orang cina masuk islam
Halaman 1 dari 1 • Share
orang cina masuk islam
Namaku Lim Pei Chuan, seorang keturunan Tiong hoa bersuku Han dan masih satu
kampung dengan KhongCu sang pembawa agama Khong Hu Cu, Shan Tung. Dua puluh dua
tahun lalu, nama itu aku sandang dari seorang ahli nujum keluarga. "Aliran
Sungai besar dari Utara", nama yang tidak terlalu buruk aku
kira.
Kehidupanku di negeri ini bermula dari terdamparnya kakekku, Lim
Man Ie, di pesisir pantai Sumatera Utara tahun 1945. Saat itu, ia sedang
melarikan diri dari negerinya, Tiongkok, karena peperangan besar yang terjadi di
sana.
Di Sumatera, kakek mengenal seorang gadis desa yang manis lagi
baik bernama Tan Gek Nai yang kemudian ia persunting jadi istrinya. Dari hasil
pernikahan itu, lahirlah papa dan pamanku.
Sayang, kebahagiaan itu tidak
bertahan lama karena nenekku meninggal setelah melahirkan pamanku, saat itu papa
baru berumur tujuh tahun. Pada saat papa berumur delapan tahun, kakek pun
menyusul isterinya karena sakit diabetes dan cidera pinggang yang
dideritanya.
Dalam keadaan yatim piatu, papa harus berusaha menghidupi
dirinya sendiri. Saat itu, ia numpang dengan pamannya di Simpang Tiga. Di sana
ia dipekerjakan sebagai pembantu hingga menikah dengan seorang penjaga toko
kelontongan.
Papa dan mamaku dibesarkan dengan pendidikan yang kurang.
Papa seorang lulusan SMA dan mama hanya bersekolah sampai kelas tiga SD sekolah
Cina, karena sekolah itu akan dibongkar paksa karena peristiwa GestOk
(PKI-red).
Aku dibesarkan dalam budaya TiongHoa yang cukup kental. Dari
kecil, aku sudah diajak oleh papa untuk belajar berdagang dan diajarkan berbagai
ilmu tentang dagang serta semua keahlian pendukungnya. Papa seorang perokok dan
peminum. Meski demikian, ia tidak pernah ngamuk-ngamuk seperti kebanyakan
peminum. Jadi, sejak umur tujuh tahun aku sudah cukup sering minum bir bersama
papa, atau pernah satu sempat aku diajak nonton tarian setengah bugil
bersama-sama orang tua. Namun, semua itu tidak pernah aku lakukan tanpa orang
tua. Hal yang paling dilarang saat itu oleh papa adalah berjudi, merokok dan
main perempuan.
Saat kelas dua SLTP, ada kegundahan yang tak dapat
kujelaskan tentang sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. Prinsipnya, aku hanya
ingin benar-benar meyakini bahwa my religion is the true way of life dan bukan
seorang penganut agama keturunan.
Aku memulai perjalanan ruhaniku dari
agama Buddha Theravada (Buddha Thailand), Mahayana (Buddha Tiongkok), Tantrayana
(Buddha Tibet), Ekayana (Buddha campuran), Buddhayana, Tridharma (Perpaduan
agama Buddha, Khonghucu, dan Taoism). Karena rasa yang mengganjal itu belum
terlunaskan, maka aku mempelajari ilmu Taoism Tiongkok dan Taiwan, lalu Hindu
Bali dan Hindu India. Masa pencaharian diwarnai suatu tragedi di keluargaku,
mamaku menderita Hipertensi dan harus masuk rumah sakit.
Pada saat mama
diperiksa, aku mulai putus asa dengan keadaannya. Saat itu aku hanya teringat,
bahwa aku harus memohon kepada yang bernama Tuhan, agar mama disembuhkan. Selang
beberapa saat, sakit mama mereda. Yang aku panggil saat keadaan terjepit itu
adalah Tuhan, bukan nama dewa-dewi yang kukenal ataupun yesus. Fitrah asalku
mengatakan bahwa aku butuh Tuhan, tempat aku memohon dan berlindung dalam setiap
keadaan.
Sakit yang dialami mama sudah sekitar setengah tahun. Hampir
sepuluh juta, uang yang terkuras demi pengobatan mama. Keadaan keluarga semakin
morat-marit, tapi mama tak kunjung sembuh. Sejak mama di rumah sakit, akulah
yang tinggal di rumah melayani papa dan adikku, dari mulai memasak, membereskan
rumah, dan semua yang biasa dilakukan mama.
Saat itu, datanglah
tetanggaku yang beragama Nasrani menawarkan untuk refresh ke Gadog Puncak.
Tawaran itu aku sambut dengan baik. Kami berangkat jam 4 sore dan sampai di sana
sekitar jam 10 malam. Di sana, kami tidur dahulu sampai jam 00.00. Kemudian
dibangunkan untuk mendengarkan kotbah malam seorang pendeta dari Sulawesi. Saat
itu, kami yang tidak semuanya Kristen pun ikut kebaktian malam. Di villa itu ada
yang beragama Khatolik, Buddha, Khonghucu, dan kalau tidak salah adapula yang
beragama Islam.
Si pendeta memulai khotbahnya malam itu selama dua sesi.
Sesi pertama adalah kesaksian, ia mengakui bahwa dia tadinya beragama Islam
namun ia tidak menemukan kedamaian di sana. Anak dan Istrinya pun bergantian
bicara tentang keadaan mereka yang buruk ketika beragama Islam. Sesi kedua, ia
berusaha agar kami yang di sana berucap "haleluya" bersama-sama.
Setelah
sekian lama mengikuti kegiatan mereka, termasuk mencoba untuk mengkristenkan
kedua orang tua saya dengan dalil-dalil gerejawi, timbul sebuah pertanyaan yang
paling mendasar dalam diri saya, mengapa aku semakin ragu terhadap Yesus.
Keraguan itu aku tanyakan kepada gembala gereja, tapi yang kudapat hanyalah
doktrin-doktrin gerejawi.
Aku semakin tidak percaya lagi dengan
doktrin-doktrin gerejawi tentang Yesus. Aku berusaha menghilangkan gambaran
Yesus dari pandanganku dengan mengatakan bahwa aku tidak mencintainya lagi. Di
kemudian hari, aku baru sadar bahwa hampir saja aku menjadi korban Kristenisasi
dengan metode hipnotis diri dan jin.
Setelah itu, aku kembali pada agama
semula, Khonghucu. Lagi-lagi Allah memberikan hidayah kepadaku melalui
pengalaman gaib.
Ketika itu aku sedang sembahyang di sebuah kelenteng,
seperti biasanya, aku mulai mengambil Hio atau dupa panjang, menyalakannya dan
mulai menancapkannya di setiap dewa-dewi yang telah ditentukan sambil berdoa.
Ketika sampai di dewa terakhir, ada sebuah suara yang berbicara di telinga
kananku. Dia bertanya tentang apa yang sedang aku sembah. Aku menjawab, bahwa
yang aku sembah itu adalah Buddha. Lalu ia bertanya lagi tentang yang mana
Buddha itu. Aku menunjuk patung Buddha untuk menjawab pertanyaan itu. Ia
bertanya lagi tentang yang aku tunjuk itu. Dengan sedikit merasa salah aku
mengatakan bahwa itu patung. Ia bertanya lagi tentang siapa yang menciptakan
patung? Aku menjawab, manusia! Ia bertanya lagi siapa yang menciptakan manusia?
Aku mengatakan Tuhan! Sayup tapi pasti, suara itu mengatakan. "Itulah yang kamu
cari. Carilah Tuhanmu, Tuhan Yang Menciptakan kamu dan aku, Tuhan Pencipta
semesta alam ini, Tuhan Yang Membuat semua yang tiada menjadi ada. Ia Yang
Pertama dan Terakhir.
Ketika aku bekerja sebagai pencuci diesel, dari
stasiun Poris, naik sekeluarga Muslim yang terlihat taat agamanya. Betapa
harmonis dan hangatnya keluarga mereka. Semuanya itu membuatku penasaran, hingga
aku memberanikan bertanya pada bapaknya tentang resep membina keluarga seperti
itu. Jawabannya sangat menakjubkan, "Allahlah yang telah membentuk keluarga
seperti ini".
Allah terus membimbingku untuk kembali kepada-Nya lewat
berbagai peristiwa yang memberikan hikmah mendalam pada diriku. Semuanya
membuatku semakin merasa perlu mencari obat kegelisahan hatiku. Hidayah terakhir
yang terjadi padaku adalah sebuah perjalanan ruhani. Aku mengalami empat hal
yang membuatku tidak lagi dapat berpaling dari kebenaran Islam dan kerinduanku
untuk segera menghampiri agama Allah itu.
Perjalanan pertama adalah aku mati suri selama enam jam. Di
perjalankan, rohku sampai di suatu tempat yang sangat putih bersih yang disana
aku memakai sorban putih, gamis putih dan memegang tasbih putih serta mulai
berjalan menuju sajadah yang berwarna putih. Sayup-sayup terdengar bacaan Yasin
dari seorang laki-laki, ketika aku sudah mulai duduk di atas sajadah putih itu.
Akupun mulai mengucapkan satu kata yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya,
"Subhanallah", aku bertasbih terus sampai adzan subuh sayup-sayup
berkumandang.
Perjalanan kedua, aku terbang di kegelapan malam.
Aku melihat sebuah cahaya keemasan yang setelah aku dekati ternyata sebuah
musholla kecil yang terbuat dari kayu cendana. Setelah aku masuk musholla itu,
aku mulai membaca Quran yang sebelumnya belum pernah aku
mengerti.
Perjalanan ketiga, ketika mau tidur ada sebuah bayangan
memakai gamis dan sorban putih masuk lewat jendelaku. Selama kurang lebih lima
menit, ia mengatakan Laa Ilaaha illa Allah. Pada pertemuan selanjutnya, ia
memakai sorban dan jubah hitam serta masih melafalkan kalimah
Thayyibah.
Perjalanan keempat, aku diperjalankan melihat padang
Mashyar, di mana aku melihat samudera manusia berkumpul. Akhwat di sebelah
kananku dan yang ikhwan di sebelah kiriku. Mereka semua berpakaian jilbab
putih-putih dan kebaya bagi yang akhwat dan sorban atau peci putih bagi yang
ikhwan.
Aku berjalan menembus milyaran manusia itu dan sampai di sebuah
masjid. Aku masuk ke dalamnya, dan di sana terlihat pula jutaan manusia. Ketika
aku hendak berkumpul dengan orang-orang itu ada seorang nenek-nenek yang
memanggil ke depan dan meminta aku membaca Yasin, tetapi aku tolak karena aku
tidak dapat membacanya. Alhasil, aku dikurung di suatu tempat di dalam masjid
itu. Tidak begitu lama, aku dikeluarkan dari tempat itu dan diminta untuk
membaca Yasin sekali lagi. Aku menolaknya kembali. Setelah itu, nenek tersebut
tertawa dan mengatakan "Sejak kamu dilahirkan di atas dunia ini, kamu telah
ditidurkan di atas sajadah" seketika itu aku bangun dan langsung pergi ke
musholla SMU-ku dan berwudhu sekedarnya dan memohon kepada Allah, jikalau memang
ini yang Allah inginkan maka aku memohonkan agar Dia mudahkan jalanku untuk
memeluk Islam. Alhasil, beberapa hari setelah itu, tepatnya 28 Ramadhan 1420 H,
di Masjid Lautze, pasar baru Jakarta, aku ber-Islam. [MQMedia.com]
kampung dengan KhongCu sang pembawa agama Khong Hu Cu, Shan Tung. Dua puluh dua
tahun lalu, nama itu aku sandang dari seorang ahli nujum keluarga. "Aliran
Sungai besar dari Utara", nama yang tidak terlalu buruk aku
kira.
Kehidupanku di negeri ini bermula dari terdamparnya kakekku, Lim
Man Ie, di pesisir pantai Sumatera Utara tahun 1945. Saat itu, ia sedang
melarikan diri dari negerinya, Tiongkok, karena peperangan besar yang terjadi di
sana.
Di Sumatera, kakek mengenal seorang gadis desa yang manis lagi
baik bernama Tan Gek Nai yang kemudian ia persunting jadi istrinya. Dari hasil
pernikahan itu, lahirlah papa dan pamanku.
Sayang, kebahagiaan itu tidak
bertahan lama karena nenekku meninggal setelah melahirkan pamanku, saat itu papa
baru berumur tujuh tahun. Pada saat papa berumur delapan tahun, kakek pun
menyusul isterinya karena sakit diabetes dan cidera pinggang yang
dideritanya.
Dalam keadaan yatim piatu, papa harus berusaha menghidupi
dirinya sendiri. Saat itu, ia numpang dengan pamannya di Simpang Tiga. Di sana
ia dipekerjakan sebagai pembantu hingga menikah dengan seorang penjaga toko
kelontongan.
Papa dan mamaku dibesarkan dengan pendidikan yang kurang.
Papa seorang lulusan SMA dan mama hanya bersekolah sampai kelas tiga SD sekolah
Cina, karena sekolah itu akan dibongkar paksa karena peristiwa GestOk
(PKI-red).
Aku dibesarkan dalam budaya TiongHoa yang cukup kental. Dari
kecil, aku sudah diajak oleh papa untuk belajar berdagang dan diajarkan berbagai
ilmu tentang dagang serta semua keahlian pendukungnya. Papa seorang perokok dan
peminum. Meski demikian, ia tidak pernah ngamuk-ngamuk seperti kebanyakan
peminum. Jadi, sejak umur tujuh tahun aku sudah cukup sering minum bir bersama
papa, atau pernah satu sempat aku diajak nonton tarian setengah bugil
bersama-sama orang tua. Namun, semua itu tidak pernah aku lakukan tanpa orang
tua. Hal yang paling dilarang saat itu oleh papa adalah berjudi, merokok dan
main perempuan.
Saat kelas dua SLTP, ada kegundahan yang tak dapat
kujelaskan tentang sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. Prinsipnya, aku hanya
ingin benar-benar meyakini bahwa my religion is the true way of life dan bukan
seorang penganut agama keturunan.
Aku memulai perjalanan ruhaniku dari
agama Buddha Theravada (Buddha Thailand), Mahayana (Buddha Tiongkok), Tantrayana
(Buddha Tibet), Ekayana (Buddha campuran), Buddhayana, Tridharma (Perpaduan
agama Buddha, Khonghucu, dan Taoism). Karena rasa yang mengganjal itu belum
terlunaskan, maka aku mempelajari ilmu Taoism Tiongkok dan Taiwan, lalu Hindu
Bali dan Hindu India. Masa pencaharian diwarnai suatu tragedi di keluargaku,
mamaku menderita Hipertensi dan harus masuk rumah sakit.
Pada saat mama
diperiksa, aku mulai putus asa dengan keadaannya. Saat itu aku hanya teringat,
bahwa aku harus memohon kepada yang bernama Tuhan, agar mama disembuhkan. Selang
beberapa saat, sakit mama mereda. Yang aku panggil saat keadaan terjepit itu
adalah Tuhan, bukan nama dewa-dewi yang kukenal ataupun yesus. Fitrah asalku
mengatakan bahwa aku butuh Tuhan, tempat aku memohon dan berlindung dalam setiap
keadaan.
Sakit yang dialami mama sudah sekitar setengah tahun. Hampir
sepuluh juta, uang yang terkuras demi pengobatan mama. Keadaan keluarga semakin
morat-marit, tapi mama tak kunjung sembuh. Sejak mama di rumah sakit, akulah
yang tinggal di rumah melayani papa dan adikku, dari mulai memasak, membereskan
rumah, dan semua yang biasa dilakukan mama.
Saat itu, datanglah
tetanggaku yang beragama Nasrani menawarkan untuk refresh ke Gadog Puncak.
Tawaran itu aku sambut dengan baik. Kami berangkat jam 4 sore dan sampai di sana
sekitar jam 10 malam. Di sana, kami tidur dahulu sampai jam 00.00. Kemudian
dibangunkan untuk mendengarkan kotbah malam seorang pendeta dari Sulawesi. Saat
itu, kami yang tidak semuanya Kristen pun ikut kebaktian malam. Di villa itu ada
yang beragama Khatolik, Buddha, Khonghucu, dan kalau tidak salah adapula yang
beragama Islam.
Si pendeta memulai khotbahnya malam itu selama dua sesi.
Sesi pertama adalah kesaksian, ia mengakui bahwa dia tadinya beragama Islam
namun ia tidak menemukan kedamaian di sana. Anak dan Istrinya pun bergantian
bicara tentang keadaan mereka yang buruk ketika beragama Islam. Sesi kedua, ia
berusaha agar kami yang di sana berucap "haleluya" bersama-sama.
Setelah
sekian lama mengikuti kegiatan mereka, termasuk mencoba untuk mengkristenkan
kedua orang tua saya dengan dalil-dalil gerejawi, timbul sebuah pertanyaan yang
paling mendasar dalam diri saya, mengapa aku semakin ragu terhadap Yesus.
Keraguan itu aku tanyakan kepada gembala gereja, tapi yang kudapat hanyalah
doktrin-doktrin gerejawi.
Aku semakin tidak percaya lagi dengan
doktrin-doktrin gerejawi tentang Yesus. Aku berusaha menghilangkan gambaran
Yesus dari pandanganku dengan mengatakan bahwa aku tidak mencintainya lagi. Di
kemudian hari, aku baru sadar bahwa hampir saja aku menjadi korban Kristenisasi
dengan metode hipnotis diri dan jin.
Setelah itu, aku kembali pada agama
semula, Khonghucu. Lagi-lagi Allah memberikan hidayah kepadaku melalui
pengalaman gaib.
Ketika itu aku sedang sembahyang di sebuah kelenteng,
seperti biasanya, aku mulai mengambil Hio atau dupa panjang, menyalakannya dan
mulai menancapkannya di setiap dewa-dewi yang telah ditentukan sambil berdoa.
Ketika sampai di dewa terakhir, ada sebuah suara yang berbicara di telinga
kananku. Dia bertanya tentang apa yang sedang aku sembah. Aku menjawab, bahwa
yang aku sembah itu adalah Buddha. Lalu ia bertanya lagi tentang yang mana
Buddha itu. Aku menunjuk patung Buddha untuk menjawab pertanyaan itu. Ia
bertanya lagi tentang yang aku tunjuk itu. Dengan sedikit merasa salah aku
mengatakan bahwa itu patung. Ia bertanya lagi tentang siapa yang menciptakan
patung? Aku menjawab, manusia! Ia bertanya lagi siapa yang menciptakan manusia?
Aku mengatakan Tuhan! Sayup tapi pasti, suara itu mengatakan. "Itulah yang kamu
cari. Carilah Tuhanmu, Tuhan Yang Menciptakan kamu dan aku, Tuhan Pencipta
semesta alam ini, Tuhan Yang Membuat semua yang tiada menjadi ada. Ia Yang
Pertama dan Terakhir.
Ketika aku bekerja sebagai pencuci diesel, dari
stasiun Poris, naik sekeluarga Muslim yang terlihat taat agamanya. Betapa
harmonis dan hangatnya keluarga mereka. Semuanya itu membuatku penasaran, hingga
aku memberanikan bertanya pada bapaknya tentang resep membina keluarga seperti
itu. Jawabannya sangat menakjubkan, "Allahlah yang telah membentuk keluarga
seperti ini".
Allah terus membimbingku untuk kembali kepada-Nya lewat
berbagai peristiwa yang memberikan hikmah mendalam pada diriku. Semuanya
membuatku semakin merasa perlu mencari obat kegelisahan hatiku. Hidayah terakhir
yang terjadi padaku adalah sebuah perjalanan ruhani. Aku mengalami empat hal
yang membuatku tidak lagi dapat berpaling dari kebenaran Islam dan kerinduanku
untuk segera menghampiri agama Allah itu.
Perjalanan pertama adalah aku mati suri selama enam jam. Di
perjalankan, rohku sampai di suatu tempat yang sangat putih bersih yang disana
aku memakai sorban putih, gamis putih dan memegang tasbih putih serta mulai
berjalan menuju sajadah yang berwarna putih. Sayup-sayup terdengar bacaan Yasin
dari seorang laki-laki, ketika aku sudah mulai duduk di atas sajadah putih itu.
Akupun mulai mengucapkan satu kata yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya,
"Subhanallah", aku bertasbih terus sampai adzan subuh sayup-sayup
berkumandang.
Perjalanan kedua, aku terbang di kegelapan malam.
Aku melihat sebuah cahaya keemasan yang setelah aku dekati ternyata sebuah
musholla kecil yang terbuat dari kayu cendana. Setelah aku masuk musholla itu,
aku mulai membaca Quran yang sebelumnya belum pernah aku
mengerti.
Perjalanan ketiga, ketika mau tidur ada sebuah bayangan
memakai gamis dan sorban putih masuk lewat jendelaku. Selama kurang lebih lima
menit, ia mengatakan Laa Ilaaha illa Allah. Pada pertemuan selanjutnya, ia
memakai sorban dan jubah hitam serta masih melafalkan kalimah
Thayyibah.
Perjalanan keempat, aku diperjalankan melihat padang
Mashyar, di mana aku melihat samudera manusia berkumpul. Akhwat di sebelah
kananku dan yang ikhwan di sebelah kiriku. Mereka semua berpakaian jilbab
putih-putih dan kebaya bagi yang akhwat dan sorban atau peci putih bagi yang
ikhwan.
Aku berjalan menembus milyaran manusia itu dan sampai di sebuah
masjid. Aku masuk ke dalamnya, dan di sana terlihat pula jutaan manusia. Ketika
aku hendak berkumpul dengan orang-orang itu ada seorang nenek-nenek yang
memanggil ke depan dan meminta aku membaca Yasin, tetapi aku tolak karena aku
tidak dapat membacanya. Alhasil, aku dikurung di suatu tempat di dalam masjid
itu. Tidak begitu lama, aku dikeluarkan dari tempat itu dan diminta untuk
membaca Yasin sekali lagi. Aku menolaknya kembali. Setelah itu, nenek tersebut
tertawa dan mengatakan "Sejak kamu dilahirkan di atas dunia ini, kamu telah
ditidurkan di atas sajadah" seketika itu aku bangun dan langsung pergi ke
musholla SMU-ku dan berwudhu sekedarnya dan memohon kepada Allah, jikalau memang
ini yang Allah inginkan maka aku memohonkan agar Dia mudahkan jalanku untuk
memeluk Islam. Alhasil, beberapa hari setelah itu, tepatnya 28 Ramadhan 1420 H,
di Masjid Lautze, pasar baru Jakarta, aku ber-Islam. [MQMedia.com]
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Similar topics
» orang amerika masuk islam
» orang jerman masuk islam
» orang inggris masuk islam
» orang belanda masuk islam
» orang perancis masuk islam
» orang jerman masuk islam
» orang inggris masuk islam
» orang belanda masuk islam
» orang perancis masuk islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik