kapan harus bicara, kapan harus menahan diri
Halaman 1 dari 1 • Share
kapan harus bicara, kapan harus menahan diri
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam." [HR. Bukhari-Muslim]
Apa yang akan terjadi apabila orang yang sedang dilanda emosi kita debat atau, lebih halus lagi daripada itu: kita nasihati? Kita mendebatnya atau bahkan menasihatinya, tentu dengan argumen ataupun petatah-petitih yang kita yakini kebenarannya, manakala kita berharap ia reda emosinya dan menerima apa-apa yang kita ucapkan, maka sebenamya harapan semacam ini lebih mungkin akan jauh panggang dari api. Sebab, yang sangat mungkin terjadi adalah ibarat menyiramkan bensin ke api, sontak akan semakin membara dan berakibat mernbakar segala-gala.
Mengapa demikian? Orang yang sedang marah jelas cenderung tidak siap menerima nasihat atau mendengar pendapat yang berseberangan dengan apa-apa yanq menjadi uneg-unegnya. Mentalnya saat itu tentu lebih disiapkan untuk memuaskan segala yang sedang bergolak di dalam dadanya.
Adapun tindakan yang paling pantas kita lakukan dalam keadaan demikian adalah berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan diri. Ya, kalaupun harus berucap, maka ucapan seperti: "Ya, saya maklum" atau "Saya dapat memahami perasaan Anda.", akan jauh lebih maslahat dan dapat sangat efektif meredakan emosinya ketimbang nasihat atau kata-kata kebenaran yang salah pasang.
Dengan demikian, dalam ikhtiar membermutukan lisan, setelah faktor keikhlasan sebagai kata kunci utama (baca "Lisan yang Bermutu"), faktor tujuan dan apa yang dikatakan harus sesuai kenyataan, sesungguhnya ada satu lagi faktor yang jangan sekali-kali diabaikan, yakni: waktu atau momentum yang tepat. Artinya, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah waktu dan kondisi, sehingga sesuai dengan keadaan yang membutuhkannya. Pendek kata, pilihlah kata-kata terbaik boleh waktu
Terbaik, tempat terbaik; agar kata-kata kita membawa hasil terbaik pula.
Mestikah Berbicara?
Ketahuilah, sebelum berkata-kata, sesungguhnya kata-kata itu tawanan kita. Akan tetapi, sesudah terlontar dari lisan, justeru kitalah yang ditawan oleh kata-kata sendiri. Buktinya? Betapa banyak orang yang sengsara, menanggung malu, terbebani batinnya, bahkan membuat nyawanya melayang. Semua itu gara-gara kata-kata yang salah ucap, yang keluar dari mulutnya sendiri. Begitu banyak contoh nyata dalam kejadian kesehari-hari yang bisa membuktikan semua ini.
Mungkin suatu ketika kita baca di koran berita tentang beberapa peiajar SMA yang terlibat pergaulan bebas dengan sesama teman sebayanya. Biasanya mulut ini begitu gatal untuk segera berkomentar, "Mareka sebenarnya adalah korban-korban dari ketidak-becusan para orang tuanya dalam mendidik anak-anaknya sendiri." Atau, kadang-kadang ketika berkumpul bersama teman-teman, tidak bisa tidak, kita sering dengan sadar dan bahkan dinikmati, terjebak dalam perbuatan ghibah, mengumbar-umbar aib dan keburukan orang lain, teman, atau bahkan beberapa sikap dan periaku orang tua sendiri yang dalam penilaian hawa nafsu kita, tidak kita sukai.
Nah, bila kita acap atau kerap kali senang menngelincirlan lisan ini ke dalam perbuatan-perbuatan demikian, maka pertanyaan yang harus segera diajukan terhadap diri sendiri adalah: Mestikah saya berbicara? Haruskah saya mengomentari masalah ini? Mengapa saya harus ikut-ikutan memberikan penilaian, pada kita sendiri mungkin tidak tahu permsalahan yang sebenarnya?
Subhanallah! Siapapun yang ingin memiliki lisan yang bermutu serta kata-kata yang mengandung kekuatan dahsyat untuk mengubah orang lain menjadi lebih baik, satu hal yang harus direnungkan, yakni bahwa kekuatan terbesar dari kata-kata kita adalah harus membuat orang senantiasa mendapatkan manfaat dari apapun yang kita ucapkan.
Kalau hanya sekedar berbicara, padahal kita sendiri tidak tahu akan membawa manfaat atau tidak maka sebaiknya diam saja. "Falyaqul khairan aw liyaskut!" demikian sabda Rasulullah SAW. Hendaklah berkata yang baik atau diam! Berkata itu bagus dan boleh boleh saja, namun diam itu jauh lebih bagus kalau toh kata- kata yang kita ucapkan akan tidak membawa manfaat.
Kalaupun kita memandang perlu unfuk berkata-kata-kata, maka sebaiknya berikan yang terbaik kepada orang yang mendengarkannya: kata-kata yang paling indah, paling tulus, paling bersih dari segala niat dan motivasi yang tidak lurus.
Sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Maha Pembolak-balik hati manusia. Sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk membalikkan hati manusia seketika, sehingga orang pun mungkin akan menyadari kesehari-hariannya sekiranya ia berbuat keliru. Dan yang akan jauh lebih mengesankan lagi adalah bila kata-kata yang kita ucapkan menjadi jalan turunnya hidayah dan taufiq-Nya ke dalam hati orang lain. Masya Allah, Dia pasti tidak akan pernah lalai untuk mencatat pahala yang teramat luar biasa bagi kita, tanpa mengurangi pahala yang diberikan-Nya kepada orang tersebut.
Karenanya usahakanlah kata-kata yang keluar dari lisan ini kita kemas sedemikian rupa, sehingga membawa manfaat dan maslahat baik bagi diri sendiri maupun bagi jalan hidup serta tumbuhnya motivasi, kehendak, ataupun tekad seseorang.
Hanya empat hal dari kata-kata yang paling tinggi nilai dan mutunya, yang seyogyanya keluar dari lisan kita, yakni: Ketika mendapat karunia nikmat, suruhlah llisan ini banyak berbunyi; bersyukur kepada Allah. Ketika ditimpa ditimpa musibah, segera suruh segera mulut ini untuk bersabar; inna lillaahi wa inna ilayhi raaji'uun. Ketika mendapat taufiq dari Allah berupa kemamapuan beribadah yang lebih baik daripada yang bisa dilakukan orang lain, suruh bunyi pula; yakini bahwa semua kemampuan ibadah kita adalah semata-mata berkat karunia dari Allah Azza wa Jalla. Ketika kita tergelincir berbuat dosa, lekas-lekas suruh lisan ini ber-istighfar memohon ampunan kepada Allah. Dan selebihnya adalah sikap hati-hati setiap kali lisan kita hendak berkata-kata.
Hendaknya kita tidak membiarkan mulut ini sembarang berbunyi. Daripada berakibat sengsara, lebih baik menahan diri. Sebab, jangankan menyampaikan nasihat, bukankah untuk bertanya saja dalam ajaran Islam demikian tinggi adabnya.
Misalnya, terhadap seseorang yang kita tahu suka melaksanakan shaum sunnah, kita bertanya, "Mas, anda sedang shaum?" Padahal di sekelingnya sedang banyak orang. Ini kan pertanyaan yang berat. Betapa tidak? Kalau orang tersebut menjawab, "Ya, saya shaum", hatinya mungkin bisa tergores-gores karena kekhawatirannya berbuat riya. Kalau ia menjawab tidak shaum, berarti dusta dan itu dosa sekaligus bisa menghilangkan pahala shaum-nya. Kalau memilih diam saja, bisa-bisa dianggap sombong. Demikian pula kalau hendak berdiplomasi saja, maka minimal ia akan kerepotan untuk mencari kata-kata yang tepat. Ini berarti pertanyaan kita membebani batin orang dan sekaligus: mubazir.
Ada seorang wanita yang bertubuh gemuk, kita tanya, "Berat badan Mbak berapa kilo?" Ah,buat apa bertanya semacam ini, karena pasti akan membebani perasaannya?
Atau, mendapati seorang terman yang orangtuanya ditimpa musibah bercerai, padahal teman tersebut sangat menutup-nutupinya, eh kita malah menanyainya, "Oh, sudah bercerai ya? Kapan bercerainya? Mengapa bercerai?" Untuk apa pertanyaan ini? Ini kata-kata yang mempersulit orang lain kendatipun kenyataannya memang demikian.
Oleh sebab itu, tidak heran kalau para ulama dan orang-orang yang shalih serta berkedudukan di sisi Allah, sangat hemat dengan kata-kata. Kendatipun, mungkin ilmunya sangat luas, pemahamannya begitu dalam dan jembar, hafal seluruh surat Al-Qurän dan ribuan hadits Nabi, telah menyusun berpuluh-puluh kitab yang monumental, ibadahnya begitu dahsyat, sementara akhlaknya pun demikian cemerlang.
Semua itu karena mereka sangat yakin bahwa kesia-siaan dalam berkata-kata pastilah akan mengundang syetan dan niscaya pula akan menyeretnya ke dalam jurang neraka Saqar [Q.S. Mudatstsir: 45].
"Tidaklah seseorang itu mendapatkan kesempurnaan hakikat keimanan", demikian sabda Rasulullah, "sehingga suka meninggalkan berbantah-bantahan sekalipun ia merasa di pihak yang benar." [H.R. Ibnu Abiddunya].
Walhasil, marilah kita tata lisan yang cuma satu-satunya ini. Percayalah, diam itu emas. Orang yang sanggup memelihara lisannya akan lebih kuat wibawanya daripada orang yang gemar menghambur-hamburkan kata-kata, tetapi kosong makna. Berusahalah senantiasa agar kata-kata yang kita ucapkan benar-benar bersih dari penambahan-penambahan dan rekayasa yang tiada artinya. Ukurlah selalu, di mana, kapan dan dengan siapa kita berbicara agar setiap kata yang terucap benar-benar bermutu dan tinggi maknanya.
Mudah-mudahan Allah Yang Maha Menyaksikan segala-gala senantiasa menolong kita agar selalu sadar bahwa rahasia kekuatan lisan yang bisa menggugah dan mengubah orang lain itu, berawal dari hati yang tulus ikhlas. Tidak rindu apa pun dari yang kita katakan, kecuali rindu kemuliaan bagi yang mendengarkannya, rindu demi senantiasa mulia dan tegaknya agama Allah, serta rindu agar segala yang kita ucapkan menjadi ladang amal shalih untuk bekal kepulangan kita ke akhirat kelak. Insya Allah! ***
Apa yang akan terjadi apabila orang yang sedang dilanda emosi kita debat atau, lebih halus lagi daripada itu: kita nasihati? Kita mendebatnya atau bahkan menasihatinya, tentu dengan argumen ataupun petatah-petitih yang kita yakini kebenarannya, manakala kita berharap ia reda emosinya dan menerima apa-apa yang kita ucapkan, maka sebenamya harapan semacam ini lebih mungkin akan jauh panggang dari api. Sebab, yang sangat mungkin terjadi adalah ibarat menyiramkan bensin ke api, sontak akan semakin membara dan berakibat mernbakar segala-gala.
Mengapa demikian? Orang yang sedang marah jelas cenderung tidak siap menerima nasihat atau mendengar pendapat yang berseberangan dengan apa-apa yanq menjadi uneg-unegnya. Mentalnya saat itu tentu lebih disiapkan untuk memuaskan segala yang sedang bergolak di dalam dadanya.
Adapun tindakan yang paling pantas kita lakukan dalam keadaan demikian adalah berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan diri. Ya, kalaupun harus berucap, maka ucapan seperti: "Ya, saya maklum" atau "Saya dapat memahami perasaan Anda.", akan jauh lebih maslahat dan dapat sangat efektif meredakan emosinya ketimbang nasihat atau kata-kata kebenaran yang salah pasang.
Dengan demikian, dalam ikhtiar membermutukan lisan, setelah faktor keikhlasan sebagai kata kunci utama (baca "Lisan yang Bermutu"), faktor tujuan dan apa yang dikatakan harus sesuai kenyataan, sesungguhnya ada satu lagi faktor yang jangan sekali-kali diabaikan, yakni: waktu atau momentum yang tepat. Artinya, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah waktu dan kondisi, sehingga sesuai dengan keadaan yang membutuhkannya. Pendek kata, pilihlah kata-kata terbaik boleh waktu
Terbaik, tempat terbaik; agar kata-kata kita membawa hasil terbaik pula.
Mestikah Berbicara?
Ketahuilah, sebelum berkata-kata, sesungguhnya kata-kata itu tawanan kita. Akan tetapi, sesudah terlontar dari lisan, justeru kitalah yang ditawan oleh kata-kata sendiri. Buktinya? Betapa banyak orang yang sengsara, menanggung malu, terbebani batinnya, bahkan membuat nyawanya melayang. Semua itu gara-gara kata-kata yang salah ucap, yang keluar dari mulutnya sendiri. Begitu banyak contoh nyata dalam kejadian kesehari-hari yang bisa membuktikan semua ini.
Mungkin suatu ketika kita baca di koran berita tentang beberapa peiajar SMA yang terlibat pergaulan bebas dengan sesama teman sebayanya. Biasanya mulut ini begitu gatal untuk segera berkomentar, "Mareka sebenarnya adalah korban-korban dari ketidak-becusan para orang tuanya dalam mendidik anak-anaknya sendiri." Atau, kadang-kadang ketika berkumpul bersama teman-teman, tidak bisa tidak, kita sering dengan sadar dan bahkan dinikmati, terjebak dalam perbuatan ghibah, mengumbar-umbar aib dan keburukan orang lain, teman, atau bahkan beberapa sikap dan periaku orang tua sendiri yang dalam penilaian hawa nafsu kita, tidak kita sukai.
Nah, bila kita acap atau kerap kali senang menngelincirlan lisan ini ke dalam perbuatan-perbuatan demikian, maka pertanyaan yang harus segera diajukan terhadap diri sendiri adalah: Mestikah saya berbicara? Haruskah saya mengomentari masalah ini? Mengapa saya harus ikut-ikutan memberikan penilaian, pada kita sendiri mungkin tidak tahu permsalahan yang sebenarnya?
Subhanallah! Siapapun yang ingin memiliki lisan yang bermutu serta kata-kata yang mengandung kekuatan dahsyat untuk mengubah orang lain menjadi lebih baik, satu hal yang harus direnungkan, yakni bahwa kekuatan terbesar dari kata-kata kita adalah harus membuat orang senantiasa mendapatkan manfaat dari apapun yang kita ucapkan.
Kalau hanya sekedar berbicara, padahal kita sendiri tidak tahu akan membawa manfaat atau tidak maka sebaiknya diam saja. "Falyaqul khairan aw liyaskut!" demikian sabda Rasulullah SAW. Hendaklah berkata yang baik atau diam! Berkata itu bagus dan boleh boleh saja, namun diam itu jauh lebih bagus kalau toh kata- kata yang kita ucapkan akan tidak membawa manfaat.
Kalaupun kita memandang perlu unfuk berkata-kata-kata, maka sebaiknya berikan yang terbaik kepada orang yang mendengarkannya: kata-kata yang paling indah, paling tulus, paling bersih dari segala niat dan motivasi yang tidak lurus.
Sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Maha Pembolak-balik hati manusia. Sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk membalikkan hati manusia seketika, sehingga orang pun mungkin akan menyadari kesehari-hariannya sekiranya ia berbuat keliru. Dan yang akan jauh lebih mengesankan lagi adalah bila kata-kata yang kita ucapkan menjadi jalan turunnya hidayah dan taufiq-Nya ke dalam hati orang lain. Masya Allah, Dia pasti tidak akan pernah lalai untuk mencatat pahala yang teramat luar biasa bagi kita, tanpa mengurangi pahala yang diberikan-Nya kepada orang tersebut.
Karenanya usahakanlah kata-kata yang keluar dari lisan ini kita kemas sedemikian rupa, sehingga membawa manfaat dan maslahat baik bagi diri sendiri maupun bagi jalan hidup serta tumbuhnya motivasi, kehendak, ataupun tekad seseorang.
Hanya empat hal dari kata-kata yang paling tinggi nilai dan mutunya, yang seyogyanya keluar dari lisan kita, yakni: Ketika mendapat karunia nikmat, suruhlah llisan ini banyak berbunyi; bersyukur kepada Allah. Ketika ditimpa ditimpa musibah, segera suruh segera mulut ini untuk bersabar; inna lillaahi wa inna ilayhi raaji'uun. Ketika mendapat taufiq dari Allah berupa kemamapuan beribadah yang lebih baik daripada yang bisa dilakukan orang lain, suruh bunyi pula; yakini bahwa semua kemampuan ibadah kita adalah semata-mata berkat karunia dari Allah Azza wa Jalla. Ketika kita tergelincir berbuat dosa, lekas-lekas suruh lisan ini ber-istighfar memohon ampunan kepada Allah. Dan selebihnya adalah sikap hati-hati setiap kali lisan kita hendak berkata-kata.
Hendaknya kita tidak membiarkan mulut ini sembarang berbunyi. Daripada berakibat sengsara, lebih baik menahan diri. Sebab, jangankan menyampaikan nasihat, bukankah untuk bertanya saja dalam ajaran Islam demikian tinggi adabnya.
Misalnya, terhadap seseorang yang kita tahu suka melaksanakan shaum sunnah, kita bertanya, "Mas, anda sedang shaum?" Padahal di sekelingnya sedang banyak orang. Ini kan pertanyaan yang berat. Betapa tidak? Kalau orang tersebut menjawab, "Ya, saya shaum", hatinya mungkin bisa tergores-gores karena kekhawatirannya berbuat riya. Kalau ia menjawab tidak shaum, berarti dusta dan itu dosa sekaligus bisa menghilangkan pahala shaum-nya. Kalau memilih diam saja, bisa-bisa dianggap sombong. Demikian pula kalau hendak berdiplomasi saja, maka minimal ia akan kerepotan untuk mencari kata-kata yang tepat. Ini berarti pertanyaan kita membebani batin orang dan sekaligus: mubazir.
Ada seorang wanita yang bertubuh gemuk, kita tanya, "Berat badan Mbak berapa kilo?" Ah,buat apa bertanya semacam ini, karena pasti akan membebani perasaannya?
Atau, mendapati seorang terman yang orangtuanya ditimpa musibah bercerai, padahal teman tersebut sangat menutup-nutupinya, eh kita malah menanyainya, "Oh, sudah bercerai ya? Kapan bercerainya? Mengapa bercerai?" Untuk apa pertanyaan ini? Ini kata-kata yang mempersulit orang lain kendatipun kenyataannya memang demikian.
Oleh sebab itu, tidak heran kalau para ulama dan orang-orang yang shalih serta berkedudukan di sisi Allah, sangat hemat dengan kata-kata. Kendatipun, mungkin ilmunya sangat luas, pemahamannya begitu dalam dan jembar, hafal seluruh surat Al-Qurän dan ribuan hadits Nabi, telah menyusun berpuluh-puluh kitab yang monumental, ibadahnya begitu dahsyat, sementara akhlaknya pun demikian cemerlang.
Semua itu karena mereka sangat yakin bahwa kesia-siaan dalam berkata-kata pastilah akan mengundang syetan dan niscaya pula akan menyeretnya ke dalam jurang neraka Saqar [Q.S. Mudatstsir: 45].
"Tidaklah seseorang itu mendapatkan kesempurnaan hakikat keimanan", demikian sabda Rasulullah, "sehingga suka meninggalkan berbantah-bantahan sekalipun ia merasa di pihak yang benar." [H.R. Ibnu Abiddunya].
Walhasil, marilah kita tata lisan yang cuma satu-satunya ini. Percayalah, diam itu emas. Orang yang sanggup memelihara lisannya akan lebih kuat wibawanya daripada orang yang gemar menghambur-hamburkan kata-kata, tetapi kosong makna. Berusahalah senantiasa agar kata-kata yang kita ucapkan benar-benar bersih dari penambahan-penambahan dan rekayasa yang tiada artinya. Ukurlah selalu, di mana, kapan dan dengan siapa kita berbicara agar setiap kata yang terucap benar-benar bermutu dan tinggi maknanya.
Mudah-mudahan Allah Yang Maha Menyaksikan segala-gala senantiasa menolong kita agar selalu sadar bahwa rahasia kekuatan lisan yang bisa menggugah dan mengubah orang lain itu, berawal dari hati yang tulus ikhlas. Tidak rindu apa pun dari yang kita katakan, kecuali rindu kemuliaan bagi yang mendengarkannya, rindu demi senantiasa mulia dan tegaknya agama Allah, serta rindu agar segala yang kita ucapkan menjadi ladang amal shalih untuk bekal kepulangan kita ke akhirat kelak. Insya Allah! ***
Segoroasin- SERSAN SATU
-
Posts : 100
Join date : 13.12.11
Reputation : 1
Similar topics
» 19 dan FD, kenapa Maryam harus MELARIKAN DIRI dari KELUARGANYA?
» JK: soal GKI Jasmin, kristen harus tahu diri, kalian sudah punya puluhan ribu gereja
» ajal bisa menjemput kapan saja, dimana saja, dalam keadaan apapun dan bisa jadi itu adalah yang tersayang, entah itu orang atau bayi atau diri kita
» kapan memusuhi kafir, kapan bekerja sama dengan kafir
» Wanita Cantik dan Menahan Pandangan
» JK: soal GKI Jasmin, kristen harus tahu diri, kalian sudah punya puluhan ribu gereja
» ajal bisa menjemput kapan saja, dimana saja, dalam keadaan apapun dan bisa jadi itu adalah yang tersayang, entah itu orang atau bayi atau diri kita
» kapan memusuhi kafir, kapan bekerja sama dengan kafir
» Wanita Cantik dan Menahan Pandangan
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik