tawassul syeikh abdul qadir jaelani
Halaman 1 dari 1 • Share
tawassul syeikh abdul qadir jaelani
Apabila seseorang telah dicabut ajalnya oleh Allah, maka ruhnya tidak lagi berurusan dengan masalah yang ada di alam nyata ini. Tetapi ruh itu berhadapan dengan alam kubur (bukan kuburan), sebuah alam yang dimensinya berbeda jauih dengan dimensi alam nyata kita ini.
Disana ruh itu harus mempertanggung-jawabkan semua amalnya di dunia. Bila baik, maka dia akan mendapatkan suasana yang menyenangkan dan bila buruk, maka dia pun sedang tersiksa.
Memang ada riwayat yang menyatakan bahwa ruh orang yang telah mati itu bisa melihat kelakuan keluarganya atau temannya di dunia lantas ikut bersedih melihat keluarganya melakukan maksiat dan sebaliknya. Namun bukan berarti ruh itu kembali lagi ke dunia dalam bentuk ‘arwah’ yang gentayangan lalu masuk ke dalam tubuh seseorang. Semua itu hanya cerita hayal yang bercampur dengan tahayul.
Ruh Syiekh Abdul Qadir Jaelani pun mengalami hal yang sama. Tidak mungkin kembali lagi ke dunia. Sedangkan yang dipercaya sebagai ruh bukanlah ruh beliau, tetapi bisa jadi adalah qarinnya atau malah jin/syetan yang berpura-pura menyamar menjadi ruh dengan memanfaatkan kebodohan manusia akan ilmu akidah yang benar. Tujuannya tidak lain menjerat mereka kepada syirik/menyekutukan Allah. Terbukti dari ‘fasilitas’ yang ditawarkan sebagai broker/ calo doa kepada Allah. Ini jelas melanggar akidah dan perbuatan dosa besar.
Allah SWT berfirman:
"Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia", lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman: "Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS Al-An‘am: 128)
Padahal Allah telah melarang seseorang bertawassul dalam meminta/berdoa kepada-Nya bila yang dijadikan wasilah itu adalah orang yang sudah mati. Tawassul yang dibenarkan secara syariah adalah dengan amal shalih. Sedangkan tawassul dengan ruh orang yang sudah mati (kalau memang benar ruh), maka hukumnya adalah syirik. Karena ruh itu sendiri tidak bisa menolong dirinya sendiri apalagi menolong orang lain.
Begitu juga bertawassul kepada qarin seseorang yang sudah mati termasuk perbuatan syirik yang dilarang Allah. Walaupun orang itu dulunya orang shalih atau wali, tetapi dia bukan tempat berwasilah dalam berdoa pada Allah SWT.
Jadi sebaiknya jangan lakukan praktek seperti itu karena anda terancam dengan syirik kepada Allah SWT.
Disana ruh itu harus mempertanggung-jawabkan semua amalnya di dunia. Bila baik, maka dia akan mendapatkan suasana yang menyenangkan dan bila buruk, maka dia pun sedang tersiksa.
Memang ada riwayat yang menyatakan bahwa ruh orang yang telah mati itu bisa melihat kelakuan keluarganya atau temannya di dunia lantas ikut bersedih melihat keluarganya melakukan maksiat dan sebaliknya. Namun bukan berarti ruh itu kembali lagi ke dunia dalam bentuk ‘arwah’ yang gentayangan lalu masuk ke dalam tubuh seseorang. Semua itu hanya cerita hayal yang bercampur dengan tahayul.
Ruh Syiekh Abdul Qadir Jaelani pun mengalami hal yang sama. Tidak mungkin kembali lagi ke dunia. Sedangkan yang dipercaya sebagai ruh bukanlah ruh beliau, tetapi bisa jadi adalah qarinnya atau malah jin/syetan yang berpura-pura menyamar menjadi ruh dengan memanfaatkan kebodohan manusia akan ilmu akidah yang benar. Tujuannya tidak lain menjerat mereka kepada syirik/menyekutukan Allah. Terbukti dari ‘fasilitas’ yang ditawarkan sebagai broker/ calo doa kepada Allah. Ini jelas melanggar akidah dan perbuatan dosa besar.
Allah SWT berfirman:
"Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia", lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman: "Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS Al-An‘am: 128)
Padahal Allah telah melarang seseorang bertawassul dalam meminta/berdoa kepada-Nya bila yang dijadikan wasilah itu adalah orang yang sudah mati. Tawassul yang dibenarkan secara syariah adalah dengan amal shalih. Sedangkan tawassul dengan ruh orang yang sudah mati (kalau memang benar ruh), maka hukumnya adalah syirik. Karena ruh itu sendiri tidak bisa menolong dirinya sendiri apalagi menolong orang lain.
Begitu juga bertawassul kepada qarin seseorang yang sudah mati termasuk perbuatan syirik yang dilarang Allah. Walaupun orang itu dulunya orang shalih atau wali, tetapi dia bukan tempat berwasilah dalam berdoa pada Allah SWT.
Jadi sebaiknya jangan lakukan praktek seperti itu karena anda terancam dengan syirik kepada Allah SWT.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: tawassul syeikh abdul qadir jaelani
Tawassul berarti mengambil perantara untuk tersampainya hajat. Tidak semua tawassul dinilai keliru, namun ada pula yang masyru’ (dibenarkan). Bagaimana bentuk tawassul yang terlarang dan yang dibenarkan?
Tawassul itu ada dua bentuk yang disepakati oleh para ulama, sedangkan bentuk tawassul ketiga tidak ada dalilnya. Rinciannya:
1- Tawassul dengan iman dan amal ketaatan pada Allah.
2- Tawassul dengan do’a orang yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al Khottob kepada Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,
Tawassul pertama adalah pokok agama, yang tidak diingkari oleh seorang muslim pun. Sedangkan tawassul dengan do’a dan syafa’at -sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Al Khottob-, maka itu adalah tawassul dengan do’a, bukan dengan zatnya. Oleh karena itu, para sahabat ketika itu bertawassul dengan paman Nabi Al ‘Abbas. Seandainya tawassul dengan zat (bukan dengan do’a) diperkenankan, maka tentu para sahabat akan bertawassul dengan zat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah tiada daripada bertawassul dengan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib. Tatkala para sahabat beralih dari bertawassul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abbas, maka benarlah bahwa jika hidup bisa jadi perantara dalam do’a, namun beda halnya ketika telah mati. Sedangkan tawassul jenis pertama yaitu dengan iman dan amalan ketaatan, berlaku selamanya.
Sedangkan tawassul jenis ketiga yang keliru adalah tawassul bermakna sumpah pada Allah dan meminta dengan perantaraan zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk ketiga ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat ketika meminta hujan atau perkara lainnya. Mereka pun tidak pernah melakukan tawassul semacam itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau telah mati, begitu pula tidak dilakukan di kubur beliau atau kubur lainnya. Tidak ada pula do’a yang ma’ruf dan masyhur yang berkenaan dengan tawassul semacam itu. Dalil pendukung yang ada hanyalah dari hadits dho’if yang diklaim sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (marfu’) atau sampai pada para sahabat (mauquf). Atau yang jadi pegangan adalah alasan yang tidak bisa dijadikan argument yang kuat.
(Diringkas dari Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, hal. 85-86)
Sumber : https://rumaysho.com/3191-tawassul-yang-disepakati-bolehnya.html
https://rumaysho.com/3191-tawassul-yang-disepakati-bolehnya.html
Tawassul itu ada dua bentuk yang disepakati oleh para ulama, sedangkan bentuk tawassul ketiga tidak ada dalilnya. Rinciannya:
1- Tawassul dengan iman dan amal ketaatan pada Allah.
2- Tawassul dengan do’a orang yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al Khottob kepada Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari no. 1010).Tawassul pertama adalah pokok agama, yang tidak diingkari oleh seorang muslim pun. Sedangkan tawassul dengan do’a dan syafa’at -sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Al Khottob-, maka itu adalah tawassul dengan do’a, bukan dengan zatnya. Oleh karena itu, para sahabat ketika itu bertawassul dengan paman Nabi Al ‘Abbas. Seandainya tawassul dengan zat (bukan dengan do’a) diperkenankan, maka tentu para sahabat akan bertawassul dengan zat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah tiada daripada bertawassul dengan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib. Tatkala para sahabat beralih dari bertawassul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abbas, maka benarlah bahwa jika hidup bisa jadi perantara dalam do’a, namun beda halnya ketika telah mati. Sedangkan tawassul jenis pertama yaitu dengan iman dan amalan ketaatan, berlaku selamanya.
Sedangkan tawassul jenis ketiga yang keliru adalah tawassul bermakna sumpah pada Allah dan meminta dengan perantaraan zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk ketiga ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat ketika meminta hujan atau perkara lainnya. Mereka pun tidak pernah melakukan tawassul semacam itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau telah mati, begitu pula tidak dilakukan di kubur beliau atau kubur lainnya. Tidak ada pula do’a yang ma’ruf dan masyhur yang berkenaan dengan tawassul semacam itu. Dalil pendukung yang ada hanyalah dari hadits dho’if yang diklaim sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (marfu’) atau sampai pada para sahabat (mauquf). Atau yang jadi pegangan adalah alasan yang tidak bisa dijadikan argument yang kuat.
(Diringkas dari Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, hal. 85-86)
Sumber : https://rumaysho.com/3191-tawassul-yang-disepakati-bolehnya.html
https://rumaysho.com/3191-tawassul-yang-disepakati-bolehnya.html
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Similar topics
» apakah kisah syeikh abdul qadir al jaelani benar-benar terjadi
» SYEKH ABDUL QODIR AL JAELANI MENGHIDUPKAN ORANG MATI
» pembunuhan tak sengaja oleh abdul qadir jailani
» biografi syeikh Muhammad bin abdul wahab
» Abdul Qadir Jailani-Sebuah Memori yg Hidup kembali versi Saya
» SYEKH ABDUL QODIR AL JAELANI MENGHIDUPKAN ORANG MATI
» pembunuhan tak sengaja oleh abdul qadir jailani
» biografi syeikh Muhammad bin abdul wahab
» Abdul Qadir Jailani-Sebuah Memori yg Hidup kembali versi Saya
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik