bacalah atas nama tuhanmu
Halaman 1 dari 1 • Share
bacalah atas nama tuhanmu
Jibril datang dan meminta Muhammad membaca. Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca?" Seterusnya malaikat itu berkata:
"Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
Membaca sebuah teks sebenarnya (paling tidak) melibatkan tiga hal: pengarang, teks dan pembaca. Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Ada pengarang yang cerdas, namun teksnya dibaca oleh pembaca yang tidak cerdas; ada pula pengarang yang tidak cerdas, namun teksnya dibaca oleh pembaca yang cerdas. Semakin cerdas kita membaca sebuah teks, semakin cerdas pula teks itu memberikan respons. Kalimat terakhir ini juga berlaku saat membaca al-Qur'an. Surat yasin yang dibaca oleh bang Ali, tetangga saya di kampung utan, setiap malam Jum'at akan berbeda maknanya dengan surah yasin yang dibaca oleh Pak Syarif Junaedi, ilmuwan kebanggaan ummat Islam (amin).
Pengarang dan pembaca juga dipengaruhi berbagai faktor yang dapat menentukan kualitas teks yang ditulis maupun kualitas bacaan. Teks yang ditulis atau dibaca juga tidak netral. Teks itu hanyalah sebuah medium ide atau gagasan. Gagasan atau ide direduksi menjadi kata-kata, kemudian kata-kata dirangkai dengan mempertimbangkan unsur etika, estetika, bahkan unsur "nglindur". Kompromi terjadi di sana-sini. Dengan kata lain, teks tidaklah dapat merangkum semua makna yang ingin disampaikan oleh pengarang. Pengarang, teks dan pembaca masing-masing memiliki keterbatasan.
Saya punya pengalaman menarik soal keterbatasan ini. Saat saya masih duduk di Madrasah Aliyah, hobbi saya membaca buku-buku "kelas berat" yang dibaca oleh anak IAIN seperti bukunya Fazlur Rahman. Harus jujur saya akui tidak semuanya saya paham. Tapi saya teruskan saja membaca. Ketika beberapa tahun kemudian saya duduk di bangku IAIN, saya mengikuti diskusi soal Fazlur Rahman dan memaksa saya membaca ulang buku-buku tsb. Kali ini saya mendapat pemahaman yang lain terhadap teks tsb.
Contoh lain baru terjadi kemarin. Saat saya membaca sebuah buku ttg sejarah pemikiran politik dalam Islam (karya Anthony Black), saya membaca mengenai risalah-nya Ibn Muqaffa. Saya terkejut dengan ide-ide Ibn Muqaffa yang dikutip itu. Saya heran, kok selama ini saya tidak menaruh perhatian pada tokoh ini. Lalu saya bongkar lagi arsip lama, ternyata pemikiran Ibn Muqaffa pernah saya baca sekitar 10 tahun lalu dan saat itu tidak saya anggap penting. Sekarang, di saat saya sudah belajar banyak hal, saya baru sadar arti pentingnya Ibn Muqaffa.
Hari ini saya membaca masalah law and morality. Saya terkejut ketika aliran natural law dan positivist yang saya baca itu ternyata sebagian bisa menjelaskan perdebatan-perdebatan yang terjadi belakangan ini soal Ulil dan Islam Liberal. Dulu saat saya belajar filsafat hukum pertama kali, saya tidak pernah mengaitkan hal-hal tsb dengan konteks penafsiran Islam. Saya terinspirasi ketika membaca ulang buku-buku legal theory. Kata orang, "lancar kaji karena diulang" :-)
Pengayaan makna itu juga saya dapati ketika membaca al-Qur'an. Dalam sebuah pengajian di kota Armidale (NSW) sekitar tahun 1999, seorang brother dari Pakistan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an. Saat mendengar itu ingatan saya melayang saat guru saya di Madrasah dulu membaca dan menafsirkan ayat itu. Ketika brother dari Pakistan membaca ayat yang sama, tiba-tiba saya menyadari bahwa telah terjadi perubahan dalam diri saya. Saat telinga saya mendengar ayat itu, saya secara otomatis mulai mengaitkannya dengan sejumlah pengalaman, sejumlah bacaan, sejumlah diskusi yang saya sudah jalani dalam rentang waktu antara keberadaan saya di Madrasah dengan posisi saya di Armidale. Ayatnya memang masih sama, namun pemahaman saya terhadap ayat (teks) sudah bertambah kaya. Dalam konteks ini, saya kira sungguh amat merugi orang yang berulang-ulang membaca sebuah teks (termasuk al-Qur'an) dalam berbagai kesempatan yang berbeda namun pemahamannya masih itu-itu saja.
Membaca adalah sebuah proses yang sangat penting dalam kehidupan kita. Ayat pertama yang turun berisi perintah untuk membaca. Sekarang berbagai bacaan ada di depan kita, andaikata kita bertanya seperti Muhammad SAW bertanya, "Apa yang akan saya baca?" Wahyu yang turun pertama kali itu tidak menjelaskan apa "obyek" bacaan kita. Yang diajarkan kepada kita adalah:
Apapun yang anda baca (termasuk membaca yang tidak terbaca) lakukanlah dengan menyebut nama Tuhanmu! Lewat bacaan itu Dia akan mengajarkan kepada kita apa yang sebelumnya tidak kita ketahui...
wa fawqa kulli dzi 'ilmin 'alim!
salam,
=nadir=
"Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
Membaca sebuah teks sebenarnya (paling tidak) melibatkan tiga hal: pengarang, teks dan pembaca. Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Ada pengarang yang cerdas, namun teksnya dibaca oleh pembaca yang tidak cerdas; ada pula pengarang yang tidak cerdas, namun teksnya dibaca oleh pembaca yang cerdas. Semakin cerdas kita membaca sebuah teks, semakin cerdas pula teks itu memberikan respons. Kalimat terakhir ini juga berlaku saat membaca al-Qur'an. Surat yasin yang dibaca oleh bang Ali, tetangga saya di kampung utan, setiap malam Jum'at akan berbeda maknanya dengan surah yasin yang dibaca oleh Pak Syarif Junaedi, ilmuwan kebanggaan ummat Islam (amin).
Pengarang dan pembaca juga dipengaruhi berbagai faktor yang dapat menentukan kualitas teks yang ditulis maupun kualitas bacaan. Teks yang ditulis atau dibaca juga tidak netral. Teks itu hanyalah sebuah medium ide atau gagasan. Gagasan atau ide direduksi menjadi kata-kata, kemudian kata-kata dirangkai dengan mempertimbangkan unsur etika, estetika, bahkan unsur "nglindur". Kompromi terjadi di sana-sini. Dengan kata lain, teks tidaklah dapat merangkum semua makna yang ingin disampaikan oleh pengarang. Pengarang, teks dan pembaca masing-masing memiliki keterbatasan.
Saya punya pengalaman menarik soal keterbatasan ini. Saat saya masih duduk di Madrasah Aliyah, hobbi saya membaca buku-buku "kelas berat" yang dibaca oleh anak IAIN seperti bukunya Fazlur Rahman. Harus jujur saya akui tidak semuanya saya paham. Tapi saya teruskan saja membaca. Ketika beberapa tahun kemudian saya duduk di bangku IAIN, saya mengikuti diskusi soal Fazlur Rahman dan memaksa saya membaca ulang buku-buku tsb. Kali ini saya mendapat pemahaman yang lain terhadap teks tsb.
Contoh lain baru terjadi kemarin. Saat saya membaca sebuah buku ttg sejarah pemikiran politik dalam Islam (karya Anthony Black), saya membaca mengenai risalah-nya Ibn Muqaffa. Saya terkejut dengan ide-ide Ibn Muqaffa yang dikutip itu. Saya heran, kok selama ini saya tidak menaruh perhatian pada tokoh ini. Lalu saya bongkar lagi arsip lama, ternyata pemikiran Ibn Muqaffa pernah saya baca sekitar 10 tahun lalu dan saat itu tidak saya anggap penting. Sekarang, di saat saya sudah belajar banyak hal, saya baru sadar arti pentingnya Ibn Muqaffa.
Hari ini saya membaca masalah law and morality. Saya terkejut ketika aliran natural law dan positivist yang saya baca itu ternyata sebagian bisa menjelaskan perdebatan-perdebatan yang terjadi belakangan ini soal Ulil dan Islam Liberal. Dulu saat saya belajar filsafat hukum pertama kali, saya tidak pernah mengaitkan hal-hal tsb dengan konteks penafsiran Islam. Saya terinspirasi ketika membaca ulang buku-buku legal theory. Kata orang, "lancar kaji karena diulang" :-)
Pengayaan makna itu juga saya dapati ketika membaca al-Qur'an. Dalam sebuah pengajian di kota Armidale (NSW) sekitar tahun 1999, seorang brother dari Pakistan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an. Saat mendengar itu ingatan saya melayang saat guru saya di Madrasah dulu membaca dan menafsirkan ayat itu. Ketika brother dari Pakistan membaca ayat yang sama, tiba-tiba saya menyadari bahwa telah terjadi perubahan dalam diri saya. Saat telinga saya mendengar ayat itu, saya secara otomatis mulai mengaitkannya dengan sejumlah pengalaman, sejumlah bacaan, sejumlah diskusi yang saya sudah jalani dalam rentang waktu antara keberadaan saya di Madrasah dengan posisi saya di Armidale. Ayatnya memang masih sama, namun pemahaman saya terhadap ayat (teks) sudah bertambah kaya. Dalam konteks ini, saya kira sungguh amat merugi orang yang berulang-ulang membaca sebuah teks (termasuk al-Qur'an) dalam berbagai kesempatan yang berbeda namun pemahamannya masih itu-itu saja.
Membaca adalah sebuah proses yang sangat penting dalam kehidupan kita. Ayat pertama yang turun berisi perintah untuk membaca. Sekarang berbagai bacaan ada di depan kita, andaikata kita bertanya seperti Muhammad SAW bertanya, "Apa yang akan saya baca?" Wahyu yang turun pertama kali itu tidak menjelaskan apa "obyek" bacaan kita. Yang diajarkan kepada kita adalah:
Apapun yang anda baca (termasuk membaca yang tidak terbaca) lakukanlah dengan menyebut nama Tuhanmu! Lewat bacaan itu Dia akan mengajarkan kepada kita apa yang sebelumnya tidak kita ketahui...
wa fawqa kulli dzi 'ilmin 'alim!
salam,
=nadir=
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: bacalah atas nama tuhanmu
Ummat Islam menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber rujukan utama dan terutama. Kitab suci itu juga menjelaskan fungsinya sebagai, "Kitab yang tiada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa"(Al-Baqarah:2). Karena tiada keraguan mengenai isinya, maka semua informasi yang diberikan dalam Al-Qur'an pastilah benar. Hal ini tidaklah mengherankan karena Al-Qur'an adalah Kalamullah; ia berasal dari Allah SWT. Adalah wajib bagi ummat islam untuk meyakini bahwa satu huruf pun dalam Al-Qur'an itu berasal dari Allah SWT.
Kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad SAW ini haruslah dibaca dan dipahami sebaik mungkin. Sayangnya, ada dua hal yang menyulitkan kita untuk memahaminya. Pertama, Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Kedua,tema-temanya tidak tersusun rapi dan sistematis.
Kesulitan pertama lahir karena ketidakmampuan sebagian besar diantara kita berbahasa arab dengan baik. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa sastra yang digunakan oleh Al-Qur'an sangatlah tinggi. Bagi yang tidak menguasai bahasa Arab atau hanya sedikit menguasai jelas amat sulit untuk menangkap maksud Al-Qur'an dengan baik. Bahkan mereka yang bahasa ibunya bahasa Arab pun belum tentu mampu memahami kandungan bahasa al-Qur'an. Untunglah terjemahan Al-Qur'an sudah dicetak dan beredar luas. Tafsir berbahasa Indonesia juga sudah ada, semisal Tafsir Al-Azhar Buya Hamka.
Kesulitan kedua merupakan lanjutan logis dari kesulitan pertama. 114 surat yang terbagi dalam 30 juz dan tersebar dalam enam ribu lebih ayat bukanlah tersusun seperti ensiklopedi, yang entrinya disusun secara alpabetikal. Tema dalam Al-Qur'an terkesan meloncat-loncat. Kita akan gagal memahami maksud satu tema, bahkan satu ayat, dalam Al-Qur'an tanpa menghubungkannya dengan sejumlah ayat lain; bahkan juga harus dibantu dengan sejumlah riwayat hadis. Ini menunjukkan kita harus benar-benar memahami Al-QurĂ¢an secara satu kesatuan (holistik).
Berbeda dengan membaca ensiklopedi yang bila telah menemukan satu entri maka kita dapat melupakan atau mengacuhkan entri lainnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Al-Qur'an. Membaca hanya surat Al-Baqarah ayat 219 tentang khamr tidak akan meraih pemahaman yang utuh, kecuali bila kita juga membaca QS. 47: 12, dan QS. 5:90. Untunglah kita tertolong dengan beberapa kitab yang berfungsi sebagai indeks dalam mencari ayat Al-Qur'an. Kitab Mu'jam al-Mufahras, Fathur Rahman atau Indeks Al-Qur'an (terbitan Pustaka Bandung), Konkordansi Al-Qur'an (terbitan Litera Bogor) hanyalah sekedar menyebut beberapa kitab yang sangat berguna bagi kita.
Persoalan yang paling utama adalah bagaimana kita "membaca" Al-Qur'an sehingga hasil "bacaan" tersebut dapat berpengaruh dan menjawab semua problematika kehidupan?
Buat anak IAIN, Al-Qur'an telah menjadi obyek pembahasan tafsir; buat "paranormal", ayat Qur'an menjadi jimat; buat pejabat, ayat Qur'an yang dikutipnya membuat ia dianggap sebagai tokoh Islam, apalagi kalau ia kemudian bergabung dengan organisasi kumpulan cendekiawan Islam; buat para da'i, ayat Qur'an harus dikutip dalam ceramahnya, semakin banyak ayat yg dikutip semakin terlihat kealimannya; buat Sri Bintang Pamungkas, ayat Qur'an juga bisa ditaruh di kartu lebaran "politik"nya; buat AM Saefuddin dari PPP, ayat-ayat yang menyebut "bintang" dikumpulkannya untuk memberi justifikasi lambang partainya; buat seorang kiyai pendukung Golkar, problema umat islam bisa dipecahkan dengan kumpulan ayat yang bila huruf awalnya disingkat akan melahirkan kata "Golkar". Buat qari'-qari'ah, ayat Qur'an dilagukan di MTQ; dan masih banyak macam dan ragam cara kita "memperlakukan" Al-Qur'an.
Tetapi, pernahkah kita berpikir untuk menempatkan Al-Qur'an sesuai dengan proporsinya? Bila kita menghadapi masalah yang berat pernahkah kita mencoba mencari jawabannya di Qur'an? Bila rezeki Tuhan turun begitu melimpah atau tersendat-sendat kepada kita, adakah kita temukan jawabannya dalam kitab suci? Bila kita berselisih dengan karib kerabat pernahkah kita mencari penyelesaiannya dalam Al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari? Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya? Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?
Syaikh Abdullah Darraz berkata, "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian. Dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya". Boleh jadi ada sejumlah surat (katakanlah Surat Al-Ikhlas) yang sejak kecil kita baca (entah telah berapa ratus kali). Pernahkah kita melihat "cahaya"nya yang berbeda-beda? Ketika kita membaca surat Al-Ikhlas dalam satu kondisi boleh jadi kita mendapat satu pemahaman. Di hari dan kondisi yang berbeda, boleh jadi ayat yang sama akan melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Semakin sering dibaca, semakin dalam maknanya. Surat Yasin yang dibaca setiap minggu oleh sebagian dari kita, seharusnya telah melahirkan pemahaman yang semakin mendalam setiap minggunya.
Jika kita mampu "membaca" al-Qur'an lebih dari saat kita membaca huruf demi hurufnya, al-Qur'an tiba-tiba menjadi "hidup". Seorang rekan bercerita, ketika ia hendak melakukan perbuatan yang tercela, tiba-tiba ayat al-Qur'an melintas didepannya. Ia terkejut melihat Allah langsung menegurnya dengan "menampakkan" ayat Qur'an didepan matanya. Ketika ia membaca satu ayat, ia tak mampu memahaminya. Namun ia teruskan juga membaca ayat selanjutnya, tiba-tiba ia terkejut karena ia merasa "dibisiki" jawaban ketidaktahuannya melalui ayat selanjutnya. Walhasil, setiap ia membaca al-Qur'an, selalu ia temukan jawaban.
Konon, menurut satu riwayat, al-Qur'an itu berisikan tujuh makna lahir dan tujuh makna batin. Saya tak tahu makna ditingkat keberapa yang sudah diraih rekan tersebut. Yang saya tahu, ia seorang Ethiopia dan sedang menyelesaikan master dalam bidang ekonomi di kampus saya. Yang saya tahu, ia tak berbeda dengan kita dalam hal keawaman terhadap disiplin keislaman klasik (ia bukan seorang ulama), namun pada saat yang sama ia berbeda dengan kita karena ia telah mampu "menghidupkan" al-Qur'an dan membuktikan bahwa al-Qur'an itu memang Kitab petunjuk.
Wa Allahu a'lam bi al-Shawab.
Kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad SAW ini haruslah dibaca dan dipahami sebaik mungkin. Sayangnya, ada dua hal yang menyulitkan kita untuk memahaminya. Pertama, Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Kedua,tema-temanya tidak tersusun rapi dan sistematis.
Kesulitan pertama lahir karena ketidakmampuan sebagian besar diantara kita berbahasa arab dengan baik. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa sastra yang digunakan oleh Al-Qur'an sangatlah tinggi. Bagi yang tidak menguasai bahasa Arab atau hanya sedikit menguasai jelas amat sulit untuk menangkap maksud Al-Qur'an dengan baik. Bahkan mereka yang bahasa ibunya bahasa Arab pun belum tentu mampu memahami kandungan bahasa al-Qur'an. Untunglah terjemahan Al-Qur'an sudah dicetak dan beredar luas. Tafsir berbahasa Indonesia juga sudah ada, semisal Tafsir Al-Azhar Buya Hamka.
Kesulitan kedua merupakan lanjutan logis dari kesulitan pertama. 114 surat yang terbagi dalam 30 juz dan tersebar dalam enam ribu lebih ayat bukanlah tersusun seperti ensiklopedi, yang entrinya disusun secara alpabetikal. Tema dalam Al-Qur'an terkesan meloncat-loncat. Kita akan gagal memahami maksud satu tema, bahkan satu ayat, dalam Al-Qur'an tanpa menghubungkannya dengan sejumlah ayat lain; bahkan juga harus dibantu dengan sejumlah riwayat hadis. Ini menunjukkan kita harus benar-benar memahami Al-QurĂ¢an secara satu kesatuan (holistik).
Berbeda dengan membaca ensiklopedi yang bila telah menemukan satu entri maka kita dapat melupakan atau mengacuhkan entri lainnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Al-Qur'an. Membaca hanya surat Al-Baqarah ayat 219 tentang khamr tidak akan meraih pemahaman yang utuh, kecuali bila kita juga membaca QS. 47: 12, dan QS. 5:90. Untunglah kita tertolong dengan beberapa kitab yang berfungsi sebagai indeks dalam mencari ayat Al-Qur'an. Kitab Mu'jam al-Mufahras, Fathur Rahman atau Indeks Al-Qur'an (terbitan Pustaka Bandung), Konkordansi Al-Qur'an (terbitan Litera Bogor) hanyalah sekedar menyebut beberapa kitab yang sangat berguna bagi kita.
Persoalan yang paling utama adalah bagaimana kita "membaca" Al-Qur'an sehingga hasil "bacaan" tersebut dapat berpengaruh dan menjawab semua problematika kehidupan?
Buat anak IAIN, Al-Qur'an telah menjadi obyek pembahasan tafsir; buat "paranormal", ayat Qur'an menjadi jimat; buat pejabat, ayat Qur'an yang dikutipnya membuat ia dianggap sebagai tokoh Islam, apalagi kalau ia kemudian bergabung dengan organisasi kumpulan cendekiawan Islam; buat para da'i, ayat Qur'an harus dikutip dalam ceramahnya, semakin banyak ayat yg dikutip semakin terlihat kealimannya; buat Sri Bintang Pamungkas, ayat Qur'an juga bisa ditaruh di kartu lebaran "politik"nya; buat AM Saefuddin dari PPP, ayat-ayat yang menyebut "bintang" dikumpulkannya untuk memberi justifikasi lambang partainya; buat seorang kiyai pendukung Golkar, problema umat islam bisa dipecahkan dengan kumpulan ayat yang bila huruf awalnya disingkat akan melahirkan kata "Golkar". Buat qari'-qari'ah, ayat Qur'an dilagukan di MTQ; dan masih banyak macam dan ragam cara kita "memperlakukan" Al-Qur'an.
Tetapi, pernahkah kita berpikir untuk menempatkan Al-Qur'an sesuai dengan proporsinya? Bila kita menghadapi masalah yang berat pernahkah kita mencoba mencari jawabannya di Qur'an? Bila rezeki Tuhan turun begitu melimpah atau tersendat-sendat kepada kita, adakah kita temukan jawabannya dalam kitab suci? Bila kita berselisih dengan karib kerabat pernahkah kita mencari penyelesaiannya dalam Al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari? Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya? Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?
Syaikh Abdullah Darraz berkata, "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian. Dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya". Boleh jadi ada sejumlah surat (katakanlah Surat Al-Ikhlas) yang sejak kecil kita baca (entah telah berapa ratus kali). Pernahkah kita melihat "cahaya"nya yang berbeda-beda? Ketika kita membaca surat Al-Ikhlas dalam satu kondisi boleh jadi kita mendapat satu pemahaman. Di hari dan kondisi yang berbeda, boleh jadi ayat yang sama akan melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Semakin sering dibaca, semakin dalam maknanya. Surat Yasin yang dibaca setiap minggu oleh sebagian dari kita, seharusnya telah melahirkan pemahaman yang semakin mendalam setiap minggunya.
Jika kita mampu "membaca" al-Qur'an lebih dari saat kita membaca huruf demi hurufnya, al-Qur'an tiba-tiba menjadi "hidup". Seorang rekan bercerita, ketika ia hendak melakukan perbuatan yang tercela, tiba-tiba ayat al-Qur'an melintas didepannya. Ia terkejut melihat Allah langsung menegurnya dengan "menampakkan" ayat Qur'an didepan matanya. Ketika ia membaca satu ayat, ia tak mampu memahaminya. Namun ia teruskan juga membaca ayat selanjutnya, tiba-tiba ia terkejut karena ia merasa "dibisiki" jawaban ketidaktahuannya melalui ayat selanjutnya. Walhasil, setiap ia membaca al-Qur'an, selalu ia temukan jawaban.
Konon, menurut satu riwayat, al-Qur'an itu berisikan tujuh makna lahir dan tujuh makna batin. Saya tak tahu makna ditingkat keberapa yang sudah diraih rekan tersebut. Yang saya tahu, ia seorang Ethiopia dan sedang menyelesaikan master dalam bidang ekonomi di kampus saya. Yang saya tahu, ia tak berbeda dengan kita dalam hal keawaman terhadap disiplin keislaman klasik (ia bukan seorang ulama), namun pada saat yang sama ia berbeda dengan kita karena ia telah mampu "menghidupkan" al-Qur'an dan membuktikan bahwa al-Qur'an itu memang Kitab petunjuk.
Wa Allahu a'lam bi al-Shawab.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Hadits Nama-nama dua belas imam suci
» isis,dajjal atas nama islam..
» bersumpah atas nama nabi = syirik
» BACALAH TAURAT !!!, (Al-i-'Imran 3:93) ??
» ancaman bagi mereka yang berdusta atas nama Rasulullah
» isis,dajjal atas nama islam..
» bersumpah atas nama nabi = syirik
» BACALAH TAURAT !!!, (Al-i-'Imran 3:93) ??
» ancaman bagi mereka yang berdusta atas nama Rasulullah
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik