Mencela Ulama
Halaman 1 dari 1 • Share
Mencela Ulama
LARANGAN MENCELA PARA ULAMA
Banyak dijumpai perilaku manusia yang buruk yang dilakukan oleh lidahnya, semisal mengghibah, memfitnah, berdusta, mengumpat, memaki, bersumpah dengan selain nama Allah, berfatwa tanpa ilmu, berkata-kata keji, mencela dan lain sebagainya. Sebab sebagaimana telah diungkapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits shahih, bahwa kebanyakan dosa manusia itu ada pada lisannya. [1]
Namun ada keburukan yang lebih buruk lagi yaitu mencela orang-orang yang sepantasnya dimuliakan, karena keshalihan dan keilmuan serta kesungguhan mereka untuk mendapatkan dan menjaga ilmu tersebut. Mereka itu adalah para ulama yang telah dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam banyak ayat, di antaranya,
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ اْلعُلَمَاءُ
“Yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya itu hanyalah ulama”. [QS Fathir/ 35: 28].
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوْا مِنكُمْ وَ الَّذِينَ أْوتُوا اْلعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”. [QS al-Mujadilah/ 58: 11].
عن أبي الدرداء قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَ إِنَّ اْلعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَلَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَ لاَ دِرْهَمًا وَ إِنَّمَا وَرَّثُوْا اْلعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dari Abu ad-Darda’ berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dan sesungghnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan uang dinar dan tidak juga dirham. Mereka itu hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil peruntungan yang sangat banyak”. [HR Abu Dawud: 3641, 3642, at-Turmudziy: 2683, Ibnu Majah: 223, Ahmad: V/ 196 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih]. [2]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Dan sebagaimana telah diketahui bahwasanya yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu tentang syariat Allah Azza wa Jalla dan bukan yang lainnya. Para nabi alaihim as-Salam tidak mewariskan kepada manusia ilmu perindustrian dan yang berkaitan dengannya”. [3]
Katanya lagi, “Dan atas segala keadaan, aku ingin mengatakan, “Sesungguhnya ilmu yang merupakan tempat (mendapatkan) sanjungan (dari Allah) adalah ilmu syar’iy yaitu memahami kitab Allah dan sunnah rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Adapun selainnya, adakalanya menjadi sarana untuk mendapatkan kebaikan atau keburukan. Maka hukumnya adalah sesuai dengan keadaan sarana tersebut”. [4]
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Wahai muslim hendaklah engkau berambisi untuk mengetahui agama Islammu itu dari kitab Rabb-mu (alqur’an) dan sunnah nabimu (alhadits). Dan janganlah engkau mengatakan, ‘telah berkata si fulan’, karena sesungguhnya kebenaran itu tidak dengan cara mengenal orang-orangnya, tetapi kenalilah kebenaran niscaya engkau akan mengenal orang-orangnya. Dan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala dilimpahkan kepada orang yang mengatakan, [5]
العلم قال الله قال رسوله قال الصحابة ليس بالتمويه
ما العلم نصبك للخلاف سماحة بين الرسول و بين رأس فقيه
كلا و لا جحد الصفات و نفيها حذرا من التمثيل و التشبيه
Artinya,
Ilmu adalah firman Allah, sabda rosul-Nya
Kata para shahabat, tidaklah bercampur
Tiada bagianmu terhadap ilmu itu boleh berselisih
Yakni antara Rosul dan pendapat seorang faqih
Sekali-kali tidak, tidak boleh mengingkari sifat-sifat apalagi meniadakannya
Waspadalah terhadap tamtsil dan tasybih
Berkata al-Imam al-Awza’iy rahimahullah, “Ilmu itu adalah apa yang didatangkan oleh para shahabat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, dan apa yang tidak datang dari seseorang dari mereka maka itu bukanlah ilmu”. [6]
Demikian beberapa dalil dari banyak dalil yang menegaskan akan kemuliaan yang Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam anugrahkan kepada para ulama yang meniti jalan di atas jalan dan manhaj Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum.
Jadi ilmu itu adalah firman Allah ta’ala dan sabda Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang diambil dari para ulama yang benar-benar menguasai, memahami dan mengamalkan ajaran alqur’an dan hadits-hadits tsabit lagi shahih dengan benar dan utuh serta tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela.
Dari sebab itu, mencela ulama dan menghina mereka merupakan jalannya orang yang menyimpang dan sesat. Yang demikian itu karena sesungguhnya mencela ulama bukanlah celaan terhadap diri-diri mereka, akan tetapi itu adalah celaan terhadap agama, dakwah yang mereka emban dan agama yang mereka anut.
Maka mencela ulama hukumnya haram karena mereka termasuk kaum muslimin sedangkan mencela kaum muslimin itu dilarang dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang hal tersebut di dalam hadits shahih berikut ini,
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ اْلمـُسْلِمِ عَلىَ اْلمـُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darah, harta dan kemuliaannya”. [HR Muslim: 2564, Abu Dawud: 4882, at-Turmudziy: 1927, Ibnu Majah: 3933 dan Ahmad: II/ 277, 311, 360. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [7]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,[8] “Diharamkannya kehormatan seorang muslim yaitu mengghibahinya. Maka mengghibahi muslim itu hukumnya haram dan termasuk dari dosa-dosa besar. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdilqowwiy di dalam kumpulan syairnya,
وَ قَدْ قِيْلَ صُغْرَى غِيْبَةٌ وَ نَمِيْمَةٌ وَ كِلْتَاهُمَا كُبْرَى عَلَى نَصِّ أَحْمَدَ
Sungguh dikatakan ghibah dan namimah itu dosa kecil
Padahal keduanya itu dosa besar sesuai dengan nash Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Dari Abu Bakrah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada waktu khutbahnya pada hari nahar di Mina di waktu haji wada’,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فىِ بَلَدِكُمْ هَذَا فىِ شَهْرِكُمْ هَذَا أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ
“Sesungguhnya darah, harta dan kemuliaan kalian adalah haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini, di bulan ini. Tidakkah aku telah menyampaikannya?”. [HR al-Bukhoriy: 67, 105, 1741, 3197, 4406, 4662, 5550, 7078, 7447, Muslim: 1679 dan Ibnu Majah: 3931. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]
Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Kesucian jiwa, harta dan kehormatan muslim itu lebih tinggi di sisi Allah daripada kesucian negeri (Mekkah), bulan (Dzulhijjah) dan hari (Nahar)”. [10]
Berkata al-Imam al-Mubarakfuriy rahimahullah, “Yaitu sebahagian kalian (haram) melakukan pelanggaran terhadap darah, harta dan kehormatan (harga diri) sebahagian yang lain pada hari-hari selainnya (yaitu di luar bulan haram). Sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini, di tanah ini ( yaitu Mekkah)”. [11]
Disamping itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mensifati orang mukmin itu dengan seseorang yang tidak suka mencela, melaknat, berkata-kata keji dan berbicara kotor, sebagaimana dalil berikut,
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لَيْسَ اْلمـُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَ لَا اللَّعَّانِ وَ لَا اْلفَاحِشِ وَ لَا اْلبَذِيِّ
“Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencela, orang yang gemar melaknat, orang yang suka berbuat/ berkata-kata keji dan orang yang berkata-kata kotor/ jorok”. [HR at-Turmudziy: 1977, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 312, Ahmad: I/ 404-405 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]
Dengan dalil-dalil dan penjelasannya di atas dipahami bahwa, setiap muslim diharamkan untuk menodai, merusak dan mengoyak-ngoyak kesucian dan kemuliaan muslim yang lain. Bahkan di antara tanda-tanda keimanan seseorang itu di antaranya adalah tidak pernah mencela dan melaknat siapapun yang tidak pantas untuk dicela dan dilaknat. Jika ada seseorang yang mengaku-ngaku beriman lalu ia gemar mencela dan mengutuk orang lain karena tidak sepaham dan tidak pula segolongan dengannya maka keimanannya pantas diragukan.
Dan bertambah keharamannya karena mencela ulama itu merupakan tangga yang mengantarkan untuk mencela agama. Dan ini adalah yang diinginkan oleh ahlu syirik dan bid’ah yang mencela pendahulu umat ini dan ulamanya yang mengikuti mereka dengan baik. Jalan dan sebab-sebab yang diukur dengan tujuan dan mengikuti hukum tujuan yang dituju.
Ketika mereka tidak dapat menghentikan dan tidak pula mampu merobohkan kekokohan agama tauhid dan sunnah maka mereka akhirnya mencela dan merendahkan para ulama, penyeru dan pembelanya. Dengan perbuatan mereka itu, mereka ingin mengoyak, menodai dan membunuh karakter para ulama dan penyeru tauhid dan sunnah tersebut sebagaimana dahulu kaum kafirin mencela dan merendahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan panggilan ‘orang gila’ dan ‘penyihir’. Begitupan pada masa selanjutnya kaum musyrikin dan munafikin mereka terus mencela dan mengoyak kemuliaan para shahabat dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka. Jika karakter mereka telah terkoyak maka berapa banyak kaum muslimin dan manusia pada umumnya yang terhalang dari mendapatkan hidayah Allah ta’ala.
Al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Disaat tujuan itu tidaklah tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan jalan-jalan yang mengantarkan padanya, jadilah sebab dan jalan tersebut mengikuti hukumnya, dan diukur dengannya. Perantara perkara yang haram dan maksiat terkait dengan dibencinya dan dilarangnya, hal tersebut sesuai dengan kadar besarnya dia bisa mengantarkan pada tujuannya dan sesuai dengan besarnya keterkaitan dengan perkara yang dituju. Perantara perkara ketaatan dan amal baik terkait dengan dicintainya dan dijinkannya sesuai dengan kadarnya dia bisa mengantarakan pada tujuannya. Maka perantara kepada suatu maksud mengikuti hukumnya yang dimaksud. Keduanya sama-sama yang dimaksud hanya saja yang ini dimaksudkan karena dia tujuannya adapun yang satu dimaksudkan sebagai perantara. Jika Allah ta’ala mengharamkan sesuatu, yang mana perkara tersebut memiliki jalan dan perantara yang mengantarkan padanya, maka sesungguhnya Allah ta’ala mengharamkan perantara tersebut dan melarangnya sebagai wujud pengharamkan perkara tersebut dan pengkukuhan pengharamannya, serta pelarangan dari mendekatinya. Kalau seandainya Allah ta’ala membolehkan perkara yang mengantarkan pada perkara haram tersebut maka hal itu akan membatalkan pengharaman perkara tersebut, penghasutan terhadap jiwa. Dan hikmah Allah ta’ala serta ilmu llah ta’ala jauh dari hal itu sejauh-jauhnya”. [13]
Ketika para salaf memahami hal ini maka mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa pelecehan terhadap agama dan penghinaan terhadap sunnah pemimpin para rosul Shallallahu alaihi wa sallam,
Dari Mush’ab bin Abdillah berkata, “Abu Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku, Berkata kepadaku Amirul Mukminin Al-Mahdy, “Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang orang yang merendahkan shahabat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Aku berkata, ”Dia orang zindiq”. Dia berkata, “Aku belum pernah dengar seorangpun berkata demikian sebelummu.” Aku berkata, “Mereka adalah kaum yang ingin merendahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan mereka mengatakan, “Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek, betapa jelek orang yang ditemani oleh orang-orang yang jelek”. Maka dia berkata, “Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau katakan”. [14]
Demikian juga dikatakan oleh para ulama salaf tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dan orang-orang setelah mereka.
Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَغْمِزُ حَمَّادَ بْنِ سَلَمَةَ فَاتَّهِمْهُ عَلَى اْلإِسْلَامِ فَإِنَّهُ كَانَ شَدِيْدًا عَلَى اْلمـُبْتَدِعَةِ
“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah maka ragukanlah keislamannya. Sesungguhnya Hammad sangat keras terhadap ahlul bid’ah”. [15]
Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَتَكَلَّمُ فِى حَمَّادَ بْنِ سَلَمَةَ وَ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَاتَّهِمْهُ عَلَى اْلإِسْلَامِ
“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah keislamannya”. [16]
Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.
Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,
حَقٌّ عَلَى اْلعَاقِلِ أَنْ لَا يَسْتَخِفَّ بِثَلَاثِةٍ: اْلعُلَمَاءِ وَ السَّلَاطِيْنِ وَ اْلإِخْوَانِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنْيَاهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوْءَتُهُ
“Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang; Ulama, penguasa dan saudara. Siapa yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah muru’ahnya”. [17]
Ulama adalah orang-orang terpilih yang memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa baik dalam Islam. Melalui merekalah bagaimana silsilah ilmu keislaman bisa tersambung dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, hingga kepada kita semua yang hidup pada zaman ini. Mencela mereka adalah hal yang tidak diidzinkan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam sebuah hadits shahih,
Dari Ubadah bin ash-Shamit bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنْ أُمَّتِى مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا
“Tidak termasuk umatku orang-orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua dari kami, menyayangi yang lebih muda dari kami, dan tidak mengetahui hak seorang ulama”. [HR Ahmad: V/ 323 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [18]
Ulama telah berjasa besar dalam memberikan kemashlahatan umat ini. Fatwa yang mereka lontarkan bukanlah perkataan sembarangan, namun didasari ilmu yang memadai. Bisa dikatakan bahwa ulama adalah orang yang paling ilmiah, paling kompeten, dan paling masuk akal. Ini dikarenakan mereka tidak berbicara dengan ra’yu, persangkaan dan hawa nafsu semata. Perkataan mereka berasal dari dua referensi yang pasti benar yaitu alqur’an dan hadits-hadits shahih. Maka sepantasnya bagi setiap muslim untuk menghormati, memuliakan dan mengetahui hak-hak para ulama.
Para ulama yang berada di atas kebenaran dan manhaj yang benar adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kemaslahatan umat, sehingga manusia tidak tersesat dalam mengarungi lautan kehidupan. Berbeda dengan orang selain mereka yang tidak berfatwa melainkan dengan ro’yu, persangkaan dan hawa nafsu semata. Pantas jika orang-orang yang mengikuti mereka itu akan tersesat dan tambah jauh dari kebenaran Islam. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menerangkan hal itu dengan salah satu sabdanya dalam salah satu hadistnya,
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ اْلعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ اْلعِبَادِ وَ لَكِنْ يَقْبِضُ اْلعِلْمَ بِقَبْضِ اْلعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ انَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا
”Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia. Sebaliknya Allah mengambilnya dengan cara mewafatkan para ulama sehingga tidak tersisa walaupun seorang. Manusia mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin. Apabila mereka ditanya, merekapun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan”. [HR al-Bukhoriy: 100, 7307, Muslim: 2673, Ibnu Majah: 52 dan at-Turmudziy: 2652. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Berfatwa dengan ro’yu (akal) merupakan jalan kesesatan dan penyesatan. Orang yang jahil yang berani berfatwa maka ia akan berfatwa tanpa ilmu. Tetapi orang yang memiliki ilmu (berilmu) apabila ditanya tentang suatu perkara yang tidak mereka ketahui maka mereka akan mengatakan “Aku tidak tahu”. [20]
Al-Imam al-Ajurriy rahimahullah berkata, ”Bagaimanapun juga, ulama memiliki keutamaan yang sangat besar. Dalam usaha mereka menuntut ilmu, terdapat keutamaan. Ketika mereka bersama dengan para syaikhnya terdapat keutamaan. Ketika mereka mengingatkan satu sama lain, terdapat keutamaan. Dalam diri para ulama yang menjadi guru mereka, terdapat keutamaan. Ketika mereka mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang belajar kepada mereka, terdapat keutamaan. Sungguh, Allah telah mengumpulkan kebaikan kepada para ulama dalam banyak hal. Mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita dan mereka dengan ilmu”. [21]
Al-Imam Abul Qasim Ali Ibnu Asakir berkata, ”Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya daging para ulama itu beracun. Permusuhan Allah terhadap orang yang melecehkan kehormatan para ulama juga sudah maklum. Dan, barangsiapa yang menyibukkan lisannya untuk menjelek-jelekkan para ulama, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya sebelum kematiannya dengan kematian hati”. [22]
Al-Hafiz Ibnu Asakir rahimahullah berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada keridlaan-Nya, dan menjadikan kita semua sebagai orang yang benar-benar bertaqwa kepada-Nya. Sesungguhnya daging (penggunjing) para ulama itu beracun, dan kebiasaan Allah dalam menyingkap kedok para pencela mereka (ulama) telah diketahui bersama. Karena mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka, merupakan petaka besar, dan melecehkan kehormatan mereka dengan cara dusta dan mengada-ada merupakan kebiasaan buruk, dan menentang mereka yang telah Allah pilih untuk menebarkan ilmu, merupakan perangai tercela”. [23]
Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, ”Barangsiapa yang kesukaannya adalah menjelek-jelekkan ulama dan membuat orang lain lari dari mereka, serta memperingatkan orang agar berhati-hati dengan mereka; maka sesungguhnya yang dia lukai bukan hanya seorang ulama saja, melainkan perbuatannya tersebut telah melukai (menodai) peninggalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [24]
Betapa indahnya perkataan asy-Syaikh al-Utsaimin tersebut di atas. Beliau menyamakan ulama sebagai peninggalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang berharga yang In syaa Allah berperan besar dalam keberlangsungan kebenaran dalam tubuh umat Islam hingga akhir masa.
Asy-Syaikh Bin Baz dikala ia ditanya mengenai kebiasaan sebagian juru dakwah yang gemar mencela ulama, beliau berkomentar, ”Menurut saya ini perbuatan yang diharamkan. Sekiranya seseorang tak dibolehkan berbuat ghibah terhadap saudaranya sesama mukmin sekalipun dia bukan ulama, bagaimana mungkin seseorang dibolehkan meng-ghibah para ulama kaum mukminin?. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ’Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebiasaan berburuk sangka, karena sesungguhnya sebagian dari berburuk sangka adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan pula sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Tentu, kalian tidak menyukainya. Dan takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang’. [QS al-Hujurat/ 49: 12]. Dan hendaknya orang ini tahu akibat dari perbuatan buruknya, bahwasanya apabila dia menjelek-jelekkan seorang ulama, maka hal ini akan menyebabkan semua perkataan haq yang keluar dari ulama tersebut tertolak. Jika demikian, maka bencana penolakan al-haq dan dosanya ditanggung oleh oranhg yang suka menjelek-jelekkan ulama ini. Sebab, realitanya, menjelek-jelekkan ulama bukan hanya menjelek-jelekkan pribadi ulama bersangkutan, melainkan hal ini sama saja dengan melecehkan peninggalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [25]
DR. Husamuddin Affanah berkata, ”Tidak diragukan lagi, bahwa memuliakan dan menghormati ulama adalah salah satu perkara yang diwajibkan oleh syari’at, meskipun mereka berbeda pendapat dengan kita. Sebab, ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi telah mewariskan ilmunya kepada mereka. Sehingga, para ulama memiliki kehormatan yang harus kita junjung tinggi”. [26]
In syaa Allah, pendapat para ulama di atas yang mana mereka dengan tegas melarang celaan terhadap ulama adalah mendekati kebenaran sesuai apa yang telah disabdakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Memang disayangkan, kita sering melihat para da’i dan mubaligh yang dengan mudahnya mengklaim bahwa ulama ini dan itu adalah keliru dan salah bahkan menyesatkan hanya lantaran menyalahi pemahaman mereka.
Bahkan kaum awamnyapun ikut-ikutan mencela para ulama yang tidak sepaham dengan kyai dan ustadz mereka tanpa ilmu. Terkadang celaan dan cemoohan mereka telah melampaui batas-batas kewajaran. Jika mereka dinashihati oleh selain ustadz atau kyai mereka maka mereka akan menolak dan langsung menghindar dari nashihat tersebut tanpa mau tahu dasarnya. Apabila sudah terlanjur dinashihati dengan banyak dalil yang tsabit lagi shahih langsung mereka menuduh pemberi nashihat itu dengan sebutan ‘wahhabiy’ atau ‘salafiy’. Padahal para ustadz dan kyai mereka itu tahu akan kejadian tersebut namun mereka diam saja menghadapi sikap para santri dan muridnya yang jumud tersebut.
Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengatakan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَ لَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَ لَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَ لَا تَنَابَزُوا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ اْلاِسْمُ اْلفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَ مَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula para perempuan mengolok-olok perempuan lain karena boleh jadi mereka (perempuan yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (perempuan yang mengolok-olok). Janganlah kalian saling mencela dan jangan pula saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan fasik setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. [QS al-Hujurat/ 49: 11].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkannya mengolok-olok, mencela dan saling memberikan gelar buruk di antara kaum muslimin. Wajibnya menjauhkan diri dari setiap persangkaan, tidak dalam bentuk qarinah (penghubung) dan tidak pula keadaan yang dapat membawa kepada perilaku tersebut”. [27]
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran”. [HR al-Bukhoriy: 48, 6044, 7076, Muslim: 64, at-Turmudziy: 1983, 2635, an-Nasaiy: V/ 121, 122, Ibnu Majah: 69 dan Ahmad: I/ 385, 411, 433, 439, 446, 454. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]
Berdasarkan ayat dan hadits shahih di atas maka jika Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang mengolok-olok (mengejek), mencela dan memberi julukan-julukan jelek kepada kaum muslimin. Maka jika demikian, bagaimana jika semua itu ditujukan kepada para ulama mereka. Tentu hal itu lebih terlarang lagi dan diharamkan menurut syariat. Maka renungkanlah !!
Memang pendapat seorang ulama itu bisa tertolak apabila menyelisihi syari’at, namun jangan segan untuk menerimanya apabila ternyata selaras dengan alqur’an dan sunnah, berpihak dan berpijak kepada keduanya. Tetapi jika pendapatnya keliru atau salah maka itu adalah sesuatu yang wajar sebagai seorang manusia yang tidak ada kesempurnaan, selama tidak dalam masalah yang sangat prinsip semisal akidah dan keimanan. Semoga hal ini bisa dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semuanya, terutama bagi para thalibul ilmi agar bisa menjaga lisannya dari mencela para ulama yang seharusnya dimuliakan. Hanya kepada Allah ta’ala semata kita meminta ampunan bagi kesalahan yang kita perbuat, baik itu disadari maupun tak disadari.
Wallahu a’lam bish showab.
[1] Dari Syaqiq berkata, Pernah Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu anhu bertalbiyah di atas bukit shofa. Kemudian berkata, “Wahai lisan, berkatalah yang baik niscaya engkau akan memperoleh kebaikan atau diamlah niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesal”. Mereka bertanya, “Wahai Abu Abdurrahman (maksudnya; Ibnu Mas’ud), Apakah ini suatu ucapan yang engkau ucapkan sendiri atau yang engkau pernah dengar?”. Beliau radliyallahu anhu menjawab, “Tidak, bahkan aku telah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ
“Kebanyakan dosa anak-anak adam itu ada pada lisannya”. [HR ath-Thabraniy, Abu asy-Syaikh dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1201, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 534 dan al-Adab: 396].
[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 3096, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2159, Shahih Sunan Ibni Majah: 182, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6297 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 68.
[3] Kitab al-Ilmi halaman 7.
[4] Kitab al-Ilmi halaman 8.
[5] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 146 dan Bahjah an-Nazhirin: II/ 462.
[6] Bahjah an-Nazhirin: II/ 462 dan Jami’ Bayan al-Ilmi wa fadl-lihi: 803.
[7] Shahih Sunan Abi Dawud: 4085, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1572, Shahih Sunan Ibni Majah: 3177, Irwa’ al-Ghalil: 2450, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6706, 7242 dan Misykaah al-Mashobih: 4959.
[8] Syar-h al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 377.
[9] Shahih Sunan Ibni Majah: 3176, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2068.
[10] Bahjah an-Nazhirin: III/ 24.
[11] Tuhfah al-Ahwadziy: VI/ 314.
[12] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1610, Shahih al-Adab al-Mufrad: 237, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5381 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 320
[13] I’lam Al-Muwaqi’in: III/147.
[14] Tarikh Baghdad: X/ 174.
[15] Siyar A’lam an-Nubala: XIII/ 499.
[16] Syar-h Ushul ‘Itiqad: I/ 514.
[17] Siyar A’lam an-Nubala: XVII/ 251.
[18] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5443 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 96.
[19] Mukhtashor Shahih Muslim: 1858, Shahih Sunan Ibnu Majah: 46, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2136 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1854.
[20] Bahjah an-Nazhirin: II/ 478.
[21] Akhlaq al-Ulama, halaman 43-44.
[22] http://www.almeshkat.net/indez.php.
[23] Tabyin Kadzib al-Muftariy halaman 28.
[24] http://islamgold.com.
[25] Fatawa al-Ulama’ Haula ad-Da’wah wa al-Jama’ah al-Islamiyah, halaman 65.
[26] http://almeshkat.net/index.php.
[27] Aysar at-Tafasir: V/ 131.
[28] Mukhtashor Shahih Muslim: 66, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1615, 2123, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3825, 3826, 3827, 3832, Shahih Sunan Ibnu Majah, 58, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3595, 3596 dan Ghoyah al-Maram: 442.
https://cintakajiansunnah.wordpress.com/tag/larangan-mencela-para-ulama/
Banyak dijumpai perilaku manusia yang buruk yang dilakukan oleh lidahnya, semisal mengghibah, memfitnah, berdusta, mengumpat, memaki, bersumpah dengan selain nama Allah, berfatwa tanpa ilmu, berkata-kata keji, mencela dan lain sebagainya. Sebab sebagaimana telah diungkapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits shahih, bahwa kebanyakan dosa manusia itu ada pada lisannya. [1]
Namun ada keburukan yang lebih buruk lagi yaitu mencela orang-orang yang sepantasnya dimuliakan, karena keshalihan dan keilmuan serta kesungguhan mereka untuk mendapatkan dan menjaga ilmu tersebut. Mereka itu adalah para ulama yang telah dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam banyak ayat, di antaranya,
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ اْلعُلَمَاءُ
“Yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya itu hanyalah ulama”. [QS Fathir/ 35: 28].
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوْا مِنكُمْ وَ الَّذِينَ أْوتُوا اْلعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”. [QS al-Mujadilah/ 58: 11].
عن أبي الدرداء قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَ إِنَّ اْلعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَلَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَ لاَ دِرْهَمًا وَ إِنَّمَا وَرَّثُوْا اْلعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dari Abu ad-Darda’ berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dan sesungghnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan uang dinar dan tidak juga dirham. Mereka itu hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil peruntungan yang sangat banyak”. [HR Abu Dawud: 3641, 3642, at-Turmudziy: 2683, Ibnu Majah: 223, Ahmad: V/ 196 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih]. [2]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Dan sebagaimana telah diketahui bahwasanya yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu tentang syariat Allah Azza wa Jalla dan bukan yang lainnya. Para nabi alaihim as-Salam tidak mewariskan kepada manusia ilmu perindustrian dan yang berkaitan dengannya”. [3]
Katanya lagi, “Dan atas segala keadaan, aku ingin mengatakan, “Sesungguhnya ilmu yang merupakan tempat (mendapatkan) sanjungan (dari Allah) adalah ilmu syar’iy yaitu memahami kitab Allah dan sunnah rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Adapun selainnya, adakalanya menjadi sarana untuk mendapatkan kebaikan atau keburukan. Maka hukumnya adalah sesuai dengan keadaan sarana tersebut”. [4]
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Wahai muslim hendaklah engkau berambisi untuk mengetahui agama Islammu itu dari kitab Rabb-mu (alqur’an) dan sunnah nabimu (alhadits). Dan janganlah engkau mengatakan, ‘telah berkata si fulan’, karena sesungguhnya kebenaran itu tidak dengan cara mengenal orang-orangnya, tetapi kenalilah kebenaran niscaya engkau akan mengenal orang-orangnya. Dan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala dilimpahkan kepada orang yang mengatakan, [5]
العلم قال الله قال رسوله قال الصحابة ليس بالتمويه
ما العلم نصبك للخلاف سماحة بين الرسول و بين رأس فقيه
كلا و لا جحد الصفات و نفيها حذرا من التمثيل و التشبيه
Artinya,
Ilmu adalah firman Allah, sabda rosul-Nya
Kata para shahabat, tidaklah bercampur
Tiada bagianmu terhadap ilmu itu boleh berselisih
Yakni antara Rosul dan pendapat seorang faqih
Sekali-kali tidak, tidak boleh mengingkari sifat-sifat apalagi meniadakannya
Waspadalah terhadap tamtsil dan tasybih
Berkata al-Imam al-Awza’iy rahimahullah, “Ilmu itu adalah apa yang didatangkan oleh para shahabat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, dan apa yang tidak datang dari seseorang dari mereka maka itu bukanlah ilmu”. [6]
Demikian beberapa dalil dari banyak dalil yang menegaskan akan kemuliaan yang Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam anugrahkan kepada para ulama yang meniti jalan di atas jalan dan manhaj Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum.
Jadi ilmu itu adalah firman Allah ta’ala dan sabda Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang diambil dari para ulama yang benar-benar menguasai, memahami dan mengamalkan ajaran alqur’an dan hadits-hadits tsabit lagi shahih dengan benar dan utuh serta tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela.
Dari sebab itu, mencela ulama dan menghina mereka merupakan jalannya orang yang menyimpang dan sesat. Yang demikian itu karena sesungguhnya mencela ulama bukanlah celaan terhadap diri-diri mereka, akan tetapi itu adalah celaan terhadap agama, dakwah yang mereka emban dan agama yang mereka anut.
Maka mencela ulama hukumnya haram karena mereka termasuk kaum muslimin sedangkan mencela kaum muslimin itu dilarang dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang hal tersebut di dalam hadits shahih berikut ini,
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ اْلمـُسْلِمِ عَلىَ اْلمـُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darah, harta dan kemuliaannya”. [HR Muslim: 2564, Abu Dawud: 4882, at-Turmudziy: 1927, Ibnu Majah: 3933 dan Ahmad: II/ 277, 311, 360. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [7]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,[8] “Diharamkannya kehormatan seorang muslim yaitu mengghibahinya. Maka mengghibahi muslim itu hukumnya haram dan termasuk dari dosa-dosa besar. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdilqowwiy di dalam kumpulan syairnya,
وَ قَدْ قِيْلَ صُغْرَى غِيْبَةٌ وَ نَمِيْمَةٌ وَ كِلْتَاهُمَا كُبْرَى عَلَى نَصِّ أَحْمَدَ
Sungguh dikatakan ghibah dan namimah itu dosa kecil
Padahal keduanya itu dosa besar sesuai dengan nash Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Dari Abu Bakrah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada waktu khutbahnya pada hari nahar di Mina di waktu haji wada’,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فىِ بَلَدِكُمْ هَذَا فىِ شَهْرِكُمْ هَذَا أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ
“Sesungguhnya darah, harta dan kemuliaan kalian adalah haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini, di bulan ini. Tidakkah aku telah menyampaikannya?”. [HR al-Bukhoriy: 67, 105, 1741, 3197, 4406, 4662, 5550, 7078, 7447, Muslim: 1679 dan Ibnu Majah: 3931. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]
Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Kesucian jiwa, harta dan kehormatan muslim itu lebih tinggi di sisi Allah daripada kesucian negeri (Mekkah), bulan (Dzulhijjah) dan hari (Nahar)”. [10]
Berkata al-Imam al-Mubarakfuriy rahimahullah, “Yaitu sebahagian kalian (haram) melakukan pelanggaran terhadap darah, harta dan kehormatan (harga diri) sebahagian yang lain pada hari-hari selainnya (yaitu di luar bulan haram). Sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini, di tanah ini ( yaitu Mekkah)”. [11]
Disamping itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mensifati orang mukmin itu dengan seseorang yang tidak suka mencela, melaknat, berkata-kata keji dan berbicara kotor, sebagaimana dalil berikut,
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لَيْسَ اْلمـُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَ لَا اللَّعَّانِ وَ لَا اْلفَاحِشِ وَ لَا اْلبَذِيِّ
“Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencela, orang yang gemar melaknat, orang yang suka berbuat/ berkata-kata keji dan orang yang berkata-kata kotor/ jorok”. [HR at-Turmudziy: 1977, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 312, Ahmad: I/ 404-405 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]
Dengan dalil-dalil dan penjelasannya di atas dipahami bahwa, setiap muslim diharamkan untuk menodai, merusak dan mengoyak-ngoyak kesucian dan kemuliaan muslim yang lain. Bahkan di antara tanda-tanda keimanan seseorang itu di antaranya adalah tidak pernah mencela dan melaknat siapapun yang tidak pantas untuk dicela dan dilaknat. Jika ada seseorang yang mengaku-ngaku beriman lalu ia gemar mencela dan mengutuk orang lain karena tidak sepaham dan tidak pula segolongan dengannya maka keimanannya pantas diragukan.
Dan bertambah keharamannya karena mencela ulama itu merupakan tangga yang mengantarkan untuk mencela agama. Dan ini adalah yang diinginkan oleh ahlu syirik dan bid’ah yang mencela pendahulu umat ini dan ulamanya yang mengikuti mereka dengan baik. Jalan dan sebab-sebab yang diukur dengan tujuan dan mengikuti hukum tujuan yang dituju.
Ketika mereka tidak dapat menghentikan dan tidak pula mampu merobohkan kekokohan agama tauhid dan sunnah maka mereka akhirnya mencela dan merendahkan para ulama, penyeru dan pembelanya. Dengan perbuatan mereka itu, mereka ingin mengoyak, menodai dan membunuh karakter para ulama dan penyeru tauhid dan sunnah tersebut sebagaimana dahulu kaum kafirin mencela dan merendahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan panggilan ‘orang gila’ dan ‘penyihir’. Begitupan pada masa selanjutnya kaum musyrikin dan munafikin mereka terus mencela dan mengoyak kemuliaan para shahabat dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka. Jika karakter mereka telah terkoyak maka berapa banyak kaum muslimin dan manusia pada umumnya yang terhalang dari mendapatkan hidayah Allah ta’ala.
Al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Disaat tujuan itu tidaklah tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan jalan-jalan yang mengantarkan padanya, jadilah sebab dan jalan tersebut mengikuti hukumnya, dan diukur dengannya. Perantara perkara yang haram dan maksiat terkait dengan dibencinya dan dilarangnya, hal tersebut sesuai dengan kadar besarnya dia bisa mengantarkan pada tujuannya dan sesuai dengan besarnya keterkaitan dengan perkara yang dituju. Perantara perkara ketaatan dan amal baik terkait dengan dicintainya dan dijinkannya sesuai dengan kadarnya dia bisa mengantarakan pada tujuannya. Maka perantara kepada suatu maksud mengikuti hukumnya yang dimaksud. Keduanya sama-sama yang dimaksud hanya saja yang ini dimaksudkan karena dia tujuannya adapun yang satu dimaksudkan sebagai perantara. Jika Allah ta’ala mengharamkan sesuatu, yang mana perkara tersebut memiliki jalan dan perantara yang mengantarkan padanya, maka sesungguhnya Allah ta’ala mengharamkan perantara tersebut dan melarangnya sebagai wujud pengharamkan perkara tersebut dan pengkukuhan pengharamannya, serta pelarangan dari mendekatinya. Kalau seandainya Allah ta’ala membolehkan perkara yang mengantarkan pada perkara haram tersebut maka hal itu akan membatalkan pengharaman perkara tersebut, penghasutan terhadap jiwa. Dan hikmah Allah ta’ala serta ilmu llah ta’ala jauh dari hal itu sejauh-jauhnya”. [13]
Ketika para salaf memahami hal ini maka mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa pelecehan terhadap agama dan penghinaan terhadap sunnah pemimpin para rosul Shallallahu alaihi wa sallam,
Dari Mush’ab bin Abdillah berkata, “Abu Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku, Berkata kepadaku Amirul Mukminin Al-Mahdy, “Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang orang yang merendahkan shahabat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Aku berkata, ”Dia orang zindiq”. Dia berkata, “Aku belum pernah dengar seorangpun berkata demikian sebelummu.” Aku berkata, “Mereka adalah kaum yang ingin merendahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan mereka mengatakan, “Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek, betapa jelek orang yang ditemani oleh orang-orang yang jelek”. Maka dia berkata, “Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau katakan”. [14]
Demikian juga dikatakan oleh para ulama salaf tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dan orang-orang setelah mereka.
Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَغْمِزُ حَمَّادَ بْنِ سَلَمَةَ فَاتَّهِمْهُ عَلَى اْلإِسْلَامِ فَإِنَّهُ كَانَ شَدِيْدًا عَلَى اْلمـُبْتَدِعَةِ
“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah maka ragukanlah keislamannya. Sesungguhnya Hammad sangat keras terhadap ahlul bid’ah”. [15]
Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَتَكَلَّمُ فِى حَمَّادَ بْنِ سَلَمَةَ وَ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَاتَّهِمْهُ عَلَى اْلإِسْلَامِ
“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah keislamannya”. [16]
Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.
Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,
حَقٌّ عَلَى اْلعَاقِلِ أَنْ لَا يَسْتَخِفَّ بِثَلَاثِةٍ: اْلعُلَمَاءِ وَ السَّلَاطِيْنِ وَ اْلإِخْوَانِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنْيَاهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوْءَتُهُ
“Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang; Ulama, penguasa dan saudara. Siapa yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah muru’ahnya”. [17]
Ulama adalah orang-orang terpilih yang memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa baik dalam Islam. Melalui merekalah bagaimana silsilah ilmu keislaman bisa tersambung dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, hingga kepada kita semua yang hidup pada zaman ini. Mencela mereka adalah hal yang tidak diidzinkan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam sebuah hadits shahih,
Dari Ubadah bin ash-Shamit bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنْ أُمَّتِى مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا
“Tidak termasuk umatku orang-orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua dari kami, menyayangi yang lebih muda dari kami, dan tidak mengetahui hak seorang ulama”. [HR Ahmad: V/ 323 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [18]
Ulama telah berjasa besar dalam memberikan kemashlahatan umat ini. Fatwa yang mereka lontarkan bukanlah perkataan sembarangan, namun didasari ilmu yang memadai. Bisa dikatakan bahwa ulama adalah orang yang paling ilmiah, paling kompeten, dan paling masuk akal. Ini dikarenakan mereka tidak berbicara dengan ra’yu, persangkaan dan hawa nafsu semata. Perkataan mereka berasal dari dua referensi yang pasti benar yaitu alqur’an dan hadits-hadits shahih. Maka sepantasnya bagi setiap muslim untuk menghormati, memuliakan dan mengetahui hak-hak para ulama.
Para ulama yang berada di atas kebenaran dan manhaj yang benar adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kemaslahatan umat, sehingga manusia tidak tersesat dalam mengarungi lautan kehidupan. Berbeda dengan orang selain mereka yang tidak berfatwa melainkan dengan ro’yu, persangkaan dan hawa nafsu semata. Pantas jika orang-orang yang mengikuti mereka itu akan tersesat dan tambah jauh dari kebenaran Islam. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menerangkan hal itu dengan salah satu sabdanya dalam salah satu hadistnya,
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ اْلعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ اْلعِبَادِ وَ لَكِنْ يَقْبِضُ اْلعِلْمَ بِقَبْضِ اْلعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ انَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا
”Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia. Sebaliknya Allah mengambilnya dengan cara mewafatkan para ulama sehingga tidak tersisa walaupun seorang. Manusia mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin. Apabila mereka ditanya, merekapun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan”. [HR al-Bukhoriy: 100, 7307, Muslim: 2673, Ibnu Majah: 52 dan at-Turmudziy: 2652. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Berfatwa dengan ro’yu (akal) merupakan jalan kesesatan dan penyesatan. Orang yang jahil yang berani berfatwa maka ia akan berfatwa tanpa ilmu. Tetapi orang yang memiliki ilmu (berilmu) apabila ditanya tentang suatu perkara yang tidak mereka ketahui maka mereka akan mengatakan “Aku tidak tahu”. [20]
Al-Imam al-Ajurriy rahimahullah berkata, ”Bagaimanapun juga, ulama memiliki keutamaan yang sangat besar. Dalam usaha mereka menuntut ilmu, terdapat keutamaan. Ketika mereka bersama dengan para syaikhnya terdapat keutamaan. Ketika mereka mengingatkan satu sama lain, terdapat keutamaan. Dalam diri para ulama yang menjadi guru mereka, terdapat keutamaan. Ketika mereka mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang belajar kepada mereka, terdapat keutamaan. Sungguh, Allah telah mengumpulkan kebaikan kepada para ulama dalam banyak hal. Mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepada kita dan mereka dengan ilmu”. [21]
Al-Imam Abul Qasim Ali Ibnu Asakir berkata, ”Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya daging para ulama itu beracun. Permusuhan Allah terhadap orang yang melecehkan kehormatan para ulama juga sudah maklum. Dan, barangsiapa yang menyibukkan lisannya untuk menjelek-jelekkan para ulama, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya sebelum kematiannya dengan kematian hati”. [22]
Al-Hafiz Ibnu Asakir rahimahullah berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada keridlaan-Nya, dan menjadikan kita semua sebagai orang yang benar-benar bertaqwa kepada-Nya. Sesungguhnya daging (penggunjing) para ulama itu beracun, dan kebiasaan Allah dalam menyingkap kedok para pencela mereka (ulama) telah diketahui bersama. Karena mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka, merupakan petaka besar, dan melecehkan kehormatan mereka dengan cara dusta dan mengada-ada merupakan kebiasaan buruk, dan menentang mereka yang telah Allah pilih untuk menebarkan ilmu, merupakan perangai tercela”. [23]
Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, ”Barangsiapa yang kesukaannya adalah menjelek-jelekkan ulama dan membuat orang lain lari dari mereka, serta memperingatkan orang agar berhati-hati dengan mereka; maka sesungguhnya yang dia lukai bukan hanya seorang ulama saja, melainkan perbuatannya tersebut telah melukai (menodai) peninggalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [24]
Betapa indahnya perkataan asy-Syaikh al-Utsaimin tersebut di atas. Beliau menyamakan ulama sebagai peninggalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang berharga yang In syaa Allah berperan besar dalam keberlangsungan kebenaran dalam tubuh umat Islam hingga akhir masa.
Asy-Syaikh Bin Baz dikala ia ditanya mengenai kebiasaan sebagian juru dakwah yang gemar mencela ulama, beliau berkomentar, ”Menurut saya ini perbuatan yang diharamkan. Sekiranya seseorang tak dibolehkan berbuat ghibah terhadap saudaranya sesama mukmin sekalipun dia bukan ulama, bagaimana mungkin seseorang dibolehkan meng-ghibah para ulama kaum mukminin?. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ’Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebiasaan berburuk sangka, karena sesungguhnya sebagian dari berburuk sangka adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan pula sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Tentu, kalian tidak menyukainya. Dan takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang’. [QS al-Hujurat/ 49: 12]. Dan hendaknya orang ini tahu akibat dari perbuatan buruknya, bahwasanya apabila dia menjelek-jelekkan seorang ulama, maka hal ini akan menyebabkan semua perkataan haq yang keluar dari ulama tersebut tertolak. Jika demikian, maka bencana penolakan al-haq dan dosanya ditanggung oleh oranhg yang suka menjelek-jelekkan ulama ini. Sebab, realitanya, menjelek-jelekkan ulama bukan hanya menjelek-jelekkan pribadi ulama bersangkutan, melainkan hal ini sama saja dengan melecehkan peninggalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”. [25]
DR. Husamuddin Affanah berkata, ”Tidak diragukan lagi, bahwa memuliakan dan menghormati ulama adalah salah satu perkara yang diwajibkan oleh syari’at, meskipun mereka berbeda pendapat dengan kita. Sebab, ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi telah mewariskan ilmunya kepada mereka. Sehingga, para ulama memiliki kehormatan yang harus kita junjung tinggi”. [26]
In syaa Allah, pendapat para ulama di atas yang mana mereka dengan tegas melarang celaan terhadap ulama adalah mendekati kebenaran sesuai apa yang telah disabdakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Memang disayangkan, kita sering melihat para da’i dan mubaligh yang dengan mudahnya mengklaim bahwa ulama ini dan itu adalah keliru dan salah bahkan menyesatkan hanya lantaran menyalahi pemahaman mereka.
Bahkan kaum awamnyapun ikut-ikutan mencela para ulama yang tidak sepaham dengan kyai dan ustadz mereka tanpa ilmu. Terkadang celaan dan cemoohan mereka telah melampaui batas-batas kewajaran. Jika mereka dinashihati oleh selain ustadz atau kyai mereka maka mereka akan menolak dan langsung menghindar dari nashihat tersebut tanpa mau tahu dasarnya. Apabila sudah terlanjur dinashihati dengan banyak dalil yang tsabit lagi shahih langsung mereka menuduh pemberi nashihat itu dengan sebutan ‘wahhabiy’ atau ‘salafiy’. Padahal para ustadz dan kyai mereka itu tahu akan kejadian tersebut namun mereka diam saja menghadapi sikap para santri dan muridnya yang jumud tersebut.
Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengatakan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَ لَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَ لَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَ لَا تَنَابَزُوا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ اْلاِسْمُ اْلفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَ مَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula para perempuan mengolok-olok perempuan lain karena boleh jadi mereka (perempuan yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (perempuan yang mengolok-olok). Janganlah kalian saling mencela dan jangan pula saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan fasik setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. [QS al-Hujurat/ 49: 11].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkannya mengolok-olok, mencela dan saling memberikan gelar buruk di antara kaum muslimin. Wajibnya menjauhkan diri dari setiap persangkaan, tidak dalam bentuk qarinah (penghubung) dan tidak pula keadaan yang dapat membawa kepada perilaku tersebut”. [27]
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran”. [HR al-Bukhoriy: 48, 6044, 7076, Muslim: 64, at-Turmudziy: 1983, 2635, an-Nasaiy: V/ 121, 122, Ibnu Majah: 69 dan Ahmad: I/ 385, 411, 433, 439, 446, 454. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]
Berdasarkan ayat dan hadits shahih di atas maka jika Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang mengolok-olok (mengejek), mencela dan memberi julukan-julukan jelek kepada kaum muslimin. Maka jika demikian, bagaimana jika semua itu ditujukan kepada para ulama mereka. Tentu hal itu lebih terlarang lagi dan diharamkan menurut syariat. Maka renungkanlah !!
Memang pendapat seorang ulama itu bisa tertolak apabila menyelisihi syari’at, namun jangan segan untuk menerimanya apabila ternyata selaras dengan alqur’an dan sunnah, berpihak dan berpijak kepada keduanya. Tetapi jika pendapatnya keliru atau salah maka itu adalah sesuatu yang wajar sebagai seorang manusia yang tidak ada kesempurnaan, selama tidak dalam masalah yang sangat prinsip semisal akidah dan keimanan. Semoga hal ini bisa dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semuanya, terutama bagi para thalibul ilmi agar bisa menjaga lisannya dari mencela para ulama yang seharusnya dimuliakan. Hanya kepada Allah ta’ala semata kita meminta ampunan bagi kesalahan yang kita perbuat, baik itu disadari maupun tak disadari.
Wallahu a’lam bish showab.
[1] Dari Syaqiq berkata, Pernah Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu anhu bertalbiyah di atas bukit shofa. Kemudian berkata, “Wahai lisan, berkatalah yang baik niscaya engkau akan memperoleh kebaikan atau diamlah niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesal”. Mereka bertanya, “Wahai Abu Abdurrahman (maksudnya; Ibnu Mas’ud), Apakah ini suatu ucapan yang engkau ucapkan sendiri atau yang engkau pernah dengar?”. Beliau radliyallahu anhu menjawab, “Tidak, bahkan aku telah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ
“Kebanyakan dosa anak-anak adam itu ada pada lisannya”. [HR ath-Thabraniy, Abu asy-Syaikh dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1201, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 534 dan al-Adab: 396].
[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 3096, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2159, Shahih Sunan Ibni Majah: 182, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6297 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 68.
[3] Kitab al-Ilmi halaman 7.
[4] Kitab al-Ilmi halaman 8.
[5] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 146 dan Bahjah an-Nazhirin: II/ 462.
[6] Bahjah an-Nazhirin: II/ 462 dan Jami’ Bayan al-Ilmi wa fadl-lihi: 803.
[7] Shahih Sunan Abi Dawud: 4085, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1572, Shahih Sunan Ibni Majah: 3177, Irwa’ al-Ghalil: 2450, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6706, 7242 dan Misykaah al-Mashobih: 4959.
[8] Syar-h al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 377.
[9] Shahih Sunan Ibni Majah: 3176, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2068.
[10] Bahjah an-Nazhirin: III/ 24.
[11] Tuhfah al-Ahwadziy: VI/ 314.
[12] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1610, Shahih al-Adab al-Mufrad: 237, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5381 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 320
[13] I’lam Al-Muwaqi’in: III/147.
[14] Tarikh Baghdad: X/ 174.
[15] Siyar A’lam an-Nubala: XIII/ 499.
[16] Syar-h Ushul ‘Itiqad: I/ 514.
[17] Siyar A’lam an-Nubala: XVII/ 251.
[18] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5443 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 96.
[19] Mukhtashor Shahih Muslim: 1858, Shahih Sunan Ibnu Majah: 46, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2136 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1854.
[20] Bahjah an-Nazhirin: II/ 478.
[21] Akhlaq al-Ulama, halaman 43-44.
[22] http://www.almeshkat.net/indez.php.
[23] Tabyin Kadzib al-Muftariy halaman 28.
[24] http://islamgold.com.
[25] Fatawa al-Ulama’ Haula ad-Da’wah wa al-Jama’ah al-Islamiyah, halaman 65.
[26] http://almeshkat.net/index.php.
[27] Aysar at-Tafasir: V/ 131.
[28] Mukhtashor Shahih Muslim: 66, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1615, 2123, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3825, 3826, 3827, 3832, Shahih Sunan Ibnu Majah, 58, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3595, 3596 dan Ghoyah al-Maram: 442.
https://cintakajiansunnah.wordpress.com/tag/larangan-mencela-para-ulama/
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
setuju ...
termasuk kepada mereka yang mencela2 dan menghina Buya Syafii Maarif, Quraish Shihab, Gus Dur, Nasaruddin Umar ... dan ulama2 besar lainnya di Indonesia ... dengan tuduhan sekuler, liberal, syiah, dsb
ya kan ??
apa perlu saya sebarkan di forum ini bagaimana FPI menghujat ulama yang dianggap tidak sesuai dengan "ilmu" mereka ... plus segala fitnah yang jelas2 tidak sesuai dengan seluruh uraian TS ??
termasuk kepada mereka yang mencela2 dan menghina Buya Syafii Maarif, Quraish Shihab, Gus Dur, Nasaruddin Umar ... dan ulama2 besar lainnya di Indonesia ... dengan tuduhan sekuler, liberal, syiah, dsb
ya kan ??
apa perlu saya sebarkan di forum ini bagaimana FPI menghujat ulama yang dianggap tidak sesuai dengan "ilmu" mereka ... plus segala fitnah yang jelas2 tidak sesuai dengan seluruh uraian TS ??
dee-nee- LETNAN KOLONEL
-
Posts : 8645
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 02.08.12
Reputation : 182
Re: Mencela Ulama
Ya sdh jelas bahasan TS, ga boleh mencela dlm artian merendahkan dan menghinakan ulama yg tulus. Ini berlaku bagi siapa pun.
Crescent Star- KOPRAL
-
Age : 48
Posts : 30
Kepercayaan : Islam
Location : Bogor
Join date : 26.10.16
Reputation : 9
Re: Mencela Ulama
antara ulama dan "ulama"..sulit membedakan..
kriteria ulama juga seperti apa pun susah mendefinisikan..
kriteria ulama juga seperti apa pun susah mendefinisikan..
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Re: Mencela Ulama
sederhana saja, ulama itu kan artinya orang yang mengetahui, jadi kalau pas bener berarti pas ulama, kalau pas salah berarti pas bukan ulama, gitu aja kok repot!abu hanan wrote:antara ulama dan "ulama"..sulit membedakan..
kriteria ulama juga seperti apa pun susah mendefinisikan..
frontline defender- MAYOR
- Posts : 6462
Kepercayaan : Islam
Join date : 17.11.11
Reputation : 137
Re: Mencela Ulama
hahaha..frontline defender wrote:sederhana saja, ulama itu kan artinya orang yang mengetahui, jadi kalau pas bener berarti pas ulama, kalau pas salah berarti pas bukan ulama, gitu aja kok repot!abu hanan wrote:antara ulama dan "ulama"..sulit membedakan..
kriteria ulama juga seperti apa pun susah mendefinisikan..
imam al ghazali wrote: Nabi saw. :لأنا من غير الدجال أخوف عليكم من الدجال
"Sesungguhnya aku lebih takut padamu, kepada yang bukan dajal dari dajal'
Lalu orang menanyakan : "Siapakah itu?"
Maka menjawab Nabi saw. : فقيل وما ذلك فقال من الأئمة المضلين"Imam-imam (pemuka-pemuka) yang menyesatkan " (H R. Ahmad dari Abi Dzar)
Rasulullah saw. berkata :العلماء أمناء الرسل على عباد الله تعالى ما لم يخالطوا السلاطين فإذا فعلوا ذلك فقد خانوا الرسل فاحذروهم واعتزلوهم
"Ulama itu adalah pemegang amanah Rasul di atas hamba Allah Ta'ala, selama mereka tidak bercampur-baur dengan sultan-sultan. Apabila mereka berbuat yang demikian, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati rasul-rasul. Maka awaslah kamu dan menjauhkan dirilah kamu dari pada mereka!". (HR Anas.)
Umar bin Abdul 'aziz ra. dan adalah ia yang paling zuhud pada zamannya.
Maka apabila adalah syarat bagi kaum Agama lari dari Umar, maka bagaimanakah memperoleh perbandingan untuk mencari orang lain dan bercampur-baur dengan dia? Dan selalu ulama-ulama terdahulu, seperti Al-Hasan, Ats-Tsuri, Ibnul-Mubarak, Al-Fudlail, Ibrahim bin Adham dan Yusuf bin Asbath, memperkatakan mengenai ulama dunia, dari penduduk Makkah, negeri Syam dan lain-lain, Adakalanya karena mereka itu cenderung kepada dunia dan adakalanya karena bercampur-baur dengan sultan-sultan.
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat, ialah tidak tergesa-gesa memberi fatwa. Tetapi berdiri teguh menjaga diri dari memberi fatwa selama masih ada jalan untuk melepaskan diri.
Jikalau ia ditanyakan tentang apa yang diketahuinya benar-benar dengan dalil (nash) Kitabullah atau Hadits atau ljma' atau qias yang nyata, niscaya berfatwalah dia. Dan jikalau ditanyakan tentang sesuatu yang diragukannya, maka ia menjawab : "Saya tidak tahu (Laa adrii)" Dan jikalau ditanyakan suatu persoalan yang hampir diyakininya (dhan), berdasarkan ijtihadnya dan terkaannya, maka dalam hal ini ia berhati-hati, mempertahankan diri dan menyerahkan penjawabannya kepada orang lain jikalau ada pada orang lain itu kemampuan:
Inilah hati-hati (al-hazmu) namanya, kereka ikut-ikutan berijtihad adalah besar sekali bahayanya.
Dalam hadits tersebut:
(Al-'ilmu tsalaatsatun : kitaabun naathiqun wa sunnatun qaaimatun walaa adrii).
Artinya :"Ilmu itu tiga : Kitab yang berbicara, Sunnah yang berdiri tegak dan Laa adrii (Saya tidak tahu)". (HR Al Khatib, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah banyak perhatiannya dengan ilmu bathin, dengan muraqabah hati, dengan mengenai jalan akhirat, cara menempuh nya, mengharapkan benar-benar untuk menyingkapkan yang demikian itu dengan mujahadah dan muraqabah,
(Mujahadah adalah Berjihad menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat kepada tuhan
Muraqabah adalah Memperlihat gerak gerak hati jangan sampai terpengaruh kepada dunia dan Hawa nafsu.
Musahadah adalah Menyaksikan dengan jiwa akan kebesaran Allah dan Alam Gharib yang penuh dengan keajaiban kebesaran Allah SWT)
Sesungguhnya mujahadah membawa kepada musyahadah dan ilmu hati yang halus-halus, dimana dengan ilmu-ilmu itu terpancarlah segala sumber hikmah dari hati.
Adapun kitab-kitab dan pengajaran, maka tidaklah mencukupi dengan itu saja. Tetapi hikmah yang diluar hinggaan dan tak terhi-tung itu, sesungguhnya terbuka dengan mujahadah, muraqabah, langsung mengerjakan amalan dhahir dan amalan bathin dan duduk beserta Allah 'Azza wa Jalla dalam khilwah (persembunyian), serta menghairkan hati (jiwa) dengan pikiran yang putih bersih, terputus dari yang lain, langsung kepada Allah Ta'ala.
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Re: Mencela Ulama
Ulama juga manusia, mungkin suatu saat keliru dalam memberi fatwa.
Namun menuduh, mencela, dan mengutuk ulama karena tidak setuju dengan fatwa?
Untuk hal Almaidah 51, menurut saya bukanlah fatwa yang sulit dan dalam keragu2an yang tinggi.
Mungkin ada saatnya seorang ulama dikutuk, tapi itu terjadi kalau dia berzina, musyrik, korupsi, dst hal2 yang tidak pantas bukan saja dilakukan ulama namun muslim pada umumnya.
Namun menuduh, mencela, dan mengutuk ulama karena tidak setuju dengan fatwa?
Untuk hal Almaidah 51, menurut saya bukanlah fatwa yang sulit dan dalam keragu2an yang tinggi.
Mungkin ada saatnya seorang ulama dikutuk, tapi itu terjadi kalau dia berzina, musyrik, korupsi, dst hal2 yang tidak pantas bukan saja dilakukan ulama namun muslim pada umumnya.
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
isaku wrote:Ulama juga manusia, mungkin suatu saat keliru dalam memberi fatwa.
Namun menuduh, mencela, dan mengutuk ulama karena tidak setuju dengan fatwa?
Untuk hal Almaidah 51, menurut saya bukanlah fatwa yang sulit dan dalam keragu2an yang tinggi.
Mungkin ada saatnya seorang ulama dikutuk, tapi itu terjadi kalau dia berzina, musyrik, korupsi, dst hal2 yang tidak pantas bukan saja dilakukan ulama namun muslim pada umumnya.
kasus-nya adalah ... ada ulama lain yang memberikan pandangan yang tidak sama dengan fatwa tersebut >>> artinya ada pandangan ulama yang berbeda antara satu dengan yang lain
yang menjadi masalah kemudian ... ulama yang memberi pandangan berbeda ini kemudian juga dituduh, dicela, dikutuk oleh mereka2 yang mendukung fatwa >>> jadi kasus-nya adalah antara bukan ulama (yang mendukung fatwa) vs ulama (yang berbeda pandangan)
ya jadinya sama2 saja terkait TS
merah : wong judulnya ... ada ulama lain yang memberikan pandangan yang tidak sama dengan fatwa tersebut kok ... ya artinya tergantung siapa meyakini apa dong ah
dee-nee- LETNAN KOLONEL
-
Posts : 8645
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 02.08.12
Reputation : 182
Re: Mencela Ulama
Mengkritik sebetulnya tidak masalah dan silahkan.
Tapi OOT sih, karena ini hanya nasehat "larangan mencela ulama"
Tapi OOT sih, karena ini hanya nasehat "larangan mencela ulama"
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
inilah susahnya..karena seseorang bisa saja melakukan seperti itu tnp terdeteksi aparat..gak tersentuh hukum..isaku wrote:Ulama juga manusia, mungkin suatu saat keliru dalam memberi fatwa.
Namun menuduh, mencela, dan mengutuk ulama karena tidak setuju dengan fatwa?
Untuk hal Almaidah 51, menurut saya bukanlah fatwa yang sulit dan dalam keragu2an yang tinggi.
Mungkin ada saatnya seorang ulama dikutuk, tapi itu terjadi kalau dia berzina, musyrik, korupsi, dst hal2 yang tidak pantas bukan saja dilakukan ulama namun muslim pada umumnya.
kalo al maidah 51,ini tentu butuh kejelasan..karena pemberlakuan ayat menjadi berbeda di belahan lain nusantara..
ada baiknya mengingat sejarah..gubernur tandingan fpi..
www.muslimedianews.com/2014/12/tanggapan-pbnu-dan-muhammadiyah-atas.html#ixzz4QiIpH61Vjasmerah wrote:
Penolakan Front Pembela Islam (FPI) terhadap terpilihnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta mendapat tanggapan Pegurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah.
PBNU menilai aksi FPI tersebut bukanlah representasi dari umat Islam. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Lembaga Ta'mir Masjid PBNU, Abdul Manan Ghani, di Jakarta (1/12/2014). Ia menjelaskan PBNU akan tetap berkomitmen untuk selalu berada di belakang konstitusi.
PBNU menilai tindakan FPI yang menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai aksi diluar konstitusi. Aksi FPI yang kerap berujung ricuh juga dinilai bukanlah tindakan yang seharusnya, terlebih mengatasnamakan agama Islam.
Abdul Manan Ghani menambahkan NU akan tetap mengikuti konstitusi yang ada, dan yang berada di luar konstitusi berarti berseberangan dengan NU.
"NU adalah sesuai dengan konstitusi. Kita ini punya konstitusi dan NU mentaati konstitusi, berarti FPI tidak konstitusi. Jadi kalau FPI atau siapapun yang lain yang inkonstitusional itu berarti berseberangan dengan NU, artinya tidak sepaham dengan NU," kata Abdul Manan Ghani.
Sebelumnya, FPI yang tergabung dalam ormas Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) telah mengangkat Fahrurozi Ishaq sebagai Gubernur DKI Jakarta Tandingan. Deklarasi pengangkatan Fahrurrozi tersebut dilakukan di sela-sela aksi demo menolak Ahok di depan gedung DPRD DKI Jakarta.
Melihat aksi FPI tersebut, dinilai kader Muhammadiyah, Fajar Riza Ul Haq, mencerminkan kesempitan cara pandang berwarga negara. Fajar yang juga menjabat Direktur Eksekutif Maarif Institute itu tidak melihat alasan kuat yang dapat membenarkannya kecuali semata-mata alasan politik dan kebencian sektarianisme.
menjadi pertanyaan lagi buat sayah,,kemana MUI saat itu?
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Re: Mencela Ulama
beda perlakuan gimana... ayatnya dari dulu ya begitu2 aja, lain daerah ya sama ayatnya.si mbah wrote:kalo al maidah 51,ini tentu butuh kejelasan..karena pemberlakuan ayat menjadi berbeda di belahan lain nusantara..
Mengapa baru sekarang keluar fatwa? Karena ada tetangga nyenggol tuh ayat dan nyembur bahwa yang bilang maknanya g cocok ama dia adalah PEMBOHONG dan PEMBODOHAN. Akibatnya berantemlah muslim VS muslim. Siapa yang meluruskan kalau bukan ULAMA?
alasan apa MUI harus turun tangan?Mbah Abu wrote:menjadi pertanyaan lagi buat sayah,,kemana MUI saat itu?
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
sekilas info ...
http://zialawfirm.com/mui-diminta-tak-terlibat-dalam-politik-kekuasaan/
MUI Diminta Tak Terlibat dalam Politik Kekuasaan
Jakarta – Diskusi yang digelar Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi menyoroti peran Majelis Ulama Indonesia (MUI). “MUI boleh saja berpolitik, tapi dia harus menempatkan politik bukan dalam konteks perebutan kekuasaan,” kata Ketua Lakpersdam PBNU, Rumadi, dalam diskusi bertema ‘Posisi MUI dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia’, pada Minggu, 16 Oktober 2016, di Jakarta.
Selain Rumadi, diskusi menghadirkan Andi Syafrani (alumnus UIN Syarif Hidayatullah dan Victoria University, Australia) dan Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute). Panitia tidak mengundang perwakilan dari MUI.
Menurut Rumadi, peran politik yang dimainkan MUI seharusnya terbatas seperti dalam fiqh siyasah atau fiqih politik, yaitu segala sesuatu yang mendekatkan manusia pada kebaikan dan menjauhkan dari kerusakan. “Itu saja,” kata Rumadi.
Dengan demikian, Rumadi melanjutkan, fungsi MUI adalah memastikan bagaimana masyarakat bisa baik, tidak terpecah-belah, dan menjauhkan manusia dari kerusakan. “Jangan politik yang terkait dengan soal perebutan kekuasaan. Dan yang saat ini, aroma perebutan kekuasaannya cukup kuat,” kata dia mencontohkan sikap MUI dalam Pilkada DKI Jakarta.
Senada dengan Rumadi, Bonar Tigor mengatakan MUI harus membawa politik yang bisa menjembatani perbedaan, menjaga perdamaian, mengokohkan kerukunan antar-umat beragama, dan meningkatkan kebangsaan. Namun dalam kasus Pilkada DKI, Bonar melihat MUI ikut terseret dalam politik kekuasaan.
Dia mencontohkan, saat Ahok minta maaf atas ucapannya soal Al-Maidah ayat 51, Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menyatakan menerima permintaan maaf. Namun beberapa jam kemudian, secara kelembagaan, MUI mengeluarkan surat pernyataan yang menyatakan Ahok telah menista agama. “Itu diduga kuat merupakan hasil pertemuan dengan Agus Harimurti yang datang ke kantor Ma’ruf Amin,” kata Bonar.
Alih-alih terlibat dalam politik praktis, Bonar menyarankan MUI lebih baik mengambil sikap bagaimana implementasi surat Al-Maidah ayat 51 dalam negara Pancasila. Sikap MUI itu akan jadi pegangan umat Islam dalam berpolitik. “Itu lebih elegan, lebih baik,” kata Bonar.
Sementara Andi Syafrani lebih banyak membahas posisi MUI yang dianggap sebagai lembaga yang unik. MUI adalah lembaga swasta yang diberi kewenangan negara melalui undang-undang. Contohnya adalah kewenangan MUI dalam sertifikasi halal. “Ini posisi yang unik. MUI sebagai LSM, tapi satu-satunya LSM yang masuk dalam sistem hukum Indonesia,” kata Andi.
http://zialawfirm.com/mui-diminta-tak-terlibat-dalam-politik-kekuasaan/
MUI Diminta Tak Terlibat dalam Politik Kekuasaan
Jakarta – Diskusi yang digelar Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi menyoroti peran Majelis Ulama Indonesia (MUI). “MUI boleh saja berpolitik, tapi dia harus menempatkan politik bukan dalam konteks perebutan kekuasaan,” kata Ketua Lakpersdam PBNU, Rumadi, dalam diskusi bertema ‘Posisi MUI dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia’, pada Minggu, 16 Oktober 2016, di Jakarta.
Selain Rumadi, diskusi menghadirkan Andi Syafrani (alumnus UIN Syarif Hidayatullah dan Victoria University, Australia) dan Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute). Panitia tidak mengundang perwakilan dari MUI.
Menurut Rumadi, peran politik yang dimainkan MUI seharusnya terbatas seperti dalam fiqh siyasah atau fiqih politik, yaitu segala sesuatu yang mendekatkan manusia pada kebaikan dan menjauhkan dari kerusakan. “Itu saja,” kata Rumadi.
Dengan demikian, Rumadi melanjutkan, fungsi MUI adalah memastikan bagaimana masyarakat bisa baik, tidak terpecah-belah, dan menjauhkan manusia dari kerusakan. “Jangan politik yang terkait dengan soal perebutan kekuasaan. Dan yang saat ini, aroma perebutan kekuasaannya cukup kuat,” kata dia mencontohkan sikap MUI dalam Pilkada DKI Jakarta.
Senada dengan Rumadi, Bonar Tigor mengatakan MUI harus membawa politik yang bisa menjembatani perbedaan, menjaga perdamaian, mengokohkan kerukunan antar-umat beragama, dan meningkatkan kebangsaan. Namun dalam kasus Pilkada DKI, Bonar melihat MUI ikut terseret dalam politik kekuasaan.
Dia mencontohkan, saat Ahok minta maaf atas ucapannya soal Al-Maidah ayat 51, Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menyatakan menerima permintaan maaf. Namun beberapa jam kemudian, secara kelembagaan, MUI mengeluarkan surat pernyataan yang menyatakan Ahok telah menista agama. “Itu diduga kuat merupakan hasil pertemuan dengan Agus Harimurti yang datang ke kantor Ma’ruf Amin,” kata Bonar.
Alih-alih terlibat dalam politik praktis, Bonar menyarankan MUI lebih baik mengambil sikap bagaimana implementasi surat Al-Maidah ayat 51 dalam negara Pancasila. Sikap MUI itu akan jadi pegangan umat Islam dalam berpolitik. “Itu lebih elegan, lebih baik,” kata Bonar.
Sementara Andi Syafrani lebih banyak membahas posisi MUI yang dianggap sebagai lembaga yang unik. MUI adalah lembaga swasta yang diberi kewenangan negara melalui undang-undang. Contohnya adalah kewenangan MUI dalam sertifikasi halal. “Ini posisi yang unik. MUI sebagai LSM, tapi satu-satunya LSM yang masuk dalam sistem hukum Indonesia,” kata Andi.
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Re: Mencela Ulama
sekilas info...
kutipan dari
https://hakunnay.blogspot.sg/2016/11/benarkah-heboh-demo-4-nopember-2016.html
Ini Pernyataan Mengejutkan Tokoh Muhammadiyah Ini Soal Pernyataan Ahok di Pulau Pramuka
JAKARTA - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif atau biasa disapa Buya Syafi'i menjelaskan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak melakukan penghinaan terhadap Alquran saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu.
"Sekiranya saya telah membaca secara utuh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu yang menghebohkan itu," kata Buya Syafi'i dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (7/11/2016).
Ia mengaku tidak sempat mengikuti pendapat dan pernyataan sikap MUI yang telah dibacakan dengan penuh emosi saat diundang program salah satu televisi nasional, namun belakangan baru membaca isi pendapat dan pernyataan sikap MUI melalui internet.
"Dalam fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah menghina Alquran dan menghina ulama sehingga harus diproses secara hukum," ujarnya.
Namun, saat itu Buya Syafi'i akal sehatnya mengatakan bahwa Ahok bukan orang jahat yang kemudian ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan.
Setelah itu, Buya Syafi'i mendapat hujatan cukup banyak, begitu juga yang membela.
"Semua berdasarkan Fatwa MUI yang tidak teliti itu, semestinya MUI sebagai lembaga menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab," kata Buya.
Dia meminta masyarakat perhatikan dengan seksama kutipan Ahok saat kunjungan kerja ke Pulau Pramuka, 27 September 2016 seperti yang tersebar di internet.
Jika diperhatikan seksama tidak ada ucapan Ahok yang menghina.
"Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Perhatikan, apa terdapat penghinaan Alquran? Hanya otak sakit saja yang kesimpulan begitu," katanya.
Apalagi, kata Buya Syafi'i, jika sampai menista langit, jauh dari itu.
Perkara dikesankan menghina ulama menurutnya tak perlu dibahas.
Menurutnya, pokok masalah disini adalah pernyataan Ahok di depan publik disana agar jangan percaya sama orang karena dibohongin pakai surat surat al-Maidah 51.
Ahok sama sekali tidak mengatakan surat Al-Maidah 51 itu bohong.
"Yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya," katanya.
Buya Syafi'i mengatakan pusat perhatian tulisan ini adalah tidak benar Ahok menghina Alquran sesuai kutipan lengkap keterangannya di Pulau Pramuka diatas.
Dirinya menyesalkan, pendapat gegabah MUI ternyata telah berbutut panjang.
Bahkan, demo 4 November bentuk kongkretnya.
"Apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil," katanya.
Mainsource : http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/11/07/ini-pernyataan-mengejutkan-tokoh-muhammadiyah-ini-soal-pernyataan-ahok-di-pulau-pramuka?page=2
kutipan dari
https://hakunnay.blogspot.sg/2016/11/benarkah-heboh-demo-4-nopember-2016.html
Ini Pernyataan Mengejutkan Tokoh Muhammadiyah Ini Soal Pernyataan Ahok di Pulau Pramuka
JAKARTA - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif atau biasa disapa Buya Syafi'i menjelaskan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak melakukan penghinaan terhadap Alquran saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu.
"Sekiranya saya telah membaca secara utuh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu yang menghebohkan itu," kata Buya Syafi'i dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (7/11/2016).
Ia mengaku tidak sempat mengikuti pendapat dan pernyataan sikap MUI yang telah dibacakan dengan penuh emosi saat diundang program salah satu televisi nasional, namun belakangan baru membaca isi pendapat dan pernyataan sikap MUI melalui internet.
"Dalam fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah menghina Alquran dan menghina ulama sehingga harus diproses secara hukum," ujarnya.
Namun, saat itu Buya Syafi'i akal sehatnya mengatakan bahwa Ahok bukan orang jahat yang kemudian ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan.
Setelah itu, Buya Syafi'i mendapat hujatan cukup banyak, begitu juga yang membela.
"Semua berdasarkan Fatwa MUI yang tidak teliti itu, semestinya MUI sebagai lembaga menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab," kata Buya.
Dia meminta masyarakat perhatikan dengan seksama kutipan Ahok saat kunjungan kerja ke Pulau Pramuka, 27 September 2016 seperti yang tersebar di internet.
Jika diperhatikan seksama tidak ada ucapan Ahok yang menghina.
"Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Perhatikan, apa terdapat penghinaan Alquran? Hanya otak sakit saja yang kesimpulan begitu," katanya.
Apalagi, kata Buya Syafi'i, jika sampai menista langit, jauh dari itu.
Perkara dikesankan menghina ulama menurutnya tak perlu dibahas.
Menurutnya, pokok masalah disini adalah pernyataan Ahok di depan publik disana agar jangan percaya sama orang karena dibohongin pakai surat surat al-Maidah 51.
Ahok sama sekali tidak mengatakan surat Al-Maidah 51 itu bohong.
"Yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya," katanya.
Buya Syafi'i mengatakan pusat perhatian tulisan ini adalah tidak benar Ahok menghina Alquran sesuai kutipan lengkap keterangannya di Pulau Pramuka diatas.
Dirinya menyesalkan, pendapat gegabah MUI ternyata telah berbutut panjang.
Bahkan, demo 4 November bentuk kongkretnya.
"Apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil," katanya.
Mainsource : http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/11/07/ini-pernyataan-mengejutkan-tokoh-muhammadiyah-ini-soal-pernyataan-ahok-di-pulau-pramuka?page=2
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Re: Mencela Ulama
NU, Muhammadiyah atau lembaga ormas apapun silahkan bikin fatwa sendiri yang berbeda dan nyatakan cabut/keluar dari MUI, tarik seluruh anggotanya.
Itu lebih terhormat dan cukup kuat untuk melemahkan bahkan membubarkan MUI.
Namun menurut saya, itu hanya bisa terjadi kalau tafsir 5:51 atau bahkan ayatnya sudah berubah/diganti
Itu lebih terhormat dan cukup kuat untuk melemahkan bahkan membubarkan MUI.
Namun menurut saya, itu hanya bisa terjadi kalau tafsir 5:51 atau bahkan ayatnya sudah berubah/diganti
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
oh begitu ya..isaku wrote:beda perlakuan gimana... ayatnya dari dulu ya begitu2 aja, lain daerah ya sama ayatnya.si mbah wrote:kalo al maidah 51,ini tentu butuh kejelasan..karena pemberlakuan ayat menjadi berbeda di belahan lain nusantara..
Mengapa baru sekarang keluar fatwa? Karena ada tetangga nyenggol tuh ayat dan nyembur bahwa yang bilang maknanya g cocok ama dia adalah PEMBOHONG dan PEMBODOHAN. Akibatnya berantemlah muslim VS muslim. Siapa yang meluruskan kalau bukan ULAMA?
fatwa bahwa gubernur tandingan itu salah..isaku wrote:alasan apa MUI harus turun tangan?Mbah Abu wrote:menjadi pertanyaan lagi buat sayah,,kemana MUI saat itu?
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Re: Mencela Ulama
Kayanya sih begitu, kalau ada teori yang berbeda maka argumen pendukung dan fakta2 akurat mesti dipaparkan.abu hanan wrote:oh begitu ya..isaku wrote:beda perlakuan gimana... ayatnya dari dulu ya begitu2 aja, lain daerah ya sama ayatnya.si mbah wrote:kalo al maidah 51,ini tentu butuh kejelasan..karena pemberlakuan ayat menjadi berbeda di belahan lain nusantara..
Mengapa baru sekarang keluar fatwa? Karena ada tetangga nyenggol tuh ayat dan nyembur bahwa yang bilang maknanya g cocok ama dia adalah PEMBOHONG dan PEMBODOHAN. Akibatnya berantemlah muslim VS muslim. Siapa yang meluruskan kalau bukan ULAMA?
1. Sesuatu yang pasti salah dan tidak ada keraguan, sesuatu yang pasti benar dan tidak ada keraguan tidak lagi memerlukan fatwa.fatwa bahwa gubernur tandingan itu salah..isaku wrote:alasan apa MUI harus turun tangan?Mbah Abu wrote:menjadi pertanyaan lagi buat sayah,,kemana MUI saat itu?
2. Gubernur tandingan tidak bicara tentang keislaman, tidak ada ayat yang dipertentangkan, dan paling penting tidak membuat perpecahan dikalangan umat, dan mungkin satu hal lagi tidak ada yang meminta fatwa.
Kalau menurut saya gubernur tandingan hanya sebuah "pertunjukan teater" di tengah2 sebuah demonstrasi.
Anggap aja kesenian
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
kok sayah malah gak merasa berantem yah?om isa wrote:Akibatnya berantemlah muslim VS muslim. Siapa yang meluruskan kalau bukan ULAMA?
kalo dibilang yang meluruskan itu ulama yah faktanya juga ulama malah ikutan manasin situasi..
kenapa kok gak balik ke
al anam wrote:Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (al-An’am 68).
tidak bicara ttg keislaman TETAPI melanggar satu hukum islam,DILARANG ada 2 imam dalam satu jamaah..om isa wrote:2. Gubernur tandingan tidak bicara tentang keislaman, tidak ada ayat yang dipertentangkan, dan paling penting tidak membuat perpecahan dikalangan umat, dan mungkin satu hal lagi tidak ada yang meminta fatwa.
al hujurat 9
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
--->>mengangkat imam kedua kali dianggap sebagai pemberontakan..
tidak memecah umat..
yah untuk saat itu..tapi bisakah dibayangkan jika mereka mengeluarkan KTP sendiri?nagih pajak sendiri?
membuat peta wilayah sendiri..memberi nama tiap kelurahan menurut mereka..
menjadi dagelan memang tapi bila tidak dihentikan dari sekarang maka itu sama dengan menanam cangkul di kebun padi..
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Re: Mencela Ulama
Mungkin diganti berselisih kalau begitu... dan berpotensi membingungkan umat.abu hanan wrote:kok sayah malah gak merasa berantem yah?om isa wrote:Akibatnya berantemlah muslim VS muslim. Siapa yang meluruskan kalau bukan ULAMA?
kalo dibilang yang meluruskan itu ulama yah faktanya juga ulama malah ikutan manasin situasi..
kenapa kok gak balik ke
kurang relevan menurut saya. ini cocoknya untuk ibu2 di kepulauan seribu.al anam wrote:Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (al-An’am 68).
Tidak ada yang melarang menghentikan, lapor aja, itu prosedurnya kok. Toh akhirnya berhenti sendiri g ada yg lapor juga, artinya apa?tidak bicara ttg keislaman TETAPI melanggar satu hukum islam,DILARANG ada 2 imam dalam satu jamaah..om isa wrote:2. Gubernur tandingan tidak bicara tentang keislaman, tidak ada ayat yang dipertentangkan, dan paling penting tidak membuat perpecahan dikalangan umat, dan mungkin satu hal lagi tidak ada yang meminta fatwa.
al hujurat 9
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
--->>mengangkat imam kedua kali dianggap sebagai pemberontakan..
tidak memecah umat..
yah untuk saat itu..tapi bisakah dibayangkan jika mereka mengeluarkan KTP sendiri?nagih pajak sendiri?
membuat peta wilayah sendiri..memberi nama tiap kelurahan menurut mereka..
menjadi dagelan memang tapi bila tidak dihentikan dari sekarang maka itu sama dengan menanam cangkul di kebun padi..
"mereka tidak suka tapi bukan berarti pasti akan berbuat kerusakan dimuka bumi"
misal: "saya tidak suka apel", pernyataan itu tidak bisa diubah menjadi "setiap apel yang saya temui, pasti saya lempar"
Hukum tidak berlaku kepada rasa suka atau tidak suka terhadap sesuatu, tapi "tindakan merusak yang dilaporkan dan terbukti" kecuali pencemaran nama baik dan penistaan agama yg dicakup pula oleh UU ITE.
Khusus UU ITE sangat lebar cakupannya, semua orang bisa kena, setiap komentar dimanapun bisa dipidana, kayanya sih. Saya jg bertanya2 sejauh mana sebuah forum diskusi kebal terhadap UU ITE. Mungkin perlu bahasan khusus ttg ini. Tapi pastinya sejauh ini tidak ada yg kebal, mm.... kecuali Ahok (intermezo :))
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
bukan..bukan..setiap perbedaan termasuk dalam penafsiran adalah baik jika berada dalam satu rel..tidak perlu ada yang berkata "aku yang benar"..om isa wrote:Mungkin diganti berselisih kalau begitu... dan berpotensi membingungkan umat.
tak perlu ulama menurunkan derajat takwa (bukan ilmu) dengan alasan yang gak keren..
contoh ;
ini kan mengancam..ulama masa mengancam aparat hukum?din syamsudin wrote:"Pak Tito, kita bersahabat ya. Tapi kalau ini sampai lepas, saya akan memimpin perlawanan," kata Din
masa ulama melupakan kaidah praduga tak bersalah?
ulama B menetapkan si A dinyatakan berzinah dan wajib dihukum mati..
bukti?-->masih katanya
saksi?-->belum 4 orang
OTT?-->gak..2 minggu setelah bertemu di ruangan..
lha masa kaya gitu?
tidak..justru itu adalah tahap untuk menyatakan hukum..ada konstitusi..om isa wrote:
kurang relevan menurut saya. ini cocoknya untuk ibu2 di kepulauan seribu.
setelah al hujurat dilaksanakan,selanjutnya adalah ;
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. (at taubah)
sayah pandang ini perlu karena situasi yang rawan kuda gelap mata..
akan tiba saatnya..om isa wrote:
Tidak ada yang melarang menghentikan, lapor aja, itu prosedurnya kok. Toh akhirnya berhenti sendiri g ada yg lapor juga, artinya apa?
"mereka tidak suka tapi bukan berarti pasti akan berbuat kerusakan dimuka bumi"
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Re: Mencela Ulama
Bukan begitu, fatwa adalah memutuskan jika ada perselisihan, mana dalil yang dinilai dan dimusyawarahkan lebih tepat maka itulah yang diambil.abu hanan wrote:bukan..bukan..setiap perbedaan termasuk dalam penafsiran adalah baik jika berada dalam satu rel..tidak perlu ada yang berkata "aku yang benar"..om isa wrote:Mungkin diganti berselisih kalau begitu... dan berpotensi membingungkan umat.
tak perlu ulama menurunkan derajat takwa (bukan ilmu) dengan alasan yang gak keren..
Fatwa bukan mengakomodir semua pilihan
Tanya Pak Din nya lah apakah itu mengancam, atau tanya kapolrinya apakah itu ancaman, tapi ada perbedaan signifikan antara ucapan yang dipidana dan perbuatan yang dipidana. Menghakimi ucapan penentunya adalah interpretasi terhadap apa yang diucapkan (bukti dan saksi hanya berperan untuk apakah kata2 itu benar telah dikeluarkan seperti itu atau tidak), beda hal dengan perbuatan yang bukti dan saksi adalah penentu apakah perbuatan seperti dituduhkan atau tidak.mbah Abu wrote:contoh ;ini kan mengancam..ulama masa mengancam aparat hukum?din syamsudin wrote:"Pak Tito, kita bersahabat ya. Tapi kalau ini sampai lepas, saya akan memimpin perlawanan," kata Din
masa ulama melupakan kaidah praduga tak bersalah?
ulama B menetapkan si A dinyatakan berzinah dan wajib dihukum mati..
bukti?-->masih katanya
saksi?-->belum 4 orang
OTT?-->gak..2 minggu setelah bertemu di ruangan..
lha masa kaya gitu?
Tapi saya tidak akan membela Pak Din. Kalau mau diadukan untuk mengancam aparat negara, laporkan.
Hukum dan konstitusi apa?mbah Abu wrote:tidak..justru itu adalah tahap untuk menyatakan hukum..ada konstitusi..om isa wrote:
kurang relevan menurut saya. ini cocoknya untuk ibu2 di kepulauan seribu.
setelah al hujurat dilaksanakan,selanjutnya adalah ;
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. (at taubah)
sayah pandang ini perlu karena situasi yang rawan kuda gelap mata..
Apakah maksudnya muslim haram menuntut haknya karena ayat Ataubah di atas. Saya gagal paham.
Jumpa pers kapolri bilang lagi nyari pasal dulu untuk pembubaran. Apakah Indonesia akan kembali ke jaman Orba ketika setiap orang yang berani bicara akan dilenyapkan?mbah Abu wrote:akan tiba saatnya..om isa wrote:
Tidak ada yang melarang menghentikan, lapor aja, itu prosedurnya kok. Toh akhirnya berhenti sendiri g ada yg lapor juga, artinya apa?
"mereka tidak suka tapi bukan berarti pasti akan berbuat kerusakan dimuka bumi"
isaku- KAPTEN
-
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141
Re: Mencela Ulama
hmmm..kalo pernyataan sikap,gimana levelnya?om isa wrote:Bukan begitu, fatwa adalah memutuskan jika ada perselisihan, mana dalil yang dinilai dan dimusyawarahkan lebih tepat maka itulah yang diambil.
Fatwa bukan mengakomodir semua pilihan
yang diomongkan din syamsuddin adalah ungkapan bahwa dia tidak akan dapat menerima keputusan hakim jika ahok divonis BEBAS..konteks ancaman adalah saya pimpin perlawanan..dan tentunya perlawanan ini banyak jalan..bisa pengerahan massa,bisa banding dan bisa pula debat tak berujung..om isa wrote:
Kalau mau diadukan untuk mengancam aparat negara, laporkan.
dalam islam,hukum islam juga dibingkai etika..om isa wrote:
Hukum dan konstitusi apa?
konstitusi Madinah ini merupakan piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam golongan..berbasis dari ide konstitusi madinah hendaknya setiap muslim mampu bergerak dalam ruang publik..
tidak seperti itu..tetapi ormas bandel yang dikit2 demo,dikit2 anarkis..termasuk disini adalah serikat buruh..om isa wrote:
Apakah Indonesia akan kembali ke jaman Orba ketika setiap orang yang berani bicara akan dilenyapkan?
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Similar topics
» mempercayai ulama
» bahaya menentang ulama
» ULAMA DAN ALIRAN SESAT
» ulama pewaris nabi
» Bercermin pada Ulama
» bahaya menentang ulama
» ULAMA DAN ALIRAN SESAT
» ulama pewaris nabi
» Bercermin pada Ulama
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik