Boedi Oetomo Tangannya Freemason
Halaman 1 dari 1 • Share
Boedi Oetomo Tangannya Freemason
Setiap 20 Mei pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan ini mengacu pada organisasi Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada 20 Mei 1908. Anehnya, kedekatan BO dengan organisasi Freemason tak pernah diungkap sejarah. Ada apa?
Het Jong Javaasche Verbond Boedi Oetomo atau Ikatan Pemuda Jawa Boedi Oetomo didirikan di Gedung STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia, pada 20 Mei 1908.
Tahun berdirinya BO sama dengan tahun munculnya Gerakan Turki Muda (Young Turk Moment). Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipimpin oleh Mustafa Kemal At-Taturk juga mengadakan revolusi kebangkitan nasional.
Gerakan ini berhasil menumbangkan kekhilafahan Islam, dan mengganti hukum Islam menjadi hukum sekular. Aktivis Turki Muda banyak didominasi oleh para sekularis. Bahkan, At-Taturk sendiri adalah anggota jaringan Freemason yang sangat anti dengan syariat Islam.
Mengenai Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi, dr Soetomo mengatakan,”perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas bahwa “cita-cita Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.”Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.
Nama Boedi Oetomo diambil dari bahasa sansakerta, ”Bodhi” atau ”Buddhi” yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata ”Uttama” yang berarti tingkat kebajikan utama.
Jadi, BO bisa disebut sebagai organisasi yang mengedepankan keterbukaan akal sebagai tingkat kebajikan utama. Mereka menyebut ”budi” sebagai puncak kegiatan moral manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang.
Boedi Oetomo adalah organisasi yang kental dengan nilai-nilai kebatinan.Para aktivisnya mengaku ingin menyatukan antara kultur dan tradisi Jawa dengan pendidikan Barat. BO ingin memadukan antara modernisasi Barat dan mistis Timur.
Ki Wiropoestoko, anggota BO Surakarta mengatakan, “Berdirinya Boedi Oetomo semata-mata merupakan hasil elit Jawa yang telah memperoleh pendidikan barat.” Sementara sejarawan Robert van Niels, penulis bukunya Munculnya Elit Modern Indonesia menyebut BO sebagai organisasi yang mengikuti garis-garis barat. Ia juga menyebut BO dan Jong Java sebagai organisasi yang bersifat Theosofis dan agnostik.
Penggagas organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesoedo adalah anggota Theosofi,sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.
Selain Theosofi, para ketua dan aktivis BO juga masuk sebagai anggota Freemason. Anehnya, tentang kedekatan organisasi ini dengan kelompok Theosofi dan Freemason tak pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Penulis buku Api Sejarah, sejarawan Ahmad Mansur Suryangera menyebut BO sebagai organisasi yang lebih mencerminkan gerakan kejawen yang anti Islam, ketimbang organisasi yang mengusung nasionalisme.
Sejarawan yang banyak mengoreksi penyimpangan-penyimpangan sejarah di Indonesia ini juga menyebut BO sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan. Tapi sayang, dalam Api Sejarah Mansur Suryanegara tak mengungkap hubungan antara BO dengan organisasi Freemason di Hindia Belanda. Padahal, dokumen-dokumen sejarah yang mengungkap soal ini begitu banyak.
Dr. Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa.
Kata pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama ”Budi Utomo” (Lihat, hal.XVIII dan hal.331)
Raden Adipati Surjo sebagai anggota Freemason, berharap pemimpin muda dari gerakan nasional, seperti Boedi Oetomo dapat dicapai dengan asas-asas Masonik (doktrin-doktrin Freemason, pen). Tak heran, jika Freemason yang mempunyai hubungan erat dan BO, memiliki peran yang cukup signifikan dalam gerak nasionalisme di negeri ini.
Mereka menginginkan nasionalisme yang muncul adalah nasionalisme yang berlandaskan humanisme, suatu paham yang menjadi doktrin tertinggi Freemason.Paham humanisme menempatkan manusia sebagai makhluk ”superior” yang berhak dan bebas menentukan kehendak, termasuk membuat aturan hukum sendiri.
Freemason atau dalam bahasa Belanda disebut Vrijmetselarij, pada masa lalu dikenal oleh masyarakat Jawa dengan sebutan ”Golongan Kemasonan”. Para Yahudi Belanda yang aktif dalam organisasi ini begitu gencar mempropagandakan doktrin-doktrin Freemason terhadap elit-elit di Jawa, khususnya kalangan kraton.
Buku Gedenkboek van de Vrijmetselaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidale (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya) memuat tulisan yang mengajak masyarakat Jawa memahami hakekat organisasi Freemason atau Kemasonan.
Bahkan, pemimpin tertinggi Freemason di Hindia Belanda pada 1914-1917, Andre de La Porte, membuat sebuah artikel berjudul ”De Javaasche Beweging in het Teeken van de Vrijmetselarij” (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason).
Kedekatan BO dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal BO didirikan. Kongres pertama BO yang berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin dilaksanakan di Loge milik Freemason.
Namun, karena loge tersebut telah lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres BO yang rencananya diadakan di loge tersebut urung dilaksanakan. ”Adapoen roemah jang patut akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (bangunan loge Freemasonry, pen) orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean, akan diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…” demikian seperti dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.”
Kedekatan BO dengan organisasi Freemason dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya BO, memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota BO berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis BO sebagai ”Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).
Dalam pidato berjudul ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo), Labberton bicara tentang masalah agama, tujuan Theosofi, dan hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa.
Labberton mampu membuat para anggota BO untuk tertarik masuk sebagai anggota organisasi kebatinan Yahudi tersebut. Labberton pada waktu itu adalah anggota Komisi Bacaan Rakyat (Volks Bibliotheek) yang mempengaruhi berdirnya BO. Labberton menyebut berdirinya BO sebagai ”kesadaran moral”.
Mengapa acara ceramah umum (openbare) tersebut diadakan di loge Freemason? Karena antara Freemason dan Theosofi tak jauh beda. Pada masa lalu, anggota Freemason juga aktif di Theosofi, begitupun sebaliknya. Yang cukup mengejutkan, seolah sudah ada yang merencanakan, lokasi tempat diadakannya ceramah umum Labberton yang dulu bernama Vrijmetselarijweg (Jalan Freemasonry), saat ini berganti nama menjadi Jalan Budi Utomo.
Selain Labberton, tokoh lain yang dekat dengan Boedi Oetomo adalah Godard Arend Hazeau, Penasihat Urusan Pribumi Pemerintah Hindia Belanda. Hazeau datang ke Indonesia dengan bekerja sebagai guru Willem III Grammar School dan asisten Snouck Hurgronye. Hal yang menjadi perhatian Hazeau adalah pendidikan yang netral atau bahkan bercorak Kristen untuk para murid Islam.
Selain itu, Hazeau juga banyak memberikan masukan terhadap pemerintah kolonial terkait bagaimana pemerintah bersikap terhadap organisasi pergerakan nasional yang bercorak Islam, seperti Sarekat Islam, dan organisasi Islam lainnya yang dipandang fanatik dan ekstrem. Sikap berbeda ditunjukkan Hazeau terhadap Boedi Oetomo, yang banyak mendapat perhatian lebih, karena kesamaannya dalam memandang pergerakan Islam.
Bukti lain mengenai kedekatan BO dengan Freemason bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi Oetomo di Surakarta. Kongres yang pernah diadakan di loge milik Freemason banyak dihadiri oleh para aktivis kebangsaan yang juga anggota Freemason.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihadrjo, dalam Kata Pengantar buku ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”
Penjelasan serupa juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku ”Budi Utomo Cabang Betawi” yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loge Mataram dijadikan tempat kongres BO kedua.
Fakta sejarah lainnya mengenai kedekatan BO dengan Freemason dan Theosofi adalah pertemuan akbar yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda, di sebuah loge milik Theosofi.
Mereka yang berkumpul dalam perayaan tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuat foto para aktifis BO dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia Memperingati 10 Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri Belanda.”
Kedekatan BO dengan Freemason juga bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh C.G van Wering pada 1979. ven Wering menulis tentang elit power atau intelektual dari kalangan priayai Jawa, yang kebanyakan aktifis BO, sekaligus anggota Freemason. Tulisan van Wering ini dikutip dalam buku buku biografi Dr Radjiman Wediodiningrat berjudul ”DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952.”
Para Ketua BO Adalah Anggota Freemason
Ketua BO yang sangat kental dengan pemikiran Freemason dan Theosofi adalah Radjiman Wediodiningrat. Radjiman menjadi ketua BO pada periode 1914-1915. Ia masuk menjadi anggota Freemason pada 1913, selain juga aktif dalam perkumpulan Theosofi.
Radjiman adalah orang pribumi yang mendapat kehormatan dari Freemason Hindia Belanda dengan dimuatnya artikel karyanya berjudul ”Een Broderketen Volks (Persaudaraan Rakyat)” dalam buku ”Kenang-Kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917”.
Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting dalam jaringan Freemasonry, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda ini.
Radjiman adalah seorang Mason yang menjadi salah satu the founding fathers negeri ini, tokoh yang pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam catatan sejarah, persidangan yang dipimpin Radjiman ini tercatat sebagai awal dari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila, setelah sebelumnya masing-masing kelompok berdebat dan mengajukan usulan soal asas negara. Tokoh-tokoh Islam seperti M Natsir mengajukan Islam sebagai dasar negara, sedangkan tokoh-tokoh nasionalis-sekular mengajukan ideologi Pancasila.
Para ketua BO lainnya juga adalah anggota Freemasonry, seperti R.A. Tirtokoesoemo, ketua BO pertama (1908-1911) yang juga pernah menjadi bupati Karang Anyar, Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua BO kedua tahun 1911-1914), dan R.M.A Soerjosoeparto alias Mangkunegara VII (Ketua BO keempat tahun 1915-1916). RM Tirtokoesoemo dan Pengeran Ario Notodirodjo adalah anggota Freemasonry Loge Mataram Yogyakarta.Ketua BO selanjutnya, meski tak menjadi anggota Freemason, tetapi menjadi anggota Theosofi, seperti M Ng Dwijo Sewojo (1916), dan R.M.A Woerjaningrat (1916-1921).
Dalam perjalanan sejarahnya kemudian, BO makin terlihat tidak berpihak kepada umat Islam. Karena itu, masa-masa yang genting dari organisasi ini adalah ketika berhadapan dengan umat Islam yang merasa keberadaan dengan sikap BO yang selalu meminggirkan aspirasi umat Islam.Karena itu, di beberapa daerah yang menjadi basis umat Islam seperti Batavia, Boedi Oetomo sulit untuk mendapatkan pengaruh.
Upaya untuk mengajak BO agar berpihak pada umat Islam bukan tak pernah dilakukan.Mohammad Tohir, seorang anggota organisasi ini bahkan pernah mengusulkan kepada BO untuk membantu masjid-masjid agar bisa meraih simpati umat Islam. Namun, usulan ini ditolak dan organisasi ini tetap pada pendiriannya yang “netral agama”. Usaha untuk menarik simpati umat Islam ini ditentang oleh Radjiman Wediodiningrat.
Tokoh BO lainnya, Tjipto Mangoenkoesoemo, juga begitu sinis dalam memandang Pan-Islamisme. Pada tahun 1928, Tjipto berkirim surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi H.Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktifis Islam yang disebut akan mengusung Pan-Islamisme itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk ke dalam PPKI, Tjipto mengatakan, cita-cita gerakan kebangsaan akan hancur.
Menggugat Sejarah
Sejarah memang ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Jika pada masa lalu, kelompok nasionalis-sekular yang berada dalam pengaruh Freemason dan Theosofi, didukung oleh elit-elit kolonial, berhasil menentukan siapa aktor dan tokoh dalam panggung sejarah di negeri ini, maka sudah saatnya ketika umat Islam memiliki akses ke jantung kekuasaan, mempunyai ikhtiar untuk meluruskan sejarah yang penuh selubung dan distorsi ini. Fakta sejarah harus diungkap dengan tinta emas berlapis kejujuran, bukan dengan tinta hitam yang sarat kepentingan.
Jika BO didirikan pada 1908, maka jauh sebelum itu, pada 1905 sudah berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. SDI jelas mempunyai arah perjuangan memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni asing. SDI bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam kedaerahan yang sempit. SDI yang kemudian pada 10 September 1912 menjadi Sarekat Islam (SI), meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu: Pertama, asas agama Islam sebagai dasar perjuangan. Kedua, asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi. Ketiga, asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Mengenai alasan menjadikan Islam sebagai asas gerakan, baik H. Samanhoedi ataupun para tokoh Sarekat Islam lainnya, beralasan agar ruh Islam menyatu dalam setiap langkah pergerakan. Selain itu, hal ini juga untuk menunjukan sikap kepada Belanda, yang berupaya menjauhkan Islam dari politik. (Lihat: M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, hal. 15)
SDI yang kemudian menjadi SI lebih jelas mengedepankan kepentingan Islam-nasional-pribumi dan tidak dibentuk oleh kepentingan kolonial. Bahkan, SI jelas-jelas menolak segala pelecehan terhadap Islam yang ketika itu marak dilakukan oleh kelompok Boedi Oetomo. Karena itu, menjadikan BO sebagai organisasi yang melandasi kebangkitan nasional adalah sebuah distorsi sejarah, bahkan bisa disebut sebagai “de-islamisasi” fakta sejarah.
Usaha untuk menjadikan sejarah berdirinya SDI sebagai Harkitnas pernah diusulkan oleh umat Islam. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan tahun 1956, umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Sayang, usulan itu sampai saat ini belum jadi kenyataan.
Kritik terhadap dijadikannya BO sebagai landasan kebangkitan nasional tak hanya datang dari umat Islam. Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat.Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukan wajah barat.” (Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
Tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengungkap sejarah dengan fakta-fakta yang terang dan apa adanya. Fakta-fakta sejarah ini, mungkin pada masa lalu tertutup selubung kekuasaan yang mempunyai kepentingan untuk memutus mata rantai peran umat Islam dalam pentas nasional di negeri ini.
Upaya memarginalkan peran umat Islam dalam kiprah pergerakan nasional berujung pada “de-islamisasi fakta sejarah”. Ironisnya, sampai hari ini umat Islam masih memahami sejarah dalam kaca mata buram penguasa!
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/boedi-oetomo-dan-freemason.htm#.Ua6yotgrPFw
Het Jong Javaasche Verbond Boedi Oetomo atau Ikatan Pemuda Jawa Boedi Oetomo didirikan di Gedung STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia, pada 20 Mei 1908.
Tahun berdirinya BO sama dengan tahun munculnya Gerakan Turki Muda (Young Turk Moment). Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipimpin oleh Mustafa Kemal At-Taturk juga mengadakan revolusi kebangkitan nasional.
Gerakan ini berhasil menumbangkan kekhilafahan Islam, dan mengganti hukum Islam menjadi hukum sekular. Aktivis Turki Muda banyak didominasi oleh para sekularis. Bahkan, At-Taturk sendiri adalah anggota jaringan Freemason yang sangat anti dengan syariat Islam.
Mengenai Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi, dr Soetomo mengatakan,”perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas bahwa “cita-cita Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.”Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.
Nama Boedi Oetomo diambil dari bahasa sansakerta, ”Bodhi” atau ”Buddhi” yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata ”Uttama” yang berarti tingkat kebajikan utama.
Jadi, BO bisa disebut sebagai organisasi yang mengedepankan keterbukaan akal sebagai tingkat kebajikan utama. Mereka menyebut ”budi” sebagai puncak kegiatan moral manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang.
Boedi Oetomo adalah organisasi yang kental dengan nilai-nilai kebatinan.Para aktivisnya mengaku ingin menyatukan antara kultur dan tradisi Jawa dengan pendidikan Barat. BO ingin memadukan antara modernisasi Barat dan mistis Timur.
Ki Wiropoestoko, anggota BO Surakarta mengatakan, “Berdirinya Boedi Oetomo semata-mata merupakan hasil elit Jawa yang telah memperoleh pendidikan barat.” Sementara sejarawan Robert van Niels, penulis bukunya Munculnya Elit Modern Indonesia menyebut BO sebagai organisasi yang mengikuti garis-garis barat. Ia juga menyebut BO dan Jong Java sebagai organisasi yang bersifat Theosofis dan agnostik.
Penggagas organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesoedo adalah anggota Theosofi,sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.
Selain Theosofi, para ketua dan aktivis BO juga masuk sebagai anggota Freemason. Anehnya, tentang kedekatan organisasi ini dengan kelompok Theosofi dan Freemason tak pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Penulis buku Api Sejarah, sejarawan Ahmad Mansur Suryangera menyebut BO sebagai organisasi yang lebih mencerminkan gerakan kejawen yang anti Islam, ketimbang organisasi yang mengusung nasionalisme.
Sejarawan yang banyak mengoreksi penyimpangan-penyimpangan sejarah di Indonesia ini juga menyebut BO sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan. Tapi sayang, dalam Api Sejarah Mansur Suryanegara tak mengungkap hubungan antara BO dengan organisasi Freemason di Hindia Belanda. Padahal, dokumen-dokumen sejarah yang mengungkap soal ini begitu banyak.
Dr. Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa.
Kata pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama ”Budi Utomo” (Lihat, hal.XVIII dan hal.331)
Raden Adipati Surjo sebagai anggota Freemason, berharap pemimpin muda dari gerakan nasional, seperti Boedi Oetomo dapat dicapai dengan asas-asas Masonik (doktrin-doktrin Freemason, pen). Tak heran, jika Freemason yang mempunyai hubungan erat dan BO, memiliki peran yang cukup signifikan dalam gerak nasionalisme di negeri ini.
Mereka menginginkan nasionalisme yang muncul adalah nasionalisme yang berlandaskan humanisme, suatu paham yang menjadi doktrin tertinggi Freemason.Paham humanisme menempatkan manusia sebagai makhluk ”superior” yang berhak dan bebas menentukan kehendak, termasuk membuat aturan hukum sendiri.
Freemason atau dalam bahasa Belanda disebut Vrijmetselarij, pada masa lalu dikenal oleh masyarakat Jawa dengan sebutan ”Golongan Kemasonan”. Para Yahudi Belanda yang aktif dalam organisasi ini begitu gencar mempropagandakan doktrin-doktrin Freemason terhadap elit-elit di Jawa, khususnya kalangan kraton.
Buku Gedenkboek van de Vrijmetselaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidale (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya) memuat tulisan yang mengajak masyarakat Jawa memahami hakekat organisasi Freemason atau Kemasonan.
Bahkan, pemimpin tertinggi Freemason di Hindia Belanda pada 1914-1917, Andre de La Porte, membuat sebuah artikel berjudul ”De Javaasche Beweging in het Teeken van de Vrijmetselarij” (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason).
Kedekatan BO dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal BO didirikan. Kongres pertama BO yang berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin dilaksanakan di Loge milik Freemason.
Namun, karena loge tersebut telah lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres BO yang rencananya diadakan di loge tersebut urung dilaksanakan. ”Adapoen roemah jang patut akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (bangunan loge Freemasonry, pen) orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean, akan diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…” demikian seperti dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.”
Kedekatan BO dengan organisasi Freemason dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya BO, memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota BO berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis BO sebagai ”Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).
Dalam pidato berjudul ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo), Labberton bicara tentang masalah agama, tujuan Theosofi, dan hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa.
Labberton mampu membuat para anggota BO untuk tertarik masuk sebagai anggota organisasi kebatinan Yahudi tersebut. Labberton pada waktu itu adalah anggota Komisi Bacaan Rakyat (Volks Bibliotheek) yang mempengaruhi berdirnya BO. Labberton menyebut berdirinya BO sebagai ”kesadaran moral”.
Mengapa acara ceramah umum (openbare) tersebut diadakan di loge Freemason? Karena antara Freemason dan Theosofi tak jauh beda. Pada masa lalu, anggota Freemason juga aktif di Theosofi, begitupun sebaliknya. Yang cukup mengejutkan, seolah sudah ada yang merencanakan, lokasi tempat diadakannya ceramah umum Labberton yang dulu bernama Vrijmetselarijweg (Jalan Freemasonry), saat ini berganti nama menjadi Jalan Budi Utomo.
Selain Labberton, tokoh lain yang dekat dengan Boedi Oetomo adalah Godard Arend Hazeau, Penasihat Urusan Pribumi Pemerintah Hindia Belanda. Hazeau datang ke Indonesia dengan bekerja sebagai guru Willem III Grammar School dan asisten Snouck Hurgronye. Hal yang menjadi perhatian Hazeau adalah pendidikan yang netral atau bahkan bercorak Kristen untuk para murid Islam.
Selain itu, Hazeau juga banyak memberikan masukan terhadap pemerintah kolonial terkait bagaimana pemerintah bersikap terhadap organisasi pergerakan nasional yang bercorak Islam, seperti Sarekat Islam, dan organisasi Islam lainnya yang dipandang fanatik dan ekstrem. Sikap berbeda ditunjukkan Hazeau terhadap Boedi Oetomo, yang banyak mendapat perhatian lebih, karena kesamaannya dalam memandang pergerakan Islam.
Bukti lain mengenai kedekatan BO dengan Freemason bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi Oetomo di Surakarta. Kongres yang pernah diadakan di loge milik Freemason banyak dihadiri oleh para aktivis kebangsaan yang juga anggota Freemason.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihadrjo, dalam Kata Pengantar buku ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”
Penjelasan serupa juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku ”Budi Utomo Cabang Betawi” yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loge Mataram dijadikan tempat kongres BO kedua.
Fakta sejarah lainnya mengenai kedekatan BO dengan Freemason dan Theosofi adalah pertemuan akbar yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda, di sebuah loge milik Theosofi.
Mereka yang berkumpul dalam perayaan tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuat foto para aktifis BO dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia Memperingati 10 Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri Belanda.”
Kedekatan BO dengan Freemason juga bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh C.G van Wering pada 1979. ven Wering menulis tentang elit power atau intelektual dari kalangan priayai Jawa, yang kebanyakan aktifis BO, sekaligus anggota Freemason. Tulisan van Wering ini dikutip dalam buku buku biografi Dr Radjiman Wediodiningrat berjudul ”DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952.”
Para Ketua BO Adalah Anggota Freemason
Ketua BO yang sangat kental dengan pemikiran Freemason dan Theosofi adalah Radjiman Wediodiningrat. Radjiman menjadi ketua BO pada periode 1914-1915. Ia masuk menjadi anggota Freemason pada 1913, selain juga aktif dalam perkumpulan Theosofi.
Radjiman adalah orang pribumi yang mendapat kehormatan dari Freemason Hindia Belanda dengan dimuatnya artikel karyanya berjudul ”Een Broderketen Volks (Persaudaraan Rakyat)” dalam buku ”Kenang-Kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917”.
Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting dalam jaringan Freemasonry, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda ini.
Radjiman adalah seorang Mason yang menjadi salah satu the founding fathers negeri ini, tokoh yang pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam catatan sejarah, persidangan yang dipimpin Radjiman ini tercatat sebagai awal dari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila, setelah sebelumnya masing-masing kelompok berdebat dan mengajukan usulan soal asas negara. Tokoh-tokoh Islam seperti M Natsir mengajukan Islam sebagai dasar negara, sedangkan tokoh-tokoh nasionalis-sekular mengajukan ideologi Pancasila.
Para ketua BO lainnya juga adalah anggota Freemasonry, seperti R.A. Tirtokoesoemo, ketua BO pertama (1908-1911) yang juga pernah menjadi bupati Karang Anyar, Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua BO kedua tahun 1911-1914), dan R.M.A Soerjosoeparto alias Mangkunegara VII (Ketua BO keempat tahun 1915-1916). RM Tirtokoesoemo dan Pengeran Ario Notodirodjo adalah anggota Freemasonry Loge Mataram Yogyakarta.Ketua BO selanjutnya, meski tak menjadi anggota Freemason, tetapi menjadi anggota Theosofi, seperti M Ng Dwijo Sewojo (1916), dan R.M.A Woerjaningrat (1916-1921).
Dalam perjalanan sejarahnya kemudian, BO makin terlihat tidak berpihak kepada umat Islam. Karena itu, masa-masa yang genting dari organisasi ini adalah ketika berhadapan dengan umat Islam yang merasa keberadaan dengan sikap BO yang selalu meminggirkan aspirasi umat Islam.Karena itu, di beberapa daerah yang menjadi basis umat Islam seperti Batavia, Boedi Oetomo sulit untuk mendapatkan pengaruh.
Upaya untuk mengajak BO agar berpihak pada umat Islam bukan tak pernah dilakukan.Mohammad Tohir, seorang anggota organisasi ini bahkan pernah mengusulkan kepada BO untuk membantu masjid-masjid agar bisa meraih simpati umat Islam. Namun, usulan ini ditolak dan organisasi ini tetap pada pendiriannya yang “netral agama”. Usaha untuk menarik simpati umat Islam ini ditentang oleh Radjiman Wediodiningrat.
Tokoh BO lainnya, Tjipto Mangoenkoesoemo, juga begitu sinis dalam memandang Pan-Islamisme. Pada tahun 1928, Tjipto berkirim surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi H.Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktifis Islam yang disebut akan mengusung Pan-Islamisme itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk ke dalam PPKI, Tjipto mengatakan, cita-cita gerakan kebangsaan akan hancur.
Menggugat Sejarah
Sejarah memang ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Jika pada masa lalu, kelompok nasionalis-sekular yang berada dalam pengaruh Freemason dan Theosofi, didukung oleh elit-elit kolonial, berhasil menentukan siapa aktor dan tokoh dalam panggung sejarah di negeri ini, maka sudah saatnya ketika umat Islam memiliki akses ke jantung kekuasaan, mempunyai ikhtiar untuk meluruskan sejarah yang penuh selubung dan distorsi ini. Fakta sejarah harus diungkap dengan tinta emas berlapis kejujuran, bukan dengan tinta hitam yang sarat kepentingan.
Jika BO didirikan pada 1908, maka jauh sebelum itu, pada 1905 sudah berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. SDI jelas mempunyai arah perjuangan memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni asing. SDI bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam kedaerahan yang sempit. SDI yang kemudian pada 10 September 1912 menjadi Sarekat Islam (SI), meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu: Pertama, asas agama Islam sebagai dasar perjuangan. Kedua, asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi. Ketiga, asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Mengenai alasan menjadikan Islam sebagai asas gerakan, baik H. Samanhoedi ataupun para tokoh Sarekat Islam lainnya, beralasan agar ruh Islam menyatu dalam setiap langkah pergerakan. Selain itu, hal ini juga untuk menunjukan sikap kepada Belanda, yang berupaya menjauhkan Islam dari politik. (Lihat: M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, hal. 15)
SDI yang kemudian menjadi SI lebih jelas mengedepankan kepentingan Islam-nasional-pribumi dan tidak dibentuk oleh kepentingan kolonial. Bahkan, SI jelas-jelas menolak segala pelecehan terhadap Islam yang ketika itu marak dilakukan oleh kelompok Boedi Oetomo. Karena itu, menjadikan BO sebagai organisasi yang melandasi kebangkitan nasional adalah sebuah distorsi sejarah, bahkan bisa disebut sebagai “de-islamisasi” fakta sejarah.
Usaha untuk menjadikan sejarah berdirinya SDI sebagai Harkitnas pernah diusulkan oleh umat Islam. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan tahun 1956, umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Sayang, usulan itu sampai saat ini belum jadi kenyataan.
Kritik terhadap dijadikannya BO sebagai landasan kebangkitan nasional tak hanya datang dari umat Islam. Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat.Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukan wajah barat.” (Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
Tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengungkap sejarah dengan fakta-fakta yang terang dan apa adanya. Fakta-fakta sejarah ini, mungkin pada masa lalu tertutup selubung kekuasaan yang mempunyai kepentingan untuk memutus mata rantai peran umat Islam dalam pentas nasional di negeri ini.
Upaya memarginalkan peran umat Islam dalam kiprah pergerakan nasional berujung pada “de-islamisasi fakta sejarah”. Ironisnya, sampai hari ini umat Islam masih memahami sejarah dalam kaca mata buram penguasa!
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/boedi-oetomo-dan-freemason.htm#.Ua6yotgrPFw
cornello- SERSAN MAYOR
-
Posts : 227
Kepercayaan : Islam
Location : Manado
Join date : 18.05.12
Reputation : 13
Merayakan Harkitnas 20 Mei, Mewarisi Kebodohan Sejarah
Rasulullah Saw sebagai tauladan terbaik umat manusia sepanjang zaman mengatakan jika dalam melakukan sesuatu itu, manusia harus memahami terlebih dahulu apa yang akan dilakukan atau diperbuatnya. Istlahnya: “Fahmu qabla ‘amal” atau “Paham terlebih dahulu baru melakukan”.
Ini merupakan prinsip yang harus diikuti oleh manusia yang oleh Allah Swt diberi akal, sehingga manusia bisa bepikir, memilah yang baik atau buruk, dan tidak melakukan sesuatu hanya karena latah atau berdalih “sudah tradisi”.
Akal-lah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal, manusia bisa berpikir. Beda dengan hewan yang hanya mengandalkan insting, sehingga semua yang dilakukan hewan sesungguhnya hanya merupakan pengulangan dari apa yang telah dilakukan hewan-hewan lainnya.
Sebab itu, sangatlah tidak layak seorang manusia di dalam melakukan sesuatu hanya menyatakan “Sudah tradisi”. Karena yang namanya tradisi tentu ada yang bagus dan ada pula yang jelek.
Salah satu peringatan yang terus dipelihara sepanjang tahun oleh penguasa di negeri ini adalah Peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Tidak dahulu tidak sekarang, pemerintah selalu saja mendengungkan jika tanggal 20 Mei, tanggal berdirinya organisasi priyayi Jawa Boedhi Oetomo tahun 1908, merupakan tonggak kebangkitan nasional. Padahal Boedhi Oetomo sama sekali tidak berhak mendapat tempat terhormat seperti itu. Mengapa?
Adalah KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa“, dengan tegas menulis jika Budi Utomo (BO) tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. BO terdiri dari para pegawai negeri (ambtenaar) yang hidupnya tergantung pada uang penjajah Belanda.
BO juga tidak turut mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis sentris. Hanya bangsawan Jawa Tengah dan Madura yang boleh menjadi anggotanya, orang Sunda, Betawi, dan sebagainya dilarang masuk BO.
BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan dalam penyusunan Anggaran Dasar Organisasi-pun BO tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Belanda.
Dalam rapat-rapat, BO tidak pernah membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki tarap hidup orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda.
Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis tentang tujuan organisasi yakni untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Tujuan BO tersebut jelas bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
BO juga memandang Islam sebagai batu sandungan bagi upaya mereka. Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam salah satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini Alsrichtnoer voor de Indische Vereniging berkata: “ Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…. sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan “.
Sebuah artikel di ”Suara Umum“, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, yang dikutip oleh Al-Ustadz A. Hassan dalam majalah “Al-Lisan “ terdapat tulisan berbunyi: “Digul lebih utama dari pada Mekkah, Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya kiblat.“ ( M.S. Al-Lisan Nomer 24, 1938)
Oleh karena sangat loyal pada penjajah Belanda, tidak ada seorang pun anggota BO yang ditangkap Belanda. Arah perjuangan BO yang tidak nasionalis, telah mengecewakan dua pendiri BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya keluar dari BO.
Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata tokoh Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak 1895. Sekretaris BO (1916) , Boediardjo, juga seorang mason yang mendirikan cabang sendiri dengan nama Mason Boediardjo. Buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”, karya Dr. Th. Stevens memuat fakta ini.
Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi Utomo, sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja.
Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ” (Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
Budi Utomo merupakan organisasi binaan Freemasonry yang menginduk kepada Yahudi Belanda. Pengkultusan terhadap Budi Utomo, dengan menisbatkannya sebagai organisasi pelopor kebangkitan Indonesia, merupakan hasil kerja Freemasonry dan Yahudi Belanda.
Jadi, siapa pun yang dengan sadar memelihara pengkultusan ini—dengan salah satunya ikut-ikutan merayakan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei dengan sadar, padahal mereka tahu tentang sejarah yang sesungguhnya dari Budi Utomo ini—berarti telah ikut bergabung dengan barisan kaum Freemasonry dalam menyesatkan bangsa ini.
Seharusnyalah peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan tanggal 20 Mei, namun tanggal 16 Oktober. Sejarah telah mencatat jika tiga tahun sebelum Budi Utomo berdiri, Syarikat Dagang Islam (yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam) didirikan, tepatnya pada 16 Oktober 1905.
Sangat beda dengan Budi Utomo, SI lebih nasionalis dan berterus terang ingin mencapai Indonesia yang merdeka. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab itu para pengurusnyapun terdiri dari berbagai macam suku dari seluruh Nusantara.
SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, bersifat nasional, Anggaran Dasarnya ditulis dalam Bahasa Indonesia, bersikap non-kooperatif dengan Belanda, dan ikut mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan.
Sejarawan Fred R. von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama di Indonesia. Der Mehden tidak sendirian, ada banyak sejarawan asing dan juga Indonesia yang dengan tegas menyatakan jika SI-lah organisasi nasionalis pertama. Sedangkan Budi Utomo bukanlah organisasi yang nasionalis.
Usaha untuk menjadikan SI (atau SDI) sebagai tonggak Harkitnas menggantikan kesalah-kaprahan sejarah selama ini, pernah diusulkan umat Islam kepada pemerintah. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan (1956), umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Namun sangat disayangkan, seruan ini tidak didengar pemerintah, bahkan sampai saat ini.
Akhir tahun 1980-an Indonesia katanya dilanda fenomena kebangkitan Islam dan saat ini sudah ada banyak orang yang mengaku sebagai tokoh Islam yang masuk ke lingkaran pusat pemerintahan, bahkan duduk dalam pos-pos strategis. Namun bukannya mewarnai pemerintahan, mereka malah terwarnai pemerintahan yang sampai hari ini masih saja mewarisi tradisi Yahudi Belanda.
Bukannya meluruskan sejarah negeri Muslim terbesar di dunia ini, mereka malah ikut-ikutan latah memelihara warisannya Freemasonry Belanda ini.
Jika untuk meluruskan sejarah yang kecil saja mereka tidak punya keberanian sebesar biji dzarrah sekali pun, maka apa lagi yang bisa kita harapkan dari mereka?
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/merayakan-harkitnas-20-mei-mewarisi-kebodohan-sejarah.htm#.Ua65utgrPFw
Ini merupakan prinsip yang harus diikuti oleh manusia yang oleh Allah Swt diberi akal, sehingga manusia bisa bepikir, memilah yang baik atau buruk, dan tidak melakukan sesuatu hanya karena latah atau berdalih “sudah tradisi”.
Akal-lah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal, manusia bisa berpikir. Beda dengan hewan yang hanya mengandalkan insting, sehingga semua yang dilakukan hewan sesungguhnya hanya merupakan pengulangan dari apa yang telah dilakukan hewan-hewan lainnya.
Sebab itu, sangatlah tidak layak seorang manusia di dalam melakukan sesuatu hanya menyatakan “Sudah tradisi”. Karena yang namanya tradisi tentu ada yang bagus dan ada pula yang jelek.
Salah satu peringatan yang terus dipelihara sepanjang tahun oleh penguasa di negeri ini adalah Peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Tidak dahulu tidak sekarang, pemerintah selalu saja mendengungkan jika tanggal 20 Mei, tanggal berdirinya organisasi priyayi Jawa Boedhi Oetomo tahun 1908, merupakan tonggak kebangkitan nasional. Padahal Boedhi Oetomo sama sekali tidak berhak mendapat tempat terhormat seperti itu. Mengapa?
Adalah KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa“, dengan tegas menulis jika Budi Utomo (BO) tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. BO terdiri dari para pegawai negeri (ambtenaar) yang hidupnya tergantung pada uang penjajah Belanda.
BO juga tidak turut mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis sentris. Hanya bangsawan Jawa Tengah dan Madura yang boleh menjadi anggotanya, orang Sunda, Betawi, dan sebagainya dilarang masuk BO.
BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan dalam penyusunan Anggaran Dasar Organisasi-pun BO tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Belanda.
Dalam rapat-rapat, BO tidak pernah membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki tarap hidup orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda.
Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis tentang tujuan organisasi yakni untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Tujuan BO tersebut jelas bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
BO juga memandang Islam sebagai batu sandungan bagi upaya mereka. Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam salah satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini Alsrichtnoer voor de Indische Vereniging berkata: “ Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…. sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan “.
Sebuah artikel di ”Suara Umum“, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, yang dikutip oleh Al-Ustadz A. Hassan dalam majalah “Al-Lisan “ terdapat tulisan berbunyi: “Digul lebih utama dari pada Mekkah, Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya kiblat.“ ( M.S. Al-Lisan Nomer 24, 1938)
Oleh karena sangat loyal pada penjajah Belanda, tidak ada seorang pun anggota BO yang ditangkap Belanda. Arah perjuangan BO yang tidak nasionalis, telah mengecewakan dua pendiri BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya keluar dari BO.
Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata tokoh Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak 1895. Sekretaris BO (1916) , Boediardjo, juga seorang mason yang mendirikan cabang sendiri dengan nama Mason Boediardjo. Buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”, karya Dr. Th. Stevens memuat fakta ini.
Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi Utomo, sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja.
Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ” (Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
Budi Utomo merupakan organisasi binaan Freemasonry yang menginduk kepada Yahudi Belanda. Pengkultusan terhadap Budi Utomo, dengan menisbatkannya sebagai organisasi pelopor kebangkitan Indonesia, merupakan hasil kerja Freemasonry dan Yahudi Belanda.
Jadi, siapa pun yang dengan sadar memelihara pengkultusan ini—dengan salah satunya ikut-ikutan merayakan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei dengan sadar, padahal mereka tahu tentang sejarah yang sesungguhnya dari Budi Utomo ini—berarti telah ikut bergabung dengan barisan kaum Freemasonry dalam menyesatkan bangsa ini.
Seharusnyalah peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan tanggal 20 Mei, namun tanggal 16 Oktober. Sejarah telah mencatat jika tiga tahun sebelum Budi Utomo berdiri, Syarikat Dagang Islam (yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam) didirikan, tepatnya pada 16 Oktober 1905.
Sangat beda dengan Budi Utomo, SI lebih nasionalis dan berterus terang ingin mencapai Indonesia yang merdeka. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab itu para pengurusnyapun terdiri dari berbagai macam suku dari seluruh Nusantara.
SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, bersifat nasional, Anggaran Dasarnya ditulis dalam Bahasa Indonesia, bersikap non-kooperatif dengan Belanda, dan ikut mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan.
Sejarawan Fred R. von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama di Indonesia. Der Mehden tidak sendirian, ada banyak sejarawan asing dan juga Indonesia yang dengan tegas menyatakan jika SI-lah organisasi nasionalis pertama. Sedangkan Budi Utomo bukanlah organisasi yang nasionalis.
Usaha untuk menjadikan SI (atau SDI) sebagai tonggak Harkitnas menggantikan kesalah-kaprahan sejarah selama ini, pernah diusulkan umat Islam kepada pemerintah. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan (1956), umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Namun sangat disayangkan, seruan ini tidak didengar pemerintah, bahkan sampai saat ini.
Akhir tahun 1980-an Indonesia katanya dilanda fenomena kebangkitan Islam dan saat ini sudah ada banyak orang yang mengaku sebagai tokoh Islam yang masuk ke lingkaran pusat pemerintahan, bahkan duduk dalam pos-pos strategis. Namun bukannya mewarnai pemerintahan, mereka malah terwarnai pemerintahan yang sampai hari ini masih saja mewarisi tradisi Yahudi Belanda.
Bukannya meluruskan sejarah negeri Muslim terbesar di dunia ini, mereka malah ikut-ikutan latah memelihara warisannya Freemasonry Belanda ini.
Jika untuk meluruskan sejarah yang kecil saja mereka tidak punya keberanian sebesar biji dzarrah sekali pun, maka apa lagi yang bisa kita harapkan dari mereka?
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/merayakan-harkitnas-20-mei-mewarisi-kebodohan-sejarah.htm#.Ua65utgrPFw
cornello- SERSAN MAYOR
-
Posts : 227
Kepercayaan : Islam
Location : Manado
Join date : 18.05.12
Reputation : 13
Similar topics
» DIPOTONG TANGANNYA KARENA MEMBERI SEDEKAH
» [cina ndeso][ada kerajinan tangannya] Another year of Cerasus blossom season, come to the pot Cerasus tea又是一年樱花季,来壶樱花茶吧|Liziqi channel
» [cina ndeso][ada kerajinan tangannya] Another year of Cerasus blossom season, come to the pot Cerasus tea又是一年樱花季,来壶樱花茶吧|Liziqi channel
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik