tafsir Qs sajdah 24 meraih kepemimpinan dalam islam
Halaman 1 dari 1 • Share
tafsir Qs sajdah 24 meraih kepemimpinan dalam islam
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوْقِنُوْنَ
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
أَئِمَّةً
A`immah (para pemimpin), adalah jamak dari imam.
Maknanya adalah panutan atau contoh yang diikuti baik dalam kebaikan maupun keburukan. Namun yang dimaksud di dalam ayat ini adalah panutan dan penuntun dalam hal kebaikan. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: Mereka adalah ulama yang mengerti syariat.
يَهْدُوْنَ
Mereka mengajak, memberi hidayah kepada dirinya dan kepada orang lain.
بِأَمْرِنَا
Berdasarkan perintah Kami, kepada mereka.
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata: “Berdasarkan izin Kami dan Kami kuatkan mereka.”
لَمَّا صَبَرُوا
Ketika mereka bersabar. Terjadi perbedaan di kalangan ahli qira`ah dalam membaca lafadz ini. Ada yang membacanya (لَمَّا) dengan lam yang difathah dan mim yang difathah dengan tasydid. Bacaan ini merupakan bacaan ahli qira`ah dari Madinah, Bashrah, dan sebagian ulama Kufah. Maknanya adalah: Ketika mereka bersabar.
Ada pula yang membaca (لِمَا) dengan lam yang dikasrah dan mim tanpa tasydid. Ini adalah bacaan Yahya, Hamzah, Al-Kisa`i, Khalaf, dan yang lainnya. Maka lafadz ini bermakna: Disebabkan karena kesabaran mereka. Dan disebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud membaca dengan (بِمَا صَبَرُوا). (lihat Tafsir Ath-Thabari, 21/113)
Kandungan Ayat
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ketika mereka (ahli kitab) bersabar terhadap perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, membenarkan para rasul-Nya, serta mengikuti apa-apa yang mereka bawa, sehingga di antara mereka ada yang menjadi pemimpin yang senantiasa membimbing kepada kebenaran berdasarkan aturan Allah, mengajak kepada kebaikan, beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
Namun ketika mereka mengubah agamanya dan menakwilkan maknanya, kedudukan inipun dihilangkan dari mereka. Hati mereka kemudian berubah menjadi keras, mereka ubah firman-firman-Nya dari tempat yang semestinya. Maka lenyaplah amalan shalih dan aqidah yang benar.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/464)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Kami menjadikan mereka, yakni kalangan Bani Israil, sebagai pemimpin yang membimbing berdasarkan aturan Kami. Mereka adalah para ulama yang memahami syariat dan jalan-jalan hidayah. Mereka mendapat petunjuk dan membimbing orang lain dengan petunjuk itu. Maka kitab yang diturunkan kepada mereka adalah hidayah. Dan kaum mukminin dari mereka terbagi menjadi dua: para pemimpin yang membimbing berdasarkan aturan Allah, dan para pengikutnya yang terbimbing oleh mereka.
Adapun yang pertama: derajatnya lebih tinggi -setelah derajat kenabian dan kerasulan- yaitu derajat para shiddiqin. Mereka mencapai derajat mulia ini di saat mereka bersabar untuk senantiasa belajar dan mengajar, berdakwah menuju jalan Allah, dan bersabar dalam menghadapi berbagai gangguan di jalan-Nya. Serta mereka mencegah diri-diri mereka dari berbagai kemaksiatan dan terlena dalam buaian syahwat.
وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوْقِنُوْنَ
“Dan mereka senantiasa yakin dengan ayat-ayat Kami,”
Yaitu mereka mencapai derajat iman terhadap ayat-ayat Allah menuju derajat yakin, yaitu ilmu yang sempurna yang membuahkan amalan. Mereka mencapai derajat yakin, disebabkan karena mereka belajar dengan benar dan mengambil berbagai permasalahan dari dalil-dalilnya. Maka mereka senantiasa mempelajari berbagai permasalahan dan berdalil dengannya, dengan berbagai macam bukti, sehingga mencapai keyakinan. Maka dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan agama akan diperoleh.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan maka diperoleh kepemimpinan dalam agama.” Ada yang mengatakan: Bersabar dari dunia. Ada pula yang berkata: Bersabar di atas segala cobaan. Ada lagi yang mengatakan: Bersabar dari segala larangan-Nya.
Yang benar, yang dimaksud dengan kesabaran adalah bersabar dari semuanya, bersabar dalam menjalankan kewajiban dari Allah, bersabar dari perbuatan haram, dan bersabar menghadapi ketentuan taqdir-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menggabungkan antara sabar dan yakin, sebab keduanya merupakan kebahagiaan seorang hamba, dan hilangnya dua hal itu akan meyebabkan hilangnya kebahagiaan.
Karena sesungguhnya hati selalu diketuk dengan berbagai syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan dengan berbagai syubhat yang menyelisihi berita-berita-Nya. Maka dengan kesabaran, syahwat tertolak; dan dengan keyakinan, syubhat tersingkirkan. Karena syahwat dan syubhat merupakan lawan agama dari berbagai sisi.
Sehingga tidak ada yang terselamatkan dari siksa Allah kecuali orang yang mampu menolak syahwatnya dengan kesabaran dan menolak syubhat dengan keyakinan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang terhapusnya amalan para pengikut syahwat dan ahli (pengikut) syubhat, dalam firman-Nya:
كَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi.” (At-Taubah:69)
Yang dimaksud menikmati bagian mereka adalah menikmati bagiannya dari syahwat, lalu Allah menyatakan: Dan kamu memperbincangkan hal yang batil seperti yang mereka perbincangkan. Ini adalah pembicaraan dengan cara yang batil dalam agama Allah, pembicaraan ahli syubhat. Kemudian Allah menyatakan: Mereka itulah yang dihapuskan amalan mereka di dunia dan di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang merugi. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menyandarkan terhapusnya amalan dan mendapatkan kerugian dengan mengikuti syahwat dan syubhat. (Risalah Ibnul Qayyim, hal. 16-17)
Berjihad Melawan Setan
Sesungguhnya Allah telah menjadikan setan sebagai musuh bagi para Nabi dan kaum mukminin. Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا وَلَوْ شآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”(Al-An’am: 112)
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Maka ayat yang mulia ini menyebutkan adanya dua senjata ampuh untuk menghadapinya, yaitu sabar dan yakin.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan dalam kitabnya Zadul Ma’ad bahwa berjihad melawan setan terdiri dari dua bagian:
Pertama: Berjihad melawannya dengan cara menolak syubhat dan berbagai keraguan yang dapat merusak keimanan yang dilemparkan kepada seorang hamba.
Kedua: Berjihad melawannya dengan cara menolak berbagai kehendak yang rusak dan syahwat yang dilemparkan kepada seorang hamba.
Jihad yang pertama akan menghasilkan keyakinan dan jihad yang kedua menghasilkan kesabaran. (Zadul Ma’ad, 3/10)
Maka seorang muslim hendaknya berusaha sekuat mungkin untuk melawan dua senjata setan yang telah menyebabkan banyak dari kalangan manusia menyimpang dari jalan Allah. Jika tidak, maka setan akan menghunjamkan salah satu senjata yang dimilikinya itu atau bahkan kedua-duanya. Sehingga dengan berbagai macam fitnah syubhat dan syahwat, hatinya tertutupi dari menerima hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوْبِ عَرْضَ الْحَصِيْرِ عُوْدًا عُوْدًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَتْ فِيْهش نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَتْ فِيْهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى يَصِيْرَ الْقَلْبُ أَبْيَضَ مِثْلَ الصَّفَا لاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ وَاْلآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَدًّا كَالْكُوْزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوْفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
“Dilekatkan berbagai fitnah kepada hati-hati (manusia), seperti anyaman tikar sehelai demi sehelai. Maka hati mana saja menyukainya, maka diberi titik berupa satu titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya, maka diberi titik dengan satu titik putih. Sehingga ada yang hatinya berwarna putih seperti batu licin berwarna putih, tidak dimudharatkan oleh fitnah selama bumi dan langit masih ada. Dan hati yang lain berwarna hitam keruh, seperti gelas terbalik. Dia tidak mengenal yang ma’ruf, dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali yang dimasuki oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah radhiallahu 'anhu)
Menangkal Syubhat dan Syahwat
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa senjata setan dalam menyebarkan fitnah terdiri dari dua macam: fitnah syubhat dan fitnah syahwat, di mana fitnah syubhat adalah yang terbesar. Terkadang kedua fitnah ini dapat bercokol pada diri seorang hamba dan terkadang pula salah satunya.
Adapun fitnah syubhat disebabkan karena lemahnya wawasan dan dangkalnya ilmu dien (agama). Terlebih lagi jika dibarengi adanya maksud jelek, munculnya hawa nafsu, sehingga yang menjadi hakim adalah hawa nafsu, dan bukan petunjuk, sebagaimana yang difirmankan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى اْلإِيْمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah: 23)
Sungguh Allah telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu menjadi sebab tersesatnya seseorang dari jalan Allah. Firman-Nya:
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ إِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)
Setelah menyebut ayat ini, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Akibat fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Ini adalah fitnah yang dialami kaum munafik dan ahli bid’ah sesuai tingkat kebid’ahannya. Secara keseluruhan, tidaklah mereka berbuat bid’ah melainkan dikarenakan terkena berbagai fitnah syubhat yang menyebabkan tersamarnya kebenaran dan kebatilan, dan antara petunjuk dan kesesatan.
Tidak ada yang dapat menyelamatkan dari fitnah ini melainkan dengan cara memurnikan sikap ittiba’ (senantiasa mengikuti) kepada Rasul. Menjadikannya sebagai hakim dalam seluruh perkara agama, yang jelas maupun yang pelik, yang nampak maupun yang tersembunyi, baik yang mencakup masalah aqidah, amalan, prinsip, dan syariatnya. Maka diambil ilmu dari Rasul dalam perkara hakekat keimanan, syariat Islam, dan apa-apa yang ditetapkan Allah dari sifat, perbuatan, nama-nama-Nya, dan apa-apa yang dinafikan darinya.
Sebagaimana diambilnya ilmu darinya dalam perkara kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah rakaatnya. Demikian pula ketentuan dalam membayar zakat, orang-orang yang berhak menerimanya. Juga tentang wajibnya wudhu dan mandi dari junub, berpuasa di bulan Ramadhan. Maka jangan dia menjadikannya sebagai Rasul dalam sebagian perkara, namun tidak pada sebagian perkara agama yang lain. Tetapi beliau adalah seorang rasul dalam setiap perkara, di mana umat sangat membutuhkannya dalam berilmu dan beramal.
Tidak boleh diambil agama kecuali darinya, karena petunjuk seluruhnya bersumber di antara ucapan dan perbuatannya. Dan setiap apa yang menyimpang darinya maka itu adalah kesesatan. Hatinya terikat di atas hal tersebut dan berpaling dari yang lainnya dan menimbangnya berdasarkan apa yang dibawa Rasul. Jika sesuai dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menerimanya. Dan dia menerimanya bukan karena ucapan orang tersebut, melainkan karena mencocoki Rasul. Dan jika bertentangan dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menolaknya, siapapun yang mengatakannya. Maka inilah yang dapat menyelamatkannya dari fitnah syubhat.
Jika ia tidak memperoleh hal itu, maka dia akan terjerumus ke dalam fitnah sesuai kadar dia meninggalkan (As-Sunnah). Fitnah ini terkadang muncul dari pemahaman yang rusak, terkadang dari nukilan seorang pendusta, dan terkadang dari kebenaran yang tersamarkan atasnya dan belum menemukannya. Terkadang pula dari adanya tendensi yang rusak, hawa nafsu yang diikuti, sehingga dia menjadi buta dalam berilmu dan rusak dalam kehendaknya.
Adapun yang kedua adalah fitnah syahwat. Di mana Allah telah mengumpulkan kedua fitnah tersebut dalam firman-Nya yang telah lalu yaitu:
كَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi.”(At-Taubah:69).
Maka ayat ini mengisyaratkan kepada apa yang terjadi dari rusaknya hati dan keyakinan dengan sebab menikmati bagian (syahwatnya) dan tenggelam dalam kebatilan yaitu syubhat.
Sebab rusaknya agama terkadang disebabkan karena keyakinan batil yang bercokol atau beramal menyelisihi ilmu yang benar. Maka yang pertama adalah bid’ah dan segala yang berhubungan dengannya, dan yang kedua adalah kefasikan dalam beramal. Yang pertama datangnya dari arah syubhat sedangkan yang kedua datangnya dari arah syahwat. Oleh karena itu para ulama Salaf mengatakan:
احْذَرُوا مِنَ النَّاسِ صِنْفَيْنِ: صَاحِبَ هَوَى قَدْ فَتَنَهُ هَوَاهُ وَصَاحِبَ دُنْيَا أَعْمَتْهُ دُنْيَاهُ
“Hati-hatilah dari dua jenis manusia: pengikut hawa nafsu yang telah terfitnah oleh hawa nafsunya dan hamba dunia yang telah dibutakan oleh dunianya.”
Mereka juga mengatakan: “Hati-hatilah dari terfitnahnya seorang alim yang fajir dan ahli ibadah yang jahil. Karena sesungguhnya fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah.”
Sumber dari setiap fitnah adalah mendahulukan ra`yu (akal) daripada syariat dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal. Maka yang pertama merupakan sumber fitnah syubhat, sedangkan yang kedua merupakan sumber fitnah syahwat. Maka fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Maka dari itulah Allah menjadikan kepemimpinan dalam agama disandarkan kepada dua perkara ini.” (Lihat Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/165-167).
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Similar topics
» kepemimpinan islam
» kepemimpinan umat islam di malaysia
» Kepemimpinan Muhammad dan Dampaknya bagi Islam dan Muslim
» Islam itu FLEKSIBEL dalam ketegasan dan TEGAS dalam kefleksibelan
» meraih kemuliaan dengan islam
» kepemimpinan umat islam di malaysia
» Kepemimpinan Muhammad dan Dampaknya bagi Islam dan Muslim
» Islam itu FLEKSIBEL dalam ketegasan dan TEGAS dalam kefleksibelan
» meraih kemuliaan dengan islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik