islam, amerika dan tesis hutington
Halaman 1 dari 1 • Share
islam, amerika dan tesis hutington
Meskipun mendapat protes dari hampir seluruh dunia, dan gagal mendapatkan dukungan DK PBB, Amerika Serikat (AS) masih ngotot akan menyerang Irak.
Sebab, bagi AS, menaklukkan Irak tidak saja berarti menggeser rezim Saddam, atau untuk 'menguasai' sumber-sumber minyak Irak yang kandungannya hampir sepadan dengan cadangan minyak yang dipunyai Arab Saudi.
Lebih dari itu, yang terpenting bagi AS untuk sekarang dan ke depan, menaklukkan Irak adalah icon untuk transformasi global atas kepentingan-kepentingannya.
Karena, itulah arti kemenangan bagi AS setelah berhasil memenangkan Perang Dingin: menjadikan dirinya sebagai 'penguasa tunggal' di planet bumi ini. Sebagai penguasa tunggal, maka AS mesti menciptakan tata dunia baru yang petanya sudah disiapkannya sendiri.
Adalah Samuel P. Huntington yang membuat rekomendasi bagi AS untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Rekomendasi itu berdasarkan pengalamannya setelah pada 3 Januari 1992 mengikuti pertemuan besar antara sarjana-sarjana AS dengan Rusia (Huntington, 1996). Pertemuan itu berlangsung hanya dua pekan begitu Uni Soviet bubar dan patung Lenin sudah dirobohkan.
Rekomendasi terpenting dari Huntington, pasca-Perang Dingin tidak berarti tumbangnya blok Timur yang sosialis-komunis dan langsung mengubah wajah ke arah kapitalisme-Barat. Ada kecenderungan, negara-negara bekas blok Timur itu akan mencari identitas masing-masing yang boleh jadi kembali ke identitas masa lalunya.
Timur-Tengah akan kembali ke Islam, Cina ke budaya leluhurnya, dan bermuara pada terjadinya 'perbenturan peradaban'. Luka lama antara Islam dengan Barat, yang sudah 1.300 tahun yang nyaris terkubur akan terkuak kembali.
Sementara, bagi AS, kemenangan dalam perang dingin pada hakikatnya adalah globalisasi berdasarkan pemaknaannya. Ini persis seperti yang diungkapkan Thomas L. Friedman dalam buku Understanding Globalization: The Lexus and The Olive Tree (2000) yang menyebutkan bahwa pasca-perang dingin sistem internasional sudah berubah, dan dirumuskan oleh sistem dalam globalisasi itu sendiri. Dan, globalisasi tidak lain adalah Amerika Serikat sendiri.
Perbenturan Peradaban
Bahwa Irak merupakan icon bagi AS jelas tergambar dalam kampanye-kampanye AS selama ini di Timur-Tengah. Skenario Amerika, pasca-tumbangnya Saddam Hussein ini jika Saddam benar-benar tumbang, Irak akan direkayasa menjadi sebuah negara sekuler modern yang bersahabat dengan dunia Barat.
Irak akan dipermak menjadi negara yang kemajuan dan perkembangannya paling pesat di dunia Arab. Selain itu, Irak akan menjadi negara yang amat diperhitungkan di Timur-Tengah yang akan mengungguli Mesir, Syiria, dan Arab Saudi.
Bush juga berjanji akan menjadikan Irak sebagai negara yang mampu membawa peradaban modern di kawasan Timur-Tengah. Dan, karena itu, natinya Irak akan memutus hubungan dengan gerakan Islam politik dan nasionalisme Arab yang cenderung anti-Barat.
Dari skenario itu, jelas AS akan menjadikan Irak sebagai negara 'boneka'-nya untuk memperkuat posisinya di Timur Tengah. Selama ini, AS sebenarnya sudah mempunyai Israel.
Tetapi, Israel nampaknya sulit untuk menggolkan obsesi Amerika yang ingin menyamakan gelombang Barat dengan Timur-Tengah. Apalagi, Israel sendiri sampai sekarang masih terlibat konflik serius dengan kalangan Timur-Tengah karena ulah politiknya yang terus mencaplok tanah Palestina serta membantai anak-anak, dan wanita sipil.
Namun, misi Bush kali ini tidaklah sederhana, karena ia masuk ke rekomendasi Huntington, yaitu 'perbenturan peradaban'. Di sini Bush tidak hanya membenturkan antara Barat-Judio-Christian vis a avis Islam, tetapi juga menyereticon sosialis-komunis laten yang bisa jadi akan teraktualkan kembali.
Kecenderungan peta aliansi ini sudah bisa kita lihat di saat-saat AS akan segera menunaikan hajatnya, yaitu menggempur Irak pada musim dingin yang rencana awalnya pada bulan puasa Ramadan lalu, meski hingga kini belum diwujudkan.
Negara-negara yang berada di belakang AS sekarang adalah Inggris, Australia, Italia, Spanyol, dan Turki. Bush juga dapat menggandeng beberapa negara Timur-Tengah yang bukan mainstream, seperti Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, dan Jordania.
Sementara, yang ada di belakang Irak sekarang ini misalnya Mesir, Syiria, Sudan, Arab Saudi, Iran, Libiya semuanya negara Timur-Tengah, mainstream yang begitu berpengaruh dan signifikan di kawasannya. Sementara, di DK PBB Irak mendapat dukungan dari Cina, Rusia, dan Prancis. Bahkan, Jerman dan Jepang serta di negara Eropa di luar Inggris agaknya lebih cenderung ke Irak.
Saddam Husein, rezim Irak sekarang, berasal dari partai Baath, sebuah partai yang didirikan oleh Michel Aflaq (warga Syria Kristen yang pernah belajar sosialis di Prancis).
Jadi, paham sosialis Baath ini bisa menjadi katalisator negara-negara bekas blok Timur. Kekuatan lain yang ada pada Irak adalah 'sentimen historis' bahwa negara itu dulu pernah menjadi negara 'super power' ketika berjayanya Kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad (750--1258).
Lebih dari itu, Saddam kini adalah pemimpin yang mewarisi semangat pan-Arabisme yang pernah dihembuskan oleh mantan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Di Timur-Tengah saat ini hampir semua gerakan politik menganut paham nasionalisme Arab, Islam, dan sosialisme.
Sikap Liga Arab sendiri, seperti dikemukakan oleh juru bicaranya, Hisyam Yusuf, secara resmi menolak aksi unilateral AS terhadap Irak. Hal itu sesuai dengan rekomendasi KTT Arab di Beirut pada Maret lalu. Bagi Liga Arab, tak ada alasan kuat bagi AS untuk menyerang Irak selama Baghdad melaksanakan resolusi DK PBB dan menghormati legalitas internasional.
Pintu ke Asia Tengah
AS juga menjanjikan, jika Irak telah menjadi boneka Washington, pengeboran minyak di Irak akan memanfaatkan teknologi cangggih AS. Jika itu terjadi, industri minyak Irak akan menjadi sentral dan signifikan yang mampu mengungguli Arab Saudi.
Dengan kemampuan minyaknya itu, AS akan memperluas sayap pengaruh Irak tidak saja di Timur-Tengah, melainkan sampai ke seluruh Asia Tengah.
Strategi AS ini sebenarnya juga untuk mematikan langkah Iran yang selama ini selalu diincar AS sebagai musuh bebuyutannya. Maka, kalau strategi itu terwujud, Iran akan berada dalam posisi terjepit di antara negara-negara yang di bawah pengaruh AS. Tidak ada pilihan lain bagi Iran: tunduk atau harus berkoordinasi dengan Washington, pilihan yang sama-sama pahitnya.
Negara-negara Asia Tengah adalah bekas pecahan Uni Soviet yang bubar bersamaan usainya Perang Dingin. Bagi AS, negara-negara bekas Uni Soviet ini di samping menjadi peluang, sekaligus tantangan.
Asia Tengah yang mempunyai sumberdaya yang luar biasa tambang emas, cadangan tembaga dan non-logam besi belerang serta mempunyai cadangan minyak dan gas terbesar di dunia membuat negara-negara di kawasan ini sangat menarik bagi investor-investor asing, termasuk masyarakat bisnis AS.
Uzbekistan, misalnya, termasuk delapan besar produser emas di dunia dan masuk empat penghasil kapas terbesar di dunia. Turkmenistan masuk jajaran produsen gas alam ketiga terbesar di dunia. Demikian pula Kazakhtan yang diyakini mempunyai cadangan minyak dan gas yang dapat disejajarkan dengan potensi gas dan minyak di Kuwait.
Meski dianggap sebagai peluang, lima negara di Asia Tengah Kazakhtan, Uzbekistan, Kirgiztan, Tajikistan, dan Turkmenistan juga merupakan tantangan. Populasi muslim terbesar mencapai 50 juta (Lubin, 1994), penduduk yang berbatasan dengan Afghanistan dan Iran. Berdasar data Far Eastern Economic Review, jumlah umat Islam di bekas negara komunis itu mencapai 55 juta (edisi 6 April 1989).
Wilayahnya lebih luas dari separuh benua Amerika atau seluas gabungan Eropa Barat dan Timur. Pemerintahannya yang belum stabil, jika tidak di tengah-tengah perang lokal, masih banyaknya gudang-gudang senjata nuklir, semua itu sepertinya masih bergemuruh jauh di luar batas-batas republik kawasan ini.
Selama Perang Dingin, AS sudah lama mengincar wilayah ini karena kekayaan sumber daya alamnya yang luar biasa. Asia Tengah selama dalam genggaman Uni Soviet tak tergarap dengan optimal, sehingga kekayaan ekonominya belum dieksplorasi.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Irak bagi AS adalah icon untuk kepentingan-kepentingan 'perang peradaban' dan kepentingan globalnya sebagaimana yang direkomendasikan Huntington yang memang think tank-nya pemerintah AS. Itu adalah cara untuk meperkokoh AS sebagai satu-satunya negara adi daya dan sumber peradaban global. (Umrotul Khasanah, Mahasiswa Program Paskasarjana UI, Sumber: Republika).
Sebab, bagi AS, menaklukkan Irak tidak saja berarti menggeser rezim Saddam, atau untuk 'menguasai' sumber-sumber minyak Irak yang kandungannya hampir sepadan dengan cadangan minyak yang dipunyai Arab Saudi.
Lebih dari itu, yang terpenting bagi AS untuk sekarang dan ke depan, menaklukkan Irak adalah icon untuk transformasi global atas kepentingan-kepentingannya.
Karena, itulah arti kemenangan bagi AS setelah berhasil memenangkan Perang Dingin: menjadikan dirinya sebagai 'penguasa tunggal' di planet bumi ini. Sebagai penguasa tunggal, maka AS mesti menciptakan tata dunia baru yang petanya sudah disiapkannya sendiri.
Adalah Samuel P. Huntington yang membuat rekomendasi bagi AS untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Rekomendasi itu berdasarkan pengalamannya setelah pada 3 Januari 1992 mengikuti pertemuan besar antara sarjana-sarjana AS dengan Rusia (Huntington, 1996). Pertemuan itu berlangsung hanya dua pekan begitu Uni Soviet bubar dan patung Lenin sudah dirobohkan.
Rekomendasi terpenting dari Huntington, pasca-Perang Dingin tidak berarti tumbangnya blok Timur yang sosialis-komunis dan langsung mengubah wajah ke arah kapitalisme-Barat. Ada kecenderungan, negara-negara bekas blok Timur itu akan mencari identitas masing-masing yang boleh jadi kembali ke identitas masa lalunya.
Timur-Tengah akan kembali ke Islam, Cina ke budaya leluhurnya, dan bermuara pada terjadinya 'perbenturan peradaban'. Luka lama antara Islam dengan Barat, yang sudah 1.300 tahun yang nyaris terkubur akan terkuak kembali.
Sementara, bagi AS, kemenangan dalam perang dingin pada hakikatnya adalah globalisasi berdasarkan pemaknaannya. Ini persis seperti yang diungkapkan Thomas L. Friedman dalam buku Understanding Globalization: The Lexus and The Olive Tree (2000) yang menyebutkan bahwa pasca-perang dingin sistem internasional sudah berubah, dan dirumuskan oleh sistem dalam globalisasi itu sendiri. Dan, globalisasi tidak lain adalah Amerika Serikat sendiri.
Perbenturan Peradaban
Bahwa Irak merupakan icon bagi AS jelas tergambar dalam kampanye-kampanye AS selama ini di Timur-Tengah. Skenario Amerika, pasca-tumbangnya Saddam Hussein ini jika Saddam benar-benar tumbang, Irak akan direkayasa menjadi sebuah negara sekuler modern yang bersahabat dengan dunia Barat.
Irak akan dipermak menjadi negara yang kemajuan dan perkembangannya paling pesat di dunia Arab. Selain itu, Irak akan menjadi negara yang amat diperhitungkan di Timur-Tengah yang akan mengungguli Mesir, Syiria, dan Arab Saudi.
Bush juga berjanji akan menjadikan Irak sebagai negara yang mampu membawa peradaban modern di kawasan Timur-Tengah. Dan, karena itu, natinya Irak akan memutus hubungan dengan gerakan Islam politik dan nasionalisme Arab yang cenderung anti-Barat.
Dari skenario itu, jelas AS akan menjadikan Irak sebagai negara 'boneka'-nya untuk memperkuat posisinya di Timur Tengah. Selama ini, AS sebenarnya sudah mempunyai Israel.
Tetapi, Israel nampaknya sulit untuk menggolkan obsesi Amerika yang ingin menyamakan gelombang Barat dengan Timur-Tengah. Apalagi, Israel sendiri sampai sekarang masih terlibat konflik serius dengan kalangan Timur-Tengah karena ulah politiknya yang terus mencaplok tanah Palestina serta membantai anak-anak, dan wanita sipil.
Namun, misi Bush kali ini tidaklah sederhana, karena ia masuk ke rekomendasi Huntington, yaitu 'perbenturan peradaban'. Di sini Bush tidak hanya membenturkan antara Barat-Judio-Christian vis a avis Islam, tetapi juga menyereticon sosialis-komunis laten yang bisa jadi akan teraktualkan kembali.
Kecenderungan peta aliansi ini sudah bisa kita lihat di saat-saat AS akan segera menunaikan hajatnya, yaitu menggempur Irak pada musim dingin yang rencana awalnya pada bulan puasa Ramadan lalu, meski hingga kini belum diwujudkan.
Negara-negara yang berada di belakang AS sekarang adalah Inggris, Australia, Italia, Spanyol, dan Turki. Bush juga dapat menggandeng beberapa negara Timur-Tengah yang bukan mainstream, seperti Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, dan Jordania.
Sementara, yang ada di belakang Irak sekarang ini misalnya Mesir, Syiria, Sudan, Arab Saudi, Iran, Libiya semuanya negara Timur-Tengah, mainstream yang begitu berpengaruh dan signifikan di kawasannya. Sementara, di DK PBB Irak mendapat dukungan dari Cina, Rusia, dan Prancis. Bahkan, Jerman dan Jepang serta di negara Eropa di luar Inggris agaknya lebih cenderung ke Irak.
Saddam Husein, rezim Irak sekarang, berasal dari partai Baath, sebuah partai yang didirikan oleh Michel Aflaq (warga Syria Kristen yang pernah belajar sosialis di Prancis).
Jadi, paham sosialis Baath ini bisa menjadi katalisator negara-negara bekas blok Timur. Kekuatan lain yang ada pada Irak adalah 'sentimen historis' bahwa negara itu dulu pernah menjadi negara 'super power' ketika berjayanya Kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad (750--1258).
Lebih dari itu, Saddam kini adalah pemimpin yang mewarisi semangat pan-Arabisme yang pernah dihembuskan oleh mantan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Di Timur-Tengah saat ini hampir semua gerakan politik menganut paham nasionalisme Arab, Islam, dan sosialisme.
Sikap Liga Arab sendiri, seperti dikemukakan oleh juru bicaranya, Hisyam Yusuf, secara resmi menolak aksi unilateral AS terhadap Irak. Hal itu sesuai dengan rekomendasi KTT Arab di Beirut pada Maret lalu. Bagi Liga Arab, tak ada alasan kuat bagi AS untuk menyerang Irak selama Baghdad melaksanakan resolusi DK PBB dan menghormati legalitas internasional.
Pintu ke Asia Tengah
AS juga menjanjikan, jika Irak telah menjadi boneka Washington, pengeboran minyak di Irak akan memanfaatkan teknologi cangggih AS. Jika itu terjadi, industri minyak Irak akan menjadi sentral dan signifikan yang mampu mengungguli Arab Saudi.
Dengan kemampuan minyaknya itu, AS akan memperluas sayap pengaruh Irak tidak saja di Timur-Tengah, melainkan sampai ke seluruh Asia Tengah.
Strategi AS ini sebenarnya juga untuk mematikan langkah Iran yang selama ini selalu diincar AS sebagai musuh bebuyutannya. Maka, kalau strategi itu terwujud, Iran akan berada dalam posisi terjepit di antara negara-negara yang di bawah pengaruh AS. Tidak ada pilihan lain bagi Iran: tunduk atau harus berkoordinasi dengan Washington, pilihan yang sama-sama pahitnya.
Negara-negara Asia Tengah adalah bekas pecahan Uni Soviet yang bubar bersamaan usainya Perang Dingin. Bagi AS, negara-negara bekas Uni Soviet ini di samping menjadi peluang, sekaligus tantangan.
Asia Tengah yang mempunyai sumberdaya yang luar biasa tambang emas, cadangan tembaga dan non-logam besi belerang serta mempunyai cadangan minyak dan gas terbesar di dunia membuat negara-negara di kawasan ini sangat menarik bagi investor-investor asing, termasuk masyarakat bisnis AS.
Uzbekistan, misalnya, termasuk delapan besar produser emas di dunia dan masuk empat penghasil kapas terbesar di dunia. Turkmenistan masuk jajaran produsen gas alam ketiga terbesar di dunia. Demikian pula Kazakhtan yang diyakini mempunyai cadangan minyak dan gas yang dapat disejajarkan dengan potensi gas dan minyak di Kuwait.
Meski dianggap sebagai peluang, lima negara di Asia Tengah Kazakhtan, Uzbekistan, Kirgiztan, Tajikistan, dan Turkmenistan juga merupakan tantangan. Populasi muslim terbesar mencapai 50 juta (Lubin, 1994), penduduk yang berbatasan dengan Afghanistan dan Iran. Berdasar data Far Eastern Economic Review, jumlah umat Islam di bekas negara komunis itu mencapai 55 juta (edisi 6 April 1989).
Wilayahnya lebih luas dari separuh benua Amerika atau seluas gabungan Eropa Barat dan Timur. Pemerintahannya yang belum stabil, jika tidak di tengah-tengah perang lokal, masih banyaknya gudang-gudang senjata nuklir, semua itu sepertinya masih bergemuruh jauh di luar batas-batas republik kawasan ini.
Selama Perang Dingin, AS sudah lama mengincar wilayah ini karena kekayaan sumber daya alamnya yang luar biasa. Asia Tengah selama dalam genggaman Uni Soviet tak tergarap dengan optimal, sehingga kekayaan ekonominya belum dieksplorasi.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Irak bagi AS adalah icon untuk kepentingan-kepentingan 'perang peradaban' dan kepentingan globalnya sebagaimana yang direkomendasikan Huntington yang memang think tank-nya pemerintah AS. Itu adalah cara untuk meperkokoh AS sebagai satu-satunya negara adi daya dan sumber peradaban global. (Umrotul Khasanah, Mahasiswa Program Paskasarjana UI, Sumber: Republika).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» orang amerika masuk islam
» Raquel, Polwan amerika masuk islam
» isis Ganggu Dakwah Islam di Amerika Serikat
» Karena Puasa, Seorang Pendeta Amerika Masuk Islam
» Katolik berkembang di Amerika karena di Eropa terjepit Protestan & Islam
» Raquel, Polwan amerika masuk islam
» isis Ganggu Dakwah Islam di Amerika Serikat
» Karena Puasa, Seorang Pendeta Amerika Masuk Islam
» Katolik berkembang di Amerika karena di Eropa terjepit Protestan & Islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik