Kerusuhan Mei 1998
Halaman 1 dari 1 • Share
Kerusuhan Mei 1998
AsiaWeek Mengungkap Dalang di Balik Kerusuhan
Kerusuhan di Jakarta pada 13 Mei 1998 itu benar-benar mencekam. Pengendalian huru-hara itu pun terkesan tidak terpadu sehingga membuka pintu bagi aksi-aksi lain di wilayah ibu kota. Jakarta merana, merah padam disulut api oleh orang-orang kalap. Di tengah kegerahan inilah, beberapa WNI Tionghoa meronta karena diperlakukan tidak manusiawi.
PUKUL 18.30 WIB: Susi, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kawasan Jakarta Pusat, berniat pulang. Seperti biasa, Susi menumpang sebuah bus dengan rute yang melintasi Citraland dan Universitas Trisakti. Ketika bus sampai di Mal Citraland, puluhan massa mengepung dan memaksa sopir menghentikan busnya. Massa meneriaki seluruh penumpang agar turun. Bila tidak mau, mereka pun siap membakar bus itu.
Akhirnya, sekitar 50 penumpang bus tersebut turun juga. Tetapi, massa yang kalap itu masih juga membakar bus tersebut. Tidak ada cara lain bagi Susi kecuali pulang dengan berjalan kaki. Dicekam ketakutan, langkah mahasiswi keturunan Cina ini kian cepat. Seolah dia dikejar seseorang. Menyusuri kegelapan malam, tidak ada lentera kecuali nyala dan jilat api mobil serta sepeda motor yang dibakar di jalan.
Kerumunan massa semakin brutal. Jumlah mereka sudah mencapai ratusan. Seolah berpesta, mereka membabi buta melakukan perusakan. Sedangkan ratusan lainnya menatap di pinggir jalan. Seorang lelaki tak bersenjata berusaha merampok Susi. Namun, mahasiswi ini berusaha bertahan untuk tidak menyerahkan dompetnya.
Susi berlari kencang. Lelaki yang bermaksud jahat itu pun mengejarnya. Ketika lelaki itu mendekat, Susi berusaha mencari perlindungan dengan merangkul seorang lelaki yang dekat dengannya. Lelaki itu bernama Wahyu. Wahyu mengaku tak mampu memberikan perlindungan kepada Susi. Dengan demikian, lelaki jahat itu pun dengan gampang meminta uang Susi.
Susi bersumpah hanya punya uang Rp 10 ribu. Menurut Susi, uang sejumlah itu pun diambil oleh lelaki tadi. Malahan, dia masih mengumpat Susi dengan kata-kata, ’’Gadis Cina edan.’’
Wahyu memikirkan cara bagaimana menyelamatkan Susi. Akhirnya, dia memberikan topinya kepada Susi. Mahasiswi ini kemudian menutupi raut wajahnya dengan topi itu sesuai dengan saran Wahyu.
Karena sama-sama satu arah, Wahyu dan Susi berjalan bersama. Di perjalanan, Susi mengatakan melihat sebuah mobil dibakar bersama penumpangnya. Dia juga mendengar pekikan ’’Enyahkan Cina.’’ Di seberang jalan, dia malah menatap gadis-gadis yang sudah ditelanjangi. Orang berusaha melihat, tetapi Susi berusaha tak acuh.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Susi dan Wahyu berhasil meninggalkan jalan yang mencekam tadi. Mereka kemudian berhenti di sebuah kedai teh. Anak lelaki pemilik kedai datang. Dia baru saja melihat kerusuhan di jalan. Anak pemilik kedai ini mengatakan bahwa mereka (massa) sudah melakukan perbuatan yang mengerikan bagi warga keturunan Cina.
Suami-istri pemilik kedai teh itu menawarkan inapan. Susi pun tak bisa menampik. Pagi-pagi sekali, mereka menghubungi seorang temannya untuk mengantarkan Susi pulang. Sebelum pulang, suami-istri itu menyodorkan jilbab agar Susi mau memakainya. Tetapi, Susi lebih suka memakai topi pemberian Wahyu. Ketika jarum jam siap menyentuh 09.30 WIB (14 Mei), Susi tiba dengan selamat di rumah.
Tetapi, dia tidak lagi bisa menyaksikan pemandangan yang serupa dengan pemandangan saat dia berangkat ke kampus sehari sebelumnya. Soalnya, toko-toko yang ada di sekitarnya sudah jadi arang. Toko-toko yang ditempeli tulisan ’’Milik Muslim’’ di pintu maupun pintu gerbang umumnya selamat. Namun, ibu Susi –yang membuka toko kosmetik– tidak mau memasang tulisan itu. Sepekan setelah peristiwa itu, warga di lingkungan Susi tinggal mengorganisasikan pengamanan bersama setiap malam. Masing-masing orang melengkapi diri dengan alat pengaman, dari stik golf sampai pedang samurai.
Hampir bersamaan dengan waktu Susi meninggalkan kampus tadi, seorang pengusaha keturunan Cina tiba di rumahnya di Jembatan Lima, kawasan yang didominasi etnis Cina. Istri pengusaha itulah yang meminta sang suami secepatnya pulang. Sang istri itu merasa ngeri melihat kerumunan orang yang tidak dia kenal dan berteriak di jalanan sambil membawa batu.
Ipar lelaki pengusaha itu mengaku melihat sekitar lima orang berpenampilan serem melempar jendela-jendela bangunan dengan batu untuk menarik perhatian. Ketika gelombang massa mulai berdatangan dari kampung sekitarnya, kelima orang berpenampilan garang itu mempengaruhi massa agar masuk sebuah gudang air mineral. Massa diserukan agar mengambil apa saja yang mereka suka, lalu bakar benda-benda yang tidak bisa dibawa.
Lalu, kelima orang tadi berteriak, ’’Mari kita serbu tempat lain!’’ Dan, massa yang kesetanan itu pun pergi. Malam itu juga bank di wilayah itu dirusak, mobil-mobil dibakar, dan sebuah toko emas habis dikuras. Sebuah pasar makanan juga dihancurkan. Warga menelepon pos polisi dan militer untuk meminta bantuan. Tapi, tak seorang pun menjawab panggilan telepon itu.
Menjelang tengah malam, ujar seorang relawan kemanusiaan bernama Karyo, seorang godfather memberikan perintah kepada sekumpulan anggota geng anak muda dan pecandu narkotika agar bertemu pagi harinya untuk merayakan ’’pesta jalanan.’’ Karyo mengakui tahu soal perintah itu karena salah seorang dari anggota geng tadi memberi tahu dia.
Kepada Karyo, pemuda itu mengatakan bahwa perintah godfather tidak mungkin ditolak. Pemuda itu diminta mengenakan seragam sekolah, lalu datang ke kawasan Klender untuk memancing perkelahian. Namun, tutur Karyo, pemuda itu pisah dengan kelompoknya sebelum sampai di tujuan.
14 MEI 1998: Sekitar pukul 02.00 dini hari, kata seorang perwira militer, (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Syamsoeddin mengeluarkan instruksi bagi kelompok-kelompok yang ada di jalanan. Sepanjang hari itu, orang-orang di markas Sjafrie mendengar perintah ke mana orang-orang di jalanan itu harus pergi. Akhirnya, frekuensi radio itu berhasil di-jam (dicegat). Padahal, hanya satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan intelijen AD- lah yang bisa melakukannya.
Menurut sumber lain yang juga militer, setelah fajar, gangsters dari Lampung, Sumatera Selatan, dipandu memasuki wilayah ibu kota oleh pasukan Kopassus –satuan yang dipimpin Prabowo mulai 1995 sampai Februari lalu. Seorang pegawai sipil di markas militer mengatakan, sepekan sebelum kerusuhan meletus, ratusan pemuda Timtim dibawa dan dilatih oleh Kopassus. Mereka dibawa dengan pesawat carteran dari Dili ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta, ratusan pemuda Timtim itu dibawa ke Jakarta dengan kereta api.
Saat dimintai konfirmasi oleh Asiaweek, maskapai yang mengangkut pemuda Timor Timur itu menolak buka suara. Menurut mereka, adalah kebijakan untuk tidak membicarakan penerbangan tersebut.
Pagi-pagi sekali, Karyo menerima telepon dari seorang tak dikenal. Menurut si penelepon, hari itu Jatinegara Plaza di kawasan Jakarta Timur akan dibakar. Saksi mata mengatakan, setelah telepon itu, delapan lelaki tiba di Jatinegara. Seorang di antara mereka berusaha menarik perhatian massa dari kampung sekitar dengan membakar ban mobil. Ketika massa sudah berkumpul, empat dari delapan lelaki tadi mengajak mereka menuju plaza yang sedang melakukan aktivitas bisnis. Mereka merusak, tapi aparat keamanan hanya bisa menatap.
Beberapa jam kemudian, seseorang menembakkan gas air mata di lantai dasar Jatinegara Plaza. Dua saksi mata melihat, saat itu seorang lelaki menyiramkan bensin di pintu masuk, lalu membakarnya. Di lantai tiga, seorang lelaki lain terlihat membakar gulungan kain. Dia lalu meninggalkan tempat itu dengan turun melewati pipa udara. Sebanyak 70 orang, termasuk beberapa pekerja di plaza itu, tewas terbakar. Namun, satuan pemadam kebakaran dan polisi tidak bereaksi.
Bergerak jauh ke arah timur Klender, Yogya Plaza juga diserbu. Saksi mata mengatakan, sekelompok lelaki memimpin massa yang ada di jalanan dan mempersilakan mereka mengambil apa pun yang mereka suka. Sekelompok lelaki penyulut tadi berpotongan rambut cepak, badan tegap, dibungkus jaket hitam. Lelaki-lelaki ini mengaku sebagai mahasiswa.
Setelah beberapa jam menyerbu, merusak, dan menjarah Yogya Plaza, seorang di antara lelaki tadi berteriak kepada para penjarah agar secepatnya keluar dari plaza itu. Lalu, lelaki ini dan tiga rekannya mencelupkan sepotong kain lebar ke dalam bensin, kemudian menyulutnya dengan korek api. Kain yang terbakar itu dilemparkan ke plaza. Lelaki-lelaki berjaket hitam itu pun pergi. Tapi, sekitar 100 orang mati terpanggang.
Di Jakarta Barat, massa berkumpul di Meruya. Mereka sudah mendengar rumor bahwa pasar di wilayah tetangga akan dijadikan abu. Beberapa saat kemudian, kata saksi mata, dua minibus tiba di Meruya. Dua minibus itu mengangkut para lelaki berseragam sekolah. Ada kejanggalan. Lelaki-lelaki berseragam itu sebenarnya sudah tidak tampak sebagai pemuda belasan tahun. Lelaki-lelaki berseragam ini memakai bom molotov untuk menyulut api. Api menjalar. Lelaki-lelaki berseragam itu pun cepat lenyap.
Masih pagi hari pada 14 Mei, sekelompok lelaki yang tampak terlalu tua dan terlalu besar untuk mengenakan seragam SMU, mulai memancing keributan dengan berkelahi di jalan raya utama Sunter. Mereka kemudian juga mulai membakar ban-ban. Setidaknya, tiga pengendara sepeda motor terlihat berputar-putar di sekelilingnya. Seolah tampak kebingungan.
Saat itu, Suyitno –penghubung militer-warga– menunjukkan satu arah kepada pengendara sepeda motor tadi. Namun, para pengendara itu malah memacu sepeda motornya menjauh. Sejak kerusuhan meletup, sudah dua hari Suyitno melakukan kontak dengan pos komando militer setempat.
Saat kontak itu, kata Suyitno, seseorang di markas memberi tahu dia, ’’Bila kamu dilempari batu oleh para perusuh, balaslah dengan senyum. Saya perintahkan kamu hanya tersenyum, cukup itu saja.’’
Para perwira di wilayah Sunter mengaku juga menerima perintah yang sama dengan Suyitno. Beberapa mengaku sama sekali tidak menerima perintah. Ketika beberapa perwira berinisiatif melapor kepada atasan tentang aksi yang kian meluas, mereka hanya dibalas dengan perintah agar tetap siaga. Menjawab fenomena aneh ini, seorang perwira berkata kepada Suyitno, ’’Saya rasa sama-sama ada ketidakjelasan perintah di Jatinegara dan Klender.’’
Sementara itu, kata seorang sumber yang dekat dengan (saat itu) Kapolda Mayjen Hamami Nata, beberapa satuan polisi diminta berkumpul di markas, tapi diperintahkan tetap di tempat. Menurut sumber itu, hampir semua polisi di sana tidak ada yang berani meninggalkan tempat karena mereka tidak yakin benar perintah siapa yang akan diikuti. Satuan pemadam kebakaran juga diperintahkan agar tidak bekerja.
Glodok Plaza, kawasan komersial yang berdiri megah di tengah Jakarta itu, akhirnya juga tidak luput dari serangan api dan serbuan batu. Muladi, seorang satpam, menyaksikan sendiri bagaimana aksi perusakan dan penjarahan itu terjadi. Saat itu sekitar pukul 16.00 WIB, Muladi melihat lebih dari 2.000 orang dengan tas-tas penuh batu dan alat pencongkel pintu secara paksa bergerak menuju Glodok.
Beberapa orang lain membawa bom molotov. Polisi memberikan tembakan ke udara sebagai peringatan, tapi massa tidak menggubris. Polisi kemudian tampak pasrah dan minggir. Glodok Plaza diserbu, dijarah, dan dilumatkan. Orang-orang tampak bersemangat mengusung komputer, kulkas, televisi, dan barang lain dari pusat perbelanjaan elektronik itu. Pesta itu terus berlangsung sebelum api mulai tampak melahap sekitar pukul 19.00 WIB. Tidak tampak seorang pun berusaha memadamkan kobaran api.
’’Lebih mengerikan dibandingkan dengan perang karena kami tak bisa meminta bala bantuan,’’ kenang Muladi.
Sebelum Glodok Plaza dirajam api, petangnya, si jago merah juga melahap rumah seorang pengusaha keturunan Cina yang ada di wilayah tetangganya. Massa meruak masuk, mengambil barang-barang dari rumah itu. Saat itu, sejumlah personel militer hanya bisa menatap. Sedangkan si pengusaha yang cemas terpaksa tertahan di jalanan. Dia menggigil ketakutan ketika massa berteriak untuk menghancurkan rumahnya.
Akhirnya, dia pun terpaksa menyusuri tapak jalan dengan berjalan kaki. Baru menjelang tengah malam, dia sampai di kediamannya yang sudah menjadi arang. Dia hanya bisa menatap sisa-sisa miliknya disantap api. Baru pada pagi hari, konglomerat ini bisa memasuki areal rumahnya dengan ditemani dua orang perwira polisi militer. Lantai satu dan dua rumah itu sudah rata dengan tanah.
Dengan perasaan pedih, dia naik ke tangga tiga yang selama itu dijadikan apartemen keluarga. Ternyata, di sana tidak kalah mengenaskan. Perabot mahal yang ada di ruang tamu amblas. Di kamar tidur, di atas ranjang, lelaki pengusaha itu mendapati istrinya sudah tewas terpanggang. Di kolong ranjang, anak gadisnya yang berusia 17 tahun juga sudah menjadi mayat. Sementara itu, kakak wanita gadis itu yang berusia 18 tahun pun sudah tidak bernyawa. Jasadnya ada di lemari pakaian dengan tangan menggengam telepon selular dan Injil.
Menurut Rosita Noer, dokter yang juga aktivis hak asasi manusia, sepanjang hari pada 14 Mei itu, setidaknya, sudah 468 wanita diserang sekelompok lelaki di 15 tempat. Di 10 wilayah, sekelompok wanita juga dikerjai. Umumnya, korban diserang ketika berada di toko, rumah, dan di dalam mobil mereka.
Yang memilukan, justru pelaku kerap memperlakukan korban secara tidak manusiawi. Mereka menelanjangi, lalu melihat tubuh wanita-wanita korbannya. Beberapa lagi malah memperkosanya. Para pelaku itu memang asing di mata korban, yang umumnya keturunan Cina. Korban lain diperkirakan akibat salah sasaran karena mirip Cina atau bekerja pada keluarga keturunan Cina. Sedikitnya, 20 wanita tewas atau dibunuh setelah diperkosa itu, beberapa lagi nekat bunuh diri.
Menurut penuturan Ita Nadia, Kepala Pusat Studi Wanita Kalyanamitra, telah terjadi 10 lelaki memaksa beberapa wanita masuk ke sebuah rumah. Di sana, mereka mengobrak-abrik isi rumah itu, lalu menelentangkan korbannya. Mereka memperkosa ibu dan anak perempuan di depan ayah dan anak lelakinya. Seorang nenek mengaku melihat kemaluan cucu wanitanya ditusuk dengan botol.
Di tempat lain, seorang ibu mencoba bunuh diri karena tidak tahan melihat anak gadisnya yang berusia belasan tahun diperkosa di hadapannya. Seorang ayah malah memberi anaknya Baygon untuk memudahkan jalan anak gadisnya itu bunuh diri setelah dia diperkosa. Juga, seorang ibu yang mengidap serangan jantung langsung tewas begitu mendengar anak gadisnya telah diperkosa.
Di sebuah apartemen berlantai 15 di kawasan Pluit, Jakarta Utara, beberapa kelompok lelaki bergerak secara sistematis menyerang wanita-wanita Cina yang ada di setiap lantai. Aksi ini dimulai pukul 09.00 WIB sampai petang hari. Para lelaki itu bisa bergerak leluasa karena mereka benar-benar sudah menguasai apartemen itu. Diperkirakan, mereka sudah memperkosa lebih dari 40 gadis dan wanita.
Prabowo Tegang, tapi Bisa Kendalikan Diri
Tiga gadis bersaudara sedang menunggu toko milik keluarga ketika tujuh lelaki berkulit legam dan tegap yang tidak mereka kenal menyerang sekitar pukul 16.00 WIB. Gadis-gadis itu kemudian berhamburan menuju apartemen mereka di lantai tiga. Lelaki-lelaki tersebut memburu dan berhasil menangkap mereka. Dua gadis termuda diperkosa, sedangkan si sulung hanya diberi tahu bahwa dia terlalu tua untuk dimangsa.
Lalu, mereka menyulut lantai dasar apartemen itu dengan api. Dua gadis yang mahkotanya sudah direnggut paksa tadi didorong ke dalam kobaran api dan tewas. Namun, si sulung dapat diselamatkan oleh para tetangga. Tidak berhenti di sini, kekerasan dan pemerkosaan terus menjalar ke segenap wilayah itu. Menjelang pukul 19.00 WIB, sejumlah wanita telah diperkosa dan kawasan itu dibumihanguskan.
Di tiga kawasan pecinan di Jakarta Barat, antara pukul 17.00 hingga 20.00 WIB, sejumlah lelaki menyeret ratusan gadis ke jalanan, menelanjangi, dan memaksa mereka menari bersama massa. Menurut Dokter Noer, 20 orang diperkosa dan beberapa lagi dibakar hidup-hidup. Dokter wanita itu juga mengakui dirinya tengah mempelajari kasus perkosaan enam gadis berusia 14–20 tahun di beberapa wilayah Jakarta. Empat di antara enam gadis itu mengaku telah digilir tujuh lelaki yang tidak mereka kenal. Malah, (maaf) wilayah kelamin gadis-gadis itu –mulai Liang Lahir sampai anus– dirobek hingga menganga.
‘’Secara fisik memang bisa disembuhkan. Tetapi, peristiwa ini akan menghantui mereka selamanya,’’ tutur Noer.
Jakarta masih mencekam. Pukul 19.30 WIB, Jenderal Wiranto muncul di layar televisi dan mengatakan bahwa aparat keamanan sudah berhasil mengendalikan situasi. Tetapi, tidak adanya aparat keamanan di jalan-jalan mendorong beberapa kedutaan asing menyerukan perintah evakuasi. Dan, ribuan warga asing –termasuk etnis Cina– mulai meninggalkan Jakarta yang membara dan berhias kebrutalan.
Ketika aksi perkosaan dan penjarahan masih berlangsung, Prabowo sedang berada di markas Kostrad. Di sana, menantu Soeharto itu sedang menerima utusan kelompok pemuda dan organisasi muslim. Menurut seseorang yang ada di tempat itu, Prabowo meminta mereka membantu menenangkan situasi dengan memberikan dukungan kepada Sjafrie.
Prabowo memang tegang, kata orang dekatnya, namun tampak masih bisa mengendalikan diri. Mereka memesan makanan dan santap malam bersama. Karena situasi masih kacau, pesanan makanan itu pun harus diambil dengan kendaraan bersenjata.
Sekitar pukul 01.00 WIB (15 Mei), Prabowo mengunjungi Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kediamannya. Lalu, Prabowo kembali ke markas Kostrad, yang ternyata kemudian hanya memberinya kesempatan bertahan di sana cuma hingga sepekan berikutnya.
15–19 MEI 1998: Selama empat hari berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai drama pilu itu masih menghantui jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei, Soeharto tiba dari Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim di kawasan Jakarta Timur. Konvoi yang terdiri atas 100 kendaraan bersenjata mengawal Soeharto menuju kediamannya di Cendana. Setelah itu, tank-tank Scorpion pertama dan beberapa batalion pasukan bergerak memasuki pusat kota.
Jalanan masih dihiasi pecahan kaca, mobil-mobil yang sudah jadi rongsokan arang, televisi yang porak-poranda, dan puing-puing barang yang sebelumnya begitu berharga. Bank, pusat perkantoran, gedung pemerintahan, dan sekolah-sekolah tutup. Hanya bandara internasional yang tetap melaksanakan aktivitas.
Di tengah kebisuan Jakarta itu, satuan pemadam kebakaran mulai beraksi memadamkan toko-toko dan bangunan-bangunan yang masih mengeluarkan asap. Seketika itu pula, mayat-mayat sudah bisa dihitung. Tapi, masih banyak yang belum terbilang. Para ayah sibuk mencari anaknya. Ibu-ibu berbondong ke rumah sakit untuk mengenali jasad-jasad, yang mungkin di antara mereka ada jasad suaminya. Sungguh sayang. Mayat-mayat itu tidak bisa lagi dikenali karena rusak terbakar. Akhirnya, korban-korban aksi kekerasan Mei ini dikubur masal.
Paramedis dari tim relawan untuk kemanusiaan berhasil menolong seorang lelaki yang terluka parah di luar markas militer, di kawasan Jakarta Timur. Lelaki itu kemudian dibawa paramedis tersebut ke posnya. Luka di kepala lelaki itu diobati. Di sana, kata Romo Sandyawan, –salah seorang pendiri tim relawan tersebut– lelaki itu mengakui bahwa dia telah direkrut dan dilatih bagaimana memancing kerusuhan.
Menurut lelaki itu, mula-mula dia menerima uang muka 2 dolar AS (perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar Rp 35 ribu) dan diangkut ke Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit dikenali. Lelaki ini juga berkata, dia direkrut dalam rombongan beranggota delapan orang dari Jawa Barat. Setelah dilatih, dia diberi batu dan bom molotov dari bensin. Menurut dia, dalam rombongan beranggota delapan orang tadi, mungkin dialah satu-satunya yang bertahan hidup akibat kerusuhan.
Romo Sandyawan menuturkan, pemuda dari Jawa Barat itu diasramakan dan dibrifing selama dua pekan di markas militer di pinggiran selatan Jakarta. Romo Sandyawan mengaku percaya pada penuturan pemuda itu, tetapi belum bisa menjamin penuh akurasinya karena pemuda tadi mengalami cedera syaraf.
Eksodus warga asing terus berlangsung. Ribuan WNI keturunan Cina dan warga asing lain bertolak lewat jalur udara. Jalur air juga tak haram, yang penting cepat keluar dari Jakarta. Pukul 05.00 WIB pada 17 Mei, seorang wanita asing dan bayi perempuannya dikawal menuju bandara dengan perlindungan diplomatik.
Di setiap ujung jalan, sopir selalu memberikan sinyal yang sudah disepakati. Dan, serdadu yang bersembunyi di balik barikadenya membiarkan mobil itu lewat. Beberapa orang yakin bahwa pasukan-pasukan itu pasti sudah diberi tahu agar tidak berdiri dan tampak dalam keadaan siaga penuh. Sebab, para komandannya tentu cemas akan terjadi serangan yang mungkin dari pasukan lain.
Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo mengunjungi rumah Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada aksi demo 12 Mei. Ketika orang tua Hery menatapnya, Prabowo mengangkat Alquran ke atas kepalanya dan bersumpah bahwa dirinya tidak memerintahkan pembunuhan di Trisakti itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir Muljo Utomo –yang juga seorang purnawirawan AD– mengaku tak tahu pasti: percaya atau tidak mempercayai sumpah Prabowo itu.
Ketika warga Jakarta mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai kelimpungan mencari jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha meyakinkan Soeharto agar mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani bicara soal penyimpangan penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan jalan mereka adalah tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam munculnya konfrontasi antara militer dan parlemen.
Ketika tanda-tanda "pertentangan" itu dicemaskan terjadi, ketegangan muncul juga antara militer dan mahasiswa yang sudah merencanakan menggelar aksi masal sejuta orang pada 20 Mei. Wiranto memantapkan diri mendukung Soeharto. Namun, Wiranto juga meminta Soeharto membentuk kabinet baru dan melaksanakan reformasi.
Sementara itu, mahasiswa yang sudah makin berani setelah melihat Soeharto kian tak berdaya memutuskan siap menggelar aksi ke tempat yang telah memberikan amanah kepada Soeharto itu, apalagi kalau bukan gedung DPR/MPR. Mahasiswa demonstran gelombang pertama tiba diangkut kendaraan militer pada 19 Mei pagi hari. Mereka memakai jaket almamater dan menunjukkan identitas ketika melintasi pintu gerbang gedung wakil rakyat itu.
Pukul 11.00 WIB, tidak seperti biasanya, Soeharto muncul di layar televisi nasional. Membaca naskah, sosok yang sudah 32 tahun memerintah Indonesia itu bersumpah siap meninggalkan kantor sesegera mungkin. Dia juga menjanjikan pemilihan umum baru dengan undang-undang yang baru pula untuk mengisi keanggotaan parlemen. Saat itu pula, Soeharto berjanji bahwa antara dia dan Habibie (saat itu Wapres) tidak akan mencalonkan diri untuk periode jabatan berikutnya.
Feisal Ingatkan Habibie, Prabowo Berbahaya
Untuk mewujudkan semua rencana itu, Soeharto akan membentuk sebuah dewan yang merumuskan arah reformasi politik. Tetapi, mahasiswa yang sudah menduduki parlemen bersumpah tidak akan pergi, kecuali bila Soeharto mau mundur. Malam itu, sekitar 3.000 mahasiswa tetap bertahan di area DPR/MPR. Mereka tidur di tenda-tenda atau di atas tikar plastik. Para penyokong aksi mahasiswa ini, yang umumnya kalangan menengah, memberikan dukungan berupa makanan dan air kemasan.
Malam itu, menurut orang-orang dekatnya, Habibie menelepon Soeharto. Habibie mengungkapkan kecemasannya bahwa karier politik Pak Harto akan berakhir prematur pada esok hari yang sudah menjelang. Tetapi, Soeharto berjanji akan melaksanakan pemilu daripada menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden seperti Habibie.
Habibie, kata koleganya, sangat terluka. Dia yakin Soeharto tidak akan lama bertahan. Itulah satu-satunya pilihan saat itu. Sebab, cara-cara lain tampaknya sudah tidak rasional.
20–21 MEI 1998: Beberapa jam menjelang fajar, Jakarta tampak sebagai kota di bawah pendudukan. Ratusan tentara bersenjata senapan laras dan tank-tank ringan serta personel artileri melakukan patroli di ibu kota. Jalan-jalan menuju Monumen Nasional (Monas), tempat yang sudah diplot sebagai venue aksi sejuta massa pada 20 Mei, sudah diblokade dengan kawat berduri dan artileri berat. Tidak ada jalan lain, aksi masal itu pun dibatalkan.
Sore itu, Wiranto menyarankan kepada Soeharto bahwa satu-satunya cara konstitusional transfer kekuasaan adalah menyerahkan jabatan presiden itu kepada Wapres Habibie. Wiranto kemudian mengajukan tiga tuntutan kepada Habibie. Yakni, dia tetap sebagai panglima ABRI, lalu Habibie harus komitmen terhadap reformasi, serta jabatan Prabowo harus diganti.
Tapi, kata sahabat dekatnya, Habibie sudah sekian lama mengenal Prabowo. Mereka berdua tinggal cukup lama di luar negeri. Mereka saling berbagi kepentingan dalam memajukan kepentingan muslim. Pendeknya, satu sama lain saling membutuhkan. Prabowo-lah yang banyak membantu Habibie bersahabat dengan para perwira senior.
Katakanlah, lanjut sumber tadi, dalam pekan genting itu Prabowo dan Habibie bekerja sama membujuk Soeharto agar mundur. Sebagai imbalan, Habibie siap memberi Prabowo jabatan kepala staf Angkatan Darat (KSAD).
Pukul 09.00 WIB pada 21 Mei, lewat siaran televisi nasional, Soeharto mengumumkan lengser keprabon. Setelah tiga dasawarsa lebih memerintah Indonesia, dia meminta maaf kepada rakyat atas segala kesalahan dan kekurangan. Dan, Habibie tampak ragu-ragu sebelum diambil sumpahnya sebagai presiden ketiga sejak Indonesia merdeka.
Hampir tengah malam setelah pengunduran Soeharto, Prabowo muncul di Istana Kepresidenan dengan pasukan siap tempur. Berbekal pistol otomatis dan beberapa truk pasukan Kostrad yang sudah menanggalkan tanda resimennya, Prabowo menagih jabatan KSAD yang sudah dijanjikan Habibie.
Saat itulah pengawal Habibie memanggil Wiranto dan Feisal Tanjung, mantan Pangab, ke istana. Feisal mengingatkan Habibie bahwa Prabowo adalah sosok yang terlalu bahaya bila harus memimpin AD. Kepada orang, Habibie kemudian hanya bisa berkata bahwa malam itu dia memang takut akan keselamatan nyawanya.
http://www.geocities.com/CapitolHill...asiaweek3.html
Kerusuhan rasial sering terjadi di Indonesia. Tapi kerusuhan yang berbuntut pemerkosaan warga keturunan Cina secara besar-besaran agaknya baru pertamakali terjadi pada 13-14 Mei 1998 lalu. Sudah 44 kasus perkosaan terjadi, di antaranya menyebabkan lima wanita tewas dan tiga lainnya bunuh diri. Apakah kita akan terus membiarkan "bom waktu" soal keturunan Cina ini meledak dan mengenai muka kita?
Kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta ternyata bukan hanya soal penjarahan, pengrusakan, atau pembakaran saja. Belakangan mencuat kasus yang sungguh menyayat hati nurani: perkosaan. Korbannya hampir semua adalah warganegara keturunan Cina. Setelah ada 1.200 lebih korban tewas (menurut versi tim relawan) - sementara menurut versi kepolisian korban tewas 316 (lihat: "Pulangkan Anakku, Biar Hanya Secuil Dagingnya" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama6.htm dan "Istriku Wafat Bersama Anakku di Kandungannya" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama7.htm), kasus perkosaan ini makin membuat orang membuka mata: peristiwa di Jakarta itu merupakan tragedi terberat sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Bayangkan. Dalam dua hari itu telah terjadi 44 kasus perkosaan di Jakarta, menurut Ita F. Nadia dari tim relawan. Tak cuma itu. Dari 44 kasus itu, terdapat delapan korban perkosaan yang tewas. Lima orang karena dibunuh setelah diperkosa. Dan tiga lainnya bunuh diri karena tak kuasa menanggung malu.
Pemerintah sendiri belum banyak berkomentar soal perkosaan ini. Tim Komnas HAM juga baru membentuk tim untuk menampung soal perkosaan itu (lihat: "Kami Punya Bukti, Pelakunya Jelas Kelompok Terorganisasi" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama4.htm).
Tapi beberapa lembaga swadaya, terutama divisi perempuan kelompok relawan yang diketuai Ita F. Nadia, telah bergerak mengumpulkan data. Mereka juga membuka layanan "hotline" untuk korban yang ingin mengadukan nasibnya, dengan nomor telepon 021-7902109 atau 021-7902112. Kini setiap hari dilaporkan ada 25 orang perempuan yang melaporkan nasibnya.
Kejadian yang mereka alami bermacam ragam, dari mulai "disentuh tempat terlarangnya", ditelanjangi sampai diperkosa. Ita F. Nadia sempat menuturkan beberapa kasus dalam wawancara dengan Radio Belanda, 8 Juni lalu. Misalnya, ketika para pegawai pulang naik bis di dalam bis, penumpang dipilih-pilih. Para penumpang Cina disuruh turun, disuruh membuka baju, dan kemudian disuruh jalan berbaris. Mereka digiring ke padang ilalang di pinggir jalan. Yang berparas cantik diperkosa. Sedangkan yang berparas tidak begitu cantik disuruh berjalan telanjang. Modus berikutnya, perempuan-perempuan Cina secara ramai-ramai ditelanjangi di jalan raya, kemudian tubuhnya digerayangi. Ada yang sobek payudaranya dan seluruh badannya memar.
Ada lagi kisah pegawai bank. Sebanyak sepuluh orang memasuki bank dan menutup bank tersebut. Para pegawai Cina disuruh menari-nari dengan telanjang. Kemudian ada tiga anak gadis dari keluarga Cina miskin yang diperkosa. Mereka berumur 10 sampai 18 tahun, diperkosa oleh tujuh orang di sebuah tempat di Jakarta Utara.
Yang berikutnya adalah sebuah keluarga yang kebetulan kakak perempuan para korban mengaku kepada Ita Nadia bahwa dua adik perempuannya diperkosa di lantai tiga rumah mereka oleh tujuh orang pula. Setelah diperkosa, dua adik perempuan itu didorong ke lantai dua dan satu di mana api telah berkobar, sehingga dua adik tersebut meninggal. Itu beberapa kasus. Kasus-kasus lain, mereka biasanya diperkosa, kemudian dicekik. Tetapi ada juga yang ketika diperkosa, korban kemudian bunuh diri (lihat: "Para Pemerkosa Itu Dikomando" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama3.htm).
Ada lagi kisah Andina, sebut saja begitu. Gadis berusia 26 tahun ini, pada hari naas itu (Rabu 13/5) pulang dari kantornya. Sebuah bank swasta di kawasan Tomang. Ia dibonceng pacarnya, pegawai perusahaan komputer, menuju rumahnya di bilangan Jelambar, Jakarta Barat.
Merasa keadaan sudah mereda, mereka nekad pulang menjelang pukul 21.00 WIB. Keduanya tak pernah bermimpi, dalam perjalanan itu, di suatu tempat di Jakarta Barat mereka tiba-tiba dikepung massa yang muncul begitu saja entah dari mana.
Di keremangan malam itu, kata cerita di sebuah surat elektronik, Andina sudah tak mampu lagi berpikir diapakan saja dirinya. Yang teringat hanyalah, ia ditarik-tarik massa agar turun dari sepeda motor. "Tuhan, tolong Tuhan...." hanya kata-kata itu yang dia teriakkan di tengah-tengah himpitan kepanikan dan ketakutan luar biasa.
Blazernya sudah terlepas, sementara seluruh harta miliknya dilolosi. Uang, handphone, kartu ATM, SIM, STNK, helm, bahkan obat dokter untuk orangtuanya yang baru ditebus di apotek, habis dijarah.
Andina tidak ingat lagi, diapakan saja dirinya waktu itu. Hanya doa yang terus menguatkannya. Sekali ia jatuh terjengkang, tetapi dengan kekuatan yang tersisa ia bangun dan kembali memegang baju pacarnya erat-erat. Sang pacar, yang orangtuanya berencana melamar tanggal 17 Mei - empat hari setelah kejadian ini menimpa - tak berdaya dipukuli massa. Yang terdengar hanyalah rintihannya, "Ampun, Pak.. ampun. Saya orang biasa..."
Sementara teriakan massa makin menyeramkan. Tetapi dalam keputusasaan, menurut penuturan Andina di sebuah situs di internet, tiba-tiba ada orang tua muncul. Ialah yang memerintahkan agar para penjarah membebaskan dua anak manusia ini.
Andina dan pacarnya bisa pergi meninggalkan tempat itu, sebelum kemudian ditolong polisi jaga di dekat situ yang juga tak luput dari lemparan batu massa.
Oleh polisi mereka diantar ke rumah penduduk. Seorang penduduk kemudian memboncengkan keduanya sampai rumah. Berhari-hari kemudian, Andina masih saja dicekam peristiwa itu.
Lama ia tak masuk kantor. Sekujur tubuhnya penuh bilur-bilur biru, bahkan juga di pangkal paha. Bekas-bekas kekerasan ini, baru hilang seminggu kemudian.
Kisah lebih memilukan menimpa Edwin yang akhirnya harus menyaksikan massa memperkosa anak gadisnya (lihat: Anak Diperkosa, Ayahnya pun Sakit Jiwa http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama8.htm).
Ada juga seorang korban yang lolos dari usaha perkosaan dan bercerita. Ketika ia naik bis di daerah Jakarta Barat, bisnya dihentikan massa, dan semua penumpang diminta turun. Kebetulan ia berada di belakang seorang ibu yang berkulit putih. Saat itulah ada yang mulai berteriak, "Serbu ibu itu, perkosa Cina itu." Walau ketakutan, si ibu itu lantas bilang,"Saya bukan Cina, tetapi Batak." Lalu ibu itu mengeluarkan KTP-nya. Melihat itu orang tadi berteriak,"Jika begitu, perkosa wanita yang di belakangnya." Gadis Cina itu merasa ketakutan sekali, tetapi untung si ibu itu membelanya dengan berkata,"Ia keponakan saya, jangan diperkosa." Akhirnya gadis Cina itu lolos dari perkosaan karena dibawa pergi si ibu tadi.
Data Tim Relawan Kemanusiaan Divisi Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar korban pelecehan dan perkosaan adalah perempuan etnis Cina berusia muda. Sebagian besar kasus terjadi di kawasan Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Tangerang. "Kami juga menemukan satu kasus perkosaan pada anak berusia 12 tahun," kata Ita. Ditemukan pula data bahwa sebagian besar perkosaan dilakukan berkelompok yang bisa mencapai lebih dari lima orang. Ditemukan pula korban yang dilukai setelah diperkosa.
Tapi mengapa hanya etnis Cina yang jadi sasaran? Psikolog dari UGM Yogyakarta, Dr. Djamaludin Ancok menjelaskan bahwa ada kesalahan dalam kebijakan pribumi-non pribumi. Dari dulu, orang Cina selalu menjadi obyek kemarahan. Itu akibat strategi Belanda di dalam memecah belah Indonesia dulu. Mereka menempatkan warga keturunan Cina lebih tinggi dari pribumi. Itu menimbulkan sikap antipati. Sehingga orang yang terkena hasil pendidikan Belanda ini membuat garis "kamu" dan "kita" atau "in group" atau "out group". Jadilah warga keturunan Cina menjadi target terus.
Dan pemerintah memupuk semangat itu dengan cara membuat perbedaan antara warga keturunan Cina dan non-Cina. Ada istilah pribumi-non pribumi. KTP mereka diberi tanda tertentu. Dan kemudian kalau ada urusan, mereka harus menunjukkan surat bukti kewarganegaraan. Itu adalah mekanisme melanjutkan model pembedaan Belanda itu. Jadi kaum pribumi tidak melihat warga keturunan Cina itu sebagai bagian dari sukses kehidupannya. Dengan orang Cina yang berdagang, orang bisa membeli barang dengan gampang. "Kita tidak melihat itu sama sekali. Kita hanya melihat kesenjangan. Mereka kaya, kita miskin. Padahal banyak juga warga keturunan Cina yang miskin," ujar Ancok. Celakanya lagi, kemarahan terjadi karena banyaknya Cina-Cina yang berkolusi dengan rezim Soeharto sejak dulu.
Ancok menduga masyarakat akan segera sadar bahwa warga keturunan Cina itu hanyalah target yang dialihkan. Orang semakin sadar setelah mereka membaca koran, misalnya. Sehingga, jika terjadi kerusuhan lagi, kata Ancok,"Targetnya sudah bukan warga keturunan Cina lagi, tetapi sudah semua orang." Mungkin maksudnya semua orang yang dianggap "berpunya" (lihat: "Kelak Targetnya Bukan Keturunan Cina, Tapi Semuanya"
http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama5.htm).
Maka, mendiamkan saja soal keturunan Cina ini "jadi sasaran amuk" agaknya hanyalah menunda meledaknya sebuah bom. Jika ia kelak meledak, semua akan merasakan akibatnya -- juga si pemicu meledaknya bom tadi, jika ia benar-benar ada.
Kerusuhan di Jakarta pada 13 Mei 1998 itu benar-benar mencekam. Pengendalian huru-hara itu pun terkesan tidak terpadu sehingga membuka pintu bagi aksi-aksi lain di wilayah ibu kota. Jakarta merana, merah padam disulut api oleh orang-orang kalap. Di tengah kegerahan inilah, beberapa WNI Tionghoa meronta karena diperlakukan tidak manusiawi.
PUKUL 18.30 WIB: Susi, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kawasan Jakarta Pusat, berniat pulang. Seperti biasa, Susi menumpang sebuah bus dengan rute yang melintasi Citraland dan Universitas Trisakti. Ketika bus sampai di Mal Citraland, puluhan massa mengepung dan memaksa sopir menghentikan busnya. Massa meneriaki seluruh penumpang agar turun. Bila tidak mau, mereka pun siap membakar bus itu.
Akhirnya, sekitar 50 penumpang bus tersebut turun juga. Tetapi, massa yang kalap itu masih juga membakar bus tersebut. Tidak ada cara lain bagi Susi kecuali pulang dengan berjalan kaki. Dicekam ketakutan, langkah mahasiswi keturunan Cina ini kian cepat. Seolah dia dikejar seseorang. Menyusuri kegelapan malam, tidak ada lentera kecuali nyala dan jilat api mobil serta sepeda motor yang dibakar di jalan.
Kerumunan massa semakin brutal. Jumlah mereka sudah mencapai ratusan. Seolah berpesta, mereka membabi buta melakukan perusakan. Sedangkan ratusan lainnya menatap di pinggir jalan. Seorang lelaki tak bersenjata berusaha merampok Susi. Namun, mahasiswi ini berusaha bertahan untuk tidak menyerahkan dompetnya.
Susi berlari kencang. Lelaki yang bermaksud jahat itu pun mengejarnya. Ketika lelaki itu mendekat, Susi berusaha mencari perlindungan dengan merangkul seorang lelaki yang dekat dengannya. Lelaki itu bernama Wahyu. Wahyu mengaku tak mampu memberikan perlindungan kepada Susi. Dengan demikian, lelaki jahat itu pun dengan gampang meminta uang Susi.
Susi bersumpah hanya punya uang Rp 10 ribu. Menurut Susi, uang sejumlah itu pun diambil oleh lelaki tadi. Malahan, dia masih mengumpat Susi dengan kata-kata, ’’Gadis Cina edan.’’
Wahyu memikirkan cara bagaimana menyelamatkan Susi. Akhirnya, dia memberikan topinya kepada Susi. Mahasiswi ini kemudian menutupi raut wajahnya dengan topi itu sesuai dengan saran Wahyu.
Karena sama-sama satu arah, Wahyu dan Susi berjalan bersama. Di perjalanan, Susi mengatakan melihat sebuah mobil dibakar bersama penumpangnya. Dia juga mendengar pekikan ’’Enyahkan Cina.’’ Di seberang jalan, dia malah menatap gadis-gadis yang sudah ditelanjangi. Orang berusaha melihat, tetapi Susi berusaha tak acuh.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Susi dan Wahyu berhasil meninggalkan jalan yang mencekam tadi. Mereka kemudian berhenti di sebuah kedai teh. Anak lelaki pemilik kedai datang. Dia baru saja melihat kerusuhan di jalan. Anak pemilik kedai ini mengatakan bahwa mereka (massa) sudah melakukan perbuatan yang mengerikan bagi warga keturunan Cina.
Suami-istri pemilik kedai teh itu menawarkan inapan. Susi pun tak bisa menampik. Pagi-pagi sekali, mereka menghubungi seorang temannya untuk mengantarkan Susi pulang. Sebelum pulang, suami-istri itu menyodorkan jilbab agar Susi mau memakainya. Tetapi, Susi lebih suka memakai topi pemberian Wahyu. Ketika jarum jam siap menyentuh 09.30 WIB (14 Mei), Susi tiba dengan selamat di rumah.
Tetapi, dia tidak lagi bisa menyaksikan pemandangan yang serupa dengan pemandangan saat dia berangkat ke kampus sehari sebelumnya. Soalnya, toko-toko yang ada di sekitarnya sudah jadi arang. Toko-toko yang ditempeli tulisan ’’Milik Muslim’’ di pintu maupun pintu gerbang umumnya selamat. Namun, ibu Susi –yang membuka toko kosmetik– tidak mau memasang tulisan itu. Sepekan setelah peristiwa itu, warga di lingkungan Susi tinggal mengorganisasikan pengamanan bersama setiap malam. Masing-masing orang melengkapi diri dengan alat pengaman, dari stik golf sampai pedang samurai.
Hampir bersamaan dengan waktu Susi meninggalkan kampus tadi, seorang pengusaha keturunan Cina tiba di rumahnya di Jembatan Lima, kawasan yang didominasi etnis Cina. Istri pengusaha itulah yang meminta sang suami secepatnya pulang. Sang istri itu merasa ngeri melihat kerumunan orang yang tidak dia kenal dan berteriak di jalanan sambil membawa batu.
Ipar lelaki pengusaha itu mengaku melihat sekitar lima orang berpenampilan serem melempar jendela-jendela bangunan dengan batu untuk menarik perhatian. Ketika gelombang massa mulai berdatangan dari kampung sekitarnya, kelima orang berpenampilan garang itu mempengaruhi massa agar masuk sebuah gudang air mineral. Massa diserukan agar mengambil apa saja yang mereka suka, lalu bakar benda-benda yang tidak bisa dibawa.
Lalu, kelima orang tadi berteriak, ’’Mari kita serbu tempat lain!’’ Dan, massa yang kesetanan itu pun pergi. Malam itu juga bank di wilayah itu dirusak, mobil-mobil dibakar, dan sebuah toko emas habis dikuras. Sebuah pasar makanan juga dihancurkan. Warga menelepon pos polisi dan militer untuk meminta bantuan. Tapi, tak seorang pun menjawab panggilan telepon itu.
Menjelang tengah malam, ujar seorang relawan kemanusiaan bernama Karyo, seorang godfather memberikan perintah kepada sekumpulan anggota geng anak muda dan pecandu narkotika agar bertemu pagi harinya untuk merayakan ’’pesta jalanan.’’ Karyo mengakui tahu soal perintah itu karena salah seorang dari anggota geng tadi memberi tahu dia.
Kepada Karyo, pemuda itu mengatakan bahwa perintah godfather tidak mungkin ditolak. Pemuda itu diminta mengenakan seragam sekolah, lalu datang ke kawasan Klender untuk memancing perkelahian. Namun, tutur Karyo, pemuda itu pisah dengan kelompoknya sebelum sampai di tujuan.
14 MEI 1998: Sekitar pukul 02.00 dini hari, kata seorang perwira militer, (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Syamsoeddin mengeluarkan instruksi bagi kelompok-kelompok yang ada di jalanan. Sepanjang hari itu, orang-orang di markas Sjafrie mendengar perintah ke mana orang-orang di jalanan itu harus pergi. Akhirnya, frekuensi radio itu berhasil di-jam (dicegat). Padahal, hanya satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan intelijen AD- lah yang bisa melakukannya.
Menurut sumber lain yang juga militer, setelah fajar, gangsters dari Lampung, Sumatera Selatan, dipandu memasuki wilayah ibu kota oleh pasukan Kopassus –satuan yang dipimpin Prabowo mulai 1995 sampai Februari lalu. Seorang pegawai sipil di markas militer mengatakan, sepekan sebelum kerusuhan meletus, ratusan pemuda Timtim dibawa dan dilatih oleh Kopassus. Mereka dibawa dengan pesawat carteran dari Dili ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta, ratusan pemuda Timtim itu dibawa ke Jakarta dengan kereta api.
Saat dimintai konfirmasi oleh Asiaweek, maskapai yang mengangkut pemuda Timor Timur itu menolak buka suara. Menurut mereka, adalah kebijakan untuk tidak membicarakan penerbangan tersebut.
Pagi-pagi sekali, Karyo menerima telepon dari seorang tak dikenal. Menurut si penelepon, hari itu Jatinegara Plaza di kawasan Jakarta Timur akan dibakar. Saksi mata mengatakan, setelah telepon itu, delapan lelaki tiba di Jatinegara. Seorang di antara mereka berusaha menarik perhatian massa dari kampung sekitar dengan membakar ban mobil. Ketika massa sudah berkumpul, empat dari delapan lelaki tadi mengajak mereka menuju plaza yang sedang melakukan aktivitas bisnis. Mereka merusak, tapi aparat keamanan hanya bisa menatap.
Beberapa jam kemudian, seseorang menembakkan gas air mata di lantai dasar Jatinegara Plaza. Dua saksi mata melihat, saat itu seorang lelaki menyiramkan bensin di pintu masuk, lalu membakarnya. Di lantai tiga, seorang lelaki lain terlihat membakar gulungan kain. Dia lalu meninggalkan tempat itu dengan turun melewati pipa udara. Sebanyak 70 orang, termasuk beberapa pekerja di plaza itu, tewas terbakar. Namun, satuan pemadam kebakaran dan polisi tidak bereaksi.
Bergerak jauh ke arah timur Klender, Yogya Plaza juga diserbu. Saksi mata mengatakan, sekelompok lelaki memimpin massa yang ada di jalanan dan mempersilakan mereka mengambil apa pun yang mereka suka. Sekelompok lelaki penyulut tadi berpotongan rambut cepak, badan tegap, dibungkus jaket hitam. Lelaki-lelaki ini mengaku sebagai mahasiswa.
Setelah beberapa jam menyerbu, merusak, dan menjarah Yogya Plaza, seorang di antara lelaki tadi berteriak kepada para penjarah agar secepatnya keluar dari plaza itu. Lalu, lelaki ini dan tiga rekannya mencelupkan sepotong kain lebar ke dalam bensin, kemudian menyulutnya dengan korek api. Kain yang terbakar itu dilemparkan ke plaza. Lelaki-lelaki berjaket hitam itu pun pergi. Tapi, sekitar 100 orang mati terpanggang.
Di Jakarta Barat, massa berkumpul di Meruya. Mereka sudah mendengar rumor bahwa pasar di wilayah tetangga akan dijadikan abu. Beberapa saat kemudian, kata saksi mata, dua minibus tiba di Meruya. Dua minibus itu mengangkut para lelaki berseragam sekolah. Ada kejanggalan. Lelaki-lelaki berseragam itu sebenarnya sudah tidak tampak sebagai pemuda belasan tahun. Lelaki-lelaki berseragam ini memakai bom molotov untuk menyulut api. Api menjalar. Lelaki-lelaki berseragam itu pun cepat lenyap.
Masih pagi hari pada 14 Mei, sekelompok lelaki yang tampak terlalu tua dan terlalu besar untuk mengenakan seragam SMU, mulai memancing keributan dengan berkelahi di jalan raya utama Sunter. Mereka kemudian juga mulai membakar ban-ban. Setidaknya, tiga pengendara sepeda motor terlihat berputar-putar di sekelilingnya. Seolah tampak kebingungan.
Saat itu, Suyitno –penghubung militer-warga– menunjukkan satu arah kepada pengendara sepeda motor tadi. Namun, para pengendara itu malah memacu sepeda motornya menjauh. Sejak kerusuhan meletup, sudah dua hari Suyitno melakukan kontak dengan pos komando militer setempat.
Saat kontak itu, kata Suyitno, seseorang di markas memberi tahu dia, ’’Bila kamu dilempari batu oleh para perusuh, balaslah dengan senyum. Saya perintahkan kamu hanya tersenyum, cukup itu saja.’’
Para perwira di wilayah Sunter mengaku juga menerima perintah yang sama dengan Suyitno. Beberapa mengaku sama sekali tidak menerima perintah. Ketika beberapa perwira berinisiatif melapor kepada atasan tentang aksi yang kian meluas, mereka hanya dibalas dengan perintah agar tetap siaga. Menjawab fenomena aneh ini, seorang perwira berkata kepada Suyitno, ’’Saya rasa sama-sama ada ketidakjelasan perintah di Jatinegara dan Klender.’’
Sementara itu, kata seorang sumber yang dekat dengan (saat itu) Kapolda Mayjen Hamami Nata, beberapa satuan polisi diminta berkumpul di markas, tapi diperintahkan tetap di tempat. Menurut sumber itu, hampir semua polisi di sana tidak ada yang berani meninggalkan tempat karena mereka tidak yakin benar perintah siapa yang akan diikuti. Satuan pemadam kebakaran juga diperintahkan agar tidak bekerja.
Glodok Plaza, kawasan komersial yang berdiri megah di tengah Jakarta itu, akhirnya juga tidak luput dari serangan api dan serbuan batu. Muladi, seorang satpam, menyaksikan sendiri bagaimana aksi perusakan dan penjarahan itu terjadi. Saat itu sekitar pukul 16.00 WIB, Muladi melihat lebih dari 2.000 orang dengan tas-tas penuh batu dan alat pencongkel pintu secara paksa bergerak menuju Glodok.
Beberapa orang lain membawa bom molotov. Polisi memberikan tembakan ke udara sebagai peringatan, tapi massa tidak menggubris. Polisi kemudian tampak pasrah dan minggir. Glodok Plaza diserbu, dijarah, dan dilumatkan. Orang-orang tampak bersemangat mengusung komputer, kulkas, televisi, dan barang lain dari pusat perbelanjaan elektronik itu. Pesta itu terus berlangsung sebelum api mulai tampak melahap sekitar pukul 19.00 WIB. Tidak tampak seorang pun berusaha memadamkan kobaran api.
’’Lebih mengerikan dibandingkan dengan perang karena kami tak bisa meminta bala bantuan,’’ kenang Muladi.
Sebelum Glodok Plaza dirajam api, petangnya, si jago merah juga melahap rumah seorang pengusaha keturunan Cina yang ada di wilayah tetangganya. Massa meruak masuk, mengambil barang-barang dari rumah itu. Saat itu, sejumlah personel militer hanya bisa menatap. Sedangkan si pengusaha yang cemas terpaksa tertahan di jalanan. Dia menggigil ketakutan ketika massa berteriak untuk menghancurkan rumahnya.
Akhirnya, dia pun terpaksa menyusuri tapak jalan dengan berjalan kaki. Baru menjelang tengah malam, dia sampai di kediamannya yang sudah menjadi arang. Dia hanya bisa menatap sisa-sisa miliknya disantap api. Baru pada pagi hari, konglomerat ini bisa memasuki areal rumahnya dengan ditemani dua orang perwira polisi militer. Lantai satu dan dua rumah itu sudah rata dengan tanah.
Dengan perasaan pedih, dia naik ke tangga tiga yang selama itu dijadikan apartemen keluarga. Ternyata, di sana tidak kalah mengenaskan. Perabot mahal yang ada di ruang tamu amblas. Di kamar tidur, di atas ranjang, lelaki pengusaha itu mendapati istrinya sudah tewas terpanggang. Di kolong ranjang, anak gadisnya yang berusia 17 tahun juga sudah menjadi mayat. Sementara itu, kakak wanita gadis itu yang berusia 18 tahun pun sudah tidak bernyawa. Jasadnya ada di lemari pakaian dengan tangan menggengam telepon selular dan Injil.
Menurut Rosita Noer, dokter yang juga aktivis hak asasi manusia, sepanjang hari pada 14 Mei itu, setidaknya, sudah 468 wanita diserang sekelompok lelaki di 15 tempat. Di 10 wilayah, sekelompok wanita juga dikerjai. Umumnya, korban diserang ketika berada di toko, rumah, dan di dalam mobil mereka.
Yang memilukan, justru pelaku kerap memperlakukan korban secara tidak manusiawi. Mereka menelanjangi, lalu melihat tubuh wanita-wanita korbannya. Beberapa lagi malah memperkosanya. Para pelaku itu memang asing di mata korban, yang umumnya keturunan Cina. Korban lain diperkirakan akibat salah sasaran karena mirip Cina atau bekerja pada keluarga keturunan Cina. Sedikitnya, 20 wanita tewas atau dibunuh setelah diperkosa itu, beberapa lagi nekat bunuh diri.
Menurut penuturan Ita Nadia, Kepala Pusat Studi Wanita Kalyanamitra, telah terjadi 10 lelaki memaksa beberapa wanita masuk ke sebuah rumah. Di sana, mereka mengobrak-abrik isi rumah itu, lalu menelentangkan korbannya. Mereka memperkosa ibu dan anak perempuan di depan ayah dan anak lelakinya. Seorang nenek mengaku melihat kemaluan cucu wanitanya ditusuk dengan botol.
Di tempat lain, seorang ibu mencoba bunuh diri karena tidak tahan melihat anak gadisnya yang berusia belasan tahun diperkosa di hadapannya. Seorang ayah malah memberi anaknya Baygon untuk memudahkan jalan anak gadisnya itu bunuh diri setelah dia diperkosa. Juga, seorang ibu yang mengidap serangan jantung langsung tewas begitu mendengar anak gadisnya telah diperkosa.
Di sebuah apartemen berlantai 15 di kawasan Pluit, Jakarta Utara, beberapa kelompok lelaki bergerak secara sistematis menyerang wanita-wanita Cina yang ada di setiap lantai. Aksi ini dimulai pukul 09.00 WIB sampai petang hari. Para lelaki itu bisa bergerak leluasa karena mereka benar-benar sudah menguasai apartemen itu. Diperkirakan, mereka sudah memperkosa lebih dari 40 gadis dan wanita.
Prabowo Tegang, tapi Bisa Kendalikan Diri
Tiga gadis bersaudara sedang menunggu toko milik keluarga ketika tujuh lelaki berkulit legam dan tegap yang tidak mereka kenal menyerang sekitar pukul 16.00 WIB. Gadis-gadis itu kemudian berhamburan menuju apartemen mereka di lantai tiga. Lelaki-lelaki tersebut memburu dan berhasil menangkap mereka. Dua gadis termuda diperkosa, sedangkan si sulung hanya diberi tahu bahwa dia terlalu tua untuk dimangsa.
Lalu, mereka menyulut lantai dasar apartemen itu dengan api. Dua gadis yang mahkotanya sudah direnggut paksa tadi didorong ke dalam kobaran api dan tewas. Namun, si sulung dapat diselamatkan oleh para tetangga. Tidak berhenti di sini, kekerasan dan pemerkosaan terus menjalar ke segenap wilayah itu. Menjelang pukul 19.00 WIB, sejumlah wanita telah diperkosa dan kawasan itu dibumihanguskan.
Di tiga kawasan pecinan di Jakarta Barat, antara pukul 17.00 hingga 20.00 WIB, sejumlah lelaki menyeret ratusan gadis ke jalanan, menelanjangi, dan memaksa mereka menari bersama massa. Menurut Dokter Noer, 20 orang diperkosa dan beberapa lagi dibakar hidup-hidup. Dokter wanita itu juga mengakui dirinya tengah mempelajari kasus perkosaan enam gadis berusia 14–20 tahun di beberapa wilayah Jakarta. Empat di antara enam gadis itu mengaku telah digilir tujuh lelaki yang tidak mereka kenal. Malah, (maaf) wilayah kelamin gadis-gadis itu –mulai Liang Lahir sampai anus– dirobek hingga menganga.
‘’Secara fisik memang bisa disembuhkan. Tetapi, peristiwa ini akan menghantui mereka selamanya,’’ tutur Noer.
Jakarta masih mencekam. Pukul 19.30 WIB, Jenderal Wiranto muncul di layar televisi dan mengatakan bahwa aparat keamanan sudah berhasil mengendalikan situasi. Tetapi, tidak adanya aparat keamanan di jalan-jalan mendorong beberapa kedutaan asing menyerukan perintah evakuasi. Dan, ribuan warga asing –termasuk etnis Cina– mulai meninggalkan Jakarta yang membara dan berhias kebrutalan.
Ketika aksi perkosaan dan penjarahan masih berlangsung, Prabowo sedang berada di markas Kostrad. Di sana, menantu Soeharto itu sedang menerima utusan kelompok pemuda dan organisasi muslim. Menurut seseorang yang ada di tempat itu, Prabowo meminta mereka membantu menenangkan situasi dengan memberikan dukungan kepada Sjafrie.
Prabowo memang tegang, kata orang dekatnya, namun tampak masih bisa mengendalikan diri. Mereka memesan makanan dan santap malam bersama. Karena situasi masih kacau, pesanan makanan itu pun harus diambil dengan kendaraan bersenjata.
Sekitar pukul 01.00 WIB (15 Mei), Prabowo mengunjungi Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kediamannya. Lalu, Prabowo kembali ke markas Kostrad, yang ternyata kemudian hanya memberinya kesempatan bertahan di sana cuma hingga sepekan berikutnya.
15–19 MEI 1998: Selama empat hari berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai drama pilu itu masih menghantui jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei, Soeharto tiba dari Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim di kawasan Jakarta Timur. Konvoi yang terdiri atas 100 kendaraan bersenjata mengawal Soeharto menuju kediamannya di Cendana. Setelah itu, tank-tank Scorpion pertama dan beberapa batalion pasukan bergerak memasuki pusat kota.
Jalanan masih dihiasi pecahan kaca, mobil-mobil yang sudah jadi rongsokan arang, televisi yang porak-poranda, dan puing-puing barang yang sebelumnya begitu berharga. Bank, pusat perkantoran, gedung pemerintahan, dan sekolah-sekolah tutup. Hanya bandara internasional yang tetap melaksanakan aktivitas.
Di tengah kebisuan Jakarta itu, satuan pemadam kebakaran mulai beraksi memadamkan toko-toko dan bangunan-bangunan yang masih mengeluarkan asap. Seketika itu pula, mayat-mayat sudah bisa dihitung. Tapi, masih banyak yang belum terbilang. Para ayah sibuk mencari anaknya. Ibu-ibu berbondong ke rumah sakit untuk mengenali jasad-jasad, yang mungkin di antara mereka ada jasad suaminya. Sungguh sayang. Mayat-mayat itu tidak bisa lagi dikenali karena rusak terbakar. Akhirnya, korban-korban aksi kekerasan Mei ini dikubur masal.
Paramedis dari tim relawan untuk kemanusiaan berhasil menolong seorang lelaki yang terluka parah di luar markas militer, di kawasan Jakarta Timur. Lelaki itu kemudian dibawa paramedis tersebut ke posnya. Luka di kepala lelaki itu diobati. Di sana, kata Romo Sandyawan, –salah seorang pendiri tim relawan tersebut– lelaki itu mengakui bahwa dia telah direkrut dan dilatih bagaimana memancing kerusuhan.
Menurut lelaki itu, mula-mula dia menerima uang muka 2 dolar AS (perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar Rp 35 ribu) dan diangkut ke Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit dikenali. Lelaki ini juga berkata, dia direkrut dalam rombongan beranggota delapan orang dari Jawa Barat. Setelah dilatih, dia diberi batu dan bom molotov dari bensin. Menurut dia, dalam rombongan beranggota delapan orang tadi, mungkin dialah satu-satunya yang bertahan hidup akibat kerusuhan.
Romo Sandyawan menuturkan, pemuda dari Jawa Barat itu diasramakan dan dibrifing selama dua pekan di markas militer di pinggiran selatan Jakarta. Romo Sandyawan mengaku percaya pada penuturan pemuda itu, tetapi belum bisa menjamin penuh akurasinya karena pemuda tadi mengalami cedera syaraf.
Eksodus warga asing terus berlangsung. Ribuan WNI keturunan Cina dan warga asing lain bertolak lewat jalur udara. Jalur air juga tak haram, yang penting cepat keluar dari Jakarta. Pukul 05.00 WIB pada 17 Mei, seorang wanita asing dan bayi perempuannya dikawal menuju bandara dengan perlindungan diplomatik.
Di setiap ujung jalan, sopir selalu memberikan sinyal yang sudah disepakati. Dan, serdadu yang bersembunyi di balik barikadenya membiarkan mobil itu lewat. Beberapa orang yakin bahwa pasukan-pasukan itu pasti sudah diberi tahu agar tidak berdiri dan tampak dalam keadaan siaga penuh. Sebab, para komandannya tentu cemas akan terjadi serangan yang mungkin dari pasukan lain.
Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo mengunjungi rumah Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada aksi demo 12 Mei. Ketika orang tua Hery menatapnya, Prabowo mengangkat Alquran ke atas kepalanya dan bersumpah bahwa dirinya tidak memerintahkan pembunuhan di Trisakti itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir Muljo Utomo –yang juga seorang purnawirawan AD– mengaku tak tahu pasti: percaya atau tidak mempercayai sumpah Prabowo itu.
Ketika warga Jakarta mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai kelimpungan mencari jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha meyakinkan Soeharto agar mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani bicara soal penyimpangan penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan jalan mereka adalah tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam munculnya konfrontasi antara militer dan parlemen.
Ketika tanda-tanda "pertentangan" itu dicemaskan terjadi, ketegangan muncul juga antara militer dan mahasiswa yang sudah merencanakan menggelar aksi masal sejuta orang pada 20 Mei. Wiranto memantapkan diri mendukung Soeharto. Namun, Wiranto juga meminta Soeharto membentuk kabinet baru dan melaksanakan reformasi.
Sementara itu, mahasiswa yang sudah makin berani setelah melihat Soeharto kian tak berdaya memutuskan siap menggelar aksi ke tempat yang telah memberikan amanah kepada Soeharto itu, apalagi kalau bukan gedung DPR/MPR. Mahasiswa demonstran gelombang pertama tiba diangkut kendaraan militer pada 19 Mei pagi hari. Mereka memakai jaket almamater dan menunjukkan identitas ketika melintasi pintu gerbang gedung wakil rakyat itu.
Pukul 11.00 WIB, tidak seperti biasanya, Soeharto muncul di layar televisi nasional. Membaca naskah, sosok yang sudah 32 tahun memerintah Indonesia itu bersumpah siap meninggalkan kantor sesegera mungkin. Dia juga menjanjikan pemilihan umum baru dengan undang-undang yang baru pula untuk mengisi keanggotaan parlemen. Saat itu pula, Soeharto berjanji bahwa antara dia dan Habibie (saat itu Wapres) tidak akan mencalonkan diri untuk periode jabatan berikutnya.
Feisal Ingatkan Habibie, Prabowo Berbahaya
Untuk mewujudkan semua rencana itu, Soeharto akan membentuk sebuah dewan yang merumuskan arah reformasi politik. Tetapi, mahasiswa yang sudah menduduki parlemen bersumpah tidak akan pergi, kecuali bila Soeharto mau mundur. Malam itu, sekitar 3.000 mahasiswa tetap bertahan di area DPR/MPR. Mereka tidur di tenda-tenda atau di atas tikar plastik. Para penyokong aksi mahasiswa ini, yang umumnya kalangan menengah, memberikan dukungan berupa makanan dan air kemasan.
Malam itu, menurut orang-orang dekatnya, Habibie menelepon Soeharto. Habibie mengungkapkan kecemasannya bahwa karier politik Pak Harto akan berakhir prematur pada esok hari yang sudah menjelang. Tetapi, Soeharto berjanji akan melaksanakan pemilu daripada menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden seperti Habibie.
Habibie, kata koleganya, sangat terluka. Dia yakin Soeharto tidak akan lama bertahan. Itulah satu-satunya pilihan saat itu. Sebab, cara-cara lain tampaknya sudah tidak rasional.
20–21 MEI 1998: Beberapa jam menjelang fajar, Jakarta tampak sebagai kota di bawah pendudukan. Ratusan tentara bersenjata senapan laras dan tank-tank ringan serta personel artileri melakukan patroli di ibu kota. Jalan-jalan menuju Monumen Nasional (Monas), tempat yang sudah diplot sebagai venue aksi sejuta massa pada 20 Mei, sudah diblokade dengan kawat berduri dan artileri berat. Tidak ada jalan lain, aksi masal itu pun dibatalkan.
Sore itu, Wiranto menyarankan kepada Soeharto bahwa satu-satunya cara konstitusional transfer kekuasaan adalah menyerahkan jabatan presiden itu kepada Wapres Habibie. Wiranto kemudian mengajukan tiga tuntutan kepada Habibie. Yakni, dia tetap sebagai panglima ABRI, lalu Habibie harus komitmen terhadap reformasi, serta jabatan Prabowo harus diganti.
Tapi, kata sahabat dekatnya, Habibie sudah sekian lama mengenal Prabowo. Mereka berdua tinggal cukup lama di luar negeri. Mereka saling berbagi kepentingan dalam memajukan kepentingan muslim. Pendeknya, satu sama lain saling membutuhkan. Prabowo-lah yang banyak membantu Habibie bersahabat dengan para perwira senior.
Katakanlah, lanjut sumber tadi, dalam pekan genting itu Prabowo dan Habibie bekerja sama membujuk Soeharto agar mundur. Sebagai imbalan, Habibie siap memberi Prabowo jabatan kepala staf Angkatan Darat (KSAD).
Pukul 09.00 WIB pada 21 Mei, lewat siaran televisi nasional, Soeharto mengumumkan lengser keprabon. Setelah tiga dasawarsa lebih memerintah Indonesia, dia meminta maaf kepada rakyat atas segala kesalahan dan kekurangan. Dan, Habibie tampak ragu-ragu sebelum diambil sumpahnya sebagai presiden ketiga sejak Indonesia merdeka.
Hampir tengah malam setelah pengunduran Soeharto, Prabowo muncul di Istana Kepresidenan dengan pasukan siap tempur. Berbekal pistol otomatis dan beberapa truk pasukan Kostrad yang sudah menanggalkan tanda resimennya, Prabowo menagih jabatan KSAD yang sudah dijanjikan Habibie.
Saat itulah pengawal Habibie memanggil Wiranto dan Feisal Tanjung, mantan Pangab, ke istana. Feisal mengingatkan Habibie bahwa Prabowo adalah sosok yang terlalu bahaya bila harus memimpin AD. Kepada orang, Habibie kemudian hanya bisa berkata bahwa malam itu dia memang takut akan keselamatan nyawanya.
http://www.geocities.com/CapitolHill...asiaweek3.html
Kerusuhan rasial sering terjadi di Indonesia. Tapi kerusuhan yang berbuntut pemerkosaan warga keturunan Cina secara besar-besaran agaknya baru pertamakali terjadi pada 13-14 Mei 1998 lalu. Sudah 44 kasus perkosaan terjadi, di antaranya menyebabkan lima wanita tewas dan tiga lainnya bunuh diri. Apakah kita akan terus membiarkan "bom waktu" soal keturunan Cina ini meledak dan mengenai muka kita?
Kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta ternyata bukan hanya soal penjarahan, pengrusakan, atau pembakaran saja. Belakangan mencuat kasus yang sungguh menyayat hati nurani: perkosaan. Korbannya hampir semua adalah warganegara keturunan Cina. Setelah ada 1.200 lebih korban tewas (menurut versi tim relawan) - sementara menurut versi kepolisian korban tewas 316 (lihat: "Pulangkan Anakku, Biar Hanya Secuil Dagingnya" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama6.htm dan "Istriku Wafat Bersama Anakku di Kandungannya" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama7.htm), kasus perkosaan ini makin membuat orang membuka mata: peristiwa di Jakarta itu merupakan tragedi terberat sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Bayangkan. Dalam dua hari itu telah terjadi 44 kasus perkosaan di Jakarta, menurut Ita F. Nadia dari tim relawan. Tak cuma itu. Dari 44 kasus itu, terdapat delapan korban perkosaan yang tewas. Lima orang karena dibunuh setelah diperkosa. Dan tiga lainnya bunuh diri karena tak kuasa menanggung malu.
Pemerintah sendiri belum banyak berkomentar soal perkosaan ini. Tim Komnas HAM juga baru membentuk tim untuk menampung soal perkosaan itu (lihat: "Kami Punya Bukti, Pelakunya Jelas Kelompok Terorganisasi" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama4.htm).
Tapi beberapa lembaga swadaya, terutama divisi perempuan kelompok relawan yang diketuai Ita F. Nadia, telah bergerak mengumpulkan data. Mereka juga membuka layanan "hotline" untuk korban yang ingin mengadukan nasibnya, dengan nomor telepon 021-7902109 atau 021-7902112. Kini setiap hari dilaporkan ada 25 orang perempuan yang melaporkan nasibnya.
Kejadian yang mereka alami bermacam ragam, dari mulai "disentuh tempat terlarangnya", ditelanjangi sampai diperkosa. Ita F. Nadia sempat menuturkan beberapa kasus dalam wawancara dengan Radio Belanda, 8 Juni lalu. Misalnya, ketika para pegawai pulang naik bis di dalam bis, penumpang dipilih-pilih. Para penumpang Cina disuruh turun, disuruh membuka baju, dan kemudian disuruh jalan berbaris. Mereka digiring ke padang ilalang di pinggir jalan. Yang berparas cantik diperkosa. Sedangkan yang berparas tidak begitu cantik disuruh berjalan telanjang. Modus berikutnya, perempuan-perempuan Cina secara ramai-ramai ditelanjangi di jalan raya, kemudian tubuhnya digerayangi. Ada yang sobek payudaranya dan seluruh badannya memar.
Ada lagi kisah pegawai bank. Sebanyak sepuluh orang memasuki bank dan menutup bank tersebut. Para pegawai Cina disuruh menari-nari dengan telanjang. Kemudian ada tiga anak gadis dari keluarga Cina miskin yang diperkosa. Mereka berumur 10 sampai 18 tahun, diperkosa oleh tujuh orang di sebuah tempat di Jakarta Utara.
Yang berikutnya adalah sebuah keluarga yang kebetulan kakak perempuan para korban mengaku kepada Ita Nadia bahwa dua adik perempuannya diperkosa di lantai tiga rumah mereka oleh tujuh orang pula. Setelah diperkosa, dua adik perempuan itu didorong ke lantai dua dan satu di mana api telah berkobar, sehingga dua adik tersebut meninggal. Itu beberapa kasus. Kasus-kasus lain, mereka biasanya diperkosa, kemudian dicekik. Tetapi ada juga yang ketika diperkosa, korban kemudian bunuh diri (lihat: "Para Pemerkosa Itu Dikomando" http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama3.htm).
Ada lagi kisah Andina, sebut saja begitu. Gadis berusia 26 tahun ini, pada hari naas itu (Rabu 13/5) pulang dari kantornya. Sebuah bank swasta di kawasan Tomang. Ia dibonceng pacarnya, pegawai perusahaan komputer, menuju rumahnya di bilangan Jelambar, Jakarta Barat.
Merasa keadaan sudah mereda, mereka nekad pulang menjelang pukul 21.00 WIB. Keduanya tak pernah bermimpi, dalam perjalanan itu, di suatu tempat di Jakarta Barat mereka tiba-tiba dikepung massa yang muncul begitu saja entah dari mana.
Di keremangan malam itu, kata cerita di sebuah surat elektronik, Andina sudah tak mampu lagi berpikir diapakan saja dirinya. Yang teringat hanyalah, ia ditarik-tarik massa agar turun dari sepeda motor. "Tuhan, tolong Tuhan...." hanya kata-kata itu yang dia teriakkan di tengah-tengah himpitan kepanikan dan ketakutan luar biasa.
Blazernya sudah terlepas, sementara seluruh harta miliknya dilolosi. Uang, handphone, kartu ATM, SIM, STNK, helm, bahkan obat dokter untuk orangtuanya yang baru ditebus di apotek, habis dijarah.
Andina tidak ingat lagi, diapakan saja dirinya waktu itu. Hanya doa yang terus menguatkannya. Sekali ia jatuh terjengkang, tetapi dengan kekuatan yang tersisa ia bangun dan kembali memegang baju pacarnya erat-erat. Sang pacar, yang orangtuanya berencana melamar tanggal 17 Mei - empat hari setelah kejadian ini menimpa - tak berdaya dipukuli massa. Yang terdengar hanyalah rintihannya, "Ampun, Pak.. ampun. Saya orang biasa..."
Sementara teriakan massa makin menyeramkan. Tetapi dalam keputusasaan, menurut penuturan Andina di sebuah situs di internet, tiba-tiba ada orang tua muncul. Ialah yang memerintahkan agar para penjarah membebaskan dua anak manusia ini.
Andina dan pacarnya bisa pergi meninggalkan tempat itu, sebelum kemudian ditolong polisi jaga di dekat situ yang juga tak luput dari lemparan batu massa.
Oleh polisi mereka diantar ke rumah penduduk. Seorang penduduk kemudian memboncengkan keduanya sampai rumah. Berhari-hari kemudian, Andina masih saja dicekam peristiwa itu.
Lama ia tak masuk kantor. Sekujur tubuhnya penuh bilur-bilur biru, bahkan juga di pangkal paha. Bekas-bekas kekerasan ini, baru hilang seminggu kemudian.
Kisah lebih memilukan menimpa Edwin yang akhirnya harus menyaksikan massa memperkosa anak gadisnya (lihat: Anak Diperkosa, Ayahnya pun Sakit Jiwa http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama8.htm).
Ada juga seorang korban yang lolos dari usaha perkosaan dan bercerita. Ketika ia naik bis di daerah Jakarta Barat, bisnya dihentikan massa, dan semua penumpang diminta turun. Kebetulan ia berada di belakang seorang ibu yang berkulit putih. Saat itulah ada yang mulai berteriak, "Serbu ibu itu, perkosa Cina itu." Walau ketakutan, si ibu itu lantas bilang,"Saya bukan Cina, tetapi Batak." Lalu ibu itu mengeluarkan KTP-nya. Melihat itu orang tadi berteriak,"Jika begitu, perkosa wanita yang di belakangnya." Gadis Cina itu merasa ketakutan sekali, tetapi untung si ibu itu membelanya dengan berkata,"Ia keponakan saya, jangan diperkosa." Akhirnya gadis Cina itu lolos dari perkosaan karena dibawa pergi si ibu tadi.
Data Tim Relawan Kemanusiaan Divisi Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar korban pelecehan dan perkosaan adalah perempuan etnis Cina berusia muda. Sebagian besar kasus terjadi di kawasan Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Tangerang. "Kami juga menemukan satu kasus perkosaan pada anak berusia 12 tahun," kata Ita. Ditemukan pula data bahwa sebagian besar perkosaan dilakukan berkelompok yang bisa mencapai lebih dari lima orang. Ditemukan pula korban yang dilukai setelah diperkosa.
Tapi mengapa hanya etnis Cina yang jadi sasaran? Psikolog dari UGM Yogyakarta, Dr. Djamaludin Ancok menjelaskan bahwa ada kesalahan dalam kebijakan pribumi-non pribumi. Dari dulu, orang Cina selalu menjadi obyek kemarahan. Itu akibat strategi Belanda di dalam memecah belah Indonesia dulu. Mereka menempatkan warga keturunan Cina lebih tinggi dari pribumi. Itu menimbulkan sikap antipati. Sehingga orang yang terkena hasil pendidikan Belanda ini membuat garis "kamu" dan "kita" atau "in group" atau "out group". Jadilah warga keturunan Cina menjadi target terus.
Dan pemerintah memupuk semangat itu dengan cara membuat perbedaan antara warga keturunan Cina dan non-Cina. Ada istilah pribumi-non pribumi. KTP mereka diberi tanda tertentu. Dan kemudian kalau ada urusan, mereka harus menunjukkan surat bukti kewarganegaraan. Itu adalah mekanisme melanjutkan model pembedaan Belanda itu. Jadi kaum pribumi tidak melihat warga keturunan Cina itu sebagai bagian dari sukses kehidupannya. Dengan orang Cina yang berdagang, orang bisa membeli barang dengan gampang. "Kita tidak melihat itu sama sekali. Kita hanya melihat kesenjangan. Mereka kaya, kita miskin. Padahal banyak juga warga keturunan Cina yang miskin," ujar Ancok. Celakanya lagi, kemarahan terjadi karena banyaknya Cina-Cina yang berkolusi dengan rezim Soeharto sejak dulu.
Ancok menduga masyarakat akan segera sadar bahwa warga keturunan Cina itu hanyalah target yang dialihkan. Orang semakin sadar setelah mereka membaca koran, misalnya. Sehingga, jika terjadi kerusuhan lagi, kata Ancok,"Targetnya sudah bukan warga keturunan Cina lagi, tetapi sudah semua orang." Mungkin maksudnya semua orang yang dianggap "berpunya" (lihat: "Kelak Targetnya Bukan Keturunan Cina, Tapi Semuanya"
http://www.tempointeraktif.com/ang/min/03/16/utama5.htm).
Maka, mendiamkan saja soal keturunan Cina ini "jadi sasaran amuk" agaknya hanyalah menunda meledaknya sebuah bom. Jika ia kelak meledak, semua akan merasakan akibatnya -- juga si pemicu meledaknya bom tadi, jika ia benar-benar ada.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Dalang Pemerkosa Amoi 98 Ternyata Dia
Alih-alih mengungkap Tragedi Mei 98, Presiden-Presiden RI justru berlomba memberi HADIAH kepada orang Cina agar sibuk main barongsai dan asyik merayakan Imlek lalu melupakan pemerkosaan amoi 98?
Kesimpulan
Sejak tahun 1998 Dalang menggiring opini publik bahwa kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan SOSIAL karena masyarakat yang tidak tahan lagi menanggung krisis ekonomi dan menghadapi kesenjangan sosial. Itu sebabnya tidak ada dalangnya karena dilakukan secara spontan oleh masyarakat yang frustasi.
Sejak tahun 1998 Dalang menggiring opini publik bahwa kerusuhan Mei 1998 adalah AMUK masa membalas dendam atas pembunuhan mahasiswa Trisakti, itu sebabnya tidak ada dalangnya karena dilakukan secara spontan oleh masyarakat yang marah.
Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), “Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan mengungkap serta memastikan peran Letjen Prabowo dan pihak-pihak lainya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan” sejak tahun 1998 Dalang pun menggiring opini publik bahwa TGPF memvonis Prabowo merancang kerusuhan Mei 1998 di Makostrad tanggal 14 Mei 1998 bersama Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lainnya. Itu sebabnya Prabowo mustahil dalangnya sebab tidak mungkin merancang kerusuhan tanggal 14 mei 98 tengah malam sedangkan kerusuhannya sudahh berlangsung sejak tanggal 14 Mei 98.
Sejak tahun 1998 Dalang menggiring opini publik bahwa kerusuhan Mei 98 disulut untuk menjatuhkan Soeharto. Itu sebabnya, sebagai kroni apalagi menantu, Prabowo mustahil mendalanginya.
Padahal kerusuhan Mei 98 dipicu dan dipacu untuk melestarikan kekuasaan Soeharto. Setelah difitnah mengobarkan kerusuhan anti Cina maka Panglima Tertinggi pun punya alasan untuk menindas gerakan mahasiswa dengan kekerasan. Setelah kerusuhan anti Cina, presiden pun punya alasan untuk menerapkan UU Darurat sehingga berkuasa seenak jidatnya.
Bukan Kudeta Mustahil Ganyang Cina
Kerusuhan Mei 98 mustahil menjatuhkan Soeharto. Kerusuhan Mei 98 justru memberi peluang kepada presiden untuk melestarikan kekuasaannya dengan membantai mahasiswa atau menyatakan negara dalam keadaan darurat.
Kerusuhan Mei 98 bukan Ganyang Cina. Perasaan anti Cina di Indonesia bersifat pribadi, bukan kelompok. Perasaan anti Cina hanya berkobar di hati beberapa orang non Cina kepada orang Cina tertentu. Di Indonesia tidak ada SATU orang apalagi kelompok non Cina yang membenci SEMUA orang Cina. Di Indonesia memang ada kelompok yang melakukan gerakan anti Ahmadiyah, anti Syiah, anti Kristen secara sistemik dan sistematis namun tidak ada kelompok yang anti Cina secara sistemik dan sistematis.
Kerusuhan Mei 98 bukan AMUK masa BALAS DENDAM atas pembunuhan mahasiswa Trisakti. Bila hendak balas dendam masyarakat pasti menyerang aparat yang berjaga-jaga di luar kampus.
Kerusuhan Mei 98 bukan kerusuhan SOSIAL. Bila tidak tahan lagi menanggung krisis ekonomi rakyat pasti berteriak minta tolong sebelum menjarah.
Hadiah Untuk Orang Cina
Selain Pasukan Khusus hanya teroris yang mampu menyulut kerusuhan Mei 98. Bila bukan ABRI pasti TERORIS. Bila bukan Pasukan Khusus maka kerusuhan Mei 98 adalah pelecehan dan penghinaan bagi ABRI dan NKRI. Satu-satunya cara untuk menegakkan HARGA diri adalah mengungkap DALANG kerusuhan Mei 1998.
Berdasarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung, dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Namun sayangnya, sampai hari ini Presiden-Presiden RI dan MA menganggap rekomendasi TGPF kentut belaka. Sementara itu DPR seolah main sinetron macan ompong. Mengaum namun tidak bertaring. Mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc ke Presiden namun tidak menindaklanjutinya.
Habibie dan SBY berlagak pilon? Masyarakat maklum sebab Habibie adalah Wakil Presiden dan SBY menjabat Kasdam Kodam Jaya saat kerusuhan berlangsung. Membongkar aib sendiri? Tak U U ya! Kenapa presiden Gus Dur yang mulia dan presiden Megawati yang terhormat juga BUNGKAM tentang Kerusuhan Mei 1998?
Tahun 1998, Habibie menerbitkan Inpres No. 26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi. Tahun 1999 Habibie menerbitkan Inpres No. 4 Tahun 1999 untuk menjalankan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 tentang penghapusan SBKRI (Surat Kewarganegaraan Republik Indonesia) bagi warga non pribumi.
Tahun 2000, Gus Dur menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000 Tentang Pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, sehingga orang Tionghoa pun bebas main barongsai.
Tahun 2001 Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 19 tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (bagi yang merayakannya) sehingga orang Tionghoa pun merayakan Imlek terang-terangan.
Tahun 2002 Megawati mengeluarkan Keppres No. 19 tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional, orang Tionghoa pun asyik merayakan Imlek.
Tahun 2006 SBY mensahkan UU No. 12 tahun 2006 Tentang Kewarganeraan RI dan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, untuk membebaskan orang Tionghoa dari diskriminasi sistem administrasi kependudukan.
Tahun 2014 SBY mengeluarkan Keppres No. 12 tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 6 tahun 1967, sehingga dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan istilah Tjina/China/Cina diganti dengan Tionghoa dan Republik Rakyat Cina (RRC) menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Tanya, “Kenapa?” Alih-alih mengungkap Tragedi Mei 98, presiden-presiden RI justru berlomba-lomba memberi HADIAH kepada orang Cina? Agar sibuk main barongsai dan asyik merayakan Imlek lalu melupakan pemerkosaan amoi 98?
HARTA yang musnah bisa diganti namun LUKA dan HINA yang ditanggung amoi-amoi yang diperkosa tahun 1998 diwariskan ke generasi berikutnya. Perasaan HINA yang ditanggung oleh lelaki-lelaki Tionghoa karena nggak BECUS melindungi amoi-amoinya tidak boleh dilupakan dari generasi ke generasi agar hal demikian tidak terulang lagi.
Wayang Pemerkosa Amoi 98
Gambar: lintas.me
Memperkosa perempuan bukan tindakan mudah. Menyeret seorang perempuan dari keramaian lalu memperkosanya jauh lebih sulit lagi. Makanya, kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal baik. Seseorang HARUS benar-benar dikuasai nafsu birahi dan merasa AMAN barulah NEKAD memperkosa.
Pemerkosaan berkelompok mustahil terjadi secara spontan karena HANYA perlu satu orang tidak setuju untuk mencegah yang lain melakukannya. Takut yang tidak setuju buka mulut. Itu sebabnya pemerkosaan berkelompok selalu dilakukan TERENCANA. Para pelaku sepakat dulu untuk melakukannya bersama-sama barulah menentukan tempatnya kemudian mencari mangsanya.
Pelaku pemerkosaan pasti meninggalkan korbannya begitu nafsu birahinya terpuaskan. Pemerkosa yang melakukan kekerasan seksual merusak organ sex yang diperkosanya, bila tidak sakit jiwa pasti tentara terlatih yang mengemban tugas melakukan hal demikian.
Pemerkosa amoi 98 bukan orang yang tiba-tiba khilaf. Juga bukan preman-preman yang sepakat melampiaskan birahinya bersama-sama apalagi orang-orang sakit jiwa. Siapakah mereka? Mereka adalah tentara terlatih yang mengemban tugas menyulut kerusuhan Anti Cina.
Kerusuhan Anti Cina Untuk Membantai Mahasiswa
Gerakan mahasiswa menuntut Soeharto lengser dilakukan dengan damai sesuai konstitusi. Itu sebabnya ABRI tidak punya alasan untuk menghentikannya dengan kekerasan. Bila memaksa, maka Indonesia akan dikecam dan dikucilkan sebab pada tahun 1998, mata seluruh dunia tertuju ke Indonesia. Itu sebabnya satu-satunya cara adalah memprovokasi mereka agar bertindak anarki. DALANG kerusuhan Mei 98 melakukannya dengan tiga cara yaitu:
1. Menyusupkan agen untuk memprovokasi mahasiswa melakukan pengrusakan dan penyerangan aparat.
2. Mengerahkan masa tandingan untuk bentrok dengan mahasiswa.
3. Memicu dan memacu kerusuhan Anti Cina lalu menjadikan mahasiswa kambing hitamnya.
Pembunuhan Mahasiswa Trisakti
Gambar: kompas
Karena jendral AH Nasution akan berorasi maka kurang lebih 6.000 mahasiswa dan dosen Trisakti pun hadir untuk mendengarkannya. Namun, sang jendera tidak kunjung datang. Kenapa AH Nasution tidak jadi ke Trisakti? Saya tidak tahu. Media tidak memberitakannya. Tim Gabungan Pencari Fakta pun tidak mengungkapnya.
Pembunuhan mahasiswa Trisakti terjadi antara jam 17. 05-18.30 WIB saat mahasiswa yang gagal ke MPR kembali ke kampusnya. Setelah provokator yang mengaku alumni Trisakti gagal memicu bentrokkan dan beberapa orang aparat yang mengejek dan menghina mahasiswa gagal memacu kemarahan mahasiswa maka sekonyong-konyong aparat menembak dan melontarkan dan gas air mata membabi-buta. Popor senjata dan pentungan menghajar mahasiswa tanpa pilih bulu lelaki atau perempuan. Yang sudah jatuh ditendang dan diinjak tanpa belas kasihan. Pasukan URC (Unit Reaksi Cepat) penunggang motor mengejar mahasiswa yang panik sampai ke depan pintu gerbang.
Puluhan mahasiswa terluka. Enam orang tertembak dan empat mahasiswa gugur ditembus peluru. Hendriawan Sie, 20 tahun ditembak lehernya. Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak dadanya. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak kepalanya. Hery Hartanto, 21 tahun ditembak punggungnya. Terbukti kemudian, peluru yang digunakan bukan milik ABRI. Bila demikian, siapa yang menembak mahasiswa dengan peluru tajam?
Kapten Agustri Heryanto, Komandan Kompi II Batalyon B Resimen I Korps Brimob yang diadili Mahkamah Militer sehubungan kasus penembakan mahasiswa Trisakti bersaksi, “Tembakannya keras. Lebih keras dari tembakan peluru karet, arah tembakan dari Tol di Citraland.”
Lettu Anneke Wacano (Polwan) bersaksi kepada Komnas HAM tentang Land Rover hijau milik anggota TNI di jembatan layang di depan Kampus Trisakti. Dua anggota TNI seragam hitam membidik ke kampus Trisakti dengan senjata laras panjang berteleskop. Satu kali letusan senjata kemudian keduanya menghilang ke mall Citraland.
Tembakan jarak jauh artinya penembak tidak sedang terancam keselamatannya oleh mahasiswa. Tidak dilakukan dalam kondisi panik untuk menyelamatkan diri. Dilakukan dalam hiruk pikuk aparat mengamuk dan mahasiswa panik. Pelakunya jago tembak dan tidak membangkitkan kecurigaan aparat yang melihatnya. Gamblang sekali. Dilakukan secara sengaja untuk membunuh mahasiswa. Tujuan jangka pendek membuat mahasiswa marah. Tujuan jangka panjang tidak diketahui identitasnya dan menjadikan Polisi kambing hitam.
Uji balistik menunjukkan peluru ditembakan dari senapan laras panjang SS-1 dan Styer. Kedua jenis senjata itu digunakan oleh pasukan gegana.
Yang menembak mahasiswa namanya Wayang. Yang menyuruh nembak disebut Dalang. Bila Dalangnya Polisi dan tidak mau dilacak, mustahil menyuruh nembak dengan senjata yang Gegana (Brimob), bukan? Bila bukan Polisi, lalu siapa? Siapakah mereka?
Mohon maaf tanpa mengurangi rasa hormat, bau tidak sedapnya mengarah ke Kopassus. Kenapa demikian? Karena prajurit Kopassus dilatih memakai berbagai jenis senjata dan keahlian menembak adalah salah satu syarat utama untuk menjadi Kopassus. Tim Mawar Kopassus dibentuk Prabowo untuk menculik para aktivis. Anggota tim Mawar mengaku hanya komandan tim yang tahu sepak terjang mereka, Danjen Kopassus tidak tahu. Anggota Kopassus penyerang LP Cebongan Sleman 2013 juga mengaku, hanya komandan tim yang tahu sepak terjang mereka. Selain Kopassus pasukan jago tembak dan ahli menyamar mana lagikah yang bisa digerakkan seenak jidat komandan timnya untuk bertindak seenak jidatnya?
Kampus-Kampus Pada Tanggal 13 Mei 1998
Di Jakarta pada tanggal 13 Mei 1998 tidak ada mahasiswa yang beraksi di luar kampusnya masing-masing.
Mahasiswa UI dan Unika Atma Jaya sama-sama mengirim perwakilan ke Trisakti dan menggelar “Solidaritas Trisakti” di dalam kampus. Untuk menghindari keributan dengan masa di luar kampus yang memaksa demo ke MPR, pintu gerbang pun ditutup dan dijaga.
Sore harinya muncul satu peleton pasukan mengenakan baju terusan (semacam Wearpack) warna abu-abu dan helm PHH (Pasukan Anti Huru-Hara) tanpa tanda kesatuan di luar kampus Atma Jaya. Mereka menyandang perisai dan pentungan serta senapan laras panjang SS-1 V-1 tanpa magasin. Tanpa magasin artinya paling banyak hanya bisa menembakkan satu peluru. Mereka sedang mengumumkan dirinya tidak bermaksud menembak? Saya tidak tahu.
Kampus Trisakti Pada 13 Mei 1998
Kampus dipenuhi mahasiswa Trisakti, Untar dan Ukrida serta perwakilan barbagai kampus lain. Hanya yang menunjukkan kartu mahasiswa atau yang dikenal boleh masuk.
Sekitar jam 11.00, sekelompok masa berbaju koko dan berpeci, dilarang masuk karena tidak punya kartu mahasiswa dan tidak dikenal. Mereka memaksa masuk dengan bringas namun di halau tanpa tedeng aling-aling. Masa itu melakukan Shalat Ghaib (Shalat dari jauh untuk mayat) di jalan S Parman. Selesai shalat mereka pun berteriak-teriak mengajak mahasiswa ikut ke MPR. Karena diabaikan mereka pun memaki, “Mahasiswa Pengecut!” dan melempari mahasiswa dengan batu.
Sekitar jam 13.00, masa berseragam SMA dan SMP memenuhi Jl Kyai Tapa di luar kampus Trisakti. Seragam mereka tidak lengkap bahkan anak SMP pakai celana panjang. Umurnya terlalu tua untuk anak SMA apalagi SMP. Mereka mencegat lalu membajak truk tanah berwarna kuning yang lalu ditabrakkan ke pom bensin di sebelah terminal Grogol.
Ketika aparat bergerak menghalau, masa melawan dengan lemparan batu sambil berteriak, “Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!” Sebagian mahasiswa di dalam kampus ikut meneriaki polisi, “Hai anjing LU! Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!”
Dari atas jembatan layang, beberapa orang aparat membidik mahasiswa di dalam kampus dengan senjata laras panjang yang siap diletuskan. Melihat hal demikian, mahasiswa Trisakti dan Untar pun kalap lalu keluar kampus dan menantang aparat untuk menembak. Tantangannya diabaikan mahasiswa pun melempari aparat dengan batu. Aparat kabur. Mundur.
Sekitar jam 14.00, mahasiswa dikejutkan teriakan, “Polisi datang. Siap-siap!” Sebagian mahasiswa segera berlindung yang lainnya justru mencari batu untuk berperang. Bunyi senapan memekakan telinga dan gas air mata mengebul di mana-mana. Mahasiswa-mahasiswa kampus lain pun memutuskan untuk meninggalkan Trisakti. Dipimpin oleh mahasiswa Ukrida dan Untar mereka memanjat ke kampus Untar lalu keluar di Jl. Tawakal dan menghilang lewat jalan-jalan tikus.
Atma Jaya Tanggal 14 Mei 1998
Di dalam kampus, mahasiswa melakukan orasi mendukung reformasi. Adnan Buyung Nasution juga hadir dan diberi kesempatan berorasi.
Aneh bin ajaib! Satu peleton (sekitar 30 orang) pasukan dengan baju terusan (semacam Wearpack) berwarna abu-abu dan helm PHH tanpa tanda kesatuan, menyandang perisai dan pentungan serta senapan laras panjang SS-1 V-1 tanpa magasin yang muncul sore hari tanggal 13 Mei 1998, muncul kembali. Mungkin karena diberitahu seseorang atau karena melihat dandanan mereka yang tanpa kesatuan maka rektor Atma Jaya pun menghampiri mereka dan berbicara dengan komandannya. Ketika ditanya dari kesatuan mana, komandan peleton itu mengaku mereka bukan Brimob namun Kopassus. Dia juga menyatakan mereka siap mengawal mahasiswa ke gedung MPR.
Panser-panser Yonkav 7 Sersus melintas ke arah Bunderah HI meskipun semua mulut senapannya mengarah ke kampus Atma Jaya. Tidak lama setelah konvoi, muncul masa yang mengajak kemudian mengejek dan menghina “Mahasiswa pengecut!” bahkan melempari mahasiswa dengan batu untuk mengajak mereka ke MPR.
Provokasi itu baru berhenti ketika mahasiswa Atma Jaya keluar kampus dan menagih janji komandan Kopassus berdandan PHH untuk mengawal mahasiswa ke MPR. Masa itu pun membaur dengan dua puluhan mahasiswa yang bergerak ke MPR dikawal oleh peleton Kopassus, jumlah seluruh masa hampir 100 orang. Beberapa saat kemudian ada bunyi tembakan dari pasukan lain di sekitar kampus Atma Jaya namun tidak terjadi apa pun sampai mahasiswa yang pergi dengan PHH kembali ke kampus dan bergabung dengan sebagian besar mahasiswa lainnya yang asyik mengikuti mimbar bebas dihalaman kampus.
Ukrida Tanggal 14 Mei 1998
Mahasiswa pun menjalani waktu dengan ngobrol dan main futsal sambil mendengarkan radio. Sekitar jam 14.00, masa bebaju koko, berseragam SMA dan SMP mendatangi dari Mall Taman Anggrek sambil mengacung-acungkan golok dan pentung. Sambil berteriak, “Bakar! Bakar!” mereka berusaha mendobrak gerbang. Mahasiswa pun mempersenjatai diri dengan kayu dan batu untuk menghadapi penyerang.
Tiba-tiba terdengar suara berondongan senapan dari arah Tanjung Duren. Masa pun lari tunggang-langgang. Sebagian masa dengan wajah ketakutan memohon untuk menyelamatkan diri ke dalam kampus. Permintaannya ditolak mentah-mentah. Yang melepaskan tembakan adalah polisi-polisi polsek Tanjung Duren.
Pada Tanggal 13 Mei 98 Tidak Ada Kerusuhan
Gambar: viva.co.id
TGPF: Dari sudut urutan peristiwa, TGPF menemukan bahwa titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998.
TGPF salah! Pada tanggal 13 Mei 98, selain truck tanah yang dibajak sekitar jam 13.00 lalu ditabrakkan ke pom bensin oleh masa berseragam SMP dan SMA, tidak ada kerusuhan di seputar Trisakti. Sekitar jam 14.00 aparat menghujani kampus Trisakti dengan tembakan dan lontaran gas air mata, namun tidak ada korban.
Beberapa orang bersaksi, antara jam 18.00-19.00, melihat penjarahan di diskotik Top One di Jl. Daan Mogot padahal yang terjadi adalah satpam diskotik sebagian tanpa seragam mengeluarkan botol-botol kosong lalu membantingnya di halaman diskotik untuk membuat barikade beling guna menghalangi orang masuk.
Ada yang bersaksi melihat mall Tomang Plaza (Topaz) dijarah dan dibakar sejak sore dan apinya baru padam malam harinya, padahal, tidak ada kebakaran sama sekali. Yang terjadi sore itu adalah masa membakar sampah dan ban bekas di halaman Topaz.
Sekitar jam 20.00, masyarakat Jelambar berjaga-jaga karena mendengar kabar, di Jl. Angke (antara Jembatan Dua sampai Pesing) sudah terjadi penjarahan bahkan pembakaran, padahal, tidak ada penjarahan apalagi pembakaran.
Ada yang bersaksi, sejak sore terjadi penjarahan dan pembakaran di Jembatan Lima, padahal tidak ada sama sekali. Jl. Hayam Wuruk dan Gajah Mada kondisinya aman-aman saja sampai tanggal 14 Mei 1998 pagi.
Jam 19.00, di Keresek, Jakarta Barat, masa meneriakan yel-yel anti Cina ke dalam komplek perumahan. Tindakannya memancing orang-orang kampung menontonnya. Masa kampung berdiri di belakang provokator, itu sebabnya ketika penghuni komplek keluar, mereka menyangka semua orang yang berdiri di seberang lapangan adalah penyerang. Makanya, ketika diserang dengan batu oleh masa provokator penghuni komplek pun membalasnya. Karena penduduk kampung yang berdiri di belakang masa provokator merasa diserang penghuni komplek maka mereka pun menyerang balik. Terjadilah saling lempar batu dan kayu. Ketika penghuni komplek berhenti menyerang orang-orang kampung pun berhenti membalas. Tidak ada yang terluka karena jaraknya kedua masa terlalu jauh. Karena tidak ada tontonan lagi masa kampung dan penghuni komplek pun pulang.
Kerabatku sekalian, pada tanggal 13 Mei 1998, tidak ada kebakaran apalagi pembakaran di Jakarta. Silahkan melakukan konfirmasi ke Pos Pemadam Kebakaran terdekat dari lokasi yang diisyukan terjadi penjarahan dan pembakaran. Yang terjadi sore hingga malam itu adalah kemacetan total karena sebagian masyarakat panik termakan isyu kerusuhan anti Cina merebak di mana-mana. Yang terjadi hari itu adalah preman-preman berkeliaran di jalan-jalan menyebarkan isyu tentang kerusuhan anti Cina kepada para pengendara. Yang terjadi hari itu adalah preman-preman gagal melakukan kerusuhan dan gagal pula memancing masyarakat untuk melakukan kerusuhan.
Kerusuhan 13 Mei 1998 di Mata Prabowo
rmolsum.com
Tanggal 14 Oktober 1999, di Bangkok, 4 wartawan mewawancari Prabowo. Inilah yang dimuat di Majalah PANJI No. 28/III, 27 Oktober 1999:
Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 WIB, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup (Inspektur Upacara—Red.) tetap Pak Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.
Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 WIB kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusuma. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.
Inilah yang dimuat majalah Asiaweek Vo. 26/No. 8, 3 Maret 2000:
Kejadian tersebut bermula hari Selasa, 12 Mei, ketika Prabowo menerima panggilan telepon. Beberapa mahasiswa tertembak selama demonstrasi di Universitas Trisakti. Naluri pertama Prabowo adalah untuk menyalahkan pasukan keamanan yang tidak disiplin. “Kadang-kadang polisi dan tentara kita begitu tidak profesional. Anda dapat melihat beberapa kesatuan seperti itu. Ya, Tuhan, ini bodoh. Itu adalah reaksi pertama saya.”
Merasa situasi darurat segera terjadi, dia pergi ke markas besarnya di Medan Merdeka, yang hanya terletak di samping markas garnisun. Sebagai Panglima Kostrad, tugas Prabowo adalah menyediakan anak buah dan peralatan. “Saya memanggil pasukan, menyiagakan mereka,” katanya. “Pasukan ini selalu di bawah kendali operasional dari komandan garnisun (Pangdam Jaya). Itulah sistem kami. Saya pada dasarnya hanya berkapasitas sebagai pemberi saran. Saya tidak mempunyai wewenang.”
Dia kembali ke rumah setelah tengah malam, tetapi kembali ke markas Kostrad pagi-pagi esok harinya, 13 Mei. Ketika perusuh mulai merampok dan membakar gedung-gedung, Prabowo menghabiskan waktu seharian untuk memikirkan cara bagaimana menggerakkan dan menampung batalion-batalionnya. Kecemasan lain: esok harinya Wiranto telah dijadwalkan memimpin sebuah upacara angkatan darat pada pagi berikutnya di Malang, Jawa Timur, sekitar 650 km lebih dari ibukota yang sedang kacau. Sepanjang tanggal 13 Mei, Prabowo berkata bahwa dia mencoba membujuk Wiranto untuk membatalkan kehadirannya di Malang. “Saya menganjurkan bahwa kita membatalkan upacara tersebut di Malang,” katanya. “Jawabnya: tidak, upacara tersebut tetap berlangsung. Saya menelepon kembali. Itu terjadi bolak-balik. Delapan kali saya menelepon kantornya, delapan kali saya diberitahu bahwa upacara itu harus tetap dilaksanakan.”
Di halaman 85 bukunya yang berjudul, “Konflik dan Integrasi TNI-AD” yang diterbitkan oleh Institute for Policy Studies tahun 2004, Mayjen Kivlan Zen menyalahkan Wiranto yang kekeh jumekeh ke Malang untuk menjadi Inspektur upacara serah terima PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I Kostrad ke Divisi II Kostrad walaupun Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto telah menyarankan agar tidak usah berangkat karena saat itu Jakarta sudah genting sebab pembakaran dan kerusuhan terjadi di mana-mana dan upacara tersebut tidak penting karena Kivlan Zen telah menyiapkan perpindahan itu sejak Maret tahun 1998 waktu dia masih menjabat Panglima Divisi II Kostrad di Malang.
Dalang Kerusuhan Mei 1998 Adalah Wiranto?
Gambar: baranews.co
Banyak orang menuduh Dalang kerusuhan Mei 1998 adalah Pangab Wiranto. Buktinya pada tanggal 14 Mei 1998 dia kekeh-jumekeh mengajak Kasad, Pangkostrad Danjen Kopasus dan beberapa petinggi Mabes ABRI ke Malang, padahal kepada majalah Asiaweek, Prabowo bersaksi menelpon Wiranto, “Tanggal 13 Mei 1998 Saya menganjurkan bahwa kita membatalkan upacara tersebut di Malang karena situasi ibu kota genting. Jawabannya: tidak, upacara tersebut tetap berlangsung. Saya menelepon kembali. Itu terjadi bolak-balik. Delapan kali saya menelepon kantornya, delapan kali saya diberitahu bahwa upacara itu harus tetap dilaksanakan.” Namun kepada Majalah Panji Prabowo menyampaikan kesaksian berbeda, “sejak pukul 08.00 WIB, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana.”
Untuk apa Wiranto kekeh-jumekeh ke Malang? Agar tidak dituduh Dalang kerusuhan Mei 98 karena tidak ada di Jakarta waktu kerusuhan merebak? Agar perusuh bebas beraksi sebab tidak ada yang memimpin aparat melakukan perlawanan?
Wiranto bersaksi dan Prabowo membenarkannya bahwa menjadi Inspektur upacara di Malang bukan idenya namun permintaan Pangkostrad Prabowo. Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen bersaksi, acara tersebut sudah dia persiapkan bulan Maret 1998 ketika masih menjabat Panglima Divisi II Kostrad Malang. Itu sebabnya mustahil Wiranto menyusun skenario pergi ke Malang agar tidak disangka Dalang kerusuhan atau agar perusuh bebas beraksi.
Pada tahun 1998 yang bertanggung jawab atas pengamanan suatu daerah adalah Kapolda dengan Pangdam sebagai wakilnya. Pada bulan Mei 1998, Kapolda Metro Jaya dijabat oleh Mayjen Hamami Nata dan Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menjadi Pangdam Jaya. Keduanya tidak ikut ke Malang. Kasad, Pangkostrad, Danjen Kopasus dan petinggi Mabes ABRI yang diajak Wiranto ke Malang tidak bertanggungjawab atas pengamanan Jakarta.
Di dalam buku “Bersaksi di Tengah Badai” Wiranto bersaksi, “Setiap telepon yang masuk selalu tercatat di sekretaris pribadi atau ajudan. Kenyataannya, permintaan pembatalan ini tak ada dalam catatan sekretaris pribadi atau ajudan saya.” Siapa yang melakukan pembohongan publik? Wiranto atau Prabowo?
Dalam kesaksiannya di depan TGPF, Kapolda Metro Jaya, Hamami Nata menyatakan kerusuhan ini (red: kerusuhan Mei 98) sangat terorganisir dan dilakukan orang-orang terlatih. Ia memperlihatkan foto-foto yang membuktikan bahwa pelakunya sangat terlatih. Ia juga mengatakan bahwa alat komunikasi polisi dijam (dibuat tidak berfungsi), dan pos-pos polisi dibakar.
Ketika ditanya TGPF, mengapa polisi tidak melakukan penembakan untuk menghentikan para perusuh, Hamami Nata menjawab, “Bagaimana kami mau menembak kalau di tengah-tengah masa itu ada orang-orang bersenjata dari angkatan?”
Lebih lanjut Hamami Nata menyatakan itulah alasan Polisi menarik diri. Untuk menghindari jatuhnya korban. Sejak sore tanggal 14 Mei 1998, Pangdam Jaya mengambil alih tugas pengamanan Jakarta dari Kapolda.
Kepada TGPF Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoeddin memberi keterangan, “Pada tanggal 12 Mei 1998, ketika Operasi Mantap Jaya untuk mengamankan Pemilu digelar, pasukan yang diturunkan di Jakarta berjumlah 60 Satuan Setingkat komando (SKK), atau sekitar 6.000 pasukan. Kemudian pada tanggal 13 Mei, jumlahnya ditingkatkan menjadi 112 SSK. Sedangkan tanggal 14 Mei ditambah lagi menjadi 142 SSK, sehingga jumlah keseluruhan menjadi 14.200 pasukan. Namun dengan begitu banyaknya upaya yang telah dilakukan tetap saja kekurangan personil dilapangan tetap muncul.”
Kesaksian Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya membuktikan bahwa kepergian Pangab Wiranto ke Malang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kerusuhan yang terjadi di jakarta.
Berbeda dengan laporan TGPF dan kesaksian Prabowo serta Kivlan Zen, pada tanggal 13 Mei 1998, di Jakarta tidak terjadi kerusuhan sama sekali. Sampai keberangkatan Wiranto ke Malang jam 06.00 tanggal 14 Mei 1998 tidak ada situasi gawat apalagi perusuh mulai merampok dan membakar gedung-gedung di Jakarta. Jakarta aman-aman saja.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, tidak ada alasan bagi Wiranto untuk membatalkan kunjungannya ke malang. Menuduh Wiranto sebagai Dalang kerusuhan karena kepergiannya ke Malang adalah pepesan kosong alias omong kosong.
Prabowo Dalang Kerusuhan Mei 1998?
Gambar: tempo.co
Kepada Asiaweek, Prabowo bersaksi menelpon Wiranto 8 kali, namun kepada majalah Panji dia bersaksi berkomunikasi dengan Wiranto lewat Kolonel Nur Muis. Di samping itu, Wiranto bersaksi bahwa semua telpon masuk ke Pangab pasti dicatat ajudanya namun tidak ada catatan telpon dari Prabowo pada tanggal 13 Mei 1998.
Kenapa ucapan Prabowo plintat-plintut? Kenapa kesaksiannya mencla-mencle?
Pada tanggal 13 Mei 1998, Prabowo adalah Pangkostrad sementara Kivlan Zen adalah Kepala Staf Pangkostrad. Keduanya bersaksi bahwa pada tanggal 13 Mei 1998 Jakarta dalam kondisi genting karena kerusuhan perampokan dan pembakaran gedung sudah merebak di mana-mana. Padahal hari itu tidak ada kerusuhan sama sekali. Tanggal 13 mei 1998 Jakarta aman-aman saja.
Dari mana Prabowo dan Kivlan Zen mendapat informasi perusuh mulai merampok dan membakar gedung di mana-mana padahal tidak ada kerusuhan? Dari hongkong? Mungkinkah keduanya tidak sehat rohani dan akal budi itu sebabnya berhalusinasi Jakarta genting karena perusuh sudah mulai merampok dan membakar gedung-gedung di mana-mana? Saya tidak tahu.
Menjawab pertanyaan majalah Panji, “Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?” Prabowo bersaksi, “Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur. Setelah terjadi peristiwa Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing. Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998—Red.). Aplagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.”
Kepada majalah Asiaweek Prabowo bersaksi, “Sabtu sore, tanggal 16 Mei (red: setelah Pak Harto kembali dari Kairo), seorang teman memperlihatkan selembar salinan yang tampaknya seperti suatu pernyataan pers dari Mabes ABRI yang mendukung sikap NU (Red: agar Soeharto lengser). Prabowo langsung pergi menghadap Presiden. “Pak, ini berarti militer meminta Bapak mundur!” katanya memberitahu Soeharto.”
Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, kenapa Prabowo mengaku kepada Panji dia memberi saran kepada Pak Harto untuk mundur padahal yang dia lakukan adalah mengadu? Kenapa ucapannya plintat-plintut? Kenapa kesaksian Prabowo mencla-mencle? Saya tidak tahu!
Asiaweek menulis: Pada tanggal 18 Mei, Prabowo bertemu Amien Rais. Tokoh oposisi ini, seingat Prabowo, mengatakan: “Saya rasa situasinya sekarang tidak dapat dipertahankan lagi. Saya rasa Anda harus meyakinkan Pak Harto untuk mundur.” Tetapi posisi Prabowo jelas-jelas tidak memungkinkan. … Prabowo kemudian menemui putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, alias Tutut. Menurut Prabowo, Tutut bertanya apa langkah mereka berikutnya. “Saran saya,” kata Prabowo, “Ganti Wiranto atau terapkan UU darurat. Soeharto tidak ingin melakukan keduanya. Maka saya berkata: ‘Apakah ada cara lain?’.” Tutut lalu bertanya apa yang akan terjadi bila ayahnya mundur. Prabowo menjawab, berdasarkan undang-undang, Habibie yang akan menggantikan.
Sekali lagi mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, kenapa Prabowo mengaku memberi saran kepada Pak Harto untuk mundur padahal usulannya kepada mbak Tutut adalah, “Ganti Wiranto atau terapkan UU darurat!”? Kenapa plintat-plintut? Kenapa Prabowo mencla-mencle? Saya tidak tahu!
Kenapa Prabowo mengaku kepada Panji dirinya mengusulkan Soeharto untuk mundur padahal kepada Amin Rais dia mengaku posisinya tidak memungkinkan untuk menyampaikan pesan Amin Rais agar Soeharto mundur? Prabowo hanya menjawab pertanyaan Tutut, apa yang terjadi bila ayahnya mundur, kenapa mengaku mengusulkan Soeharto mundur? Kenapa plintat-plintut? Kenapa mencla-mencle? Saya tidak tahu!
Prabowo bersaksi, tanggal 20 Mei 1998, di rumah presiden Soeharto, Wiranto ada di sana, ketika menyangka dirinya akan mendapat pujian, Mamiek Soeharto justru menudingkan telunjuknya sejauh satu inci dari hidung Prabowo dan berteriak, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!”
Kenapa Mamiek menuding Prabowo pengkhianat? Apa alasan Mamiek menuding Prabowo pengkhianat? Saya tidak tahu! Sampai hari ini kita tidak tahu! Kalau saja Mamiek atau keluarga Soeharto lainnya mau bicara?
Akhir Kata
Gambar: beritafoto.net
Kenapa bilang “perusuh mulai merampok dan membakar gedung di mana-mana” padahal Jakarta aman-aman saja? Karena sudah memberi perintah untuk memprovokasi mahasiswa dan masyarakat melakukan kerusuhan makanya yakin perintahnya sudah dilaksanakan? Karena mendapat laporan ABS (Asal Bapak Senang) makanya menyangka perintahnya sudah dilaksanakan dengan baik? Saya tidak tahu!
Kambing hitamnya tidak mau keluar kandang pada tanggal 13 Mei 1998? Kambing hitamnya kekeh jumekeh tidak mau keluar kandang pada tanggal 14 Mei 1998? Bukankah tujuannya menjadikan mahasiswa kambing hitam? Kenapa tetap melakukan kerusuhan padahal kambing hitamnya tidak keluar kandang? Karena Dalangny ke Malang dengan banyak SAKSI makanya tidak bisa mengendalikan operasi? Saya tidak tahu!
Karena hanya Dalang yang tahu skenarionya sementara wayangnya hanya melaksanakan perintah? Itu sebabnya yang diperintah memprovokasi mahasiswa pun memprovokasi mahasiswa? Yang diperintah mengumpulkan masa pun mengumpulkan masa? Yang diperintah anti Cina pun memaki-maki orang Cina? Yang diperintah menjarah pun menjarah? Yang diperintah membakar pun membakar? Yang diperintah membakar rumah om Liem pun membakar rumah om Liem? Yang diperintah menyiksa pun menyiksa? Yang diperintah membunuh pun membunuh? Yang diperintah memperkosa amoi pun memperkosa amoi? Yang diperintah melakukan kekerasan seksual kepada amoi pun melakukan kekerasan seksual kepada amoi?
Tahun 1998, Sjafrie Sjamsoeddin adalah Pangdam Jaya. Kapolda Metro Jaya dijabat oleh Hamami Nata. Prabowo adalah Pangkostrad. Kapolrinya Dibyo Widodo. Subagyo HS menjabat Kasad dan Menhan/Pangab dijabat oleh Wiranto. ABRI bukan warung kopi, itu sebabnya untuk segala sesuatu ada Prosedur Tetap-nya (Protap). Di samping itu, biarkan para pembual terus membual sampai menyangkal bualannya sendiri.
Kerabatku sekalian, mustahil wayang-wayang beraksi bila tidak ada Dalangnya. Meskipun wayang-wayang digerakkan dan bergerak untuk memenuhi kehendak Dalangnya, namun siapakah yang menanggap?
https://bengcumenggugat.wordpress.com/2014/05/20/dalang-pemerkosa-amoi-98-ternyata-dia/
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa
Di bulan Mei ini adalah hari-hari bersejarah yang kelam bagi etnis TIONGHOA di Indonesia akibat kasus KERUSUHAN 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Seperti yang kita ketahui bersama, etnis Tionghoa menjadi korban utama kekerasan yang terjadi pada peristiwa itu, dimana ketika rumah, toko, perusahaan dan aset milik kaum Tionghoa dibakar dan isinya dijarah; termasuk pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap ratusan wanita etnis Tionghoa kala itu. Seperti dikutip dari situs Wikipedia dan berbagai media blog/website referensi lain, disimpulkan bahwa Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 terjadi awalnya karena :
1. Penembakan terhadap para aktivis mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 yang mengakibatkan 4 mahasiswa tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka akibat melakukan aksi demo Krisis Moneter di Indonesia.
2. Krisis Finansial Asia sehingga menimbulkan kritik kepada pemerintahan waktu itu (Orde Baru).
2. Krisis Finansial Asia sehingga menimbulkan kritik kepada pemerintahan waktu itu (Orde Baru).
Namun ternyata yang paling dirugikan dari rentetan peristiwa ini sebenarnya adalah etnis Tionghoa yang sejatinya tidak tahu menahu, bahkan tidak mau ambil pusing soal aksi demo para mahasiswa ini (yang bermaksud untuk menggoyang pemerintahan pada waktu itu). Etnis Tionghoa juga sebenarnya tidak mau pusing siapa yang mengkudeta siapa, atau siapa yang mengerahkan pasukan, dsb. Yang kita tahu kita hanya ingin hidup aman dan tentram di Negeri ini; tetapi faktanya justru kita yang “dikorbankan” sebagai tumbal reformasi? Ibarat pribahasa “Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah”. Ya, etnis Tionghoa pada waktu itu benar-benar menjadi korban kerusuhan; dimana yang seharusnya “berperang” adalah rakyat sipil (diwakili mahasiswa, juga sebagian provokator*) dan negara (diwakili aparat keamanan), tapi akhirnya menjadi bias.
Jika ditarik lebih jauh lagi maka sedikit banyak akan menyinggung 2 tokoh elite politik yang saat ini masih aktif dalam dunia perpolitikan; dimana pada waktu itu masing-masing memegang posisi tertinggi dalam jajaran militer (memegang tongkat komando tentara). Anehnya sebagai aparat keamanan (apalagi tentara yang harusnya lebih keras), mereka seperti terlihat melongo dan pasrah saja melihat rakyatnya di zolimi seperti itu, serta hanya sibuk mengawal gedung DPR/MPR. Sampai saat ini, beberapa pertanyaan seputar tragedi kerusuhan Mei 1998 masih menjadi misteri, diantaranya adalah :
1. Kemana aparat keamanan militer pada waktu kerusuhan itu (menurut sumber, kerusuhan yang terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara sempat menghilang di sejumlah daerah) ?
2. Mengapa sampai terjadi pembiaran (penjarahan dan pembakaran rumah,toko dan perusahaan milik etnis Tionghoa, serta yang paling parah adalah pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap wanita etnis Tionghoa (disertai pengrusakan alat kelamin dan bagian tubuh lainnya, dimutilasi, bahkan dibakar hidup-hidup), yang mengakibatkan gangguan psikis (gangguan kejiwaan) yang sangat luar biasa bagi para korban hingga saat ini; bahkan banyak yang berujung pada aksi bunuh diri atas rasa keputus asaan?
3. Siapa yang menggerakkan massa (melakukan provokasi) yang menyebabkan kerusuhan SERENTAK di beberapa kota besar Indonesia (diantaranya Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dsb) ?
2. Mengapa sampai terjadi pembiaran (penjarahan dan pembakaran rumah,toko dan perusahaan milik etnis Tionghoa, serta yang paling parah adalah pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap wanita etnis Tionghoa (disertai pengrusakan alat kelamin dan bagian tubuh lainnya, dimutilasi, bahkan dibakar hidup-hidup), yang mengakibatkan gangguan psikis (gangguan kejiwaan) yang sangat luar biasa bagi para korban hingga saat ini; bahkan banyak yang berujung pada aksi bunuh diri atas rasa keputus asaan?
3. Siapa yang menggerakkan massa (melakukan provokasi) yang menyebabkan kerusuhan SERENTAK di beberapa kota besar Indonesia (diantaranya Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dsb) ?
Tampak seorang pendemo kerusuhan Mei 1998
Akibat kasus ini, banyak Negara yang pada waktu itu ikut mengecam keras Pemerintahan Indonesia yang dianggap gagal dalam melindungi warga negaranya, diantaranya negara Singapura, Taiwan, Amerika Serikat, Malaysia dan Thailand. Berikut beberapa aksi simpatik Negara-Negara tersebut :
1. Pemerintah Singapura >> Menyatakan Bandara Internasional Changi terbuka 1×24 jam dan sewaktu-waktu siap menerima kedatangan korban kerusuhan.
2. Pemerintah Taiwan >> Menyampaikan protes keras kepada pemerintah Indonesia, bersamaan dengan itu mengirim pesawat penumpang untuk mengangkut para korban kerusuhan.
3. Pemerintah Amerika >> Mengizinkan “permohonan perlindungan” para korban keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya ke Indonesia untuk mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.
4. Pemerintah Malaysia >> Meminta Komite HAM PBB menyelidiki peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan yang dialami oleh kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, serta menyerahkan hasil penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan Internasional untuk diadili.
2. Pemerintah Taiwan >> Menyampaikan protes keras kepada pemerintah Indonesia, bersamaan dengan itu mengirim pesawat penumpang untuk mengangkut para korban kerusuhan.
3. Pemerintah Amerika >> Mengizinkan “permohonan perlindungan” para korban keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya ke Indonesia untuk mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.
4. Pemerintah Malaysia >> Meminta Komite HAM PBB menyelidiki peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan yang dialami oleh kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, serta menyerahkan hasil penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan Internasional untuk diadili.
Tetapi sungguh ironis, Pemerintah komunis Republik Rakyat Tiongkok (China) malah mengambil sikap tidak melaporkan, tidak mengecam dan tidak mencampuri segala urusan dalam negeri Indonesia. Menurut pemerintah China pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi Warga Negara Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia segalanya adalah urusan dalam negeri Indonesia. Padahal jika dilihat dari sisi keterikatan emosional dan kedekatan suku bangsa, Negara China lah yang seharusnya menjadi pembela nomor satu.
Sejumlah masyarakat etnis Tionghoa pada waktu itu berada dalam situasi keadaan yang genting dan mencekam dikabarkan pernah mencoba mengadu ke Kedubes China, yang atas dasar perikemanusiaan memohon bantuan. Namun ditolak mentah-mentah oleh kedubes China dengan alasan yang melapor bukan warga negaranya. Sudah tentu kabar ini membuat Pemerintahan Orde Baru yang kala itu sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat, termasuk para pelaku kerusuhan yang menganggap aksi mereka sebagai suatu pembenaran.
hal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat. – See more at: http://newsupdate-portal.blogspot.com/2012/10/apa-yang-terjadi-pada-mei-1998-serta_8.html#sthash.xLrv2Dli.dpufhal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat. – See more at: http://newsupdate-portal.blogspot.com/2012/10/apa-yang-terjadi-pada-mei-1998-serta_8.html#sthash.xLrv2Dli.dpuf
Atas terjadinya peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia yang hanya atas desakan Negara-Negara sahabat akhirnya membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (disingkat TGPF) yang dibentuk sebagai tim penyelidik untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei 1998. Meski begitu, kelanjutan dari kasus ini, seperti siapa oknum-oknum yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998 ini masih belum diungkap. Pemerintah selama belasan tahun ini tampaknya tidak pernah serius dalam menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi dari TPGF (menurut informasi kasus ini sudah sampai tingkat Kejaksaan Agung tapi seperti dipeti es kan), dimana dalam laporannya, ternyata terdapat lebih dari 1800 orang tewas selama kekacauan selang tanggal 13-15 Mei 1998! Hal ini jelas bisa memunculkan spekulasi publik bahwa ini adalah bentuk Operasi Militer terselubung pemerintah kala itu*. Maka itu pemerintah enggan untuk memperpanjang masalah ini.
Sebagai catatan saya tidak mencantumkan sumber-sumber informasi yang berasal dari blog/web pribadi karena isinya merupakan pandangan subjektif (masih menjadi asumsi) dengan berbagai latar kepentingan. Tetapi pembaca dapat melakukan riset sendiri lewat Google dan berbagai mesin pencarian lain sebagai referensi/masukan tambahan, terutama dalam arsip foto-foto kekerasan pada etnis Tionghoa pada Mei 1998; dimana terdapat foto dan kesaksian mengenai bagaimana para pelaku kerusuhan menganiaya para korban wanita etnis Tionghoa dengan kejam.
Setelah 16 tahun berlalu, akhirnya Jakarta dipimpin oleh perwakilan etnis minoritas yang pada waktu itu “dizolimi” oleh etnis mayoritas pribumi, dijadikan tumbal politik demi reformasi, etnis Tionghoa! Mungkin ini adalah takdir? Tidak ada yang tahu. Semoga dengan ini bisa membuka langkah kedepannya bagi pihak pengusut (korban) untuk mencari keadilan di negeri ini.
Berikut lampiran Laporan RESMI Pemerintah Indonesia Lewat Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) Mengenai Peristiwa 13-15 Mei 1998 : Link hasil TEMUAN Tim Gabungan Pencari Fakta.
Catatan : Kode bintang* adalah pandangan/asumsi penulisSumber foto : sesawi.net, sadarsejarah.wordpress.com
http://www.tionghoa.info/kerusuhan-mei-1998-harga-yang-harus-dibayar-oleh-etnis-tionghoa/
Terakhir diubah oleh Rindu tanggal Mon May 23, 2016 5:56 pm, total 2 kali diubah
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Peristiwa Mei 1998 di Jakarta : Titik Terendah Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
Kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta merupakan malapetaka terbesar yang dialami bangsa Indonesia, khususnya bagi keturunan etnis Tionghoa. Apakah secara langsung kerusuhan tahun 1998 tersebut diarahkan pada orang-orang keturunan Tionghoa, memang tidak begitu jelas. Tapi bahwa mereka menjadi korban kerusuhan ini tidak bisa dipungkiri, karena penyerangan awal kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dimulai dengan perusakan toko-toko dan rumah-rumah milik orang-orang keturunan Tionghoa.
Lokasi dan waktu kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dimulai disekitar kampus Universitas Trisakti, kawasan Grogol tanggal 13 Mei 1998 sekitar pukul 09:00-10:00 WIB. Ribuan orang berkumpul di depan kampus Universitas Trisakti untuk menyampaikan dukacita mereka atas tewasnya 4 orang mahasiswa Trisakti yang terlibat bentrok dengan aparat keamanan pada 12 Mei 1998. Di dalam kampus, aksi berkabung mahasiswa berjalan dengan tertib dan mahasiswa dilarang keluar area kampus untuk menghindari insiden lanjutan dengan aparat.
“Empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas masing-masing adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998) dan Hendriawan Sie (1975-1998). Keempat mahasiswa itu tewas tertembak di dalam area kampus. Peluru-peluru yang disasarkan tepat mengenai bagian tubuh berbahaya seperti kepala, tenggorokan dan dada. Tragedi Trisakti ini memicu kerusuhan Mei 1998. Walau demikian, tragedi Trisakti bukan penyebab utama munculnya kerusuhan. Krisis ekonomi Asia 1997 serta kritik terhadap pemerintahan Orde Baru yang menjadi penyebab utama kerusuhan” – (dikutip dari : kawankumagz.com)
Tampak pada foto ketika para mahasiswa berhadapan dengan aparat di depan Universitas Trisakti pada peristiwa Mei 1998
Keadaan Hari Pertama, 13 Mei 1998
Sekitar pukul 12:00 WIB terjadi sebuah pembakaran truk sampah di perempatan jalan layang. Banyak saksi mata yang menyebutkan bahwa terbakarnya truk sampah ini agak ganjil, mengingat daerah seputar kampus Universitas Trisakti ditutup rapat oleh aparat keamanan yang menghentikan arus lalu lintas. Melihat kobaran api dari truk sampah, massa berubah brutal dengan mulai melempari barisan aparat yang memblokir jalan di depan serta mencabuti dan merusak rambu-rambu lalu lintas maupun pagar pembatas jalan. Rentetan tembakan peringatan dan gas air mata membuat massa berlari tunggang langgang.
Perusakan dan pembakaran terus menyebar, mulai dari kawasan di sekitar kampus Trisakti yaitu Jl. Daan Mogot, Jl. Kyai Tapa dan Jl. S.Parman. Menjelang sore hari aksi perusakan dan pembakaran meluas ke kawasan Bendungan Hilir, Kedoya, Jembatan Besi, Bandengan Selatan, Tubagus Angke, Semanan dan Kosambi. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat kerusuhan terus membesar dengan aksi perusakan dan pembakaran yang terlebih dahulu dilakukan oleh sejumlah orang yang kemudian diikuti oleh massa yang bergerak dari wilayah Grogol ke Jl. KH. Hasyim Asyari, Jl. Kyai Tapa, perempatan lampu merah Roxy, Jl. KH Moch. Mansyur, sampai ke Jl. Bendungan Hilir. Di wilayah Jakarta Selatan, sebuah pos polisi di kawasan Pasar Rumput dirusak massa.
Di Jl. Daan Mogot, massa mengamuk dengan membakar dan merusak gedung maupun mobil. Sekitar 15 mobil hangus terbakar dan 9 lainnya hancur total. Sebelumnya, isi dari mobil dijarah oleh massa. Massa juga membakar sebuah bus yang berada di area parker. Di lintasan kiri maupun kanan Jl. Daan Mogot, kaca-kaca gedung hancur berantakan, 3 Kios yang berada di pompa bensin hangus terbakar. Di area parker PT Putra Surya Multidana, 6 mobil dibakar dan 1 dirusak. Hotel Daan Jaya hangus terbakar dan kobaran apinya mulai menyentuh ke gedung di belakangnya, yaitu sebuah diskotik. Gedung Bank BCA, rumah bilyar, dan sejumlah gedung yang berada di jajarannya ikut jadi korban amukan massa.
Tampak pada foto sebagian massa yang menjarah peralatan elektronik seperti komputer pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta
Menjelang sore, di wilayah Jembatan Sempit Angke, Jembatan Dua, Jembatan Tiga, dan Jembatan Besi kerusuhan berupa perusakan dan penghancuran disertai dengan isu rasial Anti-Cina. Massa mulai menjarah rumah-rumah warga dan beberapa toko bahkan dibakar. Di Bojong, sebuah pasar swalayan mini dibakar massa. Di Jalan Lingkar Luar Barat, massa menghadang dan menjarah setiap kendaraan yang melintas. Massa juga menghancurkan Mal Puri Indah dan Green Garden. Menjelang malam, pembakaran gedung, mobil, dan penjarahan toko masih berlangsung, terutama di sekitar kawasan Angke. Kerumuman massa namak di sepanjang Jl, Daan Mogot kearah Cengkareng.
Pada saat yang bersamaan, sekitar pukul 15:30 WIB, kerusuhan melebar ke kawasan Bendungan Hilir, di sekitar Gedung Wisma GKBI, Gedung BRI I dan Gedung BRI II, serta pasar dan pusat pertokoan Bendungan Hilir. Di kawasan ini dilaporkan 2 ruko di pertokoan Benhil rusak dan 2 mobil terbakar. Masih di Jl. Daan Mogot, menjelang pukul 22:00 WIB kerusuhan sudah memasuki wilayah Kodya Tangerang, yaitu di wilayah Batuceper. Kerusuhan juga terjadi di Taman Semanan dan Kosambi, Jakarta Barat. Di kawasan Glodok, pembakaran dilaporkan terjadi sekitar pukul 19:00 WIB, dimulai dengan dibakarnya Pasar Perniagaan. Perusakan dan pembakaran pada tanggal 13 Mei 1998 ini melanda 3 kawasan; yakni Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara dengan skala dan lingkup yang berbeda, namun belum terdapat korban jiwa.
Tampak sebagian massa yang sedang menjarah di sebuah toko pada peristiwa Mei 1998
Keadaan Hari kedua, 14 Mei 1998
Pada tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan kembali terjadi sejak pagi hari dan meluas hampir di seluruh wilayah Jakarta dan meluas ke wilayah-wilayah sekitar Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok. Aksi perusakan, pembakaran, dan penjarahan pada hari kedua Kerusuhan 13-15 Mei 1998 ini dimulai di kawasan Glodok sekitar pukul 08:00 WIB dan terus meluas sampai mendekati kawasan Ancol. Di kawasan Jakarta Selatan, Pusat Perkulakan Goro yang terletak di Jl. Pasar Minggu pada pukul 11:00 WIB mulai dirusak, kemudian dijarah dan akhirnya dibakar.
Seluruh wilayah Jakarta pada tanggal 14 Mei 1998 dalam keadaan mencekam; massa bergerak di beberapa wilayah DKI Jakarta. Di kasawan Salemba dan Jl. Hayam Wuruk, massa melakukan penjarahan dan pembakaran. Di Jl. Pegangsaan, Jl. Proklamasi, dan Jl. Diponegoro, sejumlah mobil, Gedung BII, seluruh toko di kompleks Megaria, termasuk pasar swalayan Hero, dan pertokoan di apartemen Menteng Prada. Pos polisi dibawah jembatan layang Manggarai, beserta mobil dan motor yang diparkir hangus terbakar. Sedangkan di Kawasan Semanggi-Sudirman kerusuhan mengakibatkan seorang pemuda terluka akibat tembakan peluru karet di bahu kanannnya ketika aparat berusahan menghalau massa yang berkerumun di Jembatan Semanggi kearah Jl. Sudirman.
Tampak pada foto sebagian massa yang sudah ‘kesetanan’ membalikan sebuah mobil dan membakarnya pada 14 Mei 1998 di Jalan Hasyim Ashari, Jakarta
Di wilayah Jakarta Selatan, perusakan, penjarahan, dan pembakaran dimulai dari kawasan Mampang Prapatan sekitar pukul 12:30 WIB dan setengah jam kemudian massa mulai membakar Pasar Minggu Center yang menghanguskan sebuah ruang pamer Suzuki, dan kantor-kantor bank BCA, Mashill, dan BRI. Pada waktu bersamaan, terjadi perusakan di Jalan Sultan Iskandar Muda dekat Kawasan Blok M dan Jalan Arteri Pos Pengumben yang menuju ke Joglo. Konsentrasi massa di beberapa tempat seperti di Jl. Kyai Maja (Mayestik) juga mulai melakukan berbagai perusakan. Di Jakarta Timur perusakan dan penjarahan dilakukan di Yogya Plaza dan kawasan Artomoro. Dan menjelang pukul 14:00 WIB, Yogya Plaza di Klender dibakar massa.
Tampak seorang penjarah sedang melewati mobil-mobil yang terbakar pada Kerusuhan Mei 1998
Wilayah Jakarta Pusat bagian timur seperti Cempaka Putih Tengah tempat pertokoan Harapan Indah dan Pasar Cempaka Putih juga dibakar massa. Antara pukul 15:00 WIB sampai pukul 16:00 WIB, Grasera yang terletak di Jl. Pandjaitan dirusak serta dijarah massa, dan sekitar pukul 17:00 WIB akhirnya ikut dibakar. Hal yang sama juga terjadi di Kramat Jati, massa merusak sebuah toko elektronik dan pertokoan Ramayana. Menjelang sore, kawasan Cipete dan Kebayoran Baru mulai dirusak dan dibakar massa, seperti Kebayoran Plaza, Pasar Cipete dan Pasar Blok A. Perusakan, penjarahan, dan pembakaran terus melebar sampai ke Kalimalang dengan dibakarnya toko swalayan Tomang Tol/Hembo pada pukul 20:00 WIB.
Tampak salah satu toko milik etnis Tionghoa yang dijarah massa pada Mei 1998
Dikawasan Tangerang yang berbatasan dengan Jakarta sudah dilanda kerusuhan sejak 13 Mei 1998. Kerusuhan berlanjut, dengan dijarah dan dirusaknya puluhan pusat perbelanjaan pasar, toko, ATM, dan Bank dirusak dan dijarah isinya. 3 Pasar Swalayan, 6 unit mobil, 1 hotel, serta sejumlah bangunan lainnya dibakar massa. Di Bekasi, kerusuhan massa dimulai sekitar pukul 10:30 WIB dari Mal Metropolitan dekat ujung pintu tol Bekasi Barat. Mereka merusak bagian depan Mal terbesar di Bekasi itu dan menjarah isinya. Sasaran lainnya adalah Hero Kalimalang yang dirusak bagian belakangnya.
Di Bogor, kerusuhan massa bisa dicegah hingga tidak meledak. Semua kegiatan masyarakat praktis terhenti sejak sekitar pukul 09:00 WIB. Di Depok terjadi penjarahan, pembakaran terjadi menjelang sore, sekitar pukul 16:00 WIB. Massa berhasil menjarah semua barang dari toko-toko yang ada di sana, seperti Ramayana, Agung Shop, Ramanda, Plaza Depok, Mal Depok, serta ruko-ruko lainnya. Ramayana, Agung Shop dan Ramanda kemudian dibakar massa. Malam hari aksi penjarahan dan pembakaran terus berlangsung di kawasan Depok.
Tampak Bank BCA yang turut menjadi korban pada Mei 1998. Anda tahu kenapa?
Keadaan Hari Ketiga, 15 Mei 1998
Kerusuhan pada tangga 15 Mei 1998 tidak sehebat hari-hari sebelumnya. Massa penjarah, perusak, pemerkosa, dan pembakar yang mengamuk di seluruh kawasan kota, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Korban-korban tewas bermunculan, pihak Kepolisian memperkirakan ada sebanyak 200 orang yang tewas terbakar di Jakarta dalam Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Sedangkan di Tangerang, korban tewas yang hangus terbakar karena terjebak di dalam gedung-gedung yang dibakar diperkirakan mencapai sekitar 100 orang.
Keesokan harinya, kondisi Jakarta mulai pulih dari kerusuhan. Beberapa pedagang kaki 5 mulai menggelar dagangannya di Blok M. Di beberapa ruas jalan masih berserakan bangkai-bangkai kendaraan yang dibakar massa pada hari sebelumnya. Di depan pintu atau dinding toko-toko, perkantoran dan rumah penduduk tertempel karton manila atau kain yang bertuliskan ” ‘Hidup Revormasi’, ‘Reformasi Oke’, ‘Revormasi Yes’, ‘Kami Dukung Revormasi’, ‘Milik Pribumi’, ‘Pribumi Asli’, ‘Asli Indonesia‘.
Ingin selamat dari amukan massa pada Mei 1998? Tulis ini di depan toko anda!
Sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Perkotaan Lembaga Penelitian Universitas Trisakti yang mendata 704 bangunan dengan total luas 802.406 m² di 97 kelurahan DKI Jakarta yang dilanda kerusuhan, menunjukkan bahwa kerusakan paling banyak berturut turut terjadi pada toko, rumah toko (ruko), bank, perkantoran, pusat perbelanjaan, rumah tinggal, dan lainnya. Dalam penelitian ini, dianalisa tingkatan kerusakan bangunan serta melihat jumlah dan kualitas bangunan yang rusak, serta letak bangunan terhadap jalan.
Dari hasil analisa keruangan ini ditemukan beberapa fakta, antara lain :
♦ Dalam Kerusuhan 13-15 Mei 1998 bangunan-bangunan letaknya relatif dekat dengan jalan besar,♦ Terdapat indikator perusakan dan pemusnahan sudah direncanakan dan diarahkan sebelumnya,
♦ Serta terkonsentrasi pada titik-titik tertentu.
Regresi berganda dan analisa faktor terhadap data-data agregat menunjukkan bahwa kepadatan bangunan korban kerusuhan beregresi positif dan signifikan serta mempunyai hubungan yang kuat bahwa jenis bangunan adalah milik warga minoritas keturunan etnis Tionghoa di DKI Jakarta, seperti hampir 80% bank yang dirusak adalah Bank BCA, sementara bank yang diketahui milik orang pribumi di daerah yang sama tidak mengalami kerusakan. Analisa ini menunjukkan bahwa dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998 tidak melihat adanya unsur spontanitas, karena ada titik arah tertentu yang dituju dan terlihat seperti sudah diatur sebelumnya.
Tampak beberapa unit kendaraan tempur (Tank) milik TNI telah masuk melintasi jalan-jalan utama dalam kota
Temuan sejenis juga didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang menyebutkan adanya ‘tindakan awal’ melalui pengkondisian massa berkumpul di lokasi yang akan menjadi sasaran perusakan, penjarahan, dan pembakaran dengan cara penyebaran isu di suatu lokasi serta adanya sekelompok orang yang berperan sebagai pengajak atau sekaligus pemimpin (bukan dari daerah setempat dan tidak dikenal warga) dan pengarah massa (berasal dari sekitar lokasi sekadian) untuk melakukan pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran. Langkah-langkah yang dilakukan dibedakan antara lain berbaur dengan massa dan meneriakkan yel-yel Anti-Cina dan berada di depan, mempimpin, serta mengerahkan massa untuk menyerang dengan seruan agitasi.
Total kerugian fisik Kerusuhan 13-15 Mei 1998 mencapai sekitar Rp.2,5 triliun yang merusak 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kecamatan, 11 polsek, 383 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pompa bensin, 8 bus kota/metromini, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman, 18 pagar, 1.026 rumah penduduk dan gereja. Sedangkan di bidang pangan, kerugian yang diderita dalam kerusuhan Jakarta tercatat 500 ton beras senilai 600 juta habis dijarah, 1800 ton gula senilai 3,24 miliar, dan toko koperasi senilai 400 juta. Total kerugian mencapai 4,24 miliar.
Perusahaan Listrik Negara juga dilaporkan mengalami kerugian 1 Miliar, sedangkan aset milik Pertamina mengalami kerugian sebesar 1,5 Miliar. Di bidang perbankan, 64 bank mengalami kerusakan, terdiri dari 313 kantor cabang, 179 kantor cabang pembantu, 26 kantor kas, dan220 ATM tidak dapat beroperasi pasca kejadian.
Sedangkan di wilayah luar Jakarta, seperti di Tangerang, kerugian materi akibat Kerusuhan 13-15 Mei 1998 diperkirakan mencapai 225 Miliar yang mengakibatkan 214 toko/ruko hangus terbakar, 371 toko/ruko rusak, dan 18 mal/supermarket hangus dan rusak. Kerugian lainnya adalah gedung yang dirusak terdiri dari 10 bank, 1 pasar, 1 bengkel, 1 apotek yang semuanya dijarah terlebih dahulu sebelum dirusak.
Catatan :
1. Sumber : (1) Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir TGPF Peristiwa Mei 1998; (2) Harian Kompas tanggal 14-18 Mei 1998 diulas oleh Rene L Pattirajawane (Pusat Studi Cina)
2. Foto : (1) uniqpost.com; (2) id.wikipedia.org
2. Foto : (1) uniqpost.com; (2) id.wikipedia.org
Terakhir diubah oleh Rindu tanggal Mon May 23, 2016 6:21 pm, total 1 kali diubah
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Korban Mei 1998 : Mengapa Harus Perempuan Tionghoa?
Apabila menilik sejarah dari hubungan antara masyarakat yang mengaku asli Indonesia dan didefinisikan serta mendefinisikan diri sebagai pribumi dengan masyarakat pendatang yang berasal dari negeri Tiongkok, maka dapat dikatakan bahwa sentimen yang muncul diakibatkan oleh adanya pengklasifikasian struktur sosial oleh kolonial Belanda pada waktu itu. Bangsa Tiongkok yang datang ke Indonesia kebanyakan bertujuan untuk berdagang, mereka melakukan perdagangan dengan Indonesia yang terkenal dengan rempah-rempah dan tembakau yang menjadi komoditas mahal di dunia.
Setelah beberapa lama, banyak yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia dan menikah dengan masyarakat asli. Pada masa peralihan kekuasaan, Belanda menjadikan para pedagang Tiongkok ini sebagai kelas yang memungut pajak, mengambil insentif dari warga, dan perantara perdagangan. Imbalan yang mereka terima antara lain adalah hak mereka untuk tetap berdagang dan memperjualbelikan kuli pribumi ke negara Tiongkok. Hal ini disinyalir memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa bangsa Tiongkok lah yang merepresentasikan penindasan kepada mereka sehngga muncul suatu stigmatisasi dan sentimen negatif.
Pada masa setelah kemerdekaan dapat dikatakan hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa juga terus berlanjut dengan rasa saling curiga. Kedudukan warga Tionghoa menjadi kelompok yang disisihkan dan selalu dicurigai sebagai bagian dari rezim Soekarno yang pro Komunisme. Puncak dari segala sentimen ini dapat terlihat pada tragedi berdarah Mei 1998 tersebut. Hal ini kemungkinan besar terjadi akibat kecemburuan ekonomi dan faktor keyakinan dan rasial dalam kasus ini. Konsep scapegoating atau pengkambing-hitaman juga dapat diterapkan dalam kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998 ini.
Tampak foto penjarahan massa pada peristiwa Mei 1998 yang diduga akibat KECEMBURUAN EKONOMI
Dalam situasi dimana ada krisis nasional, masyarakat secara otomatis akan mencari kelompok yang dapat mereka salahkan dan menjadikannya sebagai tempat amukan atau menumpahkan kemarahan, hal ini dipahami sebagai pengkambinghitaman atau scapegoating. Berdasarkan pendapat mayoritas masyarakat, etnis Tionghoa yang secara ekonomi sukses dan menduduki posisi ekonomi strategis, dilain pihak mereka telah distigmatisasi secara negatif dan kebanyakan memiliki keyakinan berbeda, secara tidak beruntung dijadikan sebagai dislike minority. Hal inilah yang menjadikan mereka sebagai target utama dari kerusuhan tersebut, terlepas dari kerusuhan itu diorganisasikan oleh pihak tertentu atau tidak.
Perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa mengalami hal yang lebih mengerikan pada saat terjadinya kerusuhan ini. Mereka menjadi korban utama karena dianggap paling rentan dan paling mudah dijadikan sasaran amukan massa. Secara tidak langsung, berdasarkan konstruksi masyarakat Indonesia yang ada perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa dapat dikatakan termasuk kedalam golongan yang didefinisikan sebagai double minority (Tionghoa dan Perempuan).
Perempuan Tionghoa secara demografis tentu adalah minoritas karena pada waktu itu etnis Tionghoa jumlahnya tidak mencapai 2% dari seluruh penduduk di Indonesia, dan mereka yang merupakan perempuan adalah bagian dari kelompok minoritas perempuan Indonesia. Bahkan menurut pemahaman dari Ita F. Nadia (Aktifis tim relawan pada waktu kejadian Mei 1998), perempuan etnis Tionghoa dapat dikatakan sebagai golongan triple minority; karena mereka (1) perempuan, (2) berasal dari etnis Tionghoa yang minoritas, dan (3) beragama non-Muslim sehingga mereka paling tepat dijadikan korban dalam kerusuhan berbasis politik tersebut, karena mereka pasti akan sulit membela diri.
Lampiran : Data Korban Kejadian Mei 1998
Tampak aksi massa yang menjarah (foto 1 dan 2) serta tampak para korban (foto 3)
Berdasarkan data yang dihimpun dari Tim Gabungan Pencari Fakta 13-15 Mei 1998 yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia pimpinan presiden B.J. Habibie, dipastikan bahwa terdapat 85 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998. Dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual. *Data ini dikumpulkan dari yang melapor, sedangkan yang tidak melapor diperkirakan jumlahnya hingga 10x lipat (red); apalagi pada waktu itu pemerintah terkesan menutup-nutupi kejadian ini kepada dunia dan media massa.
Tim juga menemukan fakta bahwa sebagian besar dari korban adalah perempuan yang memiliki etnis Tionghoa, dan hampir semuanya adalah korban dari gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian dalam waktu yang bersamaan. Bahkan kebanyakan kasus juga dilakukan di depan orang lain. Tim juga mengakui bahwa terdapat keterbatasan dalam pencatatan dan verifikasi keseluruhan korban ini karena adanya pendekatan hukum positif yang mengisyaratkan harus ada laporan dan tanda-tanda kekerasan yang dialami.
Menurut sumber yang secara langsung diwawancarai oleh jurnalis dari media Tempo, Ita F. Nadia selaku Koordinator Divisi Pendampingan Korban Perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan pada saat itu; dapat memastikan bahwa keseluruhan dari para korban perempuan yang melaporkan pengalaman mengerikan ini berasal dari etnis Tionghoa. Ia mengatakan bahwa temuan yang ia dapatkan di lapangan dapat dipastikan lebih mengerikan, karena ia mengaku bahwa berdasarkan pengalaman para korban yang sungguh menderita akibat kekerasan seksual yang mereka alami banyak yang mengalami shock dan trauma berkepanjangan, bahkan banyak yang memilih untuk meninggalkan Indonesia. Lebih miris lagi, ia mengatakan bahwa beberapa memilih untuk langsung mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri setelah mendapatkan perlakuan yang begitu keji tersebut.
Menurut pemahaman dari Psikolog, Universitas Gajah mada, Prof. Dr. Djamaludin Ancok, ia mengatakan bahwa kejadian yang begitu mengerikan ini sebenarnya dapat terjadi karena ada sebuah sistem, yang meskipun samar dimata para awam tapi cukup dapat dibuktikan oleh para ahli sosial politik. Meskipun fenomena amuk massa memang bukan tidak mungkin dapat menimbulkan sikap brutal, yang biasanya tidak muncul ketika individu sendiri, tapi pihak yang dijadikan sasaran disini jelas terkait dengan suatu etnis dan ciri tertentu. Ia menilai bahwa ini adalah sebuah proses ketika memang masyarakat yang sedari dulu dikenalkan dengan kebijakan pribumi-non-pribumi oleh pemerintah yang merupakan warisan dari Belanda, sentimennya meletus dikarenakan berbagai hal yang mungkin terjadi seperti kecemburuan ekonomi atau dendam-dendam yang tidak logis karena ditanamkan sejak kecil.
Perempuan Tionghoa merupakan salah satu korban peristiwa Mei 1998
Berdasarkan temuan data lain yang dihimpun oleh tim investigasi Komnas HAM pada masa itu, kekerasan yang menimpa golongan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 ini sudah jelas diprovokasi dan awalnya diinisiasi oleh suatu golongan yang terorganisir. Berdasarkan pengakuan berbagai saksi, para pelaku tidak pernah sebelumnya terlihat di area tempat kejadian kerusuhan atau kekerasan. Beberapa dari mereka berpakaian sekolah, namun perawakannya sudah begitu tua dengan badan yang begitu tegap seperti layaknya preman-preman bayaran.
Komnas Perempuan yang terbentuk karena kejadian mengerikan ini juga membuat sebuah laporan sepuluh tahun dari kejadian ini. Mereka mengatakan bahwa korban-korban yang berasal dari etnis Tionghoa ini, sampai sekarang masih mengalami trauma. Banyak dari mereka yang sampai sekarang tidak ingin mengakui adanya kejadian tersebut, meninggalkan Indonesia, ataupun menghilang dari masyarakat sama sekali. Ancaman yang sempat diterima mereka apabila melapor, tidak adanya inisiatif dan pengabaian dari sistem peradilan pidana untuk menyelesaikan kasus ini, serta tekanan dari industri media pada saat dan setelah kejadian mengerikan itu, seakan-akan menjadi sebuah reviktimisasi bagi para korban ataupun keluarga korban yang memiliki pengalaman yang sangat menyakitkan terkait posisi mereka yang sangat rentan pada saat itu. Terlebih lagi, mereka seakan dijadikan sebagai kompensasi dari adanya reformasi yang selalu diagung-agungkan dan dijadikan cita-cita luhur para kalangan revolusioner saat itu.
Konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang terbentuk seperti itu memang dipengaruhi oleh sosialisasi dan internalisasi dari masyarakat yang tidak mampu menghargai posisi perempuan dan minoritas dan eksistensinya di masyarakat. Stigma-stigma yang terus muncul dalam masyarakat, membuat perempuan menjadi sulit untuk mendapatkan tempat di ruang publik. Terlebih lagi, dalam masyarakat orde baru saat itu, internalisasi yang ditanamkan adalah perempuan yang baik itu perempuan yang mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik, mendidik anak-anaknya, dan patuh terhadap suaminya. Tanpa menghiraukan peran aktif perempuan, stigmatisasi ini terus saja terjadi dan terinternalisasi sehingga menjadi konstruksi sosial dalam masyarakat.
Hal lain yang juga mengerikan dan dialami oleh para korban, perempuan etnis Tionghoa adalah ketidakhadiran sistem peradilan pidana untuk membela mereka. Dalam relasi dengan diskriminasi yang ada dalam masyarakat, praduga rasis juga hadir di dalam sistem peradilan pidana dan hal ini kontradiktif dengan kewajiban mereka. Dalam hal ini, mungkin memang kenyataannya adalah hingga sekarang, pihak-pihak yang bertanggungjawab dan menjadi aktor intelektual dari kerusuhan yang tentu saja paling merugikan etnis minoritas dan perempuan etnis Tionghoa ini sampai sekarang belum ditangkap. Meskipun fakta-fakta yang ada dari kejadian mengerikan yang menimpa perempuan etnis Tionghoa ini telah mendorong pemerintah untuk setidaknya merespon dengan pembentukan TPGF (Tim Gabungan Pencari Fakta) dan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan di tahun 1998 sebagai upaya maksimal yang bisa dilakukan.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Siapakah Provokator dan Rekayasa Peristiwa Mei 1998?
Kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta berlangsung mengikuti tahapan-tahapan; kerusuhan dimulai dengan adanya aktivitas provokasi dan perusakan, kemudian diikuti penjarahan, dan diikuti dengan pembakaran. Pola kerusuhan dibeberapa wilayah juga berbeda-beda, ada wilayah tidak dijarah tapi dirusak dan kemudian dibakar, atau ada juga wilayah lain yang dirusak dan dijarah tapi tidak dibakar.
Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang di data oleh Tim gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan ditemukan 9 tahap yang saling terkait satu sama lain :
Tampak massa yang sedang menjarah sebuah swalayan
1. Tahap pertama, pra perusakan, mencakup usaha untuk melakukan perusakan dengan yel-yel, perusakan kecil, maupun pembakaran ban.
2. Tahap kedua, perusakan dilakukan dengan menghancurkan kendaraan sepeda motor dan mobil, bangunan-bangunan seperti toko, kompleks pertokoan, apartemen, serta bangunan lainnya.
3. Tahap ketiga, penjarahan yang dilakukan atas barang-barang di dalam pertokoan, dan hasil jarahannya dibawa pulang, dijual di tengah jalan, atau dibakar di jalan.
4. Tahap keempat, pembakaran atas motor, mobil, serta bangunan dengan menggunakan bahan yang mudah terbakar seperti bom Molotov.
5. Tahap kelima, penganiayaan secara massa ditujukan pada pemilik toko, bangunan,atau kendaraan bermotor, terkena pada semua orang termasuk keturunan Tionghoa.
6. Tahap keenam, pembunuhan yang dilakukan setelah penganiayaan dengan dibakar di dalam gedung atau mobil, serta pembunuhan yang terjadi akibat penembakan oleh aparat keamanan.
7. Tahap ketujuh, terror yang disebarkan melalui selebaran, telepon, atau secara lisan.
8. Tahap kedelapan, berupa pemerasan sebelum perusakan atau pada saat akan mengarah ke lokasi bertujuan untuk mendapatkan imbalan untuk mengamankan dari tindak perusakan.
9. Tahap kesembilan, perkosaan yang disertai dengan penganiayaan dan pembunuhan.
2. Tahap kedua, perusakan dilakukan dengan menghancurkan kendaraan sepeda motor dan mobil, bangunan-bangunan seperti toko, kompleks pertokoan, apartemen, serta bangunan lainnya.
3. Tahap ketiga, penjarahan yang dilakukan atas barang-barang di dalam pertokoan, dan hasil jarahannya dibawa pulang, dijual di tengah jalan, atau dibakar di jalan.
4. Tahap keempat, pembakaran atas motor, mobil, serta bangunan dengan menggunakan bahan yang mudah terbakar seperti bom Molotov.
5. Tahap kelima, penganiayaan secara massa ditujukan pada pemilik toko, bangunan,atau kendaraan bermotor, terkena pada semua orang termasuk keturunan Tionghoa.
6. Tahap keenam, pembunuhan yang dilakukan setelah penganiayaan dengan dibakar di dalam gedung atau mobil, serta pembunuhan yang terjadi akibat penembakan oleh aparat keamanan.
7. Tahap ketujuh, terror yang disebarkan melalui selebaran, telepon, atau secara lisan.
8. Tahap kedelapan, berupa pemerasan sebelum perusakan atau pada saat akan mengarah ke lokasi bertujuan untuk mendapatkan imbalan untuk mengamankan dari tindak perusakan.
9. Tahap kesembilan, perkosaan yang disertai dengan penganiayaan dan pembunuhan.
Selama kerusuhan berlangsung, hampir tidak ada aparat keamanan yang terlihat melakukan tindakan pengamanan atau memberikan perlindungan yang memadai atau mencegah terjadinya perusakan, penjarahan, dan pembakaran. Temuan TGPF menyebutkan bahwa di beberapa tempat sama sekali tidak ada aparat keamanan yang berjaga. Polisi dan pasukan huru-hara Kodam Jaya tiba di tempat setelah kerusuhan berlangsung, malah ada tempat-tempat dimana penjarahan berlangsung, dan aparat keamanan terlihat hanya berdiam diri.
Para pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terbagi atas massa dan provokator. Massa adalah orang-orang yang berkumpul ditengah jalan, dilokasi keramaian, dan tempat-tempat strategis. Kebanyakan mereka terdiri dari penduduk setempat dengan status ekonomi sosial yang lebih rendah dibanding sasaran-sasaran kerusuhan, dengan jenjang usia dari anak-anak, remaja, pemuda, dan dewasa. Pada awalnya berperan pasif, namun setelah ada provokasi berperan aktif melakukan perusakan, penjarahan, dan pembakaran. Dalam kategori pelaku massa ini, mereka yang berperan aktif adalah anak-anak remaja serta pelajar menengah atas (SMA) yang melakukan perusakan tanpa dibantu peralatan.
Tampak segerombolan massa yang akan menggulingkan sebuah mobil Mitsubishi
Pelaku provokator umumnya terdiri dari 3-10 orang dan pada beberapa tempat kerusuhan merupakan kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Para pelaku jenis ini datang dan bercampur dengan kerumuman massa, atau datang dan membentuk kerumuman massa, atau tiba ditempat kerusuhan secara berkelompok. Umumnya pelaku jenis provokator ini bukan dan tidak dikenal penduduk setempat. Mereka tiba di wilayah kerusuhan menggunakan kendaraan, termasuk mobil pick-up, kopaja, metromini, dan motor.
Secara fisik pelaku jenis ini Nampak berotot dan gerakannya amat terlatih dalam melakukan pembakaran, seperti pembakaran motor dengan bensin dengan terlebih dahulu melepas selang bensin, serta terlatih dalam merusak dan menghancurkan barang atau gedung. Pada sebagian lokasi, pelaku provokator ini membawa kotak botol berisi batu, ada yang membawa cairan yang mudah terbakar yang dibawa dalam kantong plastic atau tas punggung.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat apa yang dikemukakan oleh korban kerusuhan dan saksi mata. Menurut mereka, pelaku provokator ini terdiri dari kelompok pemuda yang berpenampilan beraneka macam; ada kelompok pemuda berpakaian pelajar SMA atau pakaian mahasiswa, ada kelompok remaja yang berpakaian lusuh dan berwajah sangar, ada yang berbadan kekar, berambut cepak/pendek ala militer, dan memakai sepatu lars tentara, dan bertato.
Korban Manusia
Korban yang hangus terbakar pada peristiwa Mei 1998 (Foto : indonesia.tripcanvas.co)
Dalam laporan aktif TGPF memang tidak disebutkan berapa banyak korban orang keturunan Tionghoa yang tewas atau luka-luka dalam Kerusuhan 13-15 Mei 1998 tersebut. Bahkan dalam menentukan angka akhir berapa banyak jumlah korban, TGPF pun mengalami kesulitan dan menemukan variasi jumlah korban, baik meninggal dunia dan yang luka-luka. Data-data korban yang diajukan tim TGPF adalah sebagai berikut :
♦ Data Tim Relawan, 1.190 orang meninggal dunia akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata dan lainnya, 91 orang luka-luka.
♦ Data dari Polda menyebutkan 451 orang meninggal dunia, dan tidak tercatat korban luka-luka.
♦ Data dari Pemda DKI Jakarta yang menyebutkan 288 orang meninggal dunia, 101 luka-luka.
♦ Data dari Polda menyebutkan 451 orang meninggal dunia, dan tidak tercatat korban luka-luka.
♦ Data dari Pemda DKI Jakarta yang menyebutkan 288 orang meninggal dunia, 101 luka-luka.
Untuk kota-kota lain, seperti Solo, Palembang, Lampung, Surabaya dan Medan, data Kepolisian RI menyebutkan ada sebanyak 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar. Sedangkan data Tim Relawan untuk kota-kota ini tercaat sebanyak 33 orang meninggal dan 74 orang luka-luka. Semua data diatas tidak merinci seberapa banyak orang keturunan Tionghoa yang menjadi korban dari seluruh rangkaian kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Di depan Kongres AS, Romo Sandiawan menyebutkan bahwa Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang dipimpinnya mendata korban kerusuhan Mei 1998 di Jakarta sampai dengan tanggal 9 Juni 1998, mencatat 2.244 orang korban meninggal yang sebagian besar karena terbakar, 91 orang luka-luka, dan 31 orang hilang. Angka-angka hasil temuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, juga tidak menunjukkan berapa banyak orang keturunan Tionghoa yang menjadi korban pada kerusuhan ini.
Berikut variasi data-data korban yang diajukan TGPF, Tim Relawan, Pemda DKI Jakarta, Kodam Jaya, Dinas Kebakaran DKI Jakarta, dan Polda Metro Jaya :
1. Berdasarkan dokumentasi awal No.1 Pola kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya tanggal 9 Juni 1998, revisi atas dokumentasi awal tanggal 22 Mei 1998
2. Jumlah korban meninggal yang disampaikan Romo Sandiawan Sumardi SJ dalam testimoni di Kongres AS pertengahan 1998
2. Jumlah korban meninggal yang disampaikan Romo Sandiawan Sumardi SJ dalam testimoni di Kongres AS pertengahan 1998
Laporan Akhir TGPF menyebutkan bahwa korban-korban kerusuhan 13-15 Mei 1998 secara umum terdiri dari berbagai macam golongan etnis dan lapisan sosial. Selain itu, korban meninggal dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Tangerang sulit diidentifikasi, apakah kematian korban yang terbakar ini disebabkan oleh hal lain seperti penganiayaan, benturan keras, atau tembakan. Kesulitan bertambah karena sebagian besar kondisi mayat yang dikirim ke Kamar Jenasah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sudah rusak dan tidak utuh.
Berdasarkan Tabel diatas, menarik untuk disimak bahwa angka korban meninggal dalam Kerusuhan 13-15 1998 terdapat perbedaan yang mencolok antara data-data yang ditemukan Tim Relawan untuk Kemanusiaan dengan instansi pemerintah dan militer. Sepintas menunjukan bahwa ternyata instansi pemerintah dan militer tidak begitu peduli untuk mendata orang yang meninggal dalam kerusuhan ini. Sedangkan data korban meninggal yang dikumpulkan Tim Relawan ini mengalami peningkatan hampir lebih 85% dalam kurun waktu 9 Juni – 28 Juli 1998.
Sedangkan dibanding dengan data-data dari instansi pemerintah dan militer terdapat selisih jumlah korban meninggal yang sangat jauh dari temuan yang disampaikan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Baca juga referensi Artikel di Kaskus : http://bit.ly/1XciewrBeragamnya data korban Kerusuhan 13-15 Mei 1998 menyebabkan sulit untuk mencari pangkal awal pencetus kerusuhan, serta apakah kerusuhan ini memang ditujukan kepada orang-orang keturunan Tionghoa. Bahkan media massa sendiri juga tidak bisa memberikan data akurat tentang jumlah korban kerusuhan di wilayah Jakarta dan sekitarnya serta lebih memberikan perhatian pada dampak politik yang ditimbulkan akibat kerusuhan ini. Belum lagi persoalan perbedaan metodologi penelitian, serta fokus perhatian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan pendataan korban Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Inilah 5 Korban Pada Peristiwa Mei 1998
Tampak sebuah toko yang telah dihancurkan dan dijarah oleh massa
Tim Relawan untuk Kemanusiaan memberikan perhatian pada pola kerusuhan dan perusakan, serta mempermasalahkan adanya ciri-ciri yang sistematis dan kejanggalan modus operansi yang terjadi dalam peristiwa ini. Tim Relawan menemukan adanya peran komandan yang memberikan perintah dan mengatur massa dalam perusakan, penjarahan, dan pembakaran berantai di wilayah-wilayah yang berdekatan seperti Depok, Tanah Abang, dan Tangerang. Tim Relawan berkesimpulan bahwa dengan adanya peran komandan dalam kerusuhan memberikan isyarat bahwa tindakan perusakan, penjarahan, dan pembakaran bukanlah tindakan spontan dari massa dan warga setempat, tetapi merupakan langkah dan cara yang sistematis dan terorganisasi.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah berpendirian bahwa yang disebut sebagai korban dalam kerusuhan ini hanya terpusat pada korban akibat penyerangan seksual, termasuk perkosaan. Menurut TGPF, yang dimaksud sebagai korban dalam Kerusuhan 13-15 Mei 1998 tidak hanya pada korban perkosaan, tapi ada 5 jenis korban lainnnya yang terdiri dari :
1. Korban fisik, dengan batasan pengertian menderita kerugian bangunan seperti toko, swalayan, dan rumah yang dijarah, dirusak, dan dibakar 0leh massa. Kategori golongan korban ini adalah orang-orang keturunan Tionghoa, pribumi, dan Arab. Dalam kategori ini, etnis Tionghoa lah yang paling banyak mengalami kerugian.
2. Korban jiwa, yakni orang-orang yang meninggal pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998. Dalam kategori korban ini, ada opini yang muncul seakan-akan mereka menjadi korban karena kesalahannya sendiri. Pihak TGPF menekankan perlunya ada pelurusan opini semua pihak bahwa korban dalam kerusuhan Mei 1998 tidak bersifat tunggal, tetapi bervariasi dan terdapat korban fisik (luka-luka), korban perkosaan dan korban jiwa.
3. Korban harta, dengan mencakup pemahaman adanya orang-orang yang menderita akibat dirusak dan dijarahnya harta benda mereka dalam kerusuhan Mei 1998. Korban dalam kategori ini mencakup pengertian harta benda, yang berupa mobil, motor, rumah, toko,dan barang-barang perdagangan.
4. Korban penyerangan seksual, mencakup orang-orang yang menderita secara fisik dan psikis akibat pelecehan seksual dan perkosaan di depan suami, anak dan keluarganya.
5. Korban kehilangan pekerjaan¹, dalam pengertian orang-orang akibat kerusuhan Mei 1998 dalam jumlah yang tidak terhitung kehilangan pekerjaan karena gedung atau toko tempat kerjanya dirusak, dijarah, dan dibakar massa.
Walaupun terdapat kategorisasi korban oleh TGPF, tetap masih belum jelas mengenai seberapa besar korban jiwa yang diderita orang-orang keturunan Tionghoa. Tim bentukan pemerintah ini dalam laporan akhirnya mengajukan daftar rekomendasi yang mencakup 60 isu yang harus dihubungi untuk diverifikasi. Hasil verifikasi TGPF juga tidak menyebutkan jumlah korban etnis Tionghoa yang tewas dalam kerusuhan Mei 1998, tapi lebih terfokus pada korban perkosaan dan pelecehan seksual.
Media asing mungkin lebih jelas menggambarkan korban yang tewas dari etnis Tionghoa pada kerusuhan yang terjadi di Jakarta ini. Harian Houston Chronicle pada 16 Mei 1998 misalnya, melaporkan pada puncak terjadinya kerusuhan hari Kamis tanggal 14 Mei 1998, massa yang marah membakar dan menjarah ratusan toko, bank, restoran, rumah dan mobil milik etnis Tionghoa. Dilaporkan, lebih dari selusin etnis Tionghoa terbunuh karena terjebak dalam bangunan-bangunan yang terbakar.
Tampak Bank BCA yang terbakar, bisa saja terdapat korban di dalamnya
Harian lain menyebutkan setidaknya ada 11 orang etnis Tionghoa yang terbakar sampai mati, dan jumlah korban etnis Tionghoa ini bisa lebih banyak. Sebuah harian Inggris, The Daily Telegraph dalam laporannya pada awal kerusuhan menyebutkan ada sebanyak 10 orang yang meninggal dalam kerusuhan yang terus memuncak di Jakarta; dan 9 diantaranya adalah etnis Tionghoa yang tewas terbakar setelah massa perusuh dan penjarah membakar ruko mereka.
Catatan :
1. Data bersumber dari “15.000 pekerja nganggur akibat kerusuhan” – Bisnis Indonesia (20 Mei 1998); “100.000 kehilangan pekerjaan akibat kerusuhan” – Bisnis Indonesia (22 Mei 1998); “81.000 pekerja nganggur akibat kerusuhan” – Suara Pembaruan (20 Mei 1998); “ribuan karyawan toko menganggur” – Kompas (21 Mei 1998).
2. Foto-foto lain dari korban peristiwa Mei 1998 ini dapat Anda lihat sendiri di Google search engine.
2. Foto-foto lain dari korban peristiwa Mei 1998 ini dapat Anda lihat sendiri di Google search engine.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: Kerusuhan Mei 1998
sekilasInfo
Yohanes 5:28 Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya,
29 dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.
---
Qs 10:27 Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gelita. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Yohanes 5:28 Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya,
29 dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.
---
Qs 10:27 Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gelita. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Similar topics
» Picu Kerusuhan, Pria Muslim Myanmar Dibui 26 Tahun
» Teguran supaya Terluput dari Kerusuhan - Kotbah Pdt Iin Cipto
» Ulama Rusia Peringatkan, Larangan Terjemahan Alquran Bisa Picu Kerusuhan
» Swedia : Setelah beberapa hari MUSLIM membuat kerusuhan, melawan polisi dan membakar ratusan Mobil.....sekarang mereka minta dikasihani dan barang2 GRATIS
» Teguran supaya Terluput dari Kerusuhan - Kotbah Pdt Iin Cipto
» Ulama Rusia Peringatkan, Larangan Terjemahan Alquran Bisa Picu Kerusuhan
» Swedia : Setelah beberapa hari MUSLIM membuat kerusuhan, melawan polisi dan membakar ratusan Mobil.....sekarang mereka minta dikasihani dan barang2 GRATIS
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik