Politik perempuan pada masa kenabian
Halaman 1 dari 1 • Share
Politik perempuan pada masa kenabian
Mengenai peran politik perempuan, masyarakat muslim Indonesia lebih beruntung jika dibandingkan dengan masyarakat muslim dari negara-negara Timur Tengah. Sampai tahun 1997, seperti dicatat Syekh Yusuf al-Qardhawi, di negara-negara Timur Tengah para ulama masih memperdebatkan keabsahan perempuan yang terjun dengan menjadi anggota parlemen. Bahkan di Kuwait, sampai saat ini mayoritas ulama masih mengharamkan perempuan ikut terlibat dalam pemilihan anggota parlemen.
Al-Qardhawi sendiri mengkritik pelarangan kiprah politik perempuan yang mengatasnamakan Islam. Kritik ini didasarkan pada beberapa argumentasi; pertama bahwa perempuan dalam Islam adalah manusia sejenis dengan laki-laki, memperoleh perintah yang sama untuk beriman, beribadah, menegakkan agama, meluruskan masyarakat, mendatangkan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran. Perintah-perintah al-Qur’an adalah perintah terhadap laki-laki dan perempuan sekaligus, kecuali yang benar-benar khusus untuk salah satu dari mereka. Panggilan “ayyuhannâs/wahai manusia” adalah panggilan untuk laki-laki dan perempuan. Karena itu, Ummu Salamah Ra ketika mendengar seruan al-Qur’an “ayyuhannâs/wahai manusia”, beliau langsung bergegas dan menyatakan: “Aku termasuk manusia yang dipanggil”.
Kedua, banyak sekali catatan-catatan sejarah yang menjelaskan para perempuan awal Islam, atau masa kenabian, yang memainkan peran politik yang cukup penting. Di antara peran mereka adalah dukungan kuat terhadap proses kelahiran komunitas muslim di Mekkah, ikut serta berhijrah mencari suaka politik dari kekuasaan di luar Mekkah, pembentukan komunitas Madinah dan pertahanan diri dari serangan musuh, termasuk peran mereka dalam menentukan kebijakan penanganan masyarakat Madinah. (lihat: al-Qaradhawi, Min Fiqh ad-Dawlah fi al-Islâm, 1997: Dar asy-Syurûq, Beirut, hal. 161-162).
Tulisan ini akan menjelaskan lebih lanjut dari argumentasi yang kedua, yang disampaikan al-Qardhawi. Penjelasan dilakukan dengan mengetengahkan teks-teks hadits yang mencatat kiprah-kiprah pro aktif perempuan awal Islam, atau masa kenabian. Catatan ini menjadi sangat penting, untuk mempertegas bahwa wilayah publik bagi perempuan adalah bukan barang haram. Bahkan mungkin saja, menjadi awal dari suatu perubahan ke arah yang lebih baik, lebih adil dan menjamin kesejahteraan bagi masyarakat banyak.
Kelahiran Komunitas Awal
Dalam berbagai catatan sejarah, orang yang pertama kali beriman kepada Nabi Muhammad Saw adalah Khadijah binti Khuwailid Ra, perempuan agung yang memberikan dukungan penuh terhadap risalah kenabian. Bahkan ketika Nabi masih merasa ragu, khawatir dan diselimuti rasa takut karena bertemu malaikat Jibril As ketika menerima wahyu awal, Khadijahlah yang meyakinkan: “Tenanglah wahai anak pamanku, dan tabahlah. Demi Dzat yang menguasai Khadijah, aku yakin kamu terpilih menjadi Nabi bagi umat ini”. (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, I/191). Khadijah ra kemudian menenangkan Nabi Saw, dengan membawa beliau bertemu Pendeta Waraqah bin Nawfal, yang bisa meyakinkan bahwa yang ditemui Nabi Saw adalah benar Malaikat Jibril seperti yang juga datang kepada Nabi Musa as.
Ketika Nabi Saw masih juga khawatir jika yang datang bukanlah malaikat, tetapi setan yang juga datang kepada para peramal (kahin) Arab, Khadijah sekali lagi meyakinkan. Nabi Saw sempat berkeluh kesah: “Wahai Khadijah, tidak ada sesuatu yang paling aku benci kecuali berhala dan para peramal itu, aku khawatir aku akan diangkat menjadi peramal”. “Tidak”, kata Khadijah. “Demi Allah, Dia tidak akan menghina kamu, karena kamu adalah orang yang baik terhadap keluarga, suka menjamu tamu, berani mengambil tanggung jawab besar, memberi orang yang kekurangan dan membantu orang-orang kesusahan. Kamu memiliki banyak sifat-sifat yang baik, yang dengan itu, kamu sama sekali tidak akan didatangi setan”, sambung Khadijah. (Amin Duwaidar, Shuwarun min Hayat ar-Rasul, hal. 123). (Teks hadits diriwayatkan Imam Bukhari, lihat pada Kitab Nikâh, bab Man Qâla Lâ Nikâha illâ bi-Waliyyin).
Khadijah Ra tentu tidak sekedar menenangkan dan beriman kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi mendukung dengan segala resiko yang akan menimpa dirinya. Ini adalah pilihan politik, yang dilakukan seorang perempuan terhadap kelahiran sebuah agama agung. Khadijah Ra tahu bahwa peran politik ini bukan sesuatu yang mudah dan sederhana. Dia tahu persis, bahwa dengan mendampingi dan mendukung Nabi Saw, dia akan berhadapan dengan kekuasaan politik yang keras dan otoriter. Karena risalah yang dibawa Nabi Saw membawa perubahan sosial yang cukup besar, yang akan menghancurkan kekuasaan status quo para elite Quraisy. Risalah yang didasarkan pada prinsip persamaan, antara tuan dan hamba, kuat dan lemah, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, orang Arab dan yang bukan Arab. Yaitu prinsip yang sama sekali tidak dikehendaki para penguasa Quraisy saat itu.
Untuk peran Khadijah Ra yang begitu agung itu, Nabi Muhammad Saw dengan penuh keharuan memberikan pernyataan: “Demi Allah, sungguh Allah tidak memberikan pengganti seorang perempuan untuk menjadi isteri bagiku yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari kenabianku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakan diriku, dan dia membantuku dengan harta kekayaannya ketika orang lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnya Allah menganugerahkan anak-anak bagiku, bukan dari perempuan-perempuan lainnya”. (Aisyah bint Syathi, Isteri-isteri Nabi, hal. 58).
Perempuan yang memiliki peran penting bagi pembentukan komunitas muslim awal tidaklah satu. Di samping Khadijah Ra, banyak lagi perempuan-perempuan lain berperan aktif bagi proses peletakan da’wah Islam pertama, berjuang, berhijrah, berkorban harta dan bahkan nyawa. Adalah Sumayyah Umm Ammar bin Yasir, seorang perempuan, yang pertama kali gugur mempertahankan keimanan. Adalah Umm Habibah, Umm Abdillah bint Abi Hatsmah, Asma bint Umais dan perempuan-perempuan lain yang ikut berhijrah pertama kali ke Etiopia mencari suaka politik. Adalah Fathimah bint al-Khattab Ra, yang berani berhadapan dengan Umar bin al-Khattab Ra yang saat itu masih kafir. Adalah Asma bint Abi Bakr ra, yang berani mengantarkan makanan kepada Nabi Saw di Gua Tsur, ketika semua orang takut berhubungan dengan Nabi Saw.
Peran dalam Kebijakan Sosial
Para perempuan sahabat Rasulullah Saw terkenal aktif memberikan masukan mengenai beberapa kebijakan, terutama yang mengenai diri mereka. Hal ini penting dilakukan karena mereka telah memperoleh posisi yang cukup signifikan dalam Islam, yang tidak mereka peroleh pada masa jahiliyah. Posisi ini tidak atau belum sepenuhnya dipahami dan diterima sebagian laki-laki. Karena itu, para perempuan harus memperjuangkan dan banyak memberi masukan kepada Rasulullah Saw. Upaya mereka ini tentu merupakan kiprah politik yang sangat berpengaruh pada kebijakan sosial yang terjadi pada masa tersebut.
Dalam suatu riwayat para perempuan pernah menggugat kebijakan Nabi Muhammad Saw yang memperkenankan laki-laki untuk memukul isteri. Nabi Saw sendiri pada akhirnya tidak memuji mereka yang suka memukul isteri. Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab ra berkata: bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!”. Lalu datang Umar Ra kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Para istri itu nanti berani (melawan) suami mereka, berikan kami izin untuk memukul mereka”. Tetapi kemudian banyak sekali perempuan yang mendatangi keluarga Rasulullah Saw, mengadukan perilaku suami mereka. Maka Rasulullah Saw pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka (para suami) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (HR Abu Daud, lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, VII/330, no. hadits: 4719).
Para perempuan juga pernah mendatangi Rasulullah Saw, memberikan masukan mengenai kebijakan pengajaran. Dari Abi Sa’îd al-Khudriyy ra berkata: “bahwa suatu saat beberapa perempuan mendatangi Nabi Muhammad Saw, mereka mengadu: “Mereka yang laki-laki telah banyak mendahului kami, bisakah kamu mengkhususkan waktu untuk kami para perempuan?. Nabi bersedia mengkhususkan waktu untuk mengajari mereka, memperingatkan dan menasehati mereka”. Dalam catatan lain: ada seorang perempuan yang datang menuntut kepada Nabi Saw, ia berkata: “Wahai Rasul, para laki-laki telah jauh menguasai pelajaran darimu, bisakah kamu peruntukkan waktu khusus untuk kami perempuan, untuk mengajarkan apa yang kamu terima dari Allah? Nabi merespon: “Ya, berkumpullah pada hari ini dan di tempat ini”. Kemudian para perempuan berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan belajar dari Rasulullah tentang apa yang diterima dari Allah SWT. (Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat: Ibn al-Atsîr, X/359, nomor hadis: 7340).
Perempuan juga pernah memainkan peran politik yang cukup berpengaruh, pada saat kemelut emosional menghinggapi hampir seluruh sahabat Nabi Saw setelah perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian yang oleh segenap sahabat dianggap merendahkan dan melecehkan eksistensi umat Islam pada saat itu. Tetapi Nabi Saw menerima perjanjian itu, sementara para sahabat berdiam diri, menolak atau paling tidak menyiratkan ketidak setujuan mereka. Umar ra sendiri mendatangi Nabi Saw, dan bertanya: “Kamu kan Nabi”. “Ya!”, jawab Nabi Saw. “Bukankah kita berada pada agama yang benar, dan mereka yang sesat”. “Ya!”. “Kenapa kita harus menerima penghinaan dengan perjanjian ini?!!”. “Aku utusan Allah, dan aku tidak akan pernah menyalahi pertintah-Nya dan aku yakin Dia akan menolongku”.
Sebagai simbol penerimaan terhadap perjanjian tersebut, Nabi Saw memerintahkan para sahabat untuk memotong unta dan mencukur rambut kepala. Tetapi tidak satupun dari sahabat Nabi yang tergerak mengikuti perintah Nabi Saw, karena perasaan terpukul dan sedih yang sangat berat. Nabi Saw mengulangi perintah kepada para sahabat sampai tiga kali. Tetapi tetap tidak satupun yang beranjak bangun memenuhi perintah. Nabipun Saw marah berat dan masuk ke tenda Umm Salamah Ra dengan penuh kemarahan. “Ada apa?” tanya Umm Salamah Ra. “Orang-orang Islam akan binasa, karena tidak mengikuti perintahku”. “Ya Rasul, janganlah menyalahkan mereka. Kesedihan sedang menghimpit perasaan mereka, sama seperti yang kamu rasakan ketika harus menerima perjanjian itu. Mereka sangat berat kalau harus pulang tanpa bisa memasuki kota mereka Mekkah. Lebih baik, kamu keluar saja dan tidak perlu berbicara dengan siapapun. Lakukanlah apa yang ingin kamu perintahkan. Kamu sembelih untamu dan kamu cukur rambutmu. Jika mereka melihat kamu melakukan itu, pasti mereka akan mengikuti apa yang kamu lakukan”, Umm Salamah Ra menyarankan. Persis seperti yang dikatakan Umm Salamah Ra, semua sahabat pada akhirnya bisa menerima dan mengikuti apa yang dilakukan Nabi Saw. (Riwayat Bukhari dan Abu Dawud, Ibn al-Atsîr, Jâmi’ al-Ushûl, IX/207-222. no. hadits: 6098. lihat juga Amin Duwaidar, hal. 464).
Dari pemaparan beberapa catatan sejarah dan teks hadits ini, terlihat betapa bahwa para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting. Apalagi jika melihat pada latar belakang sosial mereka, yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab jahiliyah. Memang kiprah mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam.
Dengan melihat peran para perempuan awal Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial. Bagi Hibat Rauf Izzat misalnya, kiprah politik merupakan implementasi dari tugas khilafah yang menjadi amanah manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Sementara bagi Syekh Yusuf al-Qaradhawi, kiprah politik dalam istilah Islam adalah tugas amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas ini seperti ditegaskan dalam al-Qur’an merupakan kerja bersama, satu dengan yang lain harus bermitra, antara laki-laki dan perempuan (QS. At-Taubah, 71). Wallahu a’lam wa huwa al-musta’ân. ]
Al-Qardhawi sendiri mengkritik pelarangan kiprah politik perempuan yang mengatasnamakan Islam. Kritik ini didasarkan pada beberapa argumentasi; pertama bahwa perempuan dalam Islam adalah manusia sejenis dengan laki-laki, memperoleh perintah yang sama untuk beriman, beribadah, menegakkan agama, meluruskan masyarakat, mendatangkan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran. Perintah-perintah al-Qur’an adalah perintah terhadap laki-laki dan perempuan sekaligus, kecuali yang benar-benar khusus untuk salah satu dari mereka. Panggilan “ayyuhannâs/wahai manusia” adalah panggilan untuk laki-laki dan perempuan. Karena itu, Ummu Salamah Ra ketika mendengar seruan al-Qur’an “ayyuhannâs/wahai manusia”, beliau langsung bergegas dan menyatakan: “Aku termasuk manusia yang dipanggil”.
Kedua, banyak sekali catatan-catatan sejarah yang menjelaskan para perempuan awal Islam, atau masa kenabian, yang memainkan peran politik yang cukup penting. Di antara peran mereka adalah dukungan kuat terhadap proses kelahiran komunitas muslim di Mekkah, ikut serta berhijrah mencari suaka politik dari kekuasaan di luar Mekkah, pembentukan komunitas Madinah dan pertahanan diri dari serangan musuh, termasuk peran mereka dalam menentukan kebijakan penanganan masyarakat Madinah. (lihat: al-Qaradhawi, Min Fiqh ad-Dawlah fi al-Islâm, 1997: Dar asy-Syurûq, Beirut, hal. 161-162).
Tulisan ini akan menjelaskan lebih lanjut dari argumentasi yang kedua, yang disampaikan al-Qardhawi. Penjelasan dilakukan dengan mengetengahkan teks-teks hadits yang mencatat kiprah-kiprah pro aktif perempuan awal Islam, atau masa kenabian. Catatan ini menjadi sangat penting, untuk mempertegas bahwa wilayah publik bagi perempuan adalah bukan barang haram. Bahkan mungkin saja, menjadi awal dari suatu perubahan ke arah yang lebih baik, lebih adil dan menjamin kesejahteraan bagi masyarakat banyak.
Kelahiran Komunitas Awal
Dalam berbagai catatan sejarah, orang yang pertama kali beriman kepada Nabi Muhammad Saw adalah Khadijah binti Khuwailid Ra, perempuan agung yang memberikan dukungan penuh terhadap risalah kenabian. Bahkan ketika Nabi masih merasa ragu, khawatir dan diselimuti rasa takut karena bertemu malaikat Jibril As ketika menerima wahyu awal, Khadijahlah yang meyakinkan: “Tenanglah wahai anak pamanku, dan tabahlah. Demi Dzat yang menguasai Khadijah, aku yakin kamu terpilih menjadi Nabi bagi umat ini”. (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, I/191). Khadijah ra kemudian menenangkan Nabi Saw, dengan membawa beliau bertemu Pendeta Waraqah bin Nawfal, yang bisa meyakinkan bahwa yang ditemui Nabi Saw adalah benar Malaikat Jibril seperti yang juga datang kepada Nabi Musa as.
Ketika Nabi Saw masih juga khawatir jika yang datang bukanlah malaikat, tetapi setan yang juga datang kepada para peramal (kahin) Arab, Khadijah sekali lagi meyakinkan. Nabi Saw sempat berkeluh kesah: “Wahai Khadijah, tidak ada sesuatu yang paling aku benci kecuali berhala dan para peramal itu, aku khawatir aku akan diangkat menjadi peramal”. “Tidak”, kata Khadijah. “Demi Allah, Dia tidak akan menghina kamu, karena kamu adalah orang yang baik terhadap keluarga, suka menjamu tamu, berani mengambil tanggung jawab besar, memberi orang yang kekurangan dan membantu orang-orang kesusahan. Kamu memiliki banyak sifat-sifat yang baik, yang dengan itu, kamu sama sekali tidak akan didatangi setan”, sambung Khadijah. (Amin Duwaidar, Shuwarun min Hayat ar-Rasul, hal. 123). (Teks hadits diriwayatkan Imam Bukhari, lihat pada Kitab Nikâh, bab Man Qâla Lâ Nikâha illâ bi-Waliyyin).
Khadijah Ra tentu tidak sekedar menenangkan dan beriman kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi mendukung dengan segala resiko yang akan menimpa dirinya. Ini adalah pilihan politik, yang dilakukan seorang perempuan terhadap kelahiran sebuah agama agung. Khadijah Ra tahu bahwa peran politik ini bukan sesuatu yang mudah dan sederhana. Dia tahu persis, bahwa dengan mendampingi dan mendukung Nabi Saw, dia akan berhadapan dengan kekuasaan politik yang keras dan otoriter. Karena risalah yang dibawa Nabi Saw membawa perubahan sosial yang cukup besar, yang akan menghancurkan kekuasaan status quo para elite Quraisy. Risalah yang didasarkan pada prinsip persamaan, antara tuan dan hamba, kuat dan lemah, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, orang Arab dan yang bukan Arab. Yaitu prinsip yang sama sekali tidak dikehendaki para penguasa Quraisy saat itu.
Untuk peran Khadijah Ra yang begitu agung itu, Nabi Muhammad Saw dengan penuh keharuan memberikan pernyataan: “Demi Allah, sungguh Allah tidak memberikan pengganti seorang perempuan untuk menjadi isteri bagiku yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari kenabianku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakan diriku, dan dia membantuku dengan harta kekayaannya ketika orang lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnya Allah menganugerahkan anak-anak bagiku, bukan dari perempuan-perempuan lainnya”. (Aisyah bint Syathi, Isteri-isteri Nabi, hal. 58).
Perempuan yang memiliki peran penting bagi pembentukan komunitas muslim awal tidaklah satu. Di samping Khadijah Ra, banyak lagi perempuan-perempuan lain berperan aktif bagi proses peletakan da’wah Islam pertama, berjuang, berhijrah, berkorban harta dan bahkan nyawa. Adalah Sumayyah Umm Ammar bin Yasir, seorang perempuan, yang pertama kali gugur mempertahankan keimanan. Adalah Umm Habibah, Umm Abdillah bint Abi Hatsmah, Asma bint Umais dan perempuan-perempuan lain yang ikut berhijrah pertama kali ke Etiopia mencari suaka politik. Adalah Fathimah bint al-Khattab Ra, yang berani berhadapan dengan Umar bin al-Khattab Ra yang saat itu masih kafir. Adalah Asma bint Abi Bakr ra, yang berani mengantarkan makanan kepada Nabi Saw di Gua Tsur, ketika semua orang takut berhubungan dengan Nabi Saw.
Peran dalam Kebijakan Sosial
Para perempuan sahabat Rasulullah Saw terkenal aktif memberikan masukan mengenai beberapa kebijakan, terutama yang mengenai diri mereka. Hal ini penting dilakukan karena mereka telah memperoleh posisi yang cukup signifikan dalam Islam, yang tidak mereka peroleh pada masa jahiliyah. Posisi ini tidak atau belum sepenuhnya dipahami dan diterima sebagian laki-laki. Karena itu, para perempuan harus memperjuangkan dan banyak memberi masukan kepada Rasulullah Saw. Upaya mereka ini tentu merupakan kiprah politik yang sangat berpengaruh pada kebijakan sosial yang terjadi pada masa tersebut.
Dalam suatu riwayat para perempuan pernah menggugat kebijakan Nabi Muhammad Saw yang memperkenankan laki-laki untuk memukul isteri. Nabi Saw sendiri pada akhirnya tidak memuji mereka yang suka memukul isteri. Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab ra berkata: bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!”. Lalu datang Umar Ra kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Para istri itu nanti berani (melawan) suami mereka, berikan kami izin untuk memukul mereka”. Tetapi kemudian banyak sekali perempuan yang mendatangi keluarga Rasulullah Saw, mengadukan perilaku suami mereka. Maka Rasulullah Saw pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka (para suami) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (HR Abu Daud, lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, VII/330, no. hadits: 4719).
Para perempuan juga pernah mendatangi Rasulullah Saw, memberikan masukan mengenai kebijakan pengajaran. Dari Abi Sa’îd al-Khudriyy ra berkata: “bahwa suatu saat beberapa perempuan mendatangi Nabi Muhammad Saw, mereka mengadu: “Mereka yang laki-laki telah banyak mendahului kami, bisakah kamu mengkhususkan waktu untuk kami para perempuan?. Nabi bersedia mengkhususkan waktu untuk mengajari mereka, memperingatkan dan menasehati mereka”. Dalam catatan lain: ada seorang perempuan yang datang menuntut kepada Nabi Saw, ia berkata: “Wahai Rasul, para laki-laki telah jauh menguasai pelajaran darimu, bisakah kamu peruntukkan waktu khusus untuk kami perempuan, untuk mengajarkan apa yang kamu terima dari Allah? Nabi merespon: “Ya, berkumpullah pada hari ini dan di tempat ini”. Kemudian para perempuan berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan belajar dari Rasulullah tentang apa yang diterima dari Allah SWT. (Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat: Ibn al-Atsîr, X/359, nomor hadis: 7340).
Perempuan juga pernah memainkan peran politik yang cukup berpengaruh, pada saat kemelut emosional menghinggapi hampir seluruh sahabat Nabi Saw setelah perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian yang oleh segenap sahabat dianggap merendahkan dan melecehkan eksistensi umat Islam pada saat itu. Tetapi Nabi Saw menerima perjanjian itu, sementara para sahabat berdiam diri, menolak atau paling tidak menyiratkan ketidak setujuan mereka. Umar ra sendiri mendatangi Nabi Saw, dan bertanya: “Kamu kan Nabi”. “Ya!”, jawab Nabi Saw. “Bukankah kita berada pada agama yang benar, dan mereka yang sesat”. “Ya!”. “Kenapa kita harus menerima penghinaan dengan perjanjian ini?!!”. “Aku utusan Allah, dan aku tidak akan pernah menyalahi pertintah-Nya dan aku yakin Dia akan menolongku”.
Sebagai simbol penerimaan terhadap perjanjian tersebut, Nabi Saw memerintahkan para sahabat untuk memotong unta dan mencukur rambut kepala. Tetapi tidak satupun dari sahabat Nabi yang tergerak mengikuti perintah Nabi Saw, karena perasaan terpukul dan sedih yang sangat berat. Nabi Saw mengulangi perintah kepada para sahabat sampai tiga kali. Tetapi tetap tidak satupun yang beranjak bangun memenuhi perintah. Nabipun Saw marah berat dan masuk ke tenda Umm Salamah Ra dengan penuh kemarahan. “Ada apa?” tanya Umm Salamah Ra. “Orang-orang Islam akan binasa, karena tidak mengikuti perintahku”. “Ya Rasul, janganlah menyalahkan mereka. Kesedihan sedang menghimpit perasaan mereka, sama seperti yang kamu rasakan ketika harus menerima perjanjian itu. Mereka sangat berat kalau harus pulang tanpa bisa memasuki kota mereka Mekkah. Lebih baik, kamu keluar saja dan tidak perlu berbicara dengan siapapun. Lakukanlah apa yang ingin kamu perintahkan. Kamu sembelih untamu dan kamu cukur rambutmu. Jika mereka melihat kamu melakukan itu, pasti mereka akan mengikuti apa yang kamu lakukan”, Umm Salamah Ra menyarankan. Persis seperti yang dikatakan Umm Salamah Ra, semua sahabat pada akhirnya bisa menerima dan mengikuti apa yang dilakukan Nabi Saw. (Riwayat Bukhari dan Abu Dawud, Ibn al-Atsîr, Jâmi’ al-Ushûl, IX/207-222. no. hadits: 6098. lihat juga Amin Duwaidar, hal. 464).
Dari pemaparan beberapa catatan sejarah dan teks hadits ini, terlihat betapa bahwa para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting. Apalagi jika melihat pada latar belakang sosial mereka, yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab jahiliyah. Memang kiprah mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam.
Dengan melihat peran para perempuan awal Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial. Bagi Hibat Rauf Izzat misalnya, kiprah politik merupakan implementasi dari tugas khilafah yang menjadi amanah manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Sementara bagi Syekh Yusuf al-Qaradhawi, kiprah politik dalam istilah Islam adalah tugas amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas ini seperti ditegaskan dalam al-Qur’an merupakan kerja bersama, satu dengan yang lain harus bermitra, antara laki-laki dan perempuan (QS. At-Taubah, 71). Wallahu a’lam wa huwa al-musta’ân. ]
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» kondisi umat islam pada masa kini
» Qanun penyebab tingginya kekerasan pada perempuan di Aceh
» imam khomeni:politik tuhan vs politik setan
» Politik Ideologis Vs Politik Sembako
» Perkembangan Sekte Inkar Sunnah dari Masa Ke Masa
» Qanun penyebab tingginya kekerasan pada perempuan di Aceh
» imam khomeni:politik tuhan vs politik setan
» Politik Ideologis Vs Politik Sembako
» Perkembangan Sekte Inkar Sunnah dari Masa Ke Masa
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik