metode tarjih
Halaman 1 dari 1 • Share
metode tarjih
Tarjih, secara difinisi adalah : menguatkan salah satu dari dua dalil dzonny supaya bisa beramal dengan yang sudah dikuatkan.([1])
Untuk mentarjih dua dalil dzonny, maka ada tiga cara,
a. Dari sisi sanad
b. Dari sisi matan
c. Dari sisi hukum / madhul
a. Untuk tarjih yang dilihat dari sisi sanad, maka ada beberapa perkara yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Kembali kepada perawi, yaitu perawi yang langsung mendengar dari Rasulullah lebih diunggulkan dari perawi yang tidak langsung mendengar dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam.
Contoh : Hadits yang diriwayatkan oleh Aby Rafi'
"Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi Mainmunah dalam kondisi halal ( tidak berihram), sedangkan saya bermusafir mengikuti mereka berdua." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Hadits dari Ibnu 'Abbas, ia berkata :
"Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi Maimunah dalam kondisi berihram." (HR. Bukhori, Muslim dan Ashabus Sunan)
Dari dua hadits tersebut diatas terjadi ta'arudl, maka harus ditarjih. Dan sesuai cara yang telah disebutkan, maka hadits Rafi' lebih dikuatkan daripada hadits riwayat Ibnu 'Abbas, karena Rafi' ketika meriwayatkan hadits itu bersama-sama dengan Rasulullah dan Maimunah.
Atau kembali pada perawi yang lebih faqih dan lebih masyhur daripada perawi yang kefaqihannya/ kedlobitannya masih diperselisihkan.
2. Kembali pada hakekat periwayatan, yaitu periwayatan hadits mutawatir lebih didahulukan daripada hadits ahad, dan hadits musnad lebih didahulukan daripada hadits mursal, dan seterusnya.
3. Kembali pada waktu periwayatan, maka didahulukan perawi yang meriwayatkan pada waktu baligh dari perawi yang meriwayatkan hadits pada waktu belum baligh.
b. Tarjih dari sisi matan
Yang dimaksud matan disini adalah isi atau kandungan dari hadits, Al Qur'an atau Ijma', baik yang berupa amr (perintah), larangan, 'am dan khosh serta yang lainnya.
1. Larangan lebih didahulukan daripada perintah, karena menolak mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah :
"Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada menarik mashlahah."
2. Jika dalil satunya memerintahkan dan yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil yang memerintahkan untuk bisa lebih berhati-hati.
3. Dan jika dalil satunya mengandung lafadh hakiki, dan yang lain mengandung lafadh majazy (arti kiasan) maka didahulukan dalil yang mengandung lafadh hakiki, karena lafadh hakiki tidak memerlukan qorinah (indikasi) nash yang lain.
4. Bila ada dalil yang mengandung lafadh larangan dan yang lain mengandung pembolehan, maka didahulukan dalil yang mengandung larangan supaya bisa lebih berhati-hati.
5. Ucapan lebih didahulukan dari pekerjaan.
"Ucapan lebih didahulukan atas aktivitas."
c. Tarjih dari sisi hukum atau madhul
Adapun cara untuk mentarjih dari sisi hukum ini ada beberapa macam, antara lain :
1. Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum yang meringankan daripada dalil yang menunjukkan hukum yang memberatkan. Berdasarkan firman Allah, dalam QS. Al Baqarah ayat 185 :
"Allah menghendaki atas kalian kemudahan, dan tidak menghendaki atas kalian kesusahan."
Demikian juga dalam QS. Al Hajj : 78
"Dan tidak dijadikan pada diri kalian dalam agama (Islam) suatu beban."
2. Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum haram daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, berdasarkan hadits Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam.
"Tidak berkumpul halal dan haram kecuali yang haram mengalahkan yang halal."
3. Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum wajib daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, karena meninggalkan yang wajib adalah dosa, sedangkan meninggalkan yang mubah adalah tidak apa-apa, maka menjauhi dosa lebih diutamakan daripada aktivitas yang tidak menyebabkan dosa.
Wallahu 'A'lam bish Showab.
[1] Syarhul Isnawy, Juz II Hal. 189
Untuk mentarjih dua dalil dzonny, maka ada tiga cara,
a. Dari sisi sanad
b. Dari sisi matan
c. Dari sisi hukum / madhul
a. Untuk tarjih yang dilihat dari sisi sanad, maka ada beberapa perkara yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Kembali kepada perawi, yaitu perawi yang langsung mendengar dari Rasulullah lebih diunggulkan dari perawi yang tidak langsung mendengar dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam.
Contoh : Hadits yang diriwayatkan oleh Aby Rafi'
"Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi Mainmunah dalam kondisi halal ( tidak berihram), sedangkan saya bermusafir mengikuti mereka berdua." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Hadits dari Ibnu 'Abbas, ia berkata :
"Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi Maimunah dalam kondisi berihram." (HR. Bukhori, Muslim dan Ashabus Sunan)
Dari dua hadits tersebut diatas terjadi ta'arudl, maka harus ditarjih. Dan sesuai cara yang telah disebutkan, maka hadits Rafi' lebih dikuatkan daripada hadits riwayat Ibnu 'Abbas, karena Rafi' ketika meriwayatkan hadits itu bersama-sama dengan Rasulullah dan Maimunah.
Atau kembali pada perawi yang lebih faqih dan lebih masyhur daripada perawi yang kefaqihannya/ kedlobitannya masih diperselisihkan.
2. Kembali pada hakekat periwayatan, yaitu periwayatan hadits mutawatir lebih didahulukan daripada hadits ahad, dan hadits musnad lebih didahulukan daripada hadits mursal, dan seterusnya.
3. Kembali pada waktu periwayatan, maka didahulukan perawi yang meriwayatkan pada waktu baligh dari perawi yang meriwayatkan hadits pada waktu belum baligh.
b. Tarjih dari sisi matan
Yang dimaksud matan disini adalah isi atau kandungan dari hadits, Al Qur'an atau Ijma', baik yang berupa amr (perintah), larangan, 'am dan khosh serta yang lainnya.
1. Larangan lebih didahulukan daripada perintah, karena menolak mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah :
"Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada menarik mashlahah."
2. Jika dalil satunya memerintahkan dan yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil yang memerintahkan untuk bisa lebih berhati-hati.
3. Dan jika dalil satunya mengandung lafadh hakiki, dan yang lain mengandung lafadh majazy (arti kiasan) maka didahulukan dalil yang mengandung lafadh hakiki, karena lafadh hakiki tidak memerlukan qorinah (indikasi) nash yang lain.
4. Bila ada dalil yang mengandung lafadh larangan dan yang lain mengandung pembolehan, maka didahulukan dalil yang mengandung larangan supaya bisa lebih berhati-hati.
5. Ucapan lebih didahulukan dari pekerjaan.
"Ucapan lebih didahulukan atas aktivitas."
c. Tarjih dari sisi hukum atau madhul
Adapun cara untuk mentarjih dari sisi hukum ini ada beberapa macam, antara lain :
1. Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum yang meringankan daripada dalil yang menunjukkan hukum yang memberatkan. Berdasarkan firman Allah, dalam QS. Al Baqarah ayat 185 :
"Allah menghendaki atas kalian kemudahan, dan tidak menghendaki atas kalian kesusahan."
Demikian juga dalam QS. Al Hajj : 78
"Dan tidak dijadikan pada diri kalian dalam agama (Islam) suatu beban."
2. Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum haram daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, berdasarkan hadits Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam.
"Tidak berkumpul halal dan haram kecuali yang haram mengalahkan yang halal."
3. Mendahulukan dalil yang menunjukkan hukum wajib daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, karena meninggalkan yang wajib adalah dosa, sedangkan meninggalkan yang mubah adalah tidak apa-apa, maka menjauhi dosa lebih diutamakan daripada aktivitas yang tidak menyebabkan dosa.
Wallahu 'A'lam bish Showab.
[1] Syarhul Isnawy, Juz II Hal. 189
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Majelis Tarjih PWM Kalsel Kaji Persoalan Salafi
» metode memahami al Qur'an
» metode tafsir Qur'an
» metode tafsir tematik qur'an
» metode memahami islam
» metode memahami al Qur'an
» metode tafsir Qur'an
» metode tafsir tematik qur'an
» metode memahami islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik