wara di era modern
Halaman 1 dari 1 • Share
wara di era modern
Sehari-hari kita kita digerakkan oleh hasrat meraih sesuatu yang muncul dari keinginan dan cita-cita. Keinginan yang seringkali melebihi batas-batas kewajaran, kesederhanaan yang proporsional. Pada saat yang sama kita sebenarnya telah melampaui batas "manusiawi kehambaan" kita kepada Allah. Berarti kita tidak memiliki sikap Wira'i atau Wara'.
Kita sedang bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan fasilitas yang lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah melebihi proporsi yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari kewara'an itu sendiri. Wara' dalam bekerja, adalah sikap wajar menjalankan tugas kehidupan secara syar'i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dunia dann keramaian di sisi kita. Seorang yang memiliki Wara', ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.
Rasulullah saw, menggambarkan Kewara'an itu melalui haditsnya yang terkenal, "Salah satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu meninggalkan hal-hakl yang tidak perlu."
Beliau juga melanjuutkan, "Jadilah dirimu orang yang Wara', maka anda akan benar-benar menjadi ahli ibadah." (hr. Ibnu Majah)
Banyak orang merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia raup peluang itu tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan kecemburuan hati nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati kita, ruh kita, sirr kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling kepada iming-iming dunia, walau pun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua yang halal yang ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai sebagai sesuatu yang berkah.
Sebab ketika seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang membuat dirinya justru lupa kepadaNya, pada saat yang sama keberkahan dibalik anugerah itu seperti tercerabut dari akar rizki itu. Kenapa? Karena tiba-tiba ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, dan egoistis, lalu sombong. Lalu ia lupa diri.
Wara', sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap hal-hal yang halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam proses tahapan ruhani, Wara' disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud, atau tindakan mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Allah Ta'ala.
Apakah manusia modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar'y maupun hakiki? Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan ats-Tsaury meegaskan, "Saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang Wara'. Jadi apa yang mengganjak dalam dirimu, tinggalkan saja!".
Banyak simpang siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat mengenai sikap hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan dengan syariat bisa dilihat lebih luwes, tidak radikal dan tidak keras, tanpa mengurangi sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal kejiwaan dan keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad nomaden, abad batu, abad debu, kapasitas psikhologi manusia tetap sama.
Justru banyak orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika Wara' diabaikan. Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia, memiliki nilai positip, darimana pun datangnya. Tetapi sikap psikhologi kita menghadapi norma kebebasan yang yang liar telah menumbuhkan ambisi nafsu baru untuk menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan, fasilitas, materi, dan eksotisme. Dann itulah penderitaan dan penyakit paling mengerikan.
Mestinya manusia modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan terhadap hal-hal yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan Allah. Ketegasan terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita. "Tinggalkan hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti." Demikian sabda Nabi SAW.
Karena itu Wara' sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena dengan Wara' manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa, antara lain:
Wara' menumbuhkan kesatriaan, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positip.
Wara' menjauhkan sikap berlebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi.
Wara' mendorong manusia untuk menjadi hamba yang merdeka dari kepentingan-kepentingan selain Allah, karena hakikat Wara' adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.
Wara' menghantar kita untuk tulus dan ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah. Karena tanpa wara', ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal yang menyimpang, dan jauh dari keikhlasan.
Wara' menghilangkan sikap kepura-puraan kita, basa basi kita, penipuan-penipuan kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan diri kita dari penjara nafsu kita.
Wara' adalah awal dari ketaqwaan kita.
Wara' akan menghantar kita terus menerus memandang Allah dalam setiap hal-hal yang halal. Karena itulah Wara' akan mendorong kita untuk terus bersyukur, sebab dibalik yang kita pandang, ada Nama Allah di sana.
Wara' adalah nuansa majlis Ilahi. Karenanya Abu Hurairah mengatakan, "Orang-orang yang berada di majlis Allah kelak, adalah ahli wara' dan Zuhud."
Wara' membuat manusia tidak dzalim, karena ia senantiasa berbuat adil, proporsional, dan wajar.
Wara' menjauhkan kita dari KKN.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan presiden yang Wara', karena itu ia tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang berbicara dengannya di luar urusan Negara.
Fenomena Wara' di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun yang gersang. Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan kemodernannya, hanya karena manjauhi kewara'an sehari-hari. Lalu individu-individunya mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan sosialnya hancur, hokum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan dijadikan berhala. Itulah kewara'an yang terlempar di kesunyian manusia modern.
Coba kita tengok di jendela luar sana. Tragedi manusia modern itu:
Mereka mulai terasing dengan Allah, dan merasa tersentak ketika nama Allah disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika Nama Allah diungkapkan.
Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat duniawi, lalu mengabaikan Allah, kemudian melupakan Allah sama sekali.
Mereka memburu fatamorgana, walau pun berkali-kali mereka menderita karena angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi tindakannya itu.
Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan atasnama kebebasan dan kepuasan, sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan.
Mereka terjebak oleh sebuah permaian, game, dan perjudian pasar bebas, sampai tingkat politik paling mengerikan:membunuh sesama, menghisap darah sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta.
Allah dijadikan sebagai lambang bendera, kadang dikibarkan seperti upacara bendera, lalu diturunkan, untuk sekadar basa-basi religius.
Manusia modern telah kehilangan harga dirinya paling mahal: Fitrahnya sebagai manusia, hamba Allah.
Kewara'an telah sirna dari mereka, karena sikap wira'I dianggap sebagai ancaman dari kebebasan.
Kita sedang bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan fasilitas yang lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah melebihi proporsi yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari kewara'an itu sendiri. Wara' dalam bekerja, adalah sikap wajar menjalankan tugas kehidupan secara syar'i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dunia dann keramaian di sisi kita. Seorang yang memiliki Wara', ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.
Rasulullah saw, menggambarkan Kewara'an itu melalui haditsnya yang terkenal, "Salah satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu meninggalkan hal-hakl yang tidak perlu."
Beliau juga melanjuutkan, "Jadilah dirimu orang yang Wara', maka anda akan benar-benar menjadi ahli ibadah." (hr. Ibnu Majah)
Banyak orang merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia raup peluang itu tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan kecemburuan hati nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati kita, ruh kita, sirr kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling kepada iming-iming dunia, walau pun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua yang halal yang ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai sebagai sesuatu yang berkah.
Sebab ketika seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang membuat dirinya justru lupa kepadaNya, pada saat yang sama keberkahan dibalik anugerah itu seperti tercerabut dari akar rizki itu. Kenapa? Karena tiba-tiba ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, dan egoistis, lalu sombong. Lalu ia lupa diri.
Wara', sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap hal-hal yang halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam proses tahapan ruhani, Wara' disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud, atau tindakan mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Allah Ta'ala.
Apakah manusia modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar'y maupun hakiki? Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan ats-Tsaury meegaskan, "Saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang Wara'. Jadi apa yang mengganjak dalam dirimu, tinggalkan saja!".
Banyak simpang siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat mengenai sikap hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan dengan syariat bisa dilihat lebih luwes, tidak radikal dan tidak keras, tanpa mengurangi sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal kejiwaan dan keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad nomaden, abad batu, abad debu, kapasitas psikhologi manusia tetap sama.
Justru banyak orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika Wara' diabaikan. Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia, memiliki nilai positip, darimana pun datangnya. Tetapi sikap psikhologi kita menghadapi norma kebebasan yang yang liar telah menumbuhkan ambisi nafsu baru untuk menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan, fasilitas, materi, dan eksotisme. Dann itulah penderitaan dan penyakit paling mengerikan.
Mestinya manusia modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan terhadap hal-hal yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan Allah. Ketegasan terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita. "Tinggalkan hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti." Demikian sabda Nabi SAW.
Karena itu Wara' sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena dengan Wara' manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa, antara lain:
Wara' menumbuhkan kesatriaan, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positip.
Wara' menjauhkan sikap berlebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi.
Wara' mendorong manusia untuk menjadi hamba yang merdeka dari kepentingan-kepentingan selain Allah, karena hakikat Wara' adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.
Wara' menghantar kita untuk tulus dan ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah. Karena tanpa wara', ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal yang menyimpang, dan jauh dari keikhlasan.
Wara' menghilangkan sikap kepura-puraan kita, basa basi kita, penipuan-penipuan kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan diri kita dari penjara nafsu kita.
Wara' adalah awal dari ketaqwaan kita.
Wara' akan menghantar kita terus menerus memandang Allah dalam setiap hal-hal yang halal. Karena itulah Wara' akan mendorong kita untuk terus bersyukur, sebab dibalik yang kita pandang, ada Nama Allah di sana.
Wara' adalah nuansa majlis Ilahi. Karenanya Abu Hurairah mengatakan, "Orang-orang yang berada di majlis Allah kelak, adalah ahli wara' dan Zuhud."
Wara' membuat manusia tidak dzalim, karena ia senantiasa berbuat adil, proporsional, dan wajar.
Wara' menjauhkan kita dari KKN.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan presiden yang Wara', karena itu ia tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang berbicara dengannya di luar urusan Negara.
Fenomena Wara' di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun yang gersang. Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan kemodernannya, hanya karena manjauhi kewara'an sehari-hari. Lalu individu-individunya mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan sosialnya hancur, hokum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan dijadikan berhala. Itulah kewara'an yang terlempar di kesunyian manusia modern.
Coba kita tengok di jendela luar sana. Tragedi manusia modern itu:
Mereka mulai terasing dengan Allah, dan merasa tersentak ketika nama Allah disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika Nama Allah diungkapkan.
Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat duniawi, lalu mengabaikan Allah, kemudian melupakan Allah sama sekali.
Mereka memburu fatamorgana, walau pun berkali-kali mereka menderita karena angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi tindakannya itu.
Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan atasnama kebebasan dan kepuasan, sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan.
Mereka terjebak oleh sebuah permaian, game, dan perjudian pasar bebas, sampai tingkat politik paling mengerikan:membunuh sesama, menghisap darah sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta.
Allah dijadikan sebagai lambang bendera, kadang dikibarkan seperti upacara bendera, lalu diturunkan, untuk sekadar basa-basi religius.
Manusia modern telah kehilangan harga dirinya paling mahal: Fitrahnya sebagai manusia, hamba Allah.
Kewara'an telah sirna dari mereka, karena sikap wira'I dianggap sebagai ancaman dari kebebasan.
voorman- SERSAN SATU
-
Posts : 155
Kepercayaan : Islam
Location : voorwagens
Join date : 23.05.13
Reputation : 8
Re: wara di era modern
Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
Hadits ini merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman1. Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”
Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ As-Sa`di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya2 mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali c. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya3.
Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224). Sementara perkataan Jauzajani bahwasanya Abul Haura’ majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/278) tidak benar keberadaannya, karena Abul Haura’ yang namanya Rabi`ah ibnu Syaiban As-Sa`di di-tsiqah-kan oleh Al-Imam An-Nasa’i rahimahullah. Berkata Al-`Ijli rahimahullah: “Rabi`ah (Abul Haura’) adalah seorang tabi`i lagi tsiqah.” Berkata Al-Hafizh rahimahullah: “Rabi`ah adalah tsiqah (terpercaya).” (Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut Tahdzib, 3/221, At-Taqrib, hal. 147)
Lafazh: dalam hadits ini dengan mem-fathah huruf yang pertama, bisa pula dengan men-dhammah-nya. Namun yang masyhur dan fasih dengan mem-fathahnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/187).
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/77). Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali c menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjawab:
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan”.
Kandungan Hadits
Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits An-Nu‘man ibnu Basyir:
“Siapa yang berhati-hati/ menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no.52, 2051 dan Muslim no.1599) [Dari kaset Durus Al-Arba‘in An-Nawawiyyah oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk menjauh dari perkara yang meragukan, baik berupa ucapan maupun amalan, baik dilarang ataupun tidak. Dan kita disuruh mengambil perkara yang meyakinkan.
Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan syubhat, sebagai suatu perkara yang meragukan karena tidak diketahui halal dan haramnya/ samar keadaannya, sepantasnya kita berhenti padanya, menjaga diri kita agar tidak terjatuh ke dalamnya dan serta-merta meninggalkannya. Sementara sesuatu yang telah jelas halalnya kita tahu tidak akan membuat keraguan, kebimbangan, kegoncangan dan kegelisahan di hati seorang yang beriman, bahkan jiwa dengan tenang akan menjalaninya. Sebaliknya perkara yang syubhat, apabila perkara tersebut diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di hati seseorang. (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/280, Tuhfatul Ahwadzi, 7/187, Sunan An-Nasa’i bi Hasyiyah As-Sindi, 8/328).
Berkata Al-Qadhi rahimahullah: “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah”. (Faidhul Qadir, 3/528)
Sebagai permisalan, apabila seseorang ragu terhadap suatu masalah, apakah hal itu halal ataukah haram, maka hendaknya ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yang diyakini atau kepada apa yang halal yang ia yakini atau apa yang tidak ia ragukan. Yang demikian ini berarti ia telah menjaga agamanya. (Kaset Durus Al-Arba’in, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh rahimahullah)
Demikian pula dalam perkara ibadah, ia kerjakan yang ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba maka keraguan tersebut tidak bisa menghilangkan keyakinan yang telah ada. Sebagai permisalan apabila ia ragu dalam shalatnya, apakah ia telah berhadats atau tidak, atau apakah keluar angin dari duburnya atau tidak, maka ia tetapkan keadaannya sebagaimana yang ia yakini (ia shalat dalam keadaan berwudhu) dan ia membuang keraguan yang muncul belakangan. (Kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh)
Kaidah yang digunakan di sini menurut ulama ahli ushul: “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh sesuatu yang ragu.”
Ath-Thibi rahimahullah menyatakan: “Namun tentunya yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Bila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas, maka ia akan dapat menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.”
Perbuatan yang demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara‘ .
Wara‘
Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261).
Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid: “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)
Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum,1/281).
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88 berkata: “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
1 Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2 Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3 Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4 Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”
Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya dalam takwa dan wara‘. Adapun orang yang suka berbuat keharaman secara zhahir, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci dan tersamar, maka hal ini tidak akan mungkin baginya, bahkan sikapnya ini diingkari (sekedar omong kosong). Karena itulah Ibnu ‘Umar c mengingkari orang-orang dari penduduk Iraq yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk. Beliau berkata: “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk sementara mereka telah menumpahkan darah Al-Husain z, padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]
Contoh Sikap Wara‘
Jika membaca perjalanan hidup pendahulu kita yang shalih, kita dapati mereka adalah orang-orang yang menyandang seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun yang sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah dan Rasul-Nya (Al Qur’an dan As Sunnah) menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka. Dan tidak cukup dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang bersemangat dalam mengamalkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak yang bisa kita lihat dari amalan mereka adalah wara‘ . Kisah wara‘ mereka di antaranya:
1. ‘Aisyah mengabarkan bahwa Abu Bakar z pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu Bakar zbertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?” Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.” Mendengar hal tersebut Abu Bakarzsegera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia memuntahkan semua makanan itu. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3842)
2. Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab zmenetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putranya ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar: “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3912)
3. Yazid bin Zurayi‘rahimahullah mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu namun ia tidak mengambilnya. Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma, dan dari penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau t meninggal dunia. (Al-Wara‘, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 7)
Banyak lagi bisa kita dapatkan kisah-kisah wara‘ mereka yang bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab biografi para ulama.
Faedah Hadits
1. Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.
4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agamanya dan kehormatannya.
5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘, adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara‘ yang hambar, tanpa makna.
6 Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut atau tidak ada hawa nafsu yang mempengaruhinya.
7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana dikandung dalam hadits ini.
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
Hadits ini merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman1. Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”
Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ As-Sa`di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya2 mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali c. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya3.
Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224). Sementara perkataan Jauzajani bahwasanya Abul Haura’ majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/278) tidak benar keberadaannya, karena Abul Haura’ yang namanya Rabi`ah ibnu Syaiban As-Sa`di di-tsiqah-kan oleh Al-Imam An-Nasa’i rahimahullah. Berkata Al-`Ijli rahimahullah: “Rabi`ah (Abul Haura’) adalah seorang tabi`i lagi tsiqah.” Berkata Al-Hafizh rahimahullah: “Rabi`ah adalah tsiqah (terpercaya).” (Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut Tahdzib, 3/221, At-Taqrib, hal. 147)
Lafazh: dalam hadits ini dengan mem-fathah huruf yang pertama, bisa pula dengan men-dhammah-nya. Namun yang masyhur dan fasih dengan mem-fathahnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/187).
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/77). Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali c menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjawab:
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan”.
Kandungan Hadits
Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits An-Nu‘man ibnu Basyir:
“Siapa yang berhati-hati/ menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no.52, 2051 dan Muslim no.1599) [Dari kaset Durus Al-Arba‘in An-Nawawiyyah oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk menjauh dari perkara yang meragukan, baik berupa ucapan maupun amalan, baik dilarang ataupun tidak. Dan kita disuruh mengambil perkara yang meyakinkan.
Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan syubhat, sebagai suatu perkara yang meragukan karena tidak diketahui halal dan haramnya/ samar keadaannya, sepantasnya kita berhenti padanya, menjaga diri kita agar tidak terjatuh ke dalamnya dan serta-merta meninggalkannya. Sementara sesuatu yang telah jelas halalnya kita tahu tidak akan membuat keraguan, kebimbangan, kegoncangan dan kegelisahan di hati seorang yang beriman, bahkan jiwa dengan tenang akan menjalaninya. Sebaliknya perkara yang syubhat, apabila perkara tersebut diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di hati seseorang. (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/280, Tuhfatul Ahwadzi, 7/187, Sunan An-Nasa’i bi Hasyiyah As-Sindi, 8/328).
Berkata Al-Qadhi rahimahullah: “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah”. (Faidhul Qadir, 3/528)
Sebagai permisalan, apabila seseorang ragu terhadap suatu masalah, apakah hal itu halal ataukah haram, maka hendaknya ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yang diyakini atau kepada apa yang halal yang ia yakini atau apa yang tidak ia ragukan. Yang demikian ini berarti ia telah menjaga agamanya. (Kaset Durus Al-Arba’in, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh rahimahullah)
Demikian pula dalam perkara ibadah, ia kerjakan yang ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba maka keraguan tersebut tidak bisa menghilangkan keyakinan yang telah ada. Sebagai permisalan apabila ia ragu dalam shalatnya, apakah ia telah berhadats atau tidak, atau apakah keluar angin dari duburnya atau tidak, maka ia tetapkan keadaannya sebagaimana yang ia yakini (ia shalat dalam keadaan berwudhu) dan ia membuang keraguan yang muncul belakangan. (Kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh)
Kaidah yang digunakan di sini menurut ulama ahli ushul: “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh sesuatu yang ragu.”
Ath-Thibi rahimahullah menyatakan: “Namun tentunya yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Bila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas, maka ia akan dapat menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.”
Perbuatan yang demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara‘ .
Wara‘
Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261).
Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid: “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)
Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum,1/281).
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88 berkata: “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
1 Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2 Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3 Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4 Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”
Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya dalam takwa dan wara‘. Adapun orang yang suka berbuat keharaman secara zhahir, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci dan tersamar, maka hal ini tidak akan mungkin baginya, bahkan sikapnya ini diingkari (sekedar omong kosong). Karena itulah Ibnu ‘Umar c mengingkari orang-orang dari penduduk Iraq yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk. Beliau berkata: “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk sementara mereka telah menumpahkan darah Al-Husain z, padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]
Contoh Sikap Wara‘
Jika membaca perjalanan hidup pendahulu kita yang shalih, kita dapati mereka adalah orang-orang yang menyandang seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun yang sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah dan Rasul-Nya (Al Qur’an dan As Sunnah) menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka. Dan tidak cukup dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang bersemangat dalam mengamalkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak yang bisa kita lihat dari amalan mereka adalah wara‘ . Kisah wara‘ mereka di antaranya:
1. ‘Aisyah mengabarkan bahwa Abu Bakar z pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu Bakar zbertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?” Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.” Mendengar hal tersebut Abu Bakarzsegera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia memuntahkan semua makanan itu. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3842)
2. Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab zmenetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putranya ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar: “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3912)
3. Yazid bin Zurayi‘rahimahullah mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu namun ia tidak mengambilnya. Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma, dan dari penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau t meninggal dunia. (Al-Wara‘, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 7)
Banyak lagi bisa kita dapatkan kisah-kisah wara‘ mereka yang bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab biografi para ulama.
Faedah Hadits
1. Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.
4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agamanya dan kehormatannya.
5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘, adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara‘ yang hambar, tanpa makna.
6 Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut atau tidak ada hawa nafsu yang mempengaruhinya.
7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana dikandung dalam hadits ini.
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Similar topics
» Indonesia-Italy - Javanese music and dance - Gamelan Gong Wisnu Wara
» Tafsir Alquran Modern
» islam vs sistem perekonomian modern
» cara budidaya kroto modern
» Panduan Wirausaha Roti Modern
» Tafsir Alquran Modern
» islam vs sistem perekonomian modern
» cara budidaya kroto modern
» Panduan Wirausaha Roti Modern
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik