menyelamatkan pakistan dari zaman batu
Halaman 1 dari 1 • Share
menyelamatkan pakistan dari zaman batu
Amran Nasution
”Na Pakistan”, bukan Pakistan. Itu pendapat Abu Ala al-Mawdudi, pemikir dan politisi Islam Pakistan terkemuka, terhadap negara yang didirikan Muhammad Ali Jinnah, Agustus 1947. Bagi Mawdudi, Pakistan yang itu hanya sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Bukan negara Islam yang ia cita-citakan dan menjadi wacana sejak awal abad 20, sampai saat ini.
Lihatlah seluruh sistem politik negeri itu, hampir tak ada bedanya dengan tetangganya India, berbagai negara di Eropa, atau Amerika Serikat. Ada Presiden, ada Parlemen, Kekuasaan Kehakiman, Gubernur, dan sebagainya. Lalu di mana sistem Islamnya? Tak ada juga Supreme Leader, Pemimpin Tertinggi yang dijabat ulama terkemuka yang mengarahkan pemerintah agar tabu melanggar prinsip Islam, sebagaimana halnya terjadi di Iran dengan Vilayat-i-Faqih.
Menurut Profesor Mahmood Mamdani dari Columbia University, adalah Presiden Zia Ul Haq yang kemudian melakukan Islamisasi Pakistan. Di mata Mamdani, Jenderal Zia mengubah Pakistan dari negeri berpenduduk mayoritas Islam – mirip Indonesia sekarang -- menjadi negara berideologi Islam atau negara Islam. Zia sendiri menyebutnya, Nizam-e-Islam (Islamic System alias sistem Islam).
Maka sejak 1979, Zia memasukkan sejumlah undang-undang pidana Islam ke dalam sistem hukum Anglo Saxon yang diwarisi negeri itu dari bekas penjajahnya, Inggris. Sistem Hudud diberlakukan, para maling atau rampok dipotong tangan. Para penzina diancam hukuman rajam. Minuman keras dilarang. Belakangan dia berlakukan undang-undang zakat dan landreform Islam dengan melibatkan Pengadilan Agama (Federal Shariah Court). Itu agaknya memang dibutuhkan karena negeri ini memang amat timpang: terlalu banyak orang miskin, terlalu sedikit orang kaya.
Tapi itulah, seperti ditulis Mamdani dalam Good Muslim, Bad Muslim: America, the Cold War and Roots of Terror (New York: Pantheon, 2004), Islamisasi Pakistan itu kemudian terungkap telah dimanfaatkan sebagai bagian dari proyek perang dingin global Amerika Serikat (Global American Cold War Project).
Semua bermula dari kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam, 1975, yang amat menyakitkan itu. Hampir bersamaan di Afrika, kolonialisme Portugal ambruk. Dua negeri jajahannya, Mozambique dan Angola, merdeka. Sementara itu tentara Uni Soviet dengan leluasa mencaplok Afghanistan. Tampaknya ketika itu blok komunis pimpinan Uni Soviet akan segera mengalahkan blok Barat pimpinan Amerika Serikat, dalam Perang Dingin.
Amerika sendiri setelah lari dari Vietnam, mengalami demoralisasi yang parah, sebagaimana biasanya negeri yang baru kalah perang. Kecaman berhamburan baik dari dalam mau pun luar negeri. Itu menyebabkan Amerika tak mungkin mengirimkan pasukan ketika Desember 1979, Uni Soviet menyerbu Afghanistan. Bahkan pada waktu yang hampir sama, ratusan pejabat dan staf Kedutaan Amerika Serikat di Teheran, disandera mahasiswa. Mereka marah karena Amerika menjadi pendukung utama Shah Iran, yang baru saja dijatuhkan revolusi Islam pimpinan Ayatullah Khomenei. Super power itu sudah tak berdaya sekali pun hanya untuk membebaskan warganya sendiri. Itu amat memalukan orang Amerika dan menjadi penyebab utama kekalahan Presiden Jimmy Carter dalam Pemilu.
Presiden Ronald Reagan dari Partai Republik yang naik ke tampuk kekuasaan akhir 1980, menggantikan Carter, ternyata punya konsep untuk mengatasi situasi kritis. Yaitu, dengan proxy war atau perang pakai perwakilan. Cara perang seperti ini dipetik dari pengalaman mereka di Vietnam: Asian boys must fight Asian wars. Anak muda Asia yang harus bertempur dalam peperangan Asia. Amerika kalah, karena mereka bukan orang Asia tapi berperang di Vietnam.
Maka di Nikaragua, Amerika merekayasa kelompok teroris Contras, untuk melawan saudaranya, tentara Pemerintah Sandinista. Di Mozambique sama, dioperasikan kelompok teroris Renamo. Amerika memang sunguh-sungguh mengkreasi teroris. Pasukan Renamo sengaja memilih penduduk sipil sebagai sasaran kekerasan dan pembunuhan dengan maksud menimbulkan efek ketidak-percayaan kepada pemerintah yang baru merdeka, dalam menjaga keamanan rakyatnya.
Di Afghanistan kebetulan sudah ada Mujahidin, kelompok perlawanan Islam yang bergerilya melawan tentara pendudukan Uni Soviet. Mereka mendapat dukungan Pakistan. Negeri ini khawatir kalau setelah menguasai Afghanistan, bala tentara Soviet meneruskan invasi ke Pakistan untuk merebut Karachi, kota pelabuhan itu. Soalnya, Uni Soviet butuh pelabuhan laut. Di sinilah peran Jenderal Zia Ul Haq – dengan Islamisasinya -- dibutuhkan Presiden Reagan. Bekas bintang film Cowboy Hollywood ini bertekad membalas dendam. Tentara Rusia di Afghanistan harus mengalami nasib seperti tentara Amerika di Vietnam.
Bisnis Narkoba
Sejak awal Reagan sudah menggunakan idiom agama untuk melawan blok komunis yang anti-Tuhan. Belum lama terpilih, dia berpidato di depan sebuah acara Kristen Evangelical, mengatakan bahwa dalam Perang Dingin ini Amerika berhadapan dengan Evil Empire (Kekaisaran Setan). Dalam idiom agama, setan jelas adalah musuh besar yang harus dikalahkan. Tak ada orang baik-baik yang mau berteman dengan setan. Jadi Reagan memberi ideologi itu pada proxy war yang ia rancang. Tentu saja Zia Ul Haq sangat tertarik dengan perang melawan setan Presiden Reagan. Dia memang seorang Islam yang taat, ayahnya adalah guru agama. Tapi harus dicatat, Zia juga adalah American lobby. Pendidikan staf dan komando ia peroleh di Fort Leavenworth, Amerika Serikat.
Maka seperti ditulis wartawan senior Craigh Unger dalam bukunya, House of Bush, House of Saud (Scribner, 2004), Kota Peshawar di perbatasan Afghanistan pun menjadi sibuk. Para pemuda dari berbagai negeri, Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan terutama dari Timur Tengah, berseliweran. Mereka adalah para pejuang Islam yang siap mati untuk mengusir tentara Kekaisaran Setan. Mereka akan bergabung dengan kelompok Mujahidin di Afghanistan.
Di Peshawar ada cabang kantor Maktab al-Khidmat (kantor pelayanan) untuk mengkoordiner para pejuang jihad global itu, dipimpin Usamah Bin Ladin dan penasehatnya, Sheikh Abdullah Azzam, akademisi dan orator ulung. Aparat intelijen Pakistan, ISI (Inter-Services Intelligence), berbaur dengan para operator dinas intelijen Amerika, CIA, atau anggota pasukan khususnya, mendukung perang itu. Bahkan, tak kepalang tanggung, Wakil Presiden George H.W.Bush – ayah Presiden Bush sekarang – sempat meninjau kawasan jihad global itu dengan menggunakan pesawat heli tempur.
Dana bantuan jutaan dollar dari Amerika disalurkan melalui sebuah bank yang waktu itu amat beken, BCCI (Bank of Credit and Commerce International). Sejumlah pengamat belakangan menjuluki bank itu sebagai Bank of Terror. Bank berskala dunia itu awalnya didirikan pengusaha Pakistan dengan modal dari Sheikh Zayid bin Sultan al-Nahayan, Emir Abu Dhabi. Belakangan Bank of America resmi menjadi pemegang 25% sahamnya. Malah disebut-sebut CIA menjadi salah satu pemilik bank.
Dari mana CIA punya banyak duit? Profesor Mamdani mau pun Craig Unger mengungkapkan, dinas intelijen Amerika itu menjalankan bisnis narkoba. Mereka mengembangkan ladang opium di Afghanistan. Hasil bisnis haram itu dicuci lewat BCCI. Dari situlah kini Afghanistan berkembang menjadi produsen opium terbesar di dunia. CIA juga terbukti menjalankan bisnis heroin bersama para kartel Amerika Latin, untuk membiayai teroris Contras di Nikaragua.
Soalnya, walau Presiden Reagan mendukung kelompok jihad global, tapi karena perang ini dengan proxy, Amerika tak secara resmi melibatkan diri di dalamnya. Dengan demikian dana perang tak bisa dianggarkan Kongres. Padahal selain duit, mereka harus mengirim segala jenis perlengkapan dan persenjataan, termasuk rudal Stinger yang waktu itu amat terkenal. Rudal jinjing yang gampang dibawa itu berhasil merontokkan rata-rata satu helikopter tempur Uni Soviet setiap hari. Amerika juga memberi bantuan laporan intelijen. Diperkirakan dari 1982 sampai 1992, ada sekitar 80.000 pejuang jihad global yang datang ke sana. Dan Amerika mengeluarkan dana sekitar 3 milyar dollar lewat BCCI.
Bagaimana Pakistan? Semua bantuan itu, termasuk pasukan jihad yang berdatangan dari pelbagai penjuru dunia Islam, masuk lewat Pakistan. Pasukan Pakistan pula yang melatih mereka di Peshawar. Dengan dukungan dana Amerika, Presiden Zia mengembangkan pula ribuan Madrasah di Pakistan sebagai tempat pengkaderan ideologi jihad kepada para santri, agar kelak mereka siap secara mental dan spiritual untuk memerangi ''setan'' komunisme di Afghanistan. Tentu saja Pakistan atau Zia Ul Haq betul-betul menjadi anak emas Presiden Reagan.
Selain bantuan dollar pada 1981, Amerika mengirimkan 40 pesawat tempur F-16 ke Pakistan. Dan lebih penting lagi, Amerika picing mata saat Zia Ul Haq membuat senjata nuklir. Pakistan pun menjadi negeri Islam pertama yang memiliki senjata pemusnah massal. Senjata ini sangat diperlukan dalam persaingan dengan musuh tradisionalnya India, yang sudah lebih dulu punya nuklir.
Yang jelas, akhirnya tentara super power Uni Soviet takluk menghadapi Mujahidin. Pada Maret 1985, Mikhail Gorbachev yang baru saja naik menjadi pemimpin puncak negeri komunis itu mengumumkan bahwa negerinya menerima kekalahan di Afghanistan. Mereka segera akan menarik pasukannya dari Afghanistan.. [berlanjut bagian kedua/www.hidayatullah.com]
* Penulis adalah mantan Redaktur TEMPO dan GATRA. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
”Na Pakistan”, bukan Pakistan. Itu pendapat Abu Ala al-Mawdudi, pemikir dan politisi Islam Pakistan terkemuka, terhadap negara yang didirikan Muhammad Ali Jinnah, Agustus 1947. Bagi Mawdudi, Pakistan yang itu hanya sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Bukan negara Islam yang ia cita-citakan dan menjadi wacana sejak awal abad 20, sampai saat ini.
Lihatlah seluruh sistem politik negeri itu, hampir tak ada bedanya dengan tetangganya India, berbagai negara di Eropa, atau Amerika Serikat. Ada Presiden, ada Parlemen, Kekuasaan Kehakiman, Gubernur, dan sebagainya. Lalu di mana sistem Islamnya? Tak ada juga Supreme Leader, Pemimpin Tertinggi yang dijabat ulama terkemuka yang mengarahkan pemerintah agar tabu melanggar prinsip Islam, sebagaimana halnya terjadi di Iran dengan Vilayat-i-Faqih.
Menurut Profesor Mahmood Mamdani dari Columbia University, adalah Presiden Zia Ul Haq yang kemudian melakukan Islamisasi Pakistan. Di mata Mamdani, Jenderal Zia mengubah Pakistan dari negeri berpenduduk mayoritas Islam – mirip Indonesia sekarang -- menjadi negara berideologi Islam atau negara Islam. Zia sendiri menyebutnya, Nizam-e-Islam (Islamic System alias sistem Islam).
Maka sejak 1979, Zia memasukkan sejumlah undang-undang pidana Islam ke dalam sistem hukum Anglo Saxon yang diwarisi negeri itu dari bekas penjajahnya, Inggris. Sistem Hudud diberlakukan, para maling atau rampok dipotong tangan. Para penzina diancam hukuman rajam. Minuman keras dilarang. Belakangan dia berlakukan undang-undang zakat dan landreform Islam dengan melibatkan Pengadilan Agama (Federal Shariah Court). Itu agaknya memang dibutuhkan karena negeri ini memang amat timpang: terlalu banyak orang miskin, terlalu sedikit orang kaya.
Tapi itulah, seperti ditulis Mamdani dalam Good Muslim, Bad Muslim: America, the Cold War and Roots of Terror (New York: Pantheon, 2004), Islamisasi Pakistan itu kemudian terungkap telah dimanfaatkan sebagai bagian dari proyek perang dingin global Amerika Serikat (Global American Cold War Project).
Semua bermula dari kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam, 1975, yang amat menyakitkan itu. Hampir bersamaan di Afrika, kolonialisme Portugal ambruk. Dua negeri jajahannya, Mozambique dan Angola, merdeka. Sementara itu tentara Uni Soviet dengan leluasa mencaplok Afghanistan. Tampaknya ketika itu blok komunis pimpinan Uni Soviet akan segera mengalahkan blok Barat pimpinan Amerika Serikat, dalam Perang Dingin.
Amerika sendiri setelah lari dari Vietnam, mengalami demoralisasi yang parah, sebagaimana biasanya negeri yang baru kalah perang. Kecaman berhamburan baik dari dalam mau pun luar negeri. Itu menyebabkan Amerika tak mungkin mengirimkan pasukan ketika Desember 1979, Uni Soviet menyerbu Afghanistan. Bahkan pada waktu yang hampir sama, ratusan pejabat dan staf Kedutaan Amerika Serikat di Teheran, disandera mahasiswa. Mereka marah karena Amerika menjadi pendukung utama Shah Iran, yang baru saja dijatuhkan revolusi Islam pimpinan Ayatullah Khomenei. Super power itu sudah tak berdaya sekali pun hanya untuk membebaskan warganya sendiri. Itu amat memalukan orang Amerika dan menjadi penyebab utama kekalahan Presiden Jimmy Carter dalam Pemilu.
Presiden Ronald Reagan dari Partai Republik yang naik ke tampuk kekuasaan akhir 1980, menggantikan Carter, ternyata punya konsep untuk mengatasi situasi kritis. Yaitu, dengan proxy war atau perang pakai perwakilan. Cara perang seperti ini dipetik dari pengalaman mereka di Vietnam: Asian boys must fight Asian wars. Anak muda Asia yang harus bertempur dalam peperangan Asia. Amerika kalah, karena mereka bukan orang Asia tapi berperang di Vietnam.
Maka di Nikaragua, Amerika merekayasa kelompok teroris Contras, untuk melawan saudaranya, tentara Pemerintah Sandinista. Di Mozambique sama, dioperasikan kelompok teroris Renamo. Amerika memang sunguh-sungguh mengkreasi teroris. Pasukan Renamo sengaja memilih penduduk sipil sebagai sasaran kekerasan dan pembunuhan dengan maksud menimbulkan efek ketidak-percayaan kepada pemerintah yang baru merdeka, dalam menjaga keamanan rakyatnya.
Di Afghanistan kebetulan sudah ada Mujahidin, kelompok perlawanan Islam yang bergerilya melawan tentara pendudukan Uni Soviet. Mereka mendapat dukungan Pakistan. Negeri ini khawatir kalau setelah menguasai Afghanistan, bala tentara Soviet meneruskan invasi ke Pakistan untuk merebut Karachi, kota pelabuhan itu. Soalnya, Uni Soviet butuh pelabuhan laut. Di sinilah peran Jenderal Zia Ul Haq – dengan Islamisasinya -- dibutuhkan Presiden Reagan. Bekas bintang film Cowboy Hollywood ini bertekad membalas dendam. Tentara Rusia di Afghanistan harus mengalami nasib seperti tentara Amerika di Vietnam.
Bisnis Narkoba
Sejak awal Reagan sudah menggunakan idiom agama untuk melawan blok komunis yang anti-Tuhan. Belum lama terpilih, dia berpidato di depan sebuah acara Kristen Evangelical, mengatakan bahwa dalam Perang Dingin ini Amerika berhadapan dengan Evil Empire (Kekaisaran Setan). Dalam idiom agama, setan jelas adalah musuh besar yang harus dikalahkan. Tak ada orang baik-baik yang mau berteman dengan setan. Jadi Reagan memberi ideologi itu pada proxy war yang ia rancang. Tentu saja Zia Ul Haq sangat tertarik dengan perang melawan setan Presiden Reagan. Dia memang seorang Islam yang taat, ayahnya adalah guru agama. Tapi harus dicatat, Zia juga adalah American lobby. Pendidikan staf dan komando ia peroleh di Fort Leavenworth, Amerika Serikat.
Maka seperti ditulis wartawan senior Craigh Unger dalam bukunya, House of Bush, House of Saud (Scribner, 2004), Kota Peshawar di perbatasan Afghanistan pun menjadi sibuk. Para pemuda dari berbagai negeri, Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan terutama dari Timur Tengah, berseliweran. Mereka adalah para pejuang Islam yang siap mati untuk mengusir tentara Kekaisaran Setan. Mereka akan bergabung dengan kelompok Mujahidin di Afghanistan.
Di Peshawar ada cabang kantor Maktab al-Khidmat (kantor pelayanan) untuk mengkoordiner para pejuang jihad global itu, dipimpin Usamah Bin Ladin dan penasehatnya, Sheikh Abdullah Azzam, akademisi dan orator ulung. Aparat intelijen Pakistan, ISI (Inter-Services Intelligence), berbaur dengan para operator dinas intelijen Amerika, CIA, atau anggota pasukan khususnya, mendukung perang itu. Bahkan, tak kepalang tanggung, Wakil Presiden George H.W.Bush – ayah Presiden Bush sekarang – sempat meninjau kawasan jihad global itu dengan menggunakan pesawat heli tempur.
Dana bantuan jutaan dollar dari Amerika disalurkan melalui sebuah bank yang waktu itu amat beken, BCCI (Bank of Credit and Commerce International). Sejumlah pengamat belakangan menjuluki bank itu sebagai Bank of Terror. Bank berskala dunia itu awalnya didirikan pengusaha Pakistan dengan modal dari Sheikh Zayid bin Sultan al-Nahayan, Emir Abu Dhabi. Belakangan Bank of America resmi menjadi pemegang 25% sahamnya. Malah disebut-sebut CIA menjadi salah satu pemilik bank.
Dari mana CIA punya banyak duit? Profesor Mamdani mau pun Craig Unger mengungkapkan, dinas intelijen Amerika itu menjalankan bisnis narkoba. Mereka mengembangkan ladang opium di Afghanistan. Hasil bisnis haram itu dicuci lewat BCCI. Dari situlah kini Afghanistan berkembang menjadi produsen opium terbesar di dunia. CIA juga terbukti menjalankan bisnis heroin bersama para kartel Amerika Latin, untuk membiayai teroris Contras di Nikaragua.
Soalnya, walau Presiden Reagan mendukung kelompok jihad global, tapi karena perang ini dengan proxy, Amerika tak secara resmi melibatkan diri di dalamnya. Dengan demikian dana perang tak bisa dianggarkan Kongres. Padahal selain duit, mereka harus mengirim segala jenis perlengkapan dan persenjataan, termasuk rudal Stinger yang waktu itu amat terkenal. Rudal jinjing yang gampang dibawa itu berhasil merontokkan rata-rata satu helikopter tempur Uni Soviet setiap hari. Amerika juga memberi bantuan laporan intelijen. Diperkirakan dari 1982 sampai 1992, ada sekitar 80.000 pejuang jihad global yang datang ke sana. Dan Amerika mengeluarkan dana sekitar 3 milyar dollar lewat BCCI.
Bagaimana Pakistan? Semua bantuan itu, termasuk pasukan jihad yang berdatangan dari pelbagai penjuru dunia Islam, masuk lewat Pakistan. Pasukan Pakistan pula yang melatih mereka di Peshawar. Dengan dukungan dana Amerika, Presiden Zia mengembangkan pula ribuan Madrasah di Pakistan sebagai tempat pengkaderan ideologi jihad kepada para santri, agar kelak mereka siap secara mental dan spiritual untuk memerangi ''setan'' komunisme di Afghanistan. Tentu saja Pakistan atau Zia Ul Haq betul-betul menjadi anak emas Presiden Reagan.
Selain bantuan dollar pada 1981, Amerika mengirimkan 40 pesawat tempur F-16 ke Pakistan. Dan lebih penting lagi, Amerika picing mata saat Zia Ul Haq membuat senjata nuklir. Pakistan pun menjadi negeri Islam pertama yang memiliki senjata pemusnah massal. Senjata ini sangat diperlukan dalam persaingan dengan musuh tradisionalnya India, yang sudah lebih dulu punya nuklir.
Yang jelas, akhirnya tentara super power Uni Soviet takluk menghadapi Mujahidin. Pada Maret 1985, Mikhail Gorbachev yang baru saja naik menjadi pemimpin puncak negeri komunis itu mengumumkan bahwa negerinya menerima kekalahan di Afghanistan. Mereka segera akan menarik pasukannya dari Afghanistan.. [berlanjut bagian kedua/www.hidayatullah.com]
* Penulis adalah mantan Redaktur TEMPO dan GATRA. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
bee gees- SERSAN SATU
-
Posts : 152
Kepercayaan : Islam
Location : douglas
Join date : 27.06.13
Reputation : 0
Similar topics
» Muslim menyelamatkan Yahudi dari Holocaust
» Google: Mayoritas Pencarian Pornografi Gay Dari Pakistan
» Hajar aswad BATU dari syurga, kiasan atau arti sebenarnya ?
» [view][air terjun dari batu karang] Relaxing Sound of Waterfall And Birds Singing. Soothing Sounds Of Nature!
» Apakah Mungkin Zaman Sekarang Seseorang dapat Berkumpul dengan Nabi SAW Dalam Keadaan Terjaga dan Mengambil Ilmu Langsung dari Beliau?
» Google: Mayoritas Pencarian Pornografi Gay Dari Pakistan
» Hajar aswad BATU dari syurga, kiasan atau arti sebenarnya ?
» [view][air terjun dari batu karang] Relaxing Sound of Waterfall And Birds Singing. Soothing Sounds Of Nature!
» Apakah Mungkin Zaman Sekarang Seseorang dapat Berkumpul dengan Nabi SAW Dalam Keadaan Terjaga dan Mengambil Ilmu Langsung dari Beliau?
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik