOSONG
"Tidak ada pengungsi... yang ada hanyalah para pejuang yang berusaha untuk menghancurkan kita, sampai ke akar-akarnya." --David Ben-Gurion, perdana menteri Israel, 19492
FAKTA
Laporan-laporan dari berbagai sumber yang mandiri dan dapat dipercaya menunjukkan bahwa sebagian besar pengungsi Palestina adalah anak-anak, kaum wanita, dan kaum pria yang sudah tua.
Setelah pasukan Israel --di bawah komando calon perdana menteri Yitzhak Rabin-- merebut kota Arab, Lydda, pada pertengahan 1948 dan mengusir penduduk, komandan militer Inggris dari pasukan Yordania, Pasha Glubb, melaporkan: "Barangkali tiga puluh ribu orang atau lebih, hampir seluruhnya kaum wanita dan anak-anak, memungut apa saja yang dapat mereka bawa dan lari dari rumah-rumah mereka melintasi padang terbuka."3 Pada 16 September, penengah PBB Count Folke Bernadotte mencatat bahwa "hampir seluruh penduduk Arab lari atau diusir dari daerah pendudukan Yahudi. Banyak di antara mereka adalah bayi-bayi, anak-anak, kaum wanita yang sedang hamil dan ibu-ibu yang sedang menyusui. Kondisi mereka sungguh papa."4
Pada 17 Oktober 1948, wakil AS di Israel, James G. McDonald, melaporkan dengan mendesak dan langsung kepada Presiden Truman bahwa "tragedi para pengungsi Palestina dengan cepat berubah menjadi bencana dan harus dianggap sebagai malapetaka. Sumber-sumber pertolongan dan pemukiman kembali di masa sekarang dan mendatang sama sekali tidak memadai... Dari kira-kira 400.000 pengungsi yang akan menghadapi musim dingin dengan hujan deras, diperkirakan, akan terbunuh lebih dari 100.000 pria yang telah tua, kaum wanita dan anak-anak yang tidak mempunyai tempat berlindung dan hanya menyimpan sedikit atau bahkan tidak menyimpan makanan sama sekali."5
Pada Februari 1949 angka kematian di kalangan para pengungsi Palestina di Jalur Gaza saja dilaporkan 230 orang tiap hari.6 William L. Gower, delegasi untuk Palang Merah Amerika, melaporkan: "Delapan puluh hingga 85 persen dari orang-orang yang terusir terdiri atas anak-anak, wanita-wanita tua, wanita-wanita yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui."7
Pada pertengahan Maret 1949, sebuah laporan dari Kementerian Luar Negeri berbunyi: "Dana Darurat Anak-anak Internasional menganggap 425.000 atau 58 persen dari pengungsi patut diberi bantuan dalam programnya: kelompok ini terdiri atas bayi-bayi, anak-anak kecil, kaum wanita yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui. Kira-kira 15 persen pengungsi sudah berusia lanjut, sakit, dan lemah. Akan terlihat bahwa kaum pria dan wanita yang berbadan sehat jumlahnya paling banyak 25 persen dari keseluruhan, atau 180.000 orang."8
Reaksi di Amerika Serikat terutama adalah tidak peduli. Media berita Amerika pada umumnya mengabaikan keadaan para pengungsi Palestina. Laporan rahasia Kementerian Luar Negeri Maret 1949 menyatakan bahwa publik Amerika Serikat "secara umum tidak menyadari masalah pengungsi Palestina, sebab hal itu tidak diberi tekanan oleh pers atau radio."9
OMONG KOSONG
"Jumlah seluruh pengungsi Arab yang meninggalkan Israel adalah sekitar 590.000 orang." --AIPAC,198910
FAKTA
Angka AIPAC itu terlalu rendah setidak-tidaknya 150.000. Setelah banyak usaha dilakukan oleh berbagai negara dan agen internasional untuk memperkirakan jumlah keseluruhan pengungsi Palestina, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan pada akhir 1949 bahwa 726.000 orang dari 1,2 juta rakyat Palestina telah terusir dari rumah-rumah mereka dan menjadi pengungsi akibat perang 1948. 25.000 orang lainnya tercatat sebagai pengungsi kasus perbatasan namun tidak dimasukkan dalam jumlah keseluruhan.11 Ini merupakan angka resmi PBB, yang secara umum diterima di luar Timur Tengah.
Orang-orang Arab berkeras bahwa jumlah yang sesungguhnya mendekati 1 juta, sementara Israel secara resmi menyatakan bahwa angkanya adalah antara 520.000 dan 530.000.12 Tetapi dokumen-dokumen internal menunjukkan bahwa para pejabat sejak awal mengetahui bahwa angkanya jauh lebih tinggi daripada yang mereka kemukakan di muka umum. Ahli sejarah Israel Benny Morris telah mendokumentasikan pengetahuan awal Israel tentang jumlah yang sesungguhnya itu dari catatan-catatan dalam arsip Israel. Satu dokumen menunjukkan bahwa Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri, Rafael Eytan, melaporkan bahwa "jumlah yang sesungguhnya adalah mendekati 800.000." Namun secara resmi Israel tetap mengemukakan angka yang rendah sebab, seperti kata-kata yang diucapkan oleh seorang pejabat Kementerian Luar Negeri lainnya, "Tampaknya... kita perlu meminimalkan jumlah itu."13
Jumlah pengungsi itu menggelembung dalam perang 1967 ketika 323.000 orang Palestina lagi diusir keluar dari rumah-rumah mereka. Dari semua ini, 113.000 adalah pengungsi untuk kedua kalinya dari 726.000 orang yang telah menjadi tunawisma akibat perang 1948.14 Di samping orang-orang yang terusir akibat perang, Israel juga secara sengaja mengusir beribu-ribu orang lainnya dari rumah-rumah mereka --4.000 orang Palestina dari wilayah Yahudi dan Mughrabi di Kota Lama Jerusalem; 10.000 penduduk desa-desa Imwas, Yalu, dan Beit Nalu di Latrun Salient, bahkan tidak memperbolehkan mereka membawa barang-barang milik mereka sendiri; dan 6.000 hingga 20.000 orang Badui dari rumah-rumah mereka di daerah Rafah, Jalur Gaza, di dekat Semenanjung Sinai.15
OMONG KOSONG
"Sering kali para pemimpin Yahudi mendesak orang-orang Arab agar tetap tinggal di Palestina dan menjadi warga negara Israel." --AIPAC,199216
FAKTA
Sasaran utama para pemimpin Israel adalah membebaskan diri dari orang-orang Palestina, bukan mendorong mereka agar tetap tinggal di negara Yahudi.17
Ahli sejarah Israel Benny Morris melaporkan: "Ben-Gurion jelas-jelas menginginkan sesedikit mungkin orang Arab tinggal di Negara Yahudi. Dia ingin melihat mereka lari. Demikian yang dikatakannya pada para kolega dan ajudannya dalam pertemuan-pertemuan di bulan Agustus, September dan Oktober (1948)"18.
Sebuah telaah dari Kementerian Luar Negeri pada 1949 mencatat bahwa meskipun telah membuat janji-janji di masa sebelumnya, para pejabat Israel "dengan sangat jelas menunjukkan" bahwa mereka kini tidak akan membiarkan "lebih dari sejumlah kecil pengungsi" untuk kembali ke rumah-rumah mereka.19
Dalam diskusi-diskusi internal mereka, sejumlah pejabat Israel menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan adanya orang-orang non-Yahudi di dalam negara mereka yang baru. Anggota Knesset Eliahu Carmeli berkata: "Saya tidak rela untuk menerima bahkan satu orang Arab pun, satu orang goy [non-Yahudi] pun. Saya menginginkan negara Yahudi seluruhnya untuk bangsa Yahudi." Ayah Moshe Dayan, Shmuel, yang juga seorang anggota Knesset, mengatakan bahwa dia menentang setiap usaha untuk kembali "bahkan jika dipertukarkan dengan perdamaian. Apa yang akan diberikan oleh perdamaian resmi itu pada kita?"20
Pada awal Maret 1948, komando militer Israel telah menghasilkan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB untuk negara Palestina. Dalam kata-kata ahli sejarah Morris: "Rencana Dalet bertujuan untuk menaklukkan dan menduduki secara permanen, atau meratakan dengan tanah, desa-desa dan kota-kota kecil Arab. Di situ diinstruksikan bahwa... jika terjadi perlawanan, pasukan bersenjata [Arab] di desa-desa itu harus dihancurkan dan para penduduk harus diusir dari Negara."21
Ahli sejarah Israel Simha Flapan mencatat bahwa "rencana itu mengemukakan secara rinci upaya 'pengusiran penduduk Arab setempat ke luar perbatasan'... Jika ditengok kembali, dapat dilihat bahwa tujuan dari rencana itu adalah pencaplokan --penghancuran desa-desa Arab harus diikuti dengan didirikannya desa-desa Yahudi untuk menggantikannya."22 Flapan menyimpulkan: "Beratus-ratus ribu [orang Palestina], yang diintimidasi dan diteror, lari dengan panik, dan yang lain-lainnya diusir oleh angkatan bersenjata Yahudi, yang, di bawah kepemimpinan [David] Ben-Gurion, merencanakan dan melaksanakan pengusiran itu segera setelah adanya Rencana Pembagian PBB."23
Satu operasi untuk merebut Galilee dinamakan Matateh (Sapu), dan komandan Yahudi Yigal Allon berbicara secara terbuka tentang perlunya "membersihkan Galilee Atas."24 Ben-Gurion meyakinkan para koleganya bahwa serangan atas Galilee akan mengakibatkan wilayah itu menjadi "bersih" dari orang-orang Arab.25 Sebagaimana dikatakannya: "Tanah dengan orang-orang Arab di atasnya dan tanah tanpa orang-orang Arab di atasnya adalah dua jenis tanah yang berbeda."26
Flapan menulis: "Bahwa tujuan utama Ben-Gurion adalah mengevakuasi sebanyak mungkin penduduk Arab dari negara Yahudi hampir tidak mungkin diragukan lagi."27
Jelaslah bahwa larinya orang-orang Israel bukanlah, sebagaimana dikatakan oleh presiden pertama Israel, Chaim Weizman, "suatu penyederhanaan yang ajaib" dari masalah demografi Israel.28 Sebaliknya, itu adalah pembuktian yang mengerikan dari ramalan sang pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, meskipun yang ada dalam benaknya adalah gambaran yang tidak begitu kejam: "Kita akan mendorong penduduk miskin [Palestina] agar melintasi perbatasan dengan menawarkan pekerjaan bagi mereka di negeri-negeri yang dilintasi, sementara meniadakannya di negeri kita sendiri."29
OMONG KOSONG
"Masalah demografi akan lenyap." --Ezer Weizman, menteri pertahanan Israel, 198130
FAKTA
Ketidakseimbangan antara penduduk Palestina dan Yahudi --"masalah demografi"-- telah lama mengganggu para pemimpin Zionisme. Kaum Zionis telah menyadari bahwa orang-orang Yahudi berselisih dengan penduduk Palestina bukan hanya karena penduduk Palestina adalah mayoritas melainkan juga karena angka kelahiran mereka lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi. Meskipun itu adalah masalah yang tidak begitu diperhatikan di Amerika Serikat, di Israel masalah kelompok etnis mana yang menjadi mayoritas merupakan persoalan serius dan diakui sebagai "bom waktu demografi."31
Sudah sejak 1938, pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mengatakan pada para koleganya bahwa "titik awal pemecahan masalah Arab" adalah dicapainya suatu persetujuan dengan negara-negara Arab tetangga untuk mengadakan transfer damai orang-orang Palestina dari negara Yahudi.32 Pada 1943, mengingat angka kelahiran orang-orang Arab yang lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi, dia menandaskan bahwa 2,2 anak dalam tiap keluarga tidaklah cukup dan para orang tua Yahudi didorong agar melaksanakan "tugas demografi" mereka.33
Tahun berikutnya, pemimpin revisionis Zeev Jabotinsky menulis: "Kita mesti memerintahkan kaum Yahudi Amerika untuk memobilisasi setengah milyar dollar agar Irak dan Saudi Arabia bersedia menyerap orang-orang Arab Palestina. Tidak ada pilihan lain: orang-orang Arab harus memberi ruang bagi orang-orang Yahudi di Eretz Israel. Jika ada kemungkinan untuk memindahkan orang-orang Baltik, ada kemungkinan pula untuk memindahkan orang-orang Arab Palestina."34
Pada waktu pembagian PBB tahun 1947 masalah demografi merupakan masalah terbesar bagi kaum Zionis sebab jumlah orang Palestina melebihi jumlah orang-orang Yahudi, dua dibanding satu, di Palestina. Rencana pembagian menetapkan bahwa di negara Yahudi orang Yahudi harus menjadi mayoritas: 498.000 orang Yahudi dan 435.000 orang Palestina.35 (Negara Palestina yang diusulkan akan mempunyai 725.000 penduduk Arab dan 10.000 penduduk Yahudi.)36
Dengan angka mayoritas yang begitu tipis, orang-orang Yahudi tidak bisa yakin bahwa mereka dapat terus menjadi mayoritas di negeri mereka sendiri. Karena itu memburu orang-orang Palestina agar lari dari tanah mereka dan menjadikan mereka pengungsi merupakan pemecahan praktis di mata banyak tokoh Zionis. Sebagaimana dikemukakan dalam suatu memorandum resmi untuk Ben-Gurion pada pertengahan 1948: "Pengusiran orang-orang Arab itu hendaknya dianggap sebagai pemecahan bagi masalah orang Arab di negara Israel."37 Ben-Gurion sadar benar akan kenyataan itu dan bertitah: "Kita tidak boleh membiarkan orang-orang Arab kembali ke tempat-tempat yang mereka tinggalkan."38
Kebijaksanaan Israel dengan segera mengeras menjadi pendirian resmi bahwa para pengungsi Palestina harus dilarang untuk kembali --dan hampir tak seorang pun yang berhasil menempati kembali rumah-rumah mereka. Menjelang akhir Mei 1948 suatu "komite pemindahan" tak resmi lahir dengan tujuan khusus mencegah kembalinya para pengungsi Arab dengan jalan menempatkan orang-orang Yahudi di rumah-rumah yang ditinggalkan dan menghancurkan desa-desa Palestina.39 Pada 1 Juni perintah-perintah langsung dikeluarkan pada unit-unit militer Israel untuk secara paksa mencegah kembalinya para pengungsi.40
Akibat pengusiran orang-orang Palestina, hanya tinggal 170.000 orang di antara mereka yang berada di tanah yang dikuasai oleh Israel pada akhir pertempuran pada 1949. Para pria, wanita, dan anak-anak ini rnenjadi warga negara Israel dan merupakan 15 persen dari jumlah penduduk, suatu minoritas yang jauh lebih bisa diterima dibanding 40 persen atau lebih yang akan mereka wakili seandainya tidak terjadi pengungsian besar-besaran.41
Ben-Gurion masih tetap prihatin mengenai masalah demografi sehingga pada 1949 dia memprakarsai pemberian hadiah bagi para ibu yang melahirkan anak yang kesepuluh. Program itu dihentikan satu dasawarsa kemudian dikarenakan banyaknya jumlah ibu-ibu Palestina warga negara Israel yang berhasil meraih hadiah tersebut. Pada 1967, sebuah pusat demografi Israel didirikan sebab "penambahan angka kelahiran di Israel sangat penting bagi masa depan seluruh bangsa Yahudi."42
Kini masalah demografi tetap merupakan pemikiran utama di Israel. Dari masa perang 1967 hingga dimulainya intifadhah pada 1987, jumlah penduduk Palestina berlipat ganda, hampir seluruhnya akibat peningkatan alamiah. Proporsi orang Palestina di negara Israel meningkat 18 persen. Dalam periode yang sama, jumlah penduduk Yahudi naik 50 persen, terutama karena terjadinya imigrasi. Tanpa adanya para pendatang baru, peningkatan jumlah penduduk Yahudi hanya akan mencapai 29 persen. Pada 2005, warga negara Palestina di Israel diproyeksikan akan berjumlah 1,35 juta. Yang harus ditambahkan pada angka ini adalah orang-orang Palestina yang hidup di wilayah pendudukan di Tepi Barat dan jalur Gaza. Jumlah keseluruhannya akan mendekati 2 juta pada awal 1990-an dan diproyeksikan akan mencapai 2,5 juta pada 2002.43
OMONG KOSONG
"[Para pengungsi Palestina] pergi sebagian karena mematuhi perintah langsung dari para komandan militer dan sebagian karena kampanye kepanikan yang disebarkan di kalangan orangorang Arab Palestina oleh para pemimpin negara-negara Arab yang menyerang." --Moshe Sharett, menteri luar negeri sementara Israel, 194844
FAKTA
Sejak 1961 jurnalis Irlandia Erskine Childers meneliti catatan Inggris tentang semua siaran radio dari para pemimpin Arab sepanjang 1948 dan menyimpulkan: "Tidak pernah ada satu perintah, seruan, atau saran mengenai evakuasi Palestina dari stasiun radio Arab mana pun, di dalam atau di luar Palestina, pada 1948. Malah ada rekaman yang berulang kali terpantau berupa seruan, bahkan perintah, pemimpin kepada para penduduk sipil Palestina untuk tetap tinggal."45
Bahkan sebelum Childers, Pasha Glubb, komandan Inggris dari angkatan bersenjata Yordania, telah menulis: "Kisah yang disuguhkan pada dunia oleh humas Yahudi, bahwa para pengungsi Arab pergi dengan sukarela, tidaklah benar. Imigran-imigran sukarela tidak meninggalkan rumah-rumah mereka hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Orang-orang yang telah memutuskan untuk pindah rumah tidak akan melakukannya dengan tergesa-gesa sehingga mereka kehilangan anggota-anggota keluarga lain-suami tidak dapat melihat istrinya, atau orang tua tidak dapat menemukan anak-anak mereka. Kenyataannya kebanyakan mereka pergi dalam kepanikan, untuk menghindari pembantaian (setidak-tidaknya, begitulah pikir mereka). Sesungguhnya mereka memang terdorong untuk pergi karena pernah terjadi satu dua kali pembantaian. Yang lain-lainnya terdorong untuk pergi karena adanya serangan-serangan atau aksi-aksi tidak senonoh."46
Sejak itu, banyak sekali dokumentasi bermunculan yang membuktikan bahwa pasukan-pasukan Israel melancarkan perang psikologis, ancaman-ancaman, tindak kekerasan, dan pembunuhan- pembunuhan untuk memaksa banyak orang Palestina meninggalkan rumah-rumah mereka. Dokumentasi baru ini terutama berasal dari sumber-sumber Israel.47
Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyimpulkan: "Diterbitkannya beribu-ribu dokumen dalam arsip negara dan Zionis belakangan ini, serta buku harian Ben-Gurion, menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang dapat mendukung klaim Israel [bahwa para pemimpin Arab memerintahkan orang-orang Palestina untuk lari]. Dalam kenyataannya, informasi itu bertentangan dengan teori 'orde,' sebab di antara sumber-sumber baru tersebut ada dokumen-dokumen yang membenarkan adanya usaha-usaha keras dari AHC [Komite Tinggi Arab] dan negara-negara Arab untuk mencegah pengungsian."48
Begitu pula, ahli sejarah Israel Benny Morris melaporkan: "Saya tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa AHC mengeluarkan perintah umum, lewat radio atau lain-lainnya, pada orang-orang Arab Palestina agar mengungsi."49
Namun pernyataan bohong tetap bersikeras bahwa para pemimpin Arablah yang memerintahkan pengungsian. Jurnalis Christopher Hitchens melihat sebuah iklan pro Israel dalam New Republic pada akhir 1980-an yang berbunyi: "Pada 1948, pada hari proklamasi kemerdekaan Israel, lima angkatan bersenjata Arab menyerang negeri baru itu dari segala sudut. Dalam siaran radio yang menakutkan, mereka mendesak orang-orang Arab yang tinggal di sana agar mengungsi, agar pasukan penyerang dapat bergerak tanpa penghalang." Hitchens menanyakan dukungan bukti bagi siaran-siaran "yang menakutkan" itu, namun tidak pernah mendapat jawaban.50
Pada 27 Mei 1991, Near East Report, laporan berkala AIPAC, menegaskan bahwa "pada 1948 para pemimpin Arab telah berulang kali mendesak orang-orang Palestina untuk mengungsi agar angkatan bersenjata Arab bisa menemukan waktu yang lebih longgar untuk menghancurkan negara Yahudi yang baru lahir itu."51 Pada waktu itu, karya Benny Morris yang didukung bukti kuat The Birth of the Palestinian Refugee Problem telah beredar selama tiga tahun, melaporkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan orang-orang Palestina diperintah untuk mengungsi.52
OMONG KOSONG
"Dapatkah kita meragukan bahwa pemerintah-pemerintah Arab telah memutuskan agar para pengungsi tetap mengungsi?" --Abba Eban, duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, 195553
FAKTA
Meskipun Majelis Umum PBB memerintahkan Israel sejak Desember 1948 untuk membiarkan para pengungsi Palestina kembali ke rumah-rumah mereka, Israel menolak.54 Israel berkeras bahwa para pengungsi adalah tanggung jawab negara-negara Arab, yang dituduhnya tidak mempedulikan nasib para pengungsi tersebut.55
Tetapi, sebuah telaah rahasia dari Kementerian Luar Negeri pada awal 1949 mencatat bahwa negara-negara Arab sangat prihatin dengan masalah pengungsi: kedutaan besar di Kairo melaporkan bahwa jika para pengungsi didesak masuk ke Mesir "akibatnya akan menimbulkan bencana bagi keuangan Mesir." Kedutaan besar Yordania melaporkan bahwa para pengungsi itu merupakan saluran penyedot yang sangat mengganggu "sumber-sumber yang hampir kering" dan bahwa "uang, pekerjaan, dan kesempatan-kesempatan lain [sangat] langka." Kedutaan besar di Lebanon melaporkan bahwa para pengungsi menjadi "beban tak tertanggungkan" bagi pemerintahan itu sementara Syria "praktis telah membiarkan pengeluaran-pengeluaran untuk pertolongan sebagai saluran penyedot anggaran yang tidak ada pendukungnya."
Telaah itu menyimpulkan bahwa bantuan untuk para pengungsi oleh pemerintah-pemerintah Arab telah mencapai $11 juta dalam bentuk tunai atau barang selama sembilan bulan terakhir tahun 1948, suatu jumlah yang "relatif besar" jika "dipandang dari anggaran yang sangat ramping dari kebanyakan pemerintah negara-negara tersebut." "Keseluruhan bantuan langsung dari Israel... hingga saat itu terdiri atas 500 peti jeruk."56
Alasan utama Israel tidak mau menerima kembalinya para pengungsi ke rumah-rumah mereka adalah karena kebanyakan dari rumah-rumah itu telah diambil alih oleh orang-orang Yahudi atau telah dihancurkan untuk diganti dengan perumahan baru bagi orang-orang Yahudi.57
Sebuah laporan penting dari Kementerian Luar Negeri pada 1949 mencatat bahwa "sebagian besar pengungsi ingin kembali ke rumah-rumah mereka." Namun kepulangan mereka itu tidak realistis sebab "penguasa Israel telah melancarkan suatu program sistematis untuk menghancurkan rumah-rumah Arab di kota-kota besar seperti Haifa dan di lingkungan komunitas-komunitas pedesaan guna membangun kembali wilayah pemukiman modern untuk menampung gelombang masuk imigran Yahudi dari kamp-kamp DP [displaced persons (orang-orang terlantar)] di Eropa [yang diperkirakan berjumlah 25.000 orang per bulan]. Karena itu, dalam banyak kasus, secara harfiah tidak ada rumah tempat kembali para pengungsi. Dalam kasus-kasus lain, imigran-imigran Yahudi yang berdatangan telah menduduki tempat-tempat tinggal bangsa Arab dan jelas mereka tidak bersedia melepaskannya kepada para pengungsi. Maka jelaslah bahwa sebagian besar orang-orang yang malang itu akan berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat kembali ke rumah-rumah mereka."58
Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick melaporkan pada 17 Januari 1949 bahwa orang-orang Israel "berlari dengan kecepatan penuh untuk mendiami kembali tanah yang ditinggalkan akibat perpindahan besar-besaran bangsa Arab .... Ini jelas berarti bahwa sangat sedikit di antara 750.000 pengungsi yang tersebar wilayah Palestina Arab dan negeri-negeri tetangga yang dapat kembali ke rumah-rumah mereka sebelumnya di wilayah Israel. Tempat mereka telah diambil oleh para pemukim Yahudi yang kini berdatangan untuk pertama kalinya dalam jumlah tak terbatas secepat alat transportasi dapat mengangkut mereka."59
Meskipun demikian, Israel telah melancarkan kampanye propaganda yang tak putus-putusnya untuk menimpakan kesalahan pada negara-negara Arab. Seberapa berhasilnya usaha itu dapat dilihat dari program Partai Demokrat 1960 yang menegaskan: "Kami akan mendorong dilangsungkannya perundingan-perundingan perdamaian Arab-Israel, pemukiman kembali para pengungsi Arab di tanah-tanah di mana tersedia ruang dan kesempatan bagi mereka, suatu akhir bagi boikot-boikot dan blokade-blokade, dan pemanfaatan tak terbatas Terusan Suez oleh semua bangsa." AIPAC hingga hari ini masih terus menyalahkan orang-orang Arab karena tidak mau menerima para pengungsi. Myths and Facts yang terbit pada 1992 membandingkan keadaan bangsa Palestina dengan para pengungsi Turki di Bulgaria pada 1950, dengan mengemukakan bahwa meskipun menghadapi berbagai kesulitan pemerintah Turki memulangkan 150.000 pengungsi. Buku itu menambahkan: "Jika negara-negara Arab ingin meringankan penderitaan para pengungsi, mereka dengan mudah dapat mengambil sikap yang sama dengan yang diambil Turki."60
Catatan kaki:
1 "Report of the Special Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," Laporan PBB no. A/6797.
2 Ben-Gurion, Diaries, 29 Mei 1959, dikutip dalam Segev, 1949, 35.
3 Glubb, A Soldier with the Arabs, 162.
4 Depertemen Luar Negeri AS, A Decade of American Foreign Policy: 1940-1949, 850-51. Untuk kisah pribadi yang menyentuh hati tentang keadaan para pengungsi, lihat Turki, The Disinherited.
5 "The Special Representative of the United States in Israel (McDonald) to President Truman," 17 Oktober 1948, pukul 16.00, Foreign Relations of the United States 1948 (untuk selanjutnya disebut sebagai FRUS), 5: 1486.
6 New York Times, 17 Februari 1949.
7 ibid. Lihat juga Beryl Cheal, "Refugees in the Gaza Strip, Desember 1948-Mei 1950," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988,138-57.
8 FRUS 1949, "Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 828-42.
9 Ibid.
10 Davis, Myths and Facts (7989), hal. 114.
11 Thomas J. Hamilton, New York Times, 19 November 1949; "Report of the Special Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Janet Abu Lughod, "The Demographic Transformation of Palestine;" dalam Abu Lughod, Transformation of Palestine, 139-64. Perkiraan Kementerian Luar Negeri, yang jelas tidak diumumkan pada waktu itu, adalah sekitar 820.000; lihat FRUS 1949, "Editorial Note;" 6: 688.
12 Morris, The Birth of the Palestinian Problem, 297.
13 Ibid., 297.
14 "Report on the Mission of the Special Representative to the Occupied Territories," laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Davis, The Evasive Peace, 69; Neff, Warrior for Jerusalem, 320. Davis mengemukakan jumlah pengungsi dua-kali itu adalah 145.000.
15 Aronson, CreatingFacts, 19. Untuk penuturan saksi mata yang menyedihkan tentang kehancuran desa-desa Latrun, lihat artikel yang ditulis oleh wartawan Israel Amos Kenen, "Report on the Razing of Villages and the Expulsion of Refugees," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 148-51. Juga lihat Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 400-401.
16 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 121.
17 Para sarjana Israel telah secara cermat mendokumentasikan sebab-sebab perginya para pengungsi; lihat terutama Flapan, The Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 58; Segev, 1949, 25-29. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 29-30, 35-36. Masalah itu juga mendapat perhatian serius dalam edisi ulang tahun keempat puluh dari apa yang dinamakan "Palestine 1948" yang diterbitkan oleh Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988; lihat terutama Lampiran D, "Maps: Arab Villages Emptied and Jewish Settlements Established in Palestine, 1948-49;" 38-50; Donald Neff, "U.S. Policy and the Palestinian Refugees," 96-111; Nur-eldeen Masalha, "On Recent Hebrew and Israeli Sources for the Palestinian Exodus, 1947-49," 120-37.
18 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 292.
19 FRUS 1949, "Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 831, 837.
20 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 281.
21 Ibid., 63.
22 Flapan, The Birth of Israel, 42.
23 Ibid., 89.
24 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 18, 115.
25 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 218. Juga lihat Alexander Cockburn, "Beat the Devil," The Nation, 31 Agustus-7 September 1992,198.
26 Segev, 1949, 28.
27 Flapan, The Birth of Israel, 90.
28 MacDonald, My Mission in Israel, 176.
29 Patai, The Complete Diaries of Theodor Herzl, 88.
30 Aronson, Creating Facts, 18.
31 MacDowall, Palestine and Israel, 164- 69.
32 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949, 24-26.
33 MacDowall, Palestine and Israel, 165.
34 Yossi Melman dan Dan Raviv, "Expelling Palestinians;" Washington Post, rubrik Outlook, 7 Februari 1988. Para penulis itu adalah wartawan-wartawan Israel yang menulis buku berbahasa Ibrani A Hostile Partnership: Israelis, Jordanians and Palestinians.
35 Angka-angka itu tidak mencakup Jerusalem, yang harus mempunyai penduduk Yahudi 100.000 orang di samping 105.000 orang Arab; lihat Muhammad Zafrulla Khan, "Thanksgiving Day at Lake Success," dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 714.
36 Epp, Whose Land Is Palestine?, 185.
37 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 136.
38 Ben-Gurion, Israel, 150.
39 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 135-36.
40 Ibid., 140.
41 Ben-Gurion, Israel, 361.
42 MacDowall, Palestine and Israel, 165.
43 Ibid., 124, 221.
44 Dikutip dalam Palumbo, The Palestinian Catastrophe, xv.
45 Erskine B. Childers, "The Other Exodus," dalam Khalidi, From Haven to Conquest.
46 Glubb, A Soldier with the Arabs, 251.
47 Flapan, The Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth of the Palestinian Problem, 58; Segev, 1949, 25-29.
48 Flapan, The Birth of Israel, 85.
49 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
50 Christopher Hitchens, "Broadcasts," dalam Said dan Hitchens, Blaming the Victims.
51 Joel Himelfarb, "And You Thought Peter Jennings Was Bad;" Near East Report, 27 Mei 1991.
52 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
53 Pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa, 19 November 1955; teks ini terdapat dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 405.
54 Resolusi 194 (II1). Teks ini terdapat dalam New York Times, 12 Desember 1948; Kementerian Luar Negeri A.S., A Decade of American Foreign Policy 1940-1949, 851-53; Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 15-16; Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 116-18. Majelis Umum mengulangi seruannya mengenai hak-hak rakyat Palestina untuk kembali atau menerima kompensasi sebanyak sembilan belas kali dalam resolusi-resolusi yang dikeluarkan antara 1950 hingga 1973: 394, 818, 916, 1018, 1191, 1215,1465, 1604,1725, 1865, 2052, 2154, 2341, 2452, 2535, 2672, 2792, 2963, dan 3089. Kementerian Luar Negeri secara terbuka menegaskan kembali dukungan AS bagi rumusan kembali-atau-kompensasi dalam sebuah resolusi pada 1992, namun juru bicara Margaret Tutwiler menambahkan bahwa masalah itu harus dirundingkan secara langsung antara Israel dan orangorang Palestina; lihat Washington Times, 14 Mei 1992.
55 Lihat Medzini, "The Arab Refugees," dalam Israel's Foreign Relations, 1: 365-467.
56FRUS,1949, "Editorial Note," 6: 688.
57 Quigley, Palestine and Israel, 105.
58 FRUS 1949, "Palestinian Refugee," 6:836-37. Angka imigrasi DP terdapat di halaman 831.
59 Anne O'Hare McCormick, New York Times, 18 Januari 1949.
60 Bard and Himelfarb, Myths and Facts, 143.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
PEMUKIMAN-PEMUKIMAN YAHUDI
Pemukiman-pemukiman Yahudi yang didirikan di atas tanah milik bangsa Palestina di wilayah-wilayah pendudukan menjadi rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa secara spesifik menyatakan tidak sah perebutan wilayah dengan kekerasan, dan Konvensi Jenewa Keempat tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Masa Perang pada 1949 secara khusus melarang kekuatan pendudukan agar tidak memindahkan bagian dari penduduknya sendiri ke wilayah yang didudukinya. Israel terus-menerus melanggar kedua perjanjian internasional ini. Sejak 1967 Israel menduduki Jerusalem Timur Arab, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza melalui tindak kekerasan dan pada saat yang sama terus mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua wilayah tersebut.1
Amerika Serikat juga patut dipersalahkan sebab telah berkolusi dengan Israel dalam pendudukan militer dan penjajahan atas tanah Palestina. Meskipun kebijaksanaan AS secara resmi menentang pemukiman-pemukiman Yahudi, tidak ada upaya yang pernah dilakukan untuk menahan bantuan ekonomi dan militer AS sebesar $3 milyar kepada Israel untuk membuat negara Yahudi itu menghentikan penjajahannya atas wilayah-wilayah pendudukan. Tanpa bantuan AS, Israel tidak akan mempunyai sumber-sumber untuk mendirikan dan mempertahankan pemukiman-pemukiman itu atau meneruskan pendudukan militernya.
OMONG KOSONG
"Hak kita atas tanah [pendudukan] itu tidak dapat dibantah." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 19742
FAKTA
Sampai masa kepresidenan Reagan yang sangat pro Israel, setiap pemerintahan AS, Demokrat maupun Republik, telah menentang klaim Israel atas wilayah-wilayah yang diduduki pada 1967, menyebut pendudukan itu pelanggaran atas Piagam PBB dan Konvensi Jenewa Keempat tentang Perlindungan terhadap Orang-orang Sipil di Masa Perang dan karenanya tidak sah. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil posisi serupa.
Kebijaksanaan AS pertama kali disuarakan oleh Duta Besar AS untuk PBB pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon, Charles W. Yost. Dia mengatakan pada 1969, "Bagian Jerusalem yang berada di bawah kontrol Israel dalam Perang bulan Juni, seperti daerah-daerah lain yang diduduki Israel, merupakan wilayah pendudukan dan karenanya tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban penguasa pendudukan."3
Duta Besar AS untuk PBB pada masa pemerintahan Presiden Gerald Ford, William W. Scranton, menyatakan pada Dewan Keamanan pada 23 Maret 1976 bahwa pemukiman-pemukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan adalah tidak sah dan bahwa klaimnya atas seluruh Jerusalem tidak berlaku.4 Kata Scranton:" Pemerintah saya percaya bahwa hukum internasional menetapkan standar-standar yang layak [untuk mengatur pemukiman-pemukiman Israel]. Pihak yang menduduki harus mempertahankan daerah yang diduduki agar tetap utuh dan tak berubah sebisa mungkin, tanpa ikut campur dengan kehidupan adat istiadat daerah tersebut, dan setiap perubahan hanya boleh dilakukan karena adanya kebutuhan-kebutuhan segera dari pendudukan itu dan harus sesuai dengan hukum internasional. Konvensi Jenewa Keempat membicarakan secara langsung masalah pemindahan penduduk dalam Artikel 49: 'Penguasa pendudukan tidak boleh mendeportasikan atau memindahkan bagian-bagian dari penduduknya sendiri ke dalam wilayah yang didudukinya.' Maka jelaslah bahwa pemukiman kembali penduduk sipil Israel di wilayah-wilayah pendudukan, termasuk Jerusalem Timur, adalah tidak sah menurut konvensi itu dan tidak dapat dianggap telah memberikan penilaian dini atas hasil perundingan-perundingan yang akan datang antara pihak-pihak terkait atau lokasi perbatasan negara-negara Timur Tengah. Sesungguhnyalah, adanya pemukiman-pemukiman ini dipandang pemerintah saya sebagai perintang bagi keberhasilan perundingan-perundingan untuk mencapai perdamaian yang adil dan tuntas antara Israel dan tetangga-tetangganya."5
Pidato itu mengundang protes resmi dari Israel. Kementerian Luar Negeri menanggapinya dengan mengemukakan bahwa Scranton semata-mata menyatakan kembali ke kebijaksanaan AS yang telah lama diambil.6
Pemerintahan Carterlah yang paling sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai tentangan AS terhadap pemukiman. Baik Presiden Carter maupun menteri luar negerinya, Cyrus Vance, berbicara secara terbuka dan menyatakan pemukiman-pemukiman Israel tidak sah.7 Pada 21 April 1978, penasihat hukum Kementerian Luar Negeri Herbert Hansell secara resmi mengemukakan posisi hukum Washington, dengan mengatakan bahwa pemukiman-pemukiman itu "tidak sesuai dengan hukum internasional." Opini itu juga menegaskan bahwa Konvensi Jenewa Keempat berlaku untuk Tepi Barat dan Gaza, meskipun Israel menyatakan sebaliknya sebab kekuasaan atas daerah-daerah itu masih diperselisihkan.8
Baru pada masa kepresidenan Ronald Reagan yang dimulai 1981 itulah kebijaksanaan AS tiba-tiba dibungkam oleh deklarasi mengejutkan pada 2 Februari yang menyatakan bahwa "saya tidak setuju ketika pemerintahan sebelumnya menyatakan [pemukiman-pemukiman Israel] tidak sah-mereka bukan tidak sah."9 Sedangkan mengenai status hukum dari pemukiman-pemukiman itu dalam kebijaksanaan Reagan tidak pernah jelas. Namun sejalan dengan berlalunya waktu menjadi jelaslah padanya bahwa mereka merupakan "rintangan bagi perdamaian," sebagaimana yang berulangkah dia katakan, dan bahwa "ketergesa-gesaan" Israel untuk mendirikan pemukiman-pemukiman itu "terlalu provokatif."10
Sementara itu, seluruh dunia tetap beranggapan pemukiman-pemukiman itu tidak sah dan menyatakannya demikian. Masyarakat Eropa telah secara konsisten mempertahankan bahwa "pemukiman-pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah yang diduduki oleh Israel sejak 1967, termasuk Jerusalem Timur, adalah tidak sah di bawah hukum internasional" dan bahwa kebijaksanaan pemukiman Israel menjadi "rintangan yang sernakin mengganggu untuk mencapai perdamaian di wilayah itu."11
Setelah Reagan mengeluarkan deklarasi "bukan tidak sah"-nya, George Bush memilih untuk tidak memutar balik deklarasi tersebut di masa pemerintahannya sendiri. Tetapi para pejabat pemerintah Bush mengisyaratkan bahwa pemerintah menganggap pemukiman-pemukiman itu bukan hanya merupakan rintangan bagi perdamaian melainkan juga tidak sah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri James Baker pada 1991, "kami dulu menganggap [pemukiman-pemukiman Israel] tidak sah [tetapi] kini kami secara moderat menganggap [mereka] sebagai rintangan bagi perdamaian."12
Perdana Menteri Yitzhak Rabin mendapat tuntunan dari filosofi lain. Tak lama setelah kekalahannya untuk dipilih kembali pada 1992, Shamir berkata: "Likud tidak pernah menyembunyikan niatnya untuk menuntut kedaulatan atas Judea dan Samaria sewaktu mengadakan perundingan-perundingan untuk mendapatkan status final mereka. Ia menerapkan prinsip bahwa hak orang-orang Yahudi untuk bermukim di seluruh bagian Eretz Yisrael akan didukung sepanjang waktu berlangsungnya perundingan-perundingan. Satu-satunya jaminan untuk melawan kedaulatan Arab di sebelah barat sungai Yordan adalah pemukiman kota dan desa Yahudi di seluruh wilayah Judea dan Samaria."13
OMONG KOSONG
"Rakyat Yahudi [mempunyai] hak untuk bermukim di wilayah-wilayah pendudukan." --Menachem Begin, perdana menteri Israel, 198014
FAKTA
Orang-orang Yahudi tidak mempunyai "hak" untuk mendirikan pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah pendudukan, sebagaimana yang berulang kali diperingatkan oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun Israel tetap menentang opini dunia dengan menjajah wilayah-wilayah pendudukan hampir sejak saat berakhirnya perang 1967. Kurang dari tiga minggu kemudian, pada 27 Juni, Israel telah secara efektif mencaplok Jerusalem Timur Arab, dan pada 15 Juli mendirikan pemukiman Israel yang pertama di wilayah-wilayah itu --Kibbutz Merom Hagolan dekat Quneitra di Dataran Tinggi Golan. 15
Perdana Menteri Levi Eshkol menunggu sampai 24 September sebelum dia membuat pengumuman publik pertama mengenai rencana-rencana pemukiman Israel, yang dikatakannya akan dibatasi.16 Bahkan pernyataan yang sejuk ini mengundang kecaman dari Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa pengumuman Eshkol sama artinya dengan perubahan dari posisi Israel sebelumnya yang menentang pemukiman. Pernyataan AS itu juga mengemukakan bahwa Israel tidak memberitahu Washington sebelumnya mengenai adanya perubahan tersebut. Untuk menguatkan pernyataan itu, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa kebijaksanaan Israel yang baru itu bertentangan dengan deklarasi Presiden Johnson pada 19 Juni mengenai dukungan AS untuk integritas teritorial seluruh wilayah itu.
Kecaman itu merupakan kecaman terbuka kedua terhadap Israel oleh Washington dalam waktu empat hari. Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Arthur Goldberg telah memperingatkan bahwa perdamaian tidak akan tercapai "jika keberhasilan militer membutakan sebuah negara anggota terhadap fakta bahwa tetangga-tetangganya mempunyai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sendiri."17 Sekalipun demikian, menjelang akhir 1967 Israel telah mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua tanah pendudukan Mesir, Yordania, dan Syria.18 Pembangunan pemukiman-pemukiman Israel itu dilangsungkan dengan langkah cepat sejak 1967.19
Sebelum 1948 hanya ada tujuh komunitas Yahudi di tanah-tanah yang diduduki pada 1967, dan pemilikan tanah Yahudi paling-paling hanya 1 persen di daerah-daerah itu.20 Seperempat abad kemudian, pada Mei 1992, Kementerian Luar Negeri melaporkan ada 129.000 orang Yahudi di Jerusalem Timur Arab (dibandingkan dengan 155.000 orang Palestina); 97.000 orang Yahudi di 180 pemukiman di Tepi Barat dengan separuh tanah berada di bawah kontrol Yahudi sepenuhnya; 3.600 di 20 pemukiman di Jalur Gaza; dan 14.000 di 30 pemukiman di Dataran Tinggi Golan.21 Menurut laporan lain, Israel dalam waktu seperempat abad itu telah menyita atau menjauhkan 55 persen dari tanah di Tepi Barat, 42 persen di Jalur Gaza, dan seluruh Dataran Tinggi Golan, yang telah dicaploknya bersama Jerusalem Timur Arab dari pemilikan bangsa Palestina. Seluruh sumber air berada di bawah kontrol Israel dan 30 persen air di Tepi Barat dialihkan ke Israel atau para pemukimnya.22
Selain itu, kaum ultranasionalis Yahudi seperti para anggota Ateret Kohanim, yang berusaha mengambil alih Temple Mount/ Haram Al-Syarif di Kota Tua Jerusalem, secara agresif bermukim di tempat itu. Pada 1992, atas dorongan pemerintahan Shamir, sekitar 600 pemukim Yahudi, terutama para siswa seminari, tinggal di sekitar 55 lokasi di luar batas-batas tradisional wilayah Yahudi di Kota Tua --yaitu di wilayah-wilayah Kristen, Armenia, dan Muslim.23
Menteri Perumahan dalam pemerintahan Shamir, Ariel Sharon, seorang pemimpin sayap kanan, mendapatkan sebuah apartemen di wilayah Muslim pada 1987.24 Sharon pernah berkata: "Kami mencanangkan suatu cita-cita dalam diri kami sendiri untuk tidak meninggalkan satu lingkungan pun di Jerusalem Timur tanpa adanya orang-orang Yahudi. Inilah satu-satunya yang dapat memastikan adanya sebuah kota yang menyatu di bawah kekuasaan Israel."25
Catatan kaki:
1 Ball, The Passionate Attachment, 178-91; Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, 240-75; Quigley, Palestine and Israel, 216-17.
2 Medzini, Israel's Foreign Relations, 3: 58
3 Bemard Gwertzman, New York Times, 13 Maret 1980; Yodfat dan Arnon-Ohanna,PLO, 136-37.
4 Lihat Bernard Gwertzman, New York Times, 13 Maret 1980, untuk daftar pernyataan-pernyataan AS mengenai posisinya terhadap Jerusalem. Juga lihat Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 384; Lilienthal, The Zionist Connection, 646-49; Yayasan untuk Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus, Jul! 1991.
5 Teks itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 67-69; kutipan kutipannya terdapat di New York Times, 25 Maret 1976.
6 New York Times, 25 Maret 1976.
7 Lihat, misalnya, New York Times, 29 Juli 1977; Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977- 80, 618, 650.
8 Kantor Penasihat Hukum, Kementerian Luar Negeri AS, Digest of States Practices in International Law 1978, 1575-83. Teks itu terdapat dalam Komite Dewan mengenai Hubungan Internasional, Israeli Settlements in the Occupied Territories: Hearings before the Subcommittee on International Organizations and on Europe and the Middle East of the Committee on International Relations, Kongr. ke-95, sesi pertama, 1978, 167-72, dan dalam Thorpe, Prescription for Conflict, 153- 58. Kutipan-kutipan utama terdapat dalam Yayasan untuk Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus, Juli 1991. Untuk pembahasan rinci, lihat Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, bab 9.
9 New York Times, 3 Februari 1981; Tillman, United States in the Middle East, 170. Desas-desus yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya mengatakan bahwa Reagan membuat pernyataan itu untuk memenuhi janji yang diberikannya kepada para pendukung Israel semasa kampanye kepresidenannya pada 1980. Pernyataan itu menimbulkan kekhawatiran dan kekacauan di lingkungan Kementerian Luar Negeri sebab hal itu sangat bertentangan dengan kebijaksanaan yang telah dipegang teguh selama tiga belas tahun yang menyatakan pemukiman-pemukiman itu tidak sah.
10 Lihat, misalnya, New York Times, 28 Agustus 1983, dan David A. Korn, surat, New York Times, 10 Oktober 1991. Kutipan-kutipan perkataan Reagan mengenai pemukiman-pemukiman itu sebagai rintangan bagi perdamaian terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 80-81.
11 Teks pernyataan Masyarakat Eropa itu terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1990,147-88.
12 David Hoffman dan Jackson Diehl, Washington Post, 18 September 1991.
13 Asher Wallfish dan Dan Izenberg, Jerusalem Post International Edition, 25 Juli 1992.
14 Quigley, Palestine and Israel, 175.
15 Aronson, Creating Facts, 16. Juga lihat Israel Shahak, "Memory of 1967 'Ethnic Cleansing' Fuels Ideology of Golan Settlers;' Washington Report on Middle East Affairs, November 1992.
16 Terence Smith, New York Times, 25 September 1967.
17 Hedrick Smith, New York Times, 27 September 1967.
18 18 Anne Lesch, "Israeli Settlements in the Occupied Territories," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1978. Menteri Perumahan Israel Zeev Sharef mengungkapkan rincian dari pemukiman-pemukiman Jerusalem pada 18 Februari 1971. Lihat Facts on File 1971,123.
19 Ada sejumlah telaah bagus mengenai pemukiman-pemukiman Israel, yang pada tahun-tahun awal setelah 1967 sering didirikan secara sembunyi- sembunyi sebagai suatu cara untuk menghindari kecaman dunia. Ini berubah dengan berawalnya kekuasaan Menachem Begin. Lihat, misalnya, Aronson, Creating Facts, yang mengemukakan kronologi yang sangat bagus sejak 1967 serta peta-peta dan daftar pemukiman-pemukiman Yahudi di Tepi Barat pada 1982; pada waktu itu jumlahnya ada 110. Juga lihat yang berikut ini dalam Journal of Palestine Studies: Micahel Adams, "Israel's Treatment of the Arabs in the Occupied Territories," Musim Dingin 1972, 19-40; Anne Mosley Lesch, "Israeli Settlements in the occupied Territories, 1967-1977;" Musim Gugur 1977, 26-47; Ibrahim Matar, "Israeli Settlements in the West bank and Gaza Strip," Musim Gugur 1981, 93-110; Abu-Lughod, "Israeli Settlements in the Occupied Arab Lands: Conquest to Colony," Musim Dingin 1982, 16-54.
20 Walid Khalidi, "The Palestine Problem: An Overview," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,9-10.
21 Kementerian Luar Negeri AS, Israeli Settlements in the Occupied Territories, Mei 1991, dikutip dalam Yayasan untuk Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
22 Khalidi, "The Palestine Problem:"
23 Yayasan untuk Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
24 Robert L. Friedman, Washington Post, 10 Januari 1988. Juga lihat Michael C. Hudson, "The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 AD," dalam Asali, Jerusalem in History, 257; Stephen J. Sosebee, "Seeds of a Masacre: Israeli Violations at Haram al-Syarif;" American-Arab Affairs, Musim Semi 1991,109.
25 Yayasan untuk Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
Pemukiman-pemukiman Yahudi yang didirikan di atas tanah milik bangsa Palestina di wilayah-wilayah pendudukan menjadi rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa secara spesifik menyatakan tidak sah perebutan wilayah dengan kekerasan, dan Konvensi Jenewa Keempat tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Masa Perang pada 1949 secara khusus melarang kekuatan pendudukan agar tidak memindahkan bagian dari penduduknya sendiri ke wilayah yang didudukinya. Israel terus-menerus melanggar kedua perjanjian internasional ini. Sejak 1967 Israel menduduki Jerusalem Timur Arab, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza melalui tindak kekerasan dan pada saat yang sama terus mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua wilayah tersebut.1
Amerika Serikat juga patut dipersalahkan sebab telah berkolusi dengan Israel dalam pendudukan militer dan penjajahan atas tanah Palestina. Meskipun kebijaksanaan AS secara resmi menentang pemukiman-pemukiman Yahudi, tidak ada upaya yang pernah dilakukan untuk menahan bantuan ekonomi dan militer AS sebesar $3 milyar kepada Israel untuk membuat negara Yahudi itu menghentikan penjajahannya atas wilayah-wilayah pendudukan. Tanpa bantuan AS, Israel tidak akan mempunyai sumber-sumber untuk mendirikan dan mempertahankan pemukiman-pemukiman itu atau meneruskan pendudukan militernya.
OMONG KOSONG
"Hak kita atas tanah [pendudukan] itu tidak dapat dibantah." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 19742
FAKTA
Sampai masa kepresidenan Reagan yang sangat pro Israel, setiap pemerintahan AS, Demokrat maupun Republik, telah menentang klaim Israel atas wilayah-wilayah yang diduduki pada 1967, menyebut pendudukan itu pelanggaran atas Piagam PBB dan Konvensi Jenewa Keempat tentang Perlindungan terhadap Orang-orang Sipil di Masa Perang dan karenanya tidak sah. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil posisi serupa.
Kebijaksanaan AS pertama kali disuarakan oleh Duta Besar AS untuk PBB pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon, Charles W. Yost. Dia mengatakan pada 1969, "Bagian Jerusalem yang berada di bawah kontrol Israel dalam Perang bulan Juni, seperti daerah-daerah lain yang diduduki Israel, merupakan wilayah pendudukan dan karenanya tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban penguasa pendudukan."3
Duta Besar AS untuk PBB pada masa pemerintahan Presiden Gerald Ford, William W. Scranton, menyatakan pada Dewan Keamanan pada 23 Maret 1976 bahwa pemukiman-pemukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan adalah tidak sah dan bahwa klaimnya atas seluruh Jerusalem tidak berlaku.4 Kata Scranton:" Pemerintah saya percaya bahwa hukum internasional menetapkan standar-standar yang layak [untuk mengatur pemukiman-pemukiman Israel]. Pihak yang menduduki harus mempertahankan daerah yang diduduki agar tetap utuh dan tak berubah sebisa mungkin, tanpa ikut campur dengan kehidupan adat istiadat daerah tersebut, dan setiap perubahan hanya boleh dilakukan karena adanya kebutuhan-kebutuhan segera dari pendudukan itu dan harus sesuai dengan hukum internasional. Konvensi Jenewa Keempat membicarakan secara langsung masalah pemindahan penduduk dalam Artikel 49: 'Penguasa pendudukan tidak boleh mendeportasikan atau memindahkan bagian-bagian dari penduduknya sendiri ke dalam wilayah yang didudukinya.' Maka jelaslah bahwa pemukiman kembali penduduk sipil Israel di wilayah-wilayah pendudukan, termasuk Jerusalem Timur, adalah tidak sah menurut konvensi itu dan tidak dapat dianggap telah memberikan penilaian dini atas hasil perundingan-perundingan yang akan datang antara pihak-pihak terkait atau lokasi perbatasan negara-negara Timur Tengah. Sesungguhnyalah, adanya pemukiman-pemukiman ini dipandang pemerintah saya sebagai perintang bagi keberhasilan perundingan-perundingan untuk mencapai perdamaian yang adil dan tuntas antara Israel dan tetangga-tetangganya."5
Pidato itu mengundang protes resmi dari Israel. Kementerian Luar Negeri menanggapinya dengan mengemukakan bahwa Scranton semata-mata menyatakan kembali ke kebijaksanaan AS yang telah lama diambil.6
Pemerintahan Carterlah yang paling sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai tentangan AS terhadap pemukiman. Baik Presiden Carter maupun menteri luar negerinya, Cyrus Vance, berbicara secara terbuka dan menyatakan pemukiman-pemukiman Israel tidak sah.7 Pada 21 April 1978, penasihat hukum Kementerian Luar Negeri Herbert Hansell secara resmi mengemukakan posisi hukum Washington, dengan mengatakan bahwa pemukiman-pemukiman itu "tidak sesuai dengan hukum internasional." Opini itu juga menegaskan bahwa Konvensi Jenewa Keempat berlaku untuk Tepi Barat dan Gaza, meskipun Israel menyatakan sebaliknya sebab kekuasaan atas daerah-daerah itu masih diperselisihkan.8
Baru pada masa kepresidenan Ronald Reagan yang dimulai 1981 itulah kebijaksanaan AS tiba-tiba dibungkam oleh deklarasi mengejutkan pada 2 Februari yang menyatakan bahwa "saya tidak setuju ketika pemerintahan sebelumnya menyatakan [pemukiman-pemukiman Israel] tidak sah-mereka bukan tidak sah."9 Sedangkan mengenai status hukum dari pemukiman-pemukiman itu dalam kebijaksanaan Reagan tidak pernah jelas. Namun sejalan dengan berlalunya waktu menjadi jelaslah padanya bahwa mereka merupakan "rintangan bagi perdamaian," sebagaimana yang berulangkah dia katakan, dan bahwa "ketergesa-gesaan" Israel untuk mendirikan pemukiman-pemukiman itu "terlalu provokatif."10
Sementara itu, seluruh dunia tetap beranggapan pemukiman-pemukiman itu tidak sah dan menyatakannya demikian. Masyarakat Eropa telah secara konsisten mempertahankan bahwa "pemukiman-pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah yang diduduki oleh Israel sejak 1967, termasuk Jerusalem Timur, adalah tidak sah di bawah hukum internasional" dan bahwa kebijaksanaan pemukiman Israel menjadi "rintangan yang sernakin mengganggu untuk mencapai perdamaian di wilayah itu."11
Setelah Reagan mengeluarkan deklarasi "bukan tidak sah"-nya, George Bush memilih untuk tidak memutar balik deklarasi tersebut di masa pemerintahannya sendiri. Tetapi para pejabat pemerintah Bush mengisyaratkan bahwa pemerintah menganggap pemukiman-pemukiman itu bukan hanya merupakan rintangan bagi perdamaian melainkan juga tidak sah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri James Baker pada 1991, "kami dulu menganggap [pemukiman-pemukiman Israel] tidak sah [tetapi] kini kami secara moderat menganggap [mereka] sebagai rintangan bagi perdamaian."12
Perdana Menteri Yitzhak Rabin mendapat tuntunan dari filosofi lain. Tak lama setelah kekalahannya untuk dipilih kembali pada 1992, Shamir berkata: "Likud tidak pernah menyembunyikan niatnya untuk menuntut kedaulatan atas Judea dan Samaria sewaktu mengadakan perundingan-perundingan untuk mendapatkan status final mereka. Ia menerapkan prinsip bahwa hak orang-orang Yahudi untuk bermukim di seluruh bagian Eretz Yisrael akan didukung sepanjang waktu berlangsungnya perundingan-perundingan. Satu-satunya jaminan untuk melawan kedaulatan Arab di sebelah barat sungai Yordan adalah pemukiman kota dan desa Yahudi di seluruh wilayah Judea dan Samaria."13
OMONG KOSONG
"Rakyat Yahudi [mempunyai] hak untuk bermukim di wilayah-wilayah pendudukan." --Menachem Begin, perdana menteri Israel, 198014
FAKTA
Orang-orang Yahudi tidak mempunyai "hak" untuk mendirikan pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah pendudukan, sebagaimana yang berulang kali diperingatkan oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun Israel tetap menentang opini dunia dengan menjajah wilayah-wilayah pendudukan hampir sejak saat berakhirnya perang 1967. Kurang dari tiga minggu kemudian, pada 27 Juni, Israel telah secara efektif mencaplok Jerusalem Timur Arab, dan pada 15 Juli mendirikan pemukiman Israel yang pertama di wilayah-wilayah itu --Kibbutz Merom Hagolan dekat Quneitra di Dataran Tinggi Golan. 15
Perdana Menteri Levi Eshkol menunggu sampai 24 September sebelum dia membuat pengumuman publik pertama mengenai rencana-rencana pemukiman Israel, yang dikatakannya akan dibatasi.16 Bahkan pernyataan yang sejuk ini mengundang kecaman dari Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa pengumuman Eshkol sama artinya dengan perubahan dari posisi Israel sebelumnya yang menentang pemukiman. Pernyataan AS itu juga mengemukakan bahwa Israel tidak memberitahu Washington sebelumnya mengenai adanya perubahan tersebut. Untuk menguatkan pernyataan itu, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa kebijaksanaan Israel yang baru itu bertentangan dengan deklarasi Presiden Johnson pada 19 Juni mengenai dukungan AS untuk integritas teritorial seluruh wilayah itu.
Kecaman itu merupakan kecaman terbuka kedua terhadap Israel oleh Washington dalam waktu empat hari. Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Arthur Goldberg telah memperingatkan bahwa perdamaian tidak akan tercapai "jika keberhasilan militer membutakan sebuah negara anggota terhadap fakta bahwa tetangga-tetangganya mempunyai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sendiri."17 Sekalipun demikian, menjelang akhir 1967 Israel telah mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua tanah pendudukan Mesir, Yordania, dan Syria.18 Pembangunan pemukiman-pemukiman Israel itu dilangsungkan dengan langkah cepat sejak 1967.19
Sebelum 1948 hanya ada tujuh komunitas Yahudi di tanah-tanah yang diduduki pada 1967, dan pemilikan tanah Yahudi paling-paling hanya 1 persen di daerah-daerah itu.20 Seperempat abad kemudian, pada Mei 1992, Kementerian Luar Negeri melaporkan ada 129.000 orang Yahudi di Jerusalem Timur Arab (dibandingkan dengan 155.000 orang Palestina); 97.000 orang Yahudi di 180 pemukiman di Tepi Barat dengan separuh tanah berada di bawah kontrol Yahudi sepenuhnya; 3.600 di 20 pemukiman di Jalur Gaza; dan 14.000 di 30 pemukiman di Dataran Tinggi Golan.21 Menurut laporan lain, Israel dalam waktu seperempat abad itu telah menyita atau menjauhkan 55 persen dari tanah di Tepi Barat, 42 persen di Jalur Gaza, dan seluruh Dataran Tinggi Golan, yang telah dicaploknya bersama Jerusalem Timur Arab dari pemilikan bangsa Palestina. Seluruh sumber air berada di bawah kontrol Israel dan 30 persen air di Tepi Barat dialihkan ke Israel atau para pemukimnya.22
Selain itu, kaum ultranasionalis Yahudi seperti para anggota Ateret Kohanim, yang berusaha mengambil alih Temple Mount/ Haram Al-Syarif di Kota Tua Jerusalem, secara agresif bermukim di tempat itu. Pada 1992, atas dorongan pemerintahan Shamir, sekitar 600 pemukim Yahudi, terutama para siswa seminari, tinggal di sekitar 55 lokasi di luar batas-batas tradisional wilayah Yahudi di Kota Tua --yaitu di wilayah-wilayah Kristen, Armenia, dan Muslim.23
Menteri Perumahan dalam pemerintahan Shamir, Ariel Sharon, seorang pemimpin sayap kanan, mendapatkan sebuah apartemen di wilayah Muslim pada 1987.24 Sharon pernah berkata: "Kami mencanangkan suatu cita-cita dalam diri kami sendiri untuk tidak meninggalkan satu lingkungan pun di Jerusalem Timur tanpa adanya orang-orang Yahudi. Inilah satu-satunya yang dapat memastikan adanya sebuah kota yang menyatu di bawah kekuasaan Israel."25
Catatan kaki:
1 Ball, The Passionate Attachment, 178-91; Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, 240-75; Quigley, Palestine and Israel, 216-17.
2 Medzini, Israel's Foreign Relations, 3: 58
3 Bemard Gwertzman, New York Times, 13 Maret 1980; Yodfat dan Arnon-Ohanna,PLO, 136-37.
4 Lihat Bernard Gwertzman, New York Times, 13 Maret 1980, untuk daftar pernyataan-pernyataan AS mengenai posisinya terhadap Jerusalem. Juga lihat Khouri, The Arab-Israeli Dilemma, 384; Lilienthal, The Zionist Connection, 646-49; Yayasan untuk Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus, Jul! 1991.
5 Teks itu terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 67-69; kutipan kutipannya terdapat di New York Times, 25 Maret 1976.
6 New York Times, 25 Maret 1976.
7 Lihat, misalnya, New York Times, 29 Juli 1977; Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977- 80, 618, 650.
8 Kantor Penasihat Hukum, Kementerian Luar Negeri AS, Digest of States Practices in International Law 1978, 1575-83. Teks itu terdapat dalam Komite Dewan mengenai Hubungan Internasional, Israeli Settlements in the Occupied Territories: Hearings before the Subcommittee on International Organizations and on Europe and the Middle East of the Committee on International Relations, Kongr. ke-95, sesi pertama, 1978, 167-72, dan dalam Thorpe, Prescription for Conflict, 153- 58. Kutipan-kutipan utama terdapat dalam Yayasan untuk Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus, Juli 1991. Untuk pembahasan rinci, lihat Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, bab 9.
9 New York Times, 3 Februari 1981; Tillman, United States in the Middle East, 170. Desas-desus yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya mengatakan bahwa Reagan membuat pernyataan itu untuk memenuhi janji yang diberikannya kepada para pendukung Israel semasa kampanye kepresidenannya pada 1980. Pernyataan itu menimbulkan kekhawatiran dan kekacauan di lingkungan Kementerian Luar Negeri sebab hal itu sangat bertentangan dengan kebijaksanaan yang telah dipegang teguh selama tiga belas tahun yang menyatakan pemukiman-pemukiman itu tidak sah.
10 Lihat, misalnya, New York Times, 28 Agustus 1983, dan David A. Korn, surat, New York Times, 10 Oktober 1991. Kutipan-kutipan perkataan Reagan mengenai pemukiman-pemukiman itu sebagai rintangan bagi perdamaian terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 80-81.
11 Teks pernyataan Masyarakat Eropa itu terdapat dalam "Documents and Source Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1990,147-88.
12 David Hoffman dan Jackson Diehl, Washington Post, 18 September 1991.
13 Asher Wallfish dan Dan Izenberg, Jerusalem Post International Edition, 25 Juli 1992.
14 Quigley, Palestine and Israel, 175.
15 Aronson, Creating Facts, 16. Juga lihat Israel Shahak, "Memory of 1967 'Ethnic Cleansing' Fuels Ideology of Golan Settlers;' Washington Report on Middle East Affairs, November 1992.
16 Terence Smith, New York Times, 25 September 1967.
17 Hedrick Smith, New York Times, 27 September 1967.
18 18 Anne Lesch, "Israeli Settlements in the Occupied Territories," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1978. Menteri Perumahan Israel Zeev Sharef mengungkapkan rincian dari pemukiman-pemukiman Jerusalem pada 18 Februari 1971. Lihat Facts on File 1971,123.
19 Ada sejumlah telaah bagus mengenai pemukiman-pemukiman Israel, yang pada tahun-tahun awal setelah 1967 sering didirikan secara sembunyi- sembunyi sebagai suatu cara untuk menghindari kecaman dunia. Ini berubah dengan berawalnya kekuasaan Menachem Begin. Lihat, misalnya, Aronson, Creating Facts, yang mengemukakan kronologi yang sangat bagus sejak 1967 serta peta-peta dan daftar pemukiman-pemukiman Yahudi di Tepi Barat pada 1982; pada waktu itu jumlahnya ada 110. Juga lihat yang berikut ini dalam Journal of Palestine Studies: Micahel Adams, "Israel's Treatment of the Arabs in the Occupied Territories," Musim Dingin 1972, 19-40; Anne Mosley Lesch, "Israeli Settlements in the occupied Territories, 1967-1977;" Musim Gugur 1977, 26-47; Ibrahim Matar, "Israeli Settlements in the West bank and Gaza Strip," Musim Gugur 1981, 93-110; Abu-Lughod, "Israeli Settlements in the Occupied Arab Lands: Conquest to Colony," Musim Dingin 1982, 16-54.
20 Walid Khalidi, "The Palestine Problem: An Overview," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991,9-10.
21 Kementerian Luar Negeri AS, Israeli Settlements in the Occupied Territories, Mei 1991, dikutip dalam Yayasan untuk Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
22 Khalidi, "The Palestine Problem:"
23 Yayasan untuk Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
24 Robert L. Friedman, Washington Post, 10 Januari 1988. Juga lihat Michael C. Hudson, "The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 AD," dalam Asali, Jerusalem in History, 257; Stephen J. Sosebee, "Seeds of a Masacre: Israeli Violations at Haram al-Syarif;" American-Arab Affairs, Musim Semi 1991,109.
25 Yayasan untuk Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1992.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
LOBI ISRAEL
Pengaruh Israel terhadap pemerintah AS telah menjadi legenda, terutama disebabkan oleh apa yang disebut lobi Israel. Meskipun ada suara-suara yang berusaha untuk mengecilkan kekuatannya, sesungguhnya semua politisi, orang-orang di balik pemberitaan, dan orang-orang lain yang telah berhadapan dengan lobi itu membuktikan pengaruh yang luar biasa besarnya dari para pendukung Israel di Kongres dan dalam perumusan kebijaksanaan luar negeri AS. Di antara begitu banyak kelompok pro Israel, tidak ada yang diorganisasi secara lebih baik, lebih aktif, atau lebih kuat dibanding AIPAC, Komite Urusan Publik Israel-Amerika, lobi utama yang mendukung Israel di Amerika Serikat sejak 1951.1 Pengaruhnya pada Kongres sangat besar sehingga selama lebih dari dua dasawarsa Israel dapat menikmati tingkat bantuan keuangan yang luar biasa dan keuntungan-keuntungan istimewa, yang kesemuanya diberikan hanya melalui sepatah kata dalam diskusi serius. AIPAC menjadi sasaran iri hati lobi-lobi lainnya karena aksesnya yang sangat mudah ke tingkat-tingkat pemerintahan tertinggi.2 Kini AIPAC mempunyai anggaran belanja tahunan $15 juta, kira-kira lima puluh ribu anggota pemberi iuran, dan, selain markas besarnya di Washington, D.C., beberapa kantor lain di delapan kota. Dukungannya terhadap seorang kandidat politik biasanya mendatangkan sumbangan-sumbangan dari hampir seratus komite aksi politik pro Israel di seluruh negeri.3
OMONG KOSONG
"Dalam analisis terakhir, kepentingan pribadilah yang mendukung hubungan dekat AS-Israel, dan bukan dijalankannya kekuasaan mentah oleh kelompok lobi mana pun." --Wakil Rakyat Stephen J. Solarz, Demokrat dari New York, 19854
FAKTA
New York Times melaporkan pada 1987 bahwa AIPAC "telah menjadi kekuatan utama dalam menyusun kebijaksanaan Amerika Serikat di Timur Tengah... Organisasi ini telah meraih kekuasaan untuk mempengaruhi pemilihan kandidat presiden, menghalangi praktis setiap penjualan senjata ke sebuah negara Arab dan bertindak sebagai katalisator bagi hubungan militer yang erat antara Pentagon dan angkatan bersenjata Israel. Para pejabat puncaknya dimintai nasihat oleh Kementerian Luar Negeri dan para penyusun kebijaksanaan Gedung Putih, para senator, dan jenderal." Laporan Times itu menyimpulkan bahwa AIPAC "telah menjadi sasaran kecemburuan para pelobi yang saling bersaing dan kecaman para ahli Timur Tengah yang ingin menguatkan ikatan dengan bangsa-bangsa Arab pro Barat."5
Satu tahun kemudian, seorang wartawan lepas Eric Alterman menyelidiki AIPAC dan sampai pada penilaian yang sama. Dia melaporkan: "Tak diragukan lagi, AIPAC adalah lobi etnis paling kuat dalam sejarah Amerika belakangan ini. Dapat dikatakan bahwa, sesungguhnya, ia merupakan lobi Washington paling kuat di antara semua lobi lainnya... pengaruh AIPAC dapat dirasakan bukan hanya di Capitol Hill tetapi juga di Gedung Putih, Pentagon, kementerian luar negeri, kantor perbendaharaan negara, dan sejumlah kantor lainnya. Dan pengaruhnya tidak tergantung pada bantuan dari suatu pemerintahan yang bersahabat; lebih sering, justru sebaliknyalah yang terjadi."6
Kathleen Christison, mantan analis CIA, menulis pada 1988: "Di bawah [Presiden] Reagan, AIPAC telah menjadi mitra dalam penyusunan kebijaksanaan... Komite Urusan Publik Israel-Amerika itu telah menyusup sedemikian jauh di Gedung Putih dan juga di Kongres sehingga mustahil untuk memastikan di mana tekanan lobi itu akan berhenti dan pemikiran presiden yang independen dimulai."7
OMONG KOSONG
"Mitos lainnya berkaitan dengan besarnya pengaruh [AIPAC] dan kedigdayaannya yang banyak diyakini orang." --I.L. Kenen, seorang pendiri AIPAC, 19818
FAKTA
AIPAC meraih tingkat kekuasaan dan pengaruh yang baru pada tahun-tahun pemerintahan Reagan. Kekuatannya telah tumbuh demikian pesat sehingga koresponden-veteran Hedrick Smith melaporkan dalam The New York Times bahwa ia merupakan suatu "superlobi... AIPAC berhasil mengembangkan kekuatan politik yang begitu besar sehingga pada 1985, AIPAC dan sekutu-sekutunya dapat memaksa Presiden Reagan untuk mengingkari perjanjian pembelian senjata yang telah disepakati bersama Raja Hussein [dari Yordania]. Pada 1986, lobi pro Israel itu berhasil mencegah Reagan membuat kesepakatakan pembelian jet tempur dengan Saudi Arabia; dan Menteri Luar Negeri George Shultz harus duduk bersama Direktur Eksekutif AIPAC --bukan para pemimpin kongres-- untuk menentukan sejauh mana penjualan persenjataan kepada Arab Saudi masih dapat diterima AIPAC. "9
AIPAC begitu mendominasi pemerintahan Reagan sehingga Direktur Eksekutif AIPAC Thomas A. Dine melaporkan pada konferensi kebijaksanaan tahunan AIPAC kedua puluh tujuh pada 1986 bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan Israel tidak pernah sebaik ini sebelumnya --dan, secara implisit, itu berarti juga hubungan dengan AIPAC.10 Dine mengatakan bahwa dalam proses perkembangan itu "seluruh jumlah pemilih baru yang mendukung Israel tengah dibangun tepat di wilayah di mana kita paling lemah --di antara para pejabat pemerintahan di negara bagian, di departemen-departemen perbendaharaan negara dan pertahanan, di CIA, di agen-agen ilmu pengetahuan, perdagangan, pertanian, dan di agen-agen lainnya."
Dia menambahkan bahwa Presiden Reagan dan Menteri Luar Negeri Shultz adalah dua sahabat terbaik Israel dan akan "meninggalkan suatu warisan yang penting artinya bagi keamanan Israel selama dasawarsa-dasawarsa mendatang." Shultz, katanya, telah bersumpah padanya "untuk merintis persetujuan-persetujuan institusional sehingga delapan tahun dari sekarang, jika ada seorang menteri luar negeri yang tidak bersikap positif terhadap Israel, dia tidak akan mampu mengatasi hubungan birokratis antara Israel dan AS yang telah kita bangun kini."11
Di kemudian hari pada 1986, mantan staf AIPAC Richard B. Straus menulis di The Washington Post bahwa "kebijaksanaan Timur Tengah Amerika telah berubah demikian dramatisnya dengan berpihak pada Israel" sehingga kini hal semacam itu hanya dapat dilukiskan sebagai suatu "revolusi." Dia mengutip Dine yang mengatakan bahwa hubungan istimewa itu "merupakan suatu kemitraan yang mempunyai dasar luas dan mendalam, yang berkembang dari hari ke hari menuju suatu aliansi diplomatik dan militer sepenuhnya." Straus menambahkan: "Para pendukung negara-negara Arab di Kementerian Luar Negeri mengakui bahwa kepentingan-kepentingan Arab hampir tidak pernah dijadikan bahan dengar pendapat di Washington sekarang ini. 'Biasanya kami mempunyai dua jalur kebijaksanaan,' kata seorang mantan pejabat Kementerian Luar Negeri. 'Kini hanya kepentingan-kepentingan Israel yang dipertimbangkan."12
Dalam kenyataannya, hubungan itu menjadi demikian eratnya di masa pemerintahan Reagan sehingga tidaklah luar biasa jika para pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri dan Dine dari AIPAC membahas secara pribadi isu-isu kebijaksanaan Timur tengah dan cara menanganinya di Kongres.13 Dine bahkan menerima telepon pribadi dari Presiden Reagan yang mengucapkan terima kasih kepadanya secara pribadi atas dukungan AIPAC dalam mencapai persetujuan kongres untuk mempertahankan Angkatan Laut AS di Lebanon pada 1983.14 AIPAC diberitahu dua belas jam sebelum Asisten Menteri Luar Negeri untuk Permasalahan Timur Dekat Richard Murphy mengetahui tentang keputusan pemerintahan Reagan tahun 1984 untuk membatalkan penjualan persenjataan kepada Yordania dan Saudi Arabia.15
Hubungan itu mendingin pada masa pemerintahan Bush, namun tidak sepenuhnya. Menteri Luar Negeri James A. Baker III memanggil Dine guna meminta bantuannya dalam upaya pemerintah untuk meyakinkan Israel agar menunda tuntutannya atas $10 milyar dalam bentuk garansi pinjaman pada 1991. Dine menolak permintaan itu.16
OMONG KOSONG
"Tidak ada justifikasi bagi penjualan pesawat yang paling canggih dari gudang senjata Amerika kepada Saudi Arabia." --AIPAC,198917
FAKTA
Saudi Arabia patut mendapatkan apa pun yang dibutuhkannya untuk membela diri. Nilai dari hubungan istimewa Amerika yang erat dengan kerajaan itu, yang dikembangkan selama lebih dari setengah abad, sudah terbukti setiap hari ketika orang-orang Amerika mengkonsumsi minyak. Saudi Arabia, produsen utama dan penentu-harga minyak, juga sekutu yang strategis, sebagaimana terbukti secara dramatis pada 1990-1991 ketika pasukan dan pesawat Amerika menggunakan wilayah Saudi --bukan Israel-- untuk memaksa Irak keluar dari Kuwait. Keuntungan lain yang tidak banyak diketahui dalam penjualan senjata-senjata ke Saudi Arabia adalah bahwa Riyadh membayar tunai, tidak seperti Israel, yang menerima senjata-senjata AS tanpa biaya --suatu tamparan bagi para pembayar pajak Amerika.
Meskipun AS berkepentingan untuk membantu Saudi Arabia demi pertahanan dirinya, Israel dan para pendukungnya secara terus-menerus telah menentang penjualan senjata ke kerajaan tersebut. Tentangan terhadap proliferasi senjata-senjata itu dapat diterima seandainya Washington mempunyai program kontrol persenjataan koheren yang diterapkan pada semua pihak. Namun dengan berulang kalinya terjadi agresi Israel dan tuntutan-tuntutannya yang tak henti-henti akan pasokan senjata-senjata AS, adalah suatu kemunafikan yang luar biasa di pihak Israel jika ia menentang penjualan senjata ke Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya pada saat yang sama sementara ia kekenyangan dengan persenjataan Amerika.
Pertikaian paling besar, paling lama, dan paling keras antara AIPAC dan Gedung Putih mengenai penjualan persenjataan terjadi pada 1981 ketika Presiden Reagan memutuskan untuk menjual lima buah pesawat AWACS (sistem kontrol dan peringatan udara) seharga $8,5 milyar kepada Saudi Arabia.18 AIPAC dan Israel memberikan tekanan pada para wakil kongres dan senator untuk menggagalkan persetujuan itu. Mereka hampir berhasil. Baru setelah melalui pertikaian panjang dan sulit pada akhirnya Reagan menang dengan suara Senat 52 berbanding 48. Ketika melakukan hal itu Reagan mengingatkan para perumus undang-undang dan negeri itu bahwa "perumusan kebijaksanaan luar negeri Amerika bukanlah urusan negara-negara lain."19
Pada akhirnya, seorang pengamat melukiskan pertikaian itu sebagai "salah satu [upaya lobi] paling keras yang pernah dialami Kongres."20 Namun sementara pemerintah berhasil memenangkan pertempuran, Israel dan AIPAC telah membuat suatu ketentuan keras: jika pemerintah menghalangi keinginan-keinginan Israel, ia harus membayar banyak dengan waktu, tenaga dn akhirya, gengsi politik. Bagi para perumus undang-undang pesan itu sama seramnya. Sebagaimana dicatat oleh Profesor Cherly A. Rurenberg, seorang kritikus yang berpandangan luas tentang hubungan AS-Israel: "Sejak itu cara seorang senator memberikan suaranya dalam masalah ini menjadi faktor paling penting dalam menentukan sikap lobi [Israel] tentang 'persahabatan' seorang individu dengan Israel. Mereka yang dicap 'tidak bersahabat' akan menghadapi masalah-masalah serius pada pemilihan kembali.21
Sesungguhnya, terutama dikarenakan dukungannya pada penjualan AWACS itulah maka Senator Republik yang sangat dihormati, Charles Percy, dikalahkan pada 1984. Setelah pemilihan, Thomas Dine dari AIPAC menyatakan: "Semua orang Yahudi di Amerika, dari pantai ke pantai, bersatu untuk mengusir Percy. Dan para politisi Amerika --mereka yang memegang jabatan publik sekarang, dan mereka yang berkeinginan untuk itu-- menerima pesan tersebut."22
Sejak kekalahan AWACS, AIPAC telah sepenuhnya berhasil memacu diri dan berkembang sangat pesat. Hendrick Smith melaporkan dalam The New York Times bahwa "anggarannya berlipat delapan kali (mencapai $6,1 juta) dalam waktu sembilan tahun, keanggotaannya berlipat dari sembilan ribu rumah tangga pada 1978 menjadi lima puluh lima ribu pada 1987, stafnya bertambah dari dua puluh lima menjadi delapan puluh lima. Menjelang pertengahan 1980-an, para pemimpinnya telah mengendalikan dana kira-kira $4 juta dalam bentuk sumbangan-sumbangan kampanye untuk para kandidat yang bersahabat dan hukuman bagi lawan-lawan politik."23
Sebagaimana dikatakan Dine: "Pertikaian AWACS merupakan sebuah titik penting. Kita kalah dalam pemilihan suara namun memenangkan isu itu."24
OMONG KOSONG
"Sewaktu membutuhkan informasi mengenai Timur Tengah, saya lega ketika mengetahui bahwa saya dapat bergantung pada AIPAC untuk mendapatkan bantuan profesional dan dapat dipercaya." --Senator Frank Church, Demokrat dari Idaho, 198225
FAKTA
AIPAC mempunyai berita paling cepat di Washington. Setiap wakil rakyat atau senator yang mengungkapkan keinginan untuk mengetahui sesuatu tentang Timur Tengah segera dibanjiri dengan "dokumen-dokumen keadaan" oleh AIPAC.
Sebagaimana ditulis oleh Senator Demokrat Charles Mathias dari Maryland: "Ketika suatu masalah penting menyangkut Israel muncul di Kongres, AIPAC dengan pasti dan segera menyediakan untuk para anggota segala data dan dokumentasi, plus panggilan-panggilan telepon dan kunjungan-kunjungan pribadi jika diperlukan. Di luar itu, tanda-tanda keraguan atau tentangan di pihak seorang senator atau wakil rakyat biasanya akan mengundang banyak surat dan telegram, atau kunjungan-kunjungan dan panggilan-panggilan telepon dari para pemilih yang berpengaruh."26
Yang menjadi persoalan jika seseorang tergantung pada AIPAC untuk mendapatkan informasi adalah bahwa informasi itu pasti hanya berisi sudut pandang Israel. Terbitan-terbitannya cenderung pada judul-judul ilmiah seperti US-Israel Free Trade Area: How Both Sides Gain, dan semua itu dipenuhi oleh catatan-catatan kaki dan kutipan-kutipan dari karya-karya akademis. Namun pembaca tidak dapat mengingkari fakta bahwa semua itu jelas dimaksudkan untuk mendukung kepentingan-kepentingan Israel.
AIPAC juga mengawasi Near East Report, sebuah surat kabar mingguan yang dibaca oleh kira-kira enam puluh ribu orang dan dikirimkan gratis pada semua anggota Kongres, pejabat-pejabat tinggi pemerintah, para akademisi, dan banyak wakil media. Meskipun surat kabar itu secara hukum terpisah dari AIPAC, ia didirikan oleh Sy Kenen, salah seorang pendiri AIPAC, dan secara ketat mengikuti jalur kebijaksanaan Israel. Secara teratur ia mencetak kisah-kisah tentang pola-pola pemungutan suara para perumus undang-undang, dan dengan cara itu memperingatkan mereka bahwa suara-suara yang mereka berikan selalu dicatat, juga kecenderungan undang-undang baru yang mempengaruhi Israel.
Staf surat kabar itu juga menyebarkan sebuah lampiran bernama Myths and Facts, yang bermaksud menghalau "mitos-mitos" mengenai konflik Arab-Israel seperti keadaan para pengungsi Palestina. Lampiran itu disebarkan secara luas di kampus-kampus sebagai suatu "bantuan pelajaran" dan pada banyak sahabat Israel di kongres dan media.
AIPAC tidak membatasi aktivitas-aktivitasnya pada propaganda yang sah. Pada 1974 ia bergabung dengan Komite Yahudi Amerika dan kelompok-kelompok Yahudi lainnya untuk membentuk sebuah "pasukan kebenarari" guna menanggapi apa yang dinamakan propaganda pro Arab. Menurut wartawan penyelidik Robert L. Friedman, pasukan kebenaran itu berubah menjadi "semacam polisi pikiran Yahudi. Para penyelidik terkadang mahasiswa-mahasiswa Yahudi yang penuh semangat, terkadang sumber-sumber dengan akses ke agen-agen intelijen AS-dimanfaatkan untuk mengejar para pengecam Israel, baik Yahudi maupun non-Yahudi, di manapun mereka berada... Pidato-pidato dan tulisan-tulisan mereka dimonitor, demikian pula, dalam beberapa kasus, aktivitas-aktivitas profesional mereka lainnya. Dan mereka sering kali dituduh anti-Semit atau dicap sebagai Yahudi pembenci diri. Tujuannya adalah untuk menghalangi perdebatan mengenai Timur Tengah di kalangan komunitas Yahudi, media, dan akademisi, dikarenakan kekhawatiran bahwa kritik apa pun akan dapat melemahkan negara Yahudi."27
Itu hanyalah suatu langkah kecil dari pasukan kebenaran untuk membuat daftar hitam. Pada 1983, AIPAC menerbitkan The Campaign to Discredit Israel. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine menulis dalam kata pengantar bahwa pamflet itu diterbitkan sebagai suatu cara untuk mendapatkan "analisis yang lebih lengkap dan tepat" mengenai aktivitas anti-Israel. Meskipun begitu yang dikatakannya, pamflet itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah daftar hitam kuno.
The Campaign to Discredit Israel memuat daftar orang-orang Amerika seperti George Ball, mantan wakil menteri luar negeri yang kritis terhadap Israel, dan Alfred Lilienthal, seorang Yahudi anti-Zionis yang pada 1954 telah menulis sebuah buku yang berisi peringatan tentang hubungan AS-Israel: What Price Israel? Secara keseluruhan, pamflet itu berisi daftar dua puluh satu organisasi dan tiga puluh sembilan individu "yang aktif dalam usaha untuk melemahkan ikatan antara Amerika Serikat dan Israel, yang berusaha untuk meningkatkan hubungan AS-Arab dengan mengorbankan Israel, atau yang memberikan pelayanan dengan imbalan kepada pemerintah negara-negara Arab yang tengah berjuang untuk mencapai cita-cita itu."28 Liga Anti-Fitnah dari B'nai B'rith juga menerbitkan daftar hitamnya sendiri yang dinamakan Arab Propaganda in America: Vehicles and Voices.
Ilmuwan Cheryl Rurenberg menuduh bahwa kedua pamflet itu menggunakan "teknik-teknik yang mengingatkan kita pada era McCarthy... mencap penentang mereka dengan label 'pro PLO.'"29 Dengan adanya reaksi terhadap daftar hitam yang begitu negatif, AIPAC mengurungkan rencana untuk menerbitkan versi tahunan yang telah diperbaiki. Sebagai gantinya, AIPAC memindahkan usaha-usahanya di bawah tanah. Ia terus memonitor individu-individu dan kelompok-kelompok "anti-Israel," namun menyebarkan hasil-hasilnya secara rahasia. Menurut Gregory D. Slabodkin, seorang ilmuwan muda yang pernah menjadi peneliti AIPAC: "Kini, pengungkapan-pengungkapan mengenai penulisan daftar hitam AIPAC dan taktik fitnahannya telah sampai pada aktivitas-aktivitas rahasia lobi pro Israel... AIPAC mengoperasikan suatu seksi rahasia di departemen risetnya yang memonitor dan menyimpan berkas-berkas tentang para politisi, wartawan, akademisi, aktivis Arab-Amerika, tokoh-tokoh liberal Yahudi, dan lain-lain yang dicapnya 'anti-Yahudi.' AIPAC menyeleksi informasi dari berkas-berkas ini dan secara diam-diam menyebarkan daftar mereka 'yang bersalah,' bersama kelakuan buruk politik mereka, ditunjang dengan pernyataan-pernyataan mereka, yang sering kali ada di luar konteks."30
Misalnya, Departeman Riset Rahasia memberikan kepada Steve Emerson, seorang wartawan penyelidik pro Israel untuk Cable News Network, informasi mengenai kolumnis Nation Alexander Cockburn, yang sering mengecam Israel, dan juga memberikan pada The Wall Street Journal informasi yang menghina tentang bankir Georgia, Bert Lance, dan kepentingan-kepentingan perbankan Arab. Sasaran-sasaran lainnya termasuk tokoh-tokoh Yahudi liberal seperti Woody Allen, Richard Dreyfuss, Rita Hauser, dan Barbra Streisand.31
Daftar hitam baru AIPAC adalah sebuah publikasi mingguan bernama Activities yang ditujukan untuk menyebut individu-individu dan kelompok-kelompok yang mengecam Israel. AIPAC berusaha menyembunyikan keterkaitannya dengan Activities, dengan memperingatkan para pembacanya agar memanfaatkan materinya "hanya dengan syarat bahwa AIPAC tidak dianggap sebagai sumbernya." Activities dibagikan pada staf regional dan AIPAC Washington, para pemimpin organisasi Yahudi utama, Dewan-dewan Hubungan Komunitas dan Federasi Yahudi di seluruh negeri, serta kedutaan besar Israel dan tokohtokoh Israel tertentu.
Seksi siluman AIPAC akhir-akhir ini diketuai oleh Michael Lewis, putra Orientalis Princeton University Bernard Lewis. Michael Lewis berbicara mengenai Activities: "Pada akhirnya, dari semua informasi yang disebarkan dari AIPAC, Activities barangkah yang paling banyak dicari, dibaca, dan dimanfaatkan untuk mendapatkan manfaat yang baik."32
Menurut Slabodkin, "manfaat yang baik" itu termasuk kampanye fitnah yang diusahakan untuk mencap para aktivis anti-Israel sebagai praktisi "anti-Semitisme baru" --pengecam kebijaksanaan-kebijaksanaan Israel. Slabodkin mengungkapkan bahwa Lewis secara harfiah menyimpan rapat-rapat di kantornya "beratus-ratus berkas mengenai orang-orang dan organisasi-organisasi yang dianggap AIPAC 'anti-Israel.' Di antara para politisi yang muncul dalam berkas-berkas semacam itu adalah mantan Kepala Staf, John Sununu, mantan Menteri Pertahanan pemerintahan Reagan, Caspar Weinberger dan Frank Carlucci, mantan Presiden Jimmy Carter dan mantan kandidat presiden Demokrat George McGovern, Pemimpin Minoritas senat Robert Dole, Senator Republik John Chafee, Tokoh Penggerak Mayoritas DPR David Bonior, dan Wakil Rakyat dari partai demokrat John Conyers, John Dingell, Mervyn Dymally, Mary Rose Oakar, Nick Joe Rahall, James Traficant, Jr., dan banyak lagi lainnya."
Bukan hanya para politisi itu saja yang disebut-sebut dalam koleksi dokumen Lewis. Para anggota media, penghibur, dan akademisi juga terdaftar dalam berkas rahasia AIPAC sebagai musuh-musuh Israel --bahkan Peggy Say, saudara perempuan dari mantan sandera Terry Anderson.
OMONG KOSONG
"Kami tidak pernah mengalihkan pemikiran untuk kepentingan Amerika dan dunia sementara terlibat dalam upaya untuk rnencapai cita-cita Israel yang aman." --Hyman Bookbinder, mantan wakil Komite Yahudi Amerika,198733
FAKTA
Sementara para aktivis Yahudi mengemukakan isu-isu yang begitu beragam seperti hak-hak asasi manusia dan kemiskinan di seluruh dunia, Israel merupakan satu-satunya isu yang dipedulikan oleh AIPAC dan komite-komite aksi politik pro Israel yang membagi-bagikan uang. Memang demikianlah halnya sejak munculnya upaya lobi terorganisasi atas nama Israel pada 1950an. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden AIPAC Davis Steiner pada 1992: "Saya percaya pada kesetiaan politik, dan jika seseorang telah berbuat baik untuk Israel, tidak soal siapa pun dia --bahkan seandainya saudara saya menentang mereka-- saya akan tetap mendukung mereka sebab mereka telah berbuat baik untuk Israel.34
Presiden Richard Nixon mencatat dalam memoarnya: "Salah satu masalah besar yang saya hadapi... adalah sikap pro Israel yang pantang menyerah dan picik di dalam segmen-segmen yang sangat luas dan berpengaruh dari komunitas Yahudi Amerika, Kongres, media, dan di kalangan intelektual dan budaya. Dalam seperempat abad sejak akhir Perang Dunia II sikap ini telah menjadi begitu berurat berakar sehingga banyak yang menganggap bahwa tidak pro Israel berarti anti-Israel, atau bahkan anti-Semit. Saya telah berusaha namun gagal meyakinkan mereka bahwa masalahnya bukanlah demikian."35
Keluhan serupa dikemukakan pada 1956 oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles. Dia mengeluh pada kawan-kawannya: "Saya sadar betapa hampir mustahilnya menjalankan suatu kebijaksanaan luar negeri [di Timur Tengah] yang tidak disetujui oleh orang-orang Yahudi di negeri ini. [Mantan Menteri Luar Negeri George] Marshall dan [mantan Menteri Pertahanan James] Forrestal mengetahui hal itu." Dulles di kemudian hari berbicara tentang "kontrol luar biasa yang dijalankan orang-orang Yahudi atas media berita dan perang kata-kata yang telah ditanamkan orang-orang Yahudi pada para anggota kongres... Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa pengaruh Yahudi di sini sangat menguasai panggung dan membuat Kongres hampir mustahil melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui. Kedutaan Besar Israel praktis mendikte Kongres melalui orang-orang Yahudi yang berpengaruh di negeri ini."36
Pengaruh semacam itu bukan kebetulan. Pelopor AIPAC, Komite Zionis Amerika untuk Urusan Publik, pertama-tama menanyai 750 kandidat Dewan dan Senat pada 1954. Satu-satunya pertanyaan yang diajukan pada setiap kandidat adalah pandangannya terhadap Israel dan Timur Tengah.37 Hal itu seterusnya menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan sikap AIPAC terhadap kandidat tersebut. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine sangat bangga akan fokus tentang Israel. Dia berkata: "Kami berpikiran tunggal mengenai isu tunggal."38
Kesatuan pikiran semacam itulah yang menyebabkan keberhasilan AIPAC yang begitu mengagumkan dalam membantu para pendukung kuat Israel untuk dapat dipilih menjadi anggota Kongres. Keberhasilan itu terutama dari penganggaran dana yang besar untuk kampanye para politisi yang menyuarakan dukungan pada Israel. Meskipun AIPAC secara hukum tidak boleh memberikan uang pada para kandidat, banyak komite aksi politik pro Israel yang bertindak berdasarkan rating kandidat AIPAC dan menyalurkan dana mereka sesuai dengan itu.
Sebuah telaah pada 1991 oleh Pusat untuk Politik Responsif menunjukkan bahwa komite-komite aksi politik (PACs) pro Israel menyumbangkan $4 juta untuk para kandidat kongres dalam pemilihan tahun 1990, dan para penyumbang individual pada PACs tersebut juga menyerahkan $3,6 juta pada kandidat-kandidat yang sama. Semua penerima itu adalah para pendukung kuat Israel. Enam belas orang yang sedang memegang jabatan di Senat menerima lebih dari $100.000 masing-masing dari dua sumber; di antara para penerimanya yang tertinggi adalah Carl Levin (Demokrat dari Michigan), $563.073; Paul Simon (Demokrat dari Illinois), $449.417; Tom Harkin (Demokrat dari Iowa), $344.650; Clairborne Pell (Demokrat dari Rhode Island), $225.811; dan Mitch McConnell (Republik dari Kentucky), $213.900. Penerima tertinggi dari Dewan adalah Mel Levine (Demokrat dari California), $89.779; Sydney R. Yates (Demokrat dari Illinois), $72.250; David R. Obey (Demokrat dari Wisconsin), $57.949; Ron Wyden (Demokrat dari Oregon), $53.340; dan Wayne Owens (Demokrat dari Utah), $52.450.39
The Wall Street Journal melaporkan bahwa delapan puluh PACs pro Israel membelanjakan $6.931.728 dalam pemilihan tahun 1986, yang menjadikan mereka penyumbang terbesar dari PACs di negeri itu. Yang kedua adalah makelar PACs sebanyak $6.290.108, disusul oleh Asosiasi Medis Amerika sebanyak $5.702.133 40 Telaah lain menunjukkan bahwa para senator yang memberikan suara yang mendukung perundang-undangan pro Israel pada 1985-1986 menerima rata-rata $54.223 dari PACs pro Israel; mereka yang memberikan suara sebaliknya menerima rata-rata $166. Para senator yang terpilih atau terpilih kembali pada 1986 menerima $1,9 juta dari PACs pro Israel, hampir tiga kali lipat dari yang mereka kumpulkan dari PACs semua kelompok ideologi lainnya.41
Seperti yang telah ditulis oleh pengarang Edward Tivnan: "Beberapa politisi Amerika yang ambisius tidak dapat memimpikan jabatan yang lebih tinggi tanpa mengharapkan uang Yahudi."42 Wakil Presiden Dan Quayle berkata: "Sebagai orang Amerika Anda mempunyai hak untuk menyuarakan dukungan Anda pada Negara Israel... Akses menuju proses politik bukanlah keistimewaan suatu kelompok. Itu adalah hak."43
Saat berlangsungnya perang 1973, terjadi suatu pertemuan menegangkan antara Laksamana Thomas Moorer, pemimpin Gabungan Kepala Staf, dan atase militer Israel Mordecai Gur. Gur menuntut agar Amerika Serikat memberi Israel pesawat-pesawat tempur yang dilengkapi misil anti-tank udara-ke-darat Maverick. Moorer menjelaskan bahwa Amerika Serikat hanya memiliki satu skuadron pesawat-pesawat semacam itu dan bahwa Kongres "akan mencak-mencak" jika yang itu diberikan. Moorer mengenang: "Gur berkata padaku, 'Anda dapatkan pesawat-pesawat itu; saya akan bereskan Kongres.'" Moorer menambahkan: "Dan dia berhasil. Saya belum pernah melihat seorang Presiden --saya tidak peduli siapa pun dia-- yang berani menentang mereka [orang-orang Israel]. Ini benar-benar memusingkan. Mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan."44
Contoh lain terjadi saat berlangsungnya perang yang sama ketika Israel merasa bahwa Amerika Serikat tidak menyediakan pasokan yang mencukupi baginya. Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Simcha Dinitz, mengancam Menteri Luar Negeri Henry Kissinger bahwa "jika sistem angkutan udara besar-besaran Amerika ke Israel tidak segera dimulai maka saya akan tahu bahwa Amerika Serikat mengingkari janji-janji dan kebijaksanaannya, dan kami harus menarik kesimpulan-kesimpulan sangat serius dari semua ini." Kalb bersaudara, yang banyak mewawancarai Dinitz untuk biografi mereka tentang Kissinger, memberikan penilaian atas perkataan ini: "Dinitz tidak harus menterjemahkan pesannya. Kissinger dengan segera memahami bahwa orang-orang Israel akan segera 'go public' dan bahwa akan timbul sentimen pro Israel yang akan berdampak sangat buruk terhadap pemerintahan yang memang telah lemah itu."45
Contoh intimidasi lainnya melibatkan Presiden Carter dan Menteri Luar Negeri Israel Moshe Dayan. Dalam suatu pertemuan pada 1977 mengenai proses perdamaian, Carter tiba-tiba mengubah pokok pembicaraan dan berkata: "Mari kita bicara politik." Carter mengakui bahwa dia berada dalam kesulitan politik dengan Kongres dan orang-orang Yahudi Amerika. Pengakuan naif ini memberikan pada Dayan suatu keuntungan perundingan yang penting. Dayan memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Dia mengemukakan pada Presiden Carter sejumlah syarat untuk menyetujui perdamaian dengan Mesir: tidak boleh ada tekanan Amerika untuk memaksakan suatu penyelesaian, tidak ada potongan dalam bantuan militer dan ekonomi pada Israel, dan, akhirnya, suatu pernyataan oleh Amerika Serikat bahwa Israel tidak harus kembali ke perbatasan-perbatasan tahun 1967. Jika syarat-syarat ini disetujui Carter, maka "Dayan dapat mengatakan pada orang-orang Yahudi Amerika bahwa persetujuan telah tercapai dan mereka akan senang." Dayan menambahkan: "Namun jika dia mengatakan bahwa Israel berbicara dengan PLO mengenai suatu negara Palestina, maka akan timbul kecaman di Amerika Serikat dan Israel."46 Ini hampir sama dengan pemerasan, menurut pendapat beberapa diplomat AS, namun Carter tidak memprotes apa pun dan hanya mengemukakan pernyataan lunak bahwa suatu konfrontasi juga tidak akan mendatangkan kebaikan pada Israel.47
Pada 1972, Yitzhak Rabin tidak ragu-ragu untuk memberikan dukungan publiknya bagi kampanye pemilihan kembali Richard Nixon ketika Rabin berkedudukan sebagai duta besar Israel di Washington. Dalam suatu wawancara pada radio nasional Israel, Rabin berkata: "Sementara kita menghargai dukungan dalam bentuk kata-kata yang kita dapatkan dari satu kamp, kita harus lebih memilih dukungan dalam bentuk perbuatan yang kita dapatkan dari kamp lainnya."48 The Washington Post merasa begitu tersinggung dengan apa yang disebutnya campur tangan Rabin dalam politik dalam negeri Amerika sehingga dia dengan keras mengecam Rabin dalam sebuah tajuk rencana berjudul: "Diplomat Yang Tidak Diplomatis."49
Pada pertemuan AIPAC tahun 1992, Direktur Eksekutif Dine secara langsung menentang Presiden Bush karena perkataannya pada bulan September sebelumnya yang mengecam upaya-upaya lobi AIPAC untuk mendapatkan garansi pinjaman $10 milyar bagi Israel. Dine mengatakan bahwa Bush telah "mempertanyakan hak para warga negara Amerika... untuk melakukan lobi dalam masalah ini. Tanggal 12 September 1992 menjadi hari kekejian bagi komunitas Amerika pro-Israel. Seperti gajah India, kita tidak akan lupa. Kita tidak akan pergi. Kita ada di sini. Dan kita tidak mau diintimidasi." Dine mengatakan bahwa masalah garansi pinjaman $10 milyar belum lewat: "Kita tidak dapat dan tidak mau menyerah sampai kita berhasil. Pada akhirnya, kita akan berhasil, mendapatkan garansi ini. Tugas kita baru saja dimulai. Kita perlu mendapatkan kawan-kawan baru untuk dibawa ke kongres."50
Pada 1992 AIPAC terkena serangkaian pukulan keras. Pada bulan Agustus Yitzhak Rabin, yang baru menjabat sebagai perdana menteri, secara terbuka mencela organisasi itu. Karena semangatnya untuk melicinkan jalan guna mendapatkan persetujuan Bush yang diharapkan atas garansi pinjaman $10 milyar untuk Israel, dan pada saat yang sama menguatkan kontrol pribadinya atas hubungan AS-Israel, Rabin menujukan kata-kata keras pada para pemimpin AIPAC: "Kalian telah gagal dalam segalanya. Kalian telah kalah perang. Kalian menciptakan terlalu banyak permusuhan." Pada bulan November Presiden AIPAC David Steiner meletakkan jabatannya ketika koran-koran mempublikasikan klaim-klaimnya menyangkut pengaruh lobi yang kuat di kalangan staf presiden terpilih, Bill Clinton.51 Pada pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum, sebagian dari para pendukung lobi yang paling vokal dan dapat dipercaya ternyata kalah; yang menonjol di antara mereka adalah Senator W. Kasten, Jr., dan Wakil Stephen J. Solarz dari New York, Mel Levine dari California, dan Lawrence J. Smith dari Florida.
Meskipun terjadi kemunduran, ramalan-ramalan tentang "pencairan" di AIPAC tidaklah berdasar.52 Dengan anggaran tahunan $15 juta dan lebih dari 55.000 pendukung kuat, banyak di antaranya yang mempunyai pengaruh politik, kelangsungan hidup lobi itu tetap terjamin.
Catatan kaki:
1 Lobi itu pertama-tama dinamakan Dewan Zionis Amerika untuk Urusan Publik dan diubah namanya pada 1959. Untuk sejarah tentang Dewan Zionis Amerika dan evolusinya menjadi AIPAC, lihat Kenen, Israel's Defense Line, 106-7. Pada 1962-1963, wakil ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat J.W. Fulbright menyelidiki AIPAC dan berbagai kelompok yang berkaitan dengannya untuk melihat apakah AIPAC diharuskan untuk mendaftar sebagai agen luar negeri; tetapi tidak ada tindakan yang diambil. Lihat Kenen, Israel's Defense Line, 109.
2 Ada sejumlah telaah yang sangat bagus mengenai lobi Israel, di antaranya Ball, The Passionate Attatchment; Bookbinder dan Abourek, Through Different Eyes; Curtiss, A Changing Image dan Stealth Pacts; Feuerlicht, The Fate of the Jews; Halsell, Propechy and Politics; Isaacs, Jews and American Politics, Lilienthal, The Zionist Connection; Neff, Warriors for Jerusalem; O'Brien, American Jewish Organizations and Israel; Rurenberg, Israel and the American National Interest; Saba, The Armageddon Network, Smith, The Power Game; Tillman, The United States in the Middle East; Tivman, The Lobby.
3 Robert L. Friedman, Washington Post, rubrik Outlook, 1 November 1992.
4 Washington Jewish Week, 18 Juli 1985.
5 David K. Shipler, New York Times, 6 Juli 1987.
6 Eric Alterman, "Pumping Iron," Regardie's, Maret 1988.
7 Kathleen Christison, "Blind Sports: Official U.S. Myths about the Middle East," Journal of Palestine Studies," Musim Dingin 1988.
8 Kenen, Israel's Defense Line, 2-3.
9 Smith, The Power Game, 216.
10 Teks dari pidato Dine, "The Revolution in U.S.-Israel Relations," terdapat dalam "Special Document;" Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1986,134-43. Juga lihat Robert G. Neumann, "1992: A Year of Stalemate in the Peace Process?" Middle East Policy, 1, No. 2 (1992).
11 Dine, "The Revolution in U.S.-Israel Relations."
12 Richard B. Straus, Washington Post, 27 April 1986.
13 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 345-46; Smith, The Power Game, 221; New York Times, 24 Maret 1984; John M. Goshko dan John E. Yang, Washington Post, 7 September 1991.
14 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 346.
15 Bernard Gwertzman, New York Times, 22 Maret 1984.
16 John M. Goshko dan John E. Yang, Washington Post, 7 September 1991.
17 Davis, Myths and Facts, 266.
18 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 258; Smith, The Power Game, 220-24; Tivman, The Lobby, 135-61.
19 Tillman, The United States in the Middle East, 121.
20 A. Craig Murphy, "Congressional Opposition to Arms Sales to Saudi Arabia," American-Arab Afairs, Musim Semi 1988, 106. Suatu analisis yang bagus tentang kejadian itu terdapat dalam Smith, The Power Game, 215-20.
21 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 258; juga lihat Smith, The Power Game, 220-24.
22 Findley, They Dare to Speak Out, 113.
23 Smith, The Power Game, 216.
24 Tivnan, The Lobby, 163.
25 Dari surat perkenalan AIPAC, 1982, dikutip dalam O'Brien, American Jewish Organizations and Israel, 170.
26 Charles McC. Mathias, Jr., "Ethnic Groups and Foreign Policy;" Foreign Affairs, Musim Panas 1981.
27 Gregory D. Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby That Stiffles American Debate," Washington Report on Middle East Affairs, Juli 1992.
28 Amy Kaufman Goott dan Steven J. Rosen, The Campaign to Discredit Israel (Washington, D.C.: American Israel Public Affairs Committee, 1983). Publikasi AIPAC lainnya adalah The AIPAC College Guide: Exposing the Anti-Israel Campaign on Campus, 1984.
29 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 338.
30 Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby."
31 Robert L. Friedman, "The Israel Lobby's Blacklist," Village Voice, 4 Agustus 1992.
32 Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby."
33 Bookbinder dan Abourezk, Through Different Eyes, 81.
34 Transkrip dari perkataan David Steiner, 22 Oktober 1992; dapat diperoleh melalui Komite Anti-Diskriminasi Arab-Amerika (Washington D.C.).
35 Nixon, Memoirs, 481.
36 Transkrip dari percakapan telepon Dulles, dikutip dalam Neff, Warriors at Suez, 416.
37 New York Times, 31 Oktober 1954.
38 Tivnan, The Lobby, 253.
39 Charles R. Babcock, Washington Post, 26 September 1991.
40 John J. Fialka, Wall Street Journal, 24 Juni 1987.
41 Edward Roeder, News/Sun- Sentinel (Fort Luderdale, Florida): 28 Juni 1987.
42 Tivnan, The Lobby, 242.
43 John M. Goshko, Washington Post, 8 April 1992.
44 Findley, They Dare to Speak Out, 161.
45 Kalb, Kissinger, 475.
46 Quandt, Camp David, 129.
47 Brzezinski, Power and Principle, 108.
48 Rabin, The Rabin Memoirs, 232; Slater, Rabin of Israel, 186.
49 Washington Post, 11 Juni 1972.
50 Richard C. Gross, Washington Times, 8 April 1992. Kutipan-kutipan itu terdapat dalam Near East Report, 18 Mei 1992.
51 The Economist, 12 November 1992, 28.
52 Village Voice, 7 November 1992, 30.
Pengaruh Israel terhadap pemerintah AS telah menjadi legenda, terutama disebabkan oleh apa yang disebut lobi Israel. Meskipun ada suara-suara yang berusaha untuk mengecilkan kekuatannya, sesungguhnya semua politisi, orang-orang di balik pemberitaan, dan orang-orang lain yang telah berhadapan dengan lobi itu membuktikan pengaruh yang luar biasa besarnya dari para pendukung Israel di Kongres dan dalam perumusan kebijaksanaan luar negeri AS. Di antara begitu banyak kelompok pro Israel, tidak ada yang diorganisasi secara lebih baik, lebih aktif, atau lebih kuat dibanding AIPAC, Komite Urusan Publik Israel-Amerika, lobi utama yang mendukung Israel di Amerika Serikat sejak 1951.1 Pengaruhnya pada Kongres sangat besar sehingga selama lebih dari dua dasawarsa Israel dapat menikmati tingkat bantuan keuangan yang luar biasa dan keuntungan-keuntungan istimewa, yang kesemuanya diberikan hanya melalui sepatah kata dalam diskusi serius. AIPAC menjadi sasaran iri hati lobi-lobi lainnya karena aksesnya yang sangat mudah ke tingkat-tingkat pemerintahan tertinggi.2 Kini AIPAC mempunyai anggaran belanja tahunan $15 juta, kira-kira lima puluh ribu anggota pemberi iuran, dan, selain markas besarnya di Washington, D.C., beberapa kantor lain di delapan kota. Dukungannya terhadap seorang kandidat politik biasanya mendatangkan sumbangan-sumbangan dari hampir seratus komite aksi politik pro Israel di seluruh negeri.3
OMONG KOSONG
"Dalam analisis terakhir, kepentingan pribadilah yang mendukung hubungan dekat AS-Israel, dan bukan dijalankannya kekuasaan mentah oleh kelompok lobi mana pun." --Wakil Rakyat Stephen J. Solarz, Demokrat dari New York, 19854
FAKTA
New York Times melaporkan pada 1987 bahwa AIPAC "telah menjadi kekuatan utama dalam menyusun kebijaksanaan Amerika Serikat di Timur Tengah... Organisasi ini telah meraih kekuasaan untuk mempengaruhi pemilihan kandidat presiden, menghalangi praktis setiap penjualan senjata ke sebuah negara Arab dan bertindak sebagai katalisator bagi hubungan militer yang erat antara Pentagon dan angkatan bersenjata Israel. Para pejabat puncaknya dimintai nasihat oleh Kementerian Luar Negeri dan para penyusun kebijaksanaan Gedung Putih, para senator, dan jenderal." Laporan Times itu menyimpulkan bahwa AIPAC "telah menjadi sasaran kecemburuan para pelobi yang saling bersaing dan kecaman para ahli Timur Tengah yang ingin menguatkan ikatan dengan bangsa-bangsa Arab pro Barat."5
Satu tahun kemudian, seorang wartawan lepas Eric Alterman menyelidiki AIPAC dan sampai pada penilaian yang sama. Dia melaporkan: "Tak diragukan lagi, AIPAC adalah lobi etnis paling kuat dalam sejarah Amerika belakangan ini. Dapat dikatakan bahwa, sesungguhnya, ia merupakan lobi Washington paling kuat di antara semua lobi lainnya... pengaruh AIPAC dapat dirasakan bukan hanya di Capitol Hill tetapi juga di Gedung Putih, Pentagon, kementerian luar negeri, kantor perbendaharaan negara, dan sejumlah kantor lainnya. Dan pengaruhnya tidak tergantung pada bantuan dari suatu pemerintahan yang bersahabat; lebih sering, justru sebaliknyalah yang terjadi."6
Kathleen Christison, mantan analis CIA, menulis pada 1988: "Di bawah [Presiden] Reagan, AIPAC telah menjadi mitra dalam penyusunan kebijaksanaan... Komite Urusan Publik Israel-Amerika itu telah menyusup sedemikian jauh di Gedung Putih dan juga di Kongres sehingga mustahil untuk memastikan di mana tekanan lobi itu akan berhenti dan pemikiran presiden yang independen dimulai."7
OMONG KOSONG
"Mitos lainnya berkaitan dengan besarnya pengaruh [AIPAC] dan kedigdayaannya yang banyak diyakini orang." --I.L. Kenen, seorang pendiri AIPAC, 19818
FAKTA
AIPAC meraih tingkat kekuasaan dan pengaruh yang baru pada tahun-tahun pemerintahan Reagan. Kekuatannya telah tumbuh demikian pesat sehingga koresponden-veteran Hedrick Smith melaporkan dalam The New York Times bahwa ia merupakan suatu "superlobi... AIPAC berhasil mengembangkan kekuatan politik yang begitu besar sehingga pada 1985, AIPAC dan sekutu-sekutunya dapat memaksa Presiden Reagan untuk mengingkari perjanjian pembelian senjata yang telah disepakati bersama Raja Hussein [dari Yordania]. Pada 1986, lobi pro Israel itu berhasil mencegah Reagan membuat kesepakatakan pembelian jet tempur dengan Saudi Arabia; dan Menteri Luar Negeri George Shultz harus duduk bersama Direktur Eksekutif AIPAC --bukan para pemimpin kongres-- untuk menentukan sejauh mana penjualan persenjataan kepada Arab Saudi masih dapat diterima AIPAC. "9
AIPAC begitu mendominasi pemerintahan Reagan sehingga Direktur Eksekutif AIPAC Thomas A. Dine melaporkan pada konferensi kebijaksanaan tahunan AIPAC kedua puluh tujuh pada 1986 bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan Israel tidak pernah sebaik ini sebelumnya --dan, secara implisit, itu berarti juga hubungan dengan AIPAC.10 Dine mengatakan bahwa dalam proses perkembangan itu "seluruh jumlah pemilih baru yang mendukung Israel tengah dibangun tepat di wilayah di mana kita paling lemah --di antara para pejabat pemerintahan di negara bagian, di departemen-departemen perbendaharaan negara dan pertahanan, di CIA, di agen-agen ilmu pengetahuan, perdagangan, pertanian, dan di agen-agen lainnya."
Dia menambahkan bahwa Presiden Reagan dan Menteri Luar Negeri Shultz adalah dua sahabat terbaik Israel dan akan "meninggalkan suatu warisan yang penting artinya bagi keamanan Israel selama dasawarsa-dasawarsa mendatang." Shultz, katanya, telah bersumpah padanya "untuk merintis persetujuan-persetujuan institusional sehingga delapan tahun dari sekarang, jika ada seorang menteri luar negeri yang tidak bersikap positif terhadap Israel, dia tidak akan mampu mengatasi hubungan birokratis antara Israel dan AS yang telah kita bangun kini."11
Di kemudian hari pada 1986, mantan staf AIPAC Richard B. Straus menulis di The Washington Post bahwa "kebijaksanaan Timur Tengah Amerika telah berubah demikian dramatisnya dengan berpihak pada Israel" sehingga kini hal semacam itu hanya dapat dilukiskan sebagai suatu "revolusi." Dia mengutip Dine yang mengatakan bahwa hubungan istimewa itu "merupakan suatu kemitraan yang mempunyai dasar luas dan mendalam, yang berkembang dari hari ke hari menuju suatu aliansi diplomatik dan militer sepenuhnya." Straus menambahkan: "Para pendukung negara-negara Arab di Kementerian Luar Negeri mengakui bahwa kepentingan-kepentingan Arab hampir tidak pernah dijadikan bahan dengar pendapat di Washington sekarang ini. 'Biasanya kami mempunyai dua jalur kebijaksanaan,' kata seorang mantan pejabat Kementerian Luar Negeri. 'Kini hanya kepentingan-kepentingan Israel yang dipertimbangkan."12
Dalam kenyataannya, hubungan itu menjadi demikian eratnya di masa pemerintahan Reagan sehingga tidaklah luar biasa jika para pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri dan Dine dari AIPAC membahas secara pribadi isu-isu kebijaksanaan Timur tengah dan cara menanganinya di Kongres.13 Dine bahkan menerima telepon pribadi dari Presiden Reagan yang mengucapkan terima kasih kepadanya secara pribadi atas dukungan AIPAC dalam mencapai persetujuan kongres untuk mempertahankan Angkatan Laut AS di Lebanon pada 1983.14 AIPAC diberitahu dua belas jam sebelum Asisten Menteri Luar Negeri untuk Permasalahan Timur Dekat Richard Murphy mengetahui tentang keputusan pemerintahan Reagan tahun 1984 untuk membatalkan penjualan persenjataan kepada Yordania dan Saudi Arabia.15
Hubungan itu mendingin pada masa pemerintahan Bush, namun tidak sepenuhnya. Menteri Luar Negeri James A. Baker III memanggil Dine guna meminta bantuannya dalam upaya pemerintah untuk meyakinkan Israel agar menunda tuntutannya atas $10 milyar dalam bentuk garansi pinjaman pada 1991. Dine menolak permintaan itu.16
OMONG KOSONG
"Tidak ada justifikasi bagi penjualan pesawat yang paling canggih dari gudang senjata Amerika kepada Saudi Arabia." --AIPAC,198917
FAKTA
Saudi Arabia patut mendapatkan apa pun yang dibutuhkannya untuk membela diri. Nilai dari hubungan istimewa Amerika yang erat dengan kerajaan itu, yang dikembangkan selama lebih dari setengah abad, sudah terbukti setiap hari ketika orang-orang Amerika mengkonsumsi minyak. Saudi Arabia, produsen utama dan penentu-harga minyak, juga sekutu yang strategis, sebagaimana terbukti secara dramatis pada 1990-1991 ketika pasukan dan pesawat Amerika menggunakan wilayah Saudi --bukan Israel-- untuk memaksa Irak keluar dari Kuwait. Keuntungan lain yang tidak banyak diketahui dalam penjualan senjata-senjata ke Saudi Arabia adalah bahwa Riyadh membayar tunai, tidak seperti Israel, yang menerima senjata-senjata AS tanpa biaya --suatu tamparan bagi para pembayar pajak Amerika.
Meskipun AS berkepentingan untuk membantu Saudi Arabia demi pertahanan dirinya, Israel dan para pendukungnya secara terus-menerus telah menentang penjualan senjata ke kerajaan tersebut. Tentangan terhadap proliferasi senjata-senjata itu dapat diterima seandainya Washington mempunyai program kontrol persenjataan koheren yang diterapkan pada semua pihak. Namun dengan berulang kalinya terjadi agresi Israel dan tuntutan-tuntutannya yang tak henti-henti akan pasokan senjata-senjata AS, adalah suatu kemunafikan yang luar biasa di pihak Israel jika ia menentang penjualan senjata ke Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya pada saat yang sama sementara ia kekenyangan dengan persenjataan Amerika.
Pertikaian paling besar, paling lama, dan paling keras antara AIPAC dan Gedung Putih mengenai penjualan persenjataan terjadi pada 1981 ketika Presiden Reagan memutuskan untuk menjual lima buah pesawat AWACS (sistem kontrol dan peringatan udara) seharga $8,5 milyar kepada Saudi Arabia.18 AIPAC dan Israel memberikan tekanan pada para wakil kongres dan senator untuk menggagalkan persetujuan itu. Mereka hampir berhasil. Baru setelah melalui pertikaian panjang dan sulit pada akhirnya Reagan menang dengan suara Senat 52 berbanding 48. Ketika melakukan hal itu Reagan mengingatkan para perumus undang-undang dan negeri itu bahwa "perumusan kebijaksanaan luar negeri Amerika bukanlah urusan negara-negara lain."19
Pada akhirnya, seorang pengamat melukiskan pertikaian itu sebagai "salah satu [upaya lobi] paling keras yang pernah dialami Kongres."20 Namun sementara pemerintah berhasil memenangkan pertempuran, Israel dan AIPAC telah membuat suatu ketentuan keras: jika pemerintah menghalangi keinginan-keinginan Israel, ia harus membayar banyak dengan waktu, tenaga dn akhirya, gengsi politik. Bagi para perumus undang-undang pesan itu sama seramnya. Sebagaimana dicatat oleh Profesor Cherly A. Rurenberg, seorang kritikus yang berpandangan luas tentang hubungan AS-Israel: "Sejak itu cara seorang senator memberikan suaranya dalam masalah ini menjadi faktor paling penting dalam menentukan sikap lobi [Israel] tentang 'persahabatan' seorang individu dengan Israel. Mereka yang dicap 'tidak bersahabat' akan menghadapi masalah-masalah serius pada pemilihan kembali.21
Sesungguhnya, terutama dikarenakan dukungannya pada penjualan AWACS itulah maka Senator Republik yang sangat dihormati, Charles Percy, dikalahkan pada 1984. Setelah pemilihan, Thomas Dine dari AIPAC menyatakan: "Semua orang Yahudi di Amerika, dari pantai ke pantai, bersatu untuk mengusir Percy. Dan para politisi Amerika --mereka yang memegang jabatan publik sekarang, dan mereka yang berkeinginan untuk itu-- menerima pesan tersebut."22
Sejak kekalahan AWACS, AIPAC telah sepenuhnya berhasil memacu diri dan berkembang sangat pesat. Hendrick Smith melaporkan dalam The New York Times bahwa "anggarannya berlipat delapan kali (mencapai $6,1 juta) dalam waktu sembilan tahun, keanggotaannya berlipat dari sembilan ribu rumah tangga pada 1978 menjadi lima puluh lima ribu pada 1987, stafnya bertambah dari dua puluh lima menjadi delapan puluh lima. Menjelang pertengahan 1980-an, para pemimpinnya telah mengendalikan dana kira-kira $4 juta dalam bentuk sumbangan-sumbangan kampanye untuk para kandidat yang bersahabat dan hukuman bagi lawan-lawan politik."23
Sebagaimana dikatakan Dine: "Pertikaian AWACS merupakan sebuah titik penting. Kita kalah dalam pemilihan suara namun memenangkan isu itu."24
OMONG KOSONG
"Sewaktu membutuhkan informasi mengenai Timur Tengah, saya lega ketika mengetahui bahwa saya dapat bergantung pada AIPAC untuk mendapatkan bantuan profesional dan dapat dipercaya." --Senator Frank Church, Demokrat dari Idaho, 198225
FAKTA
AIPAC mempunyai berita paling cepat di Washington. Setiap wakil rakyat atau senator yang mengungkapkan keinginan untuk mengetahui sesuatu tentang Timur Tengah segera dibanjiri dengan "dokumen-dokumen keadaan" oleh AIPAC.
Sebagaimana ditulis oleh Senator Demokrat Charles Mathias dari Maryland: "Ketika suatu masalah penting menyangkut Israel muncul di Kongres, AIPAC dengan pasti dan segera menyediakan untuk para anggota segala data dan dokumentasi, plus panggilan-panggilan telepon dan kunjungan-kunjungan pribadi jika diperlukan. Di luar itu, tanda-tanda keraguan atau tentangan di pihak seorang senator atau wakil rakyat biasanya akan mengundang banyak surat dan telegram, atau kunjungan-kunjungan dan panggilan-panggilan telepon dari para pemilih yang berpengaruh."26
Yang menjadi persoalan jika seseorang tergantung pada AIPAC untuk mendapatkan informasi adalah bahwa informasi itu pasti hanya berisi sudut pandang Israel. Terbitan-terbitannya cenderung pada judul-judul ilmiah seperti US-Israel Free Trade Area: How Both Sides Gain, dan semua itu dipenuhi oleh catatan-catatan kaki dan kutipan-kutipan dari karya-karya akademis. Namun pembaca tidak dapat mengingkari fakta bahwa semua itu jelas dimaksudkan untuk mendukung kepentingan-kepentingan Israel.
AIPAC juga mengawasi Near East Report, sebuah surat kabar mingguan yang dibaca oleh kira-kira enam puluh ribu orang dan dikirimkan gratis pada semua anggota Kongres, pejabat-pejabat tinggi pemerintah, para akademisi, dan banyak wakil media. Meskipun surat kabar itu secara hukum terpisah dari AIPAC, ia didirikan oleh Sy Kenen, salah seorang pendiri AIPAC, dan secara ketat mengikuti jalur kebijaksanaan Israel. Secara teratur ia mencetak kisah-kisah tentang pola-pola pemungutan suara para perumus undang-undang, dan dengan cara itu memperingatkan mereka bahwa suara-suara yang mereka berikan selalu dicatat, juga kecenderungan undang-undang baru yang mempengaruhi Israel.
Staf surat kabar itu juga menyebarkan sebuah lampiran bernama Myths and Facts, yang bermaksud menghalau "mitos-mitos" mengenai konflik Arab-Israel seperti keadaan para pengungsi Palestina. Lampiran itu disebarkan secara luas di kampus-kampus sebagai suatu "bantuan pelajaran" dan pada banyak sahabat Israel di kongres dan media.
AIPAC tidak membatasi aktivitas-aktivitasnya pada propaganda yang sah. Pada 1974 ia bergabung dengan Komite Yahudi Amerika dan kelompok-kelompok Yahudi lainnya untuk membentuk sebuah "pasukan kebenarari" guna menanggapi apa yang dinamakan propaganda pro Arab. Menurut wartawan penyelidik Robert L. Friedman, pasukan kebenaran itu berubah menjadi "semacam polisi pikiran Yahudi. Para penyelidik terkadang mahasiswa-mahasiswa Yahudi yang penuh semangat, terkadang sumber-sumber dengan akses ke agen-agen intelijen AS-dimanfaatkan untuk mengejar para pengecam Israel, baik Yahudi maupun non-Yahudi, di manapun mereka berada... Pidato-pidato dan tulisan-tulisan mereka dimonitor, demikian pula, dalam beberapa kasus, aktivitas-aktivitas profesional mereka lainnya. Dan mereka sering kali dituduh anti-Semit atau dicap sebagai Yahudi pembenci diri. Tujuannya adalah untuk menghalangi perdebatan mengenai Timur Tengah di kalangan komunitas Yahudi, media, dan akademisi, dikarenakan kekhawatiran bahwa kritik apa pun akan dapat melemahkan negara Yahudi."27
Itu hanyalah suatu langkah kecil dari pasukan kebenaran untuk membuat daftar hitam. Pada 1983, AIPAC menerbitkan The Campaign to Discredit Israel. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine menulis dalam kata pengantar bahwa pamflet itu diterbitkan sebagai suatu cara untuk mendapatkan "analisis yang lebih lengkap dan tepat" mengenai aktivitas anti-Israel. Meskipun begitu yang dikatakannya, pamflet itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah daftar hitam kuno.
The Campaign to Discredit Israel memuat daftar orang-orang Amerika seperti George Ball, mantan wakil menteri luar negeri yang kritis terhadap Israel, dan Alfred Lilienthal, seorang Yahudi anti-Zionis yang pada 1954 telah menulis sebuah buku yang berisi peringatan tentang hubungan AS-Israel: What Price Israel? Secara keseluruhan, pamflet itu berisi daftar dua puluh satu organisasi dan tiga puluh sembilan individu "yang aktif dalam usaha untuk melemahkan ikatan antara Amerika Serikat dan Israel, yang berusaha untuk meningkatkan hubungan AS-Arab dengan mengorbankan Israel, atau yang memberikan pelayanan dengan imbalan kepada pemerintah negara-negara Arab yang tengah berjuang untuk mencapai cita-cita itu."28 Liga Anti-Fitnah dari B'nai B'rith juga menerbitkan daftar hitamnya sendiri yang dinamakan Arab Propaganda in America: Vehicles and Voices.
Ilmuwan Cheryl Rurenberg menuduh bahwa kedua pamflet itu menggunakan "teknik-teknik yang mengingatkan kita pada era McCarthy... mencap penentang mereka dengan label 'pro PLO.'"29 Dengan adanya reaksi terhadap daftar hitam yang begitu negatif, AIPAC mengurungkan rencana untuk menerbitkan versi tahunan yang telah diperbaiki. Sebagai gantinya, AIPAC memindahkan usaha-usahanya di bawah tanah. Ia terus memonitor individu-individu dan kelompok-kelompok "anti-Israel," namun menyebarkan hasil-hasilnya secara rahasia. Menurut Gregory D. Slabodkin, seorang ilmuwan muda yang pernah menjadi peneliti AIPAC: "Kini, pengungkapan-pengungkapan mengenai penulisan daftar hitam AIPAC dan taktik fitnahannya telah sampai pada aktivitas-aktivitas rahasia lobi pro Israel... AIPAC mengoperasikan suatu seksi rahasia di departemen risetnya yang memonitor dan menyimpan berkas-berkas tentang para politisi, wartawan, akademisi, aktivis Arab-Amerika, tokoh-tokoh liberal Yahudi, dan lain-lain yang dicapnya 'anti-Yahudi.' AIPAC menyeleksi informasi dari berkas-berkas ini dan secara diam-diam menyebarkan daftar mereka 'yang bersalah,' bersama kelakuan buruk politik mereka, ditunjang dengan pernyataan-pernyataan mereka, yang sering kali ada di luar konteks."30
Misalnya, Departeman Riset Rahasia memberikan kepada Steve Emerson, seorang wartawan penyelidik pro Israel untuk Cable News Network, informasi mengenai kolumnis Nation Alexander Cockburn, yang sering mengecam Israel, dan juga memberikan pada The Wall Street Journal informasi yang menghina tentang bankir Georgia, Bert Lance, dan kepentingan-kepentingan perbankan Arab. Sasaran-sasaran lainnya termasuk tokoh-tokoh Yahudi liberal seperti Woody Allen, Richard Dreyfuss, Rita Hauser, dan Barbra Streisand.31
Daftar hitam baru AIPAC adalah sebuah publikasi mingguan bernama Activities yang ditujukan untuk menyebut individu-individu dan kelompok-kelompok yang mengecam Israel. AIPAC berusaha menyembunyikan keterkaitannya dengan Activities, dengan memperingatkan para pembacanya agar memanfaatkan materinya "hanya dengan syarat bahwa AIPAC tidak dianggap sebagai sumbernya." Activities dibagikan pada staf regional dan AIPAC Washington, para pemimpin organisasi Yahudi utama, Dewan-dewan Hubungan Komunitas dan Federasi Yahudi di seluruh negeri, serta kedutaan besar Israel dan tokohtokoh Israel tertentu.
Seksi siluman AIPAC akhir-akhir ini diketuai oleh Michael Lewis, putra Orientalis Princeton University Bernard Lewis. Michael Lewis berbicara mengenai Activities: "Pada akhirnya, dari semua informasi yang disebarkan dari AIPAC, Activities barangkah yang paling banyak dicari, dibaca, dan dimanfaatkan untuk mendapatkan manfaat yang baik."32
Menurut Slabodkin, "manfaat yang baik" itu termasuk kampanye fitnah yang diusahakan untuk mencap para aktivis anti-Israel sebagai praktisi "anti-Semitisme baru" --pengecam kebijaksanaan-kebijaksanaan Israel. Slabodkin mengungkapkan bahwa Lewis secara harfiah menyimpan rapat-rapat di kantornya "beratus-ratus berkas mengenai orang-orang dan organisasi-organisasi yang dianggap AIPAC 'anti-Israel.' Di antara para politisi yang muncul dalam berkas-berkas semacam itu adalah mantan Kepala Staf, John Sununu, mantan Menteri Pertahanan pemerintahan Reagan, Caspar Weinberger dan Frank Carlucci, mantan Presiden Jimmy Carter dan mantan kandidat presiden Demokrat George McGovern, Pemimpin Minoritas senat Robert Dole, Senator Republik John Chafee, Tokoh Penggerak Mayoritas DPR David Bonior, dan Wakil Rakyat dari partai demokrat John Conyers, John Dingell, Mervyn Dymally, Mary Rose Oakar, Nick Joe Rahall, James Traficant, Jr., dan banyak lagi lainnya."
Bukan hanya para politisi itu saja yang disebut-sebut dalam koleksi dokumen Lewis. Para anggota media, penghibur, dan akademisi juga terdaftar dalam berkas rahasia AIPAC sebagai musuh-musuh Israel --bahkan Peggy Say, saudara perempuan dari mantan sandera Terry Anderson.
OMONG KOSONG
"Kami tidak pernah mengalihkan pemikiran untuk kepentingan Amerika dan dunia sementara terlibat dalam upaya untuk rnencapai cita-cita Israel yang aman." --Hyman Bookbinder, mantan wakil Komite Yahudi Amerika,198733
FAKTA
Sementara para aktivis Yahudi mengemukakan isu-isu yang begitu beragam seperti hak-hak asasi manusia dan kemiskinan di seluruh dunia, Israel merupakan satu-satunya isu yang dipedulikan oleh AIPAC dan komite-komite aksi politik pro Israel yang membagi-bagikan uang. Memang demikianlah halnya sejak munculnya upaya lobi terorganisasi atas nama Israel pada 1950an. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden AIPAC Davis Steiner pada 1992: "Saya percaya pada kesetiaan politik, dan jika seseorang telah berbuat baik untuk Israel, tidak soal siapa pun dia --bahkan seandainya saudara saya menentang mereka-- saya akan tetap mendukung mereka sebab mereka telah berbuat baik untuk Israel.34
Presiden Richard Nixon mencatat dalam memoarnya: "Salah satu masalah besar yang saya hadapi... adalah sikap pro Israel yang pantang menyerah dan picik di dalam segmen-segmen yang sangat luas dan berpengaruh dari komunitas Yahudi Amerika, Kongres, media, dan di kalangan intelektual dan budaya. Dalam seperempat abad sejak akhir Perang Dunia II sikap ini telah menjadi begitu berurat berakar sehingga banyak yang menganggap bahwa tidak pro Israel berarti anti-Israel, atau bahkan anti-Semit. Saya telah berusaha namun gagal meyakinkan mereka bahwa masalahnya bukanlah demikian."35
Keluhan serupa dikemukakan pada 1956 oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles. Dia mengeluh pada kawan-kawannya: "Saya sadar betapa hampir mustahilnya menjalankan suatu kebijaksanaan luar negeri [di Timur Tengah] yang tidak disetujui oleh orang-orang Yahudi di negeri ini. [Mantan Menteri Luar Negeri George] Marshall dan [mantan Menteri Pertahanan James] Forrestal mengetahui hal itu." Dulles di kemudian hari berbicara tentang "kontrol luar biasa yang dijalankan orang-orang Yahudi atas media berita dan perang kata-kata yang telah ditanamkan orang-orang Yahudi pada para anggota kongres... Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa pengaruh Yahudi di sini sangat menguasai panggung dan membuat Kongres hampir mustahil melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui. Kedutaan Besar Israel praktis mendikte Kongres melalui orang-orang Yahudi yang berpengaruh di negeri ini."36
Pengaruh semacam itu bukan kebetulan. Pelopor AIPAC, Komite Zionis Amerika untuk Urusan Publik, pertama-tama menanyai 750 kandidat Dewan dan Senat pada 1954. Satu-satunya pertanyaan yang diajukan pada setiap kandidat adalah pandangannya terhadap Israel dan Timur Tengah.37 Hal itu seterusnya menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan sikap AIPAC terhadap kandidat tersebut. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine sangat bangga akan fokus tentang Israel. Dia berkata: "Kami berpikiran tunggal mengenai isu tunggal."38
Kesatuan pikiran semacam itulah yang menyebabkan keberhasilan AIPAC yang begitu mengagumkan dalam membantu para pendukung kuat Israel untuk dapat dipilih menjadi anggota Kongres. Keberhasilan itu terutama dari penganggaran dana yang besar untuk kampanye para politisi yang menyuarakan dukungan pada Israel. Meskipun AIPAC secara hukum tidak boleh memberikan uang pada para kandidat, banyak komite aksi politik pro Israel yang bertindak berdasarkan rating kandidat AIPAC dan menyalurkan dana mereka sesuai dengan itu.
Sebuah telaah pada 1991 oleh Pusat untuk Politik Responsif menunjukkan bahwa komite-komite aksi politik (PACs) pro Israel menyumbangkan $4 juta untuk para kandidat kongres dalam pemilihan tahun 1990, dan para penyumbang individual pada PACs tersebut juga menyerahkan $3,6 juta pada kandidat-kandidat yang sama. Semua penerima itu adalah para pendukung kuat Israel. Enam belas orang yang sedang memegang jabatan di Senat menerima lebih dari $100.000 masing-masing dari dua sumber; di antara para penerimanya yang tertinggi adalah Carl Levin (Demokrat dari Michigan), $563.073; Paul Simon (Demokrat dari Illinois), $449.417; Tom Harkin (Demokrat dari Iowa), $344.650; Clairborne Pell (Demokrat dari Rhode Island), $225.811; dan Mitch McConnell (Republik dari Kentucky), $213.900. Penerima tertinggi dari Dewan adalah Mel Levine (Demokrat dari California), $89.779; Sydney R. Yates (Demokrat dari Illinois), $72.250; David R. Obey (Demokrat dari Wisconsin), $57.949; Ron Wyden (Demokrat dari Oregon), $53.340; dan Wayne Owens (Demokrat dari Utah), $52.450.39
The Wall Street Journal melaporkan bahwa delapan puluh PACs pro Israel membelanjakan $6.931.728 dalam pemilihan tahun 1986, yang menjadikan mereka penyumbang terbesar dari PACs di negeri itu. Yang kedua adalah makelar PACs sebanyak $6.290.108, disusul oleh Asosiasi Medis Amerika sebanyak $5.702.133 40 Telaah lain menunjukkan bahwa para senator yang memberikan suara yang mendukung perundang-undangan pro Israel pada 1985-1986 menerima rata-rata $54.223 dari PACs pro Israel; mereka yang memberikan suara sebaliknya menerima rata-rata $166. Para senator yang terpilih atau terpilih kembali pada 1986 menerima $1,9 juta dari PACs pro Israel, hampir tiga kali lipat dari yang mereka kumpulkan dari PACs semua kelompok ideologi lainnya.41
Seperti yang telah ditulis oleh pengarang Edward Tivnan: "Beberapa politisi Amerika yang ambisius tidak dapat memimpikan jabatan yang lebih tinggi tanpa mengharapkan uang Yahudi."42 Wakil Presiden Dan Quayle berkata: "Sebagai orang Amerika Anda mempunyai hak untuk menyuarakan dukungan Anda pada Negara Israel... Akses menuju proses politik bukanlah keistimewaan suatu kelompok. Itu adalah hak."43
Saat berlangsungnya perang 1973, terjadi suatu pertemuan menegangkan antara Laksamana Thomas Moorer, pemimpin Gabungan Kepala Staf, dan atase militer Israel Mordecai Gur. Gur menuntut agar Amerika Serikat memberi Israel pesawat-pesawat tempur yang dilengkapi misil anti-tank udara-ke-darat Maverick. Moorer menjelaskan bahwa Amerika Serikat hanya memiliki satu skuadron pesawat-pesawat semacam itu dan bahwa Kongres "akan mencak-mencak" jika yang itu diberikan. Moorer mengenang: "Gur berkata padaku, 'Anda dapatkan pesawat-pesawat itu; saya akan bereskan Kongres.'" Moorer menambahkan: "Dan dia berhasil. Saya belum pernah melihat seorang Presiden --saya tidak peduli siapa pun dia-- yang berani menentang mereka [orang-orang Israel]. Ini benar-benar memusingkan. Mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan."44
Contoh lain terjadi saat berlangsungnya perang yang sama ketika Israel merasa bahwa Amerika Serikat tidak menyediakan pasokan yang mencukupi baginya. Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Simcha Dinitz, mengancam Menteri Luar Negeri Henry Kissinger bahwa "jika sistem angkutan udara besar-besaran Amerika ke Israel tidak segera dimulai maka saya akan tahu bahwa Amerika Serikat mengingkari janji-janji dan kebijaksanaannya, dan kami harus menarik kesimpulan-kesimpulan sangat serius dari semua ini." Kalb bersaudara, yang banyak mewawancarai Dinitz untuk biografi mereka tentang Kissinger, memberikan penilaian atas perkataan ini: "Dinitz tidak harus menterjemahkan pesannya. Kissinger dengan segera memahami bahwa orang-orang Israel akan segera 'go public' dan bahwa akan timbul sentimen pro Israel yang akan berdampak sangat buruk terhadap pemerintahan yang memang telah lemah itu."45
Contoh intimidasi lainnya melibatkan Presiden Carter dan Menteri Luar Negeri Israel Moshe Dayan. Dalam suatu pertemuan pada 1977 mengenai proses perdamaian, Carter tiba-tiba mengubah pokok pembicaraan dan berkata: "Mari kita bicara politik." Carter mengakui bahwa dia berada dalam kesulitan politik dengan Kongres dan orang-orang Yahudi Amerika. Pengakuan naif ini memberikan pada Dayan suatu keuntungan perundingan yang penting. Dayan memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Dia mengemukakan pada Presiden Carter sejumlah syarat untuk menyetujui perdamaian dengan Mesir: tidak boleh ada tekanan Amerika untuk memaksakan suatu penyelesaian, tidak ada potongan dalam bantuan militer dan ekonomi pada Israel, dan, akhirnya, suatu pernyataan oleh Amerika Serikat bahwa Israel tidak harus kembali ke perbatasan-perbatasan tahun 1967. Jika syarat-syarat ini disetujui Carter, maka "Dayan dapat mengatakan pada orang-orang Yahudi Amerika bahwa persetujuan telah tercapai dan mereka akan senang." Dayan menambahkan: "Namun jika dia mengatakan bahwa Israel berbicara dengan PLO mengenai suatu negara Palestina, maka akan timbul kecaman di Amerika Serikat dan Israel."46 Ini hampir sama dengan pemerasan, menurut pendapat beberapa diplomat AS, namun Carter tidak memprotes apa pun dan hanya mengemukakan pernyataan lunak bahwa suatu konfrontasi juga tidak akan mendatangkan kebaikan pada Israel.47
Pada 1972, Yitzhak Rabin tidak ragu-ragu untuk memberikan dukungan publiknya bagi kampanye pemilihan kembali Richard Nixon ketika Rabin berkedudukan sebagai duta besar Israel di Washington. Dalam suatu wawancara pada radio nasional Israel, Rabin berkata: "Sementara kita menghargai dukungan dalam bentuk kata-kata yang kita dapatkan dari satu kamp, kita harus lebih memilih dukungan dalam bentuk perbuatan yang kita dapatkan dari kamp lainnya."48 The Washington Post merasa begitu tersinggung dengan apa yang disebutnya campur tangan Rabin dalam politik dalam negeri Amerika sehingga dia dengan keras mengecam Rabin dalam sebuah tajuk rencana berjudul: "Diplomat Yang Tidak Diplomatis."49
Pada pertemuan AIPAC tahun 1992, Direktur Eksekutif Dine secara langsung menentang Presiden Bush karena perkataannya pada bulan September sebelumnya yang mengecam upaya-upaya lobi AIPAC untuk mendapatkan garansi pinjaman $10 milyar bagi Israel. Dine mengatakan bahwa Bush telah "mempertanyakan hak para warga negara Amerika... untuk melakukan lobi dalam masalah ini. Tanggal 12 September 1992 menjadi hari kekejian bagi komunitas Amerika pro-Israel. Seperti gajah India, kita tidak akan lupa. Kita tidak akan pergi. Kita ada di sini. Dan kita tidak mau diintimidasi." Dine mengatakan bahwa masalah garansi pinjaman $10 milyar belum lewat: "Kita tidak dapat dan tidak mau menyerah sampai kita berhasil. Pada akhirnya, kita akan berhasil, mendapatkan garansi ini. Tugas kita baru saja dimulai. Kita perlu mendapatkan kawan-kawan baru untuk dibawa ke kongres."50
Pada 1992 AIPAC terkena serangkaian pukulan keras. Pada bulan Agustus Yitzhak Rabin, yang baru menjabat sebagai perdana menteri, secara terbuka mencela organisasi itu. Karena semangatnya untuk melicinkan jalan guna mendapatkan persetujuan Bush yang diharapkan atas garansi pinjaman $10 milyar untuk Israel, dan pada saat yang sama menguatkan kontrol pribadinya atas hubungan AS-Israel, Rabin menujukan kata-kata keras pada para pemimpin AIPAC: "Kalian telah gagal dalam segalanya. Kalian telah kalah perang. Kalian menciptakan terlalu banyak permusuhan." Pada bulan November Presiden AIPAC David Steiner meletakkan jabatannya ketika koran-koran mempublikasikan klaim-klaimnya menyangkut pengaruh lobi yang kuat di kalangan staf presiden terpilih, Bill Clinton.51 Pada pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum, sebagian dari para pendukung lobi yang paling vokal dan dapat dipercaya ternyata kalah; yang menonjol di antara mereka adalah Senator W. Kasten, Jr., dan Wakil Stephen J. Solarz dari New York, Mel Levine dari California, dan Lawrence J. Smith dari Florida.
Meskipun terjadi kemunduran, ramalan-ramalan tentang "pencairan" di AIPAC tidaklah berdasar.52 Dengan anggaran tahunan $15 juta dan lebih dari 55.000 pendukung kuat, banyak di antaranya yang mempunyai pengaruh politik, kelangsungan hidup lobi itu tetap terjamin.
Catatan kaki:
1 Lobi itu pertama-tama dinamakan Dewan Zionis Amerika untuk Urusan Publik dan diubah namanya pada 1959. Untuk sejarah tentang Dewan Zionis Amerika dan evolusinya menjadi AIPAC, lihat Kenen, Israel's Defense Line, 106-7. Pada 1962-1963, wakil ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat J.W. Fulbright menyelidiki AIPAC dan berbagai kelompok yang berkaitan dengannya untuk melihat apakah AIPAC diharuskan untuk mendaftar sebagai agen luar negeri; tetapi tidak ada tindakan yang diambil. Lihat Kenen, Israel's Defense Line, 109.
2 Ada sejumlah telaah yang sangat bagus mengenai lobi Israel, di antaranya Ball, The Passionate Attatchment; Bookbinder dan Abourek, Through Different Eyes; Curtiss, A Changing Image dan Stealth Pacts; Feuerlicht, The Fate of the Jews; Halsell, Propechy and Politics; Isaacs, Jews and American Politics, Lilienthal, The Zionist Connection; Neff, Warriors for Jerusalem; O'Brien, American Jewish Organizations and Israel; Rurenberg, Israel and the American National Interest; Saba, The Armageddon Network, Smith, The Power Game; Tillman, The United States in the Middle East; Tivman, The Lobby.
3 Robert L. Friedman, Washington Post, rubrik Outlook, 1 November 1992.
4 Washington Jewish Week, 18 Juli 1985.
5 David K. Shipler, New York Times, 6 Juli 1987.
6 Eric Alterman, "Pumping Iron," Regardie's, Maret 1988.
7 Kathleen Christison, "Blind Sports: Official U.S. Myths about the Middle East," Journal of Palestine Studies," Musim Dingin 1988.
8 Kenen, Israel's Defense Line, 2-3.
9 Smith, The Power Game, 216.
10 Teks dari pidato Dine, "The Revolution in U.S.-Israel Relations," terdapat dalam "Special Document;" Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1986,134-43. Juga lihat Robert G. Neumann, "1992: A Year of Stalemate in the Peace Process?" Middle East Policy, 1, No. 2 (1992).
11 Dine, "The Revolution in U.S.-Israel Relations."
12 Richard B. Straus, Washington Post, 27 April 1986.
13 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 345-46; Smith, The Power Game, 221; New York Times, 24 Maret 1984; John M. Goshko dan John E. Yang, Washington Post, 7 September 1991.
14 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 346.
15 Bernard Gwertzman, New York Times, 22 Maret 1984.
16 John M. Goshko dan John E. Yang, Washington Post, 7 September 1991.
17 Davis, Myths and Facts, 266.
18 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 258; Smith, The Power Game, 220-24; Tivman, The Lobby, 135-61.
19 Tillman, The United States in the Middle East, 121.
20 A. Craig Murphy, "Congressional Opposition to Arms Sales to Saudi Arabia," American-Arab Afairs, Musim Semi 1988, 106. Suatu analisis yang bagus tentang kejadian itu terdapat dalam Smith, The Power Game, 215-20.
21 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 258; juga lihat Smith, The Power Game, 220-24.
22 Findley, They Dare to Speak Out, 113.
23 Smith, The Power Game, 216.
24 Tivnan, The Lobby, 163.
25 Dari surat perkenalan AIPAC, 1982, dikutip dalam O'Brien, American Jewish Organizations and Israel, 170.
26 Charles McC. Mathias, Jr., "Ethnic Groups and Foreign Policy;" Foreign Affairs, Musim Panas 1981.
27 Gregory D. Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby That Stiffles American Debate," Washington Report on Middle East Affairs, Juli 1992.
28 Amy Kaufman Goott dan Steven J. Rosen, The Campaign to Discredit Israel (Washington, D.C.: American Israel Public Affairs Committee, 1983). Publikasi AIPAC lainnya adalah The AIPAC College Guide: Exposing the Anti-Israel Campaign on Campus, 1984.
29 Rurenberg, Israel and the American National Interest, 338.
30 Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby."
31 Robert L. Friedman, "The Israel Lobby's Blacklist," Village Voice, 4 Agustus 1992.
32 Slabodkin, "The Secret Section in Israel's U.S. Lobby."
33 Bookbinder dan Abourezk, Through Different Eyes, 81.
34 Transkrip dari perkataan David Steiner, 22 Oktober 1992; dapat diperoleh melalui Komite Anti-Diskriminasi Arab-Amerika (Washington D.C.).
35 Nixon, Memoirs, 481.
36 Transkrip dari percakapan telepon Dulles, dikutip dalam Neff, Warriors at Suez, 416.
37 New York Times, 31 Oktober 1954.
38 Tivnan, The Lobby, 253.
39 Charles R. Babcock, Washington Post, 26 September 1991.
40 John J. Fialka, Wall Street Journal, 24 Juni 1987.
41 Edward Roeder, News/Sun- Sentinel (Fort Luderdale, Florida): 28 Juni 1987.
42 Tivnan, The Lobby, 242.
43 John M. Goshko, Washington Post, 8 April 1992.
44 Findley, They Dare to Speak Out, 161.
45 Kalb, Kissinger, 475.
46 Quandt, Camp David, 129.
47 Brzezinski, Power and Principle, 108.
48 Rabin, The Rabin Memoirs, 232; Slater, Rabin of Israel, 186.
49 Washington Post, 11 Juni 1972.
50 Richard C. Gross, Washington Times, 8 April 1992. Kutipan-kutipan itu terdapat dalam Near East Report, 18 Mei 1992.
51 The Economist, 12 November 1992, 28.
52 Village Voice, 7 November 1992, 30.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
frontline defender- MAYOR
- Posts : 6462
Kepercayaan : Islam
Join date : 17.11.11
Reputation : 137
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
kalau israel mau, semua wilayah palestina diduduki dan dikuasainya
kan dia pemenang perang..
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
Dimana ada Yahudi disitu ada kejayaan dan kemakmuran
Dimana ada Muslim disitu ada kekacauan dan kerusuhan
Dimana ada Muslim disitu ada kekacauan dan kerusuhan
Re: kumpulan fakta kemunafikan israel & Yahudi
baik terhadap Israel maupun nonIsrael, Tuhan juga punya kumpulan-kumpulan fakta tentang kemunafikan bangsa-bangsa lain (dalam Kitab KehidupanNya)
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Halaman 2 dari 2 • 1, 2
Similar topics
» Kumpulan Fakta Pendeta Mengedit Alkitab
» Fakta Menarik Kehidupan Islam di Israel
» Yahudi Bisa Jadi Minoritas di Israel..???
» Gereja di Israel Dirusak Esktrimis Yahudi
» Rabbi Yahudi bicara tentang Islam dan Israel
» Fakta Menarik Kehidupan Islam di Israel
» Yahudi Bisa Jadi Minoritas di Israel..???
» Gereja di Israel Dirusak Esktrimis Yahudi
» Rabbi Yahudi bicara tentang Islam dan Israel
Halaman 2 dari 2
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik