Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Halaman 1 dari 1 • Share
Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Hadirnya istilah Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20 membawa warna tersendiri terhadap corak keislaman di Nusantara, Minangkabau Khususnya. Perdebatan panjang tersebut dimulai ketika munculnya kecaman para pembaharu terhadap amalan dan tradisi keislaman yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, juga menyangkut ketidak absahan ajaran Tarekat yang dianut oleh kebanyakan Masyarakat Minangkabau waktu itu. Beredarnya risalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mengecam Tarekat Naqsyabandiyah membuat pertikaian kedua kelompok ini semakin alot dan meluas kewilayah-wilayah khilafiyah.
Mereka –kaum muda. pen- menggunakan berbagai metode untuk melancarkan dakwah mereka, ada dengan bertabligh, ada juga dengan debat terbuka dengan ulama-ulama Tua. B.J.O. Schrieke mencatat bahwa di Padang pernah terjadi perdebatan antara kaum Tua dan kaum Muda, yang dikenal dengan nama rapat Seribu Ulama, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1919. Di samping itu, mereka juga menggunakan majalah-majalah sebagai media mengungkapan buah pikiran dan ide, bahkan sekali-sekali juga menjadi wadah polemik dengan lawan mereka yang dapat dibaca oleh khalayak ramai. Sehingga di pusat-pusat kegiatan Kaum Muda muncullah Majalah-majalah seperti al-Moenir yang diterbitkan pada tahun 1910 di Padang, al-Achbar pada tahun 1919, al-Ittifaq wa Iftiraq dan sebagainya. Begitulah sepak terjang kaum muda.
Di pihak lain Kaum Tua, tak kecil pula usaha yang mereka tempuh untuk menolak segala tuduhan yang dilontarkan para pembaharu tersebut, dan mereka tak pula disokong oleh pribadi-pribadi kecil yang kolot sesuai namanya; Kaum Kuno, namun Kaum Tua mampu menolak segala prasangka tersebut dengan kedalaman ilmu yang mereka warisi, keilmiahan yang tercermin dari tulisan-tulisan yang banyak. Ketokohan kaum Tuapun tak dapat disangkal jasanya dalam penyebaran Islam dan perjuangan kemerdekaan di Minangkabau. Begitupun dalam berpolemik, merekapun mampu mempertahankan keyakinan yang dianut. . Dan kitapun menemui dalam cacatan sejarah betapa ulama-ulama Tua sangat berperan dalam pendidikan Islam dan dalam mendirikan organisasi persatuan Ulama, misalnya organisasi Ittihad Ulama Sumatera yang didirikan pada tahun 1912 di Bukittinggi sebagai wadah Kaum Tua di Minangkabau.
Dari berbagai realitas tersebut, jelas bahwa kaum Tua begitu konsisten dengan paham yang mereka anut dari dulunya. Ini terlihat dari keilmuan dan amalan mereka yang tetap mereka pertahankan sebagai tradisi yang selalu terpakai dan terpelihara melalui Transmisi keilmuan “kitab kuning”. Sebab dinamai kaum Tua, menurut Imam Maulana Abdul Manaf ialah para ulama dan kaum muslimin yang tetap memakai faham lama, yaitu konsisten dalam Mazhab Syafi’i, berittiqat dengan ittiqat Ahl Sunnah wal Jama’ah dan tetap berpegang dengan Tarekat-tarekat Mu’tabarah sebagai konsekwensi bertasawwuf, yang mana kebanyakan mereka yang teguh terhadap faham ini ialah mereka-mereka yang sudah tua, itulah sebab dinamai kaum Tua.
Begitulah hal yang berlaku dihampir wilayah nusantara, khususnya Minangkabau. Pergolakan-pergolakan keagamaan dalam bentuk perang dingin antara Kaum Muda dan Kaum Tua mewarnai aktifitas keislaman diawal abad ke-20, hingga saat ini, pertentangan-pertentangan masa lalu tersebut masih terasa.
Dalam tulisan ini kita akan melihat Eksistensi Kaum Tua di Minangkabau. Sebagai faham yang mula-mula hadir seiring dengan masuknya Islam, Kaum Tua telah banyak menorehkan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam dengan tinta emas, yang hingga kini pengaruh dari semangat beragama masa lalu itu masih berbekas pada jiwa murid-murid yang dulu pernah mengenyam pendidikan dari ulama-ulama tua. Namun dalam tulisan ini, kita akan membatasi batasan kita dengan eksistensi ulama Tua di Luak nan Bungsu, Luak Lima Puluh Kota, yang merupakan salah satu basis Islam periode awal di Minangkabau. Disamping itu, Luak nan Bungsu juga pernah menjadi sentra pendidikan Islam ala Surau yang melahirkan banyak ulama-ulama besar di Minangkabau masa lalu.
Mereka –kaum muda. pen- menggunakan berbagai metode untuk melancarkan dakwah mereka, ada dengan bertabligh, ada juga dengan debat terbuka dengan ulama-ulama Tua. B.J.O. Schrieke mencatat bahwa di Padang pernah terjadi perdebatan antara kaum Tua dan kaum Muda, yang dikenal dengan nama rapat Seribu Ulama, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1919. Di samping itu, mereka juga menggunakan majalah-majalah sebagai media mengungkapan buah pikiran dan ide, bahkan sekali-sekali juga menjadi wadah polemik dengan lawan mereka yang dapat dibaca oleh khalayak ramai. Sehingga di pusat-pusat kegiatan Kaum Muda muncullah Majalah-majalah seperti al-Moenir yang diterbitkan pada tahun 1910 di Padang, al-Achbar pada tahun 1919, al-Ittifaq wa Iftiraq dan sebagainya. Begitulah sepak terjang kaum muda.
Di pihak lain Kaum Tua, tak kecil pula usaha yang mereka tempuh untuk menolak segala tuduhan yang dilontarkan para pembaharu tersebut, dan mereka tak pula disokong oleh pribadi-pribadi kecil yang kolot sesuai namanya; Kaum Kuno, namun Kaum Tua mampu menolak segala prasangka tersebut dengan kedalaman ilmu yang mereka warisi, keilmiahan yang tercermin dari tulisan-tulisan yang banyak. Ketokohan kaum Tuapun tak dapat disangkal jasanya dalam penyebaran Islam dan perjuangan kemerdekaan di Minangkabau. Begitupun dalam berpolemik, merekapun mampu mempertahankan keyakinan yang dianut. . Dan kitapun menemui dalam cacatan sejarah betapa ulama-ulama Tua sangat berperan dalam pendidikan Islam dan dalam mendirikan organisasi persatuan Ulama, misalnya organisasi Ittihad Ulama Sumatera yang didirikan pada tahun 1912 di Bukittinggi sebagai wadah Kaum Tua di Minangkabau.
Dari berbagai realitas tersebut, jelas bahwa kaum Tua begitu konsisten dengan paham yang mereka anut dari dulunya. Ini terlihat dari keilmuan dan amalan mereka yang tetap mereka pertahankan sebagai tradisi yang selalu terpakai dan terpelihara melalui Transmisi keilmuan “kitab kuning”. Sebab dinamai kaum Tua, menurut Imam Maulana Abdul Manaf ialah para ulama dan kaum muslimin yang tetap memakai faham lama, yaitu konsisten dalam Mazhab Syafi’i, berittiqat dengan ittiqat Ahl Sunnah wal Jama’ah dan tetap berpegang dengan Tarekat-tarekat Mu’tabarah sebagai konsekwensi bertasawwuf, yang mana kebanyakan mereka yang teguh terhadap faham ini ialah mereka-mereka yang sudah tua, itulah sebab dinamai kaum Tua.
Begitulah hal yang berlaku dihampir wilayah nusantara, khususnya Minangkabau. Pergolakan-pergolakan keagamaan dalam bentuk perang dingin antara Kaum Muda dan Kaum Tua mewarnai aktifitas keislaman diawal abad ke-20, hingga saat ini, pertentangan-pertentangan masa lalu tersebut masih terasa.
Dalam tulisan ini kita akan melihat Eksistensi Kaum Tua di Minangkabau. Sebagai faham yang mula-mula hadir seiring dengan masuknya Islam, Kaum Tua telah banyak menorehkan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam dengan tinta emas, yang hingga kini pengaruh dari semangat beragama masa lalu itu masih berbekas pada jiwa murid-murid yang dulu pernah mengenyam pendidikan dari ulama-ulama tua. Namun dalam tulisan ini, kita akan membatasi batasan kita dengan eksistensi ulama Tua di Luak nan Bungsu, Luak Lima Puluh Kota, yang merupakan salah satu basis Islam periode awal di Minangkabau. Disamping itu, Luak nan Bungsu juga pernah menjadi sentra pendidikan Islam ala Surau yang melahirkan banyak ulama-ulama besar di Minangkabau masa lalu.
mencari petunjuk- SERSAN SATU
- Posts : 192
Join date : 27.10.11
Reputation : 6
Re: Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Luak nan Bungsu merupakan salah satu daerah di Minangkabau yaitu bagian dari Luak nan Tiga sebagai wilayah Darek, wilayah asal Minangkabau. Luak nan Bungsu merupakan nama Lain dari Luak Lima Puluh Kota, sebuah dengan kotanya Payakumbuh. Penamaan Luak Lima Puluh dengan kata-kata Bungsu mengisyaratkan bahwa Luak ini merupakan Luak yang paling terakhir kali didirikan, sebagai yang dikenal dengan andagium aianyo manih, ikannyo jinak, buminyo sajuak (airnya manis, ikannya jinak dan daerahnya sejuk).
Tidak dapat ditulis secara pasti kapankah masuknya agama Islam di Luak nan Bungsu ini. Namun beberapa bukti yang ditemui dan kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang tua, memberi kita suatu sangkaan bahwa masuknya Islam ke Luak nan Bungsu telah terjadi sejak dahulu. Berbagai aktifitas yang keagamaan di daerah ini telah tampak sekitar Abad ke-16, bersamaan masa kepulangan Syekh Burhanuddin Ulakan ke Ulakan, setelah puluhan tahun menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh.
Beberapa bukti yang dapat kita temui, salah satunya yaitu tentang Makam tua seorang ulama besar di Taram, yang hingga saat ini masih dikunjungi dan diziarahi oleh jamaah-jamaah Tarekat dari berbagai daerah di Minangkabau. Ulama tersebut masyhur namanya dengan panggilan “Beliau Keramat Taram”. Sosok beliau sangat dikenal oleh masyarakat Minangkabau lewat kisah-kisah kekeramatannya yang lebih diingat ketimbang siapa Beliau dan apa perjuangan Beliau dalam mengembangkan Islam di Luak Lima Puluh Kota. .
Dari hasil penelusuran lapangan yang penulis lakukan, “Syekh Keramat” tersebut merupakan teman Syekh Abdurrauf Singkel sewaktu pulang menurut ilmu di Hejaz. Nama asli beliau adalah Syekh Ibrahim Mufti, darah kelahiran Palestina. Sesampainya di Aceh, Beliau diamanatkan Syekh Abdurrauf untuk berdakwah ke daerah-daerah pedalaman Sumatera. Maka berangkatlah Syekh Ibrahim. Mula-mula beliau menetap di Siak, di sana beliau berdakwah hingga beliau menikah dengan dara siak, konon kabarnya beliau melahirkan keturunan di Siak. Setelah beberapa lama di Siak, beliau terus berjalan hingga sampai di nagari Taram, Luak Lima Puluah kota. Kabar dari empunya cerita, bahwa ketika Syekh Ibrahim Mufti datang ke nagari Taram, masyarakat di sana baru berjumlah 82 orang. Di Taram inilah hingga akhir riwayat hidupnya Beliau menetap dan mendirikan surau, yang sekarang dikenal dengan nama Surau Tuo Taram. Kabarnya beliau mengajar banyak murid-murid yang berasal dari berbagai penjuru Minangkabau, namun amat disayangkan tidak tercatat lagi siapa-siapa yang pernah mendalami agama dengan “Beliau Keramat” ini. Kehidupan beliau untuk saat-saat selanjutnya menjadi sangat kabur. Hingga terdengar berita kekeramatan Beliau memadam api di Mekkah, kisah keramat tersebut sangat masyhur di Minangkabau.
Di samping ketokohan Syekh Keramat yang menjadi salah satu bukti keislaman di Luak Lima Puluh, juga terdapat bukti-bukti lain, seperti keberadaan naskah-naskah tua di daerah ini. Keberadaan naskah-naskah tua setidaknya menjadi acuan awal materi-materi Islam apa saja yang diajarkan dan berkembang di Luak nan Bungsu ini. Naskah-naskah itu misalnya naskah-naskah Milik Syekh Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Datuak Gaek di Taeh Bukik (wafat di awal abad ke-20), sebahagian naskah tua tersebut tidak dirawat lagi, sebahagiannya masih disimpan oleh pewarisnya dalam keadaan memprihatinkan.
Begitulah halnya Luak nan Bungsu. Dari catatan sejarah tersebut, maka jelas bahwa sejak dulunya, sejak Islam mulai hadir di Luak Lima puluah, sangat kuat memegang Ahl Sunnah wal Jama’ah dengan Mazhab Syafi’i-nya, dan sangat eksis mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai sebuah konsep kehidupan Tasawwuf. Hal ini terlihat dari pengamalan Islam di sentra-sentra Islam periode awal di Luak nan Bungsu ini. Seperti Surau Tuo Taram, yang dapat dikatakan pusat awal pendidikan Islam di daerah ini, sampai saat ini masih kuat memegang mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai warisan Syekh Keramat sendiri. Misal lainnya ialah bekas-bekas kejayaan pendidikan Islam klasik di Batu Hampar tempat, Surau besar yang didirikan oleh Syekh Abdurrahman Batu Hampar (abad ke-19), kakek proklamator RI Moh. Hatta, yang terkenal dengan pengajian mazhab Syafi’i dan Tarekatnya di nusantara. Atau kita lihat Surau Beliau Munggu yang didirikan oleh Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (ayah Syekh Abdul Wahid Shahili Beliau Tabek Gadang) dan Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh , yang semuanya itu sangat kuat memegang dan mengamalkan mazhab Syafi’i dengan Tarekat Naqsyabandiyah. Sehingga sampai saat ini, walaupun telah banyak masuk unsur-unsur pembaharuan sendiri, Luak Lima Puluh bisa dikatakan sebagai salah satu sentra utama Mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Dengan realitas demikian jelaslah bahwa faham keagamaan di daerah Luak nan Bungsu sangat konsisten memegang ajaran dan amalan sunni, bermazhab Syafi’i dan bertarikat Naqsyabandiyah, sebagai halnya amalan dan ajaran yang hadir di daerah ini sejak Islam hadir. Walaupun dibeberapa tempat telah berkembang pula ajaran-ajaran Tajdid (pembaharuan) ala kaum muda, seperti halnya Muhammadiyah, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), pemahaman Salafi (wahabiyah), jama’ah Dakwah (jama’ah Tabligh), LDI (lembaga dakwah Indonesia) dan lain-lainnya. Semua aktivitas kaum muda ini besar jumlahnya di daerah perkotaan, namun masih dalam skala kecil bila dibandingkan dengan faham keagaman asli yang kuat berakar di pedesaan.
Tidak dapat ditulis secara pasti kapankah masuknya agama Islam di Luak nan Bungsu ini. Namun beberapa bukti yang ditemui dan kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang tua, memberi kita suatu sangkaan bahwa masuknya Islam ke Luak nan Bungsu telah terjadi sejak dahulu. Berbagai aktifitas yang keagamaan di daerah ini telah tampak sekitar Abad ke-16, bersamaan masa kepulangan Syekh Burhanuddin Ulakan ke Ulakan, setelah puluhan tahun menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh.
Beberapa bukti yang dapat kita temui, salah satunya yaitu tentang Makam tua seorang ulama besar di Taram, yang hingga saat ini masih dikunjungi dan diziarahi oleh jamaah-jamaah Tarekat dari berbagai daerah di Minangkabau. Ulama tersebut masyhur namanya dengan panggilan “Beliau Keramat Taram”. Sosok beliau sangat dikenal oleh masyarakat Minangkabau lewat kisah-kisah kekeramatannya yang lebih diingat ketimbang siapa Beliau dan apa perjuangan Beliau dalam mengembangkan Islam di Luak Lima Puluh Kota. .
Dari hasil penelusuran lapangan yang penulis lakukan, “Syekh Keramat” tersebut merupakan teman Syekh Abdurrauf Singkel sewaktu pulang menurut ilmu di Hejaz. Nama asli beliau adalah Syekh Ibrahim Mufti, darah kelahiran Palestina. Sesampainya di Aceh, Beliau diamanatkan Syekh Abdurrauf untuk berdakwah ke daerah-daerah pedalaman Sumatera. Maka berangkatlah Syekh Ibrahim. Mula-mula beliau menetap di Siak, di sana beliau berdakwah hingga beliau menikah dengan dara siak, konon kabarnya beliau melahirkan keturunan di Siak. Setelah beberapa lama di Siak, beliau terus berjalan hingga sampai di nagari Taram, Luak Lima Puluah kota. Kabar dari empunya cerita, bahwa ketika Syekh Ibrahim Mufti datang ke nagari Taram, masyarakat di sana baru berjumlah 82 orang. Di Taram inilah hingga akhir riwayat hidupnya Beliau menetap dan mendirikan surau, yang sekarang dikenal dengan nama Surau Tuo Taram. Kabarnya beliau mengajar banyak murid-murid yang berasal dari berbagai penjuru Minangkabau, namun amat disayangkan tidak tercatat lagi siapa-siapa yang pernah mendalami agama dengan “Beliau Keramat” ini. Kehidupan beliau untuk saat-saat selanjutnya menjadi sangat kabur. Hingga terdengar berita kekeramatan Beliau memadam api di Mekkah, kisah keramat tersebut sangat masyhur di Minangkabau.
Di samping ketokohan Syekh Keramat yang menjadi salah satu bukti keislaman di Luak Lima Puluh, juga terdapat bukti-bukti lain, seperti keberadaan naskah-naskah tua di daerah ini. Keberadaan naskah-naskah tua setidaknya menjadi acuan awal materi-materi Islam apa saja yang diajarkan dan berkembang di Luak nan Bungsu ini. Naskah-naskah itu misalnya naskah-naskah Milik Syekh Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Datuak Gaek di Taeh Bukik (wafat di awal abad ke-20), sebahagian naskah tua tersebut tidak dirawat lagi, sebahagiannya masih disimpan oleh pewarisnya dalam keadaan memprihatinkan.
Begitulah halnya Luak nan Bungsu. Dari catatan sejarah tersebut, maka jelas bahwa sejak dulunya, sejak Islam mulai hadir di Luak Lima puluah, sangat kuat memegang Ahl Sunnah wal Jama’ah dengan Mazhab Syafi’i-nya, dan sangat eksis mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai sebuah konsep kehidupan Tasawwuf. Hal ini terlihat dari pengamalan Islam di sentra-sentra Islam periode awal di Luak nan Bungsu ini. Seperti Surau Tuo Taram, yang dapat dikatakan pusat awal pendidikan Islam di daerah ini, sampai saat ini masih kuat memegang mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah sebagai warisan Syekh Keramat sendiri. Misal lainnya ialah bekas-bekas kejayaan pendidikan Islam klasik di Batu Hampar tempat, Surau besar yang didirikan oleh Syekh Abdurrahman Batu Hampar (abad ke-19), kakek proklamator RI Moh. Hatta, yang terkenal dengan pengajian mazhab Syafi’i dan Tarekatnya di nusantara. Atau kita lihat Surau Beliau Munggu yang didirikan oleh Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (ayah Syekh Abdul Wahid Shahili Beliau Tabek Gadang) dan Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh , yang semuanya itu sangat kuat memegang dan mengamalkan mazhab Syafi’i dengan Tarekat Naqsyabandiyah. Sehingga sampai saat ini, walaupun telah banyak masuk unsur-unsur pembaharuan sendiri, Luak Lima Puluh bisa dikatakan sebagai salah satu sentra utama Mazhab Syafi’i dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Dengan realitas demikian jelaslah bahwa faham keagamaan di daerah Luak nan Bungsu sangat konsisten memegang ajaran dan amalan sunni, bermazhab Syafi’i dan bertarikat Naqsyabandiyah, sebagai halnya amalan dan ajaran yang hadir di daerah ini sejak Islam hadir. Walaupun dibeberapa tempat telah berkembang pula ajaran-ajaran Tajdid (pembaharuan) ala kaum muda, seperti halnya Muhammadiyah, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), pemahaman Salafi (wahabiyah), jama’ah Dakwah (jama’ah Tabligh), LDI (lembaga dakwah Indonesia) dan lain-lainnya. Semua aktivitas kaum muda ini besar jumlahnya di daerah perkotaan, namun masih dalam skala kecil bila dibandingkan dengan faham keagaman asli yang kuat berakar di pedesaan.
mencari petunjuk- SERSAN SATU
- Posts : 192
Join date : 27.10.11
Reputation : 6
Re: Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Dari realitas faham keagamaan dan pengamalan Islam di Luak nan Bungsu ini, maka di daerah ini berkembang pesat tradisi-tradisi kaum Tua secara umum. Di sini akan kita lihat seperti mengenai tradisi-tradisi tersebut, yaitu tradisi surau, kitab kuning, pengamalan Tarekat dan tradisi-tradisi lokal kultural.
Tradisi surau di Luak Lima Puluh persis seperti surau-surau lainnya di Minangkabau. Apakah itu dari hal peranannya sebagai pusat pendidikan Islam, pusat aktivitas Suluk, tempat pembelajaran adat Minangkabau dan tempat berdiamnya para kawula muda Minang sebelum beristri. Atau dari pengaruhnya bagi masyarakat sekitar sebagai simbol keislaman yang begitu lekat dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat Minangkabau. Walaupun peranan tersebut sudah banyak yang memudar saat ini, namun untuk masa-masa kecemerlangan Islam masa lalu, khususnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20, peranan surau melebihi dari hal-hal di atas, surau dijadikan titik nadi kehidupan sosial masyarakat, sebagai tempat musyawarah, membina kaum muda hingga menjadi tempat perjuangan melawan penjajah. Bahkah pemimpin surau yang dikenal dengan panggilan Syekh, Tuanku atau Buya memang menjadi contoh tauladan yang disegani di masa itu.
Hadirnya kelembagaan surau di Minangkabau dapatlah disamakan dengan lembaga pesantren di Jawa. Di surau, para murid yang dikenal dengan panggilan orang siak mengaji, tinggal bersama ulama pemimpin surau hingga memperoleh pengakuan ilmu dari guru tersebut. Begitu pula di Jawa, juga sama-sama penjadi pusat pendidikan kaum Tua, juga menjadi wahana untuk mengembleng generasi muda. Elemen-elemen yang dimiliki oleh pesantren Jawa, mencakup pondok, mesjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai, juga dimiliki oleh sebuah surau. Orang-orang siak di surau merupakan santri, surau-surau kediaman santri disekitar surau induk dikenal dengan pondok, surau induk sebagai pusat ibadah dan pengajaran adalah mesjid, kitab-kitab kuning sebagai literatur, Syekh dan Tuanku sebagai Kyai. Begitulah hal keadaannya pusat pendidikan Islam saat itu. Walau tak banyak lagi surau yang bertahan dengan peranan yang asli, akibat arus pembaharuan, namun keberadaannya sebagai pusat awal penyebaran Islam tak bisa terpungkiri oleh siapapun.
Di antara surau-surau besar di Luak Lima Puluh Kota yang pernah memiliki nama besar dan kemasyhuran di Minangkabau dan Nusantara ialah surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, surau Tabek Gadang, surau Syekh Abdullah Beliau Halaban, surau Syekh Muda Abdul Qadim Belubus, surau Baru Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai Koto Baru Mungka, surau Suluk Datuak Haji Jamin Taeh Bukik, surau Jirek Taeh Baruah, surau Syekh Mahmud Abdullah Beliau Tarantang Harau dan lain-lainnya.
Oleh karena tuntunan zaman, masuknya pembaharuan pendidikan dan arus kehidupan modern, maka banyaklah di antara surau-surau yang dulunya masyhur tersebut tak banyak yang dapat bertahan lama sebagai pusat pendidikan kaum Tua. Apalagi dengan dibentuknya sistem pendidikan oleh pemerintah yang berdasarkan acuan kurukulum, membuat wadah pendidikan tradisional menjadi tersendak-sendak. Keadaan tersebut banyak terjadi pada akhir abad ke-20. sebab lainnya ialah karena wafatnya Syekh atau Tuanku (ulama yang berpengaruh) pimpinan surau, sedang figur kharismatik yang dapat menggantikan posisi pemimpin surau tersebut tidak ada, maka kehidupan surau kadang kala seperti hidup segan, mati tak mau.
Untuk mengantisipasi hal-hal lebih buruk terjadi, maka organisasi kaum Tua di tahun 1928 menyatakan berdirinya sekolah-sekolah Agama yang menyerap model pendidikan kaum muda kala itu, sekolah agama tersebut dikenal dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Keberadaan sekolah-sekolah PERTI ini diakhirnya menggantikan posisi surau sebagai lembaga pendidikan kaum tua sejak dahulunya. Walau pendidikan kaum Tua tak lagi berpusat di surau, namun peranan surau sebagai tempat pengajian Tarekat dan Suluk tak berubah hingga saat ini. Sejak itu mulailah berkembang madrasah-madrasah PERTI, bahkan menurun penuturan dari pihak PERTI sendiri, sampai tahun 1939 telah berdiri madrasah-madrasah PERTI di Minangkabau sebanyak 137 buah, tahun 1955 sebanyak 300 buah, dan jumlah tersebut terus meningkat.
Sedang di Luak Lima Puluh sendiri, menurut cacatan penulis terdapat beberapa MTI yang terkenal dan masyhur, di antaranya : MTI Batu Hampar yang didirikan oleh Syekh Arifin Batu Hampar , MTI Pakan Sinayan Koto nan IV Payakumbuh didirikan oleh Syekh Tuanku Mudo Alwi, MTI Taram didirikan oleh Syekh Addimin ar-Radji, MTI Tabek Gadang didirikan oleh Syekh Abdul Wahid as Shahili, MTI Mungka didirikan oleh yayasan Syekh Muhammad Sa’adi Mungka, MTI Simpang Batu Hampar didirikan oleh Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah, MTI Lampasi didirikan oleh Syekh Mukhtar Tuanku Lakung, MTI Limbukan didirikan oleh Buya Ruslan, MTI Batu Labi didirikan oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Dt. Kando nan Bajolai, MTI Indobaleh didirikan oleh Tuanku Haji Darusan, dan lain-lainnya.
Kenyataan sekarang yang kita amati banyak diantara MTI ini yang tidak lagi dapat mempertahankan konsekwensi pendidikannya. Kalau dulu kapasitas pengajaran agama 75% dan umum 15%, sekarang adapula MTI yang lebih banyak pengajaran umumnya di banding dengan pelajaran agama, sangat ironis. Keadaan itu antara lain disebabkan akibat tuntutan dari sistem pendidikan nasional sendiri yang mengacu kepada silabi dan kurikulum, juga diakibatkan jarangnya guru yang mumpuni dalam mengajar kitab-kitab kuning yang lumayan pelik, seperti halnya ulama dulu.
Mengenai pewarisan keilmuan kaum tua sendiri yaitu kitab kuning. Secara harfiah kita kuning kita pahami sebagai kitab kuno yang memakai kertas kuning, tanpa jilidan, tidak mengenal harkat, tanda titik maupun koma. Namun lebih dari itu, pengertian kitab kuning lebih kompleks lagi, disamping ciri-ciri fisik berupa kertas kuning, tanpa harkat (gundul-pen), tidak dijilid, dan tak mengenal titik dan koma, kitab kuning juga merupakan istilah kitab klasik yang merupakan buah karya ulama-ulama besar terdahulu dalam bidang Fiqih, Tauhid dan Tasawwuf, dengan cakupan isi yang cukup dalam, ditulis dalam suatu wujud aliran atau mazhab tertentu. Dalam hal mazhab dan aliran kitab kuning kaum Tua Nusantara dan Luak Lima Puluh khususnya sangat besar perhatian terhadap kitab-kitab mazhab Syafi’i, dengan ahl Sunnah-nya.
Sebagai kitab standard keilmuan kaum tua, kitab kuning memang terasa lebih dalam pada soal bahasannya. Ini kita lihat dari pembacanya yang tidak bisa orang sembarangan, bagi siapa yang ingin mendalami kitab tersebut mestilah dulu paham dan mengerti bahasa Arab dengan segala gramatikalnya. Dengan demikian, sebelum membaca kitab saja seorang calon ulama (pelanjut kaum tua) termotivasi untuk belajar bahasa Arab terlebih dahulu, bahasa al-Qur’an sendiri. Setelah itu si-siak mesti tahu makna kata sesuai dengan keadaannya (dilalah), berarti si calon ulama telah diajar menganalisa sebelum terjun dalam soal-soal aktual nantinya. Kemudian kita lihat bahwa keorisinilan ajarannya melekat kuat pada jiwa si-pengkajinya, ini disebabkan karena adanya metode Syarh dan Hasyiyah dari kitab kuning tersebut, tanpa sengaja simurid diajar untuk mengulang materi yang sama pada kitab-kitab yang lebih besar.
Kitab kuning memang menjadi prioritas keilmuan yang utama bagi kaum tua, sebab dengan kitab kuning akan terwarisi segala ajaran yang mencakup Fiqih Syafi’i, Ahl Sunnah dan Tasawwuf secara utuh, sehingga hasil yang lahirpun ialah sosok agamis yang juga utuh (kamil). Begitupun bagi lembaga pendidikan kaum tua di Luak Lima Puluh Kota. Diantara kita-kita yang dikaji di sentra kaum tua sendiri ialah : (1) Bidang Fiqih, yaitu Matan Ghayah wat Taghrib, Fathul Qarib Mujib, Al-Bajuri, I’anatut Tahlibin dan Mahalli; (2) Bidang Tauhid, yaitu Jawahirut Tauhid, Al-Aqwal al-Mardiyah, Fathul Majid, Umm Burhain; (3) Bidang Tasawwuf, yaitu Minhajul ‘Abidin, Mau’izatul Mukminin dan Hikam; (4) Nahwu dan Sharaf (gramatikal Arab), yaitu Matan al-Jurumiyah, Matan Bina wal Asas, Mukhtashar Jiddan, Kaelani, Kawakib ad Durriyyah, Qatrun Nida, Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah; (5) Bidang Ushul Fiqih, yaitu Waraqat, Jami’ul Jawami’, Asybah wa an-nazhair; (6) Bidang Tarekh (sejarah Islam), yaitu Khulasah Tarekh Islami, Nurul Yaqin, Itfamul Wafa; (7) Manthiq (logika), yaitu Idhohul Mubham, Sullamulwi; (8) Tafsir, yaitu Jalalain; (9) Balaghah, yaitu Jauharatul Maknun; dan (10) Bidang Hadist dan Musthalah, yaitu Kitab as-Sanawani dan al-Baiquniyah.
Selanjutnya mengenai bidang Tarekat. Tarekat sendiri tidak dapat dipisah dari amalan kaum Tua. Walau ada disebahagian tempat ada golongan kaum tua yang tidak bertarikat, mereka ini hanya dikenal dengan malin kitab (mahir kitab), tidak dipanggil dengan Syekh. Tarekat sendiri merupakan aspek dari Tasawwuf, yang merupakan amalan-amalan ibadah dengan bimbingan seorang mursyid atau Syekh.
Di Luak Lima Puluh Kota sendiri tarekat yang berkembang pesat diamalkan kaum tua ialah Tarekat Naqsyabandiyah. Dapat dikatakan bahwa luak nan Bungsu merupakan salah satu sentra Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Uniknya di daerah ini juga terdapat penggabungan antara Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Samaniyah yang datang dari Kumango, yang dipopulerkan oleh Maulana Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh. Ada Tarekat Samaniyah saja yang di beberapa surau di ajarkan kepada anak-anak kecil, sehingga jiwa dan perasaan mereka telah dibentuk dalam tarikat yang akhirnya mewarnai hidup mereka.
Di antara pusat-pusat tarekat Naqsyabandiyah yang dapat penulis sebutkan di sini ialah (1). Surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, (2) Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, (3) Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh, (4) Surau Jirek di Taeh Baruah, didirikan oleh Datuak Haji Jamin, (5) Surau Suluk Datuak Jamin Taeh Bukik, (6) Surau Rambai Taeh Bukik, didirikan oleh Syekh Abu Bakar Datuak Gaek, (7) Surau Engku Labuah Taeh Baruah, (8) Surau Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, (9) Surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai, (10) Mesjid Jami’atul Muslimin Batu Labi, (11) Surau Muthmainnah di Halaban, oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Datuak Kando, (12) Surau Datuak Gayuah Suayan, (13) Surau Taram, (14) Surau Suluk Khalifah Qadim Batu Keramat Pangkalan, (15) Surau Suluk Datuak Angso Tanjuang Pati, dan lain-lain banyak lagi
Tentang tradisi-tradisi kaum tua lainnya di daerah Luak nan Bungsu dapat disebutkan di sini seperti membilang hari kematian (7, 40, 100 hari), Yasinan yang diikuti oleh ribuan orang, bershalawat (memakai kitab Dalail Khairat), Debus (badabuih) , Silek Tarikat (silek Tuo Kumango) , mangaji Sifat dua puluh dan lain-lainnya.
Seperti halnya ulama-ulama Tua lainnya, mereka mempunyai hubungan intelektual yang erat sesama mereka. Hal itu terbentuk setelah terjadinya hubungan guru-murid yang intens sebagai sebuah koneksi intelektual, seperti halnya silsilah dalam sebuah tarikat. Begitupun ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu. Hampir semua ulama-ulama periode awal belajar di Mekah, dalam artian mereka mempunyai jaringan intelektual di Hejaz, yang menjadi pusat ilmu agama islam sampai pertengahan abad ke-20. sehingga diantara mereka terbentuk hubungan keilmuan yang kokoh dan menjadi faktor kuatnya kaum tua di daerah ini.
Tradisi surau di Luak Lima Puluh persis seperti surau-surau lainnya di Minangkabau. Apakah itu dari hal peranannya sebagai pusat pendidikan Islam, pusat aktivitas Suluk, tempat pembelajaran adat Minangkabau dan tempat berdiamnya para kawula muda Minang sebelum beristri. Atau dari pengaruhnya bagi masyarakat sekitar sebagai simbol keislaman yang begitu lekat dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat Minangkabau. Walaupun peranan tersebut sudah banyak yang memudar saat ini, namun untuk masa-masa kecemerlangan Islam masa lalu, khususnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20, peranan surau melebihi dari hal-hal di atas, surau dijadikan titik nadi kehidupan sosial masyarakat, sebagai tempat musyawarah, membina kaum muda hingga menjadi tempat perjuangan melawan penjajah. Bahkah pemimpin surau yang dikenal dengan panggilan Syekh, Tuanku atau Buya memang menjadi contoh tauladan yang disegani di masa itu.
Hadirnya kelembagaan surau di Minangkabau dapatlah disamakan dengan lembaga pesantren di Jawa. Di surau, para murid yang dikenal dengan panggilan orang siak mengaji, tinggal bersama ulama pemimpin surau hingga memperoleh pengakuan ilmu dari guru tersebut. Begitu pula di Jawa, juga sama-sama penjadi pusat pendidikan kaum Tua, juga menjadi wahana untuk mengembleng generasi muda. Elemen-elemen yang dimiliki oleh pesantren Jawa, mencakup pondok, mesjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai, juga dimiliki oleh sebuah surau. Orang-orang siak di surau merupakan santri, surau-surau kediaman santri disekitar surau induk dikenal dengan pondok, surau induk sebagai pusat ibadah dan pengajaran adalah mesjid, kitab-kitab kuning sebagai literatur, Syekh dan Tuanku sebagai Kyai. Begitulah hal keadaannya pusat pendidikan Islam saat itu. Walau tak banyak lagi surau yang bertahan dengan peranan yang asli, akibat arus pembaharuan, namun keberadaannya sebagai pusat awal penyebaran Islam tak bisa terpungkiri oleh siapapun.
Di antara surau-surau besar di Luak Lima Puluh Kota yang pernah memiliki nama besar dan kemasyhuran di Minangkabau dan Nusantara ialah surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, surau Tabek Gadang, surau Syekh Abdullah Beliau Halaban, surau Syekh Muda Abdul Qadim Belubus, surau Baru Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai Koto Baru Mungka, surau Suluk Datuak Haji Jamin Taeh Bukik, surau Jirek Taeh Baruah, surau Syekh Mahmud Abdullah Beliau Tarantang Harau dan lain-lainnya.
Oleh karena tuntunan zaman, masuknya pembaharuan pendidikan dan arus kehidupan modern, maka banyaklah di antara surau-surau yang dulunya masyhur tersebut tak banyak yang dapat bertahan lama sebagai pusat pendidikan kaum Tua. Apalagi dengan dibentuknya sistem pendidikan oleh pemerintah yang berdasarkan acuan kurukulum, membuat wadah pendidikan tradisional menjadi tersendak-sendak. Keadaan tersebut banyak terjadi pada akhir abad ke-20. sebab lainnya ialah karena wafatnya Syekh atau Tuanku (ulama yang berpengaruh) pimpinan surau, sedang figur kharismatik yang dapat menggantikan posisi pemimpin surau tersebut tidak ada, maka kehidupan surau kadang kala seperti hidup segan, mati tak mau.
Untuk mengantisipasi hal-hal lebih buruk terjadi, maka organisasi kaum Tua di tahun 1928 menyatakan berdirinya sekolah-sekolah Agama yang menyerap model pendidikan kaum muda kala itu, sekolah agama tersebut dikenal dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Keberadaan sekolah-sekolah PERTI ini diakhirnya menggantikan posisi surau sebagai lembaga pendidikan kaum tua sejak dahulunya. Walau pendidikan kaum Tua tak lagi berpusat di surau, namun peranan surau sebagai tempat pengajian Tarekat dan Suluk tak berubah hingga saat ini. Sejak itu mulailah berkembang madrasah-madrasah PERTI, bahkan menurun penuturan dari pihak PERTI sendiri, sampai tahun 1939 telah berdiri madrasah-madrasah PERTI di Minangkabau sebanyak 137 buah, tahun 1955 sebanyak 300 buah, dan jumlah tersebut terus meningkat.
Sedang di Luak Lima Puluh sendiri, menurut cacatan penulis terdapat beberapa MTI yang terkenal dan masyhur, di antaranya : MTI Batu Hampar yang didirikan oleh Syekh Arifin Batu Hampar , MTI Pakan Sinayan Koto nan IV Payakumbuh didirikan oleh Syekh Tuanku Mudo Alwi, MTI Taram didirikan oleh Syekh Addimin ar-Radji, MTI Tabek Gadang didirikan oleh Syekh Abdul Wahid as Shahili, MTI Mungka didirikan oleh yayasan Syekh Muhammad Sa’adi Mungka, MTI Simpang Batu Hampar didirikan oleh Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah, MTI Lampasi didirikan oleh Syekh Mukhtar Tuanku Lakung, MTI Limbukan didirikan oleh Buya Ruslan, MTI Batu Labi didirikan oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Dt. Kando nan Bajolai, MTI Indobaleh didirikan oleh Tuanku Haji Darusan, dan lain-lainnya.
Kenyataan sekarang yang kita amati banyak diantara MTI ini yang tidak lagi dapat mempertahankan konsekwensi pendidikannya. Kalau dulu kapasitas pengajaran agama 75% dan umum 15%, sekarang adapula MTI yang lebih banyak pengajaran umumnya di banding dengan pelajaran agama, sangat ironis. Keadaan itu antara lain disebabkan akibat tuntutan dari sistem pendidikan nasional sendiri yang mengacu kepada silabi dan kurikulum, juga diakibatkan jarangnya guru yang mumpuni dalam mengajar kitab-kitab kuning yang lumayan pelik, seperti halnya ulama dulu.
Mengenai pewarisan keilmuan kaum tua sendiri yaitu kitab kuning. Secara harfiah kita kuning kita pahami sebagai kitab kuno yang memakai kertas kuning, tanpa jilidan, tidak mengenal harkat, tanda titik maupun koma. Namun lebih dari itu, pengertian kitab kuning lebih kompleks lagi, disamping ciri-ciri fisik berupa kertas kuning, tanpa harkat (gundul-pen), tidak dijilid, dan tak mengenal titik dan koma, kitab kuning juga merupakan istilah kitab klasik yang merupakan buah karya ulama-ulama besar terdahulu dalam bidang Fiqih, Tauhid dan Tasawwuf, dengan cakupan isi yang cukup dalam, ditulis dalam suatu wujud aliran atau mazhab tertentu. Dalam hal mazhab dan aliran kitab kuning kaum Tua Nusantara dan Luak Lima Puluh khususnya sangat besar perhatian terhadap kitab-kitab mazhab Syafi’i, dengan ahl Sunnah-nya.
Sebagai kitab standard keilmuan kaum tua, kitab kuning memang terasa lebih dalam pada soal bahasannya. Ini kita lihat dari pembacanya yang tidak bisa orang sembarangan, bagi siapa yang ingin mendalami kitab tersebut mestilah dulu paham dan mengerti bahasa Arab dengan segala gramatikalnya. Dengan demikian, sebelum membaca kitab saja seorang calon ulama (pelanjut kaum tua) termotivasi untuk belajar bahasa Arab terlebih dahulu, bahasa al-Qur’an sendiri. Setelah itu si-siak mesti tahu makna kata sesuai dengan keadaannya (dilalah), berarti si calon ulama telah diajar menganalisa sebelum terjun dalam soal-soal aktual nantinya. Kemudian kita lihat bahwa keorisinilan ajarannya melekat kuat pada jiwa si-pengkajinya, ini disebabkan karena adanya metode Syarh dan Hasyiyah dari kitab kuning tersebut, tanpa sengaja simurid diajar untuk mengulang materi yang sama pada kitab-kitab yang lebih besar.
Kitab kuning memang menjadi prioritas keilmuan yang utama bagi kaum tua, sebab dengan kitab kuning akan terwarisi segala ajaran yang mencakup Fiqih Syafi’i, Ahl Sunnah dan Tasawwuf secara utuh, sehingga hasil yang lahirpun ialah sosok agamis yang juga utuh (kamil). Begitupun bagi lembaga pendidikan kaum tua di Luak Lima Puluh Kota. Diantara kita-kita yang dikaji di sentra kaum tua sendiri ialah : (1) Bidang Fiqih, yaitu Matan Ghayah wat Taghrib, Fathul Qarib Mujib, Al-Bajuri, I’anatut Tahlibin dan Mahalli; (2) Bidang Tauhid, yaitu Jawahirut Tauhid, Al-Aqwal al-Mardiyah, Fathul Majid, Umm Burhain; (3) Bidang Tasawwuf, yaitu Minhajul ‘Abidin, Mau’izatul Mukminin dan Hikam; (4) Nahwu dan Sharaf (gramatikal Arab), yaitu Matan al-Jurumiyah, Matan Bina wal Asas, Mukhtashar Jiddan, Kaelani, Kawakib ad Durriyyah, Qatrun Nida, Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah; (5) Bidang Ushul Fiqih, yaitu Waraqat, Jami’ul Jawami’, Asybah wa an-nazhair; (6) Bidang Tarekh (sejarah Islam), yaitu Khulasah Tarekh Islami, Nurul Yaqin, Itfamul Wafa; (7) Manthiq (logika), yaitu Idhohul Mubham, Sullamulwi; (8) Tafsir, yaitu Jalalain; (9) Balaghah, yaitu Jauharatul Maknun; dan (10) Bidang Hadist dan Musthalah, yaitu Kitab as-Sanawani dan al-Baiquniyah.
Selanjutnya mengenai bidang Tarekat. Tarekat sendiri tidak dapat dipisah dari amalan kaum Tua. Walau ada disebahagian tempat ada golongan kaum tua yang tidak bertarikat, mereka ini hanya dikenal dengan malin kitab (mahir kitab), tidak dipanggil dengan Syekh. Tarekat sendiri merupakan aspek dari Tasawwuf, yang merupakan amalan-amalan ibadah dengan bimbingan seorang mursyid atau Syekh.
Di Luak Lima Puluh Kota sendiri tarekat yang berkembang pesat diamalkan kaum tua ialah Tarekat Naqsyabandiyah. Dapat dikatakan bahwa luak nan Bungsu merupakan salah satu sentra Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Uniknya di daerah ini juga terdapat penggabungan antara Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Samaniyah yang datang dari Kumango, yang dipopulerkan oleh Maulana Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh. Ada Tarekat Samaniyah saja yang di beberapa surau di ajarkan kepada anak-anak kecil, sehingga jiwa dan perasaan mereka telah dibentuk dalam tarikat yang akhirnya mewarnai hidup mereka.
Di antara pusat-pusat tarekat Naqsyabandiyah yang dapat penulis sebutkan di sini ialah (1). Surau Syekh Abdurrahman Batu Hampar, (2) Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, (3) Surau Suluk Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh, (4) Surau Jirek di Taeh Baruah, didirikan oleh Datuak Haji Jamin, (5) Surau Suluk Datuak Jamin Taeh Bukik, (6) Surau Rambai Taeh Bukik, didirikan oleh Syekh Abu Bakar Datuak Gaek, (7) Surau Engku Labuah Taeh Baruah, (8) Surau Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, (9) Surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai, (10) Mesjid Jami’atul Muslimin Batu Labi, (11) Surau Muthmainnah di Halaban, oleh Syekh Sa’in bin Yusuf Datuak Kando, (12) Surau Datuak Gayuah Suayan, (13) Surau Taram, (14) Surau Suluk Khalifah Qadim Batu Keramat Pangkalan, (15) Surau Suluk Datuak Angso Tanjuang Pati, dan lain-lain banyak lagi
Tentang tradisi-tradisi kaum tua lainnya di daerah Luak nan Bungsu dapat disebutkan di sini seperti membilang hari kematian (7, 40, 100 hari), Yasinan yang diikuti oleh ribuan orang, bershalawat (memakai kitab Dalail Khairat), Debus (badabuih) , Silek Tarikat (silek Tuo Kumango) , mangaji Sifat dua puluh dan lain-lainnya.
Seperti halnya ulama-ulama Tua lainnya, mereka mempunyai hubungan intelektual yang erat sesama mereka. Hal itu terbentuk setelah terjadinya hubungan guru-murid yang intens sebagai sebuah koneksi intelektual, seperti halnya silsilah dalam sebuah tarikat. Begitupun ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu. Hampir semua ulama-ulama periode awal belajar di Mekah, dalam artian mereka mempunyai jaringan intelektual di Hejaz, yang menjadi pusat ilmu agama islam sampai pertengahan abad ke-20. sehingga diantara mereka terbentuk hubungan keilmuan yang kokoh dan menjadi faktor kuatnya kaum tua di daerah ini.
mencari petunjuk- SERSAN SATU
- Posts : 192
Join date : 27.10.11
Reputation : 6
Re: Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Secara umum koneksi intelektuan ulama luak nan Bungsu dapat dilihat pada genealogi berikut :
Koneksi Ulama Luak nan Bungsu dengan Ulama-ulama lokal lainnya membuat eksistensi mereka dalam mempertahankan serta mewariskan faham tua semakin kuat dan kokoh. Diantara ulama-ulama Luak Lima Puluh yang terkenal ialah :
1. Syekh Abdurrahman Batu Hampar (kakek Moh. Hatta, Poklamator RI), masyhur dengan lembaga suraunya yang besar di batu Hampar. Keilmuannya tetap terwarisi oleh anak cucunya yang juga menjadi Ulama besar di zamannya, seperti Syekh Arifin Batu Hampar, Syekh Arsyad dan Syekh Dhamrah Arsyadi.
2. Maulana Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai (wafat 1889), guru dari ulama-ulama besar Minangkabau.
3. Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (wafat ?), terkenal alim dalam bidang Syari’at dan dalam pada bidang Hakikat, mempunyai murid yang sangat banyak. Masyhur namanya pada tiga luhak.
4. Syekh Abu Bakar “Datuak Gaek” Taeh Bukik (wafat ?), ulama Tarekat Naqsyabandiyah. Terkenal Keramat. Menuntut ilmu di Mekah selama 36 tahun.
5. Syekh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka, koto Tuo (wafat 1923). Diakui kealimannya pada musyawarah ulama-ulama besar Sumatera. Guru dari ulama-ulama besar Minang kabau.
6. Syekh Abdullah Beliau Halaban (wafat 1926). Terkenal keramat, memiliki surau Besar di Halaban. Beliau merupakan guru dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung.
7. Maulana Syekh Muda Abdul Qadim Belubus (wafat ?), mempunyai kedalaman ilmu dalam bidang Tarekat dan Hakikat. Guru besar Tarekat Naqsyabandiyah dan Samaniyah di Luak nan Bungsu. Mempunyai khalifah-khalifah yang banyak.
8. Syekh Abdul Wahid as-Shahili Beliau Tabek Gadang (wafat 1950), anak Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih. Ulama besar PERTI, mempunyai pesantren besar di Tabek Gadang.
9. Syekh Tuanku Mudo Alwi (wafat 1940), ulama besar PERTI dan mempunyai pesantren MTI Pakan Sinayan Koto nan IV Payakumbuh.
10. Syekh H. Jamin Taeh (wafat?), ulama Keramat dan ahli dalam Tarekat Naqsyabandiyah (cucu dari “datuak Gaek”).
11. Syekh Addimin ar-Radji Taram (wafat?), murid tuo Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Mempunyai Pesantren MTI di Taram.
12. Syekh Mukhtar Tuanku Lakung (wafat 1978), ulama besar murid Syekh Tabek Gadang. Ahli dalam membela Tarekat Naqsyabandiyah. Mempunyai pesantren MTI Lampasi.
13. Syekh Mahmud Abdullah Beliau Tarantang (wafat 1986), ulama Naqsyabandiyah di Tarantang Harau.
14. Syekh Sa’in bin Yusuf Dt. Kondo nan Bajolai (wafat 1997), ulama Naqsyabandiyah mempunyai pesantren MTI Batu Labi Mungo.
15. Syekh Muhammad Kanis “Tuanku Tuah” Batu Tanyoh (wafat?) ulama Naqsyabandiyah, pemimpin MTI “Tuanku Tuah” di simpang Batu Hampar.
16. dan lain-lain banyak lagi.
Koneksi Ulama Luak nan Bungsu dengan Ulama-ulama lokal lainnya membuat eksistensi mereka dalam mempertahankan serta mewariskan faham tua semakin kuat dan kokoh. Diantara ulama-ulama Luak Lima Puluh yang terkenal ialah :
1. Syekh Abdurrahman Batu Hampar (kakek Moh. Hatta, Poklamator RI), masyhur dengan lembaga suraunya yang besar di batu Hampar. Keilmuannya tetap terwarisi oleh anak cucunya yang juga menjadi Ulama besar di zamannya, seperti Syekh Arifin Batu Hampar, Syekh Arsyad dan Syekh Dhamrah Arsyadi.
2. Maulana Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai (wafat 1889), guru dari ulama-ulama besar Minangkabau.
3. Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (wafat ?), terkenal alim dalam bidang Syari’at dan dalam pada bidang Hakikat, mempunyai murid yang sangat banyak. Masyhur namanya pada tiga luhak.
4. Syekh Abu Bakar “Datuak Gaek” Taeh Bukik (wafat ?), ulama Tarekat Naqsyabandiyah. Terkenal Keramat. Menuntut ilmu di Mekah selama 36 tahun.
5. Syekh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka, koto Tuo (wafat 1923). Diakui kealimannya pada musyawarah ulama-ulama besar Sumatera. Guru dari ulama-ulama besar Minang kabau.
6. Syekh Abdullah Beliau Halaban (wafat 1926). Terkenal keramat, memiliki surau Besar di Halaban. Beliau merupakan guru dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung.
7. Maulana Syekh Muda Abdul Qadim Belubus (wafat ?), mempunyai kedalaman ilmu dalam bidang Tarekat dan Hakikat. Guru besar Tarekat Naqsyabandiyah dan Samaniyah di Luak nan Bungsu. Mempunyai khalifah-khalifah yang banyak.
8. Syekh Abdul Wahid as-Shahili Beliau Tabek Gadang (wafat 1950), anak Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih. Ulama besar PERTI, mempunyai pesantren besar di Tabek Gadang.
9. Syekh Tuanku Mudo Alwi (wafat 1940), ulama besar PERTI dan mempunyai pesantren MTI Pakan Sinayan Koto nan IV Payakumbuh.
10. Syekh H. Jamin Taeh (wafat?), ulama Keramat dan ahli dalam Tarekat Naqsyabandiyah (cucu dari “datuak Gaek”).
11. Syekh Addimin ar-Radji Taram (wafat?), murid tuo Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Mempunyai Pesantren MTI di Taram.
12. Syekh Mukhtar Tuanku Lakung (wafat 1978), ulama besar murid Syekh Tabek Gadang. Ahli dalam membela Tarekat Naqsyabandiyah. Mempunyai pesantren MTI Lampasi.
13. Syekh Mahmud Abdullah Beliau Tarantang (wafat 1986), ulama Naqsyabandiyah di Tarantang Harau.
14. Syekh Sa’in bin Yusuf Dt. Kondo nan Bajolai (wafat 1997), ulama Naqsyabandiyah mempunyai pesantren MTI Batu Labi Mungo.
15. Syekh Muhammad Kanis “Tuanku Tuah” Batu Tanyoh (wafat?) ulama Naqsyabandiyah, pemimpin MTI “Tuanku Tuah” di simpang Batu Hampar.
16. dan lain-lain banyak lagi.
mencari petunjuk- SERSAN SATU
- Posts : 192
Join date : 27.10.11
Reputation : 6
Re: Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Eksistensi Kaum Tua dan Realitas Sejarah
Sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak permulaan Islam di Daerah Luak Limo Puluh Kota, masyarakatnya sangat kental menganut Mazhab Syafi’i (Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan mengamalkan salah satu Tarekat Mu’tabarah, yang terkenal ialah Tarekat Naqsyabandiyah dan sedikit Tarekat Samaniyah. Maka Ulama-ulama Luak nan Bungsu kuat memegang prinsip Kaum Tua-nya dengan mendirikan lembaga-lembaga tempat mewarisi keilmuan mereka. Lembaga itu sendiri ialah surau yang fungsinya mengajar Fiqih Syafi’i dan tempat mengamalkan Suluk dan Tarekat. Tercatat hampir semua ulama-ulama Tua di daerah ini aktif mendirikan lembaga-lembaga surau, bahkan eksistensi mereka melambung tinggi dengan mempunyai murid-murid yang ribuan jumlahnya, yang datang dari berbagai daerah sampai dari Malaysia.
Puncak kejayaan ulama-ulama Tua ini ialah di awal abad ke-20. di mana ulama-ulama tersebut berperan aktif dalam mengembangkan lembaga pendidikan mereka, sampai dikatakan bahwa luak Lima Puluh dan Payakumbuh ketika itu pernah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam di Minangkabau. Di masa keemasan Ulama-ulama tersebut telah terbentuklah sebuah wadah perkumpulan Ulama-ulama Tua, yaitu jauh sebelum berdirinya PERTI sebagai wadah yang lebih besar. Wadah perkumpulan Ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu ini dikenal dengan sebutan as-Sabilah as-Sa’adah, yang didirikan di Surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai. Perkumpulan ini setiap bulannya mengadakan Majelis-majelis pengajian, tak terkecuali membicarakan isu-isu pembaharuan yang dilancarkan oleh Ulama Muda.
Selain Eksis dibidang pendidikan, Ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu terkenal kuat dan teguh mempertahankan faham mereka. Tercatat dalam sejarah tentang polemik Tarekat Naqsyabandiyah awal abad 20 yang dilancarkan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, mufti Syafi’i di Mekah asal Bukittinggi, lewat kitabnya Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin, yang mempertanyakan kreadibilitas Tarekat Naqsyabandiyah dan kedudukannya dalam Syara’. Maka ulama yang mula-mula melayangkan pena untuk mempertahankan Tarekat Naqsyabandiyah dengan dalil-dalil terperinci dari sanggahan Syekh Khatib ini ialah ulama besar Luak nan Bungsu, Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, lewat kitabnya Irghamul Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal Washilin. Risalah inipun kemudian dibalas oleh Syekh Ahmad Khatib lewat kitabnya al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’d al-Muta’asshibin. Kitab ini pun dibalas Syekh Sa’ad Mungka dengan kitabnya Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dil Anam. Sampai di sini Syekh Ahmad Khatib tidak membalas lagi. Sangat besarlah kontibusi dan dedikasi Syekh Sa’ad dalam mempertahankan Tarekat Naqsyabandiyah, sampai-sampai Tengku Syekh Muda Wali al-Khalidi (wafat 1961), ulama besar Aceh pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji, memberi keputusan perdebatan Syekh Ahmad Khatib dengan Syekh Muhammad Sa’ad sebagai berikut :
“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syekh Ahmad al Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syekh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syekh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syekh Ahmad al khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syekh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syekh Ahmad al-Khatib .karena itu maka hamba yang faqir ini, Syekh Muhammad waly al Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syekh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syekh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua orang ulama itu sifatnya soal jawab dan debat-berdebat. perlu diketahui bahwa Tuan Syekh Ahmad Khatib itu murid Sayyid syekh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syekh As`ad Mungkar murid Mufti Az Zawawy, gurunya Syekh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syekh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as Saiful Maslul karangan ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karangan syekh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Begitulah Ulama Besar Luak nan Bungsu.
Setelah lahirnya PERTI, maka kebanyakan ulama-ulama Tua tersebut banyak bergabung kedalam wadah ini. Maka lahirlah sekolah-sekolah PERTI di Luak nan Bungsu sebagai wadah transmisi keilmuan kaum Tua, di samping surau sebagai wadah pewarisan Tarekat. Maka semakin kokohlah Kaum Tua di Luak nan Bungsu, terpelihara dari serangan-serangan Ulama Muda.
Sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak permulaan Islam di Daerah Luak Limo Puluh Kota, masyarakatnya sangat kental menganut Mazhab Syafi’i (Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan mengamalkan salah satu Tarekat Mu’tabarah, yang terkenal ialah Tarekat Naqsyabandiyah dan sedikit Tarekat Samaniyah. Maka Ulama-ulama Luak nan Bungsu kuat memegang prinsip Kaum Tua-nya dengan mendirikan lembaga-lembaga tempat mewarisi keilmuan mereka. Lembaga itu sendiri ialah surau yang fungsinya mengajar Fiqih Syafi’i dan tempat mengamalkan Suluk dan Tarekat. Tercatat hampir semua ulama-ulama Tua di daerah ini aktif mendirikan lembaga-lembaga surau, bahkan eksistensi mereka melambung tinggi dengan mempunyai murid-murid yang ribuan jumlahnya, yang datang dari berbagai daerah sampai dari Malaysia.
Puncak kejayaan ulama-ulama Tua ini ialah di awal abad ke-20. di mana ulama-ulama tersebut berperan aktif dalam mengembangkan lembaga pendidikan mereka, sampai dikatakan bahwa luak Lima Puluh dan Payakumbuh ketika itu pernah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam di Minangkabau. Di masa keemasan Ulama-ulama tersebut telah terbentuklah sebuah wadah perkumpulan Ulama-ulama Tua, yaitu jauh sebelum berdirinya PERTI sebagai wadah yang lebih besar. Wadah perkumpulan Ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu ini dikenal dengan sebutan as-Sabilah as-Sa’adah, yang didirikan di Surau Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai. Perkumpulan ini setiap bulannya mengadakan Majelis-majelis pengajian, tak terkecuali membicarakan isu-isu pembaharuan yang dilancarkan oleh Ulama Muda.
Selain Eksis dibidang pendidikan, Ulama-ulama Tua di Luak nan Bungsu terkenal kuat dan teguh mempertahankan faham mereka. Tercatat dalam sejarah tentang polemik Tarekat Naqsyabandiyah awal abad 20 yang dilancarkan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, mufti Syafi’i di Mekah asal Bukittinggi, lewat kitabnya Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin, yang mempertanyakan kreadibilitas Tarekat Naqsyabandiyah dan kedudukannya dalam Syara’. Maka ulama yang mula-mula melayangkan pena untuk mempertahankan Tarekat Naqsyabandiyah dengan dalil-dalil terperinci dari sanggahan Syekh Khatib ini ialah ulama besar Luak nan Bungsu, Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, lewat kitabnya Irghamul Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal Washilin. Risalah inipun kemudian dibalas oleh Syekh Ahmad Khatib lewat kitabnya al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’d al-Muta’asshibin. Kitab ini pun dibalas Syekh Sa’ad Mungka dengan kitabnya Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dil Anam. Sampai di sini Syekh Ahmad Khatib tidak membalas lagi. Sangat besarlah kontibusi dan dedikasi Syekh Sa’ad dalam mempertahankan Tarekat Naqsyabandiyah, sampai-sampai Tengku Syekh Muda Wali al-Khalidi (wafat 1961), ulama besar Aceh pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji, memberi keputusan perdebatan Syekh Ahmad Khatib dengan Syekh Muhammad Sa’ad sebagai berikut :
“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syekh Ahmad al Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syekh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syekh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syekh Ahmad al khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syekh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syekh Ahmad al-Khatib .karena itu maka hamba yang faqir ini, Syekh Muhammad waly al Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syekh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syekh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua orang ulama itu sifatnya soal jawab dan debat-berdebat. perlu diketahui bahwa Tuan Syekh Ahmad Khatib itu murid Sayyid syekh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syekh As`ad Mungkar murid Mufti Az Zawawy, gurunya Syekh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syekh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as Saiful Maslul karangan ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karangan syekh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Begitulah Ulama Besar Luak nan Bungsu.
Setelah lahirnya PERTI, maka kebanyakan ulama-ulama Tua tersebut banyak bergabung kedalam wadah ini. Maka lahirlah sekolah-sekolah PERTI di Luak nan Bungsu sebagai wadah transmisi keilmuan kaum Tua, di samping surau sebagai wadah pewarisan Tarekat. Maka semakin kokohlah Kaum Tua di Luak nan Bungsu, terpelihara dari serangan-serangan Ulama Muda.
mencari petunjuk- SERSAN SATU
- Posts : 192
Join date : 27.10.11
Reputation : 6
Re: Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Begitulah realitas ringkas dari keberadaan Kaum Tua di Luak nan Bungsu, Luak Lima Puluh Kota. Walaupun masa telah berjalan lama, ulama-ulama besar ikutan umat telah banyak meninggalkan kita, sekolah-sekolah agama telah ditinggalkan dan kitab-kitab kuning telah jarang diminati, namun usaha-usaha Ulama-ulama Luak nan Bungsu masa lampau tetap berbekas dan terus diwarisi oleh murid-murid mereka yang ribuan jumlahnya, dan faham mereka selalu diikuti oleh masyarakat banyak. Sehingga sampai saat ini eksistensi kaum Tua di Luak nan Bungsu, selalu tampak ditengah-tengah masyarakatnya.
Sumber Rujukan :
Syekh Ahmad Khatib bin Abdullathif al-Minangkabawi, Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (Mesir: at-Taqdum al-Ilmiyah, 1908)
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (Disertasi)(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, t. th)
B. J. O. Shcrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat : Sebuah Sumbangan Bibliografi diterjemahkan Soegarda poerbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1973)
Yulizal Yunus, Sastra Islam: Kajian Sya’ir Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Bayang (Padang: IAIN-IB Press, 1999)
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’d al-Muta’asshibin (Mesir: Mathba’ah at-Taqadim al-Ilmiyah, 1909)
Muhammad Rusli Kapau, Khulasah Tarikh Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli di dalam Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’ alih aksara oleh Hamdan Izmi (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Mizan al-Qalb (manuskrip) (1989)
Mestika Zed (ed), Riwayat Hidup Sumatera Barat dan Perjuangan (Padang: Islamic Centre, 2001)
Datoek Toeah (ed: Damhoeri) , Tambo Alam Minangkabau (Bukittinggi: Pustaka Indonesia, 1985)
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982)
MTI Pakan Sinayan, akankah Bertahan ?. di dalam Padang Ekspres, selasa, 2 september 2008.
Diniyyah School Koto nan Gadang, Mungkinkah Sejarah Bakal Berulang ? di dalam Padang Ekspres. Senin, 1 September 2008. hal. 17
Sumber Rujukan :
Syekh Ahmad Khatib bin Abdullathif al-Minangkabawi, Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (Mesir: at-Taqdum al-Ilmiyah, 1908)
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (Disertasi)(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, t. th)
B. J. O. Shcrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat : Sebuah Sumbangan Bibliografi diterjemahkan Soegarda poerbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1973)
Yulizal Yunus, Sastra Islam: Kajian Sya’ir Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Bayang (Padang: IAIN-IB Press, 1999)
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’d al-Muta’asshibin (Mesir: Mathba’ah at-Taqadim al-Ilmiyah, 1909)
Muhammad Rusli Kapau, Khulasah Tarikh Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli di dalam Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’ alih aksara oleh Hamdan Izmi (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Mizan al-Qalb (manuskrip) (1989)
Mestika Zed (ed), Riwayat Hidup Sumatera Barat dan Perjuangan (Padang: Islamic Centre, 2001)
Datoek Toeah (ed: Damhoeri) , Tambo Alam Minangkabau (Bukittinggi: Pustaka Indonesia, 1985)
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982)
MTI Pakan Sinayan, akankah Bertahan ?. di dalam Padang Ekspres, selasa, 2 september 2008.
Diniyyah School Koto nan Gadang, Mungkinkah Sejarah Bakal Berulang ? di dalam Padang Ekspres. Senin, 1 September 2008. hal. 17
mencari petunjuk- SERSAN SATU
- Posts : 192
Join date : 27.10.11
Reputation : 6
Re: Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
Syaikh Muda Wali al khalidi
Kepulanngan Syekh Muda Waly dari tanah suci beliau mendapat sambutan dari murid murid beliau serta dari ulama ulama Minangkabau lainnya seperti Syekh `Ali Khatib, syekh Sulaiman Ar Rasuli, Buya syekh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan,dengan kembalinya Syekh Muda Waly, maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal jamaah di padang khususnya.
Dikalangan ulama ulama besar itu, Syekh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga dalam perdebatan perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syekh Muda Waly lebih didahulukan oleh ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi ulama dari kaum muda. Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama tua dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.
Walaupun Syekh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas,namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau , akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama- ulama sebelumnya. Apabila Ar Ranirin di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syekh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syekh Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu . Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di sumatar barat kala itu yaitu Syekh Abdul ghaniy Al Kamfary bertempat di Batu Bersurat, kampar, bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadah dan munajat berupa mengamalkan zikir zikir sebagaimana atas petunjuk Syekh Abdul Ghany beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjanji untuk mandi dan berwudhuk.
Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syekh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah thariqah beliau kembali kekota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. banyak murid yang mengambil ilmu di pesantren tersebut bahkan juga santri - santri dari Aceh. Tetapi pada saat jepang masuk kePadang, Syekh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh.
PULANG KE ACEH
Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau sendiri.
Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji.Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.
Lahan tempat mendirikan musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian, yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra.
Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut;
Pertama: Darul-Muttaqin; di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin; dilokai ini bertempat tinggal guru guru ynag sebagian besar sudah berumah tangga.Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga : Darul Muta`allimin ;Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al kampari,guru tasauf Syekh muda Waly .
Keempat : Darus salikin ; dilokasi ini banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin; Lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini, Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh,maka jarang seklai santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la; lakasi ini merupakan lokasi nomr satu karena tanhnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan.
Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat .
Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari desa pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kpta kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus,pelajarnya juga tidak banyak. para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sewhingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatanm yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalanganMuhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syekh Muda Waly. Namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.
PENDIDIKAN PESANTREN
Di pesantren yang beliau bangun itu Syekh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, senin, atau malam senin. Pada malam senin kaum ibu ibu mendapat ceramah agama dari guru guru yang telah ditetapkan oleh beliau. sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu ibu yang bermalam di pesantren ikut membangaunn pesantren dengan menimbun sebagian lokasai pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu yang aneh dan luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut kepantai dan batu batu itu berwarna putih bersih. Dan ini hanya terjadi di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syekh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalm tariqat Naqayabandyah dan shalat ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki laki dalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.
Pada setiap bulan Ramadan Syekh Muda waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya idul fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul awal selama 10 hari.Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.
Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh syekh Muda Waly terbagi kepada dua:
Pertama: sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab kitab yang dipelajari mesti khatam. Oleh Karena guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lamu bus saja.walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja,sedangakan dikiri kanannya kita tidak melihatnya.
Kedua: sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab,tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sewbagai contoh,apabila pelajaran fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah Al Muhtaj syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil dalilnya baik dari Al Qur an, Al Hadis ataupun disiplin ilmu lainnya. ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sstem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.
Syekh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri muali dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan shalat dhuha belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi,yang terdiri dari para dewan guru. kitab yang dibaca adalah Tuhfah Al Muhtaj, jam`ul jawami` dan kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah asar beliau juga menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syekh Muda Waly sangat disiplib dalam menagjar sehingga dalam kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit. para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau.Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau.Pertanyaan dan debatan dari murid mrid beliau rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau.Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit.(bersambung)
Kepulanngan Syekh Muda Waly dari tanah suci beliau mendapat sambutan dari murid murid beliau serta dari ulama ulama Minangkabau lainnya seperti Syekh `Ali Khatib, syekh Sulaiman Ar Rasuli, Buya syekh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan,dengan kembalinya Syekh Muda Waly, maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal jamaah di padang khususnya.
Dikalangan ulama ulama besar itu, Syekh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga dalam perdebatan perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syekh Muda Waly lebih didahulukan oleh ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi ulama dari kaum muda. Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama tua dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.
Walaupun Syekh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas,namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau , akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama- ulama sebelumnya. Apabila Ar Ranirin di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syekh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syekh Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu . Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di sumatar barat kala itu yaitu Syekh Abdul ghaniy Al Kamfary bertempat di Batu Bersurat, kampar, bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadah dan munajat berupa mengamalkan zikir zikir sebagaimana atas petunjuk Syekh Abdul Ghany beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjanji untuk mandi dan berwudhuk.
Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syekh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah thariqah beliau kembali kekota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. banyak murid yang mengambil ilmu di pesantren tersebut bahkan juga santri - santri dari Aceh. Tetapi pada saat jepang masuk kePadang, Syekh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh.
PULANG KE ACEH
Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau sendiri.
Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji.Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.
Lahan tempat mendirikan musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian, yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra.
Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut;
Pertama: Darul-Muttaqin; di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin; dilokai ini bertempat tinggal guru guru ynag sebagian besar sudah berumah tangga.Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga : Darul Muta`allimin ;Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al kampari,guru tasauf Syekh muda Waly .
Keempat : Darus salikin ; dilokasi ini banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin; Lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini, Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh,maka jarang seklai santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la; lakasi ini merupakan lokasi nomr satu karena tanhnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan.
Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat .
Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari desa pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kpta kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus,pelajarnya juga tidak banyak. para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sewhingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatanm yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalanganMuhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syekh Muda Waly. Namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.
PENDIDIKAN PESANTREN
Di pesantren yang beliau bangun itu Syekh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, senin, atau malam senin. Pada malam senin kaum ibu ibu mendapat ceramah agama dari guru guru yang telah ditetapkan oleh beliau. sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu ibu yang bermalam di pesantren ikut membangaunn pesantren dengan menimbun sebagian lokasai pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu yang aneh dan luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut kepantai dan batu batu itu berwarna putih bersih. Dan ini hanya terjadi di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syekh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalm tariqat Naqayabandyah dan shalat ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki laki dalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.
Pada setiap bulan Ramadan Syekh Muda waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya idul fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul awal selama 10 hari.Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.
Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh syekh Muda Waly terbagi kepada dua:
Pertama: sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab kitab yang dipelajari mesti khatam. Oleh Karena guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lamu bus saja.walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja,sedangakan dikiri kanannya kita tidak melihatnya.
Kedua: sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab,tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sewbagai contoh,apabila pelajaran fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah Al Muhtaj syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil dalilnya baik dari Al Qur an, Al Hadis ataupun disiplin ilmu lainnya. ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sstem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.
Syekh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri muali dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan shalat dhuha belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi,yang terdiri dari para dewan guru. kitab yang dibaca adalah Tuhfah Al Muhtaj, jam`ul jawami` dan kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah asar beliau juga menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syekh Muda Waly sangat disiplib dalam menagjar sehingga dalam kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit. para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau.Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau.Pertanyaan dan debatan dari murid mrid beliau rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau.Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit.(bersambung)
mencari petunjuk- SERSAN SATU
- Posts : 192
Join date : 27.10.11
Reputation : 6
Re: Kaum Tua dan Kaum Muda di awal Abad ke-20
dulu kaum muda kebanyakan masih ada hormat pada orang tua, sekarang kebanyakan kaum muda tidak hormat pada orang tua, tapi bukan berarti semua kaum muda tidak hormat pada orang tua.
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Similar topics
» muslim india awal abad 19
» Bencana Kaum Sodom, Hancurnya Kota Pompeii, dan Kaum 'Ad dan Ubar
» Kehebatan Muhaddits Abad Milenium
» FPI: Habib Rizieq Tokoh Besar Abad Ini
» gereja sudah ada di nusantara sejak abad ke 7....
» Bencana Kaum Sodom, Hancurnya Kota Pompeii, dan Kaum 'Ad dan Ubar
» Kehebatan Muhaddits Abad Milenium
» FPI: Habib Rizieq Tokoh Besar Abad Ini
» gereja sudah ada di nusantara sejak abad ke 7....
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik