rethinking islam multikultural
Halaman 1 dari 1 • Share
rethinking islam multikultural
Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Pasca tragedi 11 September 2001, diskursus Islam terus menjadi topik aktual dan menarik perhatian banyak kalangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di tanah air, misalnya, pertarungan wacana dan ideologi Islam kembali mencuat ke permukaan yang diwakili dua kutub yang saling berseberangan antara kubu fundamental di satu pihak dan kubu liberal di lain pihak.
Dalam perdebatan wacana ini, tentu saja beda pendapat dan konflik sosial pun acapkali tidak bisa dihindari. Bahkan, klaim kebenaran (truth claim), tuduh menuduh, penghakiman dan pengkafiran seolah menjadi santapan makan sehari-hari dalam kehidupan beragama di negeri ini. Beberapa kasus yang menimpa kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Ahmadiyah serta beberapa aliran keyakinan dan kepercayaan lain yang berbeda dengan kelompok mainstream hanyalah satu dari sekian contoh saja.
Potret di atas merupakan realitas empirik yang sering kita jumpai beberapa tahun lalu meski akhir-akhir ini wacana tersebut agak redup akibat kalah isu dengan wacana politik, selebriti-infotainment dan bencana alam di berbagai pelosok tanah air. Namun begitu, bukan berarti perdebatan Islam di nusantara “stagnan”, justru dengan ramainya wacana tersebut, menjadikan perdebatan agama terus menguat dan kian ramai. Setidaknya hal itu ditandai dengan munculnya banyak kelompok kajian, aliran keagamaan, dan golongan-golongan dalam semua agama, khususnya di Islam.
Pada konteks semacam ini, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, realitas multikultural dalam Islam nusantara sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi. Atau, perspektif dikotomi Deliar Noer yaitu Islam tradisional dan modern. Dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan lain sebagainya. Sementara secara sosio-historis, hadirnya Islam di bumi nusantara juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa kita baca dalam sejarah masuknya Islam Nusantara yang dibawa oleh wali songo.
Kini, realitas multikultural tersebut kadangkala menantang kita untuk bisa bersikap lebih arif dan bijak. Pada satu sisi, misalnya, mungkin kita merasa bangga dengan munculnya banyak aliran, kelompok dan golongan dalam Islam, sehingga dengan leluasa bisa memilih dan bergabung dengan banyaknya aliran tersebut. Tapi, pada sisi lain sebagian kita pasti ada yang bingung dan resah akibat lahirnya banyak ragam kelompok dalam Islam di Indonesia belakangan ini. Seperti, Ahmadiyah, Lia Eden, Yusman Roy, JIL, JIMM, NU, Muhammadiyah, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan lain sebagainya. Hingga akhirnya, sebagian bersikap apatis dengan alasan tidak ingin terjebak konflik dan sebagian lain bersikap fanatik, eksklusif.
Memang, perbincangan Islam multikultural bukan wacana baru, sebelumnya sudah banyak pakar muslim dunia telah melakukan kajian ini. Dalam buku “Democratic Pluralism in Islam”, misalnya, Abdul Aziz Sachedina pernah merekam dan mengungkap wajah pluralistik Islam baik secara normatif dan historis. Bagi dia, secara normatif, sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits telah menjelaskan perlunya saling kenal mengenal (ta’aruf) antar suku bangsa dan agama (al-Hujurat:13). Bahkan, Hassan Hanafi pernah melontarkan kritik cerdas, yang dituangkan dalam kitab al-yasar al-islami (Kiri Islam), akan perlunya rekonstruksi pemikiran Islam dan pemihakan kaum tertindas akibat perbedaan status, gender dan kultur.
Selanjutnya, menjadikan wacana Islam multikultural sebagai topik menarik dan perlu disebar-luaskan setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi kondisi konfliktual. Di tengah-tengah situasi konfliktual seperti saat ini, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan kaum santri.
Kedua, realitas yang bhineka. Ke-bhineka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi bagi semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan damai kaum muslimin di negeri ini. Adalah Robert N. Bellah, ahli sosiologi agama dari Amerika, yang mengatakan bahwa melalui nabi Muhammad SAW di jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban “multikultural” yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu jazirah Arab. Sehingga, pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama sebagaimana diungkap Wilfred Cantwell Smith perlu terus dijaga dan dibudayakan.
Ketiga, norma agama. Agama sebagai sebuah ajaran luhur tentu menjadi dasar kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi tidak carut marut. Tafsir agama pun tentu bukan semata-mata mendasarkan pada teks tapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta’aqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal, dan aliran ta’abudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar yaitu aliran mu’tazilah dan aliran asy’ariyah bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.
Prospek Islam Multikultural
Di tengah situasi konflik akhir-akhir ini, masa depan Islam multikultural nampaknya bisa menjadi wacana alternatif atas problematika Islam kontemporer. Lebih-lebih di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, plural dan beragam suku, etnis, kultur, agama, adat istiadat dan bahasa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan institusi keagamaan lainnya di era multikultural seperti saat ini sudah seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator bukan instruktur. Fungsi koordinatif ketimbang instruktif bagi lembaga keagamaan di negeri ini menjadi penting karena dominasi salah satu pihak atau organisasi keagamaan akan menimbulkan konflik dan awal munculnya diskriminasi sosial. Secara langsung atau tidak langsung telah menghilangkan eksistensi salah satu pihak. Penghargaan atas pihak lain dengan jalan membuka dialog bersama guna membuat dan memutuskan kebijakan (decision making) menjadi penting. Tentu saja dalam persoalan-persoalan yang relevan dan erat kaitan dengan masalah hidup bersama.
Selain itu, pihak Negara sudah seharusnya tidak banyak ikut terlibat dalam urusan-urusan agama dan keluarga hingga yang sangat pribadi. Misal saja, soal poligami. Ramainya kembali isu poligami akibat berita menikahnya kembali A’a Gym dengan Teh Rini membuat Negara kembali campur tangan. Menurut hemat penulis, biarlah persoalan agama lebih banyak diserahkan kepada kaum agamawan, pemerintah sebaiknya hanya memberi pelayanan sebaik-baiknya dalam urusan-urusan publik bukan malah ikut campur tangan dalam agama hingga persoalan kecil.
Negara dan Agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan relasi agama-Negara, dan sinergi sebagai gerakan bersama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan sesuai visi UUD ‘45 dan Pancasila.
Akhirnya, gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lian (others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. ***
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Similar topics
» mengemis bukanlah tradisi islam, tetapi kebanyakan pengemis beragama islam
» Kapan Islam ini akan damai kalau msh menjustifikasi2 antara pemeluk islam
» Islam Conquer European Footbal - Islam Telah Menguasai Sepakbola Eropa
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
» Kapan Islam ini akan damai kalau msh menjustifikasi2 antara pemeluk islam
» Islam Conquer European Footbal - Islam Telah Menguasai Sepakbola Eropa
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik