hukum kirim sura alfatehah
Halaman 1 dari 1 • Share
hukum kirim sura alfatehah
Lepas dari masalah siapa orang yang dikirimi pahala, para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdo’a dan menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia. Kami akan membahas secara khusus masalah menghadiahkan pahala dari suatu amal perbuatan yang dilakukan oleh orang yang masih hidup dan diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah mati.
Sedangkan berkaitan bila pahala itu dikirimkan ke orang-orang tertentu dengan berharap agar ruh orang tersebut bisa memberikan perlindungan dan atau pertolongan, maka hukumnya jelas tidak boleh. Karena dalam masalah ini, perlidungan atau pertolongan hanya dari Allah saja. Ruh orang yang sudah meninggal tidak boleh diharapkan untuk memberikan bentuk pertolongan atau perlindungan tertentu. Karena akan menggiring pelakunya ke arah kemusyrikan.
Sedangkan imam Nawawi Al-Bantani atau pun Syeikh Abdul Qadir Jaelani tidak lain adalah orang-orang shalih yang berpegang teguh pada syariat Islam. Namun terkadang ketidak-tahuan orang-orang tertentu membuat citra para tokoh utama ini menjadi seakan-akan berbau mistis dan berhubungan dengan hal-hal yang ghaib.
Khusus masalah menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal, para ulama memang berbeda pendapat. Ada yang membolehkan, ada yang mutlak menafikan dan ada yang mengambil jalan tengah.
A. PENDAPAT PERTAMA
Menghadiahkan pahala kepada orang meninggal tidak diperintahkan agama. Pendapt ini berdasarkan dalil:
“Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm:38-39) ”Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yaasiin:54) ”Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. QS. Al Baqaraah 286
Ayat-ayat di atas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
”Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya”(HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad).
B. PENDAPAT KEDUA
Pendapat ini membedakan jenis ibadah yang pahalanya mau dikirimkan. Yaitu antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji sampai kepada mayyit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai.
Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan pendapat Madzhab Malik. Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain.
Dalil yang mereka gunakan adalah sabda Rasul SAW:
“Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum”(HR An-Nasa’i).
C. PENDAPAT KETIGA
Pendapat ketiga sama sekali tidak membedakan antara ibadah maliyah dan ibadah amaliyah. Kedua-duanya bisa sampai pahalanya kepada orang yang sudah meninggal. Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit.
Pendapat ketiga ini berdasarkan dalil-dalil : ”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
Sedangkan dari hadits, mereka menggunakan hadits tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur. Dimana kesemuanya memberi isyarat bahwa semua perbuatan itu bisa memberi manfaat kepada mayyit.
Misalnya tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Begitu juga tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
”Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
Hal yang mirip adalah bila kita kaitkan dengan hadits-hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit. Misalnya :
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
Juga hadits tentang sampainya pahala saum orang yang masih hidup buat diberikan kepada orang yang sudah meninggal.
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)
Dan juga dalil hadits tentang sampainya pahala haji orang yang masih hidup untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
Hadits Abu Qotadah menceritakan bahwa ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda: ” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Dan secara logika, bila kita renungkan, maka sesungguhnya pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Berkaitan dengan pertanyaan tentang pembacaan marhaban dan barzanji pada saat kelahiran, sesungguhnya memang tidak ada perintah atau anjuran praktek baik dari Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW yang bersifat sharih dan shahih. Istilah marhaban dan barzanji sendiri merupakan istilah yang datang kemudian.
Kalaupun sebagian umat Islam melakukannya, pastilah bukan berdasarkan comntoh praktek dari Rasulullah SAW atau pun para shahabat mapun tabi`in dan tabi`it tabi`in. Karena yang disebut Barzanji itu pada hakikatnya adalah bait-bait syi`ir atau natsar yang isinya tentang riwayat kelahiran Rasulullah SAW. Disusun dan digubah sekian abad setelah wafatnya Rasulullah SAW dan para shahabat.
Wallahu a`lam bis-shawab.
Sedangkan berkaitan bila pahala itu dikirimkan ke orang-orang tertentu dengan berharap agar ruh orang tersebut bisa memberikan perlindungan dan atau pertolongan, maka hukumnya jelas tidak boleh. Karena dalam masalah ini, perlidungan atau pertolongan hanya dari Allah saja. Ruh orang yang sudah meninggal tidak boleh diharapkan untuk memberikan bentuk pertolongan atau perlindungan tertentu. Karena akan menggiring pelakunya ke arah kemusyrikan.
Sedangkan imam Nawawi Al-Bantani atau pun Syeikh Abdul Qadir Jaelani tidak lain adalah orang-orang shalih yang berpegang teguh pada syariat Islam. Namun terkadang ketidak-tahuan orang-orang tertentu membuat citra para tokoh utama ini menjadi seakan-akan berbau mistis dan berhubungan dengan hal-hal yang ghaib.
Khusus masalah menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal, para ulama memang berbeda pendapat. Ada yang membolehkan, ada yang mutlak menafikan dan ada yang mengambil jalan tengah.
A. PENDAPAT PERTAMA
Menghadiahkan pahala kepada orang meninggal tidak diperintahkan agama. Pendapt ini berdasarkan dalil:
“Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm:38-39) ”Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yaasiin:54) ”Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. QS. Al Baqaraah 286
Ayat-ayat di atas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
”Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya”(HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad).
B. PENDAPAT KEDUA
Pendapat ini membedakan jenis ibadah yang pahalanya mau dikirimkan. Yaitu antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji sampai kepada mayyit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai.
Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan pendapat Madzhab Malik. Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain.
Dalil yang mereka gunakan adalah sabda Rasul SAW:
“Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum”(HR An-Nasa’i).
C. PENDAPAT KETIGA
Pendapat ketiga sama sekali tidak membedakan antara ibadah maliyah dan ibadah amaliyah. Kedua-duanya bisa sampai pahalanya kepada orang yang sudah meninggal. Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit.
Pendapat ketiga ini berdasarkan dalil-dalil : ”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
Sedangkan dari hadits, mereka menggunakan hadits tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur. Dimana kesemuanya memberi isyarat bahwa semua perbuatan itu bisa memberi manfaat kepada mayyit.
Misalnya tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Begitu juga tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
”Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
Hal yang mirip adalah bila kita kaitkan dengan hadits-hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit. Misalnya :
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
Juga hadits tentang sampainya pahala saum orang yang masih hidup buat diberikan kepada orang yang sudah meninggal.
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)
Dan juga dalil hadits tentang sampainya pahala haji orang yang masih hidup untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
Hadits Abu Qotadah menceritakan bahwa ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda: ” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Dan secara logika, bila kita renungkan, maka sesungguhnya pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Berkaitan dengan pertanyaan tentang pembacaan marhaban dan barzanji pada saat kelahiran, sesungguhnya memang tidak ada perintah atau anjuran praktek baik dari Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW yang bersifat sharih dan shahih. Istilah marhaban dan barzanji sendiri merupakan istilah yang datang kemudian.
Kalaupun sebagian umat Islam melakukannya, pastilah bukan berdasarkan comntoh praktek dari Rasulullah SAW atau pun para shahabat mapun tabi`in dan tabi`it tabi`in. Karena yang disebut Barzanji itu pada hakikatnya adalah bait-bait syi`ir atau natsar yang isinya tentang riwayat kelahiran Rasulullah SAW. Disusun dan digubah sekian abad setelah wafatnya Rasulullah SAW dan para shahabat.
Wallahu a`lam bis-shawab.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» [YG bisa terkait cara kirim pesanan] CARA KIRIM BARANG KE LUAR NEGERI|| Program Ekspor Shopee
» [YG bisa terkait cara kirim barang dagang/barang dagangan] CARA KIRIM PESANAN SHOPEE MENGGUNAKAN SICEPAT || Kelebihan & Kekurangan
» [YG bisa terkait cara mengubaH] CARA MENGUBAH JASA KIRIM YANG DIPILIH OLEH SISTEM SHOPEE || Perubahan Layanan Jasa Kirim Shopee
» [YG bisa terkait solusi serta penyebab] PENYEBAB & SOLUSI TIDAK BISA MENGUBAH JASA KIRIM SHOPEE|| Perubahan Layanan Jasa Kirim
» Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al Quran Sura At Tahrim 66:1
» [YG bisa terkait cara kirim barang dagang/barang dagangan] CARA KIRIM PESANAN SHOPEE MENGGUNAKAN SICEPAT || Kelebihan & Kekurangan
» [YG bisa terkait cara mengubaH] CARA MENGUBAH JASA KIRIM YANG DIPILIH OLEH SISTEM SHOPEE || Perubahan Layanan Jasa Kirim Shopee
» [YG bisa terkait solusi serta penyebab] PENYEBAB & SOLUSI TIDAK BISA MENGUBAH JASA KIRIM SHOPEE|| Perubahan Layanan Jasa Kirim
» Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al Quran Sura At Tahrim 66:1
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik