apa itu nifas?
Halaman 1 dari 1 • Share
apa itu nifas?
Banyak darah yang keluar pada wanita sehat, di antaranya adalah nifas. Ini merupakan peristiwa khas pada wanita yang melahirkan anak, oleh karenanya pembahasannya juga khas pada kitab-kitab fikih wanita. Berikut kita bahas secara ringkas permasalahan nifas dan berbagai hukum yang berkaitan dengannya, tanpa memperpanjang banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hal tersebut.
MAKNA NIFAS
Nifas menurut pengertian bahasa Arab berarti proses kelahiran. Seorang perempuan yang melahirkan disebut nufasa, nuswah, atau nifas. Sedangkan menurut pengertian syari’at, nifas berarti darah yang keluar setelah kosongnya rahim dari kehamilan, meskipun hanya berupa segumpal darah atau sepotong daging, karena keduanya masuk dalam hukum wiladah (kelahiran). Dengan kata lain, ia adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran atau setelahnya, demikian menurut Imam Syafi’i.
Madzhab Hanafi memberikan batasan, nifas adalah darah yang keluar dari rahim setelah kelahiran yang banyak jumlahnya meskipun keluar secara terputus-putus atau sebagian-sebagian, bukan yang keluar sedikit. Menurut Maliki, nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan karena melahirkan, baik bersamaan dengannya maupun sesudahnya, meskipun antara dua bayi kembar. Sedangkan madzhab Hambali memberikan batasan nifas adalah darah yang dilepaskan oleh rahim dengan sebab melahirkan, baik bersamaan, setelahnya, atau sebelumnya dua atau tiga hari, yang diikuti dengan proses melahirkan.
Menururt Dr. Abdul Karim Zaidan, dinamakan nifas mungkin karena mulai bernafasnya anak yang baru dilahirkan dari rahim, atau mungkin juga karena keluarnya diri (nafs) yang baru, yaitu seorang anak atau darah.
MASA NIFAS
Para ahli fiqh sepakat bahwa tidak ada batas minimal masa nifas. Terkadang darah keluar sebentar setelah melahirkan, terkadang juga hingga sehari, dua hari, atau lebih. Namun terkadang juga tidak keluar sama sekali.
Telah diriwayatkan bahwa seorang perempuan pada masa Rasulullah Saw. pernah melahirkan dan ia tidak melihat darah nifas sama sekali. Maka ia dinamakan dzat al-jufuf (perempuan yang kering). Adapun berbagai nukilan dari perbedaan para ulama tentang batas minimal nifas, maka kesimpulannya adalah bahwa masing-masing mereka memberikan batasan sesuai dengan informasi yang sampai kepadanya.
Al Mawardi meriwayatkan dari Ats-Tsauri bahwa masa minimal nifas adalah tiga hari. Al-Mazni menyebutkan masa minimalnya adalah empat hari. Ini semua tidaklah menafikan kesepakatan para ahli fiqh bahwa memang tidak ada batas minimalnya, karena yang kuat adalah sesuatu yang didasarkan pada realitas, sementara realitas memberi tahu kita ada yang banyak dan ada pula yang sedikit, hingga ada yang tidak mengeluarkan darah sama sekali. Wallahu a’lam.
Madzhab Syafi’i dan mereka yang sepakat dengannya menyebutkan –sesuai dengan salah satu riwayat dari Imam Malik- bahwa umumnya nifas adalah 40 hari. Ini berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku. Ummu Salamah r.a. berkata bahwa kaum perempuan bernifas pada masa Rasulullah Saw. hingga 40 hari.
Tentang maksimalnya masa nifas, jumhur ulama’ berpendapat bahwa ia adalah 40 hari. Abu Isa At-Turmudzi berkata bahwa para ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw., tabi’in, dan generasi sesudahnya telah bersepakat mengatakan bahwa perempuan-perempuan nifas meninggalkan shalat 40 hari. Bila sebelum itu ia merasa suci maka mandi dan shalatlah. Adapun bila ia melihat darah setelah masa 40 hari, maka jumhur ulama’ berkata bahwa ia tidak boleh meninggalkan shalat setelah 40 hari.
Aisyah r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Waktu nifas bagi perempuan adalah 40 hari”.
Daruquthni mengeluarkan hadits ini dan semisalnya dari Jabir r.a. Hakam bin Atabah meriwayatkan dari Massah dari Ummi Salamah. Suatu ketika ia bertanya kepada Nabi Saw., “Berapa lama perempuan istirahat jika melahirkan?” Beliau Saw. menjawab, “40 hari, kecuali ia sudah suci sebelum itu”. Yang sependapat dengan pendapat ini dari kalangan sahabat adalah Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Anas, dan Utsman bin Al-Ash, Aidz bin Amr, dan Ummu Salamah radhiyallahu anhum.
KELAHIRAN TANPA KELUAR DARAH
Setelah melahirkan, seorang perempuan terkadang tidak melihat darah kecuali setelah beberapa hari. Jika ia melahirkan dan sama sekali tidak melihat darah hingga berlalu 15 hari atau lebih, kemudian melihat darah, apakah ini dalam kategori haidh atau nifas? Dalam hal ini pendapat yang terpercaya adalah darah haidh dan sama sekali bukan darah nifas.
Adapun bila ia melahirkan dan tidak melihat darah sama sekali, kemudian melihatnya sebelum 15 hari dari masa melahirkan, maka apakah permulaan nifas dihitung sejak melihat darah itu atau sejak melahirkan? Pendapat yang kuat adalah: sejak ia melihat darah. Wallahu a’lam.
Jika ia melihat darah sesaat, sehari, atau beberapa hari setelah melahirkan, kemudian mengalami masa suci selama 15 hari atau lebih, lalu darah keluar lagi sehari semalam atau lebih, maka menurut ahli fiqih hukum darah yang keluar pertama itu nifas dan yang keluar terakhir adalah haidh. Masa di antara keduanya adalah masa suci, karena di antara kedua darah itu ada sela suci. Tidaklah mungkin dua hal itu disatukan, sebagaimana disatukannya dua darah haidh. Ini adalah pandangan madzhab Abu Yusuf, Muhammad, dan Abu Tsaur.
Pendapat kedua, yaitu pandangan Ibnu Suraij, mengatakan bahwa kedua darah itu adalah darah nifas karena keluarnya pada saat memungkinkan untuk itu. Demikian pun bila ada sela di antara keduanya kurang dari 15 hari. Adapun tentang masa bersih yang ada di sela-selanya terdapat dua pendapat, suci dan nifas. Imam Nawawi berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur dan jumhur menjadikannya hukum qath’iy (pasti).
Bila seorang perempuan melahirkan anak dan ia tidak melihat darah karena si anak terlahir dalam keadaan kering, maka apakah ia wajib mandi? Menurut pengikut Syafi’i dan Hanafi mereka wajib mandi, karena kelahiran itu senantiasa diasumsikan mengalami nifas yang mengharuskan mandi. Ia sama dalam posisi hukum wajib, seperti bertemunya dua kemaluan, dan bahwa anak adalah sperma yang telah jadi, sehingga mandi sudah diwajibkan semata-mata mengeluarkan gumpalan darah atau dagingnya.
Sedangkan menurut madzhab Hambali, bila kelahiran tanpa darah yang menyertainya maka tidaklah mengharuskan mandi, karena kewajiban harus berdasar hukum syari’at dan tidak ada ketentuan hukum dalam hal ini, tidak juga secara kontekstual. Demikian itu karena janin tidak bisa lagi disebut darah dan tidak pula sperma, sedangkan dua hal inilah yang mengharuskan mandi menurut syari’at. Wallahu a’lam.
NIFAS BERHENTI SEBELUM 40 HARI
Apabila perempuan nifas sudah suci sebelum genap 40 hari, hendaknya ia mandi, shalat dan puasa. Namun seyogyanya suami tidak menyetubuhinya sebelum 40 hari. Ini berdasar hadits Utsman bin Abu Al-’Ash, bahwa istrinya suatu ketika mendatanginya sebelum masa 40 hari nifasnya. Ia pun melarang, “Jangan mendekatiku.” Demikian itu karena ia tidak bisa menjamin bahwa darah tidak keluar pada saat jimak berlangsung. Jika itu terjadi, ia bersetubuh ketika nifas. Ini adalah madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Menurut jumhur ahli fiqih, bila darah nifas berhenti sebelum batas maksimal, boleh saja bagi suami menyetubuhinya, sebagaimana si perempuan boleh saja shalat dan lain sebagainya. Tidaklah makruh melakukan itu semua, karena ia dalam kondisi hukum suci untuk berbuat apa saja, demikian pula bersetubuh.
Tidak ada bedanya, baik darah berhenti beberapa saat setelah melahirkan, atau beberapa hari kemudian, dan suami boleh saja menjimaknya. Wallahu a’lam.
NIFAS MELEBIHI WAKTU MAKSIMAL
Apabila perempuan nifas melihat darah melebihi masa 40 hari -sebagaimana pendapat jumhur- maka darah itu adalah darah istihadhah. Ketika dalam kondisi demikian, hendaklah ia shalat dan puasa. Lebih dari itu, suami boleh menyebutuhinya, dan istri melakukan berbagai amalan sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya perempuan istihadhah.
Asy Syairazi, dalam kitab Al-Muhadzab berkata bahwa apabila seorang perempuan nifas dan darah masih mengalir lebih dari 60 hari, maka hukumnya adalah hukum haidh yang berlangsung melewati 15 hari dan bisa dibedakan juga sesuai dengan kebiasaan, karena nifas seperti haidh dalam hal hukum. Demikian juga tatkala dalam kondisi yang tidak dapat dibedakan dan tidak sebagaimana biasanya. Wallahu a’lam.
NIFAS KARENA KEGUGURAN
Para ulama berpendapat bahwa penetapan hukum nifas tidak disyaratkan si bayi telah berbentuk sempurna, tidak pula harus hidup. Bahkanpun jika si ibu melahirkan janin yang sudah meninggal atau masih berupa daging, baik yang sudah membentuk wujud manusia atau belum, maka -sebagaimana ungkapan Qawabil- ia adalah daging manusia sehingga hukum nifas telah ditetapkan, berpengaruh pada masa iddah, dan yang melahirkan itu telah menjadi ibu. Inilah pendapat Syafi’i dan Hambali.
Ahnaf, salah seorang ulama’ madzhab Hanafi berpendapat bahwa keguguran janin yang telah nyata sebagian tubuhnya sudah cukup untuk menyebut ibunya sebagai nufasa (perempuan-perempuan nifas) dan dengannya iddah telah usai. Misalnya telah nyata bentuk tangannya, kakinya, jari, atau kuku-kukunya.
Adapun bila belum nyata wujud tubuhnya, misalnya masa kehamilan kurang dari 120 hari, maka ibunya belum disebut orang nifas, dan darah yang terlihat itu adalah darah haidh jika berlangsung tiga hari dan didahului masa suci yang utuh. Jika tidak, maka itu adalah darah istihadhah.
NIFAS PADA KELAHIRAN KEMBAR
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang permulaan masa nifas ketika melahirkan bayi kembar; apakah nifas dihitung sejak keluarnya bayi pertama atau setelah keluarnya bayi kedua. Tentang ini ada tiga pendapat:
Pendapat pertama, dianggap nifas sejak kelahiran bayi pertama karena darah tersebut mengikuti proses kelahiran dan masa nifas mulai berlaku, sebagaimana bila melahirkan satu bayi. Jika nifas dua kelahiran seluruhnya lebih dari 60 hari maka itu dianggap darah istihadhah. Akan tetapi jika sang ibu melahirkan bayi kedua setelah masa 60 hari dari kelahiran bayi pertama, maka darah yang ia lihat setelah kelahiran bayi kedua itu adalah darah rusak (istihadhah), bukan darah nifas. Demikianlah pendapat madzhab Maliki dan sebagian ulama’ madzhab Syafi’i.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa darah yang terlihat setelah kelahiran kedua jika masih dalam masa 40 hari, maka itu termasuk nifas pertama, namun bila sudah lewat dari 40 hari maka termasuk darah istihadhah.
Pendapat kedua, nifas dihitung setelah kelahiran bayi kedua. Demikian itu karena selama masih ada kehamilan maka darah tersebut bukanlah darah nifas, seperti ketika ia melihat darah sebelum melahirkan. Di samping itu, masa nifas erat kaitannya dengan kelahiran, maka permulaan dan akhirnya dihitung dari kelahiran bayi kedua. Inilah pendapat yang lebih kuat (rajih) menurut madzhab Syafi’i. Ini juga pendapat Muhammad, Zufar, riwayat dari Ahmad dan Daud. Sedangkan darah yang ada sebelumnya dianggap sebagai darah fasad atau haidh.
Pendapat ketiga, permulaan nifas dihitung sejak kelahiran bayi pertama, kemudian dihitung lagi di kelahiran bayi kedua. Itu karena masing-masing kelahiran menyebabkan keluarnya darah nifas, karenanya masing-masing kelahiran langsung dihitung sebagai permulaan masa nifas. Pada kasus ini, perempuan mengalami 2 kali masa nifas, masing-masing sesuai dengan masanya dan tidak ada persoalan jika total masa kedua nifas lebih dari 60 hari, bahkan meskipun ia melihat darah setelah kelahiran pertama selama 60 hari dan setelah kelahiran kedua 60 hari pula, sehingga ia mengalami dua kali masa nifas yang penuh.
NIFAS KELAHIRAN CAESAR
Perempuan perlu mengetahui hubungan antara melahirkan dengan jalan operasi dan nifas, karena sebagian perempuan hamil melahirkan dengan jalan operasi medis, tidak dengan jalan kelahiran alami, atau yang lazim disebut dengan “kelahiran caesar”.
Perempuan yang melahirkan dan sama sekali tidak melihat darah setelah atau ketika proses kelahirannya, maka ia tetap dianggap perempuan suci, baik melahirkan melalui kemaluan –kelahiran alami- maupun melalui perut dengan jalan operasi. Pendapat ini secara tegas dinyatakan oleh para pengikut madzhab Hanafi di buku-buku mereka.
Dengan kata lain, bila ia melahirkan dengan jalan operasi caesar lalu keluar darah dari kemaluannya, maka ia berarti mengalami nifas, karena nyata benar bahwa darah keluar dari rahim setelah melahirkan. Adapun jika tidak keluar darah sama sekali, maka ia tidak disebut bernifas, hanya disebut berluka (bedah). Apabila yang lahir sudah dapat dikategorikan sebagai anak secara hukum maka dengannya iddah dapat selesai dan ia kini menjadi ibu bagi seorang anak. Wallahu a’lam.
MANDINYA PEREMPUAN NIFAS
Para ulama sepakat atas wajibnya mandi disebabkan nifas. Sebagian ulama yang menukil ijmak dalam masalah ini adalah Ibnul Mundzir, Thabari, dan lain-lain. Demikian itu karena nifas sama halnya dengan haidh dan keduanya bertemu dalam banyak persoalan hukum. Karena pada masa kehamilan darah berubah menjadi makanan janin, maka ketika bayi itu keluar darah pun ikut keluar karena tidak ada lagi yang membutuhkan setelah itu. Karena ia dilarang berpuasa, jimak, dan gugur pula kewajiban shalat, maka ia pun harus mandi sebagaimana mandi karena haidh.
Mandi diwajibkan begitu darah berhenti dan ia hendak menunaikan shalat atau ibadah sejenisnya, yang diwajibkan begitu masa suci tiba. Wallahu a’lam.
IHRAMNYA PEREMPUAN NIFAS
Dari Aisyah r.a., ia berkata bahwa Asma binti Abu Umais sedang nifas ditemani oleh Muhammad bin Abu Bakar di bawah pohon. Lalu Nabi Saw. memerintahkan Abu Bakar agar memerintahkannya mandi dan memulai haji.
Dalam riwayat Malik, “…di Dzil Khulaifah, maka Abu Bakar memerintahkannya untuk mandi kemudian memulai ibadah haji.” An Nasa’i menambahkan, “… ia melakukan apa saja yang orang lakukan kecuali thawaf.” Dalam riwayat Jabir dengan redaksi, “Mandi dan cawatkan dengan kain lalu berihramlah!”
Dari Ibnu Abbas r.a. Berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
“Perempuan nifas dan haidh bila mereka mendatangi miqat hendaklah mandi, berihram, dan melaksanakan semua manasik haji, kecuali thawaf”.
Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya mandi untuk ihram bagi perempuan nifas dan haidh, dan selain keduanya diutamakan, juga mencawatkan kain bagi perempuan nifas, dan keduanya sah ihramnya. Wallahu a’lam.
ANTARA HAIDH DAN NIFAS
Hukum antara haidh dan nifas banyak persamaannya. Apa yang diharamkan bagi orang nifas maka haram bagi orang haidh, seperti shalat, puasa, bersetubuh, dan lain sebagaimana. Gugur kewajiban bagi orang nifas gugur pula kewajiban bagi perempuan haidh, seperti shalat, melayani suami, thawaf wada’, dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan di depan, juga haram bagi suami menyetubuhi dan mencerainya.
Makruh bagi perempuan nifas dan haidh melintasi masjid, makruh pula anggota tubuhnya (antara pusar dan lutut) dinikmati oleh suami, bila kita tidak berpendapat haram. Setelah suci wajib bagi perempuan nifas dan haidh untuk mandi, mengqadha puasa, dan lain-lain. Hukum-hukum yang telah kami sebutkan ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahkan Ibnu Jarir menyebutkannya sebagai ijmak kaum muslimin. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
1. Abdul Karim Zaidan, Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, jilid 1, Robbani Press, Jakarta, 1997
2. Muhammad Nuruddin Marbu Banjar Al Makky, Fiqih Darah Perempuan, Era Intermedia, Solo, 2002
3. Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Al Ma’arif, Bandung, 1990
4. Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2000
MAKNA NIFAS
Nifas menurut pengertian bahasa Arab berarti proses kelahiran. Seorang perempuan yang melahirkan disebut nufasa, nuswah, atau nifas. Sedangkan menurut pengertian syari’at, nifas berarti darah yang keluar setelah kosongnya rahim dari kehamilan, meskipun hanya berupa segumpal darah atau sepotong daging, karena keduanya masuk dalam hukum wiladah (kelahiran). Dengan kata lain, ia adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran atau setelahnya, demikian menurut Imam Syafi’i.
Madzhab Hanafi memberikan batasan, nifas adalah darah yang keluar dari rahim setelah kelahiran yang banyak jumlahnya meskipun keluar secara terputus-putus atau sebagian-sebagian, bukan yang keluar sedikit. Menurut Maliki, nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan karena melahirkan, baik bersamaan dengannya maupun sesudahnya, meskipun antara dua bayi kembar. Sedangkan madzhab Hambali memberikan batasan nifas adalah darah yang dilepaskan oleh rahim dengan sebab melahirkan, baik bersamaan, setelahnya, atau sebelumnya dua atau tiga hari, yang diikuti dengan proses melahirkan.
Menururt Dr. Abdul Karim Zaidan, dinamakan nifas mungkin karena mulai bernafasnya anak yang baru dilahirkan dari rahim, atau mungkin juga karena keluarnya diri (nafs) yang baru, yaitu seorang anak atau darah.
MASA NIFAS
Para ahli fiqh sepakat bahwa tidak ada batas minimal masa nifas. Terkadang darah keluar sebentar setelah melahirkan, terkadang juga hingga sehari, dua hari, atau lebih. Namun terkadang juga tidak keluar sama sekali.
Telah diriwayatkan bahwa seorang perempuan pada masa Rasulullah Saw. pernah melahirkan dan ia tidak melihat darah nifas sama sekali. Maka ia dinamakan dzat al-jufuf (perempuan yang kering). Adapun berbagai nukilan dari perbedaan para ulama tentang batas minimal nifas, maka kesimpulannya adalah bahwa masing-masing mereka memberikan batasan sesuai dengan informasi yang sampai kepadanya.
Al Mawardi meriwayatkan dari Ats-Tsauri bahwa masa minimal nifas adalah tiga hari. Al-Mazni menyebutkan masa minimalnya adalah empat hari. Ini semua tidaklah menafikan kesepakatan para ahli fiqh bahwa memang tidak ada batas minimalnya, karena yang kuat adalah sesuatu yang didasarkan pada realitas, sementara realitas memberi tahu kita ada yang banyak dan ada pula yang sedikit, hingga ada yang tidak mengeluarkan darah sama sekali. Wallahu a’lam.
Madzhab Syafi’i dan mereka yang sepakat dengannya menyebutkan –sesuai dengan salah satu riwayat dari Imam Malik- bahwa umumnya nifas adalah 40 hari. Ini berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku. Ummu Salamah r.a. berkata bahwa kaum perempuan bernifas pada masa Rasulullah Saw. hingga 40 hari.
Tentang maksimalnya masa nifas, jumhur ulama’ berpendapat bahwa ia adalah 40 hari. Abu Isa At-Turmudzi berkata bahwa para ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw., tabi’in, dan generasi sesudahnya telah bersepakat mengatakan bahwa perempuan-perempuan nifas meninggalkan shalat 40 hari. Bila sebelum itu ia merasa suci maka mandi dan shalatlah. Adapun bila ia melihat darah setelah masa 40 hari, maka jumhur ulama’ berkata bahwa ia tidak boleh meninggalkan shalat setelah 40 hari.
Aisyah r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Waktu nifas bagi perempuan adalah 40 hari”.
Daruquthni mengeluarkan hadits ini dan semisalnya dari Jabir r.a. Hakam bin Atabah meriwayatkan dari Massah dari Ummi Salamah. Suatu ketika ia bertanya kepada Nabi Saw., “Berapa lama perempuan istirahat jika melahirkan?” Beliau Saw. menjawab, “40 hari, kecuali ia sudah suci sebelum itu”. Yang sependapat dengan pendapat ini dari kalangan sahabat adalah Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Anas, dan Utsman bin Al-Ash, Aidz bin Amr, dan Ummu Salamah radhiyallahu anhum.
KELAHIRAN TANPA KELUAR DARAH
Setelah melahirkan, seorang perempuan terkadang tidak melihat darah kecuali setelah beberapa hari. Jika ia melahirkan dan sama sekali tidak melihat darah hingga berlalu 15 hari atau lebih, kemudian melihat darah, apakah ini dalam kategori haidh atau nifas? Dalam hal ini pendapat yang terpercaya adalah darah haidh dan sama sekali bukan darah nifas.
Adapun bila ia melahirkan dan tidak melihat darah sama sekali, kemudian melihatnya sebelum 15 hari dari masa melahirkan, maka apakah permulaan nifas dihitung sejak melihat darah itu atau sejak melahirkan? Pendapat yang kuat adalah: sejak ia melihat darah. Wallahu a’lam.
Jika ia melihat darah sesaat, sehari, atau beberapa hari setelah melahirkan, kemudian mengalami masa suci selama 15 hari atau lebih, lalu darah keluar lagi sehari semalam atau lebih, maka menurut ahli fiqih hukum darah yang keluar pertama itu nifas dan yang keluar terakhir adalah haidh. Masa di antara keduanya adalah masa suci, karena di antara kedua darah itu ada sela suci. Tidaklah mungkin dua hal itu disatukan, sebagaimana disatukannya dua darah haidh. Ini adalah pandangan madzhab Abu Yusuf, Muhammad, dan Abu Tsaur.
Pendapat kedua, yaitu pandangan Ibnu Suraij, mengatakan bahwa kedua darah itu adalah darah nifas karena keluarnya pada saat memungkinkan untuk itu. Demikian pun bila ada sela di antara keduanya kurang dari 15 hari. Adapun tentang masa bersih yang ada di sela-selanya terdapat dua pendapat, suci dan nifas. Imam Nawawi berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur dan jumhur menjadikannya hukum qath’iy (pasti).
Bila seorang perempuan melahirkan anak dan ia tidak melihat darah karena si anak terlahir dalam keadaan kering, maka apakah ia wajib mandi? Menurut pengikut Syafi’i dan Hanafi mereka wajib mandi, karena kelahiran itu senantiasa diasumsikan mengalami nifas yang mengharuskan mandi. Ia sama dalam posisi hukum wajib, seperti bertemunya dua kemaluan, dan bahwa anak adalah sperma yang telah jadi, sehingga mandi sudah diwajibkan semata-mata mengeluarkan gumpalan darah atau dagingnya.
Sedangkan menurut madzhab Hambali, bila kelahiran tanpa darah yang menyertainya maka tidaklah mengharuskan mandi, karena kewajiban harus berdasar hukum syari’at dan tidak ada ketentuan hukum dalam hal ini, tidak juga secara kontekstual. Demikian itu karena janin tidak bisa lagi disebut darah dan tidak pula sperma, sedangkan dua hal inilah yang mengharuskan mandi menurut syari’at. Wallahu a’lam.
NIFAS BERHENTI SEBELUM 40 HARI
Apabila perempuan nifas sudah suci sebelum genap 40 hari, hendaknya ia mandi, shalat dan puasa. Namun seyogyanya suami tidak menyetubuhinya sebelum 40 hari. Ini berdasar hadits Utsman bin Abu Al-’Ash, bahwa istrinya suatu ketika mendatanginya sebelum masa 40 hari nifasnya. Ia pun melarang, “Jangan mendekatiku.” Demikian itu karena ia tidak bisa menjamin bahwa darah tidak keluar pada saat jimak berlangsung. Jika itu terjadi, ia bersetubuh ketika nifas. Ini adalah madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Menurut jumhur ahli fiqih, bila darah nifas berhenti sebelum batas maksimal, boleh saja bagi suami menyetubuhinya, sebagaimana si perempuan boleh saja shalat dan lain sebagainya. Tidaklah makruh melakukan itu semua, karena ia dalam kondisi hukum suci untuk berbuat apa saja, demikian pula bersetubuh.
Tidak ada bedanya, baik darah berhenti beberapa saat setelah melahirkan, atau beberapa hari kemudian, dan suami boleh saja menjimaknya. Wallahu a’lam.
NIFAS MELEBIHI WAKTU MAKSIMAL
Apabila perempuan nifas melihat darah melebihi masa 40 hari -sebagaimana pendapat jumhur- maka darah itu adalah darah istihadhah. Ketika dalam kondisi demikian, hendaklah ia shalat dan puasa. Lebih dari itu, suami boleh menyebutuhinya, dan istri melakukan berbagai amalan sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya perempuan istihadhah.
Asy Syairazi, dalam kitab Al-Muhadzab berkata bahwa apabila seorang perempuan nifas dan darah masih mengalir lebih dari 60 hari, maka hukumnya adalah hukum haidh yang berlangsung melewati 15 hari dan bisa dibedakan juga sesuai dengan kebiasaan, karena nifas seperti haidh dalam hal hukum. Demikian juga tatkala dalam kondisi yang tidak dapat dibedakan dan tidak sebagaimana biasanya. Wallahu a’lam.
NIFAS KARENA KEGUGURAN
Para ulama berpendapat bahwa penetapan hukum nifas tidak disyaratkan si bayi telah berbentuk sempurna, tidak pula harus hidup. Bahkanpun jika si ibu melahirkan janin yang sudah meninggal atau masih berupa daging, baik yang sudah membentuk wujud manusia atau belum, maka -sebagaimana ungkapan Qawabil- ia adalah daging manusia sehingga hukum nifas telah ditetapkan, berpengaruh pada masa iddah, dan yang melahirkan itu telah menjadi ibu. Inilah pendapat Syafi’i dan Hambali.
Ahnaf, salah seorang ulama’ madzhab Hanafi berpendapat bahwa keguguran janin yang telah nyata sebagian tubuhnya sudah cukup untuk menyebut ibunya sebagai nufasa (perempuan-perempuan nifas) dan dengannya iddah telah usai. Misalnya telah nyata bentuk tangannya, kakinya, jari, atau kuku-kukunya.
Adapun bila belum nyata wujud tubuhnya, misalnya masa kehamilan kurang dari 120 hari, maka ibunya belum disebut orang nifas, dan darah yang terlihat itu adalah darah haidh jika berlangsung tiga hari dan didahului masa suci yang utuh. Jika tidak, maka itu adalah darah istihadhah.
NIFAS PADA KELAHIRAN KEMBAR
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang permulaan masa nifas ketika melahirkan bayi kembar; apakah nifas dihitung sejak keluarnya bayi pertama atau setelah keluarnya bayi kedua. Tentang ini ada tiga pendapat:
Pendapat pertama, dianggap nifas sejak kelahiran bayi pertama karena darah tersebut mengikuti proses kelahiran dan masa nifas mulai berlaku, sebagaimana bila melahirkan satu bayi. Jika nifas dua kelahiran seluruhnya lebih dari 60 hari maka itu dianggap darah istihadhah. Akan tetapi jika sang ibu melahirkan bayi kedua setelah masa 60 hari dari kelahiran bayi pertama, maka darah yang ia lihat setelah kelahiran bayi kedua itu adalah darah rusak (istihadhah), bukan darah nifas. Demikianlah pendapat madzhab Maliki dan sebagian ulama’ madzhab Syafi’i.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa darah yang terlihat setelah kelahiran kedua jika masih dalam masa 40 hari, maka itu termasuk nifas pertama, namun bila sudah lewat dari 40 hari maka termasuk darah istihadhah.
Pendapat kedua, nifas dihitung setelah kelahiran bayi kedua. Demikian itu karena selama masih ada kehamilan maka darah tersebut bukanlah darah nifas, seperti ketika ia melihat darah sebelum melahirkan. Di samping itu, masa nifas erat kaitannya dengan kelahiran, maka permulaan dan akhirnya dihitung dari kelahiran bayi kedua. Inilah pendapat yang lebih kuat (rajih) menurut madzhab Syafi’i. Ini juga pendapat Muhammad, Zufar, riwayat dari Ahmad dan Daud. Sedangkan darah yang ada sebelumnya dianggap sebagai darah fasad atau haidh.
Pendapat ketiga, permulaan nifas dihitung sejak kelahiran bayi pertama, kemudian dihitung lagi di kelahiran bayi kedua. Itu karena masing-masing kelahiran menyebabkan keluarnya darah nifas, karenanya masing-masing kelahiran langsung dihitung sebagai permulaan masa nifas. Pada kasus ini, perempuan mengalami 2 kali masa nifas, masing-masing sesuai dengan masanya dan tidak ada persoalan jika total masa kedua nifas lebih dari 60 hari, bahkan meskipun ia melihat darah setelah kelahiran pertama selama 60 hari dan setelah kelahiran kedua 60 hari pula, sehingga ia mengalami dua kali masa nifas yang penuh.
NIFAS KELAHIRAN CAESAR
Perempuan perlu mengetahui hubungan antara melahirkan dengan jalan operasi dan nifas, karena sebagian perempuan hamil melahirkan dengan jalan operasi medis, tidak dengan jalan kelahiran alami, atau yang lazim disebut dengan “kelahiran caesar”.
Perempuan yang melahirkan dan sama sekali tidak melihat darah setelah atau ketika proses kelahirannya, maka ia tetap dianggap perempuan suci, baik melahirkan melalui kemaluan –kelahiran alami- maupun melalui perut dengan jalan operasi. Pendapat ini secara tegas dinyatakan oleh para pengikut madzhab Hanafi di buku-buku mereka.
Dengan kata lain, bila ia melahirkan dengan jalan operasi caesar lalu keluar darah dari kemaluannya, maka ia berarti mengalami nifas, karena nyata benar bahwa darah keluar dari rahim setelah melahirkan. Adapun jika tidak keluar darah sama sekali, maka ia tidak disebut bernifas, hanya disebut berluka (bedah). Apabila yang lahir sudah dapat dikategorikan sebagai anak secara hukum maka dengannya iddah dapat selesai dan ia kini menjadi ibu bagi seorang anak. Wallahu a’lam.
MANDINYA PEREMPUAN NIFAS
Para ulama sepakat atas wajibnya mandi disebabkan nifas. Sebagian ulama yang menukil ijmak dalam masalah ini adalah Ibnul Mundzir, Thabari, dan lain-lain. Demikian itu karena nifas sama halnya dengan haidh dan keduanya bertemu dalam banyak persoalan hukum. Karena pada masa kehamilan darah berubah menjadi makanan janin, maka ketika bayi itu keluar darah pun ikut keluar karena tidak ada lagi yang membutuhkan setelah itu. Karena ia dilarang berpuasa, jimak, dan gugur pula kewajiban shalat, maka ia pun harus mandi sebagaimana mandi karena haidh.
Mandi diwajibkan begitu darah berhenti dan ia hendak menunaikan shalat atau ibadah sejenisnya, yang diwajibkan begitu masa suci tiba. Wallahu a’lam.
IHRAMNYA PEREMPUAN NIFAS
Dari Aisyah r.a., ia berkata bahwa Asma binti Abu Umais sedang nifas ditemani oleh Muhammad bin Abu Bakar di bawah pohon. Lalu Nabi Saw. memerintahkan Abu Bakar agar memerintahkannya mandi dan memulai haji.
Dalam riwayat Malik, “…di Dzil Khulaifah, maka Abu Bakar memerintahkannya untuk mandi kemudian memulai ibadah haji.” An Nasa’i menambahkan, “… ia melakukan apa saja yang orang lakukan kecuali thawaf.” Dalam riwayat Jabir dengan redaksi, “Mandi dan cawatkan dengan kain lalu berihramlah!”
Dari Ibnu Abbas r.a. Berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
“Perempuan nifas dan haidh bila mereka mendatangi miqat hendaklah mandi, berihram, dan melaksanakan semua manasik haji, kecuali thawaf”.
Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya mandi untuk ihram bagi perempuan nifas dan haidh, dan selain keduanya diutamakan, juga mencawatkan kain bagi perempuan nifas, dan keduanya sah ihramnya. Wallahu a’lam.
ANTARA HAIDH DAN NIFAS
Hukum antara haidh dan nifas banyak persamaannya. Apa yang diharamkan bagi orang nifas maka haram bagi orang haidh, seperti shalat, puasa, bersetubuh, dan lain sebagaimana. Gugur kewajiban bagi orang nifas gugur pula kewajiban bagi perempuan haidh, seperti shalat, melayani suami, thawaf wada’, dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan di depan, juga haram bagi suami menyetubuhi dan mencerainya.
Makruh bagi perempuan nifas dan haidh melintasi masjid, makruh pula anggota tubuhnya (antara pusar dan lutut) dinikmati oleh suami, bila kita tidak berpendapat haram. Setelah suci wajib bagi perempuan nifas dan haidh untuk mandi, mengqadha puasa, dan lain-lain. Hukum-hukum yang telah kami sebutkan ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahkan Ibnu Jarir menyebutkannya sebagai ijmak kaum muslimin. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
1. Abdul Karim Zaidan, Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, jilid 1, Robbani Press, Jakarta, 1997
2. Muhammad Nuruddin Marbu Banjar Al Makky, Fiqih Darah Perempuan, Era Intermedia, Solo, 2002
3. Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Al Ma’arif, Bandung, 1990
4. Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2000
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik