FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

hukum berjabat tangan Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

hukum berjabat tangan Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

hukum berjabat tangan

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

hukum berjabat tangan Empty hukum berjabat tangan

Post by keroncong Mon Mar 05, 2012 1:21 pm

Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni
peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari satu kali,
diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana beliau tidak
menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan
lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan perkataan
saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada
kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan
wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang
diriwayatkan oleh asy-Sya'bi."

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan
Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada
lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan
Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan
berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan
bai'at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah
terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu
Athiyah - secara lahiriah - membicarakan yang lebih umum
daripada itu dan meliputi bai'at wanita mukminah secara
umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu
Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari
memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa aka
al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu Athiyah
dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al- Mu'minaat
Yubaayi'naka."

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan
acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan - yaitu bahwa Nabi
saw. tidak berjabat tangan dengan wanita - belumlah
disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak
merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan
masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat
tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani
dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau
bersabda:

"Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu
dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh
wanita yang tidak halal baginya."5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas
akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti
al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan,
"Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau
perawi-perawi sahih."

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan
kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan
terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat
'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak
diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang
masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu
yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan
bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan
dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti
Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur.
Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada
kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan
hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka
bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?

3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat
digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati
petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita
yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata
bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana
yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata
al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan
dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah
dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan
biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam
menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu
menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams,
al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai
kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum,
ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass
menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman
Allah yang diucapkan Maryam:

"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum
pemah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali Imran:
47)

"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh
mereka..." (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati
istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah
kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan
lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan
seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam
menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam
al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut :

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan
hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih
yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan)
dibawah jima':

(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:

"Tangan, zinanya ialah menyentuh..."

(2) Hadits Ibnu Abbas:

"Barangkali engkau menyentuhnya...?"

(3) Hadits lbnu Mas'ud:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang)..."6

Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada
mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ..."
Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:

"Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw.
mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu
beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah
jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang
waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."

(5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au laamastum
an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan
dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu."

(6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu
termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah
karenanya."7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab
Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita
yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan
syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka
menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu
menyentuh wanita).

Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya
melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal
"mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan
semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti
berikut:

Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh
semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini
bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma'
sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan
qiyas bagi yang berpendapat begitu.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau
jika kamu menyentuh wanita ...) itu dimaksudkan untuk
menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya -
seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya - maka sudah
dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan
bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf: "...
Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang
i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan
tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan
memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah: "Jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..."
(al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan:
"Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..."
(al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan
sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan
tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak
menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan
ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa'
mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat,
maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan
menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah
dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh)
yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah
dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat,
sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal
artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki
dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah
al-wath'u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan
menginjak dengan kaki."8

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat
berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum
annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa
yang dimaksud ialah jima'. dan mereka berkata, "Allah itu
Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu
sesuai dengan yang Ia kehendaki."

Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara kedua
pendapat tersebut."

Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna
kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah
jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'.
Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan)
berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima'
(pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan
kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab
dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa
kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam
konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan
semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud
ialah mungkin jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya
seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan
sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah
saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa
semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan
perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan
terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya
perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri
teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada "Kitab
al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak
penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu
membawanya pergi ke mana ia suka."

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak
penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah
saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari
tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka."

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

"Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah
kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini
meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu', karena
disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya
budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum
dengan lafal al-imaa' (budak-budak perempuan), yakni budak
perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at
(kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan
ungkapan dengan "mengambil/memegang tangannya" itu
menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si
budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia
meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya
itu niscaya beliau akan membantunya.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik