mengenal tayamum
Halaman 1 dari 1 • Share
mengenal tayamum
Tayammum disyariatkan berdasarkan Alquran dan sunah. Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu ...." (An-Nisa: 43).
Rasulullah saw. bersabda, "Tanah adalah wudu seorang muslim jika tidak mendapatkan air kendati selama sepuluh tahun." (HR An-Nasai dan Ibnu Hibban).
Rasulullah saw. juga bersabda, "Seluruh tanah di bumi dijadikan sebagai tempat sujud dan bersuci bagiku dan umatku. Maka, di mana saja waktu salat menghampiri seseorang dari umatku, tanah dapat menyucikannya." (HR Ahmad).
Sebab Disyariatkannya Tayamum
Diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata, "Kami bepergian bersama dengan Nabi dalam suatu perjalanan. Ketika kami sampai di Baida', kalungku hilang. Karena itu, Nabi berhenti untuk mencarinya. Begitu pula seluruh rombongan turut berhenti bersama dengan beliau. Sedangkan di tempat itu tidak ada air, dan mereka tidak membawa air. Mereka mendatangi Abu Bakar, lalu berkata, 'Tidakkah engkau memperhatikan Aisyah? Karena ulahnya, Nabi dan para sahabat berhenti, padahal di sini tidak ada air, dan rombongan tidak membawa air.' Lalu Abu Bakar mendatangiku, sedangkan Rasulullah tertidur dengan kepalanya berada di atas pahaku. Kemudian Abu Bakar mengata-ngataiku sepuas hatinya, sehingga ditusuknya rusukku dengan tangannya. Aku tak dapat bergerak karena Nabi tidur di pahaku. Beliau tertidur sampai subuh tanpa air. Kemudian Allah menurunkan ayat tayamum, 'Maka, hendaklah kalian bertayamum,' Usaid bin Hudhair berkata, 'Ini bukanlah berkah yang pertama darimu, wahai keluarga Abu Bakar'." Selanjutnya Aisyah berkata, "Ketika unta kami suruh berdiri, kami dapati kalungku berada di bawah unta itu." (HR Jamaah, kecuali Tirmizi).
Orang yang Diperbolehkan Bertayamum
Tayamum diperbolehkan bagi orang yang tidak mendapatkan air setelah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya, atau ada air namun tidak bisa menggunakannya karena sakit, atau khawatir jika menggunakan air maka sakitnya akan bertambah parah dan menghambat kesembuhannya, atau seseorang yang tidak dapat bergerak dan tidak ada orang yang bisa memberikan air kepadanya.
Hal-Hal yang Bisa Dipergunakan untuk Tayamum
Dalam bertayammum, diperbolehkan menggunakan debu yang suci dan segala sesuatu yang sejenis dengan tanah, seperti kerikil, batu, atau kapur. Allah berfirman, "Maka, bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)." (An-Nisa: 43).
Para ahli bahasa sepakat bahwa kata ash-sha'id memiliki arti permukaan tanah, baik berupa debu atau yang lainnya.
Hal-Hal yang Diwajibkan ketika Tayamum
1. Niat. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan." (HR Bukhari).
2. Menggunakan tanah yang suci. Allah berfirman, "... maka, bertayamumlah kamu dengan tanah yang suci ...." (An-Nisa: 43).
3. Sekali tepuk (sentuh), maksudnya adalah ketika meletakkan kedua tangannya di atas tanah.
4. Mengusap wajah dan kedua telapak tangan. Allah berfirman, "... maka sapulah muka dan kedua tangan kalian." (An-Nisa: 43).
Hal-Hal yang Membatalkan Tayamum
1. Semua hal yang membatalkan wudu, karena tayamum merupakan pengganti wudu.
2. Apabila mendapatkan air sebelum mengerjakan salat, atau sedang mengerjakan salat. Rasulullah saw. bersabda, "Debu itu cukup bagimu untuk bersuci selama kamu tidak mendapatkan air. Apabila kamu telah mendapatkan air, maka usapkanlah ia ke kulitmu." (HR Abu Dawud). Namun, apabila seseorang baru mendapatkan air setelah ia selesai mengerjakan salat, ia tidak perlu mengulanginya kembali. Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian mengerjakan satu salat (fardu) dua kali dalam sehari." (HR An-Nasai, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hiban).
Hal-Hal yang Boleh Dilakukan setelah Bertayamum
Orang yang bertayamum diperbolehkan baginya untuk melakukan hal-hal yang boleh dilakukan oleh seseorang yang telah berwudu atau mandi, seperti salat, membaca Alquran atau menyentuhnya, thawaf, atau berdiam di masjid.
Cara Bertayamum
Tayamum dilakukan dengan cara menepukkan kedua tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusapkannya ke wajah, kemudian pada kedua tangan. Rasulullah saw. bersabda, "Sebenarnya cukup bagimu begini, seraya menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu mengusapkannya ke wajah, kemudian kepada ke dua tangannya."
Bila seseorang bertayamum dengan lebih dari satu kali tepukan, hal itu diperbolehkan. Dan, jika seseorang mengusap tangannya melebihi batas pergelangan, hal itu pun tetap dibenarkan.
Sumber: Diadaptasi dari kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dan Al-Jami' fi Fiqhin Nisa' karya Syekh Kamil Muhammad 'Uwaidah
Rasulullah saw. bersabda, "Tanah adalah wudu seorang muslim jika tidak mendapatkan air kendati selama sepuluh tahun." (HR An-Nasai dan Ibnu Hibban).
Rasulullah saw. juga bersabda, "Seluruh tanah di bumi dijadikan sebagai tempat sujud dan bersuci bagiku dan umatku. Maka, di mana saja waktu salat menghampiri seseorang dari umatku, tanah dapat menyucikannya." (HR Ahmad).
Sebab Disyariatkannya Tayamum
Diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata, "Kami bepergian bersama dengan Nabi dalam suatu perjalanan. Ketika kami sampai di Baida', kalungku hilang. Karena itu, Nabi berhenti untuk mencarinya. Begitu pula seluruh rombongan turut berhenti bersama dengan beliau. Sedangkan di tempat itu tidak ada air, dan mereka tidak membawa air. Mereka mendatangi Abu Bakar, lalu berkata, 'Tidakkah engkau memperhatikan Aisyah? Karena ulahnya, Nabi dan para sahabat berhenti, padahal di sini tidak ada air, dan rombongan tidak membawa air.' Lalu Abu Bakar mendatangiku, sedangkan Rasulullah tertidur dengan kepalanya berada di atas pahaku. Kemudian Abu Bakar mengata-ngataiku sepuas hatinya, sehingga ditusuknya rusukku dengan tangannya. Aku tak dapat bergerak karena Nabi tidur di pahaku. Beliau tertidur sampai subuh tanpa air. Kemudian Allah menurunkan ayat tayamum, 'Maka, hendaklah kalian bertayamum,' Usaid bin Hudhair berkata, 'Ini bukanlah berkah yang pertama darimu, wahai keluarga Abu Bakar'." Selanjutnya Aisyah berkata, "Ketika unta kami suruh berdiri, kami dapati kalungku berada di bawah unta itu." (HR Jamaah, kecuali Tirmizi).
Orang yang Diperbolehkan Bertayamum
Tayamum diperbolehkan bagi orang yang tidak mendapatkan air setelah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya, atau ada air namun tidak bisa menggunakannya karena sakit, atau khawatir jika menggunakan air maka sakitnya akan bertambah parah dan menghambat kesembuhannya, atau seseorang yang tidak dapat bergerak dan tidak ada orang yang bisa memberikan air kepadanya.
Hal-Hal yang Bisa Dipergunakan untuk Tayamum
Dalam bertayammum, diperbolehkan menggunakan debu yang suci dan segala sesuatu yang sejenis dengan tanah, seperti kerikil, batu, atau kapur. Allah berfirman, "Maka, bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)." (An-Nisa: 43).
Para ahli bahasa sepakat bahwa kata ash-sha'id memiliki arti permukaan tanah, baik berupa debu atau yang lainnya.
Hal-Hal yang Diwajibkan ketika Tayamum
1. Niat. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan." (HR Bukhari).
2. Menggunakan tanah yang suci. Allah berfirman, "... maka, bertayamumlah kamu dengan tanah yang suci ...." (An-Nisa: 43).
3. Sekali tepuk (sentuh), maksudnya adalah ketika meletakkan kedua tangannya di atas tanah.
4. Mengusap wajah dan kedua telapak tangan. Allah berfirman, "... maka sapulah muka dan kedua tangan kalian." (An-Nisa: 43).
Hal-Hal yang Membatalkan Tayamum
1. Semua hal yang membatalkan wudu, karena tayamum merupakan pengganti wudu.
2. Apabila mendapatkan air sebelum mengerjakan salat, atau sedang mengerjakan salat. Rasulullah saw. bersabda, "Debu itu cukup bagimu untuk bersuci selama kamu tidak mendapatkan air. Apabila kamu telah mendapatkan air, maka usapkanlah ia ke kulitmu." (HR Abu Dawud). Namun, apabila seseorang baru mendapatkan air setelah ia selesai mengerjakan salat, ia tidak perlu mengulanginya kembali. Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian mengerjakan satu salat (fardu) dua kali dalam sehari." (HR An-Nasai, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hiban).
Hal-Hal yang Boleh Dilakukan setelah Bertayamum
Orang yang bertayamum diperbolehkan baginya untuk melakukan hal-hal yang boleh dilakukan oleh seseorang yang telah berwudu atau mandi, seperti salat, membaca Alquran atau menyentuhnya, thawaf, atau berdiam di masjid.
Cara Bertayamum
Tayamum dilakukan dengan cara menepukkan kedua tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusapkannya ke wajah, kemudian pada kedua tangan. Rasulullah saw. bersabda, "Sebenarnya cukup bagimu begini, seraya menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu mengusapkannya ke wajah, kemudian kepada ke dua tangannya."
Bila seseorang bertayamum dengan lebih dari satu kali tepukan, hal itu diperbolehkan. Dan, jika seseorang mengusap tangannya melebihi batas pergelangan, hal itu pun tetap dibenarkan.
Sumber: Diadaptasi dari kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dan Al-Jami' fi Fiqhin Nisa' karya Syekh Kamil Muhammad 'Uwaidah
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: mengenal tayamum
Penjelasan tentang wudhu dan perkara-perkara yang bersangkutan dengannya telah kita ketahui dan telah lewat pembahasannya. Permasalahan berikutnya adalah masalah tayammum dan beberapa perkara yang berhubungan dengannya. Adapun syariat tayammum ini Allah k yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin mensucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
Tayammum Khusus bagi
Umat Muhammad n
Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad n, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah n dalam sabda beliau:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah k berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (Al-Majmu’ 2/239)
Pengertian Tayammum
Tayammum secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja”. Sedangkan makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/ debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat”, sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539)
Tata Cara Tayammum
‘Ammar bin Yasir c berkata: “Nabi n mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi n dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya1, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah n memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi:
وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dari hadits Ammar c di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
1. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan
2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
3. Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.
Berniat
Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan.
Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (Al Majmu’, 2/254)
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata: “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i2 dan Al-Hasan bin Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158)
Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali Pukulan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269-270, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-2). Dan ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.
Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar c dari Rasulullah n:
التَّيَمُمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)
Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar c. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya (At-Talkhis 1/237, Adhwa` ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib (hal. 341): “Dha’if.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/ tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits Al-Anshari3 dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (Fathul Bari, 1/554). Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam At-Talkhis 1/236-240 no.206-208.
Al-Imam Ash-Shan‘ani t berkata: “Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)
Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)
Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata Al-Imam Asy-Syaukani t: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)
Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan
Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata: “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi n meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)
Kata Ibnu Qudamah t: “Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar c disebutkan bahwa setelah Nabi n memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam Ahmad t menyatakan: “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155)
Mengusap Wajah Terlebih Dahulu Kemudian Mengusap Dua Telapak Tangan
Al-Imam Asy-Syafi’i t dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).
Al-’Allamah Asy-Syinqithi t berkata: “Al-Imam An-Nawawi t menghikayatkan kesepakatan pengikut madzhab Asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya Al-Imam Malik t dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”
Sementara Al-Imam Ahmad t dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)
Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini:
Pertama: Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad t berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90).
Kedua: Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur`an karena Allah k berfirman:
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ
“Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Dalam ayat di atas, Allah k mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah n telah bersabda:
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأ َاللهُ بِهِ
“Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz perintah:
ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa`i no. 2913)
Ketika Rasulullah n menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)
Dalam ayat ini Allah k memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa terlebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi n di atas.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar c dalam riwayat Al-Bukhari no. 3474: “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)
Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan5 -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (Al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam.
Batasan Tangan yang Harus Diusap
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik. Al-Imam Al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam Al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam At-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan shahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti Asy-Sya’bi, ‘Atha` dan Makhul. (Sunan At-Tirmidzi, 1/97)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku6. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi7, dan pembicaraan tentang hukum hadits ini sudah kita singgung pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf.
Ibnul Qayyim t berkata: “Nabi n bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. Al-Imam Ahmad t menyatakan: ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)
Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari Az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273). Ibnu Hazm membicarakan hadits ini di dalam Al-Muhalla (1/373-374), kemudian beliau berkata: “Yang wajib bagi kita adalah kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah, sebagaimana Allah perintahkan kepada kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga kalau kita mau melakukannya kita akan mendapatkan Allah k berfirman: “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam ayat ini Allah k tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita yakin apabila Allah k menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu. Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah k tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah k sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam tayammum kecuali hanya mengusap wajah dan kedua tangan.”
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali t dalam Fathul Bari (2/56) berkata: “Hadits ini sangat mungkar dan terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.”
Guru kami Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i t juga mendha’ifkannya.
Al-Imam Az-Zuhri t sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Rajab t: “Hadits ini telah diingkari oleh Az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu Az-Zuhri menahan diri untuk menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i t dan selainnya mengatakan: “Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi n maka riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang shahih yang datang belakangan dari Nabi n. Dan jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi n maka yang jadi hujjah adalah apa yang beliau perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat Ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah keberadaan ‘Ammar bin Yasir c (shahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi n. Dan tentunya perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, terlebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
Perselisihan tentang Pengusapan Wajah
Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, sama saja baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut yang tipis yang menampakkan kulit ataupun tidak.
Sedangkan pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Pendapat demikian adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya An-Naisaburi dan Al-Jauzajani. Hal ini karena mereka berpandangan mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab, 2/50, Al-Muhalla, 1/368)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata: “Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah k untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Maka dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan untuk mengusapnya seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis maka wajib menyampaikan air ke pangkal rambut tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)
Dan penulis dalam permasalahan ini lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, karena dzahir nash yang datang dari Nabi n mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari dzahirnya. Sehingga dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
1 Ibnu Hajar t berkata: “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed)
2 Tharhut Tatsrib, Al-Imam Al-’Iraqi, 1/268
3 Abul Juhaim z berkata:
أَقْبَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ
“Nabi n datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi n tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok, pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)
4 Yaitu sabda Rasulullah n kepada ‘Ammar z:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
5 Disebutkan dalam riwayat:
وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
6 Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Salamah, dan Al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il Al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
7 Dengan lafadz:
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin mensucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
Tayammum Khusus bagi
Umat Muhammad n
Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad n, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah n dalam sabda beliau:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah k berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (Al-Majmu’ 2/239)
Pengertian Tayammum
Tayammum secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja”. Sedangkan makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/ debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat”, sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539)
Tata Cara Tayammum
‘Ammar bin Yasir c berkata: “Nabi n mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi n dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya1, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah n memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi:
وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dari hadits Ammar c di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
1. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan
2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
3. Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.
Berniat
Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan.
Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (Al Majmu’, 2/254)
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata: “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i2 dan Al-Hasan bin Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158)
Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali Pukulan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269-270, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-2). Dan ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.
Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar c dari Rasulullah n:
التَّيَمُمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)
Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar c. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya (At-Talkhis 1/237, Adhwa` ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib (hal. 341): “Dha’if.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/ tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits Al-Anshari3 dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (Fathul Bari, 1/554). Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam At-Talkhis 1/236-240 no.206-208.
Al-Imam Ash-Shan‘ani t berkata: “Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)
Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)
Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata Al-Imam Asy-Syaukani t: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)
Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan
Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata: “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi n meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)
Kata Ibnu Qudamah t: “Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar c disebutkan bahwa setelah Nabi n memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam Ahmad t menyatakan: “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155)
Mengusap Wajah Terlebih Dahulu Kemudian Mengusap Dua Telapak Tangan
Al-Imam Asy-Syafi’i t dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).
Al-’Allamah Asy-Syinqithi t berkata: “Al-Imam An-Nawawi t menghikayatkan kesepakatan pengikut madzhab Asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya Al-Imam Malik t dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”
Sementara Al-Imam Ahmad t dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)
Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini:
Pertama: Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad t berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90).
Kedua: Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur`an karena Allah k berfirman:
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ
“Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Dalam ayat di atas, Allah k mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah n telah bersabda:
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأ َاللهُ بِهِ
“Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz perintah:
ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa`i no. 2913)
Ketika Rasulullah n menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)
Dalam ayat ini Allah k memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa terlebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi n di atas.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar c dalam riwayat Al-Bukhari no. 3474: “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)
Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan5 -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (Al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam.
Batasan Tangan yang Harus Diusap
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik. Al-Imam Al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam Al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam At-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan shahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti Asy-Sya’bi, ‘Atha` dan Makhul. (Sunan At-Tirmidzi, 1/97)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku6. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi7, dan pembicaraan tentang hukum hadits ini sudah kita singgung pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf.
Ibnul Qayyim t berkata: “Nabi n bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. Al-Imam Ahmad t menyatakan: ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)
Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari Az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273). Ibnu Hazm membicarakan hadits ini di dalam Al-Muhalla (1/373-374), kemudian beliau berkata: “Yang wajib bagi kita adalah kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah, sebagaimana Allah perintahkan kepada kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga kalau kita mau melakukannya kita akan mendapatkan Allah k berfirman: “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam ayat ini Allah k tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita yakin apabila Allah k menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu. Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah k tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah k sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam tayammum kecuali hanya mengusap wajah dan kedua tangan.”
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali t dalam Fathul Bari (2/56) berkata: “Hadits ini sangat mungkar dan terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.”
Guru kami Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i t juga mendha’ifkannya.
Al-Imam Az-Zuhri t sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Rajab t: “Hadits ini telah diingkari oleh Az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu Az-Zuhri menahan diri untuk menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i t dan selainnya mengatakan: “Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi n maka riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang shahih yang datang belakangan dari Nabi n. Dan jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi n maka yang jadi hujjah adalah apa yang beliau perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat Ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah keberadaan ‘Ammar bin Yasir c (shahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi n. Dan tentunya perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, terlebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
Perselisihan tentang Pengusapan Wajah
Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, sama saja baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut yang tipis yang menampakkan kulit ataupun tidak.
Sedangkan pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Pendapat demikian adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya An-Naisaburi dan Al-Jauzajani. Hal ini karena mereka berpandangan mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab, 2/50, Al-Muhalla, 1/368)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata: “Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah k untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Maka dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan untuk mengusapnya seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis maka wajib menyampaikan air ke pangkal rambut tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)
Dan penulis dalam permasalahan ini lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, karena dzahir nash yang datang dari Nabi n mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari dzahirnya. Sehingga dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
1 Ibnu Hajar t berkata: “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed)
2 Tharhut Tatsrib, Al-Imam Al-’Iraqi, 1/268
3 Abul Juhaim z berkata:
أَقْبَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ
“Nabi n datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi n tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok, pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)
4 Yaitu sabda Rasulullah n kepada ‘Ammar z:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
5 Disebutkan dalam riwayat:
وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
6 Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Salamah, dan Al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il Al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
7 Dengan lafadz:
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Re: mengenal tayamum
Sebenarnya selain contoh dari Rasulullah SAW, tata cara tayammum sudah dijelaskan Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun. (QS An-Nisa: 43)
Cara tayammum amat sederhana. Sebab cukup dengan niat, lalu menepukkan kedua tapak tangan ke tanah yang suci dari najis. Lalu diusapkan ke wajah dan kedua tangan sampai batas pergelangan. Selesailah rangkaian tayammum.
Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika Ammar bertanya tentang itu.
وعن عمار قال: أجنبت فلم أصب الماء ، فتمعكت في الصعيد وصليت ، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم ، فقال: إنما يكفيك هكذا ، وضرب النبي صلى الله عليه وسلم بكفيه الأرض ونفخ فيهما ثم مسح بهما وجهه وكفيه - متفق عليه. وفي لفظ: إنما كان يكفيك أن تضرب بكفيك في التراب ، ثم تنفخ فيهما ، ثم تمسح بهما وجهك وكفيك إلى الرصغين رواه الدارقطني
Dari Ammar ra berkata, "Aku mendapat janabah dan tidak menemukan air. Maka aku bergulingan di tanah dan shalat. Aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW dan beliau bersabda, "Cukup bagimu seperti ini: lalu beliau menepuk tanah dengan kedua tapak tangannya lalu meniupnya lalu diusapkan ke wajah dan kedua tapak tangannya. (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadz lainnya disebutkan: Cukup bagimu untuk menepuk tanah lalu kamu tiup dan usapkan keduanya ke wajah dan kedua tapak tanganmu hingga pergelangan. (HR Ad-Daruquthuny)
Hal-hal yang Membolehkan Tayammum
1. Tidak Adanya Air
Dalam kondisi tidak ada air untuk berwudhu` atau mandi, seseorang bisa melakukan tayammum dengan tanah. Namun ketiadaan air itu harus dipastikan terlebih dahulu dengan cara mengusahakannya. Baik dengan cara mencarinya atau membelinya.
Dan sebagaimana yang telah dibahas pada bab air, ada banyak jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci termasuk air hujan, embun, es, mata air, air laut, air sungai dan lain-lainnya. Dan di zaman sekarang ini, ada banyak air kemasan dalam botol yang dijual di pinggir jalan, semua itu membuat ketiadaan air menjadi gugur.
Bila sudah diusahakan dengan berbagai cara untuk mendapatkan semua jenis air itu namun tetap tidak berhasil, barulah tayammum dengan tanah dibolehkan.
Dalil yang menyebutkan bahwa ketiadaan air itu membolehkan tayammum adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini:
عن عمران بن حصين قال: كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر فصلى بالناس ، فإذا هو برجل معتزل فقال: ما منعك أن تصلي ؟ قال: أصابتني جنابة ولا ماء ، قال: عليك بالصعيد فإنه يكفيك - متفق عليه
Dari Imran bin Hushain ra. berkata bahwa kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Belaiu lalu shalat bersama orang-orang. Tiba-tiba ada seorang yang memencilkan diri (tidak ikut shalat). Belaiu bertanya, "Apa yang menghalangimu shalat?" Orang itu menjawab, "Aku terkena janabah." Beliau menjawab, "Gunakanlah tanah untuk tayammum dan itu sudah cukup." (HR Bukhari 344 Muslim 682)
Bahkan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa selama seseorang tidak mendapatkan air, maka selama itu pula dia boleh tetap bertayammum, meskipun dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus.
عن أبي ذر قال: اجتويت المدينة فأمر لي رسول الله صلى الله عليه وسلم بإبل فكنت فيها ، فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقلت: هلك أبو ذر ، قال: ما حالك ؟ قال: كنت أتعرض للجنابة وليس قربي ماء ، فقال: إن الصعيد طهور لمن لم يجد الماء عشر سنين - رواه أحمد وأبو داود والأثرم وهذا لفظه
Dari Abi Dzar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tanah itu mensucikan bagi orang yang tidak mendapatkan air meski selama 10 tahun." (HR Abu Daud, Tirmizi, Nasa`i, Ahmad).
2. Karena Sakit
Kondisi yang lainnya yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai penggati wudhu` adalah bila seseorang terkena penyakit yang membuatnya tidak boleh terkena air. Baik sakit dalam bentuk luka atau pun jenis penyakit lainnya. Tidak boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat kesembuhannya oleh sebab air itu. Baik atas dasar pengalaman pribadi maupun atas advis dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada saat itu boleh baginya untuk bertayammum.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini:
عن جابر قال: خرجنا في سفر فأصاب رجلا منا حجر فشجه في رأسه ثم احتلم ، فسأل أصحابه هل تجدون لي رخصة في التيمم ؟ فقالوا: ما نجد لك رخصة وأنت تقدر على الماء ، فاغتسل فمات ، فلما قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبر بذلك ، فقال: قتلوه قتلهم الله ، ألا سألوا إذ لم يعلموا ؟ فإنما شفاء العي السؤال ، إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر ، أو يعصب عن جرحه ثم يمسح عليه ويغسل سائر جسده رواه أبو داود والدارقطني
Dari Jabir ra. berkata, "Kami dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya, "Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?" Teman-temannya menjawab, "Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air." Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu, bersabdalah beliau, "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum..." (HR Abu Daud 336, Ad-Daruquthuny 719).
3. Karena Suhu yang Sangat Dingin
Dalam kondisi yang teramat dingin dan menusuk tulang, maka menyentuh air untuk berwudhu adalah sebuah siksaan tersendiri. Bahkan bisa menimbulkan madharat yang tidak kecil. Maka bila seseorang tidak mampu untuk memanaskan air menjadi hangat walaupun dengan mengeluarkan uang, dia dibolehkan untuk bertayammum.
Di beberapa tempat di muka bumi, terkadang musim dingin bisa menjadi masalah tersendiri untuk berwudhu`, sebab jangankan menyentuh air, sekadar tersentuh benda-benda di sekeliling pun rasanya amat dingin. Dan kondisi ini bisa berlangsung beberapa bulan selama musim dingin. Tentu saja tidak semua orang bisa memiliki alat pemasan air di rumahnya. Hanya kalangan tertentu yang mampu memilikinya. Selebihnya mereka yang kekurangan dan tinggal di desa atau di wilayah yang kekurangan, akan mendapatkan masalah besar dalam berwudhu` di musim dingin. Maka pada saat itu bertayammum menjadi boleh baginya.
Dalilnya adalah iqrar Rasulullah SAW yaitu peristiwa di mana beliau melihat suatu hal dan mendiamkan, tidak menyalahkannya.
عن عمرو بن العاص أنه لما بعث في غزوة ذات السلاسل قال: احتلمت في ليلة باردة شديدة البرد ، فأشفقت إن اغتسلت أن أهلك فتيممت ثم صليت بأصحابي صلاة الصبح ، فلما قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكروا ذلك له ، فقال: يا عمرو صليت بأصحابك وأنت جنب ، فقلت: ذكرت قول الله تعالى: { ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما } فتيممت ثم صليت ، فضحك رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يقل شيئا } رواه أحمد وأبو داود والدارقطني
Dari Amru bin Al-`Ash ra. bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzatus Salasil berakta, "Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW, mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya, "Wahai Amr, Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub?" Aku menjawab, "Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu], maka aku tayammum dan shalat." (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR Ahmad, Al-hakim, Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).
4. Karena Tidak Terjangkau
Kondisi ini sebenarnya bukan tidak ada air. Air ada tapi tidak bisa dijangkau. Meskipun ada air, namun bila untuk mendapatkannya ada resiko lain yang menghalangi, maka itupun termasuk yang membolehkan tayammum.
Misalnya takut bila dia pergi mendapatkan air, takut barang-barangnya hilang, atau beresiko nyawa bila mendapatkannya. Seperti air di dalam jurang yang dalam yang untuk mendapatkannya harus turun tebing yang terjal dan beresiko pada nyawanya. Atau juga bila ada musuh yang menghalangi antara dirinya dengan air, baik musuh itu dalam bentuk manusia atau pun hewan buas. Atau bila air ada di dalam sumur namun dia tidak punya alat untuk menaikkan air. Atau bila seseorang menjadi tawanan yang tidak diberi air kecuali hanya untuk minum.
5. Karena Air Tidak Cukup
Kondisi ini juga tidak mutlak ketiadaan air. Air sebenarnya ada namun jumlahnya tidak mencukupi. Sebab ada kepentingan lain yang jauh lebih harus didahulukan ketimbang untuk wudhu`. Misalnya untuk menyambung hidup dari kehausan yang sangat. Bahkan para ulama mengatakan meski untuk memberi minum seekor anjing yang kehausan, maka harus didahulukan memberi minum anjing dan tidak perlu berwudhu` dengan air. Sebagai gantinya, bisa melakukan tayammum dengan tanah.
6. Karena Takut Habisnya Waktu
Dalam kondisi ini, air ada dalam jumlah yang cukup dan bisa terjangkau. Namun masalahnya adalah waktu shalat sudah hampir habis. Bila diusahakan untuk mendaptkan air, diperkirakan akan kehilangan waktu shalat. Maka saat itu demi mengejar waktu shalat, bolehlah bertayammum dengan tanah.
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik