perbedaan antara pemahaman hujjah dan penerapannya
Halaman 1 dari 1 • Share
perbedaan antara pemahaman hujjah dan penerapannya
Seperti telah dijelaskan bahwa taklif (pembebanan) tidak dapat ditetapkan kecuali dengan syariat, demikian juga siksa, ia tidak dapat ditetapkan kecuali setelah ditetapkannya hujjah melalui peringatan, dan syariat pun tidak dapat diberlakukan kecuali setelah ia disampaikan kepada manusia.
Persoalan penyampaian syariat dan keberadaannya yang meupakan syarat penegakka hujjah bagi hamba-hamba Allah merupakan pesoalan yang telah disinyalir di dalam Alquran dan Sunnah serta disepakati oleh kaum muslimin. Allah SWT berfirman yang artinya, "... Dan Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peingatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Alquran (kepadanya)...." (Al-An'am: 19).
Abdur Razaq meriwayatkan di dalam tafsinya dari Qatadah secara mursal, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sampaikanlah apa-apa yang engkau terima dari Allah, barangsiapa yang telah sampai kepada sesuatu dari kitab Allah, maka ia telah meneima peintah dai Allah." (Tafsir Alquran, kaya Abdur Razaq ash-Shan'ani, juz 2, h. 205).
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan pula dai Muhammad bin Ka'ab bahwa beliau besabda, "Barangsiapa Alquran telah sampai kepadanya, berarti Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan perintah Allah kepadanya." (Tafsir ath-Thabari, juz 7, h. 163; lihat pula Tafsi Ibnu Abbas dan Riwayat-riwayatnya dalam kitab-kitab Sunnah karya Dr. Abdul Aziz al-Hamidi, juz 2, h. 267).
Imam asy-Syaqithi Rahimahullah berkata, "Dari ayat ini dapat dipahami bahwa peingatan itu besifat umum bagi semua orang yang menerimanya, dan orang yang menerima peingatan itu dan ia tidak mempercayainya, maka ia di dalam neraka, dan demikian seterusnya." (Adhwa al-Bayan, juz 2, h. 168).
Jika syariat belum disampaikan, tak seorang pun yang mendapat kewajiban menjalankannya sepeti halnya ahlul fitrah. Seandainya ada suatu syarat yang diwajibkan kepada mereka sedang syaiat itu tidak sampai kepada mereka, maka mereka tidak akan menjdi orang-orang yang diuji di jembatan penyeberangan pada hari kiamat, bahkan mereka menjadi orang-orang yang beragumen di hadapan Allah dengan tidak sampainya peingatan kepada mereka.
Oleh karena itu, maka pentingnya para nabi dan rasul adalah menyampaikan syariat, sehingga hujjah Allah Ta'ala dapat ditegakkan bagi hamba-hamba-Nya. Allah SWT befirman, "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa beita gembira dan pemberi peingatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nahl: 35), dan firmannya, "... Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (An-Nur: 54).
Syarat sampainya risalah (ajaran) atau hujjah (alasan) meupakan bagian dai bab al-ashl al-'am (pokok yang umum) dalam masalah ini. Hal demikian karena penyampaian riasalah tersebut merupakan titik tolak diberlakukannya syariat secara global. Sedangkan dari segi peinciannya dan pengeluaran hukun syariatnya bagi hamba Allah, maka hal itu terletak pada banyaknya syarat yang fundamental (asasi). Adapun syarat yang terpenting dari syarat-syarrat itu adalah memahami hujjah, dan apakah ia merupakan syaat dalam penentuan penegakkannya ataukah bahwa penyampaian itu saja sudah dipandang cukup?
Bersambung...!
Sumber: Al-Jahl bi Masail al-I'tiqad wa Hukmuhu, Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma'asy
Persoalan penyampaian syariat dan keberadaannya yang meupakan syarat penegakka hujjah bagi hamba-hamba Allah merupakan pesoalan yang telah disinyalir di dalam Alquran dan Sunnah serta disepakati oleh kaum muslimin. Allah SWT berfirman yang artinya, "... Dan Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peingatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Alquran (kepadanya)...." (Al-An'am: 19).
Abdur Razaq meriwayatkan di dalam tafsinya dari Qatadah secara mursal, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sampaikanlah apa-apa yang engkau terima dari Allah, barangsiapa yang telah sampai kepada sesuatu dari kitab Allah, maka ia telah meneima peintah dai Allah." (Tafsir Alquran, kaya Abdur Razaq ash-Shan'ani, juz 2, h. 205).
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan pula dai Muhammad bin Ka'ab bahwa beliau besabda, "Barangsiapa Alquran telah sampai kepadanya, berarti Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan perintah Allah kepadanya." (Tafsir ath-Thabari, juz 7, h. 163; lihat pula Tafsi Ibnu Abbas dan Riwayat-riwayatnya dalam kitab-kitab Sunnah karya Dr. Abdul Aziz al-Hamidi, juz 2, h. 267).
Imam asy-Syaqithi Rahimahullah berkata, "Dari ayat ini dapat dipahami bahwa peingatan itu besifat umum bagi semua orang yang menerimanya, dan orang yang menerima peingatan itu dan ia tidak mempercayainya, maka ia di dalam neraka, dan demikian seterusnya." (Adhwa al-Bayan, juz 2, h. 168).
Jika syariat belum disampaikan, tak seorang pun yang mendapat kewajiban menjalankannya sepeti halnya ahlul fitrah. Seandainya ada suatu syarat yang diwajibkan kepada mereka sedang syaiat itu tidak sampai kepada mereka, maka mereka tidak akan menjdi orang-orang yang diuji di jembatan penyeberangan pada hari kiamat, bahkan mereka menjadi orang-orang yang beragumen di hadapan Allah dengan tidak sampainya peingatan kepada mereka.
Oleh karena itu, maka pentingnya para nabi dan rasul adalah menyampaikan syariat, sehingga hujjah Allah Ta'ala dapat ditegakkan bagi hamba-hamba-Nya. Allah SWT befirman, "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa beita gembira dan pemberi peingatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nahl: 35), dan firmannya, "... Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (An-Nur: 54).
Syarat sampainya risalah (ajaran) atau hujjah (alasan) meupakan bagian dai bab al-ashl al-'am (pokok yang umum) dalam masalah ini. Hal demikian karena penyampaian riasalah tersebut merupakan titik tolak diberlakukannya syariat secara global. Sedangkan dari segi peinciannya dan pengeluaran hukun syariatnya bagi hamba Allah, maka hal itu terletak pada banyaknya syarat yang fundamental (asasi). Adapun syarat yang terpenting dari syarat-syarrat itu adalah memahami hujjah, dan apakah ia merupakan syaat dalam penentuan penegakkannya ataukah bahwa penyampaian itu saja sudah dipandang cukup?
Bersambung...!
Sumber: Al-Jahl bi Masail al-I'tiqad wa Hukmuhu, Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma'asy
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: perbedaan antara pemahaman hujjah dan penerapannya
Allah SWT telah menjelaskan bahwa Dia mengutus Rasul-Nya untuk mengajarkan al-kitab (Alquran) dan hikmah. Dia berfirman yang artinya, "Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan." (An-Nahl: 44). Rasulullah saw kemudian melaksanakan amanat ini, maka ia menjelaskan peringatan yang diturunkan kepadanya sehingga orang-orang yang mengakui kebenaran , pengetahuan, dan yang mendapatkan petunjuk dapat mengetahui hal itu.
Rasulullah saw adalah orang yang paling mengetahui Allah al-Haq, paling fasih lisannya, paling terang penjelasannya, dan paling sungguh-sungguh memberikan petunjuk kepada hamba-hamba Allah. Hal demikian meniscayakan penjelasan Rasulullah saw sebagai yang paling sempurna daripada yang lainnya. (Lihat Dar'u Ta'arudh al-'Aql wan-Naql, juz 5, h. 371 -- 373).
Demikian ringkasan ilustrasi yang membedakan antara firman Allah Ta'ala dan sabda Rasulullah saw, yang salah satu maksudnya adalah sebagai landasan bagi pemahaman manusia akan perintah Allah Ta'ala yang disampaikan kepada mereka dan yang mengandung perintah supaya manusia hanya kepada Allah satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Demikian pula halnya dengan larangan untuk mempersekutukan Allah dengan yang lain atau menyembah sesuatu selain Dia, serta larangan melanggar perintah-Nya dan berbuat dosa terhadap-Nya.
Oleh karena itu, taklif atau memberlakukan kewajiban yang diperintahkan berdasarkan kemampuan pengembangnya merupakan salah satu poin terpenting dari keistimewaan agama Islam yang hanif (lurus). Seandainya perintah Allah tidak dapat dipahami oleh manusia sedang mereka diperintahkan untuk melaksanakannya maka hal itu merupakan taklif yang tidak perlu diindahkan, dan ini tidak akan terjadi di dalam agama Allah Ta'ala.
Firman Allah SWT dapat dipahami oleh orang yang mendengarnya dengan akal yang sadar, demikian pula halnya dengan sabda Rasulullah saw. Namun demikian, problem ini berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Keberadaan syariat yang dijelaskan pada dirinya tidak lantas menuntut bahwa ia telah dijelaskan kepada setiap orang. Berdasarkan hal ini Allah memuliakan sebagian hamba-Nya dengan ilmu dan meninggikan derajat mereka supaya mereka menjadi ahli zikir (pemberi peringatan) yang mengajarkan kebenaran kepada manusia.
Bertitik tolak dari kejelasan risalah Islam pada dirinya sendiri dan adanya penjelasan Rasulullah saw dengan penjelasan yang sebaik-baiknya, ahli ilmu (ulama) menganggap bahwa penyampaian hujjah dipandang cukup dengan menegakkannya di hadapan hamba-hamba Allah, dan mereka tidak mensyaratkan pemahaman kitab. Berdasarkan hal itu mereka mengatakan bahwa setiap orang yang telah mengetahui Alquran dan khabar/sunnah Rasulullah saw maka hujjah pun telah ditegakkan baginya, dan tidak ada alasan untuk mencari apakah ia telah memahami kitab atau tidak. Sedangkan sebagian yang lain mensyaratkan pemahaman kitab untuk memastikan bahwa hujjah telah ditegakkan baginya. Hal ini berdasarkan pada pernyataan di atas yang menyebutkan bahwa keberadaan syariat itu sendiri yang telah jelas tidak mengindikasikan bahwa ia pun telah jelas bagi setiap orang, karena kemampuan intelektual (berpikir) para mukallafin berbeda-beda.
Pokok persoalan pada hujjah ini tidak dibedakan antara pengetahuan dan pemahaman terhadap hujjah tersebut, sebab mayoritas orang-orang kafir dan orang-orang munafik dari kalangan kaum muslimin tidak memahami hujjah sedangkan hujjah telah ditegakkan di hadapan mereka. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (Al-Furqan: 44).
Ditegakkannya hujjah merupakan satu bentuk dan penyampaikannya adalah bentuk yang lain. Jika hal itu disampaikan kepada Anda, maka perhatikanlah sabda Rasulullah saw yang artinya, "Di mana pun kamu menjumpai mereka, maka perangilah mereka." (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Istibanah al-Murtaddin, bab Qath al-Khawarij, juz 12, h. 295, no. 6930; dan Muslim dalam az-Zakat, bab at-Tahridh 'ala Qatl al-Khawarij, juz 2, h. 746, no. 1066). Dan sabda beliau, "Seburuk-buruk orang yang mati terbunuh di atas bumi...." (Tirmizi dalam at-Tafsir, surat Ali Imran, juz 5, h.210, no. 3000; Ibnu Majah dalam Dzikr al-Khawarij, juz 1, h. 62, no. 176; Ahmad juz 5, h. 250; Thabarani juz 8, h. 273, no. 8051; Hakim juz 2, h. 149; dan Harits bin Abi Usamah, seperti dalam Zawaid al-Harits juz 2, h. 817, no. 706). Sedangkan mereka hidup pada masa sahabat, dan orang-orang mengolok-olok amal sahabat bersama mereka, dan juga telah ada kesepakatan orang yang hidup pada masa itu bahwa yang mengeluarkan mereka dari agama adalah kekakuan, berlebih-lebihan, dan ijtihad. Mereka menganggap hal itu sebagai menaati Allah dan hujjah telah sampai kepada mereka, tetapi mereka tidak memahaminya. Demikian pula pembunuhan terhadap Ali ra yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa Ali berdosa, sedang mereka adalah murid-murid sahabat, suka beribadah, mendirikan salat, dan menjalankan puasa. Mereka menganggap diri mereka benar. Begitu pula kesepakatan ulama salaf untuk mengafirkan golongan Qadariyah yang sesat. (Catatan: sampai di sini kita memahami bahayanya aliran-aliran sempalan yang di dalam memahami dan mengartikan ajaran-ajaran agama atas pemahaman sendiri, mereka bukanlah golongan ahli sunnah wal jamaah, lihat dalam rubrik "ALIRAN PEMIKIRAN", pent).
Sumber: Al-Jahl bi Masail al-I'tiqad wa Hukmuhu, Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma'asy
Rasulullah saw adalah orang yang paling mengetahui Allah al-Haq, paling fasih lisannya, paling terang penjelasannya, dan paling sungguh-sungguh memberikan petunjuk kepada hamba-hamba Allah. Hal demikian meniscayakan penjelasan Rasulullah saw sebagai yang paling sempurna daripada yang lainnya. (Lihat Dar'u Ta'arudh al-'Aql wan-Naql, juz 5, h. 371 -- 373).
Demikian ringkasan ilustrasi yang membedakan antara firman Allah Ta'ala dan sabda Rasulullah saw, yang salah satu maksudnya adalah sebagai landasan bagi pemahaman manusia akan perintah Allah Ta'ala yang disampaikan kepada mereka dan yang mengandung perintah supaya manusia hanya kepada Allah satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Demikian pula halnya dengan larangan untuk mempersekutukan Allah dengan yang lain atau menyembah sesuatu selain Dia, serta larangan melanggar perintah-Nya dan berbuat dosa terhadap-Nya.
Oleh karena itu, taklif atau memberlakukan kewajiban yang diperintahkan berdasarkan kemampuan pengembangnya merupakan salah satu poin terpenting dari keistimewaan agama Islam yang hanif (lurus). Seandainya perintah Allah tidak dapat dipahami oleh manusia sedang mereka diperintahkan untuk melaksanakannya maka hal itu merupakan taklif yang tidak perlu diindahkan, dan ini tidak akan terjadi di dalam agama Allah Ta'ala.
Firman Allah SWT dapat dipahami oleh orang yang mendengarnya dengan akal yang sadar, demikian pula halnya dengan sabda Rasulullah saw. Namun demikian, problem ini berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Keberadaan syariat yang dijelaskan pada dirinya tidak lantas menuntut bahwa ia telah dijelaskan kepada setiap orang. Berdasarkan hal ini Allah memuliakan sebagian hamba-Nya dengan ilmu dan meninggikan derajat mereka supaya mereka menjadi ahli zikir (pemberi peringatan) yang mengajarkan kebenaran kepada manusia.
Bertitik tolak dari kejelasan risalah Islam pada dirinya sendiri dan adanya penjelasan Rasulullah saw dengan penjelasan yang sebaik-baiknya, ahli ilmu (ulama) menganggap bahwa penyampaian hujjah dipandang cukup dengan menegakkannya di hadapan hamba-hamba Allah, dan mereka tidak mensyaratkan pemahaman kitab. Berdasarkan hal itu mereka mengatakan bahwa setiap orang yang telah mengetahui Alquran dan khabar/sunnah Rasulullah saw maka hujjah pun telah ditegakkan baginya, dan tidak ada alasan untuk mencari apakah ia telah memahami kitab atau tidak. Sedangkan sebagian yang lain mensyaratkan pemahaman kitab untuk memastikan bahwa hujjah telah ditegakkan baginya. Hal ini berdasarkan pada pernyataan di atas yang menyebutkan bahwa keberadaan syariat itu sendiri yang telah jelas tidak mengindikasikan bahwa ia pun telah jelas bagi setiap orang, karena kemampuan intelektual (berpikir) para mukallafin berbeda-beda.
Pokok persoalan pada hujjah ini tidak dibedakan antara pengetahuan dan pemahaman terhadap hujjah tersebut, sebab mayoritas orang-orang kafir dan orang-orang munafik dari kalangan kaum muslimin tidak memahami hujjah sedangkan hujjah telah ditegakkan di hadapan mereka. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (Al-Furqan: 44).
Ditegakkannya hujjah merupakan satu bentuk dan penyampaikannya adalah bentuk yang lain. Jika hal itu disampaikan kepada Anda, maka perhatikanlah sabda Rasulullah saw yang artinya, "Di mana pun kamu menjumpai mereka, maka perangilah mereka." (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Istibanah al-Murtaddin, bab Qath al-Khawarij, juz 12, h. 295, no. 6930; dan Muslim dalam az-Zakat, bab at-Tahridh 'ala Qatl al-Khawarij, juz 2, h. 746, no. 1066). Dan sabda beliau, "Seburuk-buruk orang yang mati terbunuh di atas bumi...." (Tirmizi dalam at-Tafsir, surat Ali Imran, juz 5, h.210, no. 3000; Ibnu Majah dalam Dzikr al-Khawarij, juz 1, h. 62, no. 176; Ahmad juz 5, h. 250; Thabarani juz 8, h. 273, no. 8051; Hakim juz 2, h. 149; dan Harits bin Abi Usamah, seperti dalam Zawaid al-Harits juz 2, h. 817, no. 706). Sedangkan mereka hidup pada masa sahabat, dan orang-orang mengolok-olok amal sahabat bersama mereka, dan juga telah ada kesepakatan orang yang hidup pada masa itu bahwa yang mengeluarkan mereka dari agama adalah kekakuan, berlebih-lebihan, dan ijtihad. Mereka menganggap hal itu sebagai menaati Allah dan hujjah telah sampai kepada mereka, tetapi mereka tidak memahaminya. Demikian pula pembunuhan terhadap Ali ra yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa Ali berdosa, sedang mereka adalah murid-murid sahabat, suka beribadah, mendirikan salat, dan menjalankan puasa. Mereka menganggap diri mereka benar. Begitu pula kesepakatan ulama salaf untuk mengafirkan golongan Qadariyah yang sesat. (Catatan: sampai di sini kita memahami bahayanya aliran-aliran sempalan yang di dalam memahami dan mengartikan ajaran-ajaran agama atas pemahaman sendiri, mereka bukanlah golongan ahli sunnah wal jamaah, lihat dalam rubrik "ALIRAN PEMIKIRAN", pent).
Sumber: Al-Jahl bi Masail al-I'tiqad wa Hukmuhu, Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma'asy
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Meluruskan Pemahaman Wahdatul Wujud: Antara Kebenaran dan Kesesatan
» [info terkait pemahaman akan perbedaan] Pahami Bedanya Okulasi dengan Sambung Pucuk
» Apa sih perbedaan antara Katolik vs Protestan itu?
» perbedaan antara zionis dan yahudi
» Perbedaan Prosedur Hukuman antara Pezina Wanita dengan Pezina Laki2
» [info terkait pemahaman akan perbedaan] Pahami Bedanya Okulasi dengan Sambung Pucuk
» Apa sih perbedaan antara Katolik vs Protestan itu?
» perbedaan antara zionis dan yahudi
» Perbedaan Prosedur Hukuman antara Pezina Wanita dengan Pezina Laki2
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik