skenario bom bali di mata eggy sujana
Halaman 1 dari 1 • Share
skenario bom bali di mata eggy sujana
Ledakan bom berkekuatan besar di tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali, Sabtu Malam (12/10), membuat Indonesia kembali menjadi sorotan dunia internasional. Tragedi yang menewaskan sekitar 180 orang -- dan lebih dari 200 orang lainnya terluka, kebanyakan warga Australia, serta beberapa negara lain seperti Swiss, Kanada dan Jerman -- itu ditengarai sebagai tragedi kemanusiaan terbesar setelah tragedi peledakan pesawat ke gedung WTC dan Pentagon, September tahun lalu.
Para pemimpin dunia, di antaranya Presiden AS, Bush, Menlu Jerman, Yosca Ficser, dan Menlu Australia, mengecam dan mengutuk keras tindakan biadab tersebut. Selain mengutuk keras, Presiden Megawati juga meminta masyarakat agar tenang dan meningkatkan kewaspadaan, serta menyampaikan duka yang mendalam dan simpati kepada keluarga korban. Kecaman dan kutukan serupa juga diperlihatkan para tokoh agama di Indonesia, dan menuntut aparat untuk segera mengungkap dalang dan pelaku pemboman.
Sebagai bangsa yang beradab dan umat beragama, kita tentu saja menolak aksi terorisme tersebut. Terorisme, apapun bentuknya, jelas tertolak oleh hukum apapun di dunia ini. Agama pun tidak membolehkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan dan misinya. Di sinilah kita kembali diingatkan, bahwa bahaya teror dan terorisme sejatinya adalah bahaya universal dan global yang tanpa mengenal batas-batas geo-politik bahkan batas suatu negara. Terorisme menjadi entitas bahaya dan tantangan bersama umat manusia di dunia ini.
Kejanggalan
Tanpa mendahului proses penyidikan dan pembuktian yang kini tengah dilakukan oleh aparat, tragedi Sabtu Kelabu di Bali itu memunculkan banyak kecurigaan serta kondisi politik yang tidak lazim seperti biasanya. Ketidaklaziman dan kecurigaan itu secara kuat mengarah kepada pihak asing, khususnya Amerika Serikat (AS), negeri yang selama ini gencar mensponsori perang anti-terorisme internasional.
Untuk menjelaskan ketidakwajaran itu, beberapa hal berikut barangkali sedikit membantu kita memahami pra-kondisi terhadap peristiwa ledakan bom. Pertama, pada 10 Oktober, dua hari sebelum kejadian, Deplu AS mengeluarkan peringatan kepada warganya di seluruh dunia untuk waspada. "Para teroris akan mengalihkan sasaran pada target yang lebih empuk, termasuk fasilitas dimana orang Amerika biasa berkumpul atau berkunjung seperti kelab malam, restauran, tempat ibadah, sekolah atau tempat rekreasi terbuka lainnya." (Republika, 14/10). Menurut pengamat inteligen, AC Manullang, 'kewaspadaan' dalam peringatan Deplu AS itu adalah bahasa politik. Dalam bahasa perang dan intelijen, kata Manullang, 'kewaspadaan' berarti tinggalkan tempat itu.
Kedua, pada saat Deplu AS mengeluarkan peringatan tersebut, Dubes AS, Ralph L Boyce, sibuk 'bersilaturahmi' ke beberapa pejabat penting, seperti Menkopolkam Susilo Bambang Yudoyono, Menkokesra Yusuf Kalla, dan pejabat lainnya. Memang tak spesifik Boyce mengungkapkan akan adanya serangan di Bali. Dubes AS itu hanya meminta pemerintah Indonesia untuk serius mengusut serangan terhadap Exxonmobil, dan fasilitas AS di Teluk Betung, beberapa waktu lalu. Tapi yang aneh, enam jam sebelum kejadian peledakan, Boyce mengatakan bahwa polisi Indonesia tidak sungguh-sungguh memerangi terorisme di Indonesia.
Ketiga, dari segi bahan peledak yang digunakan, bom ini menimbulkan radius kerusakan yang sangat luas. Menurut pengamat inteligen, ZA Maulani, sebagaimana dilansir Jawa Pos (14/10), dalam istilah militer, bom tersebut mempunyai demosili sampai 200 meter. Padahal, kata Maulani, sebuah granat 108 mm hanya memiliki radius kerusakan atau demosili 50 meter. Singkatnya, kekuatan bom ini setara dengan belasan granat 108 mm dijadikan satu dan diledakkan. Pelakunya sudah pasti ahli demosili. Mantan kepala BIN ini menyebut, bahan peledak dahsyat itu dari jenis C4 (C four) atau Claynore. "Ini tidak diproduksi Indonesia. Hanya Amerika yang bisa memproduksi C4," kata Maulani.
Keempat, selama ini AS menuding Indonesia sebagai sarang dan tempat aman teroris, sekalipun aparat dan pemerintah Indonesia membantah tudingan tersebut. Presiden Bush yang agaknya kecewa dengan sikap Megawati yang tidak tegas dalam memberantas terorisme di negeri mayoritas Muslim ini merasa, pemerintah Indonesia tidak kooperatif dalam kampanye anti-terorisme, sebagaimana ditunjukkan Malaysia, Singapura, dan Philipina, serta negara-negara lainnya. Bush bahkan beberapa kali menelpon langsung Presiden Megawati berkaitan masalah terorisme. Kekecewaan AS juga tampak dalam masalah penolakan pemerintah Indonesia untuk menangkap Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), yang dituding Paman Sam sebagai teroris dan kaki tangan Alqaidah di Asia Tenggara.
Beberapa alasan itulah yang kemudian oleh sebagian kalangan dijadikan sebagai bukti keterlibatan langsung maupun tidak langsung dinas inteligen AS, CIA, dalam tragedi Sabtu Kelabu tersebut. Dalam peristiwa itu, tak satupun korban tewas dari warga AS. Padahal sebagai kota tujuan utama wisatawan asing di Indonesia, di Bali bermukim banyak warga asing, termasuk dari AS. Tetapi, mengapa tak ada korban warga AS?
Dengan kejadian itu, AS ingin menciptakan opini bahwa benar di Indonesia sebagai sarang teroris dan tempat aman berlindung kaum anarkis tersebut. Selain semakin memperburuk citra Indonesia di kancah internasional, peledakan bom tersebut juga memiliki tujuan tertentu. Pertama, kejadian tersebut untuk menganulir pernyataan beberapa pejabat, seperti wapres Hamzah Haz, bahwa tidak ada teroris di Indonesia, sekaligus membantah pernyataan tokoh-tokoh muslim Indonesia yang juga menolak tudingan AS bahwa Indonesia adalah sarang teroris.
Kedua, kejadian itu untuk menegaskan bahwa Indonesia sangat lemah dalam memberantas mata rantai terorisme. Ketiga, grand design dari pengeboman ini adalah upaya kelompok tertentu untuk memojokkan Indonesia, khususnya umat Islam. Dan terakhir, puncak tujuan peledakan itu adalah one for all, yang akhirnya akan menggiring Indonesia masuk dalam perangkap Barat untuk berperang dengan teroris versi Barat.
Indonesia
Sebagai bangsa berdaulat, selama ini Indonesia telah banyak mengalami aksi teror. Sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga saat ini, terorisme terhadap negeri ini tak ada hentinya. Terorisme dalam bentuk kolonisasi dunia Barat, khususnya AS melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan lain sebagainya, tak kalah hebatnya dengan aksi terorisme yang dikampanyekan AS. Tetapi keanehan terlihat lantaran Indonesia yang kemudian menjadi sasaran utama, selain beberapa negara di Timur Tengah. Indonesia negeri dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia di mata AS dinilai sebagai ancaman serius dominasi negeri itu, khususnya terhadap berbagai kepentingan dan pengaruhnya di Indonesia.
Sementara itu, Amerika yang semula mengira dengan penegakan HAM dan demokrasi di negeri-negeri Muslim, diharapkan skenario mereka berhasil, yakni kekuasaan dan dominasi tetap dipegang militer. Nyatanya, proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia, khususnya sejak reformasi digulirkan empat tahun silam, justru memberikan kebebasan bergerak bagi semua kalangan, tak terkecuali gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Pada perkembangannya ternyata kenyataan itu dinilai tidak kondusif dan bahkan dapat menjadi ancaman kepentingan mereka. Terlebih di antara gerakan-gerakan Islam, yang oleh AS dinilai sebagai gerakan Islam radikal semisal FPI, Majlis Mujahiddin dan lainnya, konsisten memperjuangkan legalisasi syariat Islam.
Dari dalam negeri Paman Sam sendiri, publik AS masih trauma dengan sikap pemerintahan Indonesia di masa lalu yang dinilainya pelanggar HAM dan merugikan kelompok minoritas. Kasus Timor Timur dan kerusuhan Mei misalnya, seringkali menjadi dalih Kongres atas sikap-sikap represip militer dan pemerintah RI. Itu pula yang menyebabkan Washington menghentikan bantuan dan hubungan militer dengan RI. Disadari militer berperan penting di Indonesia, maka ide normalisasi kerjasama militer dan bantuan AS pun dijalin. Hasrat AS merajut kembali hubungan ini tak lain dengan maksud agar militer Indonesia dan pemerintah umumnya mau 'membungkam' gerakan-gerakan Islam radikal, sehingga kepentingan Paman Sam tidak terancam. Maka untuk meyakinkan Kongres dan publik negeri itu, dipakailah isu terorisme. Dan ini tampaknya cukup berhasil.
Dengan skenario dan berbagai kenyataan tersebut, Pemerintahan Megawati mesti hati-hati menyikapi berbagai peristiwa sebelum benar ada bukti jelas siapa pelaku pemboman dan tindakan anarkisme lainnya. Diakui, meski hal ini berulang kali dibantah, Megawati terus ditekan oleh AS dan kekuatan-kekuatan lain semisal IMF dan Bank Dunia, namun tidak semestinya pemerintah menuruti permintaan tersebut. Apapun, sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki aturan dan hukum tersendiri dalam memberantas terorisme. Karena itulah, 'Nestapa di Bali' ini menjadi pelajaran penting, betapa terorisme tidak berdiri sendiri. Ada kekuatan maha dahsyat di belakangnya, yakni kekuatan nafsu rekolonisasi demi keuntungan ekonomi dan politik kelompok tertentu.
Oleh: Eggi Sudjana, M.Si, Kandidat Doktor dan Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI)
Sumber: Republika
Para pemimpin dunia, di antaranya Presiden AS, Bush, Menlu Jerman, Yosca Ficser, dan Menlu Australia, mengecam dan mengutuk keras tindakan biadab tersebut. Selain mengutuk keras, Presiden Megawati juga meminta masyarakat agar tenang dan meningkatkan kewaspadaan, serta menyampaikan duka yang mendalam dan simpati kepada keluarga korban. Kecaman dan kutukan serupa juga diperlihatkan para tokoh agama di Indonesia, dan menuntut aparat untuk segera mengungkap dalang dan pelaku pemboman.
Sebagai bangsa yang beradab dan umat beragama, kita tentu saja menolak aksi terorisme tersebut. Terorisme, apapun bentuknya, jelas tertolak oleh hukum apapun di dunia ini. Agama pun tidak membolehkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan dan misinya. Di sinilah kita kembali diingatkan, bahwa bahaya teror dan terorisme sejatinya adalah bahaya universal dan global yang tanpa mengenal batas-batas geo-politik bahkan batas suatu negara. Terorisme menjadi entitas bahaya dan tantangan bersama umat manusia di dunia ini.
Kejanggalan
Tanpa mendahului proses penyidikan dan pembuktian yang kini tengah dilakukan oleh aparat, tragedi Sabtu Kelabu di Bali itu memunculkan banyak kecurigaan serta kondisi politik yang tidak lazim seperti biasanya. Ketidaklaziman dan kecurigaan itu secara kuat mengarah kepada pihak asing, khususnya Amerika Serikat (AS), negeri yang selama ini gencar mensponsori perang anti-terorisme internasional.
Untuk menjelaskan ketidakwajaran itu, beberapa hal berikut barangkali sedikit membantu kita memahami pra-kondisi terhadap peristiwa ledakan bom. Pertama, pada 10 Oktober, dua hari sebelum kejadian, Deplu AS mengeluarkan peringatan kepada warganya di seluruh dunia untuk waspada. "Para teroris akan mengalihkan sasaran pada target yang lebih empuk, termasuk fasilitas dimana orang Amerika biasa berkumpul atau berkunjung seperti kelab malam, restauran, tempat ibadah, sekolah atau tempat rekreasi terbuka lainnya." (Republika, 14/10). Menurut pengamat inteligen, AC Manullang, 'kewaspadaan' dalam peringatan Deplu AS itu adalah bahasa politik. Dalam bahasa perang dan intelijen, kata Manullang, 'kewaspadaan' berarti tinggalkan tempat itu.
Kedua, pada saat Deplu AS mengeluarkan peringatan tersebut, Dubes AS, Ralph L Boyce, sibuk 'bersilaturahmi' ke beberapa pejabat penting, seperti Menkopolkam Susilo Bambang Yudoyono, Menkokesra Yusuf Kalla, dan pejabat lainnya. Memang tak spesifik Boyce mengungkapkan akan adanya serangan di Bali. Dubes AS itu hanya meminta pemerintah Indonesia untuk serius mengusut serangan terhadap Exxonmobil, dan fasilitas AS di Teluk Betung, beberapa waktu lalu. Tapi yang aneh, enam jam sebelum kejadian peledakan, Boyce mengatakan bahwa polisi Indonesia tidak sungguh-sungguh memerangi terorisme di Indonesia.
Ketiga, dari segi bahan peledak yang digunakan, bom ini menimbulkan radius kerusakan yang sangat luas. Menurut pengamat inteligen, ZA Maulani, sebagaimana dilansir Jawa Pos (14/10), dalam istilah militer, bom tersebut mempunyai demosili sampai 200 meter. Padahal, kata Maulani, sebuah granat 108 mm hanya memiliki radius kerusakan atau demosili 50 meter. Singkatnya, kekuatan bom ini setara dengan belasan granat 108 mm dijadikan satu dan diledakkan. Pelakunya sudah pasti ahli demosili. Mantan kepala BIN ini menyebut, bahan peledak dahsyat itu dari jenis C4 (C four) atau Claynore. "Ini tidak diproduksi Indonesia. Hanya Amerika yang bisa memproduksi C4," kata Maulani.
Keempat, selama ini AS menuding Indonesia sebagai sarang dan tempat aman teroris, sekalipun aparat dan pemerintah Indonesia membantah tudingan tersebut. Presiden Bush yang agaknya kecewa dengan sikap Megawati yang tidak tegas dalam memberantas terorisme di negeri mayoritas Muslim ini merasa, pemerintah Indonesia tidak kooperatif dalam kampanye anti-terorisme, sebagaimana ditunjukkan Malaysia, Singapura, dan Philipina, serta negara-negara lainnya. Bush bahkan beberapa kali menelpon langsung Presiden Megawati berkaitan masalah terorisme. Kekecewaan AS juga tampak dalam masalah penolakan pemerintah Indonesia untuk menangkap Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), yang dituding Paman Sam sebagai teroris dan kaki tangan Alqaidah di Asia Tenggara.
Beberapa alasan itulah yang kemudian oleh sebagian kalangan dijadikan sebagai bukti keterlibatan langsung maupun tidak langsung dinas inteligen AS, CIA, dalam tragedi Sabtu Kelabu tersebut. Dalam peristiwa itu, tak satupun korban tewas dari warga AS. Padahal sebagai kota tujuan utama wisatawan asing di Indonesia, di Bali bermukim banyak warga asing, termasuk dari AS. Tetapi, mengapa tak ada korban warga AS?
Dengan kejadian itu, AS ingin menciptakan opini bahwa benar di Indonesia sebagai sarang teroris dan tempat aman berlindung kaum anarkis tersebut. Selain semakin memperburuk citra Indonesia di kancah internasional, peledakan bom tersebut juga memiliki tujuan tertentu. Pertama, kejadian tersebut untuk menganulir pernyataan beberapa pejabat, seperti wapres Hamzah Haz, bahwa tidak ada teroris di Indonesia, sekaligus membantah pernyataan tokoh-tokoh muslim Indonesia yang juga menolak tudingan AS bahwa Indonesia adalah sarang teroris.
Kedua, kejadian itu untuk menegaskan bahwa Indonesia sangat lemah dalam memberantas mata rantai terorisme. Ketiga, grand design dari pengeboman ini adalah upaya kelompok tertentu untuk memojokkan Indonesia, khususnya umat Islam. Dan terakhir, puncak tujuan peledakan itu adalah one for all, yang akhirnya akan menggiring Indonesia masuk dalam perangkap Barat untuk berperang dengan teroris versi Barat.
Indonesia
Sebagai bangsa berdaulat, selama ini Indonesia telah banyak mengalami aksi teror. Sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga saat ini, terorisme terhadap negeri ini tak ada hentinya. Terorisme dalam bentuk kolonisasi dunia Barat, khususnya AS melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan lain sebagainya, tak kalah hebatnya dengan aksi terorisme yang dikampanyekan AS. Tetapi keanehan terlihat lantaran Indonesia yang kemudian menjadi sasaran utama, selain beberapa negara di Timur Tengah. Indonesia negeri dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia di mata AS dinilai sebagai ancaman serius dominasi negeri itu, khususnya terhadap berbagai kepentingan dan pengaruhnya di Indonesia.
Sementara itu, Amerika yang semula mengira dengan penegakan HAM dan demokrasi di negeri-negeri Muslim, diharapkan skenario mereka berhasil, yakni kekuasaan dan dominasi tetap dipegang militer. Nyatanya, proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia, khususnya sejak reformasi digulirkan empat tahun silam, justru memberikan kebebasan bergerak bagi semua kalangan, tak terkecuali gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Pada perkembangannya ternyata kenyataan itu dinilai tidak kondusif dan bahkan dapat menjadi ancaman kepentingan mereka. Terlebih di antara gerakan-gerakan Islam, yang oleh AS dinilai sebagai gerakan Islam radikal semisal FPI, Majlis Mujahiddin dan lainnya, konsisten memperjuangkan legalisasi syariat Islam.
Dari dalam negeri Paman Sam sendiri, publik AS masih trauma dengan sikap pemerintahan Indonesia di masa lalu yang dinilainya pelanggar HAM dan merugikan kelompok minoritas. Kasus Timor Timur dan kerusuhan Mei misalnya, seringkali menjadi dalih Kongres atas sikap-sikap represip militer dan pemerintah RI. Itu pula yang menyebabkan Washington menghentikan bantuan dan hubungan militer dengan RI. Disadari militer berperan penting di Indonesia, maka ide normalisasi kerjasama militer dan bantuan AS pun dijalin. Hasrat AS merajut kembali hubungan ini tak lain dengan maksud agar militer Indonesia dan pemerintah umumnya mau 'membungkam' gerakan-gerakan Islam radikal, sehingga kepentingan Paman Sam tidak terancam. Maka untuk meyakinkan Kongres dan publik negeri itu, dipakailah isu terorisme. Dan ini tampaknya cukup berhasil.
Dengan skenario dan berbagai kenyataan tersebut, Pemerintahan Megawati mesti hati-hati menyikapi berbagai peristiwa sebelum benar ada bukti jelas siapa pelaku pemboman dan tindakan anarkisme lainnya. Diakui, meski hal ini berulang kali dibantah, Megawati terus ditekan oleh AS dan kekuatan-kekuatan lain semisal IMF dan Bank Dunia, namun tidak semestinya pemerintah menuruti permintaan tersebut. Apapun, sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki aturan dan hukum tersendiri dalam memberantas terorisme. Karena itulah, 'Nestapa di Bali' ini menjadi pelajaran penting, betapa terorisme tidak berdiri sendiri. Ada kekuatan maha dahsyat di belakangnya, yakni kekuatan nafsu rekolonisasi demi keuntungan ekonomi dan politik kelompok tertentu.
Oleh: Eggi Sudjana, M.Si, Kandidat Doktor dan Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI)
Sumber: Republika
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» [kartun] Bali Animated Neue Folgen || Bali Deutsch Kinderserie 2018 (Bücherregal)
» Snouck Hurgronje, Mata-Mata Belanda di Masa Perang Aceh
» Kisah Mantan Teroris Mata-Mata Korut Pengebom Pesawat Korean Air Penerbangan 858
» Turki Bongkar Jaringan Mata-Mata Israel di Iran
» Taliban 'penggal anak laki' karena mata-mata
» Snouck Hurgronje, Mata-Mata Belanda di Masa Perang Aceh
» Kisah Mantan Teroris Mata-Mata Korut Pengebom Pesawat Korean Air Penerbangan 858
» Turki Bongkar Jaringan Mata-Mata Israel di Iran
» Taliban 'penggal anak laki' karena mata-mata
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik