Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
Halaman 1 dari 1 • Share
Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
Sejarah dan Makna Teologis Shalat 7 Waktu
dan Paralelisasinya dengan Islam
Oleh: Bambang Noorsena, SH, MA
Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi di lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern (E.H. Van Olst, teolog Protestan) [1].
Dalam komunitas Kristen yang berbahasa Arab, Doa-doa Harian atau Brevir (Latin: De Liturgia Horanum) lebih populer disebut Sab'u ash shalawat (Shalat Tujuh Waktu). Liturgia Horanum adalah doa-doa harian yang dilakukan pada saat-saat tertentu, yang didasarkan atas penghayatan jamjam peristiwa Yesus, khususnya Jalan Salib-Nya (Latin: Via Dolorosa, Arab: Tarikh al-Alam) [2]. Brevir atau doa-doa harian ini sifatnya non-sakramental, dalam bilangan tujuh waktu secara lengkap, saat ini masih dilaksanakan di seluruh gereja-gereja Timur, khususnya oleh para rahib di biara-biara. Tetapi pemeliharaan waktu-waktu shalat, lengkap dengan adab qiyam (berdiri), ruku' dan sujud, terutama dilestarikan di Gereja Ortodoks Syria.
Karena kekunoannya, tentu saja tidak dapat dikatakan bahwa tata-cara ini dipengaruhi Islam, seperti sering dituduhkan orang Kristen di Indonesia. Model doa-doa harian seperti ini, bukan hanya waktu-waktunya yang dapat dilacak dari ayat-ayat Alkitab sendiri, tetapi juga dokumen-dokumen gereja kuno, masamasa menjelang kelahiran Islam, hingga pada zaman sekarang ini. Pola-pola doa seperti ini, khususnya dalam Gereja Katolik ritus Latin, sudah banyak mengalami penyesuaian akibat tuntutan hidup modern.
I. AI-Quddos al-Ilahi dan Sab'ush Shalawot:
Dua Corak Ibadah Gereja Mula-mula
Sejarah gereja mula-mula, sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian Baru, dengan jelas mencatat bahwa sejak awal mula orang-orang Kristen awal: " .... bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu menjalankan shalat-shalat dan merayakan ekaristi" (Kisah 2:41, Peshitta) [3]. Ayat ini mencatat kedua corak ibadah gereja kuno, yakni ibadah sakramental (Arab: AI-Quddas al-Ilahi, Perjamuan Kudus) dan ibadah non-sakra-mental, antara lain ibadah-ibadah harian dengan waktu-waktu tertentu (cf. "waktu sembahyang", Kisah 3:1).
Ternyata dua corak ibadah ini hanya meneruskan dari kedua corak ibadah Yahudi: hag (jamak: hagigah) dan Siddur. Hagigah ialah perayaan besar yang harus diselenggarakan 3 kali dalam setahun di kota suci Yerusalem. Kata yang diterjemahkan "perayaan". Perlu dicatat pula, kata Ibrani hag[/i][/b] (yang seakar dengan kata Arab: hajj[/i][/b] ), yang sejak dibangunnya Bet hammiqdas (Arab: Bait al-Maqdis) di Yerusalem, perayaan 3 kali dalam setahun ini dipusatkan di kota suci itu (Keluaran 23:14; Mazmur 122:4). Perayaan besar atau !lag ke Yerusalem ini, dalam kacamata Iman Kristen sudah digenapi dengan kedatangan Yesus Sang Mesiah, dan satu dari antara ketiga hag[/i][/b] yang terbesar, yaitu Hag[/i][/b] ha-Pesah (Perayaan Paskah) yang dahulu menjadi puncak perayaan-perayaan Yahudi, sekarang dimengerti dalam makna yang baru.
Kalau Paskah Yahudi adalah perayaan pembebasan Bani lsrail dari perbudakan Fir'aun di Mesir, maka Paskah Kristen adalah perayaan pembebasan umat manusia dari belenggu dosa berkat penebusan Kristus [4]. Teologi penebusan sendiri ternyata lebih dilatarbela-kangi konsep Yahudi mengenai kippur (Arab: ka-ffarat), yang artinya penebusan atau penggantian. Kurban yang menjadi puncak dari seluruh peribadatan Yahudi, dilanjutkan dan digenapi dalam kurban Perjamuan Kudus (Aram: Qurbana Qaddisa, Arab: AI-Quddas al-Ilahi). Dan apabila Paskah Yahudi itu dirayakan dengan roti tidak beragi, maka dalam ekaristi umat "memecah-mecahkan roti", yang secara teologis diimani sebagai tubuh dan darah Kristus. Karena kedatangan Kristus sudah menggenapi Taurat dan kitab Nabi-nabi, tidak lagi mewajibkan ber-hag ke Yerusalem, melainkan "memecahkan roti di rumah masingmasing" (Kisah 2:46) [5].
Perlu diketahui, peristiwa nuzulnya Firman Allah menjadi manusia (Kalimatullah al-Mutajjasad): kelahiran, kematian, kebangkitan dan mi'raj-Nya ke surga, menjiwai seluruh ibadah Kristen, baik ketujuh sakramen gereja, khususnya Perjamuan Kudus, maupun ibadah-ibadah non-sakramental, seperti Shalat Tujuh Waktu. Pembagian waktu shalat ini mula-mula berasal dari pembagian waktu-waktu menurut perhitungan Yahudi kuno. Begitu juga unsur-unsur doa yang dipanjatkan, kendati di-mengerti dalam makna baru yang berpusat pada permenungan atas peristiwa Kristus.
------------------------------
[1] E.H. van Olst, Alkitab dan Liturgi (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1996), hlm. 68-69.
[2] Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur, masih melaksanakan Shalat Tujuh Waktu (as-sab'u ash-shalawat) dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dame, Indiana: University of Nostre Dame Press, t.t.). Demikianlah catatan Aziz 5. Atiya mengenai pelestarian ibadah ini pada tiap-tiap gereja Timur: Gereja Orthodoks Koptik: "These seven hours consisted of the Morning prayer, Terce, Sext, None, Vespers, Compline and the Midnight prayer ... " (hlm. 128). Mengenai Gereja Orthodoks Syria, "... kepp usual hours from Matins ti Compline, with they describe as the 'protection prayer' (Suttara) before retiring" (hlm. 124). Sedangkan Gereja Katolik Maronit di Libanon: "Seven in number, they are the Night Office, Matins, Third, Sixth and Nine Hours, Verpers and Compline" (hlm. 414).
[3] Terjemahan Baru LAI 1974 menerjemahkan "doa", tetapi dalam bahasa as Ii dipakai bentuk jamak, cf. New [(ing James Bible: "And they continue steadfastly in the apostles' doctrine and fellowship, in the breaking of bread and in prayers". Terjemahan ini, cocok dengan adab rasul-rasul yang berdoa pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana dieatat dalam Kis. 2:15; 3:1; 10:9;30; 16:25.
[4] Lihat: Tafsiran Yohanes 4:24, dalam Tadrus Malathl, Tofsi« AIKitab ol-Muqaddas: AI·!njll bi Hasab Yuhanna. Juz 1 (Cairo: Maktabah atMahabbah, 2003), him. 123·126.
[5] Kendatipun bukan ibadah wajib lagi, tetapi umat Kristen baik dari gereja-gereja orthodoks maupun katolik, ketika 'aliyah (ziarah) ke Yerusalem, mereka biasanya melaksanakan ibadah khusus "Jalan Salib Kristus" (thariq al-alam) yang biasa dirayakan besar-besaran setiap 'Id al-Fashhah (perayaan Paskah), bahkan menjadi devosi imam-imam dan rahib-rahib yang tinggal di Yerusalem setiap hari Jumat.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
II. Shalat dan Shalawat: dalam Komunitas Kristen-Arab dan Islam
Istilah dalam bahasa Arab Shalat berasal dari bahasa Aram Tselota [6]: Ungkapan ini, misalnya dapat dibaca dalam Kisah Rasul 4:42, teks Pshitta: waminin hu be syulfana de shliha we mish-tautfin hwo ba tselota we baqtsaya de eukaristiya [7]. Artinya: "Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu melaksanakan tselota dan merayakan ekaristi", Dalam bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut kasril khubzi wa Shalawat, Maksudnya, "memecah-mecahkan roti dan doa-doa".
Istitah shalat: di negara-negara Timur Tengah digunakan baik oleh umat Islam maupun Kristen, meskipun dalam pemakaiannya kata ini agak berbeda. Dalam Islam memang dibedakan pengertian shalat secara bahasa (Iughawi) sebagai "doa yang sebaik-baiknya" (ad-du'au bi al-khair), dan maknanya secara syari'ah Islam (syar'i) sebagai doa menurut tertib waktu dan ritual tertentu. Dalam makna demikian, Islam membedakan istilah shalat dengan doa-doa pada umumnya yang bisa dilakukan di sembarang waktu. sedangkan dalam Kristen, kata ini diterapkan baik untuk doa-doa yang dikanonisasikan (Ash-Shalat al-Fardhiyyah) menurut waktu-waktu dan cara tertentu, maupun .doa-doa pada umumnya (contohnya: Ash-Shalat ar-Rabbaniyah, "Doa Bapa kami") [8].
Dalam Kristen, kata shalat juga kadang-kadang diterapkan untuk menyebut AI-Quddas (misa atau perjamuan kudus) pada hart-hart perayaan tertentu. Perjamuan Kudus yang biasanya disebut AI-Quddas al-Ilahi, juga disebut Shalat AI-Quddas. sedangkan ibadah-ibadah perayaan, terutama Perayaan Natal ('Id al-Milad) dan Perayaan Paskah ('Id al-Fashha) juga lazim disebut Shalat al-'Id [9]. Jadi, berbeda dengan Islam, kata Shalat dalam komunitas Kristen dipakai dalam makna lebih luas. Selain kata shalat ini, dalam bahasa Arab juga acap kali dipakai juga dalam bentuk jamak Shalawat: Kedua bentuk ini sama-sama muncul, baik dalam al-Qur'an, maupun dalam Alkitab berbahasa Arab dan tradisi liturgis gereja-gereja Arab.
Secara etimologis, perubahan bentuk dari bahasa suryani/ Aram Tselota menjadi bahasa Arab shalat, bisa dilacak dari proses korespondensi bunyi (the phonetic corepondence). Dalam rumpun bahasa-bahasa semitik, aksara Aram ts sering berubah menjadi aksara Ibrani sy, dan menjadi aksara Arab sh. Misalnya, kata dasar Aram tsela (Daniel 6: 11) bentuk Ibraninya syalu, sebagaimana kita dijumpai dalam ayat: Syalu Syalom Yerusalem. Artinya: "Berdoalah untuk keselamatan Yerusalem". (Mazmur 122:5). P. K. Pilon mencatat, banyak ahli menduga kata-kata selah, yang sering muncul dalam mazmur-mazmur, mungkin berasal dari akar kata Aram ts-I yang artinya ruku' atau membungkuk [10].
Kalau demikian, mungkin dapat diduga bahwa pada zaman dahulu, kata ini dimaksudkan sebagai sebuah panggilan untuk ruku' di seta-seta pendarasan ayat-ayat mazmur. Kata Aram tselota sendiri, juga berasal dari akar kata yang sama. Jadi, nomina tselota dalam bahasa Aram merupakan nomen actionis, yang berarti ruku', atau perbuatan membungkukkan badan. Karena itu, secara teknis tselota dalam dialek Aram digunakan dalam arti ritus penyembahan.
Dari kata tselota inilah, bahasa Arab kemudian melestarikannya menjadi kata shalat, Istilah shalat ini dipakai baik oleh umat Islam maupun seluruh gereja-gereja berbahasa Arab di Timur Tengah, sedangkan kata Suryani tselota dipakai oleh seluruh gereja-gereja berbahasa Suryani (Gereja Ortodoks Syria, Gereja Assyria Timur, Gereja Maronit, Gereja Khaldea Kesatuan, dan Gereja Katolik Syria), berdampingan dengan kata Arab shalat tersebut sampai sekarang. Perlu dicatat pula, ada sedikit perbedaan dalam pemakaian kedua bentuk kata Arab shalat dan shalawat dalam komunitas Muslim dan Kristen berbahasa Arab.
Selanjutnya, Mar Ignatius Ya'qub III menekankan bahwa orang-orang Kristen hanya "melanjutkan adab yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa timur lainnya ketika memuji Allah dalam praktek ibadah mereka" (taba'an lamma kana yaf'alahu al-yahud wa ghayrihim fi al-syarqi fi atsna' mumarasatihim al-'ibadah) [11]. Perlu dicatat pula, bahwa pada akhimya pola ibadah ini telah dilestarikan pula oleh umat Muslimin" (wa qad iqtobasa al-Muslimun aidhan buduruhum hadza at-noun min al-'ibadah) [12]. Ritus shalat sebagai ibadah harian pada waktuwaktu yang ditentukan, bukan hal baru dalam tradisi Kristen, dan tidak bisa dimonopoli oleh Islam saja.
------------------------------
[6] Arthur Jefferey, The Foreign Vocabulary of The Qur'an (Lahore: al-Biruni), hlm. 198-199. Lihat juga: Mar Gregorius Yuhanna Ibrahim (ed.), Rafiq al-Mu'min: Khidmat AI-Quddas wa At- Taranim ar-Ruhiyyah (Al-Raha, Suriyah: Dar Mardin, 1992), hlm. 50-51.
[7] Lihat: Qyama Hdata,ha Ktaba Oadyateqe Hdata (Jerusalem: The Aramaic Peshitta New Testament Research - The Sible Society in Israel, 1986), hlm. 156.
[8] Buthros 'Abd al-Malik, Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut:
Majma' al-Kana'is fi al-Syarq al-Adna, 1981), hlm. 548 .
[9] Dalam hubungan antariman yang cukup harmonis antara umat Islam dan Kristen Koptik di Mesir, pejabat-pejabat negara, bahkan ulamaulama Islam, biasanya mereka masuk ke gereja dan mengikuti perayaan, tetapi pada waktu AI-Quddas al-Ilahi mereka meninggalkan katedral lebih dahulu. Biasanya, acara perayaan natal diisi taranim (kidungkidung), Wawat mazamir (pembacaan mazmur) dan Qanun al-iman (pengakuan iman), diakhiri khotbah Baba Shenuda III. Kalau ada sambutan-sarnbutan dari wakil pemerintah, tokoh masyarakat atau tokoh agama lain, biasanya dilakukan seusai khotbah sebelum AI-Quddas al-Ilahi sebagai puncak ritual Kristen. Lihat juga: "Mishr kulluha ihtifalat bi 'Id al-Milad ai-Majid", dimuat datam Majalah AI-Wathani, 11 Januari 2003.
[10] P.K. Pilon, Tafsiran Habakuk (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1974), h. 65. Lihat juga: Mar Ignatius Afram I Bar Shaum, At- Tuhfat ar-Ruhiyah fi ash-Shalat al-Fardhiyah (Aleppo, Suriah: Dar al-Raha li Nasyr, 1990), hlm. 47.
[11] Mar Ignatius Ya'qub III, AI-Kanisat al-Suryaniwah al-Anthakiyyah al-Urthudoksiyyah (Damaskus, Suriah: Alif-Ba' AI-Adib Ii an-Nasyr, 1980), hlm. 15.
[12] Ibid.
Istilah dalam bahasa Arab Shalat berasal dari bahasa Aram Tselota [6]: Ungkapan ini, misalnya dapat dibaca dalam Kisah Rasul 4:42, teks Pshitta: waminin hu be syulfana de shliha we mish-tautfin hwo ba tselota we baqtsaya de eukaristiya [7]. Artinya: "Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu melaksanakan tselota dan merayakan ekaristi", Dalam bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut kasril khubzi wa Shalawat, Maksudnya, "memecah-mecahkan roti dan doa-doa".
Istitah shalat: di negara-negara Timur Tengah digunakan baik oleh umat Islam maupun Kristen, meskipun dalam pemakaiannya kata ini agak berbeda. Dalam Islam memang dibedakan pengertian shalat secara bahasa (Iughawi) sebagai "doa yang sebaik-baiknya" (ad-du'au bi al-khair), dan maknanya secara syari'ah Islam (syar'i) sebagai doa menurut tertib waktu dan ritual tertentu. Dalam makna demikian, Islam membedakan istilah shalat dengan doa-doa pada umumnya yang bisa dilakukan di sembarang waktu. sedangkan dalam Kristen, kata ini diterapkan baik untuk doa-doa yang dikanonisasikan (Ash-Shalat al-Fardhiyyah) menurut waktu-waktu dan cara tertentu, maupun .doa-doa pada umumnya (contohnya: Ash-Shalat ar-Rabbaniyah, "Doa Bapa kami") [8].
Dalam Kristen, kata shalat juga kadang-kadang diterapkan untuk menyebut AI-Quddas (misa atau perjamuan kudus) pada hart-hart perayaan tertentu. Perjamuan Kudus yang biasanya disebut AI-Quddas al-Ilahi, juga disebut Shalat AI-Quddas. sedangkan ibadah-ibadah perayaan, terutama Perayaan Natal ('Id al-Milad) dan Perayaan Paskah ('Id al-Fashha) juga lazim disebut Shalat al-'Id [9]. Jadi, berbeda dengan Islam, kata Shalat dalam komunitas Kristen dipakai dalam makna lebih luas. Selain kata shalat ini, dalam bahasa Arab juga acap kali dipakai juga dalam bentuk jamak Shalawat: Kedua bentuk ini sama-sama muncul, baik dalam al-Qur'an, maupun dalam Alkitab berbahasa Arab dan tradisi liturgis gereja-gereja Arab.
Secara etimologis, perubahan bentuk dari bahasa suryani/ Aram Tselota menjadi bahasa Arab shalat, bisa dilacak dari proses korespondensi bunyi (the phonetic corepondence). Dalam rumpun bahasa-bahasa semitik, aksara Aram ts sering berubah menjadi aksara Ibrani sy, dan menjadi aksara Arab sh. Misalnya, kata dasar Aram tsela (Daniel 6: 11) bentuk Ibraninya syalu, sebagaimana kita dijumpai dalam ayat: Syalu Syalom Yerusalem. Artinya: "Berdoalah untuk keselamatan Yerusalem". (Mazmur 122:5). P. K. Pilon mencatat, banyak ahli menduga kata-kata selah, yang sering muncul dalam mazmur-mazmur, mungkin berasal dari akar kata Aram ts-I yang artinya ruku' atau membungkuk [10].
Kalau demikian, mungkin dapat diduga bahwa pada zaman dahulu, kata ini dimaksudkan sebagai sebuah panggilan untuk ruku' di seta-seta pendarasan ayat-ayat mazmur. Kata Aram tselota sendiri, juga berasal dari akar kata yang sama. Jadi, nomina tselota dalam bahasa Aram merupakan nomen actionis, yang berarti ruku', atau perbuatan membungkukkan badan. Karena itu, secara teknis tselota dalam dialek Aram digunakan dalam arti ritus penyembahan.
Dari kata tselota inilah, bahasa Arab kemudian melestarikannya menjadi kata shalat, Istilah shalat ini dipakai baik oleh umat Islam maupun seluruh gereja-gereja berbahasa Arab di Timur Tengah, sedangkan kata Suryani tselota dipakai oleh seluruh gereja-gereja berbahasa Suryani (Gereja Ortodoks Syria, Gereja Assyria Timur, Gereja Maronit, Gereja Khaldea Kesatuan, dan Gereja Katolik Syria), berdampingan dengan kata Arab shalat tersebut sampai sekarang. Perlu dicatat pula, ada sedikit perbedaan dalam pemakaian kedua bentuk kata Arab shalat dan shalawat dalam komunitas Muslim dan Kristen berbahasa Arab.
Selanjutnya, Mar Ignatius Ya'qub III menekankan bahwa orang-orang Kristen hanya "melanjutkan adab yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa timur lainnya ketika memuji Allah dalam praktek ibadah mereka" (taba'an lamma kana yaf'alahu al-yahud wa ghayrihim fi al-syarqi fi atsna' mumarasatihim al-'ibadah) [11]. Perlu dicatat pula, bahwa pada akhimya pola ibadah ini telah dilestarikan pula oleh umat Muslimin" (wa qad iqtobasa al-Muslimun aidhan buduruhum hadza at-noun min al-'ibadah) [12]. Ritus shalat sebagai ibadah harian pada waktuwaktu yang ditentukan, bukan hal baru dalam tradisi Kristen, dan tidak bisa dimonopoli oleh Islam saja.
------------------------------
[6] Arthur Jefferey, The Foreign Vocabulary of The Qur'an (Lahore: al-Biruni), hlm. 198-199. Lihat juga: Mar Gregorius Yuhanna Ibrahim (ed.), Rafiq al-Mu'min: Khidmat AI-Quddas wa At- Taranim ar-Ruhiyyah (Al-Raha, Suriyah: Dar Mardin, 1992), hlm. 50-51.
[7] Lihat: Qyama Hdata,ha Ktaba Oadyateqe Hdata (Jerusalem: The Aramaic Peshitta New Testament Research - The Sible Society in Israel, 1986), hlm. 156.
[8] Buthros 'Abd al-Malik, Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut:
Majma' al-Kana'is fi al-Syarq al-Adna, 1981), hlm. 548 .
[9] Dalam hubungan antariman yang cukup harmonis antara umat Islam dan Kristen Koptik di Mesir, pejabat-pejabat negara, bahkan ulamaulama Islam, biasanya mereka masuk ke gereja dan mengikuti perayaan, tetapi pada waktu AI-Quddas al-Ilahi mereka meninggalkan katedral lebih dahulu. Biasanya, acara perayaan natal diisi taranim (kidungkidung), Wawat mazamir (pembacaan mazmur) dan Qanun al-iman (pengakuan iman), diakhiri khotbah Baba Shenuda III. Kalau ada sambutan-sarnbutan dari wakil pemerintah, tokoh masyarakat atau tokoh agama lain, biasanya dilakukan seusai khotbah sebelum AI-Quddas al-Ilahi sebagai puncak ritual Kristen. Lihat juga: "Mishr kulluha ihtifalat bi 'Id al-Milad ai-Majid", dimuat datam Majalah AI-Wathani, 11 Januari 2003.
[10] P.K. Pilon, Tafsiran Habakuk (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1974), h. 65. Lihat juga: Mar Ignatius Afram I Bar Shaum, At- Tuhfat ar-Ruhiyah fi ash-Shalat al-Fardhiyah (Aleppo, Suriah: Dar al-Raha li Nasyr, 1990), hlm. 47.
[11] Mar Ignatius Ya'qub III, AI-Kanisat al-Suryaniwah al-Anthakiyyah al-Urthudoksiyyah (Damaskus, Suriah: Alif-Ba' AI-Adib Ii an-Nasyr, 1980), hlm. 15.
[12] Ibid.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
III. 'Iddana Tselota: Waktu-waktu Doa dari Yudaisme ke Kristen Mula-mula
Ketika merealisasikan misi keselamatan Allah ke dunia, Kristus memanggil murid-muridnya yang berasal dari bangsa Yahudi. Ketika mereka beribadah di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge, mereka tidak mempunyai cara lain kecuali cara Yahudi. Setelah kenaikan Yesus ke surga, umat Kristen perdana di Yerusalem masih meneruskan kebiasaan Yahudi ini, yaitu sembahyang dengan waktu-waku tertentu (Kisah 3:1; 10:9; 10:30). Serentak dengan itu, mereka juga menyadari bahwa dengan kedatanganNya, Yesus sudah menggenapi hukum Taurat dan Kitab Nabi-nabi (Matius 5:17).
Dalam konteks situasi seperti itulah, umat Kristen mulamula melaksanakan ibadah mereka kepada Allah. Dan untuk itu, gereja telah mengambil dari kaum Yahudi tilawah ayat-ayat Mazmur, dan shalat-shalat yang ditentukan pada jam-jam tertentu (wa qad akhadzat ba'dha ai-kana'is 'an yahud tilawat mazamir wa shalawat mu'awanat fi hadzihi as-sa'ah) [13]. Fakta bahwa umat Kristen mula-mula berdoa pada jam-jam tertentu, dengan jelas dinyatakan dalam kesaksian kehidupan gereja perdana, seperti tercatat dalam Perjanjian Baru dan tulisan-tulisan bapa-bapa rasuli (the apostolic fathers, "murid-murid para rasul") terawal.
Umat Kristen mula-mula jelas berakar pada adab keyahudian, sehingga tidak dapat disangkal bahwa mula-mula sekali umat Kristen juga rnelakukan sembahyang 3 kali dalam sehari (Daniel 6:10; Mazur 55:17). Mazur 55:18 dengan jelas mencatat tiga waktu sembahyang Yahudi, yakni pada waktu petang, pagi dan tengah hari. Dalam bahasa lbrani, tiga waktu sembahyang tersebut adalah: 'erev we boker we tsohorayim (Arab: masya'an wa shabhan wa dhuhran). Dalam kitab-kitab doa Yahudi, waktu petang ('erev) sering disebut juga ma'ariv (Arab: maghrib) [14].
Doa pada waktu senja ini, dalam gereja-gereja berbahasa Arab disebut shalat ghurub (doa waktu matahari tenggelam) atau shalat masya' (doa sore hari). Menurut literatur Yahudi, Talmud (B'rakot 26b), setelah penghancuran Baitul Maqdis dan zaman pembuangan di Babel, ditetapkan satu waktu doa lagi, yaitu doa jam ke sembilan (sa'at at-tis'ah), Menurut hitungan waktu Yahudi, doa ini dilakukan kira-kira jam tiga petang (sejajar dengan waktu 'Asyar dalam Islam) [15]. Dalam bahasa Ibrani, sembahyang ini disebut minhah (korban petang). sembahyang minhah inilah yang disebutkan dalam Kisah 3: 1 dan 10:9, dan dibedakan dengan dengan waktu ma'ariv yang disebutkan dalam Ezra 9:5; Daniel 9:21; Mazmur 141:2.
Menurut sejarahwan Yahudi Flavius Josephus [16], penetapan sembahyang minhah merupakan reinterpretasi dari frasa "antara kedua waktu petang" yang disebut Yubelium 49:1, 10-12 [17], yaitu sebuah sumber ekstrakanonik Yahudi. Dari latar-belakang dan warisan keagamaan Yahudi ini, Kisah 3:1 mencatat kebiasaan Kristen mula-mula, yang dengan jelas mengenal "waktu sembahyang". sebagaimana umat Kristen mewarisi batu-batu pondasi ritus umat Allah sebelumnya, tetapi menafsirkannya dalam terang kedatangan Yesus sebagai Sang Mesiah, maka waktuwaktu doa Yahudi itu dipelihara, akan tetapi dengan penghayatan tersendiri yang berpusat pada Kristus (christocentris), khususnya merujuk kepada kurban akbar-Nya di Kalvari.
Waktu-waktu sembahyang ini dalam gereja purba ditentukan berdasarkan pembagian waktu sehari menurut sistem Ibrani kuno. Berbeda dengan waktu modern yang dimulai dari pagi hari, perhitungan waktu Ibrani dirnulai dari sore hari, kira-kira saat setelah matahari terbenam. Lalu 12 jam pada hari siang-nya, yang dihitung pertiga jam. Dalam bahasa Ibrani, mulai dari: sya'ah haehad, "jam pertama" (sejajar dengan pukul 06.00 pagi), sya'ah ha-syelisit, "jam ketiga" (sejajar dengan pukul 09.00 pagi), sya'ah syisyit, "jam keenam" (sejajar dengan pukul 12.00 siang), dan sya'ah ha-tesi'it, "jam kesembilan" (sejajar dengan pukul 15.00 petang).
Berdasarkan perhitungan waktu seperti itulah, Kisah Rasul-rasul mencatat bagaimana para rasul dan umat Kristen mula-mula dengan setia menunaikan waktu-waktu sembahyang. Dalam Alkitab bahasa Indonesia (LAI 1974), penyebutan waktu-waktu ini sudah disesuaikan dengan perhitungan waktu modern.. Misalnya, Kisah 3:1 mencatat: "Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu jam ke sembilan (epi tên hôran tês proseukhês tên enatên), naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah untuk berdoa". Kisah 2:1,15 mencatat pula bahwa pada hari besar Pentakosta (lbrani: Hag hasy syavu'ot) Roh Kudus turun saat mereka yang "berkumpul pada jam ke tiga" (estin gar hôra tritê tês hêmeras).
Sedangkan dalam Kisah 10:9 dikisahkan bahwa asul Petrus berdoa pada jam ke enam" (hôran ektên). Selanjutnya, Kisah 10:30 mencatat perkataan Kornelius: "Kira-kira pada waktu yang sama dengan sekarang, yaitu "pada jam ke sembilan aku sedang bersembahyang" (tês hôras êmên tên enatên proseukhomenos).
Paulus dan Silas dikisahkan juga mempunyai ke-biasaan berdoa pada tengah malam (shalat al-Iail), sebagaimana dilakukan nabi-nabi pada zaman dahulu (Mazmur 119 :62; Kisah 16: 25).
Rujukan paling dini mengenai kebiasaan sembahyang harian ini, bisa dibaca dalam Kitab Didakhe (tahun 95 M) yang menganjurkan agar dalam sembahyang kita doa Bapa Kami dibaca 3 kali dalam sehari." Tiga kali sehari ini jelas masih menunjuk waktu-saktu sembahyang Yahudi, dimana gereja mula-mula berasal. Klemens ar-Rurnani, salah seorang murid Rasul Petrus yang menjadi uskup Roma (yang namanya juga disebut Rasul Paulus dalam Filipi 4:3), tahun 90 Masehi menulis surat kepada orang-orang Kristen di Roma: "Kebangkitan rohani kita adalah dengan melaksanakan ibadah harian pada waktu-waktu yang telah ditetapkan" [19].
Selain itu, kita juga membaca karya kuno lain, antara lain yang ditulis Klemens al-Iskandari (tahun 150-215 M), dalam salah satu suratnya menyebut: " ... waktu-waktu yang ditetapkan para bapa gereja kita, yang kita pelihara dengan melaksanakannya secara rutin dari hari ke hari" [20]. "Sungguhpun kita boleh bersyukur kepada Allah", tulis Basilius al-Kabir, "setiap waktu, kita tidak boleh melalaikan waktu-waktu doa yang telah ditetapkan Rasulrasul di Yerusalem" [21].
Hampir semua bapa-bapa gereja, baik di Barat maupun di Timur, mereka menulis pentingnya ibadah harian ini. Di gereja wilayah tirnur, misalnya Mar Yuhanna Dahabi al-Fam / Yohanes Chrysostomos (354-407 M), dim di gereja wilayah barat, dapat disebut St. Agustinus (340-420) [22]. Referensi terlengkap tentang sembahyang harlan, lengkap dengan makna teologis masing-masing waktu, dijumpai dalam sebuah dokumen kuno al-Dasquliyah:
Ta'alim ar-Rusul (Latin: Didascalia Apostolorum, "Konstitusi Rasuli"), yang editing terdininya telah rampung dikerjakan oleh Hypolitus tahun 215 M [23].
----------------------------------
[13] Buthrus 'Abd ai-Malik, Op. Cit., hlm. 549.
[14] Rabbi Nossom Schermann (ed.), Siddur Ahabat Shalom. The Complete ArtScroll Siddur (New York: Mesorah Publications, Ltd., 1996), hlm. 330.
[15] Richard Bauckham (ed.), The Boak of Acts in its First Century Setting. Vol. IV. Palestinian Setting (Michigan: William B. Erdmans Publishing Company, 1995), him. 296.
[16] Ibid. Lihat: William Wisston, A.M. (ed.), The Works of Flavius Josephus, Vol. I (Philadelphia: J.B. Lippincott, 1872), khususnya "Antiquities of Jews" (Book XIV), him. 46.
[17] Mengenai ungkapan "between the evenings" (antara dua waktu petang) dalam Book of Jubelium ini, lihat: R.H. Charles (ed.), The Apocrypha and Pseudographo of the Old Testament in English. Vol. II (Oxford: Clarendon Press, 1968)
[18] Jack N. Sparks (ed.), The Apastolic Fathers (Minnesota: The Light and Life Publishing House, 1978), him. 308·320.
[19] I Clement XI, 17-18 dalam Frank Crane (ed.), The Lost Books of The Bible and Forgotten Baaks of Eden (New York: World Bible Publications, Inc., 1927), 124. Dalam teks Yunani: kata kairon (in due season), jelas menunjuk kepada sembahyang pada jam-jam yang ditetapkan sejak zaman kuno. Cf. Allan Menzies D.O. (ed.), The Writings of the Fathers Down to A.D. 325. Vol. 9 (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc., 1994), hlm. 235.
[20] II Clement IV,11 dalam Ibid, p. 144. Lihat juga: Allan Menzies D. D. (ed.), Op. Cit., hlm. 254.
[21] J.L. Ch. Abineno, Ibadah Jemaat di Timur dan di Barat (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1961), hlm. 91-92.
[22] Ibid, hlm. 93-94.
[23] Ibid, hlm. 90. Teks lengkap Didascalia Apostolorum ini, sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab. Lihat: Al-Qamash Marqus Dawud (ed.), AI-DasqOliyah: Ta'alim al-Rusul (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 1979)
Ketika merealisasikan misi keselamatan Allah ke dunia, Kristus memanggil murid-muridnya yang berasal dari bangsa Yahudi. Ketika mereka beribadah di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge, mereka tidak mempunyai cara lain kecuali cara Yahudi. Setelah kenaikan Yesus ke surga, umat Kristen perdana di Yerusalem masih meneruskan kebiasaan Yahudi ini, yaitu sembahyang dengan waktu-waku tertentu (Kisah 3:1; 10:9; 10:30). Serentak dengan itu, mereka juga menyadari bahwa dengan kedatanganNya, Yesus sudah menggenapi hukum Taurat dan Kitab Nabi-nabi (Matius 5:17).
Dalam konteks situasi seperti itulah, umat Kristen mulamula melaksanakan ibadah mereka kepada Allah. Dan untuk itu, gereja telah mengambil dari kaum Yahudi tilawah ayat-ayat Mazmur, dan shalat-shalat yang ditentukan pada jam-jam tertentu (wa qad akhadzat ba'dha ai-kana'is 'an yahud tilawat mazamir wa shalawat mu'awanat fi hadzihi as-sa'ah) [13]. Fakta bahwa umat Kristen mula-mula berdoa pada jam-jam tertentu, dengan jelas dinyatakan dalam kesaksian kehidupan gereja perdana, seperti tercatat dalam Perjanjian Baru dan tulisan-tulisan bapa-bapa rasuli (the apostolic fathers, "murid-murid para rasul") terawal.
Umat Kristen mula-mula jelas berakar pada adab keyahudian, sehingga tidak dapat disangkal bahwa mula-mula sekali umat Kristen juga rnelakukan sembahyang 3 kali dalam sehari (Daniel 6:10; Mazur 55:17). Mazur 55:18 dengan jelas mencatat tiga waktu sembahyang Yahudi, yakni pada waktu petang, pagi dan tengah hari. Dalam bahasa lbrani, tiga waktu sembahyang tersebut adalah: 'erev we boker we tsohorayim (Arab: masya'an wa shabhan wa dhuhran). Dalam kitab-kitab doa Yahudi, waktu petang ('erev) sering disebut juga ma'ariv (Arab: maghrib) [14].
Doa pada waktu senja ini, dalam gereja-gereja berbahasa Arab disebut shalat ghurub (doa waktu matahari tenggelam) atau shalat masya' (doa sore hari). Menurut literatur Yahudi, Talmud (B'rakot 26b), setelah penghancuran Baitul Maqdis dan zaman pembuangan di Babel, ditetapkan satu waktu doa lagi, yaitu doa jam ke sembilan (sa'at at-tis'ah), Menurut hitungan waktu Yahudi, doa ini dilakukan kira-kira jam tiga petang (sejajar dengan waktu 'Asyar dalam Islam) [15]. Dalam bahasa Ibrani, sembahyang ini disebut minhah (korban petang). sembahyang minhah inilah yang disebutkan dalam Kisah 3: 1 dan 10:9, dan dibedakan dengan dengan waktu ma'ariv yang disebutkan dalam Ezra 9:5; Daniel 9:21; Mazmur 141:2.
Menurut sejarahwan Yahudi Flavius Josephus [16], penetapan sembahyang minhah merupakan reinterpretasi dari frasa "antara kedua waktu petang" yang disebut Yubelium 49:1, 10-12 [17], yaitu sebuah sumber ekstrakanonik Yahudi. Dari latar-belakang dan warisan keagamaan Yahudi ini, Kisah 3:1 mencatat kebiasaan Kristen mula-mula, yang dengan jelas mengenal "waktu sembahyang". sebagaimana umat Kristen mewarisi batu-batu pondasi ritus umat Allah sebelumnya, tetapi menafsirkannya dalam terang kedatangan Yesus sebagai Sang Mesiah, maka waktuwaktu doa Yahudi itu dipelihara, akan tetapi dengan penghayatan tersendiri yang berpusat pada Kristus (christocentris), khususnya merujuk kepada kurban akbar-Nya di Kalvari.
Waktu-waktu sembahyang ini dalam gereja purba ditentukan berdasarkan pembagian waktu sehari menurut sistem Ibrani kuno. Berbeda dengan waktu modern yang dimulai dari pagi hari, perhitungan waktu Ibrani dirnulai dari sore hari, kira-kira saat setelah matahari terbenam. Lalu 12 jam pada hari siang-nya, yang dihitung pertiga jam. Dalam bahasa Ibrani, mulai dari: sya'ah haehad, "jam pertama" (sejajar dengan pukul 06.00 pagi), sya'ah ha-syelisit, "jam ketiga" (sejajar dengan pukul 09.00 pagi), sya'ah syisyit, "jam keenam" (sejajar dengan pukul 12.00 siang), dan sya'ah ha-tesi'it, "jam kesembilan" (sejajar dengan pukul 15.00 petang).
Berdasarkan perhitungan waktu seperti itulah, Kisah Rasul-rasul mencatat bagaimana para rasul dan umat Kristen mula-mula dengan setia menunaikan waktu-waktu sembahyang. Dalam Alkitab bahasa Indonesia (LAI 1974), penyebutan waktu-waktu ini sudah disesuaikan dengan perhitungan waktu modern.. Misalnya, Kisah 3:1 mencatat: "Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu jam ke sembilan (epi tên hôran tês proseukhês tên enatên), naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah untuk berdoa". Kisah 2:1,15 mencatat pula bahwa pada hari besar Pentakosta (lbrani: Hag hasy syavu'ot) Roh Kudus turun saat mereka yang "berkumpul pada jam ke tiga" (estin gar hôra tritê tês hêmeras).
Sedangkan dalam Kisah 10:9 dikisahkan bahwa asul Petrus berdoa pada jam ke enam" (hôran ektên). Selanjutnya, Kisah 10:30 mencatat perkataan Kornelius: "Kira-kira pada waktu yang sama dengan sekarang, yaitu "pada jam ke sembilan aku sedang bersembahyang" (tês hôras êmên tên enatên proseukhomenos).
Paulus dan Silas dikisahkan juga mempunyai ke-biasaan berdoa pada tengah malam (shalat al-Iail), sebagaimana dilakukan nabi-nabi pada zaman dahulu (Mazmur 119 :62; Kisah 16: 25).
Rujukan paling dini mengenai kebiasaan sembahyang harian ini, bisa dibaca dalam Kitab Didakhe (tahun 95 M) yang menganjurkan agar dalam sembahyang kita doa Bapa Kami dibaca 3 kali dalam sehari." Tiga kali sehari ini jelas masih menunjuk waktu-saktu sembahyang Yahudi, dimana gereja mula-mula berasal. Klemens ar-Rurnani, salah seorang murid Rasul Petrus yang menjadi uskup Roma (yang namanya juga disebut Rasul Paulus dalam Filipi 4:3), tahun 90 Masehi menulis surat kepada orang-orang Kristen di Roma: "Kebangkitan rohani kita adalah dengan melaksanakan ibadah harian pada waktu-waktu yang telah ditetapkan" [19].
Selain itu, kita juga membaca karya kuno lain, antara lain yang ditulis Klemens al-Iskandari (tahun 150-215 M), dalam salah satu suratnya menyebut: " ... waktu-waktu yang ditetapkan para bapa gereja kita, yang kita pelihara dengan melaksanakannya secara rutin dari hari ke hari" [20]. "Sungguhpun kita boleh bersyukur kepada Allah", tulis Basilius al-Kabir, "setiap waktu, kita tidak boleh melalaikan waktu-waktu doa yang telah ditetapkan Rasulrasul di Yerusalem" [21].
Hampir semua bapa-bapa gereja, baik di Barat maupun di Timur, mereka menulis pentingnya ibadah harian ini. Di gereja wilayah tirnur, misalnya Mar Yuhanna Dahabi al-Fam / Yohanes Chrysostomos (354-407 M), dim di gereja wilayah barat, dapat disebut St. Agustinus (340-420) [22]. Referensi terlengkap tentang sembahyang harlan, lengkap dengan makna teologis masing-masing waktu, dijumpai dalam sebuah dokumen kuno al-Dasquliyah:
Ta'alim ar-Rusul (Latin: Didascalia Apostolorum, "Konstitusi Rasuli"), yang editing terdininya telah rampung dikerjakan oleh Hypolitus tahun 215 M [23].
----------------------------------
[13] Buthrus 'Abd ai-Malik, Op. Cit., hlm. 549.
[14] Rabbi Nossom Schermann (ed.), Siddur Ahabat Shalom. The Complete ArtScroll Siddur (New York: Mesorah Publications, Ltd., 1996), hlm. 330.
[15] Richard Bauckham (ed.), The Boak of Acts in its First Century Setting. Vol. IV. Palestinian Setting (Michigan: William B. Erdmans Publishing Company, 1995), him. 296.
[16] Ibid. Lihat: William Wisston, A.M. (ed.), The Works of Flavius Josephus, Vol. I (Philadelphia: J.B. Lippincott, 1872), khususnya "Antiquities of Jews" (Book XIV), him. 46.
[17] Mengenai ungkapan "between the evenings" (antara dua waktu petang) dalam Book of Jubelium ini, lihat: R.H. Charles (ed.), The Apocrypha and Pseudographo of the Old Testament in English. Vol. II (Oxford: Clarendon Press, 1968)
[18] Jack N. Sparks (ed.), The Apastolic Fathers (Minnesota: The Light and Life Publishing House, 1978), him. 308·320.
[19] I Clement XI, 17-18 dalam Frank Crane (ed.), The Lost Books of The Bible and Forgotten Baaks of Eden (New York: World Bible Publications, Inc., 1927), 124. Dalam teks Yunani: kata kairon (in due season), jelas menunjuk kepada sembahyang pada jam-jam yang ditetapkan sejak zaman kuno. Cf. Allan Menzies D.O. (ed.), The Writings of the Fathers Down to A.D. 325. Vol. 9 (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc., 1994), hlm. 235.
[20] II Clement IV,11 dalam Ibid, p. 144. Lihat juga: Allan Menzies D. D. (ed.), Op. Cit., hlm. 254.
[21] J.L. Ch. Abineno, Ibadah Jemaat di Timur dan di Barat (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1961), hlm. 91-92.
[22] Ibid, hlm. 93-94.
[23] Ibid, hlm. 90. Teks lengkap Didascalia Apostolorum ini, sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab. Lihat: Al-Qamash Marqus Dawud (ed.), AI-DasqOliyah: Ta'alim al-Rusul (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 1979)
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
IV. Dari Yeruslem ke Timur: Makna Teologis Perubahan kiblat
Sejak zaman dahulu sampai sekarang, seluruh umat Yahudi berdoa dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Ibrani: Beyt hamMiqdash), di Yerusalem. Sinagoge-sinagoge Yahudi di luar Tanah Suci Israel mempunyai arah kiblat (Ibrani: mizrah) ke Yerusalem. Alkitab mencatat kebiasaan berdoa Nabi Daniel (Daniel 6:11) yang berkiblat: "... ke arah Yerusalem, tiga kali sehari ia berlutut dengan kakinya berdoa" (Aram: negel Yerusyalem, we zimnin talatah beyyoma hu barek 'al birkohi ume tsela). Kebiasaan ini diikuti oleh umat Kristen mula-mula, sampai kehancuran kota Yerusalem tahun 70 Masehi.
Singkat kata, setelah kehancuran Bait Allah, kemanakah umat Tuhan menghadapkan muka untuk menyembah-Nya? Umat Yahudi tetap berkiblat ke sana hingga sekarang, sambil meratapi ke arah tembok sebelah Bait Allah yang masih tersisa tersisa (Arab: Haithun al-Mubakka, Tembok Ratapan). Tetapi umat kristiani teringat pada sabda Yesus yang memang sudah menubuatkan kehancuran Bait Allah itu (Markus 13:1-2). "Saatnya akan tiba", kata Yesus kepada wanita Samaria di sumur Yakub, "kamu akan menyembah Bapa, bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem" (Yohanes 4:21).
Berdasarkan refleksi mendalam yang diterangi oleh Roh Kudus, umat beriman mulai berpikir Yesus sendirilah kiblat yang sejati. Mengapa? Karena tubuh kebangkitan-Nya telah menjadi shekinah (tempat kehadiran) Allah, untuk menggantikan Bait Allah yang fana itu (Yohanes 2:19-21). Tetapi dimanakah sekarang Kristus? Ia sudah terangkat ke surga, dan "duduk di sebelah kanan Allah" (Kolose 3:1). Pergumulan ini akhirnya mengantarkan mereka menemukan kembali kiasan kuno mengenai Firdaus: "di sebelah Timur" (Kejadian 2:8). Mereka juga menemukan bahwa tempat kudus di Baitul Maqdis, kiblat mereka dahulu waktu menyembah, yang ternyata juga "menghadap ke timur" (Yehezkiel 44:1). "Sungguh", kata Nabi Yehezkiel pula, "Kemuliaan Allah Israel datang dari sebelah timur" (Yehezkiel 43:2).
Pada akhirnya, umat Kristen perdana itu melaksanakan ibadah mereka dengan mencontoh langsung pola peribadatan Baitul Maqdis yang menghadap ke timur. Mereka tidak lagi mengikuti pola ibadah sinagoge-sinagoge yang menghadap ke Baitul Maqdis, dengan penghayatan yang baru yang bersifat kristosentris. Demikianlah makna teologis perubahan kiblat bagi orang-orang Kristen mula-mula, sebagaimana yang dapat kita baca dari tulisan-tulisan para bapa gereja kuno, antara lain karya Mar Basilius Al-Kabir. Jadi, kiblat ibadah ke arah timur ini masih dilestarikan di gereja-gereja timur, baik gereja-gereja ortodoks maupun gereja-gereja katolik ritus Timur.
Sejak zaman dahulu sampai sekarang, seluruh umat Yahudi berdoa dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Ibrani: Beyt hamMiqdash), di Yerusalem. Sinagoge-sinagoge Yahudi di luar Tanah Suci Israel mempunyai arah kiblat (Ibrani: mizrah) ke Yerusalem. Alkitab mencatat kebiasaan berdoa Nabi Daniel (Daniel 6:11) yang berkiblat: "... ke arah Yerusalem, tiga kali sehari ia berlutut dengan kakinya berdoa" (Aram: negel Yerusyalem, we zimnin talatah beyyoma hu barek 'al birkohi ume tsela). Kebiasaan ini diikuti oleh umat Kristen mula-mula, sampai kehancuran kota Yerusalem tahun 70 Masehi.
Singkat kata, setelah kehancuran Bait Allah, kemanakah umat Tuhan menghadapkan muka untuk menyembah-Nya? Umat Yahudi tetap berkiblat ke sana hingga sekarang, sambil meratapi ke arah tembok sebelah Bait Allah yang masih tersisa tersisa (Arab: Haithun al-Mubakka, Tembok Ratapan). Tetapi umat kristiani teringat pada sabda Yesus yang memang sudah menubuatkan kehancuran Bait Allah itu (Markus 13:1-2). "Saatnya akan tiba", kata Yesus kepada wanita Samaria di sumur Yakub, "kamu akan menyembah Bapa, bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem" (Yohanes 4:21).
Berdasarkan refleksi mendalam yang diterangi oleh Roh Kudus, umat beriman mulai berpikir Yesus sendirilah kiblat yang sejati. Mengapa? Karena tubuh kebangkitan-Nya telah menjadi shekinah (tempat kehadiran) Allah, untuk menggantikan Bait Allah yang fana itu (Yohanes 2:19-21). Tetapi dimanakah sekarang Kristus? Ia sudah terangkat ke surga, dan "duduk di sebelah kanan Allah" (Kolose 3:1). Pergumulan ini akhirnya mengantarkan mereka menemukan kembali kiasan kuno mengenai Firdaus: "di sebelah Timur" (Kejadian 2:8). Mereka juga menemukan bahwa tempat kudus di Baitul Maqdis, kiblat mereka dahulu waktu menyembah, yang ternyata juga "menghadap ke timur" (Yehezkiel 44:1). "Sungguh", kata Nabi Yehezkiel pula, "Kemuliaan Allah Israel datang dari sebelah timur" (Yehezkiel 43:2).
Pada akhirnya, umat Kristen perdana itu melaksanakan ibadah mereka dengan mencontoh langsung pola peribadatan Baitul Maqdis yang menghadap ke timur. Mereka tidak lagi mengikuti pola ibadah sinagoge-sinagoge yang menghadap ke Baitul Maqdis, dengan penghayatan yang baru yang bersifat kristosentris. Demikianlah makna teologis perubahan kiblat bagi orang-orang Kristen mula-mula, sebagaimana yang dapat kita baca dari tulisan-tulisan para bapa gereja kuno, antara lain karya Mar Basilius Al-Kabir. Jadi, kiblat ibadah ke arah timur ini masih dilestarikan di gereja-gereja timur, baik gereja-gereja ortodoks maupun gereja-gereja katolik ritus Timur.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
V. Makna Teologis Shalat Tujuh Waktu
L.E. Philips [24], berdasarkan penelitian arkeologisnya menulis bahwa umat Kristen paling awal sudah melaksanakan ibadah-ibadah harian pada waktu pagi, tengah hari, malam dan tengah malam. P. T. O'Brien dalam Prayer in Luke-Acts [26], lebih merincinya lagi. Menurut O'Brien, waktu tsohorayim (tengah hari) menurut Mazmur 55: 18, yang tetapi tidak masuk dalam doa Yahudi waktu itu, dan waktu tengah malam ditambahkan ke dalam waktuwaktu sembahyang Yahudi. Jadi, selaln 3 waktu sembahyang Yahudi: saharit (subuh), minchah ('asyar) dan ma'ariv (maghrib), umat Kristen mula-mula juga mengenal sembahyang tengah hari dan tengah malam.
Bagaimanakah deskripsi waktu-waktu shalat, makna dan urutan-urutannya, menurut sumber-sumber gereja-gereja purba sendiri, khususnya Gereja Ortodoks Syria? Menurut Mar Gregorius Yuhanna Ibn al-Ibri, dalam bukunya AI-Itsiqun (The Ethicon), kanonisasi tujuh waktu shalat Ini merupakan penggenapan Mazmur 119: 164. Tujuh waktu sembahyang tersebut, sesuai dengan urutan-urutannya:
Mengapa waktu-waktu sembahyang diawali dari waktu terbenamnya matahari? Menurut Mar Ya'qub al-Barthila, dalam bukunya Al-Mausum al-Kanuz, penentuan waktu maghrib sebagai permulaan waktu sembahyang didasarkan atas tradisi eklesiastikal (Arab: thuqus) Gereja Ortodoks Syria yang mengikuti kebiasaan Yahudi pada zaman rasul-rasul Kristus [27]. Urutan ini pula yang diikuti oleh dokumen gereja kuno, At-Ta'alim al-Rusul (Didascalia), Bab XXXVII, mengenai Auqat Shalat: (Waktu-waktu Sembahyang) [28].
Menurut tradisi ritus Gereja Syria tersebut, setelah shalat maghrib, shalat naum, shalat nishfu lail, dan shalat subuh, ketiga waktu sembahyang terakhir disebut shalawat as-sa'ah (yaitu: sa'at ats-tsalitsah, sa'at as-sadisah, dan sa'at attasi'ah) [29]. Hal ini agak berbeda dengan ritus Ortodoks Koptik yang memasukkan sembahyang subuh sebagai shalat sa'ah al-awwal (shalat jam pertama). Jadi, kalau tradisi Syria memasukkan shalat ini sebagai urutan terakhir dalam 12 jam paro waktu malam, maka tradisi Gereja Koptik menghitungnya dalam 12 jam paro waktu siangnya.
Salah satu sebab, mungkin pelaksanaan waktu sembahyang ini di biara-biara Koptik lebih lambat, sehingga mereka menyebutnya Shalat Bakir atau sembahyang waktu bangun tidur [30]. sedangkan dalam Ta'alim ar-Rusul (The Arabic Didascalia), perhitungan waktu awalnya justru mulai dari shalat al-Naun (sembahyang malam), seperti disebutkan dalam Bab XXXVII sebagai berikut:
Tetapi perbedaan-perbedaan kecil ini, sama sekali tidak mengurangi makna teologis waktu-waktu shalat, yang terutama terutama berdasarkan penghayatan mendalam gereja mula-mula atas Jalan Salib-Nya. Dalam makna kristosentris itulah, gereja-gereja purba memberikan makna ketujuh ibadah harian ini. Di bawah ini saya kutip waktu-waktu shalat dan maknanya bereasarkan sumber Gereja Ortodoks Syria, yang akan dibandingkan di sana-sini dengan sumber gereja-gereja lain, baik dari sumber ortodoks maupun katolik.
1. Shalat Maghrib (Shalat al-Ghurub)
2. Shalat Waktu Tidur (Shalat an-Naum)
3. Shalat Tengah Malam (Shalat Nishfu al-Lail)
4. Shalat Subuh (Shalat As-Subuh)
5. Shalat Jam Ketiga (Shalat As-Sa 'at Ats- Tsalitsah)
6. Shalat Jam Keenam (Shalat As-Sa'at As-Sadisah)
7. Shalat Jam Kesembilan (Shalat As-Sa'at At- Tasi'ah).
------------------------------------
[24] Richard Bauckham (ed.), Op. Cit, him. 295.
[25] Lebih lannjut, tulis O'Brien: " ... argues that the early Christians added noon and midnight to the regular Jewish hours of prayer". Ibid, hlm. 295-296.
[26] Bar Shuam, Op. Cit, hlm. 44-45.
[27] Ibid, hlm. 44.
[28] AI-Qamash Marqus Dawud (ed.), Op. Cit, hlm, 171.
[29] Mar Ignatius Afram Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 45.
[30] Dalam Koptik, buku ibadah harian ini lazim disebut AI-Ajabiah (dialek Mesir: Al-Agbiyah). Lihat: AI-Qamash Isodurus al-Bararnus (ed.), Kitab al-Agbiya; Shalawat as-Sa'at wa Ruh at- Tadhra'at (Cairo: Maktabah Mar Girgis Syaikulani, 1993).
[31] Marqus Dawud (ed.), Loc. Cit.
[32] Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 44.
[34] AI-Baramus, Op. Cit., hlm. 142.
[35] Bar Shaum, Loc. Cit.
[36] Al-Baramus, Op. Cit., hlm. 47.
[37] AI-Baramus, Op. Cit., him. 174.
[38] Bar Shaum, Op. Cit., hlm. 45.
[39] Al-Baramus, Op. Cit., hlm. 125.
[40] "lnstitutio Generalis de Liturgia Horanum 2.1/1971" dalam Kornisi Liturgi KWI (ed.), Kumpulan Dokumen Liturgi. Bina Liturgia No. 2F (Jakarta: Penerbit Obor, 1988), hlm. 587.
[41] AI-Baramus (ed.), Op. Cit., hlm. 51.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] lbid., hlm. 85.
[45] Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 45.
[46] Ibid, hlm. 107.
[47] Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 45.
[48] Al-Baramus, Loc. Cit.
[49] Ibid., hlm. 124. Lih. juga: Luk, 23:45-46; Yoh. 19:30.
L.E. Philips [24], berdasarkan penelitian arkeologisnya menulis bahwa umat Kristen paling awal sudah melaksanakan ibadah-ibadah harian pada waktu pagi, tengah hari, malam dan tengah malam. P. T. O'Brien dalam Prayer in Luke-Acts [26], lebih merincinya lagi. Menurut O'Brien, waktu tsohorayim (tengah hari) menurut Mazmur 55: 18, yang tetapi tidak masuk dalam doa Yahudi waktu itu, dan waktu tengah malam ditambahkan ke dalam waktuwaktu sembahyang Yahudi. Jadi, selaln 3 waktu sembahyang Yahudi: saharit (subuh), minchah ('asyar) dan ma'ariv (maghrib), umat Kristen mula-mula juga mengenal sembahyang tengah hari dan tengah malam.
Bagaimanakah deskripsi waktu-waktu shalat, makna dan urutan-urutannya, menurut sumber-sumber gereja-gereja purba sendiri, khususnya Gereja Ortodoks Syria? Menurut Mar Gregorius Yuhanna Ibn al-Ibri, dalam bukunya AI-Itsiqun (The Ethicon), kanonisasi tujuh waktu shalat Ini merupakan penggenapan Mazmur 119: 164. Tujuh waktu sembahyang tersebut, sesuai dengan urutan-urutannya:
1. Shalat al-Masa' atau al-Ghurub (shalat maghrib); 2. Shalat al-Naum (shalat malam); 3. Shalat Nishfu al-Lail (shalat tengah malam); 4. Shalat Subuh (shalat subuh); 5. Shalat Sa'at ats-Tsalitsah (shalat jam ketiga); 6. Shalat Sa'at as-Sadisah (shalat jam keenam); 7. Shalat Sa'at At-Tasi'ah (shalat jam kesembilan). [26]
Mengapa waktu-waktu sembahyang diawali dari waktu terbenamnya matahari? Menurut Mar Ya'qub al-Barthila, dalam bukunya Al-Mausum al-Kanuz, penentuan waktu maghrib sebagai permulaan waktu sembahyang didasarkan atas tradisi eklesiastikal (Arab: thuqus) Gereja Ortodoks Syria yang mengikuti kebiasaan Yahudi pada zaman rasul-rasul Kristus [27]. Urutan ini pula yang diikuti oleh dokumen gereja kuno, At-Ta'alim al-Rusul (Didascalia), Bab XXXVII, mengenai Auqat Shalat: (Waktu-waktu Sembahyang) [28].
Menurut tradisi ritus Gereja Syria tersebut, setelah shalat maghrib, shalat naum, shalat nishfu lail, dan shalat subuh, ketiga waktu sembahyang terakhir disebut shalawat as-sa'ah (yaitu: sa'at ats-tsalitsah, sa'at as-sadisah, dan sa'at attasi'ah) [29]. Hal ini agak berbeda dengan ritus Ortodoks Koptik yang memasukkan sembahyang subuh sebagai shalat sa'ah al-awwal (shalat jam pertama). Jadi, kalau tradisi Syria memasukkan shalat ini sebagai urutan terakhir dalam 12 jam paro waktu malam, maka tradisi Gereja Koptik menghitungnya dalam 12 jam paro waktu siangnya.
Salah satu sebab, mungkin pelaksanaan waktu sembahyang ini di biara-biara Koptik lebih lambat, sehingga mereka menyebutnya Shalat Bakir atau sembahyang waktu bangun tidur [30]. sedangkan dalam Ta'alim ar-Rusul (The Arabic Didascalia), perhitungan waktu awalnya justru mulai dari shalat al-Naun (sembahyang malam), seperti disebutkan dalam Bab XXXVII sebagai berikut:
" ... mengenai pembagian waktu-waktu untuk shalat, yakni: diawali pada malam menjelang tidur (awwala al-Iaili 'inda al-naum), dan pada waktu tengah malam (nishfu al-Iail), lalu awal waktu had siang berikutnya, lalu pada sepuluh jam sisa hari siangnya: jam ketiga (tsalitsu sa'ah), jam keenam (sadisu sa'ah), jam kesembilan (tasi'u sa'ah) dan sore hari (al-masa'). [31]
Tetapi perbedaan-perbedaan kecil ini, sama sekali tidak mengurangi makna teologis waktu-waktu shalat, yang terutama terutama berdasarkan penghayatan mendalam gereja mula-mula atas Jalan Salib-Nya. Dalam makna kristosentris itulah, gereja-gereja purba memberikan makna ketujuh ibadah harian ini. Di bawah ini saya kutip waktu-waktu shalat dan maknanya bereasarkan sumber Gereja Ortodoks Syria, yang akan dibandingkan di sana-sini dengan sumber gereja-gereja lain, baik dari sumber ortodoks maupun katolik.
1. Shalat Maghrib (Shalat al-Ghurub)
Shalat ini dilaksanakan pada saat bersamaan dengan matahari terbenam, kira-kira pukul 06.00 petang menurut waktu kita, Kita bersembahyang pada waktu ini, "untuk kita bersyukur kepada Allah, yang telah memberikan waktu malam kepada kita untuk beristirahat setelah kita bekerja" (li nasykurillahi alladzi a'thina al-Iayli Ii nastari'i fihi min at'abi al-nahari)." Menurut Agabia Gereja Ortodoks Koptik, sembahyang yang meneruskan kebiasaan doa Ma'ariv Yahudi ini, juga untuk mengingatkan kita saat diturunkannya tubuh Kristus dari kayu salib, dikafani dan dibaringkan serta diberinya wewangian" (todzkariin li nuzOIi jasad as-Sayid al-Masih min 'ala ash-shalib wa takfiyanihi wa wadha'u al-hanuth 'alaihi) [34]. Sembahyang ini di Gereja Katolik dikenal dengan Verpers atau ibadah sore.
2. Shalat Waktu Tidur (Shalat an-Naum)
Waktu shalat ini setelah berlalunya waktu maghrib, kira-kira sejajar dengan shalat '/sya dalam Islam. Dengan bersembah· yang waktu naum, kita kepada memohon perlindungan Allah dari kejahatan kegelapan, supaya dipelihara "tidur kita pada waktu malam, dan dapat bangun kembali laksana di alam keabadian" (raqadna masa'a fa satayaqna fi 'alam al-abadiyah).[35]Maksudnya, pada jam ini gereja mengajak kita "untuk mengingat berbaringnyanya tubuh Kristus dalam kubur" (Rutibat tadzkaran liwadhi'i as-sayid al-Masih fi al-qubri). Bukan hanya waktu ini ditentukan untuk istirahat kita, tetapi supaya dengan tidur kita untuk mengingat kematian, dan dengan mengingat kematian kita mengingat Allah, karena "sesungguhnya saat tidur adalah laksana kematian kecil" (fi nahiirihi, bi i'tibari anna al-nauma huwa al-mauti ash-shaghi) [36]. Dalam Gereja Katolik Roma, waktu ini disebut Vigil (Latin: Vigiliae, "tirakatan").
3. Shalat Tengah Malam (Shalat Nishfu al-Lail)
Sembahyang tengah malam ini ddalam gereja-gereja kuno disebut dengan berbagai nama. Selain disebut Shalat Nishfu al-Lail (Shalat tengah malam), ada yang menyebut Shalat Sa'at Hajib Dhulmat (Shalat berjaga waktu malam) [37]. Waktu tengah malam sangat penting, karena "mengajarkan kepada kita agar kita selalu berjaga dan berdoa untuk dilepaskan dari kejahatan Iblis dan bala tentaranya" (Ii ya'limina 'an nushari wa nushali da'iman li najji min asy-syirir wa junudihi) [38].Karena itu, sembahyang ini dalam bahasa suryani disebut: tselota shahra (sembahyang waktu berjaga). Karena lebih dari itu, kita harus senantiasa berjaga-jaga, sebab Yesus akan datang se-waktu-waktu". "Lihatlah!", kata Yesus dalam Wahyu 16: 15. "Aku datang seperti pencuri. Berbahagialah ia yang berjaga-jaga". Rasul-rasul mempunyai kebiasaan berdoa di tengah malam (Kisah 16:25). Pada masa sekarang, Wa huwa khashatun bi al-Asiiqifat wa al-Kahanat wa ar-Ruhban (shalat ini khususnya dilaksanakan oleh para episkop (uskup), abuna (romo) atau pendeta, dan para rahib (biarawan) [39].
4. Shalat Subuh (Shalat As-Subuh)
Di Gereja Ortodoks Koptik lebih dikenal dengan Shalat Bakir, ada pula yang menyebut Shalat Sa'ah al-Awwal (Sembahyang jam pertama). Waktu sembahyang adalah saat fajar menyingsing, kira-kira pukul 05.00 sampai 06.00 pagi menurut waktu kita. Sebelum Kristus, dalam Perjanjian Lama sembahyang ini disebut dalam bahasa Ibrani saharit (Mazmur 5:4-7), sedangkan sampai hari ini dalam Gereja Katolik lebih dikenal dengan Laudes Matutinae (pujian pagi). [40]Shalat ini untuk mengingat saat dimana Tuhan kita Yesus Kristus bangkita dari kematian. Itulah doa pad a waktu pagi ketika kit bangun dari tidur untuk mengucap syukur kepada Allah karena la sudah mengaruniakan hari baru bagi kita, dan untuk memuliakan kebangkitan Kristus (Rutibat tadzkaran lis sa'ati tiati qama fiha al-Masih min baina al-amwat. Tutala al-qiyam min al-naum syukran li llahi li bad'i hayati al-nahari al-jadid wa tamjidan 'ala qiyamatihi).[41]
5. Shalat Jam Ketiga (Shalat As-Sa 'at Ats- Tsalitsah)
Waktu sembahyang ini kira-kira sejajar dengan pukul 09.00 pagi menurut waktu kita, atau sebanding dengan Shalat Dhuha' dalam Islam. Kita sembahyang pada jam ketiga, "karena pada jam ini Pontius Pilatus telah menjatuhkan hukuman kepada Kristus" (Fi mitsali hadzihi as-sa'ati hakama Bilathus 'ala As-Sayid al-Masih) [42]. (Markus 15:25). Pada jam sembahyang ini, kita juga merefleksikan makna penderitaan Kristus, dan mengucap syukur karena Yesus sudah menggantikan kita, yang mestinya kita sendiri yang harus menanggungnya pada hari pengadilan akhirah (yaum ad-din) [43]. Selain itu, "pada jam ini juga Roh Kudus telah turun atas para murid Yesus yang suci" (wa aidhan fi mitsali hadzihi assa'ati hala ar-Ruh al-Quddus 'ala at-talamid ath-thhar) [44]. Dan turunnya Roh Kudus ini, menurut Alkitab dan catatan sejarah gereja purba, juga menandai berdiri-nya gereja Kristus pertama di Yesusalem (Kisah 2:15). Gereja Kristus adalah "Israel sejati", yaitu penggenapan umat Allah yang baru.
6. Shalat Jam Keenam (Shalat As-Sa'at As-Sadisah)
Mar Athanasius al-Iskandari (wafat 373), dalam bukunya De Yirginitate sive de Ascesi, juga menyebut bahwa pada jam ini Kristus: "turun ke dalam kerajaan maut". Kita sembahyang pada jam ini, karena inilah waktu penyaliban Yesus, dan patut bersyukur karena kasih dan pengurbanan-Nya yang besar kepada kita [45]. Frase Descendit ad Inferna (turun ke dalam kerajaan maut) ini, datam gereja mula-mula berarti penderitaan-Nya di kayu Salib. Pada waktu ini, kita memperingati Kristus disalibkan pada suatu siang (fi mitsali hadzihi as-sil'ati min al-Nahilri shuliba as-Sayid al-Masih) [33]. Menurut catatan Alkitab, sembahyang tengah hari ini sudah dilaksanakan sejak zaman rasul-rasul (Kisah 10:9). Bahkan, Nabi Daud dalam Mazmur 55:18 sudah mengenal waktu doa "tengah hari" (Ibrani: tsohorayim), yang sejajar dengan waktu shalat dhuhr dalam Islam. Istilah Latin yang dipakai Gereja di Barat untuk menyebut sembahyang ini sama, hora sexta (jam keenam).
7. Shalat Jam Kesembilan (Shalat As-Sa'at At- Tasi'ah).
Menurut Injil, tepat pada jam kesembilan, yang kira-kira sejajar dengan jam tiga petang ini, Yesus menyerahkan nyawa-Nya (Markus 15:33). sebagaimana kamatian-Nya memberikan kaffarat (penebusan) bagi setiap orang beriman, sebagai orang-orang tebusan-Nya kita memohon agar nantinya Dia "mengumpulkan kita bersama kematian kaum mukminin di jalan kaum yang duduk di sebelah kanan-Nya" (yandhamna ma'a amwatina al-Mu'minina fi salaki ashhabi al-janibi al-yamin). [47]Pada waktu itu juga seorang pencuri yang berada di sebelah kanan-Nya memohon supaya Yesus kelak mengingatnya di Kerajaan-Nya, dan Kristus lalu diberikan keselamatan kepadanya (wa fiha sa'ala al-Iashshu al-yaminu 'an yadzkurahu fi malakutihi, fa a'thihu al-khalashu sa'alahu) [48]. Pada jam shalat ini, seba-gaimana la telah mengampuni pencuri itu, maka kitapun sebagai orang berdosa mernohon rahmat dan ampunan-Nya. Rasul-rasul Kristus dengan tekun mengikuti sembahyang yang dikenal orang Yahudi sembahyang minhah ini (Kisah 3:1; 10:30). Dalam hal ini, gereja perdana memberikan makna baru atas sembahyang yang sudah dikenal sebelumnya ini. Selain mencatat kematian-Nya tepat pada sembahyang kurban petang Yahudi (minhah) ini, Injil juga mencatat sabda Kristus: "Sesudah mengatakan demikian la menyerahkan nyawa-Nya. Maka terbelahlah tirai Baitul Maqdis" (wa lamma qala hadza as lama ar-ruq, faa ansyaqa hijab al-haykali min wasathah) [49]. Terbelahnya tirai Bait Allah ini menandakan sudah tergenapinya syari'at kurban dengan kematian syahid-Nya.
------------------------------------
[24] Richard Bauckham (ed.), Op. Cit, him. 295.
[25] Lebih lannjut, tulis O'Brien: " ... argues that the early Christians added noon and midnight to the regular Jewish hours of prayer". Ibid, hlm. 295-296.
[26] Bar Shuam, Op. Cit, hlm. 44-45.
[27] Ibid, hlm. 44.
[28] AI-Qamash Marqus Dawud (ed.), Op. Cit, hlm, 171.
[29] Mar Ignatius Afram Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 45.
[30] Dalam Koptik, buku ibadah harian ini lazim disebut AI-Ajabiah (dialek Mesir: Al-Agbiyah). Lihat: AI-Qamash Isodurus al-Bararnus (ed.), Kitab al-Agbiya; Shalawat as-Sa'at wa Ruh at- Tadhra'at (Cairo: Maktabah Mar Girgis Syaikulani, 1993).
[31] Marqus Dawud (ed.), Loc. Cit.
[32] Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 44.
[34] AI-Baramus, Op. Cit., hlm. 142.
[35] Bar Shaum, Loc. Cit.
[36] Al-Baramus, Op. Cit., hlm. 47.
[37] AI-Baramus, Op. Cit., him. 174.
[38] Bar Shaum, Op. Cit., hlm. 45.
[39] Al-Baramus, Op. Cit., hlm. 125.
[40] "lnstitutio Generalis de Liturgia Horanum 2.1/1971" dalam Kornisi Liturgi KWI (ed.), Kumpulan Dokumen Liturgi. Bina Liturgia No. 2F (Jakarta: Penerbit Obor, 1988), hlm. 587.
[41] AI-Baramus (ed.), Op. Cit., hlm. 51.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] lbid., hlm. 85.
[45] Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 45.
[46] Ibid, hlm. 107.
[47] Bar Shaum, Op. Cit, hlm. 45.
[48] Al-Baramus, Loc. Cit.
[49] Ibid., hlm. 124. Lih. juga: Luk, 23:45-46; Yoh. 19:30.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
VI. De Liturgia Horanum: Dari Ritus Gereja Latin Hingga Reformasi Protestan
Sejarah mencatat, bahwa seluruh gereja purba mula-mula memelihara waktu-waktu sembahyang, terutama dipertahankan di biara-biasa, dan menganjurkan pula kepada umat awam untuk melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak seperti agama Yahudi, Kekristenan bukanlah agama yuridis, sehingga konsep ibadah harian ini bukan semata-mata dipandang sebagai kewajiban secara syar'i, melainkan pelaksanaannya lebih didorong oleh keinsyafan batin, sebagai ucapan syukur karena penebusan Allah melalui pengurbanan Putra-Nya.
Karena itu, sesuai dengan keyakinan Kristen bahwa keselamatan manusia itu bukan semata-mata karena amal, melainkan karena kasih karunia Ilahi yang mendahului perbuatan baik, maka ibadah-ibadah harian ini bukan menjadi pusat dalam ibadah Kristen. Puncak ibadah Kristen adalah Quddas al-liahi atau Perjamuan Kudus, dimana melalui tubuh dan darah suci Kristus kita dilibatkan dalam kehidupan ilahi-Nya yang kekal. Karena keselamatan itu dikerjakan Yesus melalui Jalan Seng-sara-Nya, maka ibadah-ibadah harian ini merupakan refleksi umat Allah secara terus menerus untuk selalu mengingat pengurbanan Kristus bagi kita.
Dalam pemahaman inilah seluruh gereja-gereja purba mengenalkan Sab'u ash-Shalawat (Sembahyang Tujuh waktu). Tak terkecuali Gereja Katolik di Barat, dan juga gereja Protestan pada perkembangan awalnya. Dalam bahasa Latin, penyebutan waktu-waktu sembahyang juga mengikuti tradisi Yahudi kuno: Laudes, Hora Tertia, Hora Sexta, Hora Nona, Verper, Vigil, dan Completorium (waktu pagi, jam ketiga, jam keenam, jam kesem-bilan, senja, malam dan penutup). Namun karena tuntutan hidup modern, penyesuaian demi penyesuaian terus dilakukan oleh Gereja Katolik.
Perubahan-perubahan itu terus dilakukan dengan seizin Paus, misalnya dilakukan pada zaman Paus Pius V, Paus Sixtus V, Paus Klement VIII, Paus Urban us VIII dan Paus Klement XI, yang akhirnya tinggal 2 waktu yang ditekankan: Laudes (pagi) dan Vesper (sore) [50]. Pada waktu Reformasi Martin luther terjadi pada waktu Gereja Katolik mengintruksikan kedua waktu sembahyang itu, karena itu Martin Luther masih mengikuti kedua ibadah harian ini dalam bukunya The Small Cathechism [51]. Kendatipun Luther mengikuti kedua waktu sembahyang ini dengan beberapa revisi, tetapi banyak adab berdoa kuno masih dipertahankan, misalnya membuat tanda salib yang dikenal seluruh gereja zaman kuno [52], yang sudah hilang dari aliran-aliran Kristen kontemporer sekarang.
Pengaruh Liberalisme dan Individuisme sungguh-sung-guh sulit dielakkan di Barat, yang kemunculannya berbarengan dengan era Reformasi. Salah satu dampaknya, bukan hanya menolak warisan ibadah gereja-gereja kono, itu, tetapi kuta pula kecenderungan untuk menolak doa yang dirumuskan, meskipun terbukti kata-kata dalam doa tersebut telah dikuduskan oleh pola ibadah gereja sepanjang abad. Inilah yang disesalkan oleh E.H. van Olts, seorang teolog Calvinis dalam Belanda: "Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi di lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern" [53].
Menurut E.H. van Olts, hal itu salah satunya disebabkan karena para reformator sendiri tidak menguasai tradisi gereja purba dan sejarah liturgi dengan baik." Dari ketiga reformator awal, dapat kita catat bahwa Zwingli adalah orang yang pertama melangkah terlalu jauh, sampai simbol-simbol sebagai ekspresi ibadah otentik selama ratusan tahun dibuangnya.
Akibatnya, postur-postur badaniah dalarn ibadah yang terbukti mempunyai kesinambungan historis tanpa putus sejak zaman rasuli dihilangkan, dan simbol-simbot lain ditekan dalam taraf yang sangat minim. Dari fakta ini dapat dipahami, diperkenalkannya bentuk-bentuk ibadah Kekristenan yang berbasis budaya Timur Tengah ini di Indonesia, bukan hanya aneh di mata umat Islam yang selama ini hanya berinteraksi dengan gereja-gereja Barat, tetapi malahan juga dipandang dengan mata curiga oleh orang-orang Kristen sendiri, karena jarak kultural dalam rentangan sejarah perkembangan yang panjang itu.
Zamalek, Egypt, 20 Februari 2004
---------------------------
[50] "Institutio Generalis...", Loc Cit.
[51] Marthen Luther, in his instructions on Morning Prayers he wrote, "In the morning, when you rise, make the sign of the cross and say, 'In the Name of the Father, and the Son and the Holy Spirit, Amen" (Small Catechism VII:1). Peter E. Gillquist, Becoming Orthodox: A Journey to the Ancient Ctuiation Faith (California, USA: Conciliar Press, 1990), hlm. 120.
[52] Lihat: Dr. Emile Maher Ishak, Liturgical and Ritual Issues and Proposals corcerning The Restoration at Communion. Submitted to The Joint Liturgical Sub-Committee between The Oriental Orthodox and the Byzantine Orthodox Churches, Athens, March, 15-19, 1995 (Kairo: AI·Anba Ruweis, 2000), hlm. 29-31.
[53] E.H. van Olst, Op. Cit., hIm. 68-69.
• Buku Panduan "Shalat Tujuh Waktu" dalam Gereja Ortodoks Syria. Bacaan Tahlil (Haleluya 3X, Alhamdu laka Allahuma...) dalam bahasa Suryani (Aramaik) dan Arab.
• Buku Panduan "Sembahyang Maghrib" (Ibrani: Ma'ariv) dalam agama Yahudi. Bacaan Qadish ("Yitgadal wa yitqadash shama rabba ... " Artinya: "Dimuliakan dan dikuduskan nama-Nya yang besar .. ") dalam bahasa Aramaik beraksara Ibrani, lalu disambung dengan doa-doa umum dalam bahasa Ibrani.
Bambang Noorsena, SH, MA. adalah alumnus kajian Perbandingan Agama Ma'had Dar Comboni li al-Dirasat Al-Arabiyyah, Zamalek, Cairo, Mesir dan Pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS).
Sejarah mencatat, bahwa seluruh gereja purba mula-mula memelihara waktu-waktu sembahyang, terutama dipertahankan di biara-biasa, dan menganjurkan pula kepada umat awam untuk melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak seperti agama Yahudi, Kekristenan bukanlah agama yuridis, sehingga konsep ibadah harian ini bukan semata-mata dipandang sebagai kewajiban secara syar'i, melainkan pelaksanaannya lebih didorong oleh keinsyafan batin, sebagai ucapan syukur karena penebusan Allah melalui pengurbanan Putra-Nya.
Karena itu, sesuai dengan keyakinan Kristen bahwa keselamatan manusia itu bukan semata-mata karena amal, melainkan karena kasih karunia Ilahi yang mendahului perbuatan baik, maka ibadah-ibadah harian ini bukan menjadi pusat dalam ibadah Kristen. Puncak ibadah Kristen adalah Quddas al-liahi atau Perjamuan Kudus, dimana melalui tubuh dan darah suci Kristus kita dilibatkan dalam kehidupan ilahi-Nya yang kekal. Karena keselamatan itu dikerjakan Yesus melalui Jalan Seng-sara-Nya, maka ibadah-ibadah harian ini merupakan refleksi umat Allah secara terus menerus untuk selalu mengingat pengurbanan Kristus bagi kita.
Dalam pemahaman inilah seluruh gereja-gereja purba mengenalkan Sab'u ash-Shalawat (Sembahyang Tujuh waktu). Tak terkecuali Gereja Katolik di Barat, dan juga gereja Protestan pada perkembangan awalnya. Dalam bahasa Latin, penyebutan waktu-waktu sembahyang juga mengikuti tradisi Yahudi kuno: Laudes, Hora Tertia, Hora Sexta, Hora Nona, Verper, Vigil, dan Completorium (waktu pagi, jam ketiga, jam keenam, jam kesem-bilan, senja, malam dan penutup). Namun karena tuntutan hidup modern, penyesuaian demi penyesuaian terus dilakukan oleh Gereja Katolik.
Perubahan-perubahan itu terus dilakukan dengan seizin Paus, misalnya dilakukan pada zaman Paus Pius V, Paus Sixtus V, Paus Klement VIII, Paus Urban us VIII dan Paus Klement XI, yang akhirnya tinggal 2 waktu yang ditekankan: Laudes (pagi) dan Vesper (sore) [50]. Pada waktu Reformasi Martin luther terjadi pada waktu Gereja Katolik mengintruksikan kedua waktu sembahyang itu, karena itu Martin Luther masih mengikuti kedua ibadah harian ini dalam bukunya The Small Cathechism [51]. Kendatipun Luther mengikuti kedua waktu sembahyang ini dengan beberapa revisi, tetapi banyak adab berdoa kuno masih dipertahankan, misalnya membuat tanda salib yang dikenal seluruh gereja zaman kuno [52], yang sudah hilang dari aliran-aliran Kristen kontemporer sekarang.
Pengaruh Liberalisme dan Individuisme sungguh-sung-guh sulit dielakkan di Barat, yang kemunculannya berbarengan dengan era Reformasi. Salah satu dampaknya, bukan hanya menolak warisan ibadah gereja-gereja kono, itu, tetapi kuta pula kecenderungan untuk menolak doa yang dirumuskan, meskipun terbukti kata-kata dalam doa tersebut telah dikuduskan oleh pola ibadah gereja sepanjang abad. Inilah yang disesalkan oleh E.H. van Olts, seorang teolog Calvinis dalam Belanda: "Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi di lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern" [53].
Menurut E.H. van Olts, hal itu salah satunya disebabkan karena para reformator sendiri tidak menguasai tradisi gereja purba dan sejarah liturgi dengan baik." Dari ketiga reformator awal, dapat kita catat bahwa Zwingli adalah orang yang pertama melangkah terlalu jauh, sampai simbol-simbol sebagai ekspresi ibadah otentik selama ratusan tahun dibuangnya.
Akibatnya, postur-postur badaniah dalarn ibadah yang terbukti mempunyai kesinambungan historis tanpa putus sejak zaman rasuli dihilangkan, dan simbol-simbot lain ditekan dalam taraf yang sangat minim. Dari fakta ini dapat dipahami, diperkenalkannya bentuk-bentuk ibadah Kekristenan yang berbasis budaya Timur Tengah ini di Indonesia, bukan hanya aneh di mata umat Islam yang selama ini hanya berinteraksi dengan gereja-gereja Barat, tetapi malahan juga dipandang dengan mata curiga oleh orang-orang Kristen sendiri, karena jarak kultural dalam rentangan sejarah perkembangan yang panjang itu.
Zamalek, Egypt, 20 Februari 2004
---------------------------
[50] "Institutio Generalis...", Loc Cit.
[51] Marthen Luther, in his instructions on Morning Prayers he wrote, "In the morning, when you rise, make the sign of the cross and say, 'In the Name of the Father, and the Son and the Holy Spirit, Amen" (Small Catechism VII:1). Peter E. Gillquist, Becoming Orthodox: A Journey to the Ancient Ctuiation Faith (California, USA: Conciliar Press, 1990), hlm. 120.
[52] Lihat: Dr. Emile Maher Ishak, Liturgical and Ritual Issues and Proposals corcerning The Restoration at Communion. Submitted to The Joint Liturgical Sub-Committee between The Oriental Orthodox and the Byzantine Orthodox Churches, Athens, March, 15-19, 1995 (Kairo: AI·Anba Ruweis, 2000), hlm. 29-31.
[53] E.H. van Olst, Op. Cit., hIm. 68-69.
• Buku Panduan "Shalat Tujuh Waktu" dalam Gereja Ortodoks Syria. Bacaan Tahlil (Haleluya 3X, Alhamdu laka Allahuma...) dalam bahasa Suryani (Aramaik) dan Arab.
• Buku Panduan "Sembahyang Maghrib" (Ibrani: Ma'ariv) dalam agama Yahudi. Bacaan Qadish ("Yitgadal wa yitqadash shama rabba ... " Artinya: "Dimuliakan dan dikuduskan nama-Nya yang besar .. ") dalam bahasa Aramaik beraksara Ibrani, lalu disambung dengan doa-doa umum dalam bahasa Ibrani.
Bambang Noorsena, SH, MA. adalah alumnus kajian Perbandingan Agama Ma'had Dar Comboni li al-Dirasat Al-Arabiyyah, Zamalek, Cairo, Mesir dan Pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS).
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
solat nyontek ortodoks syria..
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
gk ada produk islam murni
YADAH- LETNAN DUA
-
Age : 27
Posts : 1075
Kepercayaan : Protestan
Location : Indonesia
Join date : 21.02.16
Reputation : 2
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
bukan nyontek wed..... tapi menyempurnakan......SEGOROWEDI wrote:solat nyontek ortodoks syria..
ortodoks syiria juga nyontek yesus kok..... yesus juga sholat kok....
yesus yang agamanya yahudi itu nyontek siapa? ya nyontek orang yahudi
sholat itu sudah ada sejak zaman nabi musa....
bahkan sejak nabi ibrahim bikin ka'bah
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
udah ada tinggal nyiplak, apanya yg disempurnahkan ?
Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu sebelumnya VS Islam
tidak ada yg murni produk islam
Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu sebelumnya VS Islam
tidak ada yg murni produk islam
YADAH- LETNAN DUA
-
Age : 27
Posts : 1075
Kepercayaan : Protestan
Location : Indonesia
Join date : 21.02.16
Reputation : 2
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
Kristen nggak nyotek siapa2, tapi malah bikin acara sendiri, nyanyi2 wa lunjak2 :
frontline defender- MAYOR
- Posts : 6462
Kepercayaan : Islam
Join date : 17.11.11
Reputation : 137
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
nyontek itu bukan perintah tuhan
YADAH- LETNAN DUA
-
Age : 27
Posts : 1075
Kepercayaan : Protestan
Location : Indonesia
Join date : 21.02.16
Reputation : 2
Re: Sejarah & Makna Teologis Shalat 7 Waktu
keroncong wrote:bukan nyontek wed..... tapi menyempurnakan......SEGOROWEDI wrote:solat nyontek ortodoks syria..
ortodoks syiria juga nyontek yesus kok..... yesus juga sholat kok....
yesus yang agamanya yahudi itu nyontek siapa? ya nyontek orang yahudi
sholat itu sudah ada sejak zaman nabi musa....
bahkan sejak nabi ibrahim bikin ka'bah
si pocong ngigau...
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Similar topics
» Waktu dan Jadwal Shalat
» hukum shalat berjamaah 5 waktu
» 1 waktu shalat = 80.000 tahun akhirat
» sejarah sholat 5 waktu
» Perhatikan Waktu, Lihat Waktu, Gunakan Waktu - Ev. Iin Tjipto
» hukum shalat berjamaah 5 waktu
» 1 waktu shalat = 80.000 tahun akhirat
» sejarah sholat 5 waktu
» Perhatikan Waktu, Lihat Waktu, Gunakan Waktu - Ev. Iin Tjipto
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik