gerakan genosida yang dinamakan dengan ISLAMOPHOBIA
Halaman 1 dari 1 • Share
gerakan genosida yang dinamakan dengan ISLAMOPHOBIA
Gerakan islamophobia sesungguhnya sudah lama mewabah di Indonesia. Kalau disepakati, kita dapat langsung memulainya dari rezim Soekarno, meski kolonial Belanda pun sudah sering mengampanyekan gerakan memusuhi Islam. Soekarno sendiri tidak pernah memusuhi Islam, tetapi menyingkirkan tokoh-tokoh Islam yang kebetulan menjadi lawan-lawan politiknya. Banyak tokoh muslim yang dipenjarakannya, bahkan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pun ikut diberangus. Apa yang terjadi di zaman Soekarno lebih tepat dikatakan sebagai perbedaan dua pandangan, mungkin juga ideologi: islamisme dan nasionalisme. Apalagi sebagian tokoh muslim menganggap banyak perilaku Soekarno yang tak mencerminkan nilai- nilai islami.
Tetapi, Soekarno bukanlah orang yang buta terhadap Islam. Dia menguasai dengan baik mengenai sejarah dan filosofi Islam. Dia mampu melafalkan ayat-ayat suci Alquran dan hadis Nabi dengan fasihnya. Sering ia berdebat dengan tokoh-tokoh Islam, terutama dengan sahabatnya yang tokoh Muhammadiyah, Hasan Dien, saat ia diasingkan pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu. Karena itu, Islamophobia di masa kekuasaan Soekarno tidak dirancang sistematik untuk menghancurkan Islam itu sendiri, melainkan tokoh-tokohnya yang kerap kali mengkritisi sang Presiden. Jadi ambisi politik bisa menafikan segalanya, tidak terkecuali menyingkirkan para kiai dan ustad berpengaruh.
Lebih Canggih
Usaha penyingkiran tokoh-tokoh Islam ini dilanjutkan secara lebih canggih pada masa kekuasaan Soeharto. Bahkan penyingkiran dilakukan lebih sistematis, lewat beberapa gerbong utama yang dikendalikan oleh jenderal-jenderal nonmuslim atau mereka yang kurang suka melihat perkembangan Islam di Indonesia.
Ketika Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) berada di bawah pimpinan Sudomo, waktu Ali Moertopo jadi ''bos'' intelijen di Indonesia, dan ketika LB Moerdani mulai menjadi petinggi militer, maka upaya penggembosan terhadap Islam dan tokoh-tokohnya makin santer dilakukan. Saya sengaja menyebutnya penggembosan terhadap Islam, karena pemerintah maupun militer saat itu selalu mencitrakan Islam identik dengan kekerasan atau teror. Celakanya, tak sedikit tindak kekerasan atau teror yang justru direkayasa oleh elite-elite militer sendiri. Bahkan, teror yang dilabelkan pada kelompok Islam bisa dijadikan ajang promosi karier militernya. Kendati demikian, beberapa aksi teror pernah dilakukan beberapa kelompok Islam terhadap pemerintah, karena merasa sudah tak punya harapan lagi untuk melawan, kecuali dengan melancarkan teror itu sendiri.
Puncak perselisihan antara penguasa dan tokoh-tokoh Islam terjadi sejak dekade 1980-an, ketika rejim Soeharto memaksakan asas tunggal Pancasila. Banyak tokoh muslim yang menentangnya, meski tidak sedikit yang menerimanya. Kasus Tanjung Priok (1984) juga diarahkan pihak tertentu untuk mencitrakan radikalisme dalam Islam. Nama-nama seperti Abdullah Sungkar, Abdul Qadir Jailani, AM Fatwa, Syarifin Maloko, Amir Biki, Warsidi, dan Abu Bakar Ba'asyir selalu menjadi incaran para intelijen. Mereka selalu menempel ketat para tokoh Islam saat berdakwah, lalu mencari peluang untuk menyeretnya ke pengadilan.
Tekanan Asing
Kelompok Islam baru merasa ''nyaman'' di masa kekuasaan Habibie, salah seorang tokoh pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di masa pemerintahan Gus Dur, muncul sejumlah milisi sipil bernafas keagamaan, seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI) yang berniat menegakkan kebenaran dengan caranya sendiri.
Gus Dur sendiri sering bersitegang dengan kedua laskar itu. Dalam perkembangan di kemudian hari, citra kedua laskar ini identik dengan kekerasan di jalanan, dan akhirnya meresahkan masyarakat. Sekarang kedua laskar itu sudah tak eksis lagi, menyusul pembubaran dan/atau pembekuan aktivitasnya.
Bagaimana islamophobia di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri? Agaknya ia menghadapi persoalan berat, karena gerakan menyingkirkan tokoh-tokoh Islam ini lebih berdasarkan tekanan pihak asing. Celakanya, AS sudah berteriak: siapa pun yang tidak mendukung ''perang terhadap terorisme internasional'' akan dianggap sebagai lawan!
Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar memang pernah membantahnya. Namun nuansa pemaksaan pihak asing (baca: AS) yang amat kental membuat banyak kalangan yang tidak percaya begitu saja.
AS mulai mengarahkan sasaran kepada Islam, ketika negara itu kehilangan musuh bebuyutannya: komunisme, yang hancur bersamaan dengan ambruknya Uni Soviet dan negara-negara di Eropa Timur lainnya.
Tragedi 11 September justru dijadikannya sebagai momentum terbaik untuk melancarkan serangan terhadap umat Islam, meski baru sebatas membumihanguskan Afghanistan.
Demikian pula dengan ledakan bom di Sari Club, Jalan Legian, Kuta (12/10) yang langsung dijadikan bahan bagi AS untuk menggoyang kelompok Islam di Indonesia, terutama yang diduga mempunyai link dengan Al-Qaedah.
Upaya alienisasi (pengasingan) eksistensi dan peranserta umat Islam dilakukan dengan menempelkan sebutan dan citra yang buruk bagi kekuatan-kekuatan Islam, seperti teroris, fundamentalis, radikal, militan, dan sebagainya. Tidak jarang, para ulama yang saleh pun terjebak untuk menempelkan stigma buruk ini terhadap kelompok Islam yang tidak sehaluan dengannya.
Setelah itu, musuh-musuh Islam dengan mudah mengidentifikasi dan melokalisasi kekuatan-kekuatan Islam. Unsur-unsur militan kaum muslim yang sebenarnya jadi perisai umat malah dipisahkan dari mereka.
Sebenarnya mengidentikkan terorisme dengan Islam adalah fitnah besar, apalagi jika makna teror diartikan sebagai serangan tanpa pandang bulu. Islam justru datang mengajarkan adab-adab dalam berperang ketika konflik senjata/fisik sudah tidak dapat dihindari.
Beberapa literatur fiqih menunjukkan betapa Islam mengajarkan larangan merusak hal-hal yang sama sekali tidak terkait dengan peperangan, melarang pembunuhan orang-orang yang tak berdaya (para tawanan, anak-anak, wanita, dan orang tua). Ia juga membatasi sasaran-sasaran perang, bahkan cara melumpuhkan dan membunuh lawan, hingga perlakuan terhadap harta rampasan perang serta tawanan pun sudah ada ketentuannya.
Falsafah perang dalam Islam adalah menolak kerusakan dan hanya dibolehkan jika Islam diperangi. ''Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka.'' (Al-Hajj: 39).
Kalau pun ada tokoh Islam yang melakukan tindakan melanggar hukum, vonis tidak harus disandang Islam sebagai suatu sistem. Ketidakadilan vonis ini menyerupai situasi penjara-penjara di Prancis.
"Meski mayoritas penghuninya Nasrani, tidak adil jika saya menganggap agama tersebut gagal mendidik umatnya untuk berbuat baik." (Dudung Abdul Muslim, sumber: Suara Merdeka)
Tetapi, Soekarno bukanlah orang yang buta terhadap Islam. Dia menguasai dengan baik mengenai sejarah dan filosofi Islam. Dia mampu melafalkan ayat-ayat suci Alquran dan hadis Nabi dengan fasihnya. Sering ia berdebat dengan tokoh-tokoh Islam, terutama dengan sahabatnya yang tokoh Muhammadiyah, Hasan Dien, saat ia diasingkan pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu. Karena itu, Islamophobia di masa kekuasaan Soekarno tidak dirancang sistematik untuk menghancurkan Islam itu sendiri, melainkan tokoh-tokohnya yang kerap kali mengkritisi sang Presiden. Jadi ambisi politik bisa menafikan segalanya, tidak terkecuali menyingkirkan para kiai dan ustad berpengaruh.
Lebih Canggih
Usaha penyingkiran tokoh-tokoh Islam ini dilanjutkan secara lebih canggih pada masa kekuasaan Soeharto. Bahkan penyingkiran dilakukan lebih sistematis, lewat beberapa gerbong utama yang dikendalikan oleh jenderal-jenderal nonmuslim atau mereka yang kurang suka melihat perkembangan Islam di Indonesia.
Ketika Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) berada di bawah pimpinan Sudomo, waktu Ali Moertopo jadi ''bos'' intelijen di Indonesia, dan ketika LB Moerdani mulai menjadi petinggi militer, maka upaya penggembosan terhadap Islam dan tokoh-tokohnya makin santer dilakukan. Saya sengaja menyebutnya penggembosan terhadap Islam, karena pemerintah maupun militer saat itu selalu mencitrakan Islam identik dengan kekerasan atau teror. Celakanya, tak sedikit tindak kekerasan atau teror yang justru direkayasa oleh elite-elite militer sendiri. Bahkan, teror yang dilabelkan pada kelompok Islam bisa dijadikan ajang promosi karier militernya. Kendati demikian, beberapa aksi teror pernah dilakukan beberapa kelompok Islam terhadap pemerintah, karena merasa sudah tak punya harapan lagi untuk melawan, kecuali dengan melancarkan teror itu sendiri.
Puncak perselisihan antara penguasa dan tokoh-tokoh Islam terjadi sejak dekade 1980-an, ketika rejim Soeharto memaksakan asas tunggal Pancasila. Banyak tokoh muslim yang menentangnya, meski tidak sedikit yang menerimanya. Kasus Tanjung Priok (1984) juga diarahkan pihak tertentu untuk mencitrakan radikalisme dalam Islam. Nama-nama seperti Abdullah Sungkar, Abdul Qadir Jailani, AM Fatwa, Syarifin Maloko, Amir Biki, Warsidi, dan Abu Bakar Ba'asyir selalu menjadi incaran para intelijen. Mereka selalu menempel ketat para tokoh Islam saat berdakwah, lalu mencari peluang untuk menyeretnya ke pengadilan.
Tekanan Asing
Kelompok Islam baru merasa ''nyaman'' di masa kekuasaan Habibie, salah seorang tokoh pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di masa pemerintahan Gus Dur, muncul sejumlah milisi sipil bernafas keagamaan, seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI) yang berniat menegakkan kebenaran dengan caranya sendiri.
Gus Dur sendiri sering bersitegang dengan kedua laskar itu. Dalam perkembangan di kemudian hari, citra kedua laskar ini identik dengan kekerasan di jalanan, dan akhirnya meresahkan masyarakat. Sekarang kedua laskar itu sudah tak eksis lagi, menyusul pembubaran dan/atau pembekuan aktivitasnya.
Bagaimana islamophobia di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri? Agaknya ia menghadapi persoalan berat, karena gerakan menyingkirkan tokoh-tokoh Islam ini lebih berdasarkan tekanan pihak asing. Celakanya, AS sudah berteriak: siapa pun yang tidak mendukung ''perang terhadap terorisme internasional'' akan dianggap sebagai lawan!
Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar memang pernah membantahnya. Namun nuansa pemaksaan pihak asing (baca: AS) yang amat kental membuat banyak kalangan yang tidak percaya begitu saja.
AS mulai mengarahkan sasaran kepada Islam, ketika negara itu kehilangan musuh bebuyutannya: komunisme, yang hancur bersamaan dengan ambruknya Uni Soviet dan negara-negara di Eropa Timur lainnya.
Tragedi 11 September justru dijadikannya sebagai momentum terbaik untuk melancarkan serangan terhadap umat Islam, meski baru sebatas membumihanguskan Afghanistan.
Demikian pula dengan ledakan bom di Sari Club, Jalan Legian, Kuta (12/10) yang langsung dijadikan bahan bagi AS untuk menggoyang kelompok Islam di Indonesia, terutama yang diduga mempunyai link dengan Al-Qaedah.
Upaya alienisasi (pengasingan) eksistensi dan peranserta umat Islam dilakukan dengan menempelkan sebutan dan citra yang buruk bagi kekuatan-kekuatan Islam, seperti teroris, fundamentalis, radikal, militan, dan sebagainya. Tidak jarang, para ulama yang saleh pun terjebak untuk menempelkan stigma buruk ini terhadap kelompok Islam yang tidak sehaluan dengannya.
Setelah itu, musuh-musuh Islam dengan mudah mengidentifikasi dan melokalisasi kekuatan-kekuatan Islam. Unsur-unsur militan kaum muslim yang sebenarnya jadi perisai umat malah dipisahkan dari mereka.
Sebenarnya mengidentikkan terorisme dengan Islam adalah fitnah besar, apalagi jika makna teror diartikan sebagai serangan tanpa pandang bulu. Islam justru datang mengajarkan adab-adab dalam berperang ketika konflik senjata/fisik sudah tidak dapat dihindari.
Beberapa literatur fiqih menunjukkan betapa Islam mengajarkan larangan merusak hal-hal yang sama sekali tidak terkait dengan peperangan, melarang pembunuhan orang-orang yang tak berdaya (para tawanan, anak-anak, wanita, dan orang tua). Ia juga membatasi sasaran-sasaran perang, bahkan cara melumpuhkan dan membunuh lawan, hingga perlakuan terhadap harta rampasan perang serta tawanan pun sudah ada ketentuannya.
Falsafah perang dalam Islam adalah menolak kerusakan dan hanya dibolehkan jika Islam diperangi. ''Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka.'' (Al-Hajj: 39).
Kalau pun ada tokoh Islam yang melakukan tindakan melanggar hukum, vonis tidak harus disandang Islam sebagai suatu sistem. Ketidakadilan vonis ini menyerupai situasi penjara-penjara di Prancis.
"Meski mayoritas penghuninya Nasrani, tidak adil jika saya menganggap agama tersebut gagal mendidik umatnya untuk berbuat baik." (Dudung Abdul Muslim, sumber: Suara Merdeka)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» video yang berkaitan dengan perempuan yang ada aksi yang mengandung ilmu bela diri
» genderang antipoligami yang digemakan oleh gerakan feminisme global
» Gerakan Palestina dapat memicu gerakan Aceh & Papua merdeka
» [YG bisa terkait][penari](atau)[ tarian/TarianRohani /TarianPenyembahan !!!] Belajar Gerakan Tamborin Pujian Dengan Cepat Untuk Pemula || PART 13 || S
» [yang bisa terkait!!!ibadah yang dengan bahasa jawa!!!dan bahasa jawanya bagus!!!cantik lagi yang khotbah] GKJ Wonosari Gunungkidul
» genderang antipoligami yang digemakan oleh gerakan feminisme global
» Gerakan Palestina dapat memicu gerakan Aceh & Papua merdeka
» [YG bisa terkait][penari](atau)[ tarian/TarianRohani /TarianPenyembahan !!!] Belajar Gerakan Tamborin Pujian Dengan Cepat Untuk Pemula || PART 13 || S
» [yang bisa terkait!!!ibadah yang dengan bahasa jawa!!!dan bahasa jawanya bagus!!!cantik lagi yang khotbah] GKJ Wonosari Gunungkidul
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik