FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Empty PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN

Post by Cahaya Islam Wed Sep 04, 2013 1:03 pm

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN
Dituliskan oleh Agung Witjaksono dari berbagai sumber


https://www.facebook.com/agung.witjaksono?fref=ts


Al-Qur’an sebagai kitab wahyu Allah SWT terakhir yang diturunkan untuk manusia, merupakan sumber paling utama yang mendasari pandangan hidup Islam.

Kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya berisi nasehat dan petunjuk dalam bentuk hukum-hukum, perumpamaan, kisah-kisah, serta argumen-argumen bagi siapa yang memilih iman kepada Allah dan Hari Akhir.

Kesuksesan dan kebahagiaan orang-orang beriman di dunia dan di akhirat, sebagian besar amat tergantung pada sejauh mana pemahaman, penghayatan dan pengamalannya atas konsep-konsep Kitab Suci ini.

Namun, kedalaman pemahaman antara individu yang satu dengan lainnya terhadap makna-makna wahyu amat beragam, karena secara alami tingkat kecerdasan pikiran mereka berbeda.

Perbedaan ini juga terjadi diantara para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum, disamping memang al-Qur’an diwahyukan dalam tujuh dialek Arab yang berbeda walaupun pengungkapannya tetap jelas dan terang.

Selanjutnya, Allah Yang Maha Bijaksana berkehendak mewahyukan beberapa ayat al-Qur’an yang bersifat umum, untuk kemudian dijelaskan-Nya dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dan beberapa yang lain penjelasannya diserahkan kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.

Beliau mengerti dan memahami al-Qur’an dengan sempurna dan lengkap, karena Allah telah memilihnya sebagai perantara wahyu dan pasti Dia telah menjelaskan keseluruhan isi wahyu itu kepadanya, sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” (QS. Al-Qiyamah 17-19)

Karena itu, tugas Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam adalah menjelaskan makna al-Qur’an kepada umatnya melalui perkataan dan perbuatannya sehari-hari, seperti dinyatakan ayat,

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskannya kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. an-Nahl 64)

Konsekuensinya, para sahabat semasa hidup Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam selalu mengacu pada beliau dalam membuat tafsir (keterangan, pemahaman dan interpretasi) al-Qur’an. Sebagai contoh, ibn Mas’ud menyatakan bahwa ketika aya berikut turun,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am 82)

Beberapa sahabat sedih karena kata ‘dzulmun’ bisa berarti berbagai dosa (kezaliman), besar maupun kecil. Padahal tak seorangpun di antara mereka yang bebas dari perbuatan zalim. Ketika mereka minta penjelasan Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tentang maksud ayat tersebut, beliau menjawab, “(Maksud) ayat itu tidak seperti yang kalian pikirkan. Apakah kalian tidak ingat kisah Luqman yang memberi nasehat pada anaknya dalam al-Qur’an,

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya; “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan-Nya adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman 13)

“Jadi, dalam hal ini yang dimaksud kezaliman adalah syirik!” lanjut Nabi. (HR. Bukhary)

Bertumpu kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam sebagai dasar pemahaman dan interpretasi al-Qur’an adalah pemahaman religius yang tepat bagi semua generasi muslim hingga Hari Kiamat.

Setelah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam wafat, para sahabat mulai bertumpu pada kaum cerdik pandai di antara mereka. Para pakar tafsir al-Qur’an itu telah cukup banyak meluangkan waktu menggali ajaran Islam sewaktu Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup.

Di antara para sahabat yang kemudian populer karena keahliannya di bidang tafsir al-Qur’an antara lain: empat al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Ustman ibn ‘Affan dan Ali ibn Abi Thalib Radhiyallaahu ‘anhum), A’isyah binti Abi Bakr (Istri Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam), ibn Mas’ud, ibn Abbas, Ubayy ibn Ka’ab, Zayd ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary, Abdullah ibn az-Zubayr, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah dan Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an-Jalaluddin as-Suyuthy)

Dalam jangka waktu 25 tahun setelah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam wafat, para sahabat menyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia yang dikenal masa itu. Dalam proses penaklukan itu, mereka menumbangkan dua kekaisaran terbesar di dunia, Persia dan Byzantium.

Dimanapun pasukan muslim bermukim, di situlah beberapa sahabat turut tinggal untuk mengajar cara membaca dan memahami al-Qur’an, terutama bagi penduduk lokal yang masuk Islam.

Di antara mereka ada beberapa yang menonjol dan selalu mengikuti para sahabat di majelis-majelis ilmu, yang akhirnya mereka tinggal bersama dan menyerap ilmu para sahabat tertentu. Murid-murid setia tersebut dikenal dengan sebutan “Tabi’un” (secara literal berarti pengikut).

Setiap sahabat mempunyai porsi perbendaharaan ilmu tertentu, kadang bertumpang tindih dengan sahabat lain, kadang tidak. Karena alasan itulah, pengetahuan tafsir tersebar luas di seluruh lapisan masyarakat muslim, sementara pusat-pusat pengkajian al-Qur’an banyak bermunculan.

Beberapa pelajar harus melakukan ziarah (artinya "kunjungan") dari tempat asalnya ke pusat-pusat Islam lainnya untuk belajar langsung kepada beberapa sahabat. Sementara ada pula beberapa pelajar yang mencukupkan diri tinggal bersama guru mereka sampai meninggal dunia.


MADZHAB-MADZHAB TAFSIR

Pusat-pusat pengajaran tafsir yang berdiri selama periode di atas adalah Makkah, Madinah dan Iraq. Di Makkah, madzhab tafsir ibn Abbas sangat populer. Abdullah ibn Abbas ini dipandang sebagai ulama tafsir terkemuka di antara para sahabat.

Ia meriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam memeluknya seraya berdoa, “Ya Allah, anugerahkan dia pemahaman yang mendalam tentang agama, dan jadikanlah dia ahli tafsir.” (HR. Baghawy, Bukhary, Muslim).

Kendati ibn Abbas waktu itu masih muda, menurut riwayat, Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam telah menggelarinya sebagai “Turjuman al-Qur’an” (Penerjemah al-Qur’an). (HR. Bukhary). Di antara murid-murid ibn Abbas yang paling menonjol adalah: Mujahid ibn Jabr, Ikrimah (bekas budak ibn Abbas yang telah dimerdekakannya), Sa’id ibn Jubayr, Tawus ibn Kisan al-Yamany, dan Atha’ ibn Abi Rabah.

Di Madinah, madzhab tafsir terkemuka adalah aliran Ubayy ibn Ka’ab. Orang-orang sezamannya menganggapnya sebagai qari’ (pembaca al-Qur’an) paling utama. Ubayy juga merupakan orang pertama yang dipilih Nabi sebagai penulis wahyu (Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah).

Diberitakan bahwa Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyatakan kepadanya, “Sungguh Allah Yang Maha Agung dan Maha Suci telah memerintahkanku untuk membacakan untukmu: “Lam yakunil ladziina kafaruu (yakni surat al-Bayyinah)”.

Ketika Ubayy menanyakan apakah Allah juga menyebut namanya, Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mengiyakan, sehingga bercucuranlah air matanya (HR. Bukhary, Muslim). Murid-murid Ubayy yang paling menonjol adalah Zayd ibn Aslam, Abul-Aliya dan Muhammad ibn Ka’ab al-Quradhy.

Di Kuffah (Iraq), ibn Mas’ud memimpin madzhab tafsir yang paling berpengaruh. Sebagai orang yang masuk urutan keenam dari para pemeluk Islam pertama (as-sabiqun al-awwalun), ia merupakan salah seorang qari’ (pembaca al-Qur’an) terkemuka.

Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam secara pribadi pernah memuji bacaan al-Qur’annya. “Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an mendekati cara bacaan ketika diwahyukan, hendaklah membacanya seperti bacaan ibn Umm ‘Abd (ibn Mas’ud)” , kata Nabi (HR. Ibn Majah, Ahmad).

Tentang bagaimana kedalaman ilmunya di bidang tafsir, ibn Mas’ud berkata, “Demi yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, saya tahu di mana dan mengapa setiap ayat al-Qur’an diwahyukan (diriwayatkan oleh ibn Jarir).

Di antara murid-murid ibn Mas’ud yang kelak menjadi ulama karena kemampuan yang mereka miliki adalah al-Hasan al-Bashry, Alqamah, ibn Qays, Masruq, al-Aswad ibn Yazid, dan Amir ash-Sha’by.


RANGKAIAN PERIWAYATAN TAFSIR

Selama periode ini (periode para sahabat dan tabi’un), tafsir masih diajarkan secara lisan, yakni sebagai berikut: Para sahabat, yang mengarahkan madzhab-madzhab tafsir tertentu, mengutip ucapan-ucapan Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tentang makna ayat-ayat al-Qur’an atau tentang penjelasan konteks historis turunnya wahyu (Asbab an-Nuzul).

Atau kadang mereka mengutip beberapa baris puisi jahiliyah yang digunakan untuk menjelaskan makna kata-kata yang tidak lagi digunakan secara umum (oleh orang Arab) saat itu. Mereka juga meriwayatkan latar belakang peristiwa diwahyukannya ayat-ayat tertentu.

Setelah masa sahabat, murid-murid mereka tabi’un melanjutkan mengajar tafsir secara lisan persis seperti yang biasa mereka pelajari. Namun, beberapa diantara mereka mulai meriwayatkan dalam tafsirnya dengan cerita-cerita atau berita-berita dari sumber Yahudi maupun Nasrani untuk menjelaskan beberapa bagian al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa penyusunan kitab tafsir dimulai pada masa Tabi’un ini, misalnya oleh Mujahid ibn Jabr (647-722) murid ibn Abbas.

Mujahid dikabarkan pernah menulis sebuah tafsir, namun tak satupun salinannya sampai ke tangan kita. Letak penting tafsir Mujahid adalah pada pernyataannya, “Saya membaca seluruh al-Qur’an di depan ibn Abbas tiga kali. Setiap kali membacanya, saya berhenti dan bertanya kepada beliau di tiap akhir ayat, di mana dan tentang siapa ayat tersebut diwahyukan”. (Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an)

Menjelang akhir dinasti Ummayyah, kompilasi tafsir secara sistematis dimulai. Para ulama’ hadits mulai menyusun perkataan dan perbuatan Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dalam bab-bab menurut pokok bahasannya, yang salah satunya adalah bab tentang tafsir.

Beberapa ulama’ memusatkan perhatiannya pada periwayatan tafsir yang dinisbatkan kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabat dan tabi’un. Yang terkemuka diantara mereka adalah Yazid ibn Harun as-Salamy (wafat 737 M), Syu’abah ibn al-Hajjaj (wafat 777 M), Sufyan ibn ‘Uyaynah (wafat 814 M), Abdur Razzaq ibn Hammam (wafat 827 M) dan Abd ibn Humayd (wafat 864 M). Tetapi, masih belum ada tafsir al-Qur’an yang lengkap pada periode ini.

Menjelang akhir abad kesembilan, bidang tafsir tumbuh menjadi cabang pengetahuan Islam yang independen. Ulama’ tafsir generasi ini adalah yang pertama kali melakukan penyusunan secara lengkap tafsir al-Qur’an menurut aturan teks tertulis.

Tafsir tertua yang sampai ke tangan kita adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang disusun oleh ibn Jarir ath-Thabary (839-923 M), berasal dari masa ini. Tafsir lainnya ditulis oleh ibn Majah (wafat 886 M), ibn Abi Hatim (wafat 939 M), ibn Hibban (wafat 980 M), al-Hakim (wafat 1014 M) dan ibn Mardawayh (wafat 1020 M). Para ulama’ tersebut juga terkenal dengan pengkompilasian hadits-nya yang sebagian diantaranya sampai ke tangan kita dalam keadaan utuh.

Karena itu, semua tafsir yang berasal dari masa ini memuat mata rantai periwayatan (sanad) yang berujung pada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam atau sahabat maupun tabi’un. Pada beberapa kesempatan, sesekali tafsir tersebut dinisbatkan kepada ulama’ generasi sebelumnya, yang dikenal dengan sebutan Atba’at-Tabi’un (murid dari tabi’un).

Tafsir-tafsir ini juga memuat kaidah-kaidah hukum fiqh yang merupakan hasil deduksi (istimbath) beberapa ayat al-Qur’an, juga bilamana diperlukan, memuat penjelasan berdasar konstruksi tata bahasa.

Walaupun para ulama’ generasi berikutnya mengikuti kaidah umum yang sama dengan generasi pendahulunya, banyak diantaranya yang menghapus mata rantai periwayatan (sanad) tafsir dan dengan demikian, hanya nama-nama sahabat atau tabi’un beserta pola penafsiran mereka yang dicantumkan.

Misalnya, Bahr al-‘Ulum oleh Abul-Laits as-Samarqandy (wafat 983). Perhatian utama yang ditujukan pada pola-pola sastra dan konstruksi tata bahasa, banyak dijumpai dalam tafsir-tafsir ini.

Bentuk-bentuk bacaan (qira’at) tanpa rantai periwayatan atau sanad juga dicantumkan dan digunakan sebagai penjelas teks. Dimuat pula sejumlah besar pernyataan yang tidak diketahui atau tidak disebutkan pengungkapannya (anonim). Tafsir-tafsir yang demikian seringkali membingungkan. Penafsiran dan periwayatan yang akurat bercampur aduk dengan hal-hal yang tidak benar, tanpa pemisah tegas diantara keduanya.

Contoh yang tepat tafsir tipe ini adalah al-Kasyf wal Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an oleh Abu Ishaq ats-Tsa’laby (wafat 1032 M). Kecenderungan penafsiran cara demikian pada akhirnya mengantar pada terbukanya pintu penafsiran dengan opini individual. Karya-karya tafsir segera memperlihatkan berbagai kecenderungan pemikiran yang bertentangan dalam masyarakat muslim.

Menjelang abad ke 11 dan 12 Masehi, karya-karya utama sains dan filsafat Yunani yang pada abad sebelumnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, mulai menunjukkan pengaruhnya di semua lapangan ilmu keislaman. Lebih jauh, madzhab pemikiran filsafat seperti mu’tazilah (rasionalis) telah berkembang dan menjadi ancaman bagi pemikiran Islam murni.

Tafsir yang dipenuhi dengan istilah ilmiah dan filsafat, seperti al-Kasysyaf oleh az-Zamakhsyary (1075-1144 M), atau Mafatih al-Ghaib oleh Fakhruddin ar-Razy (1149-1210 M), dan tafsir yang mengekspresikan pemikiran berbagai sekte bid’ah, juga muncul pada periode ini.

Sebagai contoh, tafsir kalangan Syi’ah Dua Belas Imam yang berjudul ash-Shafy fi Tafsir al-Qur’an al-Karim oleh Mullah Muhsin al-Kasyi, telah menyelewengkan beberapa ayat al-Qur’an sedemikian sehingga sebagian besar berbicara tentang 12 Imam Syi’ah yang ma’shum, tentang wilayah (pemerintahan) imajiner menantu Nabi (Ali), dan tentang tuduhan murtad, kecuali beberapa orang saja, atas sebagian besar sahabat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.

Contoh lain adalah tafsir sufi yang dinisbatkan kepada ibn ‘Araby (wafat 1234 M). Ayat-ayat al-Qur’an diupayakan sedemikian rupa sehingga mendukung keyakinan pantheistiknya (yakni Allah adalah semua dan semua adalah Allah).

Terjadi pula spesialisasi di kalangan ulama’ muslim sebagai akibat evolusi pengetahuan Islam menjadi berbagai disiplin ilmu. Konsekuensinya, terdapat kandungan tafsir semacam itu, misalnya oleh al-Jassas (wafat 977 M) dan ibn al-‘Araby (wafat 1143 M)-ibn ‘Araby yang lain-, yang menitik beratkan pada deduksi fiqh (hukum Islam) dari kalimat-kalimat al-Qur’an menurut madzhab-madzhab fiqh mereka.

Demikian pula Abdurrahman ats-Tsa’laby (wafat 1463 M) yang mengambil spesialisasi di bidang penulisan sejarah kuno. Ia mengarang al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an yang di dalamnya ia mengumpulkan dan menghimpun semua riwayat sejarah masa lalu tanpa meneliti keotentikannya.

Tafsir zaman itu dan generasi-generasi berikutnya berisi hal-hal yang benar dan yang salah. Beberapa materi cukup berharga sementara lainnya banyak yang tak bernilai. Akibatnya, tafsir-tafsir yang berdasarkan opini individual sama sekali mengungguli tafsir yang didasarkan atas periwayatan yang sah.

Pengarang tafsir yang berdasarkan opini itu memperluas makna ayat untuk memberikan peluang bagi pemikiran-pemikiran dan ide-ide sekte atau madzhab mereka sendiri, dan untuk menangkis pendapat golongan lain. Karena itu, peran utama tafsir, yakni untuk menjelaskan informasi-informasi agama yang terkandung dalam ayat-ayat, telah hilang.

Seorang ulama’ tafsir, Jalaluddin as-Suyuthy (wafat 1505 M) menyatakan, “Saya telah melihat kurang lebih sepuluh pendapat berbeda tentang tafsir ayat, “Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (QS. al-Fatihah 7)Padahal Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat beserta murid-murid mereka (tabi’un) menyatakan bahwa ayat tersebut ditujukan tidak lain kepada Yahudi dan Nasrani”.

Dan ibn Abi Hatim (salah seorang ulama’ salaf) menyatakan, “Saya tidak mengenal adanya ketidak-sepakatan diantara para ulama’ tafsir (ulama tafsir periode salaf, sebelum muncul tafsir bid’ah) tentangnya."

Beberapa ulama’ periode ini sebagaimana periode selanjutnya, sekedar membuat ringkasan karya-karya yang sudah ada sementara lainnya puas dengan sekedar berkomentar (catatan kaki) atas karya-karya terdahulu itu.

Perlu dicatat, bahwa meskipun terjadi penyimpangan dan kemandegan di bidang tafsir sebagaimana dalam ilmu-ilmu keislaman yang lain, masih ada juga dalam periode-periode ini segelintir ulama’ besar yang tetap menjunjung tinggi ajaran Islam yang murni. Karena itu, tidak mengherankan bila tafsir yang sangat diakui segala zaman dihasilkan seorang ulama’ periode ini, yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim oleh al-Hafidz ibn Katsir (wafat 1365 M).

Pada abad kedua puluh, bentuk tafsir baru mulai berkembang. Para penulis tafsir mulai mencoba menyesuaikan ayat-ayat al-Qur’an dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern abad ini.

Contoh, tafsir al-Manar oleh Muhammad Rasyid Ridla, Fi Dhilal al-Qur’an oleh Sayyid Quthb dan Tafhim al-Qur’an oleh Abul A’la al-Mauwdudy, yang menguraikan dasar-dasar al-Qur’an tentang masyarakat manusia, pembuatan undang-undang (legislasi) dan teori-teori ilmiah.

Subhaanallaah, walhamdulillaah, wallaahu a’lamu bishshawwaab
Cahaya Islam
Cahaya Islam
KOPRAL
KOPRAL

Male
Posts : 23
Kepercayaan : Islam
Location : rumah
Join date : 26.08.13
Reputation : 1

Kembali Ke Atas Go down

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Empty Re: PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN

Post by Guest Thu Sep 19, 2013 8:22 pm

Apakah ada TAFSIR dari SAHABAT utk Surah Al Khaf ayat 83 - 90 ?


avatar
Guest
Tamu


Kembali Ke Atas Go down

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Empty Re: PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN

Post by Guest Sun Sep 22, 2013 4:48 pm

Qs 18 Al Khaf.

18:83
Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya".

18:84
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,

18:85
maka diapun menempuh suatu jalan.

18:86
Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.


18:89
Kemudian dia menempuh jalan (yang lain).

18:90
Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu,

18:91
demikianlah. dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.

18:92
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).

18:93
Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.




Kalimat, "hingga apabila dia sampai", adalah KATA KUNCI, bahwa Allloh menyaksikan/ melihat Dzulkarnaen SAMPAI DI TEMPAT TSB...
avatar
Guest
Tamu


Kembali Ke Atas Go down

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Empty Re: PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN

Post by Cahaya Islam Mon Oct 14, 2013 3:34 pm

emban wrote:Apakah ada TAFSIR dari SAHABAT utk Surah Al Khaf ayat 83 - 90 ?


Bismillahirrahmanirrahim

mungkin konsentrasi anda kepada pertanyaan anda tersebut adalah mengenai kalimat matahari yang tenggelam di lumpur hitam (atau kurang lebihnya seperti itu)...

namun inilah komentar dari para ahli tafsir, silahkan di simak:

Imam Al-Baidawi;
Ia (Dzulkarnaen) mungkin saja sampai di tepi pantai dan melihat matahari disitu karena sejauh mata memandang hanyalah air laut oleh karenanya Allah SWT mengatakan “ dia melihat matahari terbenam di dalam laut” namun tidak mengatakan bahwa “matahari terbenam”. (namun dia melihat matahari terbenam)(Al-Baidawi, Anwar-ut-Tanzil wa Asrar-ut-Taw’il, Volume 3, halaman 394. Diterbitkan oleh Dar-ul-Ashraf, Kairo, Mesir)

Imam Al-Qurtubi menyatakan;
Al Qaffal mengatakan: Maksudnya bukanlah dengan mencapai tempat dan terbit matahari sehingga ia dapat mencapai matahari dan menyentuhnya, karena matahari jauh diangkasa sana, disekitar bumi tanpa menyentuhnya dan terlalu besar untuk terbenam kedalam laut manapun yang berada dibumi. Ia jauh lebih besar dari bumi. Namun hal tersebut dimaksudkan bahwa ia telah mencapai ujung daerah yang masih berpenduduk di timur dan barat, kemudian Dzulkarnaen melihat kejadian itu – menurut pengelihatannya – terbenam kedalam laut yang berlumpur hitam seperti halnya kita mengamati matahari ditanah rata seolah-olah matahari itu masuk kedalam tanah. Oleh karenanya Allah berfirman:

“Hingga apabila dia (Dzulkarnaen) telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari”. (Al-Qurtubi, Al-Game’ le Ahkam-el-Qur’an, Volume 16, halaman 47. Published by Dar-ul-Hadith, Kairo, Egypt. ISBN 977-5227-44-5)

Imam Fakhr-ud-Deen Ar-Razi menyatakan;
Di kala Dzulkarnaen mencapai barat jauh dan tidak ada lagi dari berpenguhi, dia mlihat mahari seolah-olah terbenam kedalam laut berlumpur, namun bukan sebenarnya begitu. Hal yang sama seperti seorang pekalan melihat matahari seolah terbenam kedalam laut jika ia tidak dapat melihat bagian pantai, yang padahal matahari tersebut terbenam bukan kedalam laut.(Ar-Razi, At-Tafsir-ul-Kabir, Volume 21, halaman 166)

Imam Ibn Kathir menyatakan;
Hingga apabila dia (Dzulkarnaen) telah sampai ke tempat terbit matahari” berarti ia mengikuti arah yang benar hingga ia mencapai daerah terjauh, ia mungkin memulai perjalanan dari barat. Karena mencapai terbitnya matahari di langit adalah mustahil. Apa yang di katakana para periwayat dan pencerita mengenai ia berjalan dalam suatu masa dimuka bumi disaat matahari terbenam dibelakangnya adalah dusta, dan sebagian cerita-cerita ini adalah mitos para Ahli Kitab dan temuan-temuan kebohongan mereka.

“Ia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam “ berarti ia melihat matahari menurut pandangannya terbenam kedalam laut dan hal ini pun terjadi pada semua orang yang berada di pantai yang melihat seolah-olah matahari terbenam kedalamnya (kedalam laut). (Ibn Kathir, Tafsir-ul-Qur’ân Al-’Azim, Volume 5, halaman 120. Diterbitkan oleh Maktabat-ul-Iman, Mansoura, Mesir)

“Sehingga, apabila dia sampai di tempat terbenam Matahari, didapatinya matahari itu terbenam dalam mata air yang berlumpur hitam. Di sana didapatinya satu kaum. Kami berkata : Hai, Zulkarnain, adakalanya engkau siksa (kaum yang kafir itu) atau engkau perlihatkan kepada mereka kebaikan…” Surah al-Kahfi 18 ayat 86
Ungkapan ‘aynin hami’e’ yang terdiri dari kata ‘ayn’ = mata air’ dan ‘hami’ =lumpur atau dapat berarti pandangan yang kurang jelas Atau tipuan penglihatan, selain itu disana pun disebutkan adanya sekumpulan kaum manusia, kalau “hami” diartikan lumpur, tidak mungkin ada manusia yang hidup dalam lumpur, maupun dalam mata air. Itu sebabnya disana menggunakan kata ‘Hami’ yaitu pandangan yang kurang jelas

Jadi Maknanya jelas dari kalimat “didapatinya Matahari itu terbenam dalam mata air yang berlumpur hitam” adalah didapatinya, “nya” disini adalah Zulkarnaen, jadi Zulkarnaen melihat pandangan yang kurang jelas atau tipuan penglihatan matahari masuk kedalam mata air bukan.
Jika kita melihat matahari terbenam di layar televisi tepat seperti melihat matahari yang tenggelam di dalam laut. Warna-warni di layar berubah ketika matahari tenggelam di atas laut, ini terlihat berwarna keabu-abuan di layar televisi. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang melihat hal ini, pemandangan terlihat seolah-olah tenggelam di dalam lautan berlumpur hitam.

http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/25/menjawab-tuduhan-menurut-alquran-matahari-tenggelam-di-laut-berlumpur/#sthash.HwFJlN7C.dpuf
Cahaya Islam
Cahaya Islam
KOPRAL
KOPRAL

Male
Posts : 23
Kepercayaan : Islam
Location : rumah
Join date : 26.08.13
Reputation : 1

Kembali Ke Atas Go down

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Empty Re: PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN

Post by Guest Sat Nov 09, 2013 3:49 pm

emban wrote:Apakah ada TAFSIR dari SAHABAT utk Surah Al Khaf ayat 83 - 90 ?


Cahaya Islam wrote:Bismillahirrahmanirrahim

mungkin konsentrasi anda kepada pertanyaan anda tersebut adalah mengenai kalimat matahari yang tenggelam di lumpur hitam (atau kurang lebihnya seperti itu)...
Maaf bung, sprtinya anda terlalu konsentrasi melihat post pertama, sehingga anda GAK MELIHAT POST SELANJUTNYA.

lihat post saya yg mengutip surah Al Khaf itu, thanks...
avatar
Guest
Tamu


Kembali Ke Atas Go down

PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN Empty Re: PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR AL-QUR'AN

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik