menghindari riya
Halaman 1 dari 1 • Share
menghindari riya
Bismillah Walhamdulillah Was Salaatu Was Salaam 'ala Rasulillah
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum wr.wb.
"Yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan atas kamu ialah syirik ashghor, ditanya oleh para sahabat, apa maksudnya ya Rasulullah ? Beliau bersabda: riya' " ( al Hadits)
Mengapa sampai Rasulullah demikian takut riya' atas ummat-nya, dan itu merupakah hal yang paling beliau takuti akan menimpa kaum Muslimin ?
Allah dan rasulnya saja yang tahu. Namun kita ma'fhum bahwa rasa kasih-sayang Rasulullah, rasa cinta beliau kepada ummat ini demikian besar, sedang riya' dapat datang dengan lihainya kedalam hati dan dengannya akan terhapus pahala amaliah seorang Muslimin.
Para ulama mengibartakan riya' seperti semut hitam yang merayap di atas batu hitam di malam gelap gulita. Tak terlihat.
Dia menyelusup halus, merayap, perlahan, lalu akhirnya menikam
hati, mencairkan ikhlash dan memusnahkan pahala. Dia datang
seperti waswaasil khannas, syaithan yang datang secara rahasia,
bersembunyi di dasar hati, menyusup, dan menunggu kesempatan
baik serta kelengahan untuk membolak-balik niat, mengelabuinya,
menundukkannya, lalu akhirnya mendorong kejurang kesesatan.
Itulah cara kerja riya'. Sangat lihai, licin dan berbahaya.
Kalau dia telah menikam hati dan mengelabuinya, maka ibadah yang
semestinya hanya diniatkan untuk Allah semata membias, kabur,
bahkan hati meletup-letup, bersemangat, dan berharap-harap agar
amaliah ini secara zhohir dilihat oleh manusia. Maka dari niat
yang ikhlash tersimpangkan menjadi harapan untuk memamerkannya
kepada manusia, agar manusia melihat ibadahnya, demi sebingkai
pujian, demi sepenggal kehormatan, atau sejumput popularitas.
Domain riya' sebatas hati, refleksinya dalam amal, kecuali
Allah orang lain tak dapat tahu. Inilah syirik ashghor, syirik
kecil.
Imam al Ghazali membagi riya' dalam enam macam; riya' dari
badan; dalam tingkah-laku, dalam berpakaian, dalam ucapan, amal
dan dalam menunjukkan banyaknya murid. Riya' dapat muncul dalam
bentuk ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa dirinya pintar
dan banyak tahu tentang urusan agama. Bentuk ini adalah riya'
yang jelas dan dekat dengan sombong. Yang lebih tersamar lagi,
dia tidak ingin menunjukkan kepintarannya, serta ibadahnya namun
manakala orang lain tidak mengakui eksistensinya, kurang dihormati,
dia merasa heran mengapa orang lain bersikap seperti itu kepadanya.
Dia heran kenapa orang lain tidak tahu kemampuannya. Dia berupaya
bersembunyi-sembunyi untuk beramal, namun manakala orang lain
memergokinya hatinya gembira, lebih gembira ketimbang kepergok
binatang, bahkan berharap-harap agar ada orang yang memergokinya.
Jadi dari segi bentuk ada riya' yang jelas, riya' yang samar
dan riya' yang tersamar. Riya' yang jelas nampak manakala dalam
ibadah yang diketahui orang lain seseorang memperbagus tata-cara,
memperlama sujud dan ruku, seperti nampaknya khusyu', padahal
manakala sendiri dilakukannya ibadah itu secara cepat, enteng dan
memudahkan. Tanpa adanya riya' ini dia tidak dapat beramal seperti
itu, dan merasakan senang dalam beramal karenanya.
Riya' yang samar tidak mampu mewujudkan amal, namun dengannya
menambah semangat untuk beramal. Bila dia bertahajut dan kebetu-
lan ada tamu, bertambah-tambahlah semangatnya. Yang lebih samar
dari ini, adanya orang lain tak memberi semangat amalannya, namun
manakala ketika beramal terlihat oleh orang lain timbul rasa senang
dan puas.
Tingkat yang terakhir adalah riya' tersamar. Dalam tingkatan
ini tak ada rasa senang bila dipergoki sedang melakukan amaliah.
Namun dia merasa heran kalau orang lain bersikap berbeda dengan
apa yang dia harapkan. Heran kalau orang lain merendahkannya,
dan kurang menghormatinya. Kenapa heran ?
Itulah riya' yang sangat halus kerjanya, yang tak pernah dike-
tahui orang lain, namun sungguh berbahaya, dia mampu memberangus
ikhlash, menggeser pahala sampai zero point, dan menyisakan kesia-
siaan pada kita. Lalu kalau ini terjadi pada kita ?
Mari kita berlindung kepada Rabb manusia, Malik manusia, dan
ilah manusia dari godaan waswaasil khannas, yang datang menyelusup
menikam hati, yang membolak-balikan hati dan niat, yang memunculkan
riya'. Dialah satu-satunya Tempat berlindung dan sebaik-baiknya
Tempat berlindung.
R I Y A '
"Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya' kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian" (An Nisaa': 37-38)
Amal yang sarat riya' itu seperti debu melayang, terbang tak membawa kebaikan pada dirinya (Al Furqan:23). Maka Allah mengumpamakan riya' seperti bata licin yang penuh tanah di atasnya,kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih tidak bertanah (Al Baqarah:264). Dan Rasulullah SAW bersabda, "berlindunglah kamu sekalian dari jurang kedukaan! Apakah itu ya Rasulullah ? Beliau menjawab "Sebuah jurang di neraka Jahannam yang disediakan bagi ulama yang riya'". Mengapa demikian ? Karena riya' menghancurkan kualitas amaliah, memutuskan benang penghubung, jalinan hati antara hamba dan Khalik, dan secara tak langsung menihilkan eksistensi Allah Yang Agung.
Riya' dalam hubungannya dengan sesama manusia adalah suatu bentuk penipuan, pengelabuan, kebohongan. Menampakkan kepada sesama manusia akan kehusyu'an ibadah, tawadlu, menampakkan seolah-olah akhli ibadah yang ikhlash, namun sesungguhnya hanya tingkah-laku pamer, berharap perhatian, pujian, dan penghormatan. Tipu-daya yang muncul dari penyakit hati, rasa minder, ketakmampuan diri, cinta sanjungan, penuh harap akan martabat, dan takut akan celaan. Kalau seorang penipu melakukan kebohongan dengan kata-kata dan pengelabuan material yang langsung merugikan orang lain, maka ahlul riya' melakukan penipuan dalam bentuk zhohir ibadah. Akhli riya' menampakkan bibir yang kering karena puasa, menampakkan mata yang kuyu agar terlihat giat tahajjud dlsb., cepat-cepat menanggapi hadits dengan perkataan shahih, mursal dlsb. agar nampak diketahui orang akan kemampuannya menghafal hadits dlsb. Tujuannya satu, agar orang lain tahu bahwa dia adalah akhli ibadah, dia pandai ilmu agama, padahal hatinya kering dari ketundukkan kepada Allah.
Dalam hubungannya dengan Allah, maka riya' tidak lain adalah bentuk pengejekkan, semacam penghinaan tersamar kepada Allah. Riya' menampakkan zhohir ibadah kepada Allah, namun hati diserahkan kepada manusia, dipamerkan kepada manusia untuk mencari sejumput penghargaan manusia. Sementara hakekat diin ini adalah untuk beribadah kepada Allah dalam segenap totalitasnya, dalam segala aspek dan dimensi kehidupan, lalu menjadikan berbagai aktifitas kehidupan itu masuk dalam domain sakralitas, sehingga tak ada yang tersisa dari detik-detik kehidupan manusia selain dalam rangka ibadah, dalam rangka penyembahan kepada Allah SWT dan mengagungkan namaNya, maka riya' justru menumbuhkan arus balik, gerakkan yang melawan totalitas ibadah, bahkan menihilkan ibadah mahdoh (khusus) sekalipun. Dengan riya' semua ibadah menjadi tersekularisasi, mendunia, menjadi profane. Karena ibadah telah dihambakan untuk tujuan-tujuan dunia, untuk kepentingan material belaka, untuk dipamerkan, untuk popularitas, penghargaan, dan kedudukan di hati manusia.
Maka hakekat diin ini tercabut dari dada ahlul riya', hubungan dengan Allah menjadi terputus. Eksistensi Allah sebagai Rabb, yang hati ini mesti dihadapkan kepadaNya, dinihilkan, tak dihiraukan, lalu hati dihadapkan kepada manusia, agar manusia tahu kesalehannya, keikhlasannya, kekhusyu'annya, agar manusia memujinya. Ibadah yang ihsan, yang dilakukan dengan kualitas prima karena seolah-olah kita melihat Allah dan kalaupun kita tidak melihatNya maka Allah melihat kita, disempitkan sebatas zhohirotul ihsan, sebatas jasad belaka, dan bahkan bukan saja tidak diyakini Allah melihat mereka, tapi akhli riya' berharap-harap manusia melihat mereka dalam ibadah, cukup manusia saja. Maka ibadahpun sebatas jasad, sebatas zhohir, dan hati telah diserahkan untuk manusia. Pengawasan manusia demikian mencekam mereka, demikian mereka patuhi ketimbang pengawasan Allah, padahal azab siapakah yang paling pedih ? Inilah syirik kecil.
Dalam ayat di awal tulisan ini, Allah menyamakan akhli riya' dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, bahkan hukuman berupa siksa yang menghinakan telah dipersiapkanNya. Mengapa ? Karena akhli riya' telah mengejek Allah, lebih takut akan pengawasan manusia ketimbang pengawasan Allah, lebih suka pujian manusia ketimbang surga Allah, lebih takut celaan manusia ketimbang neraka Allah, memberikan formalitas untuk Allah sementara hati untuk manusia. Lalu apakah ini ciri orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir ?
Akhirnya mari kita berjuang untuk menghanguskan riya' dari hati kita, mencampakkannya dari kata-kata kita, berjuang dan terus berjuang menegakkan ikhlash. Semoga Allah selalu menolong kita.
Audzu birabbinaas Malikinaas, ilahinaas, minsyarril waswaasil khannaas.
R I Y A '
" Sesungguhnya orang yang riya' itu akan dipanggil di hari kiamat dengan empat nama :
1. ya muraa'i (wahai orang yang riya')
2. ya ghowii (wahai orang yang sesat)
3. ya faajir (wahai orang yang durhaka)
4. ya khaasir (wahai orang yang rugi) "
(Al Hadits)
Itulah panggilan Allah untuk akhli riya'. Sungguh merupakan panggilan yang menghinakan, panggilan yang setiap hati bersih atau akal yang sehat menolaknya, panggilan yang mendirikan bulu roma. Karenanya tak ada pilihan lagi selain membuang sifat ini jauh-jauh dari dasar hati. Riya' mesti diobati.
Dari kitab Ihya' 'ulumuddin dapat dirangkum 3 cara pengobatan riya'. Pertama adalah menjebol akar-akar penyebab riya'. Cara ini adalah terapi pemahaman akan hakekat, sumber, bahaya, dan cara kerja riya'. Setelah itu baru riya' disiasati untuk penyembuhannya.
Riya' sendiri pada hakekatnya muncul dari kesenangan akan lezatnya pujian, takut akan sakitnya celaan, dan tamak akan hal-hal yang dimiliki orang lain. Mengapa orang senang pujian, takut celaan dan suka akan barang orang lain ? Mengapa orang lebih senang akan dunia dan segala rasa manisnya ? Mungkin dari muhasabah akan didapat petunjuk dan jawaban.
Maka adalah wajib bermuhasabah, berefleksi, mengadakan perhitungan untung-rugi antara nikmatnya pujian manusia dengan lezatnya surga Allah, antara pahitnya celaan dengan dahsyatnya azab Allah, antara ketamakan akan harta orang lain dengan ketentraman dalam kasih Allah. Dalam titik ini timbangan kesadaran rasional dan keadilan hati bekerja penuh. Apakah keuntungan sesungguhnya dari riya' ? Apakah dia benar-benar bermanfaat ketimbang bahayanya yang besar ? Berefleksi dalam garis ini akan mengantarkan hati pada pemahaman hakekat, kesadaran akan bahaya, dan pengetahuan tentang riya' yang pada gilirannya akan menggerakkan akal fikiran dan hati untuk menjauhi dan mencegah kedatangannya. Inilah tahap dimana keterjagaan dari buaian riya' diperoleh, tahap dimana hati berkeinginan untuk mengantisipasi, tahap dimana garis keras mulai dimainkan, tahap kesadaran untuk mengambil sikap permusuhan. Secara ringkas tahap pertama ini adalah membuat keterselubungan riya' menjadi transparant, nirkaca, dan tertangkap hakekatnya.
Tahap kedua pengobatan riya' adalah mewujudkan kesadaran dan keterjagaan akan bahaya riya' melalui bentuk pencegahan, tindakan preventif yang menutup peluang munculnya riya'; yakni dengan tidak menampakkan ibadah. Tidak menampakkan baik secara zhohir maupun melalui perkataan-perkataan. Tindakan ini sangat sulit, kecuali untuk orang-orang yang shiddiq. Dengan tidak menampakkan dan memperkatakan ibadah berarti mencegah pengetahuan orang lain, tindakan yang melawan arus riya'. Kalau ini dapat dilaksanakan, maka hati akan selamat dari motif-motif riya'.
Namun demikian, bisa saja amal yang disembunyikan sekalipun akan terlihat orang lain, dan bisa jadi pula pada detik itu timbul rasa senang dan puas, dan bisa jadi rasa senang itu demikian bergelora dan memberi semangat untuk pelaksanaan ibadah selanjutnya dan semangat itu menguasai hati. Itulah detik perjuangan di tahap ketiga pengobatan riya'.
Tahap ketiga adalah penolakan dari dalam hati, manakala riya' datang secara mendadak, menyelusup dan ingin menikam hati. Tahap ini tak lain dilakukan dengan kembali menggambarkan dalam hati akan bahaya riya' dan besarnya murka Allah bagi akhli riya'. Tahap ini bisa jadi muncul dalam masa yang berbeda-beda dengan intensitas yang berbeda-beda.
Akhirnya kepada Allah jua kita mohon pertolongan dalam berjuang melawan riya'. Dan sesungguhnya ikhlash itu adalah hasil latihan, tempaan, dan perjuangan, bukan sesuatu yang diperoleh dengan amat mudahnya. Semoga kita tidak termasuk golongan akhli riya' dan Allah selalu menghindari kita dari perjumpaan dengannya. Amiin.
Hasbunallah wani'mal wakil
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum wr.wb.
"Yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan atas kamu ialah syirik ashghor, ditanya oleh para sahabat, apa maksudnya ya Rasulullah ? Beliau bersabda: riya' " ( al Hadits)
Mengapa sampai Rasulullah demikian takut riya' atas ummat-nya, dan itu merupakah hal yang paling beliau takuti akan menimpa kaum Muslimin ?
Allah dan rasulnya saja yang tahu. Namun kita ma'fhum bahwa rasa kasih-sayang Rasulullah, rasa cinta beliau kepada ummat ini demikian besar, sedang riya' dapat datang dengan lihainya kedalam hati dan dengannya akan terhapus pahala amaliah seorang Muslimin.
Para ulama mengibartakan riya' seperti semut hitam yang merayap di atas batu hitam di malam gelap gulita. Tak terlihat.
Dia menyelusup halus, merayap, perlahan, lalu akhirnya menikam
hati, mencairkan ikhlash dan memusnahkan pahala. Dia datang
seperti waswaasil khannas, syaithan yang datang secara rahasia,
bersembunyi di dasar hati, menyusup, dan menunggu kesempatan
baik serta kelengahan untuk membolak-balik niat, mengelabuinya,
menundukkannya, lalu akhirnya mendorong kejurang kesesatan.
Itulah cara kerja riya'. Sangat lihai, licin dan berbahaya.
Kalau dia telah menikam hati dan mengelabuinya, maka ibadah yang
semestinya hanya diniatkan untuk Allah semata membias, kabur,
bahkan hati meletup-letup, bersemangat, dan berharap-harap agar
amaliah ini secara zhohir dilihat oleh manusia. Maka dari niat
yang ikhlash tersimpangkan menjadi harapan untuk memamerkannya
kepada manusia, agar manusia melihat ibadahnya, demi sebingkai
pujian, demi sepenggal kehormatan, atau sejumput popularitas.
Domain riya' sebatas hati, refleksinya dalam amal, kecuali
Allah orang lain tak dapat tahu. Inilah syirik ashghor, syirik
kecil.
Imam al Ghazali membagi riya' dalam enam macam; riya' dari
badan; dalam tingkah-laku, dalam berpakaian, dalam ucapan, amal
dan dalam menunjukkan banyaknya murid. Riya' dapat muncul dalam
bentuk ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa dirinya pintar
dan banyak tahu tentang urusan agama. Bentuk ini adalah riya'
yang jelas dan dekat dengan sombong. Yang lebih tersamar lagi,
dia tidak ingin menunjukkan kepintarannya, serta ibadahnya namun
manakala orang lain tidak mengakui eksistensinya, kurang dihormati,
dia merasa heran mengapa orang lain bersikap seperti itu kepadanya.
Dia heran kenapa orang lain tidak tahu kemampuannya. Dia berupaya
bersembunyi-sembunyi untuk beramal, namun manakala orang lain
memergokinya hatinya gembira, lebih gembira ketimbang kepergok
binatang, bahkan berharap-harap agar ada orang yang memergokinya.
Jadi dari segi bentuk ada riya' yang jelas, riya' yang samar
dan riya' yang tersamar. Riya' yang jelas nampak manakala dalam
ibadah yang diketahui orang lain seseorang memperbagus tata-cara,
memperlama sujud dan ruku, seperti nampaknya khusyu', padahal
manakala sendiri dilakukannya ibadah itu secara cepat, enteng dan
memudahkan. Tanpa adanya riya' ini dia tidak dapat beramal seperti
itu, dan merasakan senang dalam beramal karenanya.
Riya' yang samar tidak mampu mewujudkan amal, namun dengannya
menambah semangat untuk beramal. Bila dia bertahajut dan kebetu-
lan ada tamu, bertambah-tambahlah semangatnya. Yang lebih samar
dari ini, adanya orang lain tak memberi semangat amalannya, namun
manakala ketika beramal terlihat oleh orang lain timbul rasa senang
dan puas.
Tingkat yang terakhir adalah riya' tersamar. Dalam tingkatan
ini tak ada rasa senang bila dipergoki sedang melakukan amaliah.
Namun dia merasa heran kalau orang lain bersikap berbeda dengan
apa yang dia harapkan. Heran kalau orang lain merendahkannya,
dan kurang menghormatinya. Kenapa heran ?
Itulah riya' yang sangat halus kerjanya, yang tak pernah dike-
tahui orang lain, namun sungguh berbahaya, dia mampu memberangus
ikhlash, menggeser pahala sampai zero point, dan menyisakan kesia-
siaan pada kita. Lalu kalau ini terjadi pada kita ?
Mari kita berlindung kepada Rabb manusia, Malik manusia, dan
ilah manusia dari godaan waswaasil khannas, yang datang menyelusup
menikam hati, yang membolak-balikan hati dan niat, yang memunculkan
riya'. Dialah satu-satunya Tempat berlindung dan sebaik-baiknya
Tempat berlindung.
R I Y A '
"Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya' kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian" (An Nisaa': 37-38)
Amal yang sarat riya' itu seperti debu melayang, terbang tak membawa kebaikan pada dirinya (Al Furqan:23). Maka Allah mengumpamakan riya' seperti bata licin yang penuh tanah di atasnya,kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih tidak bertanah (Al Baqarah:264). Dan Rasulullah SAW bersabda, "berlindunglah kamu sekalian dari jurang kedukaan! Apakah itu ya Rasulullah ? Beliau menjawab "Sebuah jurang di neraka Jahannam yang disediakan bagi ulama yang riya'". Mengapa demikian ? Karena riya' menghancurkan kualitas amaliah, memutuskan benang penghubung, jalinan hati antara hamba dan Khalik, dan secara tak langsung menihilkan eksistensi Allah Yang Agung.
Riya' dalam hubungannya dengan sesama manusia adalah suatu bentuk penipuan, pengelabuan, kebohongan. Menampakkan kepada sesama manusia akan kehusyu'an ibadah, tawadlu, menampakkan seolah-olah akhli ibadah yang ikhlash, namun sesungguhnya hanya tingkah-laku pamer, berharap perhatian, pujian, dan penghormatan. Tipu-daya yang muncul dari penyakit hati, rasa minder, ketakmampuan diri, cinta sanjungan, penuh harap akan martabat, dan takut akan celaan. Kalau seorang penipu melakukan kebohongan dengan kata-kata dan pengelabuan material yang langsung merugikan orang lain, maka ahlul riya' melakukan penipuan dalam bentuk zhohir ibadah. Akhli riya' menampakkan bibir yang kering karena puasa, menampakkan mata yang kuyu agar terlihat giat tahajjud dlsb., cepat-cepat menanggapi hadits dengan perkataan shahih, mursal dlsb. agar nampak diketahui orang akan kemampuannya menghafal hadits dlsb. Tujuannya satu, agar orang lain tahu bahwa dia adalah akhli ibadah, dia pandai ilmu agama, padahal hatinya kering dari ketundukkan kepada Allah.
Dalam hubungannya dengan Allah, maka riya' tidak lain adalah bentuk pengejekkan, semacam penghinaan tersamar kepada Allah. Riya' menampakkan zhohir ibadah kepada Allah, namun hati diserahkan kepada manusia, dipamerkan kepada manusia untuk mencari sejumput penghargaan manusia. Sementara hakekat diin ini adalah untuk beribadah kepada Allah dalam segenap totalitasnya, dalam segala aspek dan dimensi kehidupan, lalu menjadikan berbagai aktifitas kehidupan itu masuk dalam domain sakralitas, sehingga tak ada yang tersisa dari detik-detik kehidupan manusia selain dalam rangka ibadah, dalam rangka penyembahan kepada Allah SWT dan mengagungkan namaNya, maka riya' justru menumbuhkan arus balik, gerakkan yang melawan totalitas ibadah, bahkan menihilkan ibadah mahdoh (khusus) sekalipun. Dengan riya' semua ibadah menjadi tersekularisasi, mendunia, menjadi profane. Karena ibadah telah dihambakan untuk tujuan-tujuan dunia, untuk kepentingan material belaka, untuk dipamerkan, untuk popularitas, penghargaan, dan kedudukan di hati manusia.
Maka hakekat diin ini tercabut dari dada ahlul riya', hubungan dengan Allah menjadi terputus. Eksistensi Allah sebagai Rabb, yang hati ini mesti dihadapkan kepadaNya, dinihilkan, tak dihiraukan, lalu hati dihadapkan kepada manusia, agar manusia tahu kesalehannya, keikhlasannya, kekhusyu'annya, agar manusia memujinya. Ibadah yang ihsan, yang dilakukan dengan kualitas prima karena seolah-olah kita melihat Allah dan kalaupun kita tidak melihatNya maka Allah melihat kita, disempitkan sebatas zhohirotul ihsan, sebatas jasad belaka, dan bahkan bukan saja tidak diyakini Allah melihat mereka, tapi akhli riya' berharap-harap manusia melihat mereka dalam ibadah, cukup manusia saja. Maka ibadahpun sebatas jasad, sebatas zhohir, dan hati telah diserahkan untuk manusia. Pengawasan manusia demikian mencekam mereka, demikian mereka patuhi ketimbang pengawasan Allah, padahal azab siapakah yang paling pedih ? Inilah syirik kecil.
Dalam ayat di awal tulisan ini, Allah menyamakan akhli riya' dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, bahkan hukuman berupa siksa yang menghinakan telah dipersiapkanNya. Mengapa ? Karena akhli riya' telah mengejek Allah, lebih takut akan pengawasan manusia ketimbang pengawasan Allah, lebih suka pujian manusia ketimbang surga Allah, lebih takut celaan manusia ketimbang neraka Allah, memberikan formalitas untuk Allah sementara hati untuk manusia. Lalu apakah ini ciri orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir ?
Akhirnya mari kita berjuang untuk menghanguskan riya' dari hati kita, mencampakkannya dari kata-kata kita, berjuang dan terus berjuang menegakkan ikhlash. Semoga Allah selalu menolong kita.
Audzu birabbinaas Malikinaas, ilahinaas, minsyarril waswaasil khannaas.
R I Y A '
" Sesungguhnya orang yang riya' itu akan dipanggil di hari kiamat dengan empat nama :
1. ya muraa'i (wahai orang yang riya')
2. ya ghowii (wahai orang yang sesat)
3. ya faajir (wahai orang yang durhaka)
4. ya khaasir (wahai orang yang rugi) "
(Al Hadits)
Itulah panggilan Allah untuk akhli riya'. Sungguh merupakan panggilan yang menghinakan, panggilan yang setiap hati bersih atau akal yang sehat menolaknya, panggilan yang mendirikan bulu roma. Karenanya tak ada pilihan lagi selain membuang sifat ini jauh-jauh dari dasar hati. Riya' mesti diobati.
Dari kitab Ihya' 'ulumuddin dapat dirangkum 3 cara pengobatan riya'. Pertama adalah menjebol akar-akar penyebab riya'. Cara ini adalah terapi pemahaman akan hakekat, sumber, bahaya, dan cara kerja riya'. Setelah itu baru riya' disiasati untuk penyembuhannya.
Riya' sendiri pada hakekatnya muncul dari kesenangan akan lezatnya pujian, takut akan sakitnya celaan, dan tamak akan hal-hal yang dimiliki orang lain. Mengapa orang senang pujian, takut celaan dan suka akan barang orang lain ? Mengapa orang lebih senang akan dunia dan segala rasa manisnya ? Mungkin dari muhasabah akan didapat petunjuk dan jawaban.
Maka adalah wajib bermuhasabah, berefleksi, mengadakan perhitungan untung-rugi antara nikmatnya pujian manusia dengan lezatnya surga Allah, antara pahitnya celaan dengan dahsyatnya azab Allah, antara ketamakan akan harta orang lain dengan ketentraman dalam kasih Allah. Dalam titik ini timbangan kesadaran rasional dan keadilan hati bekerja penuh. Apakah keuntungan sesungguhnya dari riya' ? Apakah dia benar-benar bermanfaat ketimbang bahayanya yang besar ? Berefleksi dalam garis ini akan mengantarkan hati pada pemahaman hakekat, kesadaran akan bahaya, dan pengetahuan tentang riya' yang pada gilirannya akan menggerakkan akal fikiran dan hati untuk menjauhi dan mencegah kedatangannya. Inilah tahap dimana keterjagaan dari buaian riya' diperoleh, tahap dimana hati berkeinginan untuk mengantisipasi, tahap dimana garis keras mulai dimainkan, tahap kesadaran untuk mengambil sikap permusuhan. Secara ringkas tahap pertama ini adalah membuat keterselubungan riya' menjadi transparant, nirkaca, dan tertangkap hakekatnya.
Tahap kedua pengobatan riya' adalah mewujudkan kesadaran dan keterjagaan akan bahaya riya' melalui bentuk pencegahan, tindakan preventif yang menutup peluang munculnya riya'; yakni dengan tidak menampakkan ibadah. Tidak menampakkan baik secara zhohir maupun melalui perkataan-perkataan. Tindakan ini sangat sulit, kecuali untuk orang-orang yang shiddiq. Dengan tidak menampakkan dan memperkatakan ibadah berarti mencegah pengetahuan orang lain, tindakan yang melawan arus riya'. Kalau ini dapat dilaksanakan, maka hati akan selamat dari motif-motif riya'.
Namun demikian, bisa saja amal yang disembunyikan sekalipun akan terlihat orang lain, dan bisa jadi pula pada detik itu timbul rasa senang dan puas, dan bisa jadi rasa senang itu demikian bergelora dan memberi semangat untuk pelaksanaan ibadah selanjutnya dan semangat itu menguasai hati. Itulah detik perjuangan di tahap ketiga pengobatan riya'.
Tahap ketiga adalah penolakan dari dalam hati, manakala riya' datang secara mendadak, menyelusup dan ingin menikam hati. Tahap ini tak lain dilakukan dengan kembali menggambarkan dalam hati akan bahaya riya' dan besarnya murka Allah bagi akhli riya'. Tahap ini bisa jadi muncul dalam masa yang berbeda-beda dengan intensitas yang berbeda-beda.
Akhirnya kepada Allah jua kita mohon pertolongan dalam berjuang melawan riya'. Dan sesungguhnya ikhlash itu adalah hasil latihan, tempaan, dan perjuangan, bukan sesuatu yang diperoleh dengan amat mudahnya. Semoga kita tidak termasuk golongan akhli riya' dan Allah selalu menghindari kita dari perjumpaan dengannya. Amiin.
Hasbunallah wani'mal wakil
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» penyakit riya' merusak tauhid
» menghindari kejumudan pemikiran
» menghindari sifat taqlid dan fanatisme kelompok
» menghindari kejumudan pemikiran
» menghindari sifat taqlid dan fanatisme kelompok
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik