patung Budha Matreiya
Halaman 1 dari 1 • Share
patung Budha Matreiya
Islam mengharamkan pembuatan patung para nabi. Dan kaum Muslimin khususnya tidak dapat mentolerir patung dari Nabi Muhammad. Tetapi adalah suatu fakta bahwa kita percaya Maitreya yang disebut dalam Kitab-kitab suci Buddhis adalah nabi Islam. Patung-patung Maitreya didirikan oleh kaum Buddhis di seluruh benua Asia, dan mereka mengerjakan itu semuanya semata karena kecintaan dan perhatian mereka kepadanya. Dalam Quran Suci, Tuhan, ketika menggambarkan anugerah-Nya kepada Sulaiman, mewahyukan berikut ini:
“Dan di antara jin ada yang bekerja di hadapan dia dengan izin Tuhannya. Dan barangsiapa di antara mereka berpaling dari perintah Kami, Kami akan membuat dia merasakan siksaan yang menghanguskan. Mereka bekerja untuk dia apa yang ia sukai, berupa kanisah-kanisah, dan patung patung, dan mangkuk-mangkuk (besar) seperti bak air dan periuk-periuk yang tetap. Berbuatlah syukur, wahai keluarga Dawud! Dan sedikit sekali di antara hamba-Ku yang syukur”. (Q.S. 34:12-13)
Dalam ayat-ayat ini jinn itu tiada lain adalah orang-orang asing yang dipekerjakan Sulaiman dalam pemerintahannya dan dicatat dalam pelayanannya, lihat Tawarich; dan patung atau arca dari para malaikat juga disebutkan. (2 Tawarich 2:2-18, 3:10-13).
Mengenai arca atau patung yang dibuat untuk Sulaiman yang disebutkan dalam al-Quran beberapa mufasir berpendapat bahwa mereka adalah patung binatang dan beberapa orang lagi berpendapat bahwa mereka adalah arca para malaikat dan orang-orang lain. Karena itu, para mufassir ini telah mengemukakan pandangannya bahwa, menurut Sulaiman, penegakan patung itu bukanlah dosa atau bertentangan dengan doktrin akidah. Mereka berpendapat, bahwa patung semacam itu hanya haram kalau digunakan untuk keperluan ibadah. Ibrahim adalah seorang mukmin yang teguh dalam keesaan Tuhan dan dia dengan keras menentang berhala. Al-Quran menceriterakan tentang dia:
“Tatkala ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: Arca-arca apakah ini, yang kamu setia menyembahnya?” (Q.S. 21:52).
Betapa pun, suatu bukti yang jelas atas kedatangan Maitreya yang dijanjikan bisa diberikan oleh adanya patung-patung ini. Mereka mendirikannya dengan tujuan mulia dan demi penghormatan kepadanya di negara seperti Afghanistan, Cina, India, Jepang, Sinkiang, Burma dan Sri Lanka. Mereka mengungkapkan kecintaan umat itu kepadanya. Pastilah mereka telah bersusah-payah dalam memahat patung-patung ini, dan ini selanjutnya mengungkapkan kecintaan mereka yang tulus kepada seorang yang mereka harapkan pada suatu masa. Ratusan dan ribuan kaum Buddhis tetap menunggu dia. Sebagai fakta nyata, adalah sungguh luar biasa dan raksasa, betapa kaum Buddhis memahat patungnya di perbukitan batu besar di celah gunung.Di sinilah bangsa Buddhis itu menunjukkan keunikannya dalam kebebasan dan pencapaiannya. Sesungguhnya, agama mereka itu satu dari yang miris dan mengecewakan. Dan inilah sebabnya mengapa tujuan mereka di dunia ini adalah penolakan terhadap segala keinginan tanpa meninggalkan sedikitpun kecintaan kepada sesuatu atau seseorang, cinta, yakni, dalam cita-rasa kata yang tepat.
Mereka, seperti yang mereka yakini, tidak punya harapan untuk pembebasan di dunia ini. Tujuan utama seorang Buddhis adalah penolakan terhadap pertimbangan dan membawa besertanya penindasan terhadap segala hasrat pribadi atau penindasan terhadap pribadinya itu sendiri. Bagi seorang yang tujuan utamanya adalah harapan untuk memusnahkan dirinya, sungguh aneh bahwa dia masih hadir di dunia ini.
Kita telah mendengar bahwa hidup ini sia-sia kecuali harapan untuk hidup. Namun kaum Buddhis mengharapkan hidup dan berdegup kencang untuk suatu perkara, bahkan setelah tujuannya yang memamah habis semua harapan, dan meskipun ini adalah agama yang mengecewakan dan miris. Harapan ini adalah penantian terhadap Maitreya yang dijanjikan. Dan ini bisa menjadi jaminan klaim kaum Buddhis bahwa mereka hidup itu hanya untuk menunggu datangnya Maitreya. Harapan dan ramalan atas kedatangan Maitreya dalam fikiran kaum Buddhis adalah sedemikian mendalam sehingga setiap orang dari mereka siap untuk mengurbankan segalanya demi itu. Kecintaan mereka kepada Dia Yang Dijanjikan telah mengambil giliran yang tak akan musnah dan merasuk ke lubuk hatinya yang paling dalam. Ini jelas tidak saja dari kitab-kitabnya melainkan dari transformasi yang melelahkan bertahun-tahun dalam memahat batu menjadi patung, patung-patung yang indah dari nabi yang dijanjikan itu. Para pematung Buddhis agaknya benar-benar mencurahkan ekpsresinya yang utuh kepada perasaannya yang paling mendalam waktu memahat patung dari dia yang paling dicintai ini, sehingga mereka membuatnya dengan sebaik-baiknya, yang menambah keindahannya.
Demikianlah, fakta ini tidak dapat dilewati ataupun diremehkan, bahwa patung-patung dari Maitreya atau Dia yang Dijanjikan, seperti yang dibangun para pematung Buddhis, bukanlah sekedar batu atau mainan yang dipahat dari batu, tetapi memberi mereka bentuk dari seorang yang sungguh-sungguh dinantikan,; ratusan dan ribuan jiwa yang penuh perasaan pastilah telah mencurahkan citra dan rasanya. Suatu gambaran pendek dari kehangatan dan kasih-sayang ini bisa diberikan di bawah ini:
Kira-kira sepuluh mil di sebelah selatan Beijing ada kuil yang luar biasa besar di Peuansi. Dia mempunyai sebuah balai pertemuan yang besar dengan enam galeri. Pintu kuil itu menghadap ke utara. Di sini terdapat banyak patung, dan bagi setiap orang yang melalui pintu utama, yang paling menarik dari semua patung itu yakni Maitreya (“Chinese Buddhism”, halaman 254).
Tidak hanya di Beijing kita bisa menemukan patung-patung semacam itu, tetapi di seluruh negeri. Ada banyak kuil di mana terdapat Maitreya. Belum tentu apakah para sahabat Nabi mengetahui sesuatu tentang patung dan nubuatan Buddha ini; tetapi adalah fakta bahwa mereka semuanya pertama-tama memutuskan untuk menyiarkan cahaya Islam di Cina. Mereka diperintahkan oleh Nabi Suci “untuk mencari ilmu sejauh mungkin sampai ke Cina”. Sesungguhnya ini mendorong mereka untuk datang ke negeri itu dan karenanya mereka mencapai keberhasilan yang besar dalam menyiarkan Islam di sana.
CINTA HEUN TSANG KEPADA MAITREYA
Heun Tsang, seorang musafir Cina, dilahirkan pada tahun 608 M. Dia melakukan perjalanan dari Cina ke India pada saat dimana dia harus menyusuri rute yang nyaris tak bisa ditembus melalui gunung dan gurun. Sakit yang dideritanya dalam menjalani semua kesulitan dalam perjalanan itu dengan segala cobaan dan hambatan bisa dengan jelas dibayangkan. Dia berjalan kaki sepanjang dan seluas India. Namun mengapa dia mau menempuh segala duka-derita ini? Pastilah ada beberapa cita-cita yang besar. Dia mulai dari Nalanda, Bengal dan mencapai Kaputa. Ini adalah tempat yang penuh dengan kuil. Di pusat kuil-kuil ini ada satu patung raksasa yang dibuat dari sandal wood, yang sangat dihormati karena kebesarannya. Ini diyakini mengatasi hati umat. Dengan keyakinan ini namanya adalah Avlochit Eshvara yang meramalkan masa depan umat. Orang-orang datang dengan bunga-bungaan yang paling harum berwarna-warni yang menarik dan dengan sangat rendah hati mereka merebahkan diri mereka di hadapannya.
Dengan mengingat obyek dimana mereka mendatanginya untuk mohon pertolongan Ilahi, orang-orang melempar rangkaian kembang ke tangan patung itu. Jika rangkaian itu masuk ke tangan dan tetap di sana, maka orang yang menghadiahkannya diperkirakan akan berhasil dalam tujuannya. Sebaliknya, bila seorang makhluk yang malang berdegup kencang hingga tak dapat mencapai tangan dari patung itu, dan tak bisa menempatkan rangkaian bunganya di sana, ini diperkirakan menunjukkan kemalangan, kekecewaan dan masa depan yang kabur dari peziarah itu. Peziarah Cina Heun Tsang muncul di hadapan patung, dan sebagian besar maksud tujuannya dalam perjalanan yang jauh dan panjang itu diungkapkannya dalam tangisnya yang terbit dari lubuk hatinya yang paling dalam, akankah saya bangkit lagi di dunia ini di antara dewa-dewa untuk melayani Maitreya yang diberkahi? Dengan keinginan inilah dia melemparkan rangkaian bunganya ke tangan sang patung, berkata: “Bila hasratku terpenuhi, dewa akan menerima rangkaian kembangku” Dengan keberuntungannya yang besar patung itu menerima rangkaian bunganya”.
(“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset French, halaman 174).
Dan dengan tuntasnya keseluruhan perjalanan itu sang musafir melupakan semua kesakitan dan
penderitaannya di sepanjang jalan. Dia menemukan ketenteraman yang luar-biasa. Lagi, karena kecintaan dan perhatiannya kepada Maitreya yang mendorongnya ke Kuil Sarnath di Benares. Dia datang untuk melihat tempat yang disebut Bara Singa. Ini adalah tempat suci dimana Buddha
ditunjukkan suatu rukyah tentang Maitreya. Dan raja Ashoka membangun satu tugu untuk menghormati tempat suci tersebut (“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 154).
Suatu kali dia berkata: Saya sungguh-sungguh ingin memberikan hadiah dari perbuatan tulusku kepada beberapa orang lain, sedangkan sebaliknya saya bisa dibalas dengan dibangkitkan lagi secara baru di antara dewa pada saat Maitreya yang agung, dan karenanya mempunyai kesempatan untuk melayaninya, karena Maitreya adalah gabungan dari rahmat dan kasih. Dia selanjutnya berkata: Wahai, engkau yang diberkati, semua sujud dan sembahyangku adalah bagimu, dan engkau sendirilah, kepada siapa segenap ilmu itu dianugerahkan. Wahai Tathagata, saya begitu sungguh-sungguh ingin melihat wajahmu, yang penuh kasih, kebajikan dan simpati.
Saya ingin bangkit lagi setelah kematianku sebagai sahabatmu.
Dengan doa ini Heun Tsang menyerahkan jiwanya. (“In the footsteps of Buddha”, halaman 256).
Ini membawa penjelasan atas kasih yang mendalam yang berkobar di hati musafir Cina itu terhadap nabi yang dijanjikan dan yang mengurbankan seluruh jiwa-raganya demi cinta ini.
Seorang pengembara yang lain, Iching, mengungkapkan cintanya kepada Maitreya sebagai berikut ini:
Saya sungguh-sungguh tak mengharap sesuatu lagi dalam hidupku kecuali empat pemenuhan bagi Cina dan dunia Buddhis:
Ilmu dan Kitab-kitab suci.
Berkumpulnya segenap manusia di bawah satu pohon.
Bertemunya dengan Nabi yang Dijanjikan.
Pencapaian atas kesadaran-diri yang Sempurna.
(In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 273).
“Dan di antara jin ada yang bekerja di hadapan dia dengan izin Tuhannya. Dan barangsiapa di antara mereka berpaling dari perintah Kami, Kami akan membuat dia merasakan siksaan yang menghanguskan. Mereka bekerja untuk dia apa yang ia sukai, berupa kanisah-kanisah, dan patung patung, dan mangkuk-mangkuk (besar) seperti bak air dan periuk-periuk yang tetap. Berbuatlah syukur, wahai keluarga Dawud! Dan sedikit sekali di antara hamba-Ku yang syukur”. (Q.S. 34:12-13)
Dalam ayat-ayat ini jinn itu tiada lain adalah orang-orang asing yang dipekerjakan Sulaiman dalam pemerintahannya dan dicatat dalam pelayanannya, lihat Tawarich; dan patung atau arca dari para malaikat juga disebutkan. (2 Tawarich 2:2-18, 3:10-13).
Mengenai arca atau patung yang dibuat untuk Sulaiman yang disebutkan dalam al-Quran beberapa mufasir berpendapat bahwa mereka adalah patung binatang dan beberapa orang lagi berpendapat bahwa mereka adalah arca para malaikat dan orang-orang lain. Karena itu, para mufassir ini telah mengemukakan pandangannya bahwa, menurut Sulaiman, penegakan patung itu bukanlah dosa atau bertentangan dengan doktrin akidah. Mereka berpendapat, bahwa patung semacam itu hanya haram kalau digunakan untuk keperluan ibadah. Ibrahim adalah seorang mukmin yang teguh dalam keesaan Tuhan dan dia dengan keras menentang berhala. Al-Quran menceriterakan tentang dia:
“Tatkala ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: Arca-arca apakah ini, yang kamu setia menyembahnya?” (Q.S. 21:52).
Betapa pun, suatu bukti yang jelas atas kedatangan Maitreya yang dijanjikan bisa diberikan oleh adanya patung-patung ini. Mereka mendirikannya dengan tujuan mulia dan demi penghormatan kepadanya di negara seperti Afghanistan, Cina, India, Jepang, Sinkiang, Burma dan Sri Lanka. Mereka mengungkapkan kecintaan umat itu kepadanya. Pastilah mereka telah bersusah-payah dalam memahat patung-patung ini, dan ini selanjutnya mengungkapkan kecintaan mereka yang tulus kepada seorang yang mereka harapkan pada suatu masa. Ratusan dan ribuan kaum Buddhis tetap menunggu dia. Sebagai fakta nyata, adalah sungguh luar biasa dan raksasa, betapa kaum Buddhis memahat patungnya di perbukitan batu besar di celah gunung.Di sinilah bangsa Buddhis itu menunjukkan keunikannya dalam kebebasan dan pencapaiannya. Sesungguhnya, agama mereka itu satu dari yang miris dan mengecewakan. Dan inilah sebabnya mengapa tujuan mereka di dunia ini adalah penolakan terhadap segala keinginan tanpa meninggalkan sedikitpun kecintaan kepada sesuatu atau seseorang, cinta, yakni, dalam cita-rasa kata yang tepat.
Mereka, seperti yang mereka yakini, tidak punya harapan untuk pembebasan di dunia ini. Tujuan utama seorang Buddhis adalah penolakan terhadap pertimbangan dan membawa besertanya penindasan terhadap segala hasrat pribadi atau penindasan terhadap pribadinya itu sendiri. Bagi seorang yang tujuan utamanya adalah harapan untuk memusnahkan dirinya, sungguh aneh bahwa dia masih hadir di dunia ini.
Kita telah mendengar bahwa hidup ini sia-sia kecuali harapan untuk hidup. Namun kaum Buddhis mengharapkan hidup dan berdegup kencang untuk suatu perkara, bahkan setelah tujuannya yang memamah habis semua harapan, dan meskipun ini adalah agama yang mengecewakan dan miris. Harapan ini adalah penantian terhadap Maitreya yang dijanjikan. Dan ini bisa menjadi jaminan klaim kaum Buddhis bahwa mereka hidup itu hanya untuk menunggu datangnya Maitreya. Harapan dan ramalan atas kedatangan Maitreya dalam fikiran kaum Buddhis adalah sedemikian mendalam sehingga setiap orang dari mereka siap untuk mengurbankan segalanya demi itu. Kecintaan mereka kepada Dia Yang Dijanjikan telah mengambil giliran yang tak akan musnah dan merasuk ke lubuk hatinya yang paling dalam. Ini jelas tidak saja dari kitab-kitabnya melainkan dari transformasi yang melelahkan bertahun-tahun dalam memahat batu menjadi patung, patung-patung yang indah dari nabi yang dijanjikan itu. Para pematung Buddhis agaknya benar-benar mencurahkan ekpsresinya yang utuh kepada perasaannya yang paling mendalam waktu memahat patung dari dia yang paling dicintai ini, sehingga mereka membuatnya dengan sebaik-baiknya, yang menambah keindahannya.
Demikianlah, fakta ini tidak dapat dilewati ataupun diremehkan, bahwa patung-patung dari Maitreya atau Dia yang Dijanjikan, seperti yang dibangun para pematung Buddhis, bukanlah sekedar batu atau mainan yang dipahat dari batu, tetapi memberi mereka bentuk dari seorang yang sungguh-sungguh dinantikan,; ratusan dan ribuan jiwa yang penuh perasaan pastilah telah mencurahkan citra dan rasanya. Suatu gambaran pendek dari kehangatan dan kasih-sayang ini bisa diberikan di bawah ini:
Kira-kira sepuluh mil di sebelah selatan Beijing ada kuil yang luar biasa besar di Peuansi. Dia mempunyai sebuah balai pertemuan yang besar dengan enam galeri. Pintu kuil itu menghadap ke utara. Di sini terdapat banyak patung, dan bagi setiap orang yang melalui pintu utama, yang paling menarik dari semua patung itu yakni Maitreya (“Chinese Buddhism”, halaman 254).
Tidak hanya di Beijing kita bisa menemukan patung-patung semacam itu, tetapi di seluruh negeri. Ada banyak kuil di mana terdapat Maitreya. Belum tentu apakah para sahabat Nabi mengetahui sesuatu tentang patung dan nubuatan Buddha ini; tetapi adalah fakta bahwa mereka semuanya pertama-tama memutuskan untuk menyiarkan cahaya Islam di Cina. Mereka diperintahkan oleh Nabi Suci “untuk mencari ilmu sejauh mungkin sampai ke Cina”. Sesungguhnya ini mendorong mereka untuk datang ke negeri itu dan karenanya mereka mencapai keberhasilan yang besar dalam menyiarkan Islam di sana.
CINTA HEUN TSANG KEPADA MAITREYA
Heun Tsang, seorang musafir Cina, dilahirkan pada tahun 608 M. Dia melakukan perjalanan dari Cina ke India pada saat dimana dia harus menyusuri rute yang nyaris tak bisa ditembus melalui gunung dan gurun. Sakit yang dideritanya dalam menjalani semua kesulitan dalam perjalanan itu dengan segala cobaan dan hambatan bisa dengan jelas dibayangkan. Dia berjalan kaki sepanjang dan seluas India. Namun mengapa dia mau menempuh segala duka-derita ini? Pastilah ada beberapa cita-cita yang besar. Dia mulai dari Nalanda, Bengal dan mencapai Kaputa. Ini adalah tempat yang penuh dengan kuil. Di pusat kuil-kuil ini ada satu patung raksasa yang dibuat dari sandal wood, yang sangat dihormati karena kebesarannya. Ini diyakini mengatasi hati umat. Dengan keyakinan ini namanya adalah Avlochit Eshvara yang meramalkan masa depan umat. Orang-orang datang dengan bunga-bungaan yang paling harum berwarna-warni yang menarik dan dengan sangat rendah hati mereka merebahkan diri mereka di hadapannya.
Dengan mengingat obyek dimana mereka mendatanginya untuk mohon pertolongan Ilahi, orang-orang melempar rangkaian kembang ke tangan patung itu. Jika rangkaian itu masuk ke tangan dan tetap di sana, maka orang yang menghadiahkannya diperkirakan akan berhasil dalam tujuannya. Sebaliknya, bila seorang makhluk yang malang berdegup kencang hingga tak dapat mencapai tangan dari patung itu, dan tak bisa menempatkan rangkaian bunganya di sana, ini diperkirakan menunjukkan kemalangan, kekecewaan dan masa depan yang kabur dari peziarah itu. Peziarah Cina Heun Tsang muncul di hadapan patung, dan sebagian besar maksud tujuannya dalam perjalanan yang jauh dan panjang itu diungkapkannya dalam tangisnya yang terbit dari lubuk hatinya yang paling dalam, akankah saya bangkit lagi di dunia ini di antara dewa-dewa untuk melayani Maitreya yang diberkahi? Dengan keinginan inilah dia melemparkan rangkaian bunganya ke tangan sang patung, berkata: “Bila hasratku terpenuhi, dewa akan menerima rangkaian kembangku” Dengan keberuntungannya yang besar patung itu menerima rangkaian bunganya”.
(“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset French, halaman 174).
Dan dengan tuntasnya keseluruhan perjalanan itu sang musafir melupakan semua kesakitan dan
penderitaannya di sepanjang jalan. Dia menemukan ketenteraman yang luar-biasa. Lagi, karena kecintaan dan perhatiannya kepada Maitreya yang mendorongnya ke Kuil Sarnath di Benares. Dia datang untuk melihat tempat yang disebut Bara Singa. Ini adalah tempat suci dimana Buddha
ditunjukkan suatu rukyah tentang Maitreya. Dan raja Ashoka membangun satu tugu untuk menghormati tempat suci tersebut (“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 154).
Suatu kali dia berkata: Saya sungguh-sungguh ingin memberikan hadiah dari perbuatan tulusku kepada beberapa orang lain, sedangkan sebaliknya saya bisa dibalas dengan dibangkitkan lagi secara baru di antara dewa pada saat Maitreya yang agung, dan karenanya mempunyai kesempatan untuk melayaninya, karena Maitreya adalah gabungan dari rahmat dan kasih. Dia selanjutnya berkata: Wahai, engkau yang diberkati, semua sujud dan sembahyangku adalah bagimu, dan engkau sendirilah, kepada siapa segenap ilmu itu dianugerahkan. Wahai Tathagata, saya begitu sungguh-sungguh ingin melihat wajahmu, yang penuh kasih, kebajikan dan simpati.
Saya ingin bangkit lagi setelah kematianku sebagai sahabatmu.
Dengan doa ini Heun Tsang menyerahkan jiwanya. (“In the footsteps of Buddha”, halaman 256).
Ini membawa penjelasan atas kasih yang mendalam yang berkobar di hati musafir Cina itu terhadap nabi yang dijanjikan dan yang mengurbankan seluruh jiwa-raganya demi cinta ini.
Seorang pengembara yang lain, Iching, mengungkapkan cintanya kepada Maitreya sebagai berikut ini:
Saya sungguh-sungguh tak mengharap sesuatu lagi dalam hidupku kecuali empat pemenuhan bagi Cina dan dunia Buddhis:
Ilmu dan Kitab-kitab suci.
Berkumpulnya segenap manusia di bawah satu pohon.
Bertemunya dengan Nabi yang Dijanjikan.
Pencapaian atas kesadaran-diri yang Sempurna.
(In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 273).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: patung Budha Matreiya
SEORANG PANGERAN CINA MENDAMBAKAN MAITREYA
Seorang pangeran Cina jatuh cinta dengan Maitreya yang tidak nampak. Dia berusaha mengungkapkan perasaan cintanya. Dia Yang-dijanjikan yang tercinta belum tiba dan tak kepada seorangpun dia bisa sujud di kakinya ataupun menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Dalam wasiatnya segera sebelum dia meninggal dunia, dia mengungkapkan cintanya kepada Nabi yang dijanjikan itu dengan kata-kata yang sangat memukau. Dia menyatakan hasratnya untuk membelanjakan seluruhnya kepada Maitreya yang sangat dicintainya. Dia menyatakan: Saya, abdi Buddha, Si-Shant, tinggal sebatang-kara setelah kematian kedua orang-tua saya. Sebelum memindahkan sebatang pohon, saya menaruh perhatian yang sangat besar kepada orang tua saya. Berkali-kali saya memohon ke Langit, tetapi tak ada tanda-tanda yang ditunjukkan sebagai balasan. Saya ingin memberikan diri saya kepada ruh yang murni dan suci, sehingga saya bisa lepas dari kesunyian ini. Saya ingin membelanjakan seluruh harta kekayaan yang diwariskan kepada saya, sehingga patung itu, bisa dipahat dengan segala daya. Di tengah mereka biarlah patung Maitreya diukir dan di belakangnya Kshiti Garbha (seorang Buddha kuno). (“In the footsteps of Buddha”, halaman 326-327). Kata-kata dari pangeran yang dikisahkan ini mengungkapkan dalamnya kecintaan dan perhatiannya kepada nabi yang dijanjikan. Dia mengurbankan seluruh harta bendanya untuk memberikan ekspresi kepada cintanya yang beruratberakar itu dalam bentuk patung-patung.
FAHIAN DALAM PENCARIANNYA ATAS MAITREYA
Seorang musafir Cina terkenal yang lain, Fahian, mengatur perjalanannya dari Cina untuk mencari Maitreya. Dia mencapai India, dan kemudian melintasi hutan serta gurun yang belum pernah dirambah orang sampai di Provinsi Frontier. Di sana dia melihat sebuah patung Maitreya di sebuah kuil kuno. Kaum Buddhis sungguh-sungguh tertarik akan kebenaran Dia yang Dijanjikan, dan sebabnya mengapa mereka sanggup menjalani cobaan dan kesulitan hidup dalam pengembaraannya ke negeri-negeri yang sangat jauh, ribuan mil dari rumah, lebih lanjut dikomentari oleh Sir Charles Elliot sebagai berikut:
“Peziarah Cina menyebut patung-patung dan situs yang berkaitan dengan Maitreya tetapi rupanya, juga, penuh dengan suatu pengabdian pribadi kepadanya dan menganggap dia berwenang melindungi keimanannya di saat menunggu penampakannya di bumi”.
Dan lagi dalam “Hinduism and Buddhism” dia menulis:
Setelah Avlochit dan Manjusri menurut akidah Buddha Maitreya adalah pribadi yang penting, bahkan disebut “Ajeeta” yang berarti mustahil ditaklukkan. Menurut kitab suci Pali Dia adalah satu-sanya yang Dijanjikan. Dia tidak satu peringkat dengan para Buddha yang lain, tetapi akan di atas semuanya. Mengenai sifatnya, semua Buddha adalah yang terpilih dari ras manusia. Namun, Maitreya adalah seorang yang diberi status istimewa karena kecintaannya kepada umat manusia. Dia yang Dijanjikan dianggap sedang berbaring untuk menunggu turunnya dari ketinggian.
Mengenai warnanya, wajahnya adalah keemasan.
Patungnya, tinggi dan sangat berkesan, telah dipilih sedemikian seolah mengungkapkan kebiasaan orang barat yang tidak seperti Buddha dimana kedua kakinya bersila. Patung-patungnya diketemukan mula pertama di Kandhara. Satu patung yang sangat terkenal ada di Udian Nagar (sekarang Provinsi Northwest, Pakistan) yang telah disebutkan oleh Fahian, musafir Cina, dalam buku harian perjalanannya. Ini adalah satu patung yang sangat tua.
Dia menulis: Saya melihat satu patung Maitreya yang luar biasa besarnya di India utara, setinggi kira-kira 120 kaki. Pada festival khusus cahaya bersinar darinya. Raja-raja sekitar menyerahkan kurban kepadanya.
Seorang pengembara Cina yang lain, Huen Tsang, menulis lebih lanjut dengan menggambarkan bahwa ini adalah karya seorang murid terkemuka Buddha, yang bernama Ananda. Aslinya ini adalah tugu yang dibangun di sana sebagai peresmian atas nubuatan Buddha bahwa dia akan digantikan oleh Maitreya dan dia ini kelak akan menjadi tuan dari Langit setelah memperoleh titel Buddha yang tercerahkan.
Kelihatannya Fahian salah di sini. Sesungguhnya patung tinggi itu terdapat di Udian Nagar, sedangkan tugu itu terdapat dekat Benares, seperti yang telah kita sebutkan di atas. Cinta, kehangatan, pengabdian, perasaan dan pengurbanan dari para pencinta Maitreya ini jelas bisa dibayangkan. Betapa tidak kenal lelahnya para pematung dan orang-orang yang gila agama ini yang memahat gunung-gunung raksasa untuk memberikan ekspresi atas cinta mereka yang mendalam terhadap Dia yang Dijanjikan. Ini bukanlah tugas yang mudah. Ini memerlukan segenap kecerdasan, kerja keras dan harta kekayaan. Untuk membikin sebuah patung berkilauan pada zaman itu, dari mana cahaya itu bisa bersinar pasti merupakan eksperimen dari nalar yang sangat cerdas.
Pengurbanan yang dilakukan oleh raja dan pangeran mengungkap cinta mereka terhadap laki-laki, atas mana dibayangkan patung yang akan dibuatnya. Sebagai fakta nyata, tak ada bangsa lain yang demikian bersungguh-sungguh dan penuh pengabdian dalam mempersiapkan kedatangan Dia yang Dijanjikan kecuali umat ini.
Dalam biara dan kuil di Cina ada ukiran di kayu dan dinding batu yang luar biasa dan mengagumkan. Nyaris semua kuil di Cina menghadap ke selatan, dan semuanya kelihatannya dibangun dengan suatu bentuk yang mirip. Di tengah dari kuil itu adalah satu patung yang mengagumkan, dimana orang-orang menyebutnya: Mi-li-fo, yang berarti “Buddha yang akan datang”. Patung itu rupanya dari seorang pribadi yang berani dan sangat tulus. Dadanya lebar dan terbuka. Ada senyum di wajahnya. Ini adalah wakil dari bayangan Maitreya yang mengagumkan, yang diungkap oleh kuil Buddhis di Cina.
Beberapa peramal Buddhis Cina berpendapat bahwa Dia yang Dijanjikan, yang dirujuk oleh patung yang mengagumkan itu, akan muncul 3,000 tahun setelah Buddha wafat, dan bahwa dia adalah benar-benar satu penjelmaannya yang asli. (“Chinese Buddhism”, oleh Edkins, halaman 240).
MAITREYA DI PULAU JAWA
Patung-patung di Jawa terkenal karena tingginya. Selanjutnya, mereka itu yang paling indah dan menarik. Ini terutama di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Yang terkenal diantara ini adalah tiang di kiri-kanan yang merupakan galeri dari setiap patung. Diriwayatkan bahwa ini dibangun pada tahun 850 M. Dalam bentuknya tidak ada sentuhan dari arsitektur Hindu. Ini benar-benar seni Buddhis. Pada galeri ke tiga, terlihat patung Maitreya, yang agaknya sedang mengajar para sahabatnya. Peziarah dan pengabdi mengelilinginya dan memberikan ungkapan cinta dan pengabdian. Di samping ini, di mana terdapat lima patung Buddha yang menarik, ada satu Maitreya, yang dibuat mengatasi yang lain.
Adalah suatu kebetulan yang mengagumkan bahwa gambaran fisik Maitreya yang dilukiskan dalam kitab Buddhis berbahasa Sanskerta “Lalit vistara” persis sama dengan potret Maitreya yang ada di galeri pertama dari candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi ini dibangun pada tahun 750 M.
MAITREYA DI CEYLON
Pada waktu merosotnya Buddhisme, Ceylon diperintah oleh seorang raja bernama Dhatusen. Dia membangun satu patung besar untuk mengenang Maitreya. Untuk rincian sepenuhnya silahkan melihat “Buddhism Primitive and Present in Magadha Ceylon”, oleh S.R. Compleston A.D.
Musafir Cina Fahian, menulis dalam catatan perjalanannya bahwa dia menemukan patrung Maitreya di banyak tempat di Ceylon, meskipun negeri itu dihuni oleh kaum ateis dan non-religius.
Ini mengungkap fakta, bahwa apapun keyakinan orang dalam agamanya, mereka dengan sungguhsungguh menunggu nabi yang dijanjikan itu.
MAITREYA DI TIBET
Seperti negeri-negeri Buddhis lain, Tibet yang bergunung-gunung tidak lepas dari patung Maitreya.
Dalam bahasa Tibet atau dalam istilah keagamaan dari bangsa Tibet dalam kata ‘Champa’ yang menunjuk kepada kembang kuning yang harum. Dan ini disebutkan dalam kitab sucinya sebagai “Bardo”. Bangsa Tibet sangat berharap akan kedatangannya seperti umat dari negeri Buddhis lainnya. (“Tibetan Book of the Dead”, oleh Evens Wentz, halaman 101)
Karena itu atas perintah Dalai Lama, sebuah patung yang luar-biasa besar setinggi sekitar 80 kaki dibangun di Tibet mewakili Maitreya. Ini dilapis emas, sehingga semoga Maitreya bisa menerimanya dan segera datang ke dunia. (“Manual of Buddhism”, oleh S.R.Hardy).
Dalam “Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, halaman 98-99, ditemui di sana, bahwa:
“Amita-bha, berarti cahaya yang tak ternilai. Di antara Buddha yang tak terhitung ada satu, yakni Amita-bha, Buddha dari terbenamnya matahari, dewa dari cahaya yang tak terbatas, yang bersyukur atas janji lamanya, dia telah memenangkan bagi dirinya kebahagian dalam mengendalikan alam semesta, di mana tiada lagi tujuan yang jahat. Orang-orang dari negeri itu, sama dengan dewata kita. Tiada yang lain kecuali Boddhisatva dan hanya sedikit Arhat; dunia itu benar-benar tanah yang bahagia (suatu Sukhavati), atau seperti yang dikatakan Vishnupurana suatu Sukha. Meskipun Maitreya mempunyai suatu surga di tanah di mana Amita-bha memanggil orang-orang pilihannya, dan kepada siapa dia memberi mereka pertolongan dari dua Bodthisatva yang Besar. Amita-bha pada suatu saat nyaris berbeda dari Sakyamuni yang abadi (teratai dari hukum yang benar); datang dan dianggap sebagai Buddha yang setengah-abadi, yang berinkarnasi di bawah munculnya bayangan Sakyamuni yang manusiawi”. (19).
MAITREYA DI ASIA TENGAH
Di samping India dan negeri yang disebut di atas, patung-patung Maitreya juga didapati sampai sejauh Asia Tengah. Sebagai fakta nyata, nubuatan atas kedatangan Dia yang Dijanjikan itu diukir di negeri yang kelak menjadi lapangan penyiaran Islam. Sir Charles Eliot menulis: “Suatu kuil Maitreya telah diketemukan di Turfan, Asia Tengah, dengan suatu inskripsi Cina yang menyatakan dia sebagai dewa yang aktif dan dermawan, yang menampakkan dirinya dalam banyak sifat mulia”. Inilah Muhammad.
Seorang pangeran Cina jatuh cinta dengan Maitreya yang tidak nampak. Dia berusaha mengungkapkan perasaan cintanya. Dia Yang-dijanjikan yang tercinta belum tiba dan tak kepada seorangpun dia bisa sujud di kakinya ataupun menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Dalam wasiatnya segera sebelum dia meninggal dunia, dia mengungkapkan cintanya kepada Nabi yang dijanjikan itu dengan kata-kata yang sangat memukau. Dia menyatakan hasratnya untuk membelanjakan seluruhnya kepada Maitreya yang sangat dicintainya. Dia menyatakan: Saya, abdi Buddha, Si-Shant, tinggal sebatang-kara setelah kematian kedua orang-tua saya. Sebelum memindahkan sebatang pohon, saya menaruh perhatian yang sangat besar kepada orang tua saya. Berkali-kali saya memohon ke Langit, tetapi tak ada tanda-tanda yang ditunjukkan sebagai balasan. Saya ingin memberikan diri saya kepada ruh yang murni dan suci, sehingga saya bisa lepas dari kesunyian ini. Saya ingin membelanjakan seluruh harta kekayaan yang diwariskan kepada saya, sehingga patung itu, bisa dipahat dengan segala daya. Di tengah mereka biarlah patung Maitreya diukir dan di belakangnya Kshiti Garbha (seorang Buddha kuno). (“In the footsteps of Buddha”, halaman 326-327). Kata-kata dari pangeran yang dikisahkan ini mengungkapkan dalamnya kecintaan dan perhatiannya kepada nabi yang dijanjikan. Dia mengurbankan seluruh harta bendanya untuk memberikan ekspresi kepada cintanya yang beruratberakar itu dalam bentuk patung-patung.
FAHIAN DALAM PENCARIANNYA ATAS MAITREYA
Seorang musafir Cina terkenal yang lain, Fahian, mengatur perjalanannya dari Cina untuk mencari Maitreya. Dia mencapai India, dan kemudian melintasi hutan serta gurun yang belum pernah dirambah orang sampai di Provinsi Frontier. Di sana dia melihat sebuah patung Maitreya di sebuah kuil kuno. Kaum Buddhis sungguh-sungguh tertarik akan kebenaran Dia yang Dijanjikan, dan sebabnya mengapa mereka sanggup menjalani cobaan dan kesulitan hidup dalam pengembaraannya ke negeri-negeri yang sangat jauh, ribuan mil dari rumah, lebih lanjut dikomentari oleh Sir Charles Elliot sebagai berikut:
“Peziarah Cina menyebut patung-patung dan situs yang berkaitan dengan Maitreya tetapi rupanya, juga, penuh dengan suatu pengabdian pribadi kepadanya dan menganggap dia berwenang melindungi keimanannya di saat menunggu penampakannya di bumi”.
Dan lagi dalam “Hinduism and Buddhism” dia menulis:
Setelah Avlochit dan Manjusri menurut akidah Buddha Maitreya adalah pribadi yang penting, bahkan disebut “Ajeeta” yang berarti mustahil ditaklukkan. Menurut kitab suci Pali Dia adalah satu-sanya yang Dijanjikan. Dia tidak satu peringkat dengan para Buddha yang lain, tetapi akan di atas semuanya. Mengenai sifatnya, semua Buddha adalah yang terpilih dari ras manusia. Namun, Maitreya adalah seorang yang diberi status istimewa karena kecintaannya kepada umat manusia. Dia yang Dijanjikan dianggap sedang berbaring untuk menunggu turunnya dari ketinggian.
Mengenai warnanya, wajahnya adalah keemasan.
Patungnya, tinggi dan sangat berkesan, telah dipilih sedemikian seolah mengungkapkan kebiasaan orang barat yang tidak seperti Buddha dimana kedua kakinya bersila. Patung-patungnya diketemukan mula pertama di Kandhara. Satu patung yang sangat terkenal ada di Udian Nagar (sekarang Provinsi Northwest, Pakistan) yang telah disebutkan oleh Fahian, musafir Cina, dalam buku harian perjalanannya. Ini adalah satu patung yang sangat tua.
Dia menulis: Saya melihat satu patung Maitreya yang luar biasa besarnya di India utara, setinggi kira-kira 120 kaki. Pada festival khusus cahaya bersinar darinya. Raja-raja sekitar menyerahkan kurban kepadanya.
Seorang pengembara Cina yang lain, Huen Tsang, menulis lebih lanjut dengan menggambarkan bahwa ini adalah karya seorang murid terkemuka Buddha, yang bernama Ananda. Aslinya ini adalah tugu yang dibangun di sana sebagai peresmian atas nubuatan Buddha bahwa dia akan digantikan oleh Maitreya dan dia ini kelak akan menjadi tuan dari Langit setelah memperoleh titel Buddha yang tercerahkan.
Kelihatannya Fahian salah di sini. Sesungguhnya patung tinggi itu terdapat di Udian Nagar, sedangkan tugu itu terdapat dekat Benares, seperti yang telah kita sebutkan di atas. Cinta, kehangatan, pengabdian, perasaan dan pengurbanan dari para pencinta Maitreya ini jelas bisa dibayangkan. Betapa tidak kenal lelahnya para pematung dan orang-orang yang gila agama ini yang memahat gunung-gunung raksasa untuk memberikan ekspresi atas cinta mereka yang mendalam terhadap Dia yang Dijanjikan. Ini bukanlah tugas yang mudah. Ini memerlukan segenap kecerdasan, kerja keras dan harta kekayaan. Untuk membikin sebuah patung berkilauan pada zaman itu, dari mana cahaya itu bisa bersinar pasti merupakan eksperimen dari nalar yang sangat cerdas.
Pengurbanan yang dilakukan oleh raja dan pangeran mengungkap cinta mereka terhadap laki-laki, atas mana dibayangkan patung yang akan dibuatnya. Sebagai fakta nyata, tak ada bangsa lain yang demikian bersungguh-sungguh dan penuh pengabdian dalam mempersiapkan kedatangan Dia yang Dijanjikan kecuali umat ini.
Dalam biara dan kuil di Cina ada ukiran di kayu dan dinding batu yang luar biasa dan mengagumkan. Nyaris semua kuil di Cina menghadap ke selatan, dan semuanya kelihatannya dibangun dengan suatu bentuk yang mirip. Di tengah dari kuil itu adalah satu patung yang mengagumkan, dimana orang-orang menyebutnya: Mi-li-fo, yang berarti “Buddha yang akan datang”. Patung itu rupanya dari seorang pribadi yang berani dan sangat tulus. Dadanya lebar dan terbuka. Ada senyum di wajahnya. Ini adalah wakil dari bayangan Maitreya yang mengagumkan, yang diungkap oleh kuil Buddhis di Cina.
Beberapa peramal Buddhis Cina berpendapat bahwa Dia yang Dijanjikan, yang dirujuk oleh patung yang mengagumkan itu, akan muncul 3,000 tahun setelah Buddha wafat, dan bahwa dia adalah benar-benar satu penjelmaannya yang asli. (“Chinese Buddhism”, oleh Edkins, halaman 240).
MAITREYA DI PULAU JAWA
Patung-patung di Jawa terkenal karena tingginya. Selanjutnya, mereka itu yang paling indah dan menarik. Ini terutama di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Yang terkenal diantara ini adalah tiang di kiri-kanan yang merupakan galeri dari setiap patung. Diriwayatkan bahwa ini dibangun pada tahun 850 M. Dalam bentuknya tidak ada sentuhan dari arsitektur Hindu. Ini benar-benar seni Buddhis. Pada galeri ke tiga, terlihat patung Maitreya, yang agaknya sedang mengajar para sahabatnya. Peziarah dan pengabdi mengelilinginya dan memberikan ungkapan cinta dan pengabdian. Di samping ini, di mana terdapat lima patung Buddha yang menarik, ada satu Maitreya, yang dibuat mengatasi yang lain.
Adalah suatu kebetulan yang mengagumkan bahwa gambaran fisik Maitreya yang dilukiskan dalam kitab Buddhis berbahasa Sanskerta “Lalit vistara” persis sama dengan potret Maitreya yang ada di galeri pertama dari candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi ini dibangun pada tahun 750 M.
MAITREYA DI CEYLON
Pada waktu merosotnya Buddhisme, Ceylon diperintah oleh seorang raja bernama Dhatusen. Dia membangun satu patung besar untuk mengenang Maitreya. Untuk rincian sepenuhnya silahkan melihat “Buddhism Primitive and Present in Magadha Ceylon”, oleh S.R. Compleston A.D.
Musafir Cina Fahian, menulis dalam catatan perjalanannya bahwa dia menemukan patrung Maitreya di banyak tempat di Ceylon, meskipun negeri itu dihuni oleh kaum ateis dan non-religius.
Ini mengungkap fakta, bahwa apapun keyakinan orang dalam agamanya, mereka dengan sungguhsungguh menunggu nabi yang dijanjikan itu.
MAITREYA DI TIBET
Seperti negeri-negeri Buddhis lain, Tibet yang bergunung-gunung tidak lepas dari patung Maitreya.
Dalam bahasa Tibet atau dalam istilah keagamaan dari bangsa Tibet dalam kata ‘Champa’ yang menunjuk kepada kembang kuning yang harum. Dan ini disebutkan dalam kitab sucinya sebagai “Bardo”. Bangsa Tibet sangat berharap akan kedatangannya seperti umat dari negeri Buddhis lainnya. (“Tibetan Book of the Dead”, oleh Evens Wentz, halaman 101)
Karena itu atas perintah Dalai Lama, sebuah patung yang luar-biasa besar setinggi sekitar 80 kaki dibangun di Tibet mewakili Maitreya. Ini dilapis emas, sehingga semoga Maitreya bisa menerimanya dan segera datang ke dunia. (“Manual of Buddhism”, oleh S.R.Hardy).
Dalam “Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, halaman 98-99, ditemui di sana, bahwa:
“Amita-bha, berarti cahaya yang tak ternilai. Di antara Buddha yang tak terhitung ada satu, yakni Amita-bha, Buddha dari terbenamnya matahari, dewa dari cahaya yang tak terbatas, yang bersyukur atas janji lamanya, dia telah memenangkan bagi dirinya kebahagian dalam mengendalikan alam semesta, di mana tiada lagi tujuan yang jahat. Orang-orang dari negeri itu, sama dengan dewata kita. Tiada yang lain kecuali Boddhisatva dan hanya sedikit Arhat; dunia itu benar-benar tanah yang bahagia (suatu Sukhavati), atau seperti yang dikatakan Vishnupurana suatu Sukha. Meskipun Maitreya mempunyai suatu surga di tanah di mana Amita-bha memanggil orang-orang pilihannya, dan kepada siapa dia memberi mereka pertolongan dari dua Bodthisatva yang Besar. Amita-bha pada suatu saat nyaris berbeda dari Sakyamuni yang abadi (teratai dari hukum yang benar); datang dan dianggap sebagai Buddha yang setengah-abadi, yang berinkarnasi di bawah munculnya bayangan Sakyamuni yang manusiawi”. (19).
MAITREYA DI ASIA TENGAH
Di samping India dan negeri yang disebut di atas, patung-patung Maitreya juga didapati sampai sejauh Asia Tengah. Sebagai fakta nyata, nubuatan atas kedatangan Dia yang Dijanjikan itu diukir di negeri yang kelak menjadi lapangan penyiaran Islam. Sir Charles Eliot menulis: “Suatu kuil Maitreya telah diketemukan di Turfan, Asia Tengah, dengan suatu inskripsi Cina yang menyatakan dia sebagai dewa yang aktif dan dermawan, yang menampakkan dirinya dalam banyak sifat mulia”. Inilah Muhammad.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: patung Budha Matreiya
Ratusan dan ribuan kaum Buddhis tetap menunggu dia. Sebagai fakta nyata, adalah sungguh luar biasa dan raksasa, betapa kaum Buddhis memahat patungnya di perbukitan batu besar di celah gunung.Di sinilah bangsa Buddhis itu menunjukkan keunikannya dalam kebebasan dan pencapaiannya. Sesungguhnya, agama mereka itu satu dari yang miris dan mengecewakan. Dan inilah sebabnya mengapa tujuan mereka di dunia ini adalah penolakan terhadap segala keinginan tanpa meninggalkan sedikitpun kecintaan kepada sesuatu atau seseorang, cinta, yakni, dalam cita-rasa kata yang tepat.
Awalnya wkt msh kecil sy lihat ya ampun ajaran Buddha ini kok derita, derita, derita terus sih...kesannya tragis banget. Tetapi setelah sy dapat guru dhamma yg bener, barulah saya tau utk yg dimaksud derita itu adalah "ketidakpuasan", jd "rasa senang" juga derita, karena psti kt tidak puas/tidak rela kalau2 kesenangan kt berakhir, rasa "cinta" di antara kekasih ini jg derita, selalu timbul ketidaktenangan/ketakutan kalau2 dia akan meninggalkan kita. Dan ternyata batin saya sepaham dengan yang dimaksud, karena saya juga merasakannya (konsep Ehipassiko terpakai). Lalu guru dhamma saya bilang: ajaran Buddha tidak optimis berlebih(tdk memberi harapan kosong) juga tidak pesimis (karena jelas2 Buddha kasih obat ke kita dengan Faktor ke-4 Kesunyataan Mulia, Jalan Menuju Nibbhana). Agama Buddha adalah realistis. Sejak saat itu sy tdk pernah menganggap ajaran Buddha itu miris lagi, melainkan realistis mengungkap segala sesuatu sebagaimana adanya, bukannya segala sesuatu yg kita ingin dengar.
Kecintaan pada sesuatu atau seseorang justru itu yg anti banget di ajaran Buddha, dalam pengertian kemelakatan yg dihasilkannya. Oleh karena dy terlalu suka ama suatu barang atau mencintai seseorang, bisakah dy membiarkan dirinya lepas dari kemelekatan? Namun yg tetap dibina umat Buddha adalah cinta kasih universal terhadap semua makhluk, oleh karena adanya rasa ini, barulah seseorang bs berniat berbuat baik pada orang lain secara universal. Dan kata yang tepat mengenai upaya para Buddhis bukannya menolak keinginan tetapi memadamkan keinginan...utk menolak itu mudah, abaikan saja, tp dy masih ada di sana. Sedangkan tujuannya umat Buddha adalah mencabut2 sampai ke akar2, untuk itulah dy mengakui (bukan menolak) ada suatu penyakit, barulah penyakit itu bisa disembuhkan...
Mereka, seperti yang mereka yakini, tidak punya harapan untuk pembebasan
di dunia ini. Tujuan utama seorang Buddhis adalah penolakan terhadap
pertimbangan dan membawa besertanya penindasan terhadap segala hasrat
pribadi atau penindasan terhadap pribadinya itu sendiri. Bagi seorang
yang tujuan utamanya adalah harapan untuk memusnahkan dirinya, sungguh
aneh bahwa dia masih hadir di dunia ini.
Justru meyakini suatu hari Derita ini bisa diakhiri baru milih Jalan yang bisa Mengakhiri-nya toh? Aneh banget klo ga yakin bisa selamat, ngapain susah2 ngikutin jalan Buddha?
"Penolakan terhadap pertimbangan", apa maksudnya "pertimbangan" di sini? Sok atuh dijelaskan, setahu saya malah ajaran Buddha itu yg paling unik meminta orang2 utk menanyakan segala sesuatu, biarpun itu ajaran Buddha sendiri, dan kataNya: datang, lihatlah, buktikanlah. Masa sih bisa disebut menolak pertimbangan?
Orang yg sdh mencapai Nibbhana tidak membawa apa2 lagi, tidak ada diri, tidak ada ras tertindas lagi, pun tidak ada rasa sudah mengalahkan diri. Jadi kalimat tersebut salah. (...membawa besertanya penindasan terhadap segala hasrat
pribadi atau penindasan terhadap pribadinya itu sendiri)
Kenapa dengan tujuan seperti itu, msh hadir di dunia? Kan untuk menjadi Buddha, butuh terlahir sebagai manusia untuk menyempurnakan KebuddhaanNya. Definisi Buddha sendiri adalah gelar yang diperolah manusia yang tercerahkan. Perhatikan kata "manusia". Dan lebih penting lagi, dy mempromosikan nilai2 luhur, menambah alasan mengapa dunia mengharapkan figur seperti itu.
Salah agama Buddha menyembah Boddhisatva Maitreya? Ya ga salah lah, Boddhisatva Maitreya kan adalah miliknya siapa saja yang meyakininya, dalam hal ini terutama umat Buddhis Mahayana. Kalau Islam resah dengan hal ini, sy cuma pengen kasih saran: sudah diteliti dengan betul2 kalau Maitreya ini adalah nabi sucinya Islam? Yang ditakutkan ternyata yg Anda maksud adalah beda orangnya. Soalnya kalau kamu cari org yg hilang, ketemu yg mirip di suatu tempat, terus udah dijelasin: org ini karakteristiknya ini xxxxxx, mirip2 tapi perbedaannya ckp besar! Tp si pencari org hilang tetap ngotot, salah siapa? Ya lebih bijaksana, buatalah satu keterangan khusus Maitreya Islam seperti apa, dan sembahlah ia kalau seandainya berminat. Begini lebih bijak...
Emiliana- SERSAN MAYOR
-
Posts : 258
Kepercayaan : Budha
Location : apa penting
Join date : 04.05.13
Reputation : 5
Similar topics
» Para Biksu Budha Buat RUU Pelarangan Pernikahan Budha dan Muslim
» Mengapa patung dan gambar itu HARAM?
» patung obama di toilet gedung putih
» Aksi Cium Patung Yesus, apa tujuannya?
» islam VS Budha
» Mengapa patung dan gambar itu HARAM?
» patung obama di toilet gedung putih
» Aksi Cium Patung Yesus, apa tujuannya?
» islam VS Budha
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik