sejarah pembakuan hukum islam
Halaman 1 dari 1 • Share
sejarah pembakuan hukum islam
Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang
lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak
masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan
munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para
Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai
masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga
masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf
(Klasik).
Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini
bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat
transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan
kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain
menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat.
Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara
kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu
serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah
menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap
'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri
sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl
al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat
pada Dinasti Umayyah.
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh
bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan
Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,
setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap
al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para
pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah
-dengan perbedaan berbagai kelompok mereka- sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits
tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum
Syi'ah..." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]
Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in -dengan dipimpin
tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian
membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang
sistimatis.
WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat
kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan
ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara
lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan
adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum,
sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi
untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para
Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap
sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab:
al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu
mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual
untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre
kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam
pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap
perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan
zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh
nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang
menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai
kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman
dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat
(shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum
ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak
keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan
menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw.
diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan
menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna
berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash
itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi
sendiri, kemudian zaman para Sahabat, dan diteruskan ke
zaman para Tabi'in. Tapi jika pada zaman Nabi tempat
rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak
tokoh, yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
sejak pertikaian politik pada paroh kedua kekhalifahan
'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian
berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak.
Seperti dilukiskan Siba'i yang telah dikutip di atas,
penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada
sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi tanpa peduli dengan sambutan sebagian besar umat
Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau
"Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
"solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan
kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah
Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK
Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum Muslim
dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
dan 'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua Tokoh") yang amat
dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan"
yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut] mensponsori
pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi
golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah
itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para
Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi
suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi "koalisi" itu
mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadits atau
Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan
Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung
dari rezim Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang
Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya
dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz
(Makkah-Madinah) dengan orientasi Haditsnya, dan Irak
(Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi
(ra'y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan
oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,
Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian
fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada
kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai
dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang
cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan
hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
"petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash.
Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan
akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau
menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan
menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal
banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian
sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu
kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak
mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh
mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di
Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan
terlatihnya mereka itu kepada penalaran, adalah lebih luas
dan lebih banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada
penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai
untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan
kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang kepada
penuturan masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok Penalaran",
dengan isyarat tidak banyak mementingkan "riwayat"),
sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual
masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti
karakteristik umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
terdapat seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong
"Kelompok Penalaran," dan di kalangan para sarjana Irak,
kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok
Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok
hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry',
apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak
tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua
katagori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum
zaman Tabi'in.
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma' al-Buhuts
al-Islamiyyah (Badan Riset Islam) Universitas al-Azhar,
Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah ijtihad
mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara
langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang
benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat
seorang Sahabat Nabi, yang diduga bersandar kepada Sunnah
yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul
sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih
zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk
muncul. Misalnya, perubahan situasi politik, dengan
perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun
sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan
dengan hukum, banyak berorientasi kepada preseden-preseden
para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih
banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada
masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi. Sikap
berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka
(dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan
kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya
memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk
menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan
Hadits. Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai tumbuh sejak
jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang akhir kekuasaan
Umawi. Kini usaha ini memperoleh dorongan baru, dan
merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan,
baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan
hukum, maupun yang lain. [5]
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan
sosial-politik, berupa semakin beragamnya latar belakang
etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir,
Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan
bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya,
bidang kajian hukum Islam atau fiqh. Merekalah para
pendahulu imam-imam madzhab, bahkan guru-guru para calon
imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
suatu aliran pikiran (yakni, madzhab, school of thought)
dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok:
Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup
berarti, dan cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang
mendominasi suasana intelektual suatu tempat, seperti
dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
dengannya. Wafat pada 94 H.
2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
Quraysy). Wafat pada 94 H.
4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.
Belajar dari 'Aisyah
lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak
masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan
munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para
Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai
masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga
masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf
(Klasik).
Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini
bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat
transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan
kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain
menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat.
Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara
kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu
serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah
menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap
'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri
sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl
al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat
pada Dinasti Umayyah.
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh
bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan
Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,
setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap
al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para
pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah
-dengan perbedaan berbagai kelompok mereka- sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits
tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum
Syi'ah..." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]
Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in -dengan dipimpin
tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian
membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang
sistimatis.
WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat
kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan
ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara
lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan
adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum,
sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi
untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para
Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap
sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab:
al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu
mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual
untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre
kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam
pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap
perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan
zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh
nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang
menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai
kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman
dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat
(shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum
ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak
keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan
menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw.
diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan
menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna
berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash
itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi
sendiri, kemudian zaman para Sahabat, dan diteruskan ke
zaman para Tabi'in. Tapi jika pada zaman Nabi tempat
rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak
tokoh, yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
sejak pertikaian politik pada paroh kedua kekhalifahan
'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian
berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak.
Seperti dilukiskan Siba'i yang telah dikutip di atas,
penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada
sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi tanpa peduli dengan sambutan sebagian besar umat
Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau
"Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
"solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan
kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah
Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK
Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum Muslim
dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
dan 'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua Tokoh") yang amat
dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan"
yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut] mensponsori
pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi
golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah
itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para
Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi
suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi "koalisi" itu
mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadits atau
Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan
Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung
dari rezim Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang
Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya
dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz
(Makkah-Madinah) dengan orientasi Haditsnya, dan Irak
(Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi
(ra'y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan
oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,
Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian
fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada
kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai
dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang
cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan
hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
"petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash.
Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan
akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau
menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan
menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal
banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian
sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu
kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak
mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh
mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di
Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan
terlatihnya mereka itu kepada penalaran, adalah lebih luas
dan lebih banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada
penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai
untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan
kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang kepada
penuturan masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok Penalaran",
dengan isyarat tidak banyak mementingkan "riwayat"),
sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual
masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti
karakteristik umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
terdapat seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong
"Kelompok Penalaran," dan di kalangan para sarjana Irak,
kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok
Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok
hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry',
apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak
tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua
katagori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum
zaman Tabi'in.
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma' al-Buhuts
al-Islamiyyah (Badan Riset Islam) Universitas al-Azhar,
Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah ijtihad
mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara
langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang
benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat
seorang Sahabat Nabi, yang diduga bersandar kepada Sunnah
yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul
sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih
zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk
muncul. Misalnya, perubahan situasi politik, dengan
perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun
sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan
dengan hukum, banyak berorientasi kepada preseden-preseden
para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih
banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada
masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi. Sikap
berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka
(dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan
kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya
memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk
menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan
Hadits. Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai tumbuh sejak
jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang akhir kekuasaan
Umawi. Kini usaha ini memperoleh dorongan baru, dan
merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan,
baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan
hukum, maupun yang lain. [5]
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan
sosial-politik, berupa semakin beragamnya latar belakang
etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir,
Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan
bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya,
bidang kajian hukum Islam atau fiqh. Merekalah para
pendahulu imam-imam madzhab, bahkan guru-guru para calon
imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
suatu aliran pikiran (yakni, madzhab, school of thought)
dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok:
Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup
berarti, dan cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang
mendominasi suasana intelektual suatu tempat, seperti
dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
dengannya. Wafat pada 94 H.
2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
Quraysy). Wafat pada 94 H.
4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.
Belajar dari 'Aisyah
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» sejarah awal dan pembakuan hukum islam
» sejarah hukum islam
» hukum islam tidak hanya sebatas hukum pidana saja
» sejarah khalifah islam
» sejarah islam di palembang
» sejarah hukum islam
» hukum islam tidak hanya sebatas hukum pidana saja
» sejarah khalifah islam
» sejarah islam di palembang
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik