Menolak Panteisme
Halaman 1 dari 1 • Share
Menolak Panteisme
Penulis : Ibnu Taimiyah...
Fenomena panteisme adlah penyatuan perpaduan antara melakukan sesuatu yang dicintai, diridhai, dan diperintahkan oleh Allah swt. Caranya adalah dengan melakukan sesuatu yang dibenci, dimurkai, dan dilarang Allah. Terkadang ada yang mengatakan bahwa penyatuan yang berkisar pada dataran sifat “nau’iyyun washfiyyun”, bukan penyatuan antara dua zat, karena penyatuan dua zat itu mustahil dan dilarang. Oleh karena itu, kafirlah orang yang berpendapat bahwa antara Allah dan mahluk itu bisa menyatu. Pendapat tersebut datang dari orang kafir, ekstrem syi’ah rawafidhah dan tukang pertapa, lalu ada lagi pengikut al_hajjaj dan lainnya. Penyatuan Zat tersebut dinamakan Ittihad al-Muqayyad atau penyatuan secara nyata pada benda benda tertentu.
Adapun al-Ittihad al-Muthalaq adlah seperti pendapat para pengikut aliran Wihdatul Wujud yang menyangka bahwa keberadaan mahluk adalah zat dari tuhan itu sendiri. Jika begitu, berarti mereka telah menganggap Allah swt bisa hancur dan mereka menentangNya. Pemikiran itu merupakan puncak dari tindakan syirik. Jika model penyatuan tuhan dengan mahluk ada dua macam, maka kelompok Pantheisme (penitisan tuhan) juga ada dua macam, pertama, kelompok yang menyatakan penitisan tuhan terhadap orang orang tertentu. Kedua adalah mereka yang mengatakan bahwa tuhan bisa menitis melalui semua benda. Ini adalah pengikut aliran al-jamiyyah. Mereka berpendapat bahwa zat Allah ada di mana-mana.
Terkadang seseorang yang sangat mencintai kekasihnya bisa membuat jiwa orang seakan akan menyatu dengan kekasih yang dicintai, dikenang, dikenal, dan dengan wujudnya yang nyata, sehingga ia mampu melihat apapun, kecuali dalam kondisi mabuk cintanya ia mengira bahwa dirinya adalah kekasih yang ia cintai. Sebagaimana dikatakan , “sesungguhnya seorang kekasih telah terjatuh dalam sebuah lautan, lalu orang yang mencintainya ikut menceburkan diri ke lautan, lalu kamu apa yang mendorong kamu menceburkan diri kedalam lautan?” ia menjawab “ aku menjatuhkan diri karena kamu dan aku menyangka bahwa dirimu adalah aku. Tidak diragukan lagi bahwa pikiran tersebut salah fatal dan sesat.
Akan tetapi, jika cinta dan kerinduannya yang mendalam terhadap Allah hingga ia kehilangan akal, tidak menimbulkan sesuatu yang diharamkan, maka selama itu ia akan termpuni. Pada kondisi tersebut Allah akan mengampuni kesalahan omongannya, selagi ia kehilangan akalnya bukan karena hal hal yang dilarang agama. Sebagaimana dikatakan oleh orang orang yang cerdik yang sedang mabuk, “sesungguhnya mereka adalah kaum yang telah diberikan oleh Allah akal dan keadaan, lalu allah menarik kemabali akal akal mereka dan membiarkan keadaan mereka tanpa dengan akal karena itulah Allah telah menggugurkan kewajiban dibebankan kepadanya.”
Akan tetapi, jika yang menyebabakan seseorang kehilangan akalanya adalah sesuatu yang dilarang agama, maka ia tidak mendapat ampunan, sekalipun ia tidak sampai dihukumi kafir menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat, sebagaimana talak yang tidak terjadi jika diucapkan pada saat kehilangan akalnya.
Kesimpulannya adalah siapapun, jika tindakannya mengakibtakan ia mabuk, maka dianggap ia telah kehilangan akal, sekalipun pelakuknya tidak terkena hukum taklif. Oleh karena itu, hal seperti itu tidak pernah terjadi pada diri sahabat selaku umat yang paling utama dan tidak terjadi pula pada diri Nabi saw. selaku rasul yang paling utama. Fenomena kehilangan akal hanya terjadi pada sebagian tabi’in dan orang orang setelahnya ketika berzikir kepada Allah.
Jika kesempurnaan cinta seseorang terhadap Allah mengakibatkan penyatuan atau kesamaan dalam hal yang dicintaiNya, dibenciNya, dikasihiNya, dan diMusuhiNya, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya orang yang mencintai Allah karena memenuhi kewajiban haruslah membenci terhadap musuh musuhNya dan mencintai Jihad yang dicintai Allah, sebagaimana firman-Nya
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. [Qs. 61:4]
Cinta yang sempurna tidak akan terpengaruh oleh celaan orang yang suka mencela dan cacian orang yang suka mencaci. Cacian itu justru menjadikan cintanya semakin menggelora. Mereka adalah orang orang yang tidak takut kepada orang yang mencelanya pada saat mereka akan menumpahkan rasa cintanya dan ridhanya kepada Allah dengan berjihad memerangi musuh musuhNya. Padahal banyak sekali orang yang mencela Jihad. Adapun celaan atas tindakan yang dibenci Allah atau meninggalkan apa yang dicintai Allah, maka celaan itu merupakan celaan yang bagus. Dan sabar menghadapi celaan tersebut bukanlah hal yang terpuji. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus berada dalam kebatilan.
Fenomena panteisme adlah penyatuan perpaduan antara melakukan sesuatu yang dicintai, diridhai, dan diperintahkan oleh Allah swt. Caranya adalah dengan melakukan sesuatu yang dibenci, dimurkai, dan dilarang Allah. Terkadang ada yang mengatakan bahwa penyatuan yang berkisar pada dataran sifat “nau’iyyun washfiyyun”, bukan penyatuan antara dua zat, karena penyatuan dua zat itu mustahil dan dilarang. Oleh karena itu, kafirlah orang yang berpendapat bahwa antara Allah dan mahluk itu bisa menyatu. Pendapat tersebut datang dari orang kafir, ekstrem syi’ah rawafidhah dan tukang pertapa, lalu ada lagi pengikut al_hajjaj dan lainnya. Penyatuan Zat tersebut dinamakan Ittihad al-Muqayyad atau penyatuan secara nyata pada benda benda tertentu.
Adapun al-Ittihad al-Muthalaq adlah seperti pendapat para pengikut aliran Wihdatul Wujud yang menyangka bahwa keberadaan mahluk adalah zat dari tuhan itu sendiri. Jika begitu, berarti mereka telah menganggap Allah swt bisa hancur dan mereka menentangNya. Pemikiran itu merupakan puncak dari tindakan syirik. Jika model penyatuan tuhan dengan mahluk ada dua macam, maka kelompok Pantheisme (penitisan tuhan) juga ada dua macam, pertama, kelompok yang menyatakan penitisan tuhan terhadap orang orang tertentu. Kedua adalah mereka yang mengatakan bahwa tuhan bisa menitis melalui semua benda. Ini adalah pengikut aliran al-jamiyyah. Mereka berpendapat bahwa zat Allah ada di mana-mana.
Terkadang seseorang yang sangat mencintai kekasihnya bisa membuat jiwa orang seakan akan menyatu dengan kekasih yang dicintai, dikenang, dikenal, dan dengan wujudnya yang nyata, sehingga ia mampu melihat apapun, kecuali dalam kondisi mabuk cintanya ia mengira bahwa dirinya adalah kekasih yang ia cintai. Sebagaimana dikatakan , “sesungguhnya seorang kekasih telah terjatuh dalam sebuah lautan, lalu orang yang mencintainya ikut menceburkan diri ke lautan, lalu kamu apa yang mendorong kamu menceburkan diri kedalam lautan?” ia menjawab “ aku menjatuhkan diri karena kamu dan aku menyangka bahwa dirimu adalah aku. Tidak diragukan lagi bahwa pikiran tersebut salah fatal dan sesat.
Akan tetapi, jika cinta dan kerinduannya yang mendalam terhadap Allah hingga ia kehilangan akal, tidak menimbulkan sesuatu yang diharamkan, maka selama itu ia akan termpuni. Pada kondisi tersebut Allah akan mengampuni kesalahan omongannya, selagi ia kehilangan akalnya bukan karena hal hal yang dilarang agama. Sebagaimana dikatakan oleh orang orang yang cerdik yang sedang mabuk, “sesungguhnya mereka adalah kaum yang telah diberikan oleh Allah akal dan keadaan, lalu allah menarik kemabali akal akal mereka dan membiarkan keadaan mereka tanpa dengan akal karena itulah Allah telah menggugurkan kewajiban dibebankan kepadanya.”
Akan tetapi, jika yang menyebabakan seseorang kehilangan akalanya adalah sesuatu yang dilarang agama, maka ia tidak mendapat ampunan, sekalipun ia tidak sampai dihukumi kafir menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat, sebagaimana talak yang tidak terjadi jika diucapkan pada saat kehilangan akalnya.
Kesimpulannya adalah siapapun, jika tindakannya mengakibtakan ia mabuk, maka dianggap ia telah kehilangan akal, sekalipun pelakuknya tidak terkena hukum taklif. Oleh karena itu, hal seperti itu tidak pernah terjadi pada diri sahabat selaku umat yang paling utama dan tidak terjadi pula pada diri Nabi saw. selaku rasul yang paling utama. Fenomena kehilangan akal hanya terjadi pada sebagian tabi’in dan orang orang setelahnya ketika berzikir kepada Allah.
Jika kesempurnaan cinta seseorang terhadap Allah mengakibatkan penyatuan atau kesamaan dalam hal yang dicintaiNya, dibenciNya, dikasihiNya, dan diMusuhiNya, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya orang yang mencintai Allah karena memenuhi kewajiban haruslah membenci terhadap musuh musuhNya dan mencintai Jihad yang dicintai Allah, sebagaimana firman-Nya
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. [Qs. 61:4]
Cinta yang sempurna tidak akan terpengaruh oleh celaan orang yang suka mencela dan cacian orang yang suka mencaci. Cacian itu justru menjadikan cintanya semakin menggelora. Mereka adalah orang orang yang tidak takut kepada orang yang mencelanya pada saat mereka akan menumpahkan rasa cintanya dan ridhanya kepada Allah dengan berjihad memerangi musuh musuhNya. Padahal banyak sekali orang yang mencela Jihad. Adapun celaan atas tindakan yang dibenci Allah atau meninggalkan apa yang dicintai Allah, maka celaan itu merupakan celaan yang bagus. Dan sabar menghadapi celaan tersebut bukanlah hal yang terpuji. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus berada dalam kebatilan.
dhans- SERSAN MAYOR
-
Posts : 595
Location : Jakarta
Join date : 05.07.12
Reputation : 30
Similar topics
» menolak hawa nafsu
» menolak hawa nafsu
» Ketika menolak kenabian Muhammad...
» Kisah Kang_Asepr myQuran menolak Buddha
» pihak kristen menolak piagam jakarta?
» menolak hawa nafsu
» Ketika menolak kenabian Muhammad...
» Kisah Kang_Asepr myQuran menolak Buddha
» pihak kristen menolak piagam jakarta?
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik