hukum memakai cadar
Halaman 1 dari 1 • Share
hukum memakai cadar
Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat
dengan alasan "membendung pintu fitnah" (saddudz dzari'fah
ila al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke
masjid. Dengan demikian, mereka telah menghalangi kaum
wanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan
ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa
yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu
yang bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat
menyadarkannya. Sebagai akibatnya, banyak wanita muslimah
yang hanya hidup bersenang-senang dengan tidak pernah sekali
pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas
mengatakan:
"Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke
masjid-masjid Allah." (HR Muslim)
Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum
muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan
kepergiannya ke sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah
golongan yang melarangnya ialah saddudz dzari'ah. Sementara
itu, kenyataan menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan
lebih mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan
tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu
berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh
mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya,
keluarganya, dan masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama
maupun ilmu dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua
negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya,
kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam.
Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah
ditetapkan oleh syara' untuk menutup pintu kerusakan dan
fitnah. Seperti kewajiban mengenakan pakaian menurut aturan
syara', tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya
berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap
serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan
beraktivitas, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan
jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak
perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita
sendiri.
H. Diantara dalil mereka lagi: 'urf (kebiasaan) yang berlaku
di kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahwa kaum
wanita menutup wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan
sebagainya.
Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai
penilaian, karena itu diatasnya hukum ditegakkan."
Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari
Imam al-Haramain - dalam berdalil tentang tidak bolehnya
wanita memandang laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat
melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka.
Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan
beberapa alasan sebagai berikut:
1.Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang berlaku pada
zaman Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik,
yaitu generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat
(yakni tabi'in).
2.Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf itu berlaku di
suatu negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan
kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi.
3.Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak menunjukkan
hukum wajib, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan
pensyariatan sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka
bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?
Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima
sebagai 'urf umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan
bahwa mereka menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai
sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan bahwa
mereka mewajibkan cadar sebagai ketentuan agama.
4.'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau kebiasaan yang
terjadi sekarang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan
perkembangan zaman, tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan
masyarakat, dan perubahan kondisi kaum wanita dari kebodohan
kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada
pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah menuju ke
aktivitas dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam.
Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau
kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan
berubah sesuai dengan perubahannya.
SYUBHAT TERAKHIR
Akhirnya saya kemukakan juga di sini suatu syubhat yang
ditimbulkan oleh sebagian orang yang peduli terhadap agama
yang ingin mempersempit ruang kebebasan wanita, yang
ringkasnya sebagai berikut:
"'Kami menerima argumentasi yang Anda kemukakan tentang
disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita membuka wajahnya,
sebagaimana kami juga menerima bahwa kaum wanita pada
periode pertama - masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin - tidak
memakai cadar melainkan pada keadaan tertentu saja yang
sedikit jumlahnya.
Tetapi kita harus mengerti bahwa zaman itu merupakan zaman
yang ideal, akhlaknya bersih, rohaniahnya tinggi, wanita
aman membuka wajahnya tanpa ada seorang pun yang
mengganggunya. Berbeda dengan zaman kita dimana kerusakan
sudah merajalela, dekadensi moral terjadi dimana-mana,
fitnah menimpa manusia dimana-mana, maka tidak ada yang
lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya, sehingga
tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang senantiasa
mengintainya di setiap penjuru."
Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan jawaban sebagai
berikut:
PERTAMA: bahwa meskipun periode awal merupakan periode yang
ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak
dan ketinggian rohaninya, tetapi mereka masih termasuk
periode manusia juga, yang didalamnya ada kelemahan, hawa
nafsu, dan kesalahan. Karena itu di antara mereka ada orang
yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman had, ada yang
melakukan tindakan-tindakan yang masih dibawah zina, ada
orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang gila dan
sinting yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan
ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat
al-Ahzab) yang menyuruh wanita-wanita beriman mengulurkan
jilbab ke tubuh mereka agar mereka dapat dikenal sebagai
wanita-wanita merdeka yang sopan dan menjaga diri hingga
tidak diganggu:
"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al-Ahzab:
59)
Selain itu, telah turun pula beberapa ayat dalam surat
al-Ahzab yang mengancam kaum durhaka dan "sinting" itu jika
mereka tidak mau meninggalkan perbuatan mereka yang hina
itu. Allah berfirman:
"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik,
orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang
yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu),
niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka
kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah)
melainkan dalam waktu yang sebentar, dialam keadaan
terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan
dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)
KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah - apabila telah sah dan
jelas-bersifat umum dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu
atau dua periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan
dalil lagi. Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya
bersifat temporal, tidak abadi, dan hal ini bertentangan
dengan predikatnya sebagai syariat terakhir.
KETIGA: kalau kita buka pintu ini, maka kita bisa saja
menasakh (menghapus) syariat dengan pikiran kita,
orang-orang yang ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang
mudah dan ringan dengan alasan wara' dan hati-hati, dan
orang-orang yang longgar dapat menasakh hukum-hukum yang
telah baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya.
Yang benar, bahwa syariat adalah yang menghukumi bukan yang
dihukumi, yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib
tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk
kepada peraturan kita:
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya ..." (al-Mu'minun: 71 )
BEBERAPA PERNYATAAN YANG MENGUATKAN PENDAPAT JUMHUR
Saya percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah
saya kemukakan argumentasi kedua belah pihak, dan semakin
jelas bagi kita bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih
(kuat) dalilnya, lebih mantap pendapatnya, dan lebih lempang
jalannya.
Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa
pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan dapat
melegakan hati setiap muslimah yang taat dan mengikuti
pendapat ini tanpa merasa kesulitan, insya Allah.
PERTAMA: Tidak Ada Penugasan dan Pengharaman Kecuali dengan
Nash yang Sahih dan Sharih
Bahwa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan
taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan
nash yang pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan
mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan suatu urusan yang
serius, bukan urusan sembarangan, sehingga kita tidak
mewajibkan kepada manusia apa yang tidak diwajibkan oleh
Allah, atau kita mengharamkan kepada mereka apa yang
dihalalkan oleh Allah, atau kita membuat syariat atau
peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan oleh Allah.
Karena itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam
mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang sudah
diketahui pengharamannya secara pasti sebagaimana yang
dikemukakan Imam Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab
saya al-Halal wal-Haram fil-Islam.
Disamping itu, pada asalnya segala sesuatu dan segala
tindakan yang merupakan adat kebiasaan adalah mubah. Maka
apabila tidak didapati nash yang shahih tsubut
(periwayatannya) dan sharih (jelas) petunjuknya yang
menunjukkan keharamannya, tetaplah hal itu pada asal
kebolehannya. Dan orang yang memperbolehkannya tidak
dituntut dalil, karena apa yang ada menurut hukum asal tidak
perlu ditanyakan 'illat-nya, justru yang dituntut agar
mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.26
Sedangkan mengenai masalah membuka wajah dan tangan tidak
saya jumpai nash yang sahih dan sharih yang menunjukkan
keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya
sudah diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath'i yang
tidak meragukan, karena Dia telah berfirman:
"... sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya..." (al-An'am: 119)
Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita
dapati masalah haramnya membuka wajah dan telapak tangan.
Maka tidak perlulah kita mempersukar apa yang telah
dimudahkan Allah, sehingga kita tidak tergolong ke dalam
kaum yang disinyalir oleh Allah karena mengharamkan makanan
yang halal:
"... Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?'" (Yunus: 59)
KEDUA:Perubahan Fatwa karena Perubahan Zaman
Diantara ketetapan yang tidak diperselisihkan lagi ialah
bahwa fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman,
tempat, adat kebiasaan, serta situasi dan kondisi.
Saya percaya bahwa zaman kita yang telah memberikan sesuatu
kepada kaum wanita ini telah menjadikan kita menerima
pendapat-pendapat yang mudah, yang menguatkan posisi dan
kepribadian kaum wanita.
Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan misionaris,
Marxis, orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi
buruk kaum di beberapa negara Islam, dan menyandarkannya
kepada Islam itu sendiri. Mereka juga berusaha
menjelek-jelekkan hukum-hukum syariat Islam beserta
ajarannya mengenai wanita, dan digambarkannya dengan
gambaran yang tidak cocok dengan hakikat yang dibawa oleh
Islam.
Karena itu saya melihat bahwa keunggulan pendapat dari
sebagian orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang
menyadarkan kaum wanita dan peran serta kaum wanita serta
kemampuannya menunaikan hak-hak fitrahnya dan hak-hak
syar'iyahnya, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam
kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati Islamiyyah.
dengan alasan "membendung pintu fitnah" (saddudz dzari'fah
ila al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke
masjid. Dengan demikian, mereka telah menghalangi kaum
wanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan
ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa
yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu
yang bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat
menyadarkannya. Sebagai akibatnya, banyak wanita muslimah
yang hanya hidup bersenang-senang dengan tidak pernah sekali
pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas
mengatakan:
"Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke
masjid-masjid Allah." (HR Muslim)
Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum
muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan
kepergiannya ke sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah
golongan yang melarangnya ialah saddudz dzari'ah. Sementara
itu, kenyataan menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan
lebih mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan
tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu
berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh
mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya,
keluarganya, dan masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama
maupun ilmu dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua
negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya,
kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam.
Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah
ditetapkan oleh syara' untuk menutup pintu kerusakan dan
fitnah. Seperti kewajiban mengenakan pakaian menurut aturan
syara', tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya
berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap
serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan
beraktivitas, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan
jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak
perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita
sendiri.
H. Diantara dalil mereka lagi: 'urf (kebiasaan) yang berlaku
di kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahwa kaum
wanita menutup wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan
sebagainya.
Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai
penilaian, karena itu diatasnya hukum ditegakkan."
Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari
Imam al-Haramain - dalam berdalil tentang tidak bolehnya
wanita memandang laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat
melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka.
Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan
beberapa alasan sebagai berikut:
1.Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang berlaku pada
zaman Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik,
yaitu generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat
(yakni tabi'in).
2.Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf itu berlaku di
suatu negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan
kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi.
3.Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak menunjukkan
hukum wajib, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan
pensyariatan sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka
bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?
Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima
sebagai 'urf umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan
bahwa mereka menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai
sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan bahwa
mereka mewajibkan cadar sebagai ketentuan agama.
4.'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau kebiasaan yang
terjadi sekarang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan
perkembangan zaman, tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan
masyarakat, dan perubahan kondisi kaum wanita dari kebodohan
kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada
pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah menuju ke
aktivitas dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam.
Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau
kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan
berubah sesuai dengan perubahannya.
SYUBHAT TERAKHIR
Akhirnya saya kemukakan juga di sini suatu syubhat yang
ditimbulkan oleh sebagian orang yang peduli terhadap agama
yang ingin mempersempit ruang kebebasan wanita, yang
ringkasnya sebagai berikut:
"'Kami menerima argumentasi yang Anda kemukakan tentang
disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita membuka wajahnya,
sebagaimana kami juga menerima bahwa kaum wanita pada
periode pertama - masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin - tidak
memakai cadar melainkan pada keadaan tertentu saja yang
sedikit jumlahnya.
Tetapi kita harus mengerti bahwa zaman itu merupakan zaman
yang ideal, akhlaknya bersih, rohaniahnya tinggi, wanita
aman membuka wajahnya tanpa ada seorang pun yang
mengganggunya. Berbeda dengan zaman kita dimana kerusakan
sudah merajalela, dekadensi moral terjadi dimana-mana,
fitnah menimpa manusia dimana-mana, maka tidak ada yang
lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya, sehingga
tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang senantiasa
mengintainya di setiap penjuru."
Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan jawaban sebagai
berikut:
PERTAMA: bahwa meskipun periode awal merupakan periode yang
ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak
dan ketinggian rohaninya, tetapi mereka masih termasuk
periode manusia juga, yang didalamnya ada kelemahan, hawa
nafsu, dan kesalahan. Karena itu di antara mereka ada orang
yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman had, ada yang
melakukan tindakan-tindakan yang masih dibawah zina, ada
orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang gila dan
sinting yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan
ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat
al-Ahzab) yang menyuruh wanita-wanita beriman mengulurkan
jilbab ke tubuh mereka agar mereka dapat dikenal sebagai
wanita-wanita merdeka yang sopan dan menjaga diri hingga
tidak diganggu:
"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al-Ahzab:
59)
Selain itu, telah turun pula beberapa ayat dalam surat
al-Ahzab yang mengancam kaum durhaka dan "sinting" itu jika
mereka tidak mau meninggalkan perbuatan mereka yang hina
itu. Allah berfirman:
"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik,
orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang
yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu),
niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka
kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah)
melainkan dalam waktu yang sebentar, dialam keadaan
terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan
dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)
KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah - apabila telah sah dan
jelas-bersifat umum dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu
atau dua periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan
dalil lagi. Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya
bersifat temporal, tidak abadi, dan hal ini bertentangan
dengan predikatnya sebagai syariat terakhir.
KETIGA: kalau kita buka pintu ini, maka kita bisa saja
menasakh (menghapus) syariat dengan pikiran kita,
orang-orang yang ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang
mudah dan ringan dengan alasan wara' dan hati-hati, dan
orang-orang yang longgar dapat menasakh hukum-hukum yang
telah baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya.
Yang benar, bahwa syariat adalah yang menghukumi bukan yang
dihukumi, yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib
tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk
kepada peraturan kita:
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya ..." (al-Mu'minun: 71 )
BEBERAPA PERNYATAAN YANG MENGUATKAN PENDAPAT JUMHUR
Saya percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah
saya kemukakan argumentasi kedua belah pihak, dan semakin
jelas bagi kita bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih
(kuat) dalilnya, lebih mantap pendapatnya, dan lebih lempang
jalannya.
Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa
pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan dapat
melegakan hati setiap muslimah yang taat dan mengikuti
pendapat ini tanpa merasa kesulitan, insya Allah.
PERTAMA: Tidak Ada Penugasan dan Pengharaman Kecuali dengan
Nash yang Sahih dan Sharih
Bahwa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan
taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan
nash yang pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan
mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan suatu urusan yang
serius, bukan urusan sembarangan, sehingga kita tidak
mewajibkan kepada manusia apa yang tidak diwajibkan oleh
Allah, atau kita mengharamkan kepada mereka apa yang
dihalalkan oleh Allah, atau kita membuat syariat atau
peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan oleh Allah.
Karena itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam
mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang sudah
diketahui pengharamannya secara pasti sebagaimana yang
dikemukakan Imam Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab
saya al-Halal wal-Haram fil-Islam.
Disamping itu, pada asalnya segala sesuatu dan segala
tindakan yang merupakan adat kebiasaan adalah mubah. Maka
apabila tidak didapati nash yang shahih tsubut
(periwayatannya) dan sharih (jelas) petunjuknya yang
menunjukkan keharamannya, tetaplah hal itu pada asal
kebolehannya. Dan orang yang memperbolehkannya tidak
dituntut dalil, karena apa yang ada menurut hukum asal tidak
perlu ditanyakan 'illat-nya, justru yang dituntut agar
mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.26
Sedangkan mengenai masalah membuka wajah dan tangan tidak
saya jumpai nash yang sahih dan sharih yang menunjukkan
keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya
sudah diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath'i yang
tidak meragukan, karena Dia telah berfirman:
"... sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya..." (al-An'am: 119)
Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita
dapati masalah haramnya membuka wajah dan telapak tangan.
Maka tidak perlulah kita mempersukar apa yang telah
dimudahkan Allah, sehingga kita tidak tergolong ke dalam
kaum yang disinyalir oleh Allah karena mengharamkan makanan
yang halal:
"... Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?'" (Yunus: 59)
KEDUA:Perubahan Fatwa karena Perubahan Zaman
Diantara ketetapan yang tidak diperselisihkan lagi ialah
bahwa fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman,
tempat, adat kebiasaan, serta situasi dan kondisi.
Saya percaya bahwa zaman kita yang telah memberikan sesuatu
kepada kaum wanita ini telah menjadikan kita menerima
pendapat-pendapat yang mudah, yang menguatkan posisi dan
kepribadian kaum wanita.
Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan misionaris,
Marxis, orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi
buruk kaum di beberapa negara Islam, dan menyandarkannya
kepada Islam itu sendiri. Mereka juga berusaha
menjelek-jelekkan hukum-hukum syariat Islam beserta
ajarannya mengenai wanita, dan digambarkannya dengan
gambaran yang tidak cocok dengan hakikat yang dibawa oleh
Islam.
Karena itu saya melihat bahwa keunggulan pendapat dari
sebagian orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang
menyadarkan kaum wanita dan peran serta kaum wanita serta
kemampuannya menunaikan hak-hak fitrahnya dan hak-hak
syar'iyahnya, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam
kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati Islamiyyah.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: hukum memakai cadar
Kami tidak mengetahui ada seorangpun dari shahabat yang mewajibkan hal itu. Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syari'at. Tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.
Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam kitab 'Hijabul Mar'aatul Muslimah', untuk membantah orang yang menganggap bahwa menutup wajah wanita adalah bid'ah. Saya telah jelaskan bahwa hal ini (menutup wajah) adalah lebih utama bagi wanita.
Hadits Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Mushannaf'.
Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal yang baru. Para ulama dari kalangan 'As Salafus Shalih' dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah bukan termasuk aurat tetapi menutupnya lebih utama.
Sebagian dari mereka berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita dengan kaidah.
"Artinya : Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan"
Tanggapan saya.
Memang kaidah ini bukan bid'ah tapi sesuatu yang berdasarkan syari'at.
Sedangkan orang yang pertama menerima syari'at adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian orang-orang yang menerima syari'at ini dari beliau adalah para shahabat. Para Shahabat tentu sudah memahami kaidah ini, walaupun mereka belum menyusunnya dengan tingkatan ilmu ushul fiqih seperti di atas.
Telah kami sebutkan dalam kitab 'Hijaab Al-Mar'aatul Muslimah' kisah seorang wanita 'Khats'amiyyah' yang dipandangi oleh Fadhl bin 'Abbas ketika Fadhl sedang dibonceng oleh Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam, dan wanita itupun melihat Fadhl. Ia adalah seorang yang tampan dan wanita itupun seorang yang cantik. Kecantikan wanita ini tidak mungkin bisa diketahui jika wanita itu menutup wajahnya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan bahwa wanita tadi membuka wajahnya.
Sebagian mereka mengatakan bahwa wanita tadi dalam keadaan ber-ihram,
sehingga boleh baginya membuka wajah. Padahal tidak ada tanda-tanda
sedikitpun bahwa wanita tadi sedang ber-ihram. Dan saya telah men-tarjih (menguatkan) dalam kitab tersebut bahwa wanita itu berada dalam kondisi setelah melempar jumrah, yaitu setelah 'tahallul' awal.
Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang ber-ihram, mengapa
Rasulullah tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah mencegah kerusakan .?!
Kemudian kami katakan bahwa pandangan seorang lelaki terhadap wajah wanita, tidak ada bedanya dengan pandangan seorang wanita terhadap wajah lelaki dari segi syari'at dan dari segi tabi'at manusia.
Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman. 'Hendaknya mereka menahan pandangannya" [An-Nuur : 30]
Maksudnya dari (memandang) wanita.
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman. 'Hendaklah mereka
menahan pandangannya" [An-Nuur : 31]
Maksudnya yaitu jangan memandangi seorang laki-laki.
Kedua ayat diatas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah wanita dan ayat kedua memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah pria.
Sebagaimana kita tahu pada ayat kedua tidak memerintahkan seorang laki-laki untuk menutup. Demikian pula ayat pertama tidak memerintahkan seorang wanita untuk menutup wajah.
Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang biasa terbuka dan bisa
dilihat yaitu wajah. Maka Allah, Sang Pembuat syari'at dan Yang Maha
Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis menusia (laki-laki dan perempuan)untuk menundukkan pandangan masing-masing.
Adapun hadits.
"Artinya : Wanita adalah aurat"
Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh
menampakkan auratnya di dalam shalat.[1]
Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah minoritas ulama.
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah mayoritas ulama (Jumhur).
Hadits diatas, yang berbunyi.
"Artinya : Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaithan memperindahnya"
Tidak bisa diartikan secara mutlak. Karena ada kaidah yang berbunyi :
"Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, dimana cabang-cabang hokum itu tidak bisa diamalkan berdasarkan dalil umum tersebut, maka kita tidak boleh berhujah dengan dalil umum tersebut untuk menentukan cabang-cabang hukum tadi".
Misalnya : Orang-orang yang menganggap bahwa 'bid'ah-bid'ah' itu baik adalah berdasarkan dalil yang sifatnya umum. Contoh : Di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain.... banyak orang yang membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang sangat umum yaitu firman Allah.
"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Al-Ahzaab : 56]
Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan dalil-dalil umum (yang tidak bisa daijadikan hujjah dalam adzan yang memakai shalawat, karena ia membutuhkan dalil khusus, wallahu a'lam, -pent-).
Mewajibkan wanita menutup wajah. Berdasarkan hadits : "Wanita adalah aurat", adalah sama dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah) ketika melaksanakan shalat mereka umumnya membuka wajah. Demikian pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajah.
Jika demikian hadits diatas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan telapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan dengan praktek orang-orang salaf (para shahabat).
[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani, hal 150-154 Pustaka At-Tauhid]
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» hukum memakai barang bajakan
» hukum memakai parfum wanitaWanita muslimah hendaknya mengetahui bahwa minyak wangi (parfum) merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun bagi wanita
» hukum islam tidak hanya sebatas hukum pidana saja
» SBY: Ahok Harus Diproses Secara Hukum, Jangan Sampai Dianggap Kebal Hukum
» Ternyata Hukum Kasihilah Sesamamu Tidaklah Menggenapi Hukum PL
» hukum memakai parfum wanitaWanita muslimah hendaknya mengetahui bahwa minyak wangi (parfum) merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun bagi wanita
» hukum islam tidak hanya sebatas hukum pidana saja
» SBY: Ahok Harus Diproses Secara Hukum, Jangan Sampai Dianggap Kebal Hukum
» Ternyata Hukum Kasihilah Sesamamu Tidaklah Menggenapi Hukum PL
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik