apakah sahabat Nabi mendirikan Madzhab/aliran?
Halaman 1 dari 1 • Share
apakah sahabat Nabi mendirikan Madzhab/aliran?
Tidak ada perbedaan bahwa madzhab shahabat dalam berbagai masalah ijtihad itu bukan merupakan hujjah bagi para mujtahid yang lain di kalangan para shahabat. Ijtihad tersebut tidak dikategorikan sebagai dalil syara' bagi mereka. Tapi yang ada perbedaan adalah keberadaan madzhab shahabat itu sebagai hujjah bagi para mujtahid untuk tabi'in serta orang-orang yang sesudah mereka. Sebagian imam berpendapat bahwa madzhab shahabat adalah hujjah dan dikategorikan sebagai dalil syara' yang merupakan bagian dari dalil-dalil syara' untuk hukum-hukum syara'. Para Imam tersebut berdalil, tentang keberadaan madzhab shahabat sebagai hujjah, dengan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma'. Adapun Al Kitab adalah firman-Nya Ta'ala:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf,"(TQS Ali Imran(3):110)
Firman Allah tersebut adalah seruan bersama dengan para shahabat. Apa yang mereka perintahkan adalah ma'ruf, dan perintah yang makruf adalah wajib diterima. Adapun As Sunnah adalah sabda beliau Alaihis-salam:
"bahwa shahabat-shahabat saya adalah layaknya bintang, pada siapun kalian meneladani mereka maka kalian akan mendapkan petunjuk". Hadits dikeluarkan oleh Raziin.
Dan sabda beliau Alahis-salam:
"teladanilah oleh kalian dua orang sesudahkn Abu Bakar dan Umar". Hadits dikeluarkan oleh At Tirmidzi.
Dan tidak mungkin mengangkat hal tersebut untuk seruan yang bersifat umum serta bertaqlid pada mereka, untuk apa yang ada di dalamnya, yaitu takhsish tanpa adanya dalil, untuk apa yang ada di dalamnya, yaitu batalnya faedah takhshish untuk shahabat dengan hal itu, dari sisi terjadinya kesepakatan bolehnya taqlid orang kebanyakan terhadap para mujtahid selain shahabat. Maka tidak ada alternative kecuali bahwa yang dimaksud di dalamnya adalah wajibnya mengikuti madzhab mereka.
Adapun ijma' adalah bahwa Abdurrahman bin Auf ketika mengangkat Ali RA sebagai khalifah dengan syarat mengikuti dua khalifah sebelumnya dan dia menolak. Lalu Abdurrahman bin Auf mengangkat Utsman dan Utsman menerima. Dan tidak seorangpun yang menolak, dengan suatu penolakan, jadilah hal tersebut sebagai ijma'. Apalagi bahwa ijma' sukuti itu adalah perkataan seorang shahabat ketika tersebar luas, tidak ada yang menolak dengan suatu penolakan, maka hal tersebut dipandang sebagai hujjah. Maka demikian pula dengan perkataan shahabat ketika tidak tersebar luas sebagai hujjah.
Inilah ringkasan dalil-dalil orang yang berpendapat bahwa madzhab seorang shahabat adalah hujjah. Maka Itu adalah dalil-dalil yang tidak tepat untuk menunjukkan kehujjahan madzhab shahabat. Untuk ayat (diatas), sama sekali tidak ada dalalah di dalamnya. Sebab ayat tersebut adalah khitab untuk umat Muhammad SAW secara keseluruhan dan bukan hanya untuk shahabat dan masa Rasul saja. Selanjutnya pengertian "yang memerintahkan yang makruf" itu bukan berarti bahwa apa yang mereka perintahkan adalah ma'ruf dengan bukti apa yang datang sesudahnya yaitu firman-Nya "yang melarang kemungkaran" tapi maknanya adalah sesungguhnya kalian adalah umat yang terbaik karena kalian memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Sedangkan dua hadits tersebut adalah pujian terhadap shahabat, bukan berarti bahwa perkataan mereka adalah dalil syara'. Adapun sabda beliau:
"dengan sipapapun kalian meneladani maka kalian mendapatkan petunjuk"
pegertiannya di dalamnya adalah bahwa apa yang mereka riwayatkan dari Rasul SAW dan yang dimaksud bukan meneladani pada setiap hal. Karena para shahabat tidak maksum, dan tidak diteladani pada semua hal kecuali yang maksum. Adapun ijma' sukuti maka kehujjahannya bukan datang dari tidak tersebarnya tapi datang dari tersebar, serta keberadaannya termasuk hal-hal yang biasanya termasuk diingkari. Kedua hal ini tidak ada pada madzhab shahabat. Sebab madzhab shahabat itu meski tersebar luas, bukan berarti bahwa tidak adanya pertentangan dari shahabat terhadap madzhab shahabat tersebut berarti diam terhadap hal tersebut. Karena diam itu khusus terhadap hal-hal yang lazimnya diingkari padahal ini umum untuk semua hukum. Dan diam yang muktabar adalah jika tersebar luas serta diketahui oleh para shahabat sementara ini tidak tersebar, maka diamnya mereka terhadap madzhab shahabat tersebut bukan suatu yang diperhatikan. Oleh karena itu tidak bisa diqiyaskan dengan diamnya shahabat. Berdasarkan semua tadi menjadi jelas, bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan tidak tepat untuk hujjah bahwa madzhab shahabi itu adalah dalil syara'.
Sebab disana juga terdapat hal-hal yang menafikan madzhab shahabat sebagai dalil syara'. Antara lain bahwa Allah Ta'ala berfirman:
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),"(TQS An Nisaa'(4):59)
Maka inti arah (tempat merujuk) yang dimaksudkan ketika terjadi perselisihan adalah Allah dan Rasul, yakni Al Kitab dan As Sunnah. Maka selain keduanya tidak dikembalikan padanya. Madzhab shahabat bukan bagian Al Kitab dan As Sunnah maka tidak dikembalikan padanya. Oleh karena itu madzhab shahabat tidak dikategorikan sebagai hujjah. Selain itu seorang shahab adalah orang yang layak berijtihad, dan kesalahan baginya adalah suatu yang mungkin, dan selama kemungkinan salah itu ada maka madzhabnya tidak dikategorikan sebagai hujjah. Karena itu adalah para shahabat telah berbeda pendapat dalam berbagai masalah, dan masing-masing madzhabnya berbeda dengan yang lain. Kalau seandainya madzhab shahabat tersebut adalah hujjah maka hujjah-hujjah Allahpun akan berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Padahal mengikuti sebagian sahabat itu tidak lebih utama dibanding mengikuti sebagian yang lain, maka madzhab mereka bukanlah dalil syara'. Apalagi bahwa para shahabat RA mereka mereka menyetujui dan mengakui bahwa banyak dari sunnah (Nabi) yang tidak sampai pada mereka, bahkan banyak dari mereka yang meralat pendapatnya setelah disampaikan pada mereka bahwa yang dari Rasul yang berbeda dengan pendapatnya. Ini juga merupakan dalil bahwa madzhab mereka bukanlah hujjah karena bisa saja terjadi bahwa apa yang disabdakan Rasul tentang hal tertentu belum sampai pada mereka. Dalil persetujuan mereka bahwa banyak Sunnah tidak sampai pada mereka adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: "Bahwa sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin sibuk melakukan akad di pasar sedangkan saudara-saudaraku dari Ansar sibuk mengelola harta-harta mereka". Dan dari Al Barra' bin Azib dia berkata: "tidaklah setiap yang kami sampaikan pada kalian itu kami dengar (langsung) dari Rasulullah SAW tapi shahabat shahabat kamilah yang menyampaikan pada kami sementara kami sibuk mengembalakan unta". Umar RA berkata tentang hadits minta idzin: "telah tersembunyi dari saya perintah Rasulullah SAW ini?sungguh akad di pasar telah melalaikan aku" dan masih banyak lagi. Adapun dalil bahwa mereka meralat pendapat setelah sampai pada mereka hal yang berbeda dari Rasul adalah apa yang diriwayatkan bahwa Umar mengembalikan wanita yang mengasuh anak dan bercerai sebelum dia meninggalkan rumah, sampai datang khabar bahwa Rasulullah SAW memberi izin tentang hal itu maka Umarpun menahan diri dari mengembalikan wanita tersebut. Adalah Umar membeda-bedakan diyat jari jemari sampai datang (berita) dari Rasul SAW bahwa beliau memerintahkan untuk menyamakan diat diantara jari jemari tersebut. Maka Umarpun meninggalkan pendapatnya dan mengambil yang sama. Umar mau merajam perempuan yang gila sampai dia mengetahui sabda Rasul SAW:
"qalam telah diangkat dari tiga hal".
maka Umarpun memerintahkan agar wanita yang gila tersebut untuk tidak merajam. Adalah Abdullah bin Umar, dia menyewakan tanah, lalu sampai padanya bahwa Nabi SAW melarang penyewaan tanah maka Abdullah bin Umarpun meralat penyewaannya. Adalah Abdullah bin Abbas telah luput darinya larangan nikah muth'ah dan haramnya khimar yang jinak sampai Ali RA memberitahukan padanya. Adalah Ibnu Abbas berkata: "Tidakkah kalian takut Allah akan menenggelamkan bumi yang ada pada kalian, saya mengatakan pada kalian bahwa Rasulullah SAW bersabda, sementara kalian berkata: kata Abu Bakar dan Umar. Mereka, orang Anshar, itu lupa sabda beliau Alaihis-salam:
"para Imam itu dari orang Quraisy". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas, dst. begitulah masih banyak peristiwa-peristiwa yang lain. Ini semua menujukkan bahwa madzhab shahabat itu mungkin salah dan lupa, sehingga tidak tepat untuk menjadi hujjah. Berikutnya tinggal masalah ijma' shahabat atas permintaan Abudrrahman bin Auf untuk mengkuti dua khalifah sebelumnya yakni Abu Bakar dan Umar. Ini bukanlah ijma' yang menyatakan bahwa madzhab seorang shahabat itu hujjah. Itu merupakan ijma' bolehnya seorang mujtahid taqlid terhadap mujtahid lain dan meninggalkan pendapatnya,dan yang diharapkan dari taqlid tersebut adalah untuk menyatukan kalimat kaum Muslim dengan satu pendapat, dan ini adalah satu hal sedangkan madzhab shahabat sebagai hujjah adalah hal yang lain. berdasarkan itu semua menjadi jelas bahwa madzhab shahabat bukan bagian dari dalil-dalil syara'.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» sahabat nabi
» pendapat imam Madzhab tentang hadits nabi
» Pendapat Imam Madzhab Tentang Hadits Nabi SAW
» Apakah Nabi Isa AS seorang sufi?
» apakah Nabi SAW pernah salah ???
» pendapat imam Madzhab tentang hadits nabi
» Pendapat Imam Madzhab Tentang Hadits Nabi SAW
» Apakah Nabi Isa AS seorang sufi?
» apakah Nabi SAW pernah salah ???
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik