Berkaca dari Kiai Sadrach
Halaman 1 dari 1 • Share
Berkaca dari Kiai Sadrach
Para misionaris dan orientalis berupaya memisahkan identitas Islam dari Jawa untuk melancarkan misi kristenisasi
Islam pada abad XIX menjadi inspirasi utama perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baik yang berskala besar seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh sampai perlawanan yang berskala kecil dalam pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya, dengan melakukan politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan, perpindahan dan pengairan).
Kerstening politiek (politik pengkristenan) merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Sehingga kaum etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di Belanda. Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda).
Kisah Sadrach yang Gagal
Setidaknya, ada dua macam penetrasi Kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab dan pemakaian kebudayaan Jawa. Penerjemahan pertama kali dilakukan oleh Johannes Emde pada 1811. Sedangkan yang mempelopori pemakaian budaya Jawa dalam penginjilan adalah Coenraad Laurens Colen. Konsep Colen inilah yang kemudian berkembang dan disebut inkulturasi. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Kiai Sadrach, Ngibrahim Tunggul Wulung adalah buah dari inkulturasi dalam penginjilan.
Dari deretan nama tadi, Kiai Sadrach merupakan sosok yang paling populer. Ia seorang guru ngelmu (pinisepuh). Dalam mengenalkan kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gerejanya dengan masjid. Dan memang gereja itu gaya bangunannya mirip masjid pada umumnya. Sebelum upacara peribadatan dimulai, sebuah bedhug dipukul dan diakhiri dengan ritual slametan.
Bagi Kiai Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat dalam pandangan Islam.
Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai Muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta Calvinis yang membaptisnya.
Kegagalan Kristen versi Sadrach dan Tunggul Wulung yang dianggap berkepercayaan ganda, separo kristen dan separo Islam, disebabkan integrasi yang sangat kaut pandangan metafisika Islam ke dalam masyarakat Jawa. Selain itu, menjadi kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidup. Di masyarakat, ia akan menyandang gelar wong jawa ilang jawane (orang jawa hilang jawanya), atau jawa wurung landa durung (hilang jawanya, tapi Belanda juga belum). Karena itu, apa yang dilakukan Sadrach maupun Ngabdullah Tunggul Wulung, bisa jadi untuk menghindari resistensi sosial masyarakat sekitar.
Inkulturasi dan Kudeta Kebudayaan
Sepertinya, Van Lith, misionaris Katolik ordo Yesuit, belajar dari kasus Sadrach. Setelah korespondensi panjang dengan Sadrach, dan pengamatan mendalam di lapangan, Van Lith mengubah pola penginjilannya. Dari individu menjadi penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Dengan mendidik anak-anak Jawa sejak kecil, diharapkan akan menghasilkan kekatolikan/kekristenan yang murni. Seiring dicanangkannya politik etis di bidang educatie (pendidikan) di kalangan pribumi, Van Lith lalu mendirikan sekolah calon guru.
Dalam mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan kunjungan kepada para bangsawan kraton dan priyayi, agar menyekolahkan anaknya di Kolese Xaverius (sekolah yang didirikan Van Lith itu). Semua murid yang masuk awalnya adalah Muslim, lalu menjadi Katolik ketika lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut Steenbrink, usaha Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.
Dalam Kolese Xaverius, identitas kejawaan sangat ditekankan, sedangkan segala hal yang berbau Islam dihilangkan. Bahasa Melayu, yang dianggap identik dengan Islam tidak diajarkan, cukup dua bahasa: bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Dengan demikian diharapkan proses integrasi kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna.
Van Lith juga mendidik para muridnya untuk serius mengkaji budaya Jawa. Hasil kajian dari para muridnya itu diterbitkan dalam jurnal St Claverbond, yang diterbitkan di Belanda.
Satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa adalah disertasi dari Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit pada 1935. Dalam disertasinya yang berjudul Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur, Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa, melalui telaahnya terhadap Serat Centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko, meskipun penelitian ilmiah (mengenai kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti, tetapi itu tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr. Zoetmulder setengah abad yang lalu.
Dalam pandangan Zoetmoelder, doktrin manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli tasawuf Islam. Menurutnya, manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit, corak ke Islamannya pun akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India maupun lewat alam religius Hindu Jawa.
Tetap Berlangsung Hingga Kini
Inkulturasi, pada perkembangannya tidak hanya untuk kalangan internal, tapi juga untuk membentuk konsep tentang Jawa. Sehingga dapat dilihat, saat ini pandangan Zoetmulder menjadi mainstream dalam banyak penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan Jawa. Beberapa buku tentang Jawa pada periode berikutnya, masih mengacu pada kerangka berpikir Zoetmulder, bahkan lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa. Dan keseriusan ini terbukti mampu menghasilkan nama-nama besar yang dalam berbagai sisi kebudayaan Jawa, seperti Bagong Kusudiharjo di bidang tari Jawa, SH Mintarja dengan novelnya, Api di Bukit Menoreh, YB Mangunwijaya di bidang arsitektur dan pemberdayaan masyarakat. Dikalangan antropolog ada nama Niels Mulder, penulis buku Mistisisme Jawa; Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Juga ada Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin. Di tingkat nasional kita mengenal Prof. Drijarkara, yang terkenal dengan konsep ’Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekular,’ WJS Poerwadarminto dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Karena itu, jika wajah sinkretik menjadi wajah utama Muslim Jawa, Walisanga ”tertutupi” Syekh Siti Jenar dan munculnya anggapan bahwa aqidah kejawen Manunggaling Kawulo Gusti versi kebatinan dianggap sebagai wakil resmi Muslim Jawa, tidak lain dan tidak bukan adalah buah dari gerakan jangka panjang orientalisme dan misionarisme di Jawa. Setidaknya, bila masyarakat tidak berhasil terkristenkan, paling tidak mereka akan jauh dari agamanya, sebuah wasiat suci Samuel Zwemmer untuk para penginjil. SUARA HIDAYATAULLAH, PEBRUARI 2011
Wallahu ’alam bish showab. *Arif Wibowo
sumber: http://majalah.hidayatullah.com/?p=2292
Penyaran- LETNAN SATU
-
Posts : 2559
Join date : 03.01.12
Reputation : 115
Similar topics
» minta didoakan kiai
» Kasus Kiai Cabuli 9 Santriwati
» haji misbah, kiai setengah komunis
» Dituding Hamili Santriwatinya, Seorang Kiai Dihajar Massa
» [bisa dijual][tidak harus dari kardus, bisa dari triplek] Kreasi kerajinan tangan rak dinding unik minimalis dari kardus bekas
» Kasus Kiai Cabuli 9 Santriwati
» haji misbah, kiai setengah komunis
» Dituding Hamili Santriwatinya, Seorang Kiai Dihajar Massa
» [bisa dijual][tidak harus dari kardus, bisa dari triplek] Kreasi kerajinan tangan rak dinding unik minimalis dari kardus bekas
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik