mendengar azan di pesawat
Halaman 1 dari 1 • Share
mendengar azan di pesawat
Kalau mengingat kembali saat
pertama saya merasa terpanggil untuk menjadi seorang muslimah, rasanya tidak
mampu saya menahan perasaan kagum dan takjub saya pada Ilahi Rabbi, Sang
Pencipta Yang Maha Agung. Betapa tidak, peristiwa terdengarnya suara azan di
telinga saya saat berada di dalam pesawat dengan ketinggian 300-3000 kaki
(feet), adalah sesuatu yang--kalau dipikirkan secara logika--sangat
mustahil.
Terlebih lagi, saat saya sadari bahwa suara azan, yang entah
dari mana asalnya itu, hanya saya sendiri yang mendengar. Namun, saat detik itu,
setelah saya dengar dengan khusyu suara azan "gaib" selama hampir 15 menit itu,
tertanam niat di hati saya untuk masuk Islam.
Peristiwa di dalam pesawat
yang terjadi beberapa tahun lalu itu, juga mengingatkan saya pada masa lalu,
yang terus terang saja, tidak terlalu menyenangkan.
Kehidupan yang saya
jalani sebelum mengenal Islam adalah hari-hari yang seakan tak pernah berakhir.
Terasa panjang, berat, dan sepi.
Saya, Liu Lie Hwa, yang lahir di
Medan, Sumatra Utara, tahun 1972 silam , sudah harus bekerja keras banting
tulang, agar pendidikan saya tidak berhenti di tengah jalan. Meski saya anak
bungsu dari lima bersaudara, tapi saya bertekad untuk membiayai sendiri sekolah
saya, setidak-tidaknya harus tamat SMU.
Itu terjadi karena kedua orang
tua kami meninggal dunia pada saat saya masih membutuhkan banyak biaya, terutama
untuk pendidikan. Keempat kakak saya sebenarnya mau menanggung semua kebutuhan
saya, setidaknya hingga saya merasa mampu untuk hidup mandiri. Tapi saya, dengan
segala kerendahan hati, meminta kepada mereka agar membiarkan saya berusaha
sendiri lebih dulu. "Bila aku nggak mampu, barulah kakak boleh membantuku," kata
saya saat itu. Nekat, memang. Tapi, saya tidak menyesal sedikit pun dengan
keputusan itu.
Benar kata orang, di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Karena usaha keras, saya berhasil sekolah sambil bekerja sebagai tenaga
pembukuan di sebuah toko kecil di kota Medan. Selain itu, saya yang kata
orangpunya suara lumayan bagus mencoba juga untuk meniti karier dibidang tarik
suara. Saya menjadi penyanyi amatir, sekadar untuk menambah uang saku. Lumayan,
pikir saya. Dan selama itu halal, saya tidak malu menjalaninya.
Begitulah
kehidupan yang saya jalani saat itu. Dan, mengenai perjalanan batin saya dalam
mencari ketenangan lewat agama, sempat juga membawa saya untuk berpaling dan
agama semula, menjadi seorang pengikut Budha. Saya terang-terangan masuk agama
Budha, tahun 1987, saat duduk di kelas satu SMU. Yang saya tahu scat itu, agama
tersebut terasa lebih menarik untuk ditelusuri. Ajaran yang dikandungnya terasa
seperti air mengalir, dan lebih banyak memberi saya ketenangan batin.
Hijrah Ke Jakarta
Setelah lulus SMU (1989), kegiatan saya sebagai pinyanyi semakin
meningkat, karena lewat menyanyi segala kebutuhan saya lebih terjamin. Tawaran
untuk show dalam dan luar kota, selalu saga terima dengan tangan terbuka,
terlebih karena saya sudah tidak terikat lagi dengan waktu
belajar.
Ketika datang tawaran untuk show di Jakarta bersama artis senior
lainnya dari kota Medan, saya tidak berpikir dua kali. Segera saya siapkan
segalanva untuk berangkat ke Jakarta, karena selain untuk urusan menyanyi, di
Jakarta pun saya ingin bertemu dengan paman dan tante yang sangat sayang pada
saya walaupun mereka tahu saya sudah memeluk agama Budha.
Paman dan tante
saya sangat taat menganut agama Katolik --apalagi paman adalah seorang
penginjil. Namun, mereka tetap sayang kepada saga. Barangkali yang menjadi
pertimbangan mereka karena saya adalah anak yang sudah tidak beribu dan berayah,
yang patut dikasihani. Entahlah.
Singkatnya, saat ingin kembali ke Medan
inilah, saya mengalami peristiwa azan "gaib" di dalam pesawat. Benar-benar tidak
pernah saga duga sebelumnya. Bahkan malam hari sebelum peristiwa itu pun, saya
tidak bermimpi apa-apa. Dan anehnya, saya yang selama ini belum mengenal Islam,
kecuali sepintas lalu, tapi suara azan itu entah mengapa terasa tidak asing lagi
di telinga saya. Saya menikmatinya dengan sungguh-sungguh, hingga dalam benak
saya terbetik kata, "Mengapa tidak sejak dulu saya masuk Islam. Ientunva, suara
azan seperti ini akan senantiasa saya dengar."
Setelah suara azan dalam
pesawat itu berlalu, saya yang tengah dilanda bingung itu tidak kuasa untuk
menanvakan perihal pendengaran saya itu kepada siapa saja di pesawat itu yang
mempunyai ciri-ciri seorang muslim atau muslimah. Kebetulan, penumpang yang ada
di samping saya adalah seorang bapak berusia 60-an, yang mengenakan topi haji
berwarna putih.
Pikir saya, ia pasti seorang muslim. Tanpa banyak
berpikir lagi, saya langsung menyapanya, memperkenalkan diri, dan menceritakan
sedikit mengenai keajaiban yang barn saja saya alami.
Orang tua
berperawakan sedikit gemuk, yang sebagian rambutnya sudah berwarna putih itu,
bernama Pak Rahmat. Ia ternyata benar-benar seorang muslim yang baik, karena
dengan segala keramahan dan kebijakannya is menanggapi segala cerita
saya.
Tanpa sadar, selama perjalanan pulang Jakarta-Medan tersebut, saya
menceritakan keseluruhan riwayat hidup saya padanya. Beliau ternyata sangat
penyayang dan sangat memperhatikan setiap orang yang benar-benar tertarik pada
Islam.
Dikatakannya bahwa dalam rumahnya, ada juga beberapa mualaf yang
untuk sementara, selama belum bisa mandiri baik lahir maupun batin, tinggal di
rumahnya. "Seandainya kamu ingin masuk Islam dan perlu bimbingan, datanglah pada
kami. Bapak dan ibu, anggaplah seperti orang tuamu sendiri. Orang tuamu yang
seiman," ujarnya lembut.
Mendengar penuturan Pak Rahmat, saya tidak bisa
tidak, jadi menangis tersedu menahan haru. Betapa tidak, saya yang sejak usia
muda ditinggal ayah dan ibu, tiba-tiba mendapat seorang ayah angkat, dalam
sebuah pesawat, dan di perjalanan pulang yang singkat. Dan, semua itu membuat
saya semakin yakinbahwa kasih dan sayang Allah SWT pada saya semakin deras
mengalir. "Aku akan mengabdi pada-Nya dalam agama yang diridhai-Nya," ujar saya
membatin.
Masuk ISLAM
Setelah sampai di Medan, tidak berapa lama kemudian saya datang
mengunjungi ayah angkat saya, Pak Rahmat. Benar saja, ia dan keluarganya
menyambut saya dengan keceriaannya yang tulus. Pada Pak Rahmat yang biasa saya
panggil Bapak, saya utarakan niat saya yang sudah mantap untuk masuk Islam. Maka
tidak berapa lama kemudian tepatnva pada tanggal 17 September 1991, saya resmi
masuk Islam. Setelah menjadi muslimah sava berganti nama menjadi Yenni
Farida.
Sejak menjadi muslimah, otomatis segala aktivitas menyanyi saya
hentikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya bekerja kembali sebagai
tenaga pembukuan di sebuah perusahaan kecil. Selama setengah tahun saya tinggal
dengan keluarga Pak Rahmat. la tidak pemah menyinggung perasaan saya. Sikapnya
dan keluarganya, semua sangat baik pada saya. Tapi saya sadar, saya tidak bisa
selamanya menyusahkan mereka. Saya mulai berpikir untuk hidup mandiri, dan tidak
bergantung pada Bapak lagi.
Akhirnya saya putuskan untuk pergi merantau
mencari pekerjaan di Jakarta. Niat ini semula ditentang oleh Bapak, dengan
alasan Jakarta kota besar yang tidak selamanya ramah. la takut saya akan
terjebak atau tanggelam oleh derasnya arus kota Jakarta.
Namun, setelah
saya yakinkan padanya bahwa saya bisa menjaga diri, terlebih setelah saya
katakan bahwa saya tinggal dengan om dan tante saya di Jakarta, mereka lumayan
tenang melepaskan kepergian saya. Namun, ada satu pesan Bapak yang tidak akan
pernah saya lupakan dan selalu saya laksanakan hingga detik ini, yaitu agar saya
jangan sampai lupa untuk melaksana kan shalat lima waktu maupun shalat sunat
lainnya. "Itu yang tetap menjadikanmu sebagai muslimah, Anakku," ujarnya pada
saya.
Menikah
Di Jakarta, saya cuma sebentar tinggal bersama tante, karena setelah
mendapatkan pekerjaan, saya segera pindah ke tempat kos di jalan Latumeten,
Jakarta Barat. Kepindahan saya ke tempat kos itu, ternyata punya arti
tersendiri. Di sanalah saya bertemu dengan seorang pemuda bersama Muhammad
Majid, asal Kebumen, Jawa Tengah yang kelak menjadi suami saya.
Sebagai
perantau dan sekaligus "pendatang baru" dalam Islam, saya membutuhkan seorang
teman yang bisa membimbing saya untuk menjadi seorang muslimah yang baik.
Alhamdulillah, figur pembimbing tersebut ada pada diri Muhammad Majid. Kami
menjadi semakin Akrab, karena saya sering berkonsultasi masalah-masalah
keagamaan dengannya. Tanpa kami sadari, kami jadi saling membutuhkan. Benih
cinta mulai bersemi di antara kami berdua.
Singkat cerita, tak lama
kemudian, pada tanggal 29 Januari 1992, saya dan dia resmi menikah. Dan sejak
saat itu, kebahagiaan saya menjadi Iengkap dengan hadirnya seorang pendamping
yang saleh, yang akan selalu ada di sisi saya. Meski kami cuma hidup dari
penghasilan suami saga yang guru agama, namun hidup ini saya jalani dengan penuh
keikhlasan. (Dian/Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir
Zein, Penerbit Gema Insani Press. (mualaf.com)
pertama saya merasa terpanggil untuk menjadi seorang muslimah, rasanya tidak
mampu saya menahan perasaan kagum dan takjub saya pada Ilahi Rabbi, Sang
Pencipta Yang Maha Agung. Betapa tidak, peristiwa terdengarnya suara azan di
telinga saya saat berada di dalam pesawat dengan ketinggian 300-3000 kaki
(feet), adalah sesuatu yang--kalau dipikirkan secara logika--sangat
mustahil.
Terlebih lagi, saat saya sadari bahwa suara azan, yang entah
dari mana asalnya itu, hanya saya sendiri yang mendengar. Namun, saat detik itu,
setelah saya dengar dengan khusyu suara azan "gaib" selama hampir 15 menit itu,
tertanam niat di hati saya untuk masuk Islam.
Peristiwa di dalam pesawat
yang terjadi beberapa tahun lalu itu, juga mengingatkan saya pada masa lalu,
yang terus terang saja, tidak terlalu menyenangkan.
Kehidupan yang saya
jalani sebelum mengenal Islam adalah hari-hari yang seakan tak pernah berakhir.
Terasa panjang, berat, dan sepi.
Saya, Liu Lie Hwa, yang lahir di
Medan, Sumatra Utara, tahun 1972 silam , sudah harus bekerja keras banting
tulang, agar pendidikan saya tidak berhenti di tengah jalan. Meski saya anak
bungsu dari lima bersaudara, tapi saya bertekad untuk membiayai sendiri sekolah
saya, setidak-tidaknya harus tamat SMU.
Itu terjadi karena kedua orang
tua kami meninggal dunia pada saat saya masih membutuhkan banyak biaya, terutama
untuk pendidikan. Keempat kakak saya sebenarnya mau menanggung semua kebutuhan
saya, setidaknya hingga saya merasa mampu untuk hidup mandiri. Tapi saya, dengan
segala kerendahan hati, meminta kepada mereka agar membiarkan saya berusaha
sendiri lebih dulu. "Bila aku nggak mampu, barulah kakak boleh membantuku," kata
saya saat itu. Nekat, memang. Tapi, saya tidak menyesal sedikit pun dengan
keputusan itu.
Benar kata orang, di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Karena usaha keras, saya berhasil sekolah sambil bekerja sebagai tenaga
pembukuan di sebuah toko kecil di kota Medan. Selain itu, saya yang kata
orangpunya suara lumayan bagus mencoba juga untuk meniti karier dibidang tarik
suara. Saya menjadi penyanyi amatir, sekadar untuk menambah uang saku. Lumayan,
pikir saya. Dan selama itu halal, saya tidak malu menjalaninya.
Begitulah
kehidupan yang saya jalani saat itu. Dan, mengenai perjalanan batin saya dalam
mencari ketenangan lewat agama, sempat juga membawa saya untuk berpaling dan
agama semula, menjadi seorang pengikut Budha. Saya terang-terangan masuk agama
Budha, tahun 1987, saat duduk di kelas satu SMU. Yang saya tahu scat itu, agama
tersebut terasa lebih menarik untuk ditelusuri. Ajaran yang dikandungnya terasa
seperti air mengalir, dan lebih banyak memberi saya ketenangan batin.
Hijrah Ke Jakarta
Setelah lulus SMU (1989), kegiatan saya sebagai pinyanyi semakin
meningkat, karena lewat menyanyi segala kebutuhan saya lebih terjamin. Tawaran
untuk show dalam dan luar kota, selalu saga terima dengan tangan terbuka,
terlebih karena saya sudah tidak terikat lagi dengan waktu
belajar.
Ketika datang tawaran untuk show di Jakarta bersama artis senior
lainnya dari kota Medan, saya tidak berpikir dua kali. Segera saya siapkan
segalanva untuk berangkat ke Jakarta, karena selain untuk urusan menyanyi, di
Jakarta pun saya ingin bertemu dengan paman dan tante yang sangat sayang pada
saya walaupun mereka tahu saya sudah memeluk agama Budha.
Paman dan tante
saya sangat taat menganut agama Katolik --apalagi paman adalah seorang
penginjil. Namun, mereka tetap sayang kepada saga. Barangkali yang menjadi
pertimbangan mereka karena saya adalah anak yang sudah tidak beribu dan berayah,
yang patut dikasihani. Entahlah.
Singkatnya, saat ingin kembali ke Medan
inilah, saya mengalami peristiwa azan "gaib" di dalam pesawat. Benar-benar tidak
pernah saga duga sebelumnya. Bahkan malam hari sebelum peristiwa itu pun, saya
tidak bermimpi apa-apa. Dan anehnya, saya yang selama ini belum mengenal Islam,
kecuali sepintas lalu, tapi suara azan itu entah mengapa terasa tidak asing lagi
di telinga saya. Saya menikmatinya dengan sungguh-sungguh, hingga dalam benak
saya terbetik kata, "Mengapa tidak sejak dulu saya masuk Islam. Ientunva, suara
azan seperti ini akan senantiasa saya dengar."
Setelah suara azan dalam
pesawat itu berlalu, saya yang tengah dilanda bingung itu tidak kuasa untuk
menanvakan perihal pendengaran saya itu kepada siapa saja di pesawat itu yang
mempunyai ciri-ciri seorang muslim atau muslimah. Kebetulan, penumpang yang ada
di samping saya adalah seorang bapak berusia 60-an, yang mengenakan topi haji
berwarna putih.
Pikir saya, ia pasti seorang muslim. Tanpa banyak
berpikir lagi, saya langsung menyapanya, memperkenalkan diri, dan menceritakan
sedikit mengenai keajaiban yang barn saja saya alami.
Orang tua
berperawakan sedikit gemuk, yang sebagian rambutnya sudah berwarna putih itu,
bernama Pak Rahmat. Ia ternyata benar-benar seorang muslim yang baik, karena
dengan segala keramahan dan kebijakannya is menanggapi segala cerita
saya.
Tanpa sadar, selama perjalanan pulang Jakarta-Medan tersebut, saya
menceritakan keseluruhan riwayat hidup saya padanya. Beliau ternyata sangat
penyayang dan sangat memperhatikan setiap orang yang benar-benar tertarik pada
Islam.
Dikatakannya bahwa dalam rumahnya, ada juga beberapa mualaf yang
untuk sementara, selama belum bisa mandiri baik lahir maupun batin, tinggal di
rumahnya. "Seandainya kamu ingin masuk Islam dan perlu bimbingan, datanglah pada
kami. Bapak dan ibu, anggaplah seperti orang tuamu sendiri. Orang tuamu yang
seiman," ujarnya lembut.
Mendengar penuturan Pak Rahmat, saya tidak bisa
tidak, jadi menangis tersedu menahan haru. Betapa tidak, saya yang sejak usia
muda ditinggal ayah dan ibu, tiba-tiba mendapat seorang ayah angkat, dalam
sebuah pesawat, dan di perjalanan pulang yang singkat. Dan, semua itu membuat
saya semakin yakinbahwa kasih dan sayang Allah SWT pada saya semakin deras
mengalir. "Aku akan mengabdi pada-Nya dalam agama yang diridhai-Nya," ujar saya
membatin.
Masuk ISLAM
Setelah sampai di Medan, tidak berapa lama kemudian saya datang
mengunjungi ayah angkat saya, Pak Rahmat. Benar saja, ia dan keluarganya
menyambut saya dengan keceriaannya yang tulus. Pada Pak Rahmat yang biasa saya
panggil Bapak, saya utarakan niat saya yang sudah mantap untuk masuk Islam. Maka
tidak berapa lama kemudian tepatnva pada tanggal 17 September 1991, saya resmi
masuk Islam. Setelah menjadi muslimah sava berganti nama menjadi Yenni
Farida.
Sejak menjadi muslimah, otomatis segala aktivitas menyanyi saya
hentikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya bekerja kembali sebagai
tenaga pembukuan di sebuah perusahaan kecil. Selama setengah tahun saya tinggal
dengan keluarga Pak Rahmat. la tidak pemah menyinggung perasaan saya. Sikapnya
dan keluarganya, semua sangat baik pada saya. Tapi saya sadar, saya tidak bisa
selamanya menyusahkan mereka. Saya mulai berpikir untuk hidup mandiri, dan tidak
bergantung pada Bapak lagi.
Akhirnya saya putuskan untuk pergi merantau
mencari pekerjaan di Jakarta. Niat ini semula ditentang oleh Bapak, dengan
alasan Jakarta kota besar yang tidak selamanya ramah. la takut saya akan
terjebak atau tanggelam oleh derasnya arus kota Jakarta.
Namun, setelah
saya yakinkan padanya bahwa saya bisa menjaga diri, terlebih setelah saya
katakan bahwa saya tinggal dengan om dan tante saya di Jakarta, mereka lumayan
tenang melepaskan kepergian saya. Namun, ada satu pesan Bapak yang tidak akan
pernah saya lupakan dan selalu saya laksanakan hingga detik ini, yaitu agar saya
jangan sampai lupa untuk melaksana kan shalat lima waktu maupun shalat sunat
lainnya. "Itu yang tetap menjadikanmu sebagai muslimah, Anakku," ujarnya pada
saya.
Menikah
Di Jakarta, saya cuma sebentar tinggal bersama tante, karena setelah
mendapatkan pekerjaan, saya segera pindah ke tempat kos di jalan Latumeten,
Jakarta Barat. Kepindahan saya ke tempat kos itu, ternyata punya arti
tersendiri. Di sanalah saya bertemu dengan seorang pemuda bersama Muhammad
Majid, asal Kebumen, Jawa Tengah yang kelak menjadi suami saya.
Sebagai
perantau dan sekaligus "pendatang baru" dalam Islam, saya membutuhkan seorang
teman yang bisa membimbing saya untuk menjadi seorang muslimah yang baik.
Alhamdulillah, figur pembimbing tersebut ada pada diri Muhammad Majid. Kami
menjadi semakin Akrab, karena saya sering berkonsultasi masalah-masalah
keagamaan dengannya. Tanpa kami sadari, kami jadi saling membutuhkan. Benih
cinta mulai bersemi di antara kami berdua.
Singkat cerita, tak lama
kemudian, pada tanggal 29 Januari 1992, saya dan dia resmi menikah. Dan sejak
saat itu, kebahagiaan saya menjadi Iengkap dengan hadirnya seorang pendamping
yang saleh, yang akan selalu ada di sisi saya. Meski kami cuma hidup dari
penghasilan suami saga yang guru agama, namun hidup ini saya jalani dengan penuh
keikhlasan. (Dian/Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir
Zein, Penerbit Gema Insani Press. (mualaf.com)
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Similar topics
» Ni Made Yunika masuk islam setelah mendengar suara azan
» Azan ketika mengubur mayat
» Saudi Larang Warga Asing Kumandangkan Azan
» Menteri Agama Ngambek Pidatonya Terpotong Azan
» [video] tempat bekas masjid kosong yang azan sendiri
» Azan ketika mengubur mayat
» Saudi Larang Warga Asing Kumandangkan Azan
» Menteri Agama Ngambek Pidatonya Terpotong Azan
» [video] tempat bekas masjid kosong yang azan sendiri
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik