nembak akhwat
Halaman 1 dari 1 • Share
nembak akhwat
Menyukai akhwat itu baik dan normal sebagai manusia. Hanya saja, berkaitan dengan cara mengekspresikannya, tentu berbeda dengan gaya non muslim yang tidak paham dengan agama.
Sebagai muslim, kita punya aturan dan tata cara dalam mencintai lawan jenis. Intinya, kencan dan segala macam assessori-nya memang tidak diperkenankan kecuali bila sejalan dengan aturan Islam itu sendiri. Misalnya bila bertemu harus ada mahram yang menemani, tidak berkhalwat, menjaga diri dari zina baik mata, pendengaran, kulit dan lainnya.
Dan pada prinsipnya tidak ada bedanya aturan itu antara mereka yang menyandang gelar ‘akhawat’ dengan yang ‘bukan akhawat’. Selama mereka muslimah, maka semua itu berlaku sama.
Kalau pun ada yang berbeda, lebih dikerenakan masalah kebiasaan atau yang di dalam bahasa syariahnya disebut dengan ‘urf. Dalam masalah ‘urf, boleh-boleh saja setiap budaya dan komunitas saling berbeda. Dan kita wajib pula untuk memperhatikan masalah ‘urf ini, kalau mau dipandang baik oleh komunitas itu. Selama ‘urf itu sendiri tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Mengatakan suka kepada wanita secara langsung dan tegas, mungkin bukan kebiasaan para wanita muslimah di negeri ini. Apalagi dalam dalam komunitas seperti para akhwat itu. Budaya kita tidak terbiasa dengan ungkapan polos seperti itu. Meski pun kalau kita telusuri, justru di masa Rasulullah SAW kita dapati ada wanita yang secara langsung datang kepada beliau dan menawarkan diri untuk dinikahi. Bahkan pernikahan beliau dengan Khadijah pun terjadi karena Khadijah yang melamar beliau.
Tapi di negeri ini dan terutama di komunitas para akhwat, hal itu hampir-hampir tidak pernah terjadi. Sehingga bila ada yang melakukannya, bisa-bisa dianggap tidak sopan dan kurang ajar.
Kalangan ‘akhwat’ biasanya punya ‘urf bahwa urusan nikah selalu melibatkan murabbiyahnya atau ustazahnya. Sebenarnya tujuannya baik, yaitu agar pernikahan itu bisa dikondisikan dengan baik, tidak asal menikah begitu saja dengan calon suami yang belum jelas akhlaq, aqidah dan perilakunya. Istilahnya, harus ada izin dari murabbiyahnya.
Sebenarnya adanya semacam pengawasan dan izin ini asalnya adalah tugas dan wewenang sang ayah. Karena yang sebenarnya berkewajiban mencarikan atau menikahkan seorang anak wanita dengan pasangan yang baik adalah sang ayah.
Sayangnya, fungsi ayah dalam memilihkan calon pasangan untuk anak gadisnya di negeri ini kurang berjalan, terutama dari sisi pertimbangan sisi keagamaannya. Yang justru sering kali terjadi adalah pertimbangan sisi lain seperti status sosial, harta, nasab dan seterusnya. Padahal seorang istri itu sangat besar kemungkinannya dipengaruhi oleh suami. Jangan sampai seorang akhawah yang tadinya sudah rapi berjilbab dan aktif di dalam kegiatan yang islami, lantas menjadi berbalik lantaran punya suami yang tidak terlalu memperhatikan sisi agama.
Karena itulah para murabbiyah jadi ‘terpaksa’ harus lebih berperan aktif dalam masalah ini. Dan dalam banyak kasus, sering juga terkesan lebih dominan dari pada orangtuanya sendiri. Fenomena ini tidak bisa dipungkiri, karena meang sering terjadi.
Kita tidak menyalahkan para murabbiyah yang terkesan over protektif dengan binaannya itu, sehingga TIDAK MENGIZINKAN bila akhawat binaannya menikah dengan pilihannya sendiri. Padahal sang ayah yang sebenarnya wali yang syah justru membolehkannya. Jadi terkesanlah bahwa murabbiyah ini mengambil alih tugas dan wewenang sang ayah.
Namun ketahuilah bahwa kesan seperti itu bukan berarti Islam yang mewajibkan itu. Semua kembali kepada ‘urf yang tadi kami sebutkan. Karena memang ada tipe murabbiyah yang demikian, namun masih banyak yang tidak segalak itu. Bahkan tidak mensyaratkan bahwa calon suaminya itu haruslah seorang aktifis Islam juga.
Memang secara manusiawi, seorang murabbiyah pasti akan merasa berhasil dan berbangga bila akhawat binaannya mendapatkan calon suami seorang aktifis juga. Logikanya, bila suami itu seorang aktifis, maka sinerginya menjadi lebih mudah.
Tapi tentu saja hal itu tidak lahir murni dari tata aturan syariat Islam. Toh Islam sendiri tidak pernah mensyaratkan bahwa seorang akhwat itu harus menikah dengan sesama aktifis yang tercatat sebagai anggota atau penguruh bahkan pejabat dalam parpol tertentu. Islam tidak pernah membedakan manusia berdasarkan parpol, apalagi jama’ah. Yang penting, sisi keagamaan kedua calon pasangan itu baik.
Namun sekali lagi, fenomena perlu adanya izin dari murabbiyah ini adalah sebuah ‘urf yang perlu kita pahami sebagai bagian dari kebiasan sebuah komunitas. Kalau memang perlu mendatanginya, datangi saja dan katakanlah bahwa Anda berminat mempersunting akhwat binaannya itu. Jelaskan juga alasan-alasan Anda dalam masalah ini dan tentunya Anda perlu sedikit meyakinkan sang murabbiyah bahwa Anda pun punya komintmen ke-Islaman yang baik, sehingga layak menjadi suaminya. Ini adalah secara ‘urf.
Tapi secara syar’i, yang harus Anda datangi adalah sang ayah dari akhwat tersebut. Karena secara syar’i, memang seharusnya kepadanyalah Anda datang. Beliaulah yang punya wewenang untuk menikahkan puterinya itu dengan orang yang disetujuinya. Nanti kalau pernikahan itu benar terjadi, maka yang bersalaman mengucapkan ijab kabul adalah Anda dan sang ayah, bukan Anda dengan murabbiyahnya.
Sebagai muslim, kita punya aturan dan tata cara dalam mencintai lawan jenis. Intinya, kencan dan segala macam assessori-nya memang tidak diperkenankan kecuali bila sejalan dengan aturan Islam itu sendiri. Misalnya bila bertemu harus ada mahram yang menemani, tidak berkhalwat, menjaga diri dari zina baik mata, pendengaran, kulit dan lainnya.
Dan pada prinsipnya tidak ada bedanya aturan itu antara mereka yang menyandang gelar ‘akhawat’ dengan yang ‘bukan akhawat’. Selama mereka muslimah, maka semua itu berlaku sama.
Kalau pun ada yang berbeda, lebih dikerenakan masalah kebiasaan atau yang di dalam bahasa syariahnya disebut dengan ‘urf. Dalam masalah ‘urf, boleh-boleh saja setiap budaya dan komunitas saling berbeda. Dan kita wajib pula untuk memperhatikan masalah ‘urf ini, kalau mau dipandang baik oleh komunitas itu. Selama ‘urf itu sendiri tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Mengatakan suka kepada wanita secara langsung dan tegas, mungkin bukan kebiasaan para wanita muslimah di negeri ini. Apalagi dalam dalam komunitas seperti para akhwat itu. Budaya kita tidak terbiasa dengan ungkapan polos seperti itu. Meski pun kalau kita telusuri, justru di masa Rasulullah SAW kita dapati ada wanita yang secara langsung datang kepada beliau dan menawarkan diri untuk dinikahi. Bahkan pernikahan beliau dengan Khadijah pun terjadi karena Khadijah yang melamar beliau.
Tapi di negeri ini dan terutama di komunitas para akhwat, hal itu hampir-hampir tidak pernah terjadi. Sehingga bila ada yang melakukannya, bisa-bisa dianggap tidak sopan dan kurang ajar.
Kalangan ‘akhwat’ biasanya punya ‘urf bahwa urusan nikah selalu melibatkan murabbiyahnya atau ustazahnya. Sebenarnya tujuannya baik, yaitu agar pernikahan itu bisa dikondisikan dengan baik, tidak asal menikah begitu saja dengan calon suami yang belum jelas akhlaq, aqidah dan perilakunya. Istilahnya, harus ada izin dari murabbiyahnya.
Sebenarnya adanya semacam pengawasan dan izin ini asalnya adalah tugas dan wewenang sang ayah. Karena yang sebenarnya berkewajiban mencarikan atau menikahkan seorang anak wanita dengan pasangan yang baik adalah sang ayah.
Sayangnya, fungsi ayah dalam memilihkan calon pasangan untuk anak gadisnya di negeri ini kurang berjalan, terutama dari sisi pertimbangan sisi keagamaannya. Yang justru sering kali terjadi adalah pertimbangan sisi lain seperti status sosial, harta, nasab dan seterusnya. Padahal seorang istri itu sangat besar kemungkinannya dipengaruhi oleh suami. Jangan sampai seorang akhawah yang tadinya sudah rapi berjilbab dan aktif di dalam kegiatan yang islami, lantas menjadi berbalik lantaran punya suami yang tidak terlalu memperhatikan sisi agama.
Karena itulah para murabbiyah jadi ‘terpaksa’ harus lebih berperan aktif dalam masalah ini. Dan dalam banyak kasus, sering juga terkesan lebih dominan dari pada orangtuanya sendiri. Fenomena ini tidak bisa dipungkiri, karena meang sering terjadi.
Kita tidak menyalahkan para murabbiyah yang terkesan over protektif dengan binaannya itu, sehingga TIDAK MENGIZINKAN bila akhawat binaannya menikah dengan pilihannya sendiri. Padahal sang ayah yang sebenarnya wali yang syah justru membolehkannya. Jadi terkesanlah bahwa murabbiyah ini mengambil alih tugas dan wewenang sang ayah.
Namun ketahuilah bahwa kesan seperti itu bukan berarti Islam yang mewajibkan itu. Semua kembali kepada ‘urf yang tadi kami sebutkan. Karena memang ada tipe murabbiyah yang demikian, namun masih banyak yang tidak segalak itu. Bahkan tidak mensyaratkan bahwa calon suaminya itu haruslah seorang aktifis Islam juga.
Memang secara manusiawi, seorang murabbiyah pasti akan merasa berhasil dan berbangga bila akhawat binaannya mendapatkan calon suami seorang aktifis juga. Logikanya, bila suami itu seorang aktifis, maka sinerginya menjadi lebih mudah.
Tapi tentu saja hal itu tidak lahir murni dari tata aturan syariat Islam. Toh Islam sendiri tidak pernah mensyaratkan bahwa seorang akhwat itu harus menikah dengan sesama aktifis yang tercatat sebagai anggota atau penguruh bahkan pejabat dalam parpol tertentu. Islam tidak pernah membedakan manusia berdasarkan parpol, apalagi jama’ah. Yang penting, sisi keagamaan kedua calon pasangan itu baik.
Namun sekali lagi, fenomena perlu adanya izin dari murabbiyah ini adalah sebuah ‘urf yang perlu kita pahami sebagai bagian dari kebiasan sebuah komunitas. Kalau memang perlu mendatanginya, datangi saja dan katakanlah bahwa Anda berminat mempersunting akhwat binaannya itu. Jelaskan juga alasan-alasan Anda dalam masalah ini dan tentunya Anda perlu sedikit meyakinkan sang murabbiyah bahwa Anda pun punya komintmen ke-Islaman yang baik, sehingga layak menjadi suaminya. Ini adalah secara ‘urf.
Tapi secara syar’i, yang harus Anda datangi adalah sang ayah dari akhwat tersebut. Karena secara syar’i, memang seharusnya kepadanyalah Anda datang. Beliaulah yang punya wewenang untuk menikahkan puterinya itu dengan orang yang disetujuinya. Nanti kalau pernikahan itu benar terjadi, maka yang bersalaman mengucapkan ijab kabul adalah Anda dan sang ayah, bukan Anda dengan murabbiyahnya.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» akhwat demam SMS
» kewajiban akhwat terhadap akalnya
» Yang Nembak dan Bunuh Polisi di Papua, Kenapa Tak Disebut Teroris?
» [burung] Cucak Ijo Sang Juara Gacor Ngamuk Full Nembak
» kewajiban akhwat terhadap akalnya
» Yang Nembak dan Bunuh Polisi di Papua, Kenapa Tak Disebut Teroris?
» [burung] Cucak Ijo Sang Juara Gacor Ngamuk Full Nembak
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik